BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pengetahuan mempunyai peranan penting dalam kemajuan suatu organisasi,
khususnya bagi sektor publik dalam pelayanan publik (Nurmandi, 2006). Banyak organisasi semakin menyadari pentingnya pengetahuan sebagai salah satu modal untuk mencapai keunggulan kompetitif. Semakin maju pengetahuan yang dimiliki perusahaan, akan semakin tinggi daya saing perusahaan (Davenport & Prusak, 1998). Selain itu Nonaka dan Takeuchi (2004) berpendapat bahwa keunggulan kompetitif dapat dimiliki oleh suatu organisasi yang menciptakan pengetahuan baru secara berkelanjutan. Nurmandi (2006) berpendapat bahwa kemampuan organisasi dalam manajemen pengetahuan akan menentukan kesuksesan sebuah organisasi. Manajemen pengetahuan adalah strategi untuk
mengelola sebuah aset
pengetahuan organisasi dalam mendukung pengambilan keputusan organisasi dan meningkatkan kapasitas untuk kreativitas dan inovasi dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran organisasi (Zyngier et al., 2004). Hal ini berfokus pada penciptaan dan penyebaran pengetahuan dalam organisasi melalui sarana teknologi serta hubungan sosial dan interaksi. Dengan beban informasi saat ini, penerapan strategi manajemen pengetahuan adalah suatu keharusan bagi organisasi sektor publik. Hal tersebut dalam rangka meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan integritas dengan membuat keputusan dan menyelesaikan masalah lebih cepat serta menyediakan akses ke informasi yang terintegrasi dan 1
transparan dalam suatu organisasi, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pelayanan publik (Riege & Lindsay, 2006). Pengetahuan terletak pada individu dan diciptakan oleh individu (Nonaka & Takeuchi, 2004). Keunggulan kompetitif bisa dicapai apabila sumber pengetahuan individu dijaga dan dikelola dengan baik (Nonaka & Takeuchi, 2004). Organisasi tidak dapat menciptakan pengetahuan tanpa adanya interaksi para pegawainya dalam mengelola pengetahuan karena pengetahuan terletak dan diciptakan oleh individu. Di sinilah pentingnya perilaku para pegawai melakukan berbagi pengetahuan. Selain itu elemen penting dalam keberhasilan manajemen pengetahuan adalah berbagi pengetahuan (Van den Hoof & De Ridder, 2004).
Berbagi
pengetahuan yang efektif antara pegawai akan membantu meningkatkan kinerja dan produktivitas individu mereka serta mengurangi waktu yang berharga untuk mencari pengetahuan yang sama (Van den Hoof & De Ridder, 2004). Melalui berbagi pengetahuan, akan ada lebih banyak pegawai terlibat sehingga memungkinkan organisasi untuk bergerak maju dan mencapai tujuan. Ipe (2003) mendefinisikan berbagi pengetahuan sebagai tindakan yang membuat pengetahuan tersedia bagi orang lain dalam suatu organisasi. Berbagi pengetahuan antar individu merupakan proses mengubah pengetahuan yang dimiliki individu ke dalam sebuah bentuk yang dapat dipahami, diserap dan digunakan oleh individu lain (Ipe, 2003). Berbagi pengetahuan menurut Davenport dan Prusak (1998) mengimplikasikan sebuah aksi atau tindakan yang disadari oleh seseorang
individu
yang
berpartisipasi dalam pertukaran 2
pengetahuan meskipun tidak ada keharusan untuk melakukannya. Van den Hoof dan De Ridder (2004) mendefinisikan berbagi pengetahuan adalah proses saling tukar pengetahuan (pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit). Berdasarkan definisi ini, Van den Hoof dan Van Weenen (2004) berpendapat ada implikasi perilaku berbagi pengetahuan yaitu memberikan pengetahuan (knowledge donating) dan mengumpulkan pengetahuan (knowledge collecting). Orang-orang yang memiliki pengetahuan mungkin tidak membagi pengetahuan yang dimiliki kecuali jika mereka merasakan manfaat potensial. Kim dan Lee (2006) berpendapat bahwa sistem penghargaan yang bersifat finansial tidak cukup mendorong karyawan untuk menukarkan pengetahuan yang dimilikinya. Kepercayaan merupakan syarat utama dalam berbagi pengetahuan (Kim & Lee, 2006). Oleh karena itu berbagi pengetahuan kemungkinan besar tidak terjadi jika tidak ada kepercayaan interpersonal di antara pekerja dan antara pekerja dengan atasan. Kepercayaan interpersonal menurut McAllister (1995) merupakan kepercayaan yang terbangun di antara pekerja dan antara pekerja dengan atasan. Kepercayaan interpersonal adalah kepercayaan yang dibangun melalui pengulangan interaksi, dimana pengharapan mengenai perilaku dari orang yang dipercayai diuji dari waktu kewaktu. Kepercayaan interpersonal ini didasarkan oleh pengalaman dan kepribadian individu (McAllister, 1995). Menurut Lewis dan Wiegert dalam McAllister (1995), kepercayaan interpersonal memiliki fondasi kognitif dan afektif. McAllister (1995) juga berpendapat bahwa kepercayaan dibagi menjadi dua, yaitu kepercayaan berdasarkan afektif dan kepercayaan berdasarkan kognitif. 3
Kepercayaan berdasarkan afektif memiliki kecenderungan untuk percaya akan ketulusan atau niat baik seseorang dan yakin bahwa hubungan tersebut saling berbalas (McAllister,
1995).
Kepercayaan
berdasarkan afektif
mengacu
kepercayaan dari hati, ikatan berdasarkan empati, perasaan, dan kedekatan emosional (McAllister, 1995). Dengan kepercayaan ini, individu mengekspresikan kepedulian dan perhatian untuk kebaikan dan kesejahteraan rekan kerja (Chowdhury, 2005). Interaksi sosial yang sering dilakukan akan memungkinkan orang yang mengevaluasi percaya pada orang yang dievaluasi atas informasi pribadi, ide-ide, dan pengetahuan, sehingga akan membuat saling terbuka satu sama lain (Chowdhury, 2005). Bentuk kedua adalah kepercayaan berdasarkan kognitif, yaitu sejumlah kinerja yang handal dan syarat-syarat profesional yang dimiliki oleh seseorang yang dievaluasi (McAllister, 1995). Kepercayaan berdasarkan kognitif cenderung percaya dan menghormati orang lain karena adanya alasan dan bukti dari kompetensi, tanggung jawab, kehandalan sebagai kriteria yang digunakan untuk menilai kepercayaan tersebut (McAllister, 1995). Jika seseorang yang dievaluasi menunjukkan reliabilitas dalam menampilkan peran-peran yang kompleks dan memiliki syarat profesional yang luar biasa seperti memiliki kualifikasi pendidikan yang sempurna, pelatihan khusus, pengalaman sukses yang relevan, memungkinkan orang-orang yang mengevaluasi akan mengembangkan level kepercayaan yang tinggi terhadap orang yang dievaluasi (Chowdhury, 2005). Tingkat
kepercayaan
berdasarkan
kognitif
akan
membuat
orang
yang
mengevaluasi untuk percaya pada orang yang dievaluasi dan secara aktif 4
berkolaborasi dalam pekerjaan
dan
mencari
pengetahuan
dari
mereka
(Chowdhury, 2005). Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kim dan Lee (2006) ditemukan bahwa semakin tinggi kepercayaan antara rekan kerja dalam sebuah organisasi, maka akan terdapat kecenderungan yang sangat besar bagi mereka untuk melakukan berbagi pengetahuan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Chowdhury (2005) juga menemukan adanya pengaruh kepercayaan berdasarkan afektif dan kepercayaan berdasarkan kognitif pada berbagi pengetahuan antara dua individu. Selain kepercayaan, Lin (2007) menyatakan bahwa berbagi pengetahuan antar individu dipengaruhi oleh efikasi diri pengetahuan. Dalam penelitian berbagi pengetahuan, keyakinan diri akan kemampuan untuk berbagi pengetahuan sering didefinisikan sebagai efikasi diri pengetahuan yang didefinisikan berdasarkan teori efikasi diri Bandura (Lin, 2007). Bandura (1997) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan akan kemampuan individu untuk dapat mengorganisasi dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Sedangkan efikasi diri pengetahuan dimanifestasikan pada kepercayaan terhadap diri sendiri bahwa pengetahuan yang mereka miliki dapat membantu untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan pekerjaan dan meningkatkan efektivitas kerja (Lin, 2007). Orang akan lebih suka untuk berkontribusi jika merasa keahliannya sesuai (Wasko & Faraj, 2005). Dari peryataan tersebut dapat
5
dilihat bahwa orang akan melakukan aktivitas berbagi pengetahuan jika memiliki efikasi diri yang tinggi. Beberapa penelitian mengenai berbagi pengetahuan ini mendukung temuan bahwa efikasi diri pengetahuan berpengaruh pada berbagi pengetahuan (Cabrera et al., 2006; Lin 2007; dan Chen & Hung, 2010). Mereka percaya bahwa individu dengan efikasi diri yang lebih tinggi lebih bersedia berbagi pengetahuan dan pengalaman masa lalu daripada individu dengan efikasi diri pengetahuan rendah. Individu dengan efikasi diri pengetahuan yang lebih tinggi menilai bahwa mereka punya pengetahuan dan mampu berbagi. Mereka inilah yang akan melakukan berbagi pengetahuan. Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang
kekuasaan
lainnya
(Tim Pembaharuan,
2010).
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara (Tim Pembaharuan, 2010). Pengadilan Tinggi Yogyakarta merupakan badan peradilan umum dibawah MA RI yang berada pada tingkat banding (provinsi) di D.I. Yogyakarta. Pengadilan Tinggi Yogyakarta mempunyai tugas pokok yaitu menerima, memeriksa dan memutuskan perkara banding yang masuk. Sedangkan fungsi Pengadilan
Tinggi
Yogyakarta
adalah
melakukan
urusan
administrasi
kesekretariatan dan kepaniteraan. Urusan administrasi kesekretariatan berupa 6
urusan kepegawaian, keuangan dan tata laksana.
Urusan administrasi
kepaniteraan berupa urusan kepaniteraan perdata, pidana dan hukum, menyiapkan program dan evaluasi, melakukan hubungan masyarakat, melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap satuan kerja/jajarannya di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Pengadilan Tinggi Yogyakarta dituntut untuk bersinergi dan mengikuti strategi MA RI. MA RI dalam Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035 sedang melakukan restrukturisasi organisasi yang mengarah pada desain Organisasi Berbasis Pengetahuan (Tim Pembaharuan, 2010). Organisasi berbasis pengetahuan ini ditargetkan bisa tercapai dan mapan pada tahun 2035. Sejak tahun 2010 dalam upaya restrukturisasi organisasi berbasis pengetahuan, MA RI telah mengimplementasikan manajemen pengetahuan pada setiap struktur organisasi yang ada termasuk pada Pengadilan Tinggi Yogyakarta (Tim Pembaharuan, 2010). Pengadilan Tinggi Yogyakarta menyadari bahwa sumber daya manusia memiliki potensi yang sangat besar dalam menjalankan aktivitas organisasi khususnya pelayanan publik. Pengetahuan merupakan suatu faktor penting dalam proses berjalannya sebuah organisasi sektor publik, dimana pengetahuan telah menjadi kunci dalam menciptakan pelayanan publik yang prima (Nurmandi, 2006). Pengadilan Tinggi Yogyakarta dalam mengimplementasikan manajemen pengetahuan, mempunyai kendala dalam proses berbagi pengetahuan antar pegawai. Hasil wawancara dengan salah satu pimpinan Pengadilan Tinggi 7
Yogyakarta menyatakan bahwa masih rendahnya kesadaran berbagi pengetahuan. Rendahnya kesadaran berbagi pengetahuan terjadi antar pegawai dengan pegawai, antar pegawai dengan pimpinan baik antar level maupun bagian. Pimpinan cenderung menyarankan pegawai untuk mendapatkan pengetahuan dari pegawai lainnya, dan membaca buku pedoman atau peraturan yang ada. Jarang sekali pimpinan memberikan pengetahuan pada bawahannya baik secara formal maupun non formal. Berbagi pengetahuan juga jarang terjadi antar bagian. Pegawai pada Bagian Kepegawaian jarang melakukan berbagi pengetahuan kepada pegawai pada Bagian Keuangan, dan begitu sebaliknya. Hal tersebut sering terjadi kesalahan ketika pegawai pada Bagian Kepegawaian membuat Surat Keputusan Kenaikan Gaji Berkala pegawai yang menyebutkan nominal gaji pokok sesuai dengan masa kerja pegawai. Pegawai tersebut mengaku tidak tahu persis bagaimana cara membaca tabel daftar gaji. Tidak ada aktivitas untuk mencari atau membagikan pengetahuan mengenai cara membaca daftar gaji sesuai masa kerja pegawai di antara Bagian Kepegawaian maupun Bagian Keuangan. Antara hakim dengan staf juga jarang ditemukan aktivitas berbagi pengetahuan yang berarti. Hakim merasa bahwa pengetahuan yang dimiliki bersifat rahasia dan hanya dibagi antar sesama hakim terkait dengan penyelesaian perkara. Dalam proses penyelesaian perkara tidak hanya hakim yang terlibat, akan tetapi ada panitera pengganti sebagai juru ketik dalam persidangan. Tidak jarang terjadi kesalahan dalam pengetikan jalannya persidangan sehingga menyulitkan hakim untuk menjadikan dasar sebagai putusan perkara. Dalam kondisi khusus juga masih ditemukan pengulangan kesalahan yang sama dan keterlambatan menyelesaikan 8
pekerjaan ketika terjadi rotasi pekerjaan. Pengulangan kesalahan yang sama atau keterlambatan menyelesaikan pekerjaan tersebut diduga berkaitan dengan kesadaran dan kemauan pegawai dalam berbagi pengetahuan. Contoh kesalahan sama yang dilakukan oleh pegawai yang mengalami rotasi pekerjaan adalah kesalahan penambahan data supplier baru yang tidak sesuai dengan ketentuan dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Kesalahan tersebut mengakibatkan penolakan Surat Perintah Membayar (SPM) oleh
Sistem
SPAN
KPPN.
Akibat
kesalahan
tersebut
mengakibatkan
keterlambatan dalam proses pencairan belanja gaji pegawai. Pengulangan kesalahan juga terjadi dalam membuat konsep surat tugas dan Surat Keputusan (SK) yang dilakukan oleh pegawai yang mengalami rotasi pekerjaan di Sub Bagian Kepegawaian. Pegawai yang mengalami rotasi pekerjaan ke Kepaniteraan Hukum juga melakukan kesalahan dalam membuat laporan bulanan perkara. Hampir seluruh pegawai yang mengalami rotasi pekerjaan di awal tugas mereka selalu melakukan kesalahan yang sama setiap kebijakan rotasi pekerjaan diberlakukan. Kesalahan tersebut diduga karena rendahnya tingkat berbagi pengetahuan dari pegawai lama yang memegang tanggung jawab pekerjaan tersebut kepada pegawai baru sebagai penggantinya. Peneliti
menangkap kondisi berbagi
pengetahuan tersebut dengan mengamati dan melakukan wawancara informal ke beberapa pegawai Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti di Pengadilan Tinggi Yogyakarta ditemukan adanya keengganan beberapa pegawai Pengadilan Tinggi Yogyakarta melakukan 9
berbagi pengetahuan atas inisiatif sendiri. Aktivitas berbagi pengetahuan antar individu pegawai cenderung terjadi ketika ada permintaan informasi atau pengetahuan terlebih dahulu. Pegawai cenderung lebih fokus untuk mempelajari tugas atau pekerjaan baru yang diberikan. Jarang sekali ada inisiatif berbagi pengetahuan dari individu pegawai lama kepada individu pegawai baru yang menggantikan tugas atau pekerjaan. Hasil wawancara dari beberapa pegawai Pengadilan Tinggi Yogyakarta keenggan berbagi pengetahuan karena ketidakpercayaan pada pegawai lainnya dalam menerima dan memahami pengetahuan yang dibagi. Selain itu alasan keengganan melakukan berbagi pengetahuan karena tidak percaya diri akan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki dalam melakukan berbagi pengetahuan. Dari uraian-uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai berbagi pengetahuan pegawai Pengadilan Tinggi Yogyakarta, serta lebih lanjut mengkaji dan meneliti tentang Pengaruh Kepercayaan Berdasarkan Afektif, Kepercayaan Berdasarkan Kognitif, dan Efikasi Diri Pengetahuan pada Berbagi Pengetahuan Pegawai di Pengadilan Tinggi Yogyakarta.
1.2
Rumusan Masalah Implementasi manajemen pengetahuan akan sangat tergantung pada
kapabilitas individual pegawainya dalam keterlibatan berbagi pengetahuan antar pegawai. Organisasi dapat menciptakan pengetahuan dengan adanya interaksi para pegawainya dalam mengelola pengetahuan. Interaksi para pegawai tersebut diwujudkan dalam kegiatan berbagi pengetahuan. Menurut Van den Hoof dan Van 10
Weenen (2004), berbagi pengetahuan yang efektif merupakan faktor keberhasilan dalam implementasi manajemen pengetahuan. Berbagi pengetahuan yang efektif di sektor publik juga merupakan faktor signifikan dalam menunjang keberhasilan pelayanan publik. Rotasi pekerjaan merupakan salah satu bentuk kebijakan pimpinan Pengadilan Tinggi Yogyakarta agar setiap pegawai mempunyai pengetahuan, kemampuan dan keahlian yang beragam serta menghindari kejenuhan dalam bekerja. Akan tetapi setiap kebijakan tersebut diimplementasikan masih sering ditemukan adanya pengulangan kesalahan yang sama sehingga mengakibatkan keterlambatan penyelesaian pekerjaan di Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Hasil pengamatan dan wawancara peneliti kepada beberapa pegawai menemukan adanya keengganan berbagi pengalaman, keahlian, dan pengetahuan pada kalangan pegawai di Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Keengganan tersebut diduga berkaitan dengan kepercayaan antar pegawai dan kurang percaya diri akan kemampuan diri pegawai. Kepercayaan merupakan faktor individual yang penting agar terjadi berbagi pengetahuan (Kim & Lee, 2006). Menurut McAllister (1995) kepercayaan terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu kepercayaan berdasarkan afektif dan kepercayaan berdasarkan kognitif. Kepercayaan berdasarkan afektif, yaitu kecenderungan untuk percaya akan ketulusan atau niat baik seseorang dan yakin bahwa hubungan tersebut saling berbalas. Hubungan saling berbalas menjadi alasan seseorang untuk melakukan berbagi pengetahuan. Sedangkan kepercayaan berdasarkan kognitif cenderung percaya akan kemampuan dan kompetensi rekan kerja. 11
Seseorang akan melakukan berbagi pengetahuan ketika rekan kerja nya dirasa mampu dan berkompetensi akan pengetahuan yang akan dibagi tersebut. Tanpa adanya kepercayaan
maka kemungkinan besar tidak terjadi proses berbagi
pengetahuan antar pegawai. Penelitian ini berusaha
memberikan pemahaman
apakah pegawai Pengadilan Tinggi Yogyakarta mempunyai kepercayaan berdasarkan afektif dan kepercayaan berdasarkan kognitif terhadap sesama sehingga terjadi berbagi pengetahuan. Kemampuan individual pegawai dalam melakukan berbagi pengetahuan juga merupakan hal yang penting. Kemampuan berbagi pengetahan individual pegawai tersebut dalam penelitian ini didefinisikan sebagai efikasi diri pengetahuan (Lin, 2007). Penilain diri pada kemampuan dan pengetahuan mereka dilihat sebagai persepsi mereka tentang kemampuan dan pengetahuan mereka untuk berbagi pengetahuan yang berharga. Persepsi ini menentukan bagaimana seseorang akan merasa, berpikir, memotivasi diri sendiri, dan selanjutnya berbagi pengetahuan. Tanpa adanya efikasi diri pengetahuan maka kemungkinan besar tidak terjadi proses berbagi pengetahuan antar pegawai. Oleh karena itu, penelitian ini juga berusaha memberikan pemahaman apakah pegawai Pengadilan Tinggi Yogyakarta mempunyai efikasi diri pengetahuan sehingga terjadi berbagi pengetahuan antar pegawai. Evaluasi berbagi pengetahuan dengan melihat faktor individu (kepercayaan berdasarkan afektif, kepercayaan berdasarkan kognitif dan efikasi diri pengetahuan) sangat penting untuk dilakukan di Pengadilan Tinggi Yogyakarta
12
agar pengulangan kesalahan dan keterlambatan penyelesaian pekerjaan tidak terjadi lagi serta dapat meningkatkan kinerja.
1.3
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini berdasarkan
latar belakang di atas adalah: 1. Apakah kepercayaan berdasarkan afektif berpengaruh positif pada berbagi pengetahuan? 2. Apakah kepercayaan berdasarkan kognitif berpengaruh positif pada berbagi pengetahuan? 3. Apakah efikasi diri pengetahuan berpengaruh positif pada berbagi pengetahuan?
1.4
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut : 1. Untuk menguji pengaruh positif kepercayaan berdasarkan afektif pada berbagi pengetahuan. 2. Untuk menguji pengaruh positif kepercayaan berdasarkan kognitif pada berbagi pengetahuan. 3. Untuk menguji pengaruh positif efikasi diri pengetahuan pada berbagi pengetahuan.
13
1.5
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat seara teoritis dan praktis,
manfaatnya adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan keilmuan mengenai berdasarkan
pengaruh kognitif,
kepercayaan
berdasarkan
afektif,
dan efikasi diri pengetahuan
kepercayaan pada
berbagi
pengetahuan pegawai di Pengadilan Tinggi Yogyakarta, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi akademis pada penelitian sejenis yang banyak diteliti sebelumnya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini bagi Pengadilan Tinggi Yogyakarta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengelolaan sumber daya manusia yang lebih baik.
Hasil penelitian juga diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran dan perilaku berbagi pengetahuan pegawai di Pengadilan Tinggi Yogyakarta.
1.6
Ruang Lingkup dan Batasan Masalah Ruang lingkup yang disebutkan dalam penelitian ini adalah untuk menguji
pengaruh kepercayaan berdasarkan afektif, kepercayaan berdasarkan kognitif, dan efikasi diri pengetahuan pada berbagi pengetahuan pegawai di Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Variabel bebas dalam ini adalah kepercayaan berdasarkan afektif, kepercayaan berdasarkan kognitif, dan efikasi diri pengetahuan, sedangkan variabel terikatnya adalah berbagi pengetahuan. Batasan penelitianya adalah : 14
1. Penelitian ini mengambil subjek hanya dari sampel responden di kalangan pegawai Pengadilan Tinggi Yogyakarta. 2. Penelitian ini dibatasi hanya untuk menganalisis pengaruh kepercayaan berdasarkan afektif, kepercayaan berdasarkan kognitif, dan efikasi diri pengetahuan pada berbagi pengetahuan pegawai di Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Tidak menganalisis sampai perkategori subjek penelitian, misalnya perbedaan pengaruhnya berdasarkan jenis kelamin, lama bekerja, pendidikan, dan lain-lain.
1.7
Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab, dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, mengemukakan dan menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan penelitian. Bab II Kajian Literatur, mengemukakan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan kepercayaan berdasarkan afektif, kepercayaan berdasarkan kognitif, efikasi diri pengetahuan dan berbagi pengetahuan. Kemudian disimpulkan hipotesis dari penelitian ini. Bab III Metode Penelitian, berisi tentang pendekatan penelitian, populasi dan sampel, sumber data, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data. Bab IV Pembahasan, berisi tentang hasil penelitian dan analisis data. Bab V Penutup, berisi kesimpulan, keterbatasan dan implikasi, serta saran dari hasil penelitian ini.
15