BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang melanda indonesia pada pertengahan tahun 1997
telah menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat ekonomi lemah berupa ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa Indonesia untuk melakukan reformasi di segala bidang. Pergantian pemerintah orde baru ke orde reformasi tersebut dimulai pada tahun 1998 dan aspek pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan. Aspek pemerintahan tersebut adalah aspek hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Isu yang muncul dari aspek ini adalah adanya tuntutan ekonomi yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab yang harus diberikan kepada pemerintah daerah. Reformasi pada aspek pemerintahan semakin membuat masalah otonomi daerah menjadi komoditas yang laku di masyarakat. Pemerintah memutuskan bahwa otonomi daerah yang didinginkan tersebut akan dilaksanakan dalam waktu dekat (Abdul Halim, 2004). Disamping dampak negatif dari krisis ekonomi pertengahan tahun 1997 juga terdapat dampak yang berkonotasi positif seperti meningkatnya nilai ekspor komoditi karena naiknya nilai dollar Amerika Serikat terhadap nilai rupiah. Namun, dampak krisis lebih banyak berkonotasi negatif seperti naiknya pengangguran dan kemiskinan.
1
2
Dalam rangka menyelenggarakan pemerintah daerah sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah daerah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintahan daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan. Indonesia memasuki era otonomi daerah dengan diterapkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 (kemudian menjadi UU No.23 Tahun 2014) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (kemudian menjadi UU No.33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah oleh pemerintah pusat maka pemerintah daerah bisa dengan leluasa mengendalikan dan mengelola keuangan daerahnya dengan mandiri. Halim (2012) menyatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah terdiri atas pengurusan umum dan pengurusan khusus. Pengurusan umum berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, (APBD), sedangkan pengurusan khusus berkaitan dengan barang investasi daerah. Adanya dampak krisis ekonomi terjadi pula pada sektor APBN yakni menjadi labilnya sektor pendapatan pemerintah pusat yang pada gilirannya akan mempengaruhi APBD. Hal ini terjadi karena alokasi dana APBN untuk APBD menjadi labil pula. Dengan kata lain faktor ketidakpastian penerimaan pendapatan
3
daerah dari pemerintah pusat sebagai bagian dari hubungan keuangan pusat dan daerah menjadi lebih tinggi. Kondisi ini lebih parah lagi untuk pemerintah daerah yang tingkat PAD nya rendah. Padahal, sumbangan PAD cukup penting bagi pemerintah daerah dalam mendukung dan memlihara hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang (Mamesah, 1995: hal. 93). Selama masa orde lama dan orde baru, pemerintahan indonesia mengalami sistem pemerintahan yang sentralistik yang memberi dampak negatif terhadap pembangunan. Dampak negatif sentralisasi tersebut sangat membatasi kreativitas daerah untuk mengembangakan potensi daerah sesuai dengan keinginan masyarakat daerah. Selain itu, sentralisasi telah menyebabakan pemerintah daerah semakin kuat ketergantungannya terhadap pemerintah pusat. Kedua hal tersebut cukup membuat pemerintah daerah tidak berdaya membangun daerahnya. Era reformasi saat ini memeberikan peluang bagi perubahan paradigma nasional
dari
paradigma
pertumbuhan
menuju
paradigma
pemerataan
pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini diwujudkan melalui kebutuhan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang ditetapkan UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang pertimbangan keuangan pusat dan daerah yang banyak terjadi perubahan kebijakan daerah.
4
Kedua UU ini merupakan landasan utama bagi desentralisasi pemerintahan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang ditandai dengan desentralisasi
kewenangan
dan
keuangan
desentralisasi.
Secara
teoritis
desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan 2 manfaat yaitu mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa serta kreativitas masyarakat dalam pembangunan dan mendorong pemerataan hasil pembagian. Kemudian memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ketingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi lengkap (Mardiasmo, 2005). Berkaitan
dengan
hakekat
otonomi
daerah
tentang
pelimpahan
wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat, maka peran data keuangan daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serrta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data tersebut merupakan informasi yang penting dalam membuat kebijakan serrta melihat tingkat kemapuan daerah. Pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang keuangan daerah menegaskan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada
peraturan
perundangundangan,
efisien,
efektif,
transparan
dan
bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
5
Dalam APBD mencerminkan kamampuan pemerintah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, pembangunan, dan pelayanan sosial masyarakat. Penerapan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia tercermin dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang berdasarkan atas azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Salah satu perwujudan pelaksanaan otonomi daerah adalah pelaksanaan desentralisasi yaitu penyerahan urusan, tugas dan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggunaan pinjaman sebagai sumber pembiayaan merupakan salah satu bentuk kewenangan bagi pemerintah daerah, namun sampai saat ini pinjaman daerah masih dikendalikan oleh pemerintah pusat. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan pinjaman pemerintah daerah masih dikendalikan oleh Pemerintah Pusat (Devas et al 1989: 22). Pertama, pinjaman sektor pemerintah secara keseluruhan perlu dikendalikan, karena berkaitan dengan kebijaksanaan moneter terutama untuk mengendalikan inflasi. Kedua, untuk mencegah pemerintah daerah agar tidak terjerumus dalam kesulitan keuangan, karena pinjaman digunakan untuk menutupi pengeluaran rutin. Ketiga, pemerintah pusat ingin tetap mengendalikan pola pengeluaran penanaman modal pemerintah daerah. Selain itu, ada juga empat
6
faktor secara keseluruhan penyebab tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat (Mudarajad Kuncoro, 2004), yaitu : 1. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan. 2. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah. 3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa dijadikan sebagai pendapatan daerah. 4. Ada yang khawatir jika daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggiakan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme. Sebagai solusi dari permasalahan diatas, alternatif yang ditawarkan (Mudrajad Kuncoro, 2004) yaitu: 1. Meningkatkan peran BUMD. 2. Meningkatkan penerimaan daerah. 3. Meningkatkan pinjaman daerah.
Implementasi pelaksanaan otonomi daerah akan dapat berjalan lancar jika memperhatikan 5 kondisi strategis berikut ; (1) self regulating power yaitu kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah untuk kepentingan masyarakat, (2) self modifying power berupa kemampuan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai kondisi daerah termasuk terobosan inovatif kemajuan dalam menyikapi potensi daerah, (3) creating local political support yaitu penyelenggaraan pemerintah daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakat, baik kepala daerah sebagai eksekutif maupun
7
DPRD sebagai kekuasaan legislatif, (4) managing financial resource yaitu mengembangkan
kompetensi
dalam
mengelola
secara
optimal
sumber
penghasilan dan keuangan untuk membiayai aktivitas pemerintah, pembangunan dan pelayanan publik, (5) developing brain power dalm arti membangun SDM yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitas penyelesaian masalah (Rasyid dan Paragoan dalam Fatima Zahra: 2008). Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu berotonomi menurut Bratakusumah dan solihin (2002: 169), untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara propinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintah daerah. Dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah di era otonomi daerah yaitu terkait dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) perlu ditetapkan standar atau acuan kapan suatu daerah dikatakan mandiri, efektif dan efisien, dan akuntabel. Untuk itu diperlukan suatu pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai tolak ukur dalam penetapan kebijakan keuangan pada tahun anggaran selanjutnya. Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial maupun non finansial (Ihyaul Ulum, 2009). Pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud antara
8
lain : pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari kemampuan suatu daerah dalam bidang keuangan. Keuangan daerah merupakan salah satu aspek yang penting dari pembangunan ekonomi daerah Dalam hal ini dimana caranya daerah tersebut dapat menciptakan sumber pendapatan dan penerimaan daerah sendiri tanpa tergantung dari pemerintah pusat yang akan berpengaruh terhadap kinerja keuangan, peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pemberian pelayanan publik apakah berjalan secara efektif dan efisien atau tidak. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas sektor publik dalam pemberian pelayanan publik.Kemudian ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan. Ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan Penggunaan analisis rasio laporan keuangan sebagai alat analisis keuangan secara luas sudah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas. Padahal dari analisis rasio laporan keuangan pemerintah daerah dapat diketahui bagaimana kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan dan juga dapat dijadikan sebagai acuan untuk lebih meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah.
9
Di samping meningkatkan kuantitas pengelolaan keuangan daerah, analisis rasio terhadap realisasi APBD juga dapat digunakan sebagai alat untuk menilai efektivitas otonomi daerah sebab kebijakan ini yang memberikan keleluasaan bagi Pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerahnya seharusnya bisa meningkatkan kinerja keuangan daerah yang bersangkutan. Maraknya pembahasan mengenai keuangan daerah, terutama hubungannya dengan otonomi daerah yang sementara berlangsung menjadikan hal ini menarik untuk dibahas. Peneliti memilih salah satu di Provinsi Bengkulu. Provinsi Bengkulu merupakan Provinsi yang berada di Pulau sumatera yang dalam pembangunannya tidak terpisahakan dari pembangunan nasional, namun disesuaikan dengan permasalahan didaerahnya serta didasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional. Tabel 1.1 Pendapatan Asli Daerah Provinsi Bengkulu 2009 - 2013 Tahun
Anggaran
Realisasi
2009 413.570.042.372.65 287.781.580.630.84 2010 418.587.239.610.00 315.091.488.316.22 2011 426.601.946.673.00 440.920.183.714.43 2012 477.029.472.785.00 483.768.274.997.19 2013 512.962.106.531.00 525.207.934.928.81 Sumber : LRA Pemprov Bengkulu
% 69,6 83,88 103,36 101,41 102,39
Fluktuasi (%) 14,28 19,48 - 1,95 0.98
Pada tabel Pendapatan Asli Daerah Provinsi Bengkulu 2009 – 2013 diatas, kenaikan fluktuasi terbesar terjadi pada tahun 2010 – 2011 tetapi terjadi penurunan fluktuasi pada tahun 2011 – 2012. Berdasarkan data tersebut,
10
pertumbuhan PAD provinsi bengkulu pada thn 2009 -2013 menunjukan data yang tidak stabil. Tabel 1.2 Pendapatan Transfer Provinsi Bengkulu 2009 – 2013 Tahun
Anggaran
2009 600.309638.973.10 2010 598.910.462.479.00 2011 694.595.975.358.00 2012 1.076.964.618.907.00 2013 971.789.554.701.00 Sumber : LRA Pemprov Bengkulu
Realisasi
%
589.497.875.916.34 598.799.426.879.00 712.264.324.698.00 1.076.080.065.252.00 977.347.953.983.00
98,2 99,98 102,54 99,92 100,57
Fluktuasi (%) _ 1,78 2,56 - 2,62 0,65
Pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa pendapatan dana transfer untuk provinsi bengkulu pada tahun 2009 – 2013 rata-rata mencapai diatas 98%. Pemerintah daerah kurang memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena dana transfer pemerintah pusat masih cukup besar. Sehingga menyebabkan ketidakefektifan dan penyerapan dana yang tidak maksimal. Berdasarkan tabel pendapatan asli daerah dan pendapatan dana transfer provinsi Bengkulu pada tahun 2009 – 2013 menyatakan bahwa masih adanya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Pada umumnya pemerintah pusat memberikan dana tranfer kepada suatu daerah untuk membantu pembangunan. Tetapi pada tabel laporan realisasi anggaran diatas pendapatan asli daerah mengalami kenaikan, maka dapat dinyatakan bahwa daerah tersebut lebih mandiri sehingga pemerintah daerah seharusnya tidak tergantung terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Dengan demikian dana transfer lebih dominan daripada PAD dalam membiayai pembangunan pemerintah daerah, sebenarnya tidak memberikan
11
panduan yang baik bagi pemerintah terhadap aliran dana transfer itu sendiri. Hal ini berarti pemerintah daerah akan lebih berhati-‐hati dalam menggunakan dana yang digali dari masyarakat sendiri daripada dana transfer (grants) dari pemerintah pusat. Fakta tersebut secara umum memperlihatkan bahwa perilaku pemerintah daerah dalam merespon dana transfer dari pemerintah pusat menjadi perhatian utama dalam menunjang efektivitas dana transfer (Iskandar, 2012). Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulisan skripsi ini mengambil judul “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu Setelah Otonomi Daerah”.
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam hal ini yang menjadi
rumusan permasalahan adalah: Bagaimanakah kinerja keuangan pemerintah daerah Provinsi Bengkulu selama lima tahun terakhir (Tahun 2009-2013) dengan menggunakan analisis Rasio kemandirian, Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Rasio Aktivitas / Keserasian, Rasio Pertumbuhan, Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dan Rasio Ketergantungan.
1.3
Maksud danTujuan Penelitian Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja
keuangan pada pemerintah daerah Provinsi Bengkulu ditinjau dari rasio keuangan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan desentralisasi fiskal.
1.4
12
Kegunaan Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi semua pihak yang berkepentingan terutama dalam bidang akuntansi sektor publik dan gambaran yang dapat dijadikan pembanding antara teori yang selama ini di dapat dengan pelaksanaan yang sebenarnya di lapangan. Selain itu penelitian ini berguna sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Strata-1 Program Studi Akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. 2. Bagi pemerintah Dapat digunakan sebagai bahan koreksi untuk meningkatkan kinerja keuangan dan sebagai alat, masukan, evaluasi Pemerintah Provinsi Bengkulu pada tahun-tahun berikutnya. 3. Bagi masyarakat Dapat digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi kinerja keuangan pemerintah daerah Provinsi Bengkulu. 4. Bagi peneliti selanjutnya Dapat dijadikan tambahan pengetahuan dan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya dalam bidang yang sama.
1.5
13
Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa data kuantitatif yang meliputi data keuangan APBD dan realisasinya, pertumbuhan ekonomi. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui instansi Pemerintahan Provinsi Bengkulu, bertempat di Jl.Pembangunan no.1 Padang Harapan,Bengkulu. Dengan waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2015 sampai dengan selesai.