BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Konflik antara Indonesia dengan Malaysia pada dasarnya pernah terjadi pada awal terbentuknya Negara Federasi Malaysia, hal ini disebabkan oleh keinginan Inggris untuk menggabungkan Singapura, Brunei, Serawak, dan Britania Borneo Utara (Sabah). Keinginan Inggris tersebut diartikan lain oleh presiden Soekarno, menurutnya pembentukan Malaysia hanyalah akal-akalan Inggris
untuk
melanggengkan
kekuasaan
di
Asia
Tenggara.
Soekarno
menganggap ini sebagai bentuk baru dari penjajahan yang dilakukan oleh negara penjajah terhadap koloninya (neokolonialisme).Terlebih lagi saat itu Malaysia tergabung dalam Anglo-American Defense Cooperation sebagai upaya untuk menghadapi ancaman komunis di Asia Tenggara.1 Berbeda pendapat yang diutarakan oleh Soekarno, para petinggi Malaysia menganggap pembentukan Negara Federasi Malaysia sebagai tahap peningkatan bagi kelangsungan Negara Malaysia. Sehingga, dalam pelaksanaanya tidak perlu ada campur tangan pihak luar. 2 Hal ini didukung penuh oleh warga Malaysia, yang tidak menginginkan gagalnya negara Malaysia. Warga Malaysia melakukan protes di depan kedutaan Indonesia yang berakhir dengan kejadian anarkis. Kejadian tersebut ditanggapi oleh pemerintah Indonesia sebagai sebuah 1
Bambang Cipto, "Hubungan Internasional di Asia Tenggara", Pustaka pelajar, Yogyakarta: 2007, hal. 127 2 “Hubungan Bilateral Indonesia-Malaysia”, http://www.indonesianvoice.com200804episodehubungan-indonesia-malaysia-html. Diakses pada 20 Maret 2008.
1
bentuk penghinaan, sehingga pada tanggal 20 Januari 1963 melalui Menteri Luar Negeri-nya, Indonesia menyatakan secara tegas bahwa Malaysia merupakan musuh. Tidak hanya sampai di situ, Presiden Soekarno juga memberikan maklumat
kepada
bangsa
Indonesia
untuk
secara
bersama-sama
mengganyang Malaysia. 3Titik puncak dari perselisihan kedua negara inilah yang disebut sebagai era konfrontasi, yang ditandai dengan putusnya hubungan diplomatik kedua negara. Konfrontasi yang dimulai oleh Soekarno ini berakhir seiring dengan berakhirnya kekuasaan Soekarno di Indonesia.Tahun 1965 terjadi upaya kudeta di Jakarta yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan Soekarno.Soeharto kemudian menggantikan Soekarno, dan kemudian mengembalikan hubungan kedua negara seperti keadaan sebelum ada konfrontasi. Soeharto secara resmi membuka hubungan diplomatik kedua negara pada akhir Agustus tahun 1967.4 Hubungan ini terus membaik, hal ini ditunjukan ketika Malaysia melakukan perbaikan pada sistem pendidikan di tahun 1970, Malaysia meminta bantuan kepada Indonesia untuk mengirimkan guru ke Malaysia.5Malaysia juga mengirimkan para pelajar dan mahasiswa untuk menimba ilmu di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa hubungan kedua negara telah membaik pasta era konfrontasi.6 Hubungan baik yang dijalin oleh kedua negara memiliki tujuan agar kedua
3
Ibid. Michael Leifer, "Politik Luar Negeri Indonesia", PT Gramedia, Jakarta: 1986. hal.177. 5 Joseph Cinyong Liow, "The Politics of Indonesia-Malaysia Relations: One Kin. Two Nations", Roeutledge Curzon, New York: 2004, hal.157. 6 Leo Suryadinata,"Indonesia's Foreign Policy Under Soeharto Aspiring To International Leadership", Times Academy Press, Singapore: 1996, hal.169. 4
2
bangsa menjalin persaudaraan seperti pada zaman pra-kolonial, dengan sebuah terminologi "berkampung" yang artinya hidup bersama dalam sebuah wilayah tertentu, menetapkan diplomasi "serumpun" sebagai sebuah upaya menjalin persaudaraan, serta menerapkan prinsip "musyawarah untuk mufakat" sebagai sebuah upaya damai dalam mengatasi persoalan yang terjadi diantara kedua negara.7 Perjalanan hubungan bilateral yang dibangun oleh kedua negara tidaklah sepenuhnya lancar, hal ini ditunjukan oleh banyaknya persoalan yang terjadi, baik yang bersifat persoalan baru maupun persoalan lama. Persoalan-persoalan tersebut meliputi masalah perbatasan, migrasi penduduk, illegal logging, dan juga masalah-masalah lain yang kemudian dapat memicu ketegangan diantara kedua negara. Kasus Sipadan dan Ligitan merupakan masalah yang muncul sejak tahun 1961, sebelum Malaysia merdeka. Pada saat itu, Indonesia mengklaimperairan di sekitar Pulau Sipadan dan Ligitan, kemudian Indonesia juga memberikan konsesi pengeboran minyak kepada beberapa perusahaan asing termasuk Shell.
8
Konfrontasi yang terjadi antara Indonesia-Malaysia pada tahun 1963-1965 telah mengaburkan masalah kedua Pulau tersebut. Sehingga Pada tahun 1969 tim teknis Indonesia Malaysia melakukan pembicaraan terhadap batas dasar laut antara kedua Negara. Di peta Malaysia terlihat bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Indonesia, akan tetapi pada lampiran peraturan pemerintah
7
Joseph Cinyong Liow, Opcit. “DPR: Lawan Malaysia”, http://www.osdir.com.mlculture.region.indonesia200503msg00284.html. Diakses 25 Oktober 2008. 8
3
Indonesia PERPU No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja tim teknis Indonesia tidak tertera dua pulau tersebut. Kedua negara akhirnya sepakat untuk menjadikan status kedua pulau tersebut menjadi status quo. 9 Penetapan status quo disetujui oleh Malaysia karena melihat posisi Indonesia yang lebih kuat saat itu, dan juga kondisi dalam negeri Malaysia sedang dalam keadaan krisis politik antar etnis.10 Pada tahun 1979 pemerintah Malaysia secara resmi mengeluarkan peta wilayahnya, dalam peta tersebut Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Malaysia. Selain itu, pemerintah Malaysia juga membangun kawasan wisata di kedua pulau tersebut. 11 Hal ini menimbulkan protes dari pihak Indonesia, pada tanggal 26 Maret 1980 Presiden Soeharto bertemu dengan PM Dato' Hussein Onn di kuantan Malaysia, pertemuan itu tidak menghasilkan keputusan yang signifikan dalam penyelesaian kasus kedua pulau tersebut. Forum-forum ASEAN juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan tersebut.12 Permasalahan tersebut berlangsung berlarut-larut, tahun 1989 Presiden Soeharto bertemu dengan PM Mahattir Mohammad di Yogyakarta. Pertemuan tersebut juga tidak menghasilkan keputusan yang berarti, karena keduanya tetap tidak dapat mengambil keputusan yang baku mengenai Pulau tersebut. Malaysia memperoleh keuntungan besar dari berlarut- larutnya masalah ini, hal ini terlihat dari terus berkembangnya kawasan wisata yang dibangun di kedua pulau tersebut.
9
“Implementasi Strategi Pertahanan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Timur dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI” http://www.buletinlitbang.dephan.go.id.index.aspmnorutisi=6&vnomor=IO.html. Diakses 28 Oktober 2008 10 Bambang Cipto, Opcit. hal.122. 11 http://www.3.itu.intmissions.indonesiapresspr020603sipadan. htrnl. Diakses 23 Oktober 2008 12 http://www.fisip-pemerintahanunila.ac.id.index.phpoption=com.articles&task=viewarticle&artid =18<emid=66. Html diakses 20 Oktober 2008
4
Selain itu, Malaysia juga membangun pulau buatan di sekitar Pulau Sipadan dan Ligitan.13 Tahun 1998 merupakan puncak dari penanganan sengketa kedua pulau tersebut. Karena senior official meeting, joint commission meeting dan join working group yang dibuat oleh kedua pihak berkesimpulan bahwa sengketa mengenai kedua pulau ini sulit untuk diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral, kedua pihak kemudian sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangani " Special Agreement for the submission to the International Court of Justice on the Dispute Between Indonesia and Malaysia Concerning the Sovereignty Over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan" di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997. Special Agreement ini disampaikan kepada Mahkamah Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint Letter.14 Upaya-upaya yang dilakukan oleh Malaysia untuk memenangkan kedua pulau tersebut sangat kompleks, mulai dari pengkajian sejarah kedua pulau tersebut, sampai pada pengelolaan kedua pulau tersebut sebagai sebuah kawasan wisata. Pengelolaan pulau yang dilakukan oleh Malaysia dianggap Indonesia sebagai sebuah tindakan okupasi, karena Malaysia dianggap melanggar perjanjian 1969. Satu hal yang perlu dicatat adalah Malaysia berhasil memanfaatkan kelemahan Indonesia dalam hal diplomasi dan pengawasan terhadap pulau tersebut, yang pada akhirnya membawa Malaysia pada kemenangan dalam keputusan Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002 dengan kemenangan 13
http://www.sinarharapan.co. id/berita021217sh03.htrn1. diakses 11 juni 2008.
14
http//:www.3.itu.intmissions.indonesiapresspr020603sipadan.html. diakses 23 juli 2008.
5
16:1 dan berhasil memperoleh pengakuan bahwa kedua pulau tersebut milik Malaysia.15 Tak lama berselang dari kemenangan Malaysia atas Sipadan dan ligitan, tahun 2005 pemerintah Malaysia kembali bermasalah dengan pemerintah Indonesia. Kali ini penyebab ketegangan timbul di kawasan perairan Ambalat, perairan yang diduga memiliki kandungan minyak yang sangat besar.Hal ini dipicu oleh pemberian konsesi minyak oleh pemerintah Malaysia kepada Shell untuk melakukan eksplorasi di kawasan ND6 dan ND7 (menurut Malaysia).16 Di sisi lain, Indonesia juga telah memberikan konsesi kepada ENI (perusahaan minyak Italia) dan juga kepada Unocal milik Amerika Serikat.17 Klaim Malaysia atas Ambalat merupakan hal yang wajar, karena kedua negara mernang belurn menvenakati nerbatasan yang merupakan landasan kontinen bawah taut. Potensi sumber daya alam yang terdapat di perairan tersebut merupakan pemicu munculnya keinginan Malaysia untuk secepatnya dapat mengelola sumber daya tersebut. Kedua negara terlibat dalam posisi yang sangat menegangkan, dimana kedua negara telah menyiapkan pasukan masing-masing di wilayah tersebut. Bahkan presiden Indonesia saat itu turun langsung untuk melihat persiapan pasukan di lapangan. Overlapping klaim area yang terjadi antara kedua negara dalam masalah perairan Ambalat disebabkan oleh adanya perbedaan pemahaman terhadap isi konvensi hukum laut internasional tahun 1992 (UNCLOS). Baik Malaysia 16http//:www.fisip-pemerintahanunila.ac.id.index.phpoption=com_articles&task=viewarticle&arti
d=18<emid=66.Html. Opcit. http//:www.sinarharapan.co.id/berita050321shOI.html. diakses 5 juni 2008. 17 Dina Sunyowati dan Enny Narwati "Penetapan dan Penataan Balas Wilayah Laut Negara Kesatuan Republik Indonesia", Modul Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 16
6
maupun Indonesia sama-sama menerapkan aturan yang sama dalam menentukan batas lautnya yaitu menarik garis pangkal sepanjang 12 mil dan kemudian zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil dari garis pangkal tersebut, padahal dalam ketentuan UNCLOS keduanya memiliki posisi yang berbeda, dimana Malaysia merupakan continental state, sedangkan Indonesia merupakan archipelago state.18 Tumpang tindih klaim perbatasan juga terjadi pada daerah Karang Unarang.Hal ini disebabkan oleh jatuhnya Sipadan dan Ligitan ditangan Malaysia. Pada dasarnya jika merujuk pada unclos 1982, hal ini tidak akan terjadi. Karena Karang Unarang merupakan pulau timbul tenggelam (low tide elevation) yang secara jelas adalah milik Indonesia. Hal ini diperkuat oleh pasal 47 ayat 4 perjanjian UNCLOS 1982, dimana Karang Unarang terletak pada jarak 8 mil dari perbatasan Kalimantan Timur, serta melebihi 12 mil dari jangkauan Pantai Sabah maupun pulau Sipadan. 19 Masalah lain yang rnenyababkan konflik Malaysia Indonesia adalah masalah hutan, yang meliputi kebakaran hutan dan ilegal logging. Kebakaran hutan Indonesia sudah menjadi masalah bagi kawasan Asia Tenggara, termasuk salah satunya adalah dengan Malaysia. Hal ini pertama kali menjadi masalah pada tahun tahun 1997 dengan rentan waktu April- November. Kebakaran hutan kali ini merupakan yang terparah, karena terjadi di hampir semua pulau-pulau besar di Indonesia, seperti: Kalimantan, Sumatra, Jawa, Irian Jaya, Sulawesi serta Komodo, Sumba dan Flores. Kebakaran ini membakar sekitar 2-3% hutan di Indonesia.20
18
”Ambalat, Buntut Sipadan-Ligitan”, Suara Merdeka, 15 Maret 2005. Dina Sunyowati dan Enny Narwati, Opcit. 20 Narayan Sastry,”Forest Fires, Air Pollutions, and Mortality in South East Asia”, Demography, vol.39 No.1,Februari 2002, hal.1-2 19
7
Besarnya kebakaran yang muncul secara otomatis menimbulkan asap yang luar biasa banyak. Hal inilah yang menyebabkan konflik di kawasan Asia Tenggara, terutama Malaysia yang berbatasan langsung dengan Indonesia, yaitu di pulau Kalimantan. Banyaknya asap menimbulkan kabut tebal di negara lain, yang berakibat terganggunya sistem transportasi dan juga pada kesehatan masyarakat. Kebakaran hutan di Indonesia terus saja menjadi masalah, karena setiap tahun kejadian ini terus saja berulang, yang disebabkan oleh pembukaan lahan baru oleh petani dengan cara membakar hutan.21 Pembalakan liar yang terjadi di Indonesia merupakan pennghancuran hutan secara besar-besaran, karena laju perusakan hutan di Indonesia sudah mencapai 2,8 juta hektar per tahun (periode 1997-2000). 22 Dan diperkirakan kerugian Indonesia akibat penyelundupan kayu tersebut mencapai Rp. 30,4 triliun pertahun. Malaysia merupakan tersangka utama dalam masalah pembalakan liar ini, karena pada tahun 2000 penjualan kayu log dari Malaysia tercatat sebagai yang tertinggi di dunia hingga mencapai 650 juta dolar AS. Angka tersebut terus bertahan hingga sekarang dilevel antara 600-700 juta dolar AS per tahun.23 Hal lain yang mengindikasikan Malaysia sebagai penadah kayu ilegal tersebut adalah pemerintah Malaysia membiarkan terjadinya transportasi kayu lintas batas negara. Hal ini terjadi di perbatasan Kalimantan, Dan Malaysia mendukung terjadinya pembalakan ilegal dengan memanfaatkan orang-orang di perbatasan. Orang-orang tersebut pada dasarnya merupakan masyarakat yang
21
Ibid, http//:www.Bisnisonline.com. diakses 14 maret 2008. 23 http//:www.riaupos.com.v2contentview489780. diakses 11 Mei 2008 22
8
tergabung dalam satu suku, akan tetapi dipisahkan oleh perbatasan negara. Pembagian wilayah tersebut sama sekali tidak memutuskan persaudaraan antara mereka sebagai kaum Iban.24 Pembalakan liar secara besar-besaran dipicu pertama oleh adanya krisis 1997, yang menyebabkan kaum Iban di perbatasan lebih dekat dengan Malaysia. Hal kedua adalah terjadinya desentralisaasi politik dan ekonomi di Indonesia yang kemudian memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sebagai kelanjutan dari otonomi daerah sesuai dengan UU No. 32 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.25 Polemik yang terjadi di Indonesia tersebut disadari betul oleh Malaysia, dengan cara memanfaatkan masyarakat Iban. Malaysia memberikan kesempatan bagi para pengusaha untuk bekerjasama dengan masyarakat Iban lainnya yang berada di wilayah Indonesia.Hal ini ternyata berhasil, beberapa penggergajian lokal pun di bangun dimana-mana. Kebijakan yang diambil oleh Malaysia itu seolah mendapat restu dari pemerintah daerah yang didukung oleh semua lapisan birokrasi, mulai dari pejabat pemda, TNI dan Polri. Pembalakan liar ini seolah menjadi sebuah kerjasama yang saling menguntungkan.26 Pemerintah Malaysia sendiri menolak tuduhan bahwa kayu-kayu yang diambil merupakan hasil dari pembalakan liar, karena kayu2 tersebut merupakan kayu-kayu resmi yang memiliki dokumen dari pemerintah daerah. Kesalahan prosedur perijinan di Indonesia bukanlah kesalahan dari pihak Malaysia, karena
24
Reed L Wadley and Michael Eilenberg, "Vigilantes and Gangsters in the Borderland of West Kalimantan, Indonesia", Articles Kyoto Review of South East Asia: 2006, hal.2. 25 Ibid.hal.3. 26 Ibid.hal.4.
9
hal ini merupakan masalah dalam negeri Indonesia. Pernyataan Malaysia tersebut menyebabkan Indonesia terusik, sehingga masalah ini ikut memperpanjang konflik antara kedua Negara.27 Menanggapi kemarahan Indonesia terkait masalah ilegal logging tersebut, pada tanggal 25 Juni 2002 pemerintah Malaysia secara resmi mengumumkan pelarangan impor kayu asal Indonesia secara total. Hal ini dilakukan oleh Malaysia untuk mencegah citra buruk dimata dunia internasional. Akan tetapi, pemerintah Malaysia tetap menganggap masalah ilegal logging tersebut sebagai masalah internal Indonesia.28 Masalah lainnya yang menjadi ganjalan bagi hubungan kedua negara adalah masalah buruh migran yang berasal dari Indonesia.Hal ini disebabkan oleh banyaknya buruh migran asal Indonesia yang datang ke Malaysia secara ilegal.Oleh karena itu, pemerintah Malaysia berkeinginan untuk mendeportasi para buruh migran ilegal tersebut.Jumlah buruh migran ilegal asal Indonesia yang ada di Malaysia sudah mencapai setengah dari jumlah keseluruhan buruh yang mencapai tiga juta jiwa.29 Banyaknya imigran gelap tersebut di Malaysia mengakibatkan instabilitas keamanan, hal ini disebabkan oleh banyaknya angka kriminalitas yang ditimbulkan.Untuk mengantisipasi hal itu, kemudian pemerintah Malaysia membentuk barisan swadaya masyarakat yang disebut RELA, yang berada dibawah
pemerintah
dalam
negeri
Malaysia.
Kebijakan
ini
kemudian
menimbulkan masalah baru yang diakibatkan oleh minimnya pengetahuan yang 27
http//:www.riaupos.com.v2contentview489780. diakses 29 Oktober 2008 http//:www.dephut.go.id.index. phpq=idnode1610. diakses 20 Oktober 2008 29 http//:www.2tech.bizopiniblogapi-konflik-ri-malaysia-86.html. diakses 23 Oktober 2008 28
10
dimiliki oleh anggota RELA, sehingga seringkali mengakibatkan salah tangkap.30
B. Rumusan Masalah Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah; Mengapa pada tahun 2002-2008 ketegangan hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia cenderung mengalami peningkatan?
C. Kajian Pustaka Edi Prasetyono dalam artikelnya yang dimuat dalam analisis CSIS edisi Maret 2008 Vol.37 No.1 mengatakan bahwa konflik yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia tidak terlepas dari perubahan kepemimpinan yang terjadi pada kedua negara. Hal ini sangat mempengaruhi dinamika hubungan yang terjadi, baik dalam keadaan konflik maupun dalam keadaan damai. Oleh karena itu, perlu dilihat pola-pola yang terbentuk sebagai akibat dari perubahan kepemimpinan tersebut. Untuk menjelaskan fenomena ini, Edi mengutip konsep Niche Diplomasi yang dikemukakan oleh Andrew F Cooper (1998), konsep ini mengacu pada kemampuan sebuah negara dan negara yang menjadi mitranya (dalam hal ini Indonesia dan Malaysia) untuk mengidentifikasi kepentingan-kepentingan kedua negara. Semakin tinggi kesamaan kepentingan kedua negara, maka akan semakin tinggi pula makna hubungan bilateral kedua negara, dan begitu juga sebaliknya. Jika dilihat dari tulisan tersebut, maka dapat diketahui bahwa perubahan 30
Ibid.
11
kepemimpinan merupakan hal yang sangat signifikan dalam mengatasi fenomena permasalahan diantara kedua negara. Padahal selain perubahan pemimpin, ada unsur-unsur
penting lain yang menjadi tolak ukur bagi suatu negara untuk
mengubah perilakunya terhadap negara lain. Seperti halnya Indonesia dengan Malaysia, perilaku kedua negara dapat berubah dalam waktu yang sangat singkat, tergantung pada keadaan internal maupun eksternal yang mempengaruhinnya. Keadaan eksternal itu dapat merupakan keadaan yang diciptakan yang merupakan bagian dari grand strategi dari negara-negara besar yang menginginkan kondisi Indonesia dan Malaysia dalam keadaan berhubungan baik maupun dalam keadaan yang buruk. Seperti situasi yang terjadi pada masa perang dingin keadaan lain dapat juga merupakan bentukan dari situasi kawasan yang pada akhirnya membuat kedua Negara bekerjasama ataupun berkompetisi yang memungkinkan pada akhirnya menjadi sebuah konfrontasi. Untuk itu, menurutnya baik Indonesia maupun Malaysia harus terlebih dulu mengenali diri masing-masing dengan demikian akan dapat terjalin hubungan bilateral kedua negara yang lebih harmonis. Selain itu, faktor persepsi masyarakat juga hal yang tak kalah pentingnya, oleh karenanya, kedua negara juga harus membangun opini masyarakat agar selaras dengan kepentingan yang ingin dicapai oleh kedua negara. 31 Ini seolah-olah menunjukan bahwa dengan negara mengenal dirinya dan negara yang menjadi negara mitra, maka akan dapat terjalin sebuah hubungan yang- baik. Faktanya, suatu negara dalam menerapkan kebijakannya akan lebih mementingkan kepentingan nasionalnya, sehingga akan
31
Analisis CSIS edisi Maret 2008 Vo1.34 No.1, hal.74-82.
12
lebih besar kemungkinan terjadinya sebuah rivalitas ketimbang komunitas. Dalam buku The Politics of Indonesia Malaysia Relations: One Kin Two Nations, Joseph Chinyong Liow menjelaskan bahwa hubungan bilateral yang dibangun oleh kedua negara merupakan hubungan yang berasaskan kesamaan ras (azas
serumpun).
Akan
tetapi,
keserumpunan
tersebut
tidak
rnampu
menghilangkan rivalitas kepentingan kedua negara. Oleh karena itu, menurut Joseph konflik yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia lebih disebabkan oleh adanya konflik identitas dan konflik kepentingan kedua negara.32 Joseph juga mengatakan bahwa pada era 1981-2000, hubungan kedua negara merupakan hubungan yang bersifat prestige dilemma. 33 Dimana kedua negara saling bersaing untuk berebut pengaruh di kawasan. Oleh karenanya kedua negara senantiasa melakukan upaya-upaya diplomatik untuk mencari dukungan di lingkungan negara-negara anggota ASEAN.34 Kedua paragraf di atas menjelaskan ketidakefektifan kebijakan yang diambil oleh kedua negara dalam kaitannya dengan bubungan bilateral keduanya. Karena pada dasarnya dengan mengedepankan kesamaan ras, kedua negara diharapkan dapat saling memahami dan memiliki sebuah pandangan yang relatif sama, sehingga akan mengurangi konflik diantara kedua negara. Akan tetapi, pada kenyataanya tujuan tersebut tidak dapat tercapai, karena asas serumpun yang di terapkan tidak dapat menutupi persaingan kedua Negara dalam mencapai kepentingannya masing-masing. Dilihat dari tinjauan pustaka diatas, dapat disimpulkan bahwa tema tentang 32
Joseph, opcit. hal.158-159. Ibid, hal.132. 34 Ibid, hal.141-142. 33
13
ketegangan hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia masih menarik untuk diangkat. Karena permasalahan yang muncul dalam hubungan bilateral kedua negara dalam satu dekade terakhir tidak semakin mereda, justru cenderung mengalami peningkatan. Berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumya, penulis lebih menitik beratkan penelitian ini pada peningkatan ketegangan yang terjadi pada hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia yang terjadi pada kurun waktu enam tahun terahir (2002-2008).
D. Kerangka Teori Untuk menganalisa permasalahan yang terjadi antara Indonesia-Malaysia, penulis menggunakan teori tentang regional security threats, serta konsep tentang threat perceptions. Dalam teori regional security threats menurut Bjorne Hettne terdapat tiga jenis konflik, yaitu: traditional balance of power contest between great or regional powers, "grass fire" conflict dan intra-state conflict. Pertama, traditional balance of power contest between great or regional powers, merupakan konflik yang muncul sebagai akibat dari struggle for power antara negara-negara besar atau Negara-negara dalam kawasan regional.35 Kedua, "grass fire" conflict merupakan konflik yang dipicu oleh adanya isu-isu lokal yang terjadi antara negara-negara yang bertetangga, seperti: perselisihan perbatasan, persaingan dalam mendapatkan sumberdaya alam yang 35
Craig A. Snyder (editor), "Contemporary Security and Strategy, 2nd edition". Palgrave Mcmillan. New York:2008, hal.237-238.
14
sifatnya terbatas, akses untuk mencapai sumberdaya geofisika seperti perairan dalam dan perairan hangat, politik, agama dan juga koflik etnis. Penyebab dari konflik-konflik ini seringkali bersifat mutidimensi dan juga melibatkan triggerevent yang memiliki efek jangka panjang. 36 Kategori ketiga intra-state conflict, ini merupakan konflik yang terjadi di dalam territorial suatu negara, yang terkadang merniliki potensi untuk mengundang kepentingan negara lain maupun aktor non negara. Menurut penulis, ketegangan yang terjadi antara Indonesia-Malaysia serupa dengan jenis konflik yang kedua, karena kebanyakan dari konflik itu disebabkan oleh adanya masalah lokal, seperti perselisihan perbatasan, kompetisi dalam memperoleh sumberdaya alam yang terbatas, masalah politik dan sosial ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut biasanya terjadi pada negara yang bertetangga.37 Konsep threats perception (persepsi ancaman) merupakan salah satu konsep yang dikenal dalam studi hubungan internasional. Menurut Daniel S Papp, persepsi merupakan sebuah pedoman dari tindakan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berbeda yang menunjukkan cara tiap-tiap individu dalam melihat realita. 38 Menurutnya, persepsi memiliki tiga komponen, yaitu: nilai (value), keyakinan(beliefs), dan kognisi (cognitions). 39 Nilai sendiri diartikan sebagai peringkat, dan keteraturan pada sebuah kondisi, situasi dan juga objek
36
Ibid. Ibid. 38 Daniel S. Papp, "Contemporary International Relations: Framework for Understanding 2nd Ed” Macmillan Publishing Company, New York: 1988, hal.153. 39 Ibid, hal.154. 37
15
tertentu. Perbedaan individu dalam menentukan sebuah keadaan, kondisi, maupun kesukaan individu terhadap individu lain yang lebih didasarkan pada nilai-nilai ini (values). Keyakinan lebih menunjukan pada sebuah penerimaan deskriptif secara khusus dari sebuah realitas yang dianggap sebagai sesuatu yang benar atau sah (legitimate). Kognisi merupakan informasi apapun yang diterima individu tentang sebuah keadaan sekitarnya yang berguna untuk membentuk nilai dan keyakinan. Kognisi ini dapat berupa input sensoris maupun input faktual yang menjadi dasar dari nilai dan keyakinan. Fenomena dalam hubungan internasional dipengaruhi oleh nilai, keyakinan dan kognisi melalui dua cara, pertama: nilai dan keyakinan dibentuk oleh individu yang bertujuan untuk menerima dan menginterpretasikan informasi kognitif baru, hal ini sangatlah bersifat individualistic. Perbedaan persepsi yang terjadi antar aktor aktor internasional lebih cenderung disebabkan oleh sifat individualisme dari nilai dan keyakinan yang dianut oleh masing-masing aktor. Kedua, persepsi merupakan sebuah pedoman dari tindakan, sehingga tindakan apapun yang dilakukan oleh individu akan selalu dipengaruhi oleh nilai, keyakinan dan kognisi. Persepsi sendiri memiliki tingkat akurasi relatif, yang ditentukan oleh pengalaman terdahulu (frame of reference), ketakutan (fear), harapan dan keinginan atau motivasi, seperangkat nilai dan motifasi serta pengaruh dari orang lain.40 Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap individu bertindak dan bereaksi berdasarkan citranya atas diri dan lingkungannya. Jika tindakan
40
Ibid, hal.155.
16
diforrnulasikan oleh seorang aktor pembuat kebijakan, maka persepsi terhadap situasi, kejadian-kejadian, aktor-aktor yang terlibat, membentuk sebuah landasan bagi diambilnya sebuah tindakan sebagai proses terciptanya sebuah kebijakan. Oleh karena itu, untuk memahami sebuah tindakan atau kebijakan yang diambil oleh aktor, persepsi aktor merupakan kata kuncinya.
41
Banyaknya potensi
ancaman yang mungkin timbul menyebabkan aktor harus mengambil beberapa langkah agar dapat memperkirakan dan menentukan kebijakan yang akan menjadi prioritas, yang pada akhirnya dapat meminimalisir dampak dari ancaman.42 Menurut Duckitt dan Fisher, jika dunia dipersepsikan sebagai sebuah wilayah yang mengancam, maka hasrat untuk mengamankan serta sikap dan perilaku
otoriter
akan
meningkat.
43
Senada
dengan
itu,
Dean
Pruitt
mengungkapkan bahwa semakin besar pengaruh atau kecenderungan untuk merasakan ancaman, maka semakin besar pula ancaman tersebut dapat dirasakan (threat perceived).44 Christoph 0. Meyer menjelaskan mengenai berbagai hal yang dapat dijadikan sebagai persepsi ancaman, ".....Masyarakat dan kalangan elit yang sedang memerintah dapat merasa terancam dalam berbagai hal, seperti; ekonomi, budaya, politik, ideologi dan militer.45
41
Ibid. Elizabeth N. Saunders, "Wars of Choice: Leadership, Threat perceptions, and Military Interventions", Department of Political Science, George Washington university, and Olin Institute for StrategicStudies, Harvard university, Prepared Paper for Presentation at the Annual Meeting of the International Studies Association, an Francisco, CA, March 2008, hal.15. 43 Robin Goodwin, Michelle Wilson, dan Stanley Gaines Jr.,"Teror Threat Perceptions and It's Consequences in Contemporary Britain," British journal of Psichology, Issue. 96, November 2005, hal.390. 44 Daniel S. Papp, Opcit.hal.155. 45 Cristoph O. Meyer,”International Terorism as a Force Homogenisations? A Constructivist Explanation for Intra-European Threat Perceptions and Counter Terrorism Strategies”, Kings 42
17
Jika dilihat dengan kacamata konsep threat perceptions, ketegangan yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia disebabkan oleh adanya ancaman yang dirasakan oleh sekelompok elit politik yang ada di Indonesia terhadap perubahan yang terjadi di Malaysia. Perubahan ekonomi Malaysia yang begitu pesat pasca krisis ekonomi 1998 membuat negara itu semakin menonjol di kawasan asia Tenggara, sehingga dapat mengancam posisi Indonesia sebagai negara pemimpin ASEAN. Selain itu, peningkatan perekonomian yang tinggi dapat mendorong Malaysia untuk meningkatkan kapabilitas militernya. Dengan meningkatnya kemampuan militer Malaysia, Indonesia merasa wilayahnya semakin menjadi tidak aman. Hal ini disebabkan masih adanya sengketa perbatasan kedua negara yang belum diselesaikan, serta seringnya negara tersebut melakukan klaim wilayah perbatasan secara sepihak. Peningkatan perekonomian Malaysia secara tidak langsung mengakibatkan peningkatan migrasi pekerja dari Indonesia ke Malaysia. Peningkatan migrasi ini menyebabkan Indonesia menjadi semakin tergantung kepada Malaysia secara ekonomis. Ketergantungan tersebut jika dibiarkan kemudian akan menimbulkan ancaman bagi Indonesia yang berupa sebuah dependensi ekonomi, sehingga pada akhirnya dapat mengakibatkan instabilitas dalam negeri Indonesia.
E. Argumen Utama Peningkatan ketegangan yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia disebabkan oleh adanya peningkatan berbagai faktor di Malaysia, diantaranya:
College London, Department of War Studies, Strand, London WC2R, 2LS, hal.6.
18
peningkatan kemampuan ekonomi, peningkatan kekuatan militer, dan kemapanan kehidupan sosial budaya. Hal ini menyebabkan Malaysia menjadi semakin agresif, dan kemudian agresifitas Malaysia ini ditanggapi oleh masyarakat grassroot Indonesia sebagai sebuah ancaman, yang kemudian mendorong isu tersebut ke tingkat elit Indonesia di DPR.
F. Organisasi Penulisan Tulisan yang akan dikembangkan dalam tesis ini akan ditulis dalam skema yang sistematis, yang bertujuan untuk menjalankan penelitian yang sesuai dengan metodologi penulisan yang baik dan benar. Untuk itu, maka penulis akan membagi tulisan dalam tesis ini kedalam beberapa bab, sebagai berikut : Bab I, berisi Pendahuluan yang memuat tentang: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Kerangka Teori, Argumen Utama dan Organisasi Penulisan. Bab II, berisi Tentang Sejarah ketegangan yang terjadi antara Indonesia-Malaysia Pasca Krisis 1997. Bab III, menjelaskan tentang persepsi ancaman Indonesia terhadap Malaysia, dilihat dari ketegangan yang terjadi antara kedua Negara dengan menggunakan konsep persepsi ancaman. Bab IV, berisi Kesimpulan
19