BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korporasi
dalam
ruang
geraknya
dimaksudkan
untuk
memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat luas, sehingga tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dapat tercapai sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 serta di dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan guna meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia. 1 Korporasi dalam hal ini CV dapat melakukan suatu tindak pidana melalui mereka yang mengendalikan korporasi, baik sendirian maupun bersama-sama dengan para pengurus lainnya yang mencerminkan dan mewakili pikiran atau kehendak dari korporasi. Tindak pidana korporasi seringkali tidak tampak atau tidak kelihatan karena kompleksitas dan dilakukan dengan perencanaan yang matang, serta pelaksanaannya yang rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi ekonomi. Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. 2 Sebuah
Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
1
Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta : PT. SOFMEDIA, 2011), Hal. 57. Ibid.
2
1
2
perusahaan yang baik tidak hanya memperhatikan kepentingan para pemegang saham, tetapi juga memeperhatikan kepentingan stakeholder. Secara etis dunia bisnis tidak hanya wajib berbuat baik kepada sesama manusia, tetapi juga kepada lingkungan alamnya. 3 Pengertian korporasi dilihat dari etimologinya (asal katanya), yang dalam istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), Corporation (Inggris), Korporation (Jerman), berasal dari bahasa Latin yaitu corporatio.
4
Terkait dengan istilah
corporatio, menurut Mulhadi dan Dwija Prayitno : “Seperti halnya dengan kata lain yang berakhiran dengan “tio”, maka corporatio dianggap sebagai kata benda (substantivum) yang berasal dari kata kerja corporare yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare itu sendiri berasal dari kata corpus yang dalam bahasa Indonesia berarti “badan”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa corporatio dapat diartikan sebagai proses memberikan badan atau proses membadankan. Dengan demikian, maa akhirnya corporatio itu berarti hasil pekerjaan membadankan atau dengan perkataan lain, korporasi merupakan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.” 5 Sutan Remi Sjahdeni menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupu melihat dalam artinya yang luas. Sutan Remi Sjahdeni menyatakan bahwa: “Menurut artinya yang sempit, yaitu badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum Ibid., Hal. 59. Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,
3 4
(Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991), Hal. 13. Ibid., Hal.12.
5
3
perdatalah yang mengakui eksistensi dari korporasi dan memberikanya suatu hidup untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui oleh hukum.” 6 Lalu pengertian luas korporasi dalam hukum pidana, Sutan Remy Sjahdeni mendefinisikan korporasi sebagai berikut: “Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum.” 7
Berdasarkan hukum pidana sebagai ius constituendum dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Buku I Tahun 2012 Pasal 182 yang menyatakan “Korporasi adalah sekumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. 8 Dengan demikian pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertian korporasi dalam hukum perdata, sebab korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau non badan hukum, sedangkan menurut hukum perdata korporasi mempunyai kedudukan sebagai badan hukum. 9
6
Sutan Remi Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006),
Hal. 43 Ibid., Hal. 45.
7
Lihat Rancangan KUHP Baru Buku I Tahun 2012. Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
8 9
2010), Hal. 32-33.
4
Perkembangan perundang-undangan khusus diluar KUHPidana, khususnya tentang subjek hukum pidana, yaitu korporasi
perumusannya lebih luas apabila
dibandingkan dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata, menurut hukum pidana pengertian korporasi bisa berbentuk badan hukum atau tidak. Misalnya dalam tindak pidana subversi dikatakan perserikatan orang adalah maatschap (Pasal 16, 18 dan seterusnya KUHPerdata), firma (Pasal 16 dan seterusnya KUHDagang), dan perseroan komanditer atau CV (Pasal 19 dan seterusnya dalam KUHDagang) merupakan badan usaha yang bukan badan hukum. 10 Di beberapa negara, badan usaha CV masih dimasukan kedalam kategori unincorporated business entity. 11 Sebagai perbandingan, CV dikategorikan sebagai bentuk perusahaan maatschap (persekutuan) di Belanda dan sejak tahun 2002, Pemerintah Belanda telah menyerahkan proposal perubahan peraturan hukum tentang persekutuan kepada Parlemen Belanda khususnya Bab 13 Buku ke 7 Kitab Undangundang Hukum Perdata. Dalam hal ini, Belanda melakukan suatu terobosan dengan memberikan pilihan kepada para pelaku usaha untuk mendirikan suatu persekutuan, termasuk CV, sebagai suatu badan hukum. Konsep badan hukum ini ditujukan secara khusus untuk membantu kejelasan status kepemilikan (interest) persekutuan. 12
Ibid., Hal. 34. Allen Sparkman, Choice of entity From an Estate Planning Perspective, Colorado Lawyer,
10 11
1999, Hal.1. 12 Yetty Komalasari Dewi,, Pemiikiran Baru Tentang Commanditaire Venootschap (CV), (Jakarta: BadanPenerbit FHUI, 2011), Hal. 11.
5
Badan usaha CV ternyata masih hidup dan berkembang di Indonesia khususnya bagi pelaku usaha kecil-menengah,
13
walaupun ketentuan-ketentuan
hukumnya masih merupakan produk peninggalan pemerintahan Belanda dan telah tersedia bentuk perusahaan lain seperti Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat dengan PT) yang dari sisi pengaturannya jelas memberikan kepastian hukum. Secara nasional, hal ini tercermin dalam Laporan Kumulatif Penerbitan Tanda Daftar Perusahaan Departemen Perdagangan sampai tahun 2013 yang menyatakan bahwa setidaknya terdapat 33.546 jumlah CV. 14 Data ini menunjukan jelas bahwa eksistensi CV sebagai sebuah badan usaha masih diakui oleh masyarakat pelaku usaha di Indonesia. Keberadaan CV dalam lalu lintas bisnis telah dikenal masyarakat, terutama masyarakat pengusaha, sebagai salah satu bentuk badan usaha. Dasar pengaturan CV terdapat dalam KUHD tidak diatur secara khusus/tersendiri sebagaimana persekutan firma dan persekutuan perdata (maatschap), ketentuan CV terdapat pada Pasal 19, 20, 21 dan Pasal 32 KUHD. Ketentuan Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 KUHD yang mengatur tentang Firma jika dikaji lebih jauh, jelaslah bahwa CV adalah Firma dengan bentuk khusus. Kekhususan itu terletak pada eksistensi sekutu komanditer yang tidak ada pada Firma. Firma hanya mempunyai sekutu aktif yang disebut
13
Lihat ketentuan mengenai Usaha Kecil Menengah dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha kecil Mikro, Kecil, dan Menengah. 14 Laporan Kumulatif Penerbitan Tanda Daftar Perusahaan, Direktorat Bina Usaha, Departemen Perdagangan Republik Indonesia Tahun 2014.
6
firmant, sedangkan pada CV selain ada sekutu aktif juga ada sekutu komanditer atau sekutu pasif (sleeping partner). 15 Bentuk badan usaha perseorangan seperti Usaha Dagang atau Perusahaan Dagang adalah bentuk yang paling tua, sederhana dan tumbuh berdasarkan hukum kebiasaan yang saat ini pendiriannya tidak memerlukan persyaratan formal seperti pendaftaran di institusi pemerintah tertentu. 16 Bentuk perusahaan dagang yang banyak diminati oleh pelaku usaha adalah bentuk Perseroan Terbatas (PT) 17, hal ini karena terdapatnya sifat pertanggungjawaban terbatas (limited liability) sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap resiko usaha yang dihadapi oleh pemegang saham maupun direksi dan komisaris. 18 Sedangkan beberapa alasan lainnya adalah proses pendirian PT yang saat ini relatif lebih mudah dengan diterapkannya Sistem Adminitrasi Badan Hukum atau Sisbakum (yang saat ini telah diganti dengan Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH)), status badan hukumnya yang jelas, atau keleluasaan untuk mengalihkan kepemilikan didalam perusahaan. 19 Akhir-akhir ini muncul kritikan bahwa perkembangan diterapkannya pertanggungjawaban pidana korporasi telah menyebabkan ketakutan bagi para direksi
15
Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1 Bagian Kedua, (Jakarta: Rajawali Pers,
1991), Hal. 102. 16 Hardijan Rusli, Badan Hukum dan Bentuk Perusahaan di Indonesia, (Jakarta: HUPERINDO, 1989), Hal. 17. Biasa disingkat dengan “PT”. Lihat pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun
17
2007 tentang Perseroan Terbatas. 18 Ibid, pasal 3 ayat (1), Pasal 97 ayat (5), Pasal 104 ayat (4), Pasal 114 ayat (5) dan Pasal 115 ayat (3). Yetti , Loc. Cit., Hal. 2-3.
19
7
perusahaan karena mereka dapat dijutuhi hukuman pidana dalam menjalankan usahanya. Para pakar ada yang berpendapat bahwa hukuman (pemidanaan) bagi korporasi adalah suatu kekeliruan atau sebuah kesalahan, pertanggungjawaban pidana tidak efesien dan harus dibatalkan cukup hanya menjatuhkan sanksi pidana dan meminta pertanggungjawaban kepada individu karyawan/pegawai korporasi dan agen korporasi. Akan tetapi, harus disadari bahwa korporasi bukan hanya sebagai suatu entitas fiksi belaka, namun perbuatan (usaha yang dilaksanakannya) sesuatu yang nyata dan dapat menyebabkan kerugian yang signifikan terhadap individu dan masyarakat luas. 20 Dalam melaksanakan kegiatannya, korporasi yang dalam tulisan ini adalah Commanditaire Vennootschap (CV) yang merupakan bagian dari masyarakat yang lebih luas perlu ikut memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi kepentingan hidup bersama dalam masyarakat. Beberapa peranan yang diharapkan terhadap korporasi dalam memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna tersebut dapat diwujudkan dalam kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup, kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat sekitar dan seterusnya akan menciptakan iklim yang lebih menerima perusahaan tersebut beserta produk-produknya. Peranan korporasi dalam memperhatikan dan membina kelestarian kemampuan sumber alam dan lingkungan hidup harus menyerasikan antara lingkungan hidup dengan
20
“Meminta
Pertanggungjawaban
Korporasi”,
http://alviprofdr.blogspot.com/2014/08/meminta-pertanggungjawaban-pidana.html, tanggal akses januari 2015.
5
8
pembangunan bukanlah hal yang mudah, sehingga perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. 21 Terjadinya
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan,
kebanyakan
dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering juga merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.
22
Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya, tentu lingkungan hidup perlu mendapatkan perlindungan hukum. 23 Hukum pidana mengenal asas Legalitas, Nullum Delictum Nulla Poene Sine Praevia Lege Poenali, yang artinya;” tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu.” 24 Dalam perkembangan pertanggungjawaban pidana di Indonesia, CV sebagai korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya, khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, ada perumusan yang dibentuk oleh undang-undang, yakni: 25 yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang. Rumusan ini dianut dalam KUHP (WvS); yang dapat melakukan tindak pidana Alvi Syahrin, Loc., Cit., Hal. 60. Baoed Wahono, Penegakan Hukum Lingkungan Melakui Ketentuan-ketentuan Hukum
21 22
Pidana, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1996), Hal. 42. Alvi Syahrin, Op.,Cit., Hal. 62.
23
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Jakarta: UI Press, 1958), hal. 192.
24
Ibid, Hal. 6.
25
9
adalah orang dan atau korporasi, tetapi yang dipertanggungjawabkan hanyalah orang. Dalam hal korporasi melakukan tindak pidana, maka yang dipertanggungjawabkan adalah pengurus korporasi. Rumusan seperti ini terlihat dalam Ordonansi Devisa, Undang-undang Penyelesaian Perburuhan, Undang-undang Pengawasan Perburuhan dan Peraturan Kecelakaan; dan yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan, adalah orang atau korporasi. Rumusan ini, terdapat dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Subversi, Narkotika dan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hukum pidana dapat memberikan sumbangan dalam perlindungan hukum bagi lingkungan hidup. Dari sudut pandang hukum lingkungan, kemungkinan mengatur masalah-masalah lingkungan hidup dengan bantuan hukum pidana sangat terbatas 26. Dalam hal kebijakan lingkungan, tidak dirumuskan dalam bentuk norma hukum, maka tidak dapat dilakukan penegakan hukum melalui pendayagunaan hukum pidana. Upaya penegakan melalui sarana hukum pidana lebih merupakan pelengkap daripada instrumen pengatur. 27 Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, berarti berbicara mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana memisahkan antara karakteristik perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang melakukan. George P. Fletcher secara lengkap menyatakan:
26
Alvi Syahrin, Asas-asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan :
Penerbit Pustaka Bangsa Press, 2002), Hal. 2-3. Alvi Syahrin, Op., Cit.
27
10
We distinguish between characteristics of the act (wrongful, criminal) and characteristics of the actor (insane, infant). Indeed, the Model Penal Code builds on this ditinction by defining insanity as a state of non responsibility involving, in part, the absence of “substantial capacity to apreciate the wrongfulness” of the criminal act. This definition would not be coherent unless the issue of responsibility were separable from the isuue of wrongfulness; if non-responsibile acts were nor wrongful, it would not make sense to say the insane actor did not appreciate the wrongfulness of his act 28. Terjemahan Bebas: Kita harus membedakan antara karakter dalam perbuatan (kesalahan, kriminal) dan karakter pelaku (jiwa, tubuh). Termasuk didalam Model Penal Code juga membuat perbedaan ini dengan mendefinisikan jiwa sebagai suatu keadaan yang tidak terlibat bertanggung jawab, termasuk ketiadaannya dalam kapasitas besar untuk mengapresiasikan kesalahan dari perbuatan kriminal. Definisi ini tidak bisa bersifat koheren kecuali masalah mengenai pertanggungjawaban dipisah dari kesalahan; jika perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan bukanlah kesalahan, hal ini tidak berarti bisa dikatakan jiwa pelaku tersebut tidak dinyatakan sebagai perbuatan tanpa kesalahan
Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang bersangkutan. Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban pidananya. 29 Hukum pidana pada saat sekarang ini seperti yang diketahui, pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan adalah si pembuat, walaupun tidak selalu demikian. Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu dibedakan, yakni mengenai hal melakukan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. 30
George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law, (Oxford University Press, 2000), Hal. 455.
28
Muladi dan Dwija Prayitno, Loc., Cit., Hal. 66-67.
29
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1986), Hal.69.
30
11
Berdasarkan hukum pidana, syarat atau prinsip utama untuk adanya pertanggungjawaban pidana adalah harus ada kesalahan dan pembuat harus mampu bertanggungjawab. Definisi kesalahan secara jelas diberikan oleh Remmelink sebagai pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat – yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu – terhadap manusia yang melakukan perilaku meyimpang yang sebenarnya dapat dihindari. 31 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mezger yang mengartikan kesalahan sebagai keseluruhan syarat yang memberi dasar pencelaan pribadi terhadap pelaku perbuatan pidana. 32 Berdasarkan adagium facianus quos inquinat aequat yang menyatakan bahwa kesalahan selalu melekat pada orang yang berbuat salah, maka kesalahan bertalian dengan dua hal, yaitu sifat dapat dicelanya (verwijtbaarheid) perbuatan dan sifat dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid) perbuatan yang melawan hukum. 33 Mengenai hal ini, Roeslan Saleh mengatakan bahwa unsur kesalahan tidak hanya kesengajaan atau kealpaan, tetapi juga kemampuan bertanggung jawab. 34 Sedangkan Sudarto mengatakan bahwa
31
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 390. 32 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), Hal. 88. 33
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2014), Hal. 123. 34 Hatrik Hamzah, Strict Liability dan Vicarious Liability: asas pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1966), Hal.7. dikutip dari Roeslan Saleh, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), Hal.114.
12
disamping mampu bertanggung jawab, kesalahan dan melawan hukum sebagai syarat pengenaan pidana adalah pembahayaan masyarakat oleh si pembuat. 35 Pertanggungjawaban pidana suatu badan usaha dalam kasus lingkungan hidup, diatur dalam Pasal 116 UUPPLH yang berbunyi: 36 1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. Badan usaha; dan/atau b. Orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana pidana tersebut. 2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksudkan dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Pengaturan dalam Pasal 116 UUPPLH yang meliputi baik badan usaha yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Dalam hal ini CV adalah
Ibid., dikutip dari Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, dalam BPHN,
35
Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Binacipta, 1987), Hal. 77. Pasal 116 UU No.32 Tahun 2009 tentang UUPPLH
36
13
badan usaha yang bukan berbadan hukum. 37 Sebagaimana dalam putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi No: 410/Pid.B/2012/PN.Bwi. tentang tindak pidana “Dumping limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin” oleh sekutu CV Pasific Harvest yang berdasarkan Akta No.34 Tanggal 20 Agustus 2008 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Pesero Serta Anggaran Dasar CV Pasifik Harvest yang sudah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi dan Surat Kuasa tangggal 20 Agustus 2008 tentang Sdr. Sunarno selaku Manager CV Pasifik Harvest
bertanggung jawab
terhadap seluruh aktivitas Perusahaan yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi. Pada tanggal 15 Maret 2011, terdakwa Sunarno selaku Direktur CV Pasific Harvest bertindak untuk dan atas nama CV Pasific Harvest melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan, dan perbuatan tersebut dilakukan dengan membuang limbah cair tanpa izin yang sah tanpa melalui proses IPAL yang benar dan melebihi baku mutu yang berasal dari proses produksi CV yang keluar dari seluruh pembuangan luar dan dalam yang kemudian menuju Sungai Traras yang bermuara ke Perairan Selat Bali, serta karakteristik air limbah industri yang dibuang melalui saluran pembuangan atau outlet adalah berupa cairan, berwarna kemerah-merahan (darah ikan), licin dan berbau amis seperti bau khas ikan dan juga terdapat sisa-sisa potongan ikan yang ikut terlarut. Berdasarkan Sertifikat Pengujian
37
“Penerapan Pasal 116 UUPPLH Terhadap Badan Usaha Berbentuk Persekutuan Komanditer
(Cv)”,
http://alviprofdr.blogspot.com/2013/06/penerapan-pasal-116-uupplh-terhadap.html,
akses 5 Januari 2015.
tanggal
14
No.237 S/LKA-MJK/III/11 tanggal 25 Maret 2011 menyebutkan bahwa air limbah industry CV Pasific Harvest terdapat beberapa parameter yang hasil ujinya melebihi baku mutu dan dengan kesimpulan hasil analisa parameter tersebut tidak memenihi Standar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.06 Tahun 2007. Akhirnya berdasarkan surat peringatan I yang diberikan Bupati Banyuwangi No: 660/025/429.023/2006 tanggal 16 Januari 2006, Surat Peringatan Perbaikan Pengelolaan Lingkungan dari Sekda Banyuwangi No: 660/5858/429.023/2008 tanggal 15 Agustus 2008 kepada CV Pasific Harvest, terdakwa selaku Direktur CV Pasific Harvest sudah mengetahui kewajiban untuk mengelolah limbah air tersebut, namun kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, serta pengelolahan limbahnya melebihi ambang batas baku mutu yang ditentukan dan proses pembuangan limbah industri CV Pasific Harvest yang dibuang ke media lingkungan tanpa melalui proses pengelolaan IPAL yang benar. Sehingga melalui perbuatan terdakwa tersebut melanggar ketentuan sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 100 ayat (1) UURI No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan terbuktinya secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dumping limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin”, Pengadilan Negeri Banyuwangi mengadili dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa Sunarno selaku Manager CV Pasific Harvest yang bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas Perusahaan. 38
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi No. 410/Pid.B/2012/PN.Bwi (2012).
38
15
Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH, pertanggungjawaban pidana badan usaha dapat dimintakan kepada badan usaha, dan atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Kemudian Pasal 116 ayat (2) UUPPLH menetapkan bahwa: “Apabila tindak pidana dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam ruang lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.” 39 Memperhatikan ketentuan pasal 67 UUPPLH dan Pasal 68 UUPPLH yang menetapkan: “kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup” dan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup, dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”, dan ketentuan Pasal 116 UUPPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dibidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan usaha dan para pengurusnya secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. 40
Alvi Syahrin, Loc., Cit., Hal. 64.
39
Ibid., Hal. 72-73.
40
16
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang ini meskipun mengatur tentang alasan penghapusan pidana, akan tetapi KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang makna dari alasan penghapusan pidana. Pengertiannya hanya dapat ditelusuri melalui sejarah pembentukan KUHP (WvS Belanda). Menurut sejarahnya yaitu melalui M.v.T (Memorie van Toelichting) mengenai alasan penghapusan pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”. Hal ini berdasarkan pada dua alasan, yaitu: 41 1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang tersebut, dan 2. Alasan tidak dapat dipertangungjawabkannya seseorang yang terletak di luar dari diri orang tersebut. Selain penghapusan pidana yang dibedakan menjadi alasan pembenar – alasan pemaaf dan alasan yang berada dalam diri pelaku – alasan yang berada di luar diri pelaku, pembagian alasan penghapus pidana lainnya adalah alasan penghapus pidana umum dan alasan penghapus pidana khusus. Alasan penghapus pidana yang umum adalah alasan penghapus pidana yang terdapat baik didalam KUHP maupun diluar KUHP. 42 Fletcher menyatakan bahwa dalam alasan pembenar, perbuatan pelaku telah memenuhi ketentuan larangan sebagaimana diatur didalam undang-undang, namun Hamdan, Alasan Penghapus Pidana, (Bandung: Refika Aditama, 2012), Hal.27-28.
41
Eddy O.S. Hiariej, Op., Cit., Hal.210.
42
17
masih dipertanyakan apakah perbuatan tersebut dapat dibenarkan ataukah tidak; dalam alasan pemaaf, perbuatan salah, akan tetapi masih dipertanyakan apakah pelaku dapat dipertanggungjawabkan ataukah tidak. Alasan pembenar membicarakan tentang kebenaran dari suatu perbuatan; alasan pemaaf mempertanyakan apakah pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya yang salah. 43 Dalam kaitannya dengan alasan penghapus pidana yang pada hakikatnya adalah alasan penghapus pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa alasan pembenar menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan, sedangkan alasan pemaaf menghapuskan elemen dapat dicelanya pelaku. Alasan penghapus pidana dalam konteks alasan pembenar dan alasan pemaaf memiliki arti penting dalam kaitannya dengan delik penyertaan. Jika dua orang atau lebih melakukan suatu perbuatan pidana dan salah seorang dilepaskan dari tanggung jawab pidana karena terdapat alasan pembenar, maka semua pelaku peserta lainnya juga harus dibebaskan. Sebaliknya, jika dua orang atau lebih melakukan suatu perbuatan pidana dan salah seorang dilepaskan dari tanggung jawab pidana karena alasan pemaaf, maka tidak serta merta pelaku lainnya juga dilepaskan karena alasan pemaaf. Artinya, alasan pemaaf ini lebih bersifat individual pada diri pelaku. 44 B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
Ibid., Hal. 209.
43
Ibid.
44
18
1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi Commanditaire Venootschap dibidang lingkungan hidup? 2. Bagaimana alasan pemaaf terhadap pertanggungjawaban Commanditaire Venootschap dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup? C. Tujuan Penelitian Terkait dengan judul dan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini yang menitikberatkan pertanggungjawaban pidana badan usaha berbentuk CV (Commanditaire Vennootschap) dalam perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk
mengetahui
dan
menjelaskan
pertanggungjawaban
pidana
bagi
Commandiatire Venootschap dibidang lingkungan hidup. 2. Untuk mengetahui serta menjelaskan mengenai alasan pemaaf terhadap pertanggungjawaban Commanditaire Venootschap dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. D. Maanfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat yang baik yang bersifat praktis maupun teoritis. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada. Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman akademisi dibidang ilmu hukum,
19
khususnya hukum pidana dan hukum bisnis, serta menambah khasanah kajian dibidang lingkungan hidup. Manfaat dari segi praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembuat kebijakan dalam memformulasikan pertanggungjawaban pidana bagi Commanditaire Venootschaps dalam hal perlingungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bagi aparat penegak hukum diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dalam menentukan kebijakan serta langkah-langkah penanganan dan penyelesaian perkara-perkara yang berkaitan dengan Commanditaire Venootschap. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan
Universitas
Sumatera
Utara,
bahwa
penelitian
mengenai
“Pertanggungjawaban Pidana Badan Usaha Berbentuk CV (Commanditaire Venootschap) Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh mahasiswa terdahulu yang berkaitan dengan pertanggungjawaban badan usaha dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, antara lain: 1. Penelitian
thesis
oleh
Zairida
pada
tahun
2005
dengan
judul
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup (studi kasus pencemaran sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang).
20
2. Penelitian thesis oleh Barus Kariawan pada tahun 2011 dengan judul Analisis Yuridis Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Walaupun telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana ataupun tindak pidana lingkungan hidup, namun aspek yang dibahas berbeda. Maka penelitian ini dapat dikatagorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa
keilmuan,
kejujuran,
rasional,
objektif,
terbuka
dan
dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis. F. Kerangka Teori dan Landasan Konseptual 1.
Kerangka Teori Commanditaire Venootschap atau CV adalah suatu bentuk badan usaha yang
cukup banyak dan populer dalam masyarakat Indonesia. Jumlahnya mencapai puluhan ribu perusahaan. Bentuk usaha ini bermula diformulasikan kembali dalam kodifikasi Napoleon Code yang mengangkatnya dari bentuk badan usaha abad pertengahan di Eropa, Napoleon Bonaparte menguasai Eropa termasuk Negeri Belanda. Berdasarkan asas Konkordasi Hukum Belanda kemudian berlaku di Hindia Belanda.
21
Penelitian ini menggunakan teori principal agent relationship 45 yang mengkaji hubungan hukum antara dua jenis sekutu dalam CV, yakni sekutu pengurus yang sangat mengetahui jalannya badan usaha dan sekutu komanditer yang tidak terlalu mengetahui jalannya badan usaha. Hal ini yang memperbesar terjadinya kecenderungan penyalahgunaan kewenangan (moral hazard) yang dilakukan oleh sekutu pengurus terhadap jalannya perusahaan. Dalam Hukum Indonesia, hubungan principal-agent relationship ini diatur didalam Pasal 1792 KUHPerdata tentang Hubungan Pemberian Kuasa dan kemudian diatur khusus dalam Pasal 76 KUHD tentang Komisioner dalam hal perusahaan. Pasal
76
KUHD
mendefinisikan
komisioner
sebagai
seseorang
yang
menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup persetujuan atas nama atau firma itu sendiri, namun dengan amanat dan tanggungan orang lain dan dengan menerima upahan atau provisi tertentu. Hubungan principal-agent relationship dalam pertanggungjawaban sekutusekutu
dalam
badan
usaha
berbentuk
CV
dapat
dilihat
bagaimana
pertanggungjawaban para sekutu dalam CV (sekutu komanditer dan sekutu kompelementer) apabila dalam kegiatannya dalam menjalankan usahanya, terjadi Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Fifth Edition, (New York: Aspen Law &
45
Bussiness, 1998), Hal.25. Lihat juga Eric A. Posner, Agency Models in Law and Economics, Chicago Lectures in Law and Economics, (New York: Foundation Press, 2000), Hal.225. menyebutkan bahwa Agency Relationship juga dapat diartikan sebagai perjanjian dimana satu pihak (principal) meminta pihak lain (agent) untuk melakukan suatu jasa tertentu atas nama principal dengan menyerahkan kewenangan pengambilan keputusan kepada agent. (Agency relationship as a contract under which one or more person (principlas) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent).
22
tindak pidana dibidang lingkungan hidup, maka dapat diidentifikasikan bagaimana pertanggungjawaban bagi para sekutu dalam CV itu. Hal ini dikarenakan didalam CV, sekutu dapat menyerahkan inbreng berupa modal, tenaga dan kerajinan maupun dengan pikiran, dan apabila sekutu dalam CV lalai menjalankan kewajibannya, maka sekutu tersebut harus bertanggungjawab dan mengganti kerugian yang diderita persekutuan akibat kelalaiannya. 46 Serta pertanggungjawaban pidana badan usaha dapat dimintakan kepada badan usaha, dan orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. 47 Dalam hal ini, maka sekutu komanditerlah yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun sekutu komanditer hanya dapat dimintai pertanggungjawabannya sebatas ganti rugi terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang terjadi dalam tindakan badan usaha tersebut. Sekutu komplementer dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindak pidana tersebut sebagai orang yang menjalankan badan usaha tersebut. Mengingat asas “tiada pertanggungjawaban
pidana
tanpa
kesalahan”,
maka
pembuat
dapat
dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. 48 Pertanggungjawaban pidana korporasi didasarkan kepada doktrin respondeat superior, suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan. Hanya agen-agen yang bertindak untuk dan atas nama korporasi Lihat Pasal 19 ayat (2) jo. Pasal 16 KUHD jo. Pasal 1647 KUHPerdata.
46
Alvi Syahrin, Loc., Cit., Hal.64.
47 48
Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2013), Hal. 97.
23
saja yang dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan, 49 sebagaimana dalam CV adalah sekutu komplementer. Dalam Konsep Rancangan KUHP 2012, korporasi diatur didalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 53. Berdasarkan Pasal 47, korporasi merupakan subjek tindak pidana, sedangkan dalam Pasal 48 Konsep Rancangan KUHP tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Pasal 49 Konsep Rancangan KUHP menyatakan bahwa jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Adapun didalam Pasal 50 Konsep Rancangan KUHP menyatakan bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usaha sebagaimana dalam anggaran dasar atau ketentuan lain. 50 Pertanggungjawaban pidana suatu badan usaha dalam kasus lingkungan hidup diatur didalam Pasal 116 UUPPLH. Pada Pasal 116 UUPPLH menyebutkan apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. Badan usaha; dan/atau Ibid., Hal. 100.
49
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op., Cit., Hal. 51-52.
50
24
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. dan dalam pasal 118 UUPPLH menyebutkan : Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a UUPPLH, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha dalam hal ini adalah CV yang diwakilkan oleh pengurus yang didalam CV adalah para sekutu komanditer dan sekutu komplementar yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) UUPPLH ini, pertanggungjawaban pidana badan usaha dapat dimintakan kepada badan usaha, dan atau orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. 51 Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi yang berbentuk CV ini dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsionalis dalam struktur organisasi korporasi. Sedangkan didalam Pasal 53 Rancangan KUHP 2012 menyatakan bahwa alasan pemaaf yang diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi. 52
Alvi Syahrin, Op., Cit., Hal. 64.
51
Muladi dan Dwidja Priyatno, Loc., Cit. Hal.51.
52
25
2.
Konsep Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan
dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk dijelaskan beberapa kerangka konseptual sebagaimana yang terdapat dibawah ini. a. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendallian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. 53 b. Persekutuan komanditer adalah perseroan yang terbentuk dengan cara meminjamkan uang atau disebut juga dengan perseroan komanditer, didirikan antara seorang atau antara beberapa orang persero yang bertanggungjawab secara tanggung-renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang atau lebih sebagai pemberi pinjaman uang 54 , bandingkan dengan pengertian Limited Partnership menurut Black Law’s Dictionary sebagai “a partnership composed of one or more persons who control the business and are personally liable for the partneship’s debts (called general partner), and one or more persons who contribute capital and share profits but who cannot manage the business and are liable only for the amount of their contribution (called limited partners)”. 55
Lihat Pasal 1 ayat (2) UUPPLH.
53
Lihat Pasal 19 KUHD.
54
Bryan A. Garner, Black Law’s Dictionary, 7th Ed. (St. Paul, Minn: West Group, 1999).
55
26
c. Pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan perbuatannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiawaanya itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya. d. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa. Alasan pemaaf ini menyangkut pribadi pelaku dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela menurut hukum, dengan kata lain ia tidak bersalah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum 56 e. Perusahaan diartikan sebagai bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia. f. Sekutu pengurus, sekutu komplementer, atau sekutu aktif adalah sekutu yang melakukan pengurusan terhadap persekutuan dan bertanggung jawab sampai harta pribadi (tidak terbatas) terhadap seluruh utang dan kerugian perusahaan. 57 g. Sekutu komanditer, sekutu pasif atau sekutu pelepas uang adalah sekutu yang hanya memasukan atau memberikan modal berupa uang atau barang dan memiliki tanggung jawab terbatas sejumlah modal yang diberikannya kepada persekutuan (tanggung jawab terbatas). 58
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), Hal. 139.
56
Lihat Pasal 19 ayat (1) jo. Pasal 18 KUHD.
57
Lihat Pasal 19 ayat (1) jo. Pasal 20 KUHD.
58
27
G. Metode Penelitian 1.
Spesifikasi dan Sifat Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum/normatif, yakni
suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya. 59 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). 60 Penelitian ini dilakukan dengan mengolah dan menggunakan
data-data
“Pertanggungjawaban
sekunder
Pidana
Badan
yang
berkaitan
Usaha
Berbentuk
dengan CV
masalah
(Commanditer
Vennootschap) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Sifat penelitian ini adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). 61 Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan utama dalam penelitian ini, karena yang menjadi pusat perhatian utama dalam penelitian ini adalah kebijakan dalam menetapkan dan merumuskan pertanggungjawaban badan usaha CV dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, penelitian ini 59
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2011), Hal.57. 60 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hal. 34. Bandingkan dengan Johny Ibrahim, Op. Cit., Hal 302 dan Mukti Fajar ND dan Yulianto
61
Achmad, Op. Cit., Hal. 185.
28
menitikberatkan kepada peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan kegunaan dari metode penelitian hukum/normatif, yaitu untuk mengetahui dan mengenal apakah dan bagaimanakan hukum positifnya mengenai suatu masalah tertentu. 62 2.
Sumber Bahan Hukum Penelitian ini didasarkan pada bahan hukum yang bersumber dari tulisan-tulisan
yang berkaitan dengan tesis ini. Adapun sumber bahan hukum yang dimaksud, diperoleh dari: a. Bahan hukum primer, yaitu berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, risalah resmi, dan dokumen resmi negara yang terkait dengan pelanggaran korporasi terutama pelanggaran terhadap tindakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh CV. Dalam penelitian ini diantaranya adalah UUPPLH, KUHP, KUH Perdata dan KUHD. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat digunakan untuk menganalisa dan memahami bahan hukum primer yang ada, seperti buku-buku, jurnal-jurnal hukum, hasil penelitian, karya tulis ilmiah, beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan penelitian tesis ini.
62
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke 20, (Bandung:
Alumni, 1994), Hal.140.
29
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, serta bahan-bahan primer, seperti kamus hukum. 3.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan teknik
penelitian kepustakaan (library research). Teknik penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum melalui studi kepustakaan terhadap undangundang, literatur-literatur, serta tulisan-tulisan pakar hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh dengan menggunakan penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel, kemudian diuraikan dan dihubungkan sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis, guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. 4.
Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah diperoleh selanjutnya akan disusun dan dianalisis
secara kualitatif, yakni dengan cara pemilihan teori-teori, asas-asas, juga dengan analisis konten dengan melakukan penafsiran terhadap norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal didalam undang-undang yang relavan dengan permasalahan. Selanjutnya bahan hukum dikelola dengan deskriptif-analisis, yaitu dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap masalah yang konkret yang dihadapi, selanjutnya bahan hukum yang dianalisis untuk melihat pola kecendrungan dalam penanganan pertanggungjawaban CV dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sehingga kemudian dapat menjadi dasar acuan dan pertimbangan
30
hukum dalam penyusunan perundang-undangan badan usaha dan lingkungan hidup secara tepat. H. Sistematika Penulisan Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan tesis ini, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan tesis ini adalah: BAB I
:PENDAHULUAN Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang didalamnya terurai mengenai latar belakang penelitian tesis, perumusan masalah, kemudia dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, kerangka teori dan landasan konseptual, metode penelitian, yang diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II
:COMMANDITER VENNOOTSCHAP (CV) SEBAGAI BADAN USAHA Dalam bab ini menguraikan tinjauan umum tentang Comanditaire Vennootschap,
dan
juga
menguraikan
tentang
commanditaire
vennootschap sebagai badan usaha. BAB III
:KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP
SEBAGAI
BADAN
USAHA
TERHADAP
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
31
Pada bab ini menguraikan mengenai kewajiban sekutu complementer dan sekutu commanditer. Bagaimana tanggung jawab sekutu complementer dan sekutu commanditer, dan bagaimana kewajiban dan dan tanggung jawab CV sebagai badan usaha terhadap perlinduungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta menguraikan bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi commanditaire vennootschap di bidang lingkungan hidup. BAB IV
:ALASAN
PENGHAPUS
VENNOOTSCHAP
PIDANA
DALAM
COMMANDITAIRE
PERLINDUNGAN
DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Bab ini menjelaskan bagaimana alasan penghapus pidana bagi pertanggungjawaban
commanditaire
vennootshap,
dan
juga
menguraikan bagaimana alasan pembenar dan pemaaf dalam pertanggungjawaban commanditer vennootschap dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. BAB V
:KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan juga saran-saran yang berguna bagi penyelesaian
permasalahan
pertanggungjawaban
pidana
yang badan
berkaitan usaha
dengan
berbentuk
CV
(Commanditaire Vennootschap) dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.