BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Lalu lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran yang strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga jalan raya merupakan salah satu prasarana yang sangat menunjang bagi kebutuhan hidup masyarakat demi kelancaran di dalam melakukan suatu aktifitas sehari-hari, dikarenakan jalan raya sebagai salah satu sarana bagi manusia untuk mengadakan hubungan antar tempat, dengan mempergunakan kendaraan bermotor maupun kendaraan lainnya. Berkendara dengan menggunakan mobil maupun dengan sepeda motor di kota-kota besar yang memiliki arus lalu lintas super sibuk tentu saja bukan hal yang mudah dan nyaman. Sehingga dibutuhkannya rambu untuk mengatur arus lalu lintas, adanya ramburambu lalu lintas bukan hanya harus dipatuhi dan dipahami oleh para pengendara motor dan mobil. Pejalan kaki yang menggunakan jalan rayapun seharusnya paham dan mamatuhi peraturan di jalan tersebut.Semua orang harus taat kepada peraturan lalu lintas ketika berada di jalan raya.Satu saja tidak patuh, akibat fatal bisa terjadi.1 Jalan raya mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, politik, sosialbudaya, hukum, serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Salah satu permasalahan yang selalu dihadapi di kota-kota besar yaitu masalah lalu lintas.Hal 1
Rinto Raharjo, 2014, Tertib Berlalu Lintas, cet. 1, shafa media, Yogyakarta, h. 22
ini terbukti dari adanya indikasi angka-angka kecelakaan lalu lintas yang semakin hari semakin meningkat, yang dimana keadaan ini merupakan salah satu perwujudan dari perkembangan teknologi modern. Perkembangan dalam bidang lalu lintas dapat memberikan pengaruh baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif bagi kehidupan masyarakat.Seiring dengan perkembangan kendaraan bermotor yang beredar di masyarakat dari tahun ke tahun semakin
meningkat
sehingga
membawa
pengaruh
terhadap
keamanan
lalu
lintas.Transportasi merupakan sarana yang digunakan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya. Dewasa ini banyak terjadi kasus kecelakaan yang sering diperbincangkan di berbagai media massayang mana mengakibatkan banyak korban meninggaldunia. Kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh banyak faktor seperti kerusakan kendaraan, pejalan kaki yang kurang hati-hati, kurang mematuhi rambu-rambu lau lintas, dan yang paling sering terjadi kecelakaan akibat dari kelalaian oleh pengemudi.Pihak-pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan pada pengguna jalan raya telah berusaha menanggulangi kecelakaan lalu lintas, hal ini terlihat dari berbagai peraturan telah disusun dan diterapkan yang disertai dengan penyuluhan, peningkatan kualitas kendaraan
dan jalan raya agar lebih aman, serta berbagai macam kegiatan yang
dilakukan agar meminimalisir terjadinya jatuhnya korban jiwa akibat kecelakaan lalu lintas. Namun demikian kecelakaan masih tetap terjadi, kecelakaan yang disebabkan oleh kealpaan yang menyebabkan matinya seseorang.Perbuatan karena kealpaan yang mengakibatkan kematian pada orang lain sebenarnya telah ada suatu gambaran
mengenai akibat dari perbuatannya yaitu bahwa dia dengan berbuat secara demikian mungkin sekali akan mengakibatkan hal-hal yang terlarang tersebut. Perbuatan karena kealpaan yang mengakibatkan kematian kepada orang lain juga terjadi di Kabupaten Jembrana. Berikut data jumlah angka kecelakaan lalu lintas pada tahun 2014 yang ada di Kabupaten Jembrana adalah sebagai berikut : Tabel I Data Kecelakaan Lalu Lintas Tahun 2014 NO
BULAN
JUMLAH
JUMLAH
KERUGIAN
LAKA
KORBAN LAKA
MATERI
LANTAS MD
LB
1
JANUARI
12
6
0
Rp. 23.000.000
2
FEBRUARI
4
2
0
Rp. 9.800.000
3
MARET
11
4
0
Rp. 55.950.000
4
APRIL
12
4
0
Rp. 35.800.000
5
MEI
14
5
0
Rp. 91.300.000
6
JUNI
11
4
0
Rp. 71.500.000
7
JULI
13
6
1
Rp. 25.900.000
8
AGUSTUS
17
5
0
Rp. 82.750.000
9
SEPTEMBER
5
3
0
Rp. 11.100.000
10
OKTOBER
14
6
0
Rp. 30.550.000
KET
11
NOVEMBER
15
9
0
Rp. 43.200.000
12
DESEMBER
9
4
1
Rp. 16.600.000
137
58
2
Rp. 497.450.000.00
JUMLAH
Sumber : Satuan Lalu Lintas Polres Jembrana Tahun 2014 Dengan melihat data pada tabel diatas dapat dilihat bahwa kecelakaan lalu lintas yang terjadi di kabupaten Jembrana sangat tinggi, yang dimana mengakibatkan meninggal dunia mencapai 58 (lima puluh delapan) korban jiwa dan mengakibatkan 2 (dua) orang mengalami luka berat pertahun. Dari data tersebut dapat dilihat banyaknya terjadi kecelakaan lalu lintas sehingga tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan penjatuhan pemidanaandalam hal ini perbedaan penjatuhan yang disebut dengan disparitas pidana. Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.2Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis.Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:
2
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-teori dan kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h.52
1. Disparitas antara tindak pidana yang sama. 2. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama. 3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim. 4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.3 Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat ditemukan dimana disparitas tumbuh dalam penegakan hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama.
Terkait pada hal itu disparitas pidana juga sering dihubungkan dengan independensi hakim, jenis pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan (perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi andil. Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun.Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Indonesia yang menganut aliran positivesme dalam hukum pidananya yang memberikan kebebasan hakim yang lebih luas sehingga besar kemungkinannya untuk dapat terjadinya disparitas dalam menjatuhkan putusannya, sedangkan undang-undang hanya dipakai sebagai pedoman pemberian pidana yaitu pedoman maksimal saja. Undang-undang dibuat agar dapat menjamin suatu kepastian hukum sehingga harus ditegakkan dengan penerapan suatu sanksi yang dapat membuat pelanggar
3
Devi Darmawan, 2010, Problematika Disparitas Pidana dalam Penegakan Hukum di Indonesia, https://devidarmawan.wordpress.com/2010/10/07/problematika-disparitas-pidana-dalam-penegakanhukum-di-indonesia, diakses pada tanggal 01 Juli 2015.
menjadi jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya kembali. Demikian pula halnya dengan kcelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain menjadi meninggal dunia akibat dari pelanggaran lalu lintas sehingga dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 359 KUHP serta Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 359 KUHP menentukan bahwa “Barang siapa yang karena kesalahannya (kealpaan) menyebabkan orang lain mati diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.Matinya orang disini tidak dimaksudkan sama sekali oleh terdakwa akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang hati-hati atau lalai (delik culpa).Sehingga pada Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidanakarena kealpaan mengakibatkan matinya orang lain.4Selain pada Pasal 359 terdapat pulaPasal 310 ayat (4)Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berkaitan erat dengan kaitannya tentang kecelakaan Lalu Lintas karena kealpaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. Suatu tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang termasuk dalam batasbatas perumusan tindak pidana, melawan hukum dan dikarenakan bersalah.5 Sehingga dari penjelasan mengenai Pasal 359 KUHP serta Pasal 310 ayat (4) Undang Undang 4
R. Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, cet. II, Aksara Baru, Jakarta, h.
177. 5
R. A. Soema Di Praja, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Alumni, Bandung,h. 233.
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah jelas dibuat untuk menjamin suatu kepastian hukum akan sanksi pelanggaran lalu lintas. Penjatuhan sanksi pidana yang dikenakan oleh hakim terhadap pelaku pelanggaran Pasal 359 KUHP serta Pasal 310 ayat (4) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kecelakaan lalu lintas terlihat suatu disparitas penjatuhan sanksi pidana. Ancaman sanksi yang seharusnya selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara pada KUHP dan 6 (enam) tahun penjara pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terkadang berbeda dalam prakteknya. Berdasarkan ketentuan tersebut sehingga dapat diartikan bahwa hakim memiliki kebebasan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 310 ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Pasal 359 KUHP terhadap kecelakaan lalu lintas yaitu minimal (1) satu hari penjara dan maksimal (6) enam tahun penjara atau minimal (1) satu hari kurungan dan maksimal (1) satu tahun kurungan.Sehingga dalam arti pembentuk undang-undang memberikan hak kebebasan untuk menentukan hukuman dalam batasmaksimumsaja yang terdapat pada undang-undang.Hakim sebagai salah satu Aparat Penegak Hukum, memiliki kebebasan untuk menjatuhkan pidana terhadap perkara pidana yang disidangkannya. Sebagai akibatnya, akan menimbulkan adanya disparitas putusan terhadap perkara-perkara yang mempunyai kualifikasi yang sama maupun sejenis. Berikut beberapa contoh putusan kasus tindak pidana kecelakaan lalu lintas karena kealpaan yang dijerat pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dilakukan oleh Pengadilan Negeri Negara adalah : 1. Putusan Nomor : 36/PID.Sus/2014/PN.Ngr Bahwa terdakwa I KETUT ARTANA telah mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas
yang
menyebabkan orang lain meninggal dunia, yaitu korban I WAYAN SANTOSA MARHAENDRA dan NI KETUT WATRI sehingga diancam pidana dalam Pasal 310 ayat (4) UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penjatuhan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun penjara. 2. Putusan Nomor : 14/Pid.Sus/2015/PN.Ngr Bahwa terdakwa MATRAWI telah mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan orang lain meninggal dunia, yaitu korban I MADE GINCA REBIK PANDE sehingga diancam pidana dalam Pasal 310 ayat (4) UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penjatuhan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan penjara. 3. Putusan Nomor 90/Pid.B/2014/PN.Nga Bahwa terdakwa AHKAMUDDIN telah mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas
yang
menyebabkan orang lain meninggal dunia, yaitu korban NI WAYAN RAWIS sehingga diancam pidana dalam Pasal 310 ayat (4) UU RI Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas danAngkutan Jalan. Penjatuhan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dan 20 (dua puluh) hari. Dari beberapa putusan yang telah dikemukakanbahwa sudah terlihat adanya disparitas dalam penjatuhan sanksi pidana, hakim sebagai pengambil keputusan peradilan juga dihadapkan pada resiko yang sama, kesalahan pengambilan keputusan akan memberikan dampak yang besar bagi manusia. Terdakwa yang sebenarnya tidak bersalah dapat menjalani hukuman atau terdakwa yang bersalah dapat dibebaskan, jika terjadi kesalahan pengambilan putusan pada hakim.Pemidanaan yang berbeda/disparitas pidana ini pun tidak membawa ketidak puasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya.Muncul pula kecemburuan sosial dan pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidak pedulian pada penegak hukum dalam masyarakat. Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda atau disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda atau disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Sehingga yang terjadi adalahketidak pastian hukum, begitu pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem
peradilan pidana. Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih memenuhi rasa keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan.. Bertitik tolak pada uraian diatas maka penulis dalam menyusun skripsi tertarik membahas dengan memilih judul“DISPARITAS PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELANGGARAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KORBAN MENINGGAL DUNIA DI KABUPATEN JEMBRANA” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas dapat penulis kemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia di Kabupaten Jembrana? 2. Apakah yang menjadi faktor penyebab adanya disparitas dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia di Kabupaten Jembrana? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk menjawab permasalahan diatas, maka agar menghindari suatu pembahasan yang nantinya keluar dari materi pokok, sehingga sasaran yang dituju dapat tepat tercapaidengan skripsi yang berjudul “Disparitas Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia di Kabupaten Jembrana”, sehingga pada skripsi ini hanya berkisar pada pertimbangan
hakim dalam penjatuhkan pidana serta faktor yang menyebabkan adanya disparitas dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Pada perundang-undangan dalam KUHP tidak memberikan suatu teori hukum pidana atau filsafat pada pemidanaan yang dijadikan sebagai dasar penghukuman namun hanya mencantumkan mengenai jenis-jenis pidana saja beserta dengan pedoman pemidaaannya, hal ini menjadikan perundang-undangan atau KUHP memberikan kebebasan kepada hakim menggunakan teori manakah yang ingin dirinya pergunakan dalam penetapan hukuman sehingga dalam penyelesaian permasalahan, baik yurisprudensi, Perundang-undangan, doktrin maupun ilmu hukum tidak memberikan pegangan yang teguh. Ilmu hukumpun tidak memberikan pegangan yang tetap bahkan tidak terdapat suatu penyesuaian pandangan, teori hukum pidana manakah yang harus dijadikan landasan untuk menjatuhkan hukuman.6 1.4 Orisinalitas Penelitian Skripsi yang berjudul “Disparitas Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia di Kabupaten Jembrana” merupakan hasil karya orisinil dan tidak terdapat karya dengan judul dan rumusan masalah yang sama yang pernah diajukan maupun ditulis. Namun ada penelitian yang memiliki kemiripan dengan penilitian seperti Penanganan Tindak Pidana Kelalaian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas di Polresta Bandung Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan 6
H. Oeamar Seno Adji, 1984, Hukum-Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, h.12.
Dihubungkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ditulis oleh Achmad S., Fakultas HukumUnla, Tahun 2011 kemudian Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana di Bidang Lalu Lintas (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri
Demak)
yang
ditulis
oleh
Raditya
Chandra
Ady Diana,
Fakultas
HukumUnversitas Muria Kudus, Tahun 2012. Oleh sebab itu, penulis mengangkat penulisan skripsi yang memfokuskan pada pembahasan mengenai dasar pertimbangan hakim dan faktor penyebab adanya disparitas dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas, karena disamping pertimbangan bahwa belum pernah ada skripsi yang serupa juga manfaat dari pada penelitian ini yang dapat membantu masyarakat serta institusi penegak hukum mengenai disparitas pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. 1.5 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Untuk mengetahui adanya disparitas mengenai penjatuhan sanksi pidana terhadap pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia; b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana dalam pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia di kabupaten Jembrana;
2. Untuk mengetahui faktor penyebab adanya disparitas dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia di Kabupaten Jembrana. 1.6 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Diharapkan hasil penelitian ini dapat sebagai penambah ilmu pengetahuan hukum.Khususnya dalam ilmu pengetahuan hukum pidana mengenai pelanggaran lalu lintas akibat kealpaan dalam kecelakaan lalu lintas. b. Manfaat Praktis Diharapkan dapat memberi manfaat, sumbangan pemikiran, dan bahan rujukan bagi mahasiswa yang mendalami bidang Hukum Pidana, masyarakat dan juga institusi penegak hukum mengenai kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. 1.7 Landasan Teoritis Landasan teoritis dalam penelitian adalah hal yang sangat penting agar dapat menunjang keberhasilan penelitian,sebab teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi,
dan
proposisi
untuk
menerangkan
suatu
fenomena
sistematisdengancara merumuskan hubungan antara konsep-konsep.
sosial
secara
Penelitian yang berjudul “Disparitas penjatuhan sanksi pidana terhadap pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia di Kabupaten Jembrana” menekankan pada teori sistem hukum, teori efektifitas hukum dan teori pemidanaan. 1.7.1 Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman menggambarkan bahwa sebuah sistem hukum, pertamatama mempunyai struktur. Aspek kedua adalah substansi, meliputi aturan, norma dan prilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem itu. Termasuk pula dalam pengertian substansi ini adalah semua produk, seperti keputusan, aturan baru yang disusun dan dihasilkan oleh orang yang berada di dalam system itu pula. Aspek ketiga adalah budaya hukum yang meliputi: kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. 7 1. Struktur Hukum Struktur hukum adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi mencakupi kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, kantorkantor pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya 2. Substansi Hukum Substansi hukum adalah keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan 3. Budaya Hukum Budaya hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.Substansi dan 7
Siswanto Sunarso, 2005, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 11.
Aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum.Oleh karenanya, Lawrence M Friedman menekankan kepada pentingnya Budaya Hukum (Legal Culture). 1.7.2 Teori Efektivitas Hukum Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum.Hukum dapat efektif jika kalau faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari prilaku masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undang akan efektif apabila warga masyarakat berprilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang dikehndaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut telah dicapai.8 Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekantoadalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu : 1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang). 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.9
8
Ray Pratama, 2011, Teori Efektifitas Hukum, URL:http://www.academia.edu/9568999/Teori_Efektifitas_Hukum, diakses pada tanggal 29 April 2015. 9 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, h. 80.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.Pada elemen pertama, yang menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung dari aturan hukum itu sendiri. 1.7.3 Teori Pemidanaan Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif.Pada teori ini menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada orang yang melanggar larangan dalam hukum pidana atau hukum pidana objektif.Dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri.Misalnya penjahat dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan dijalankan, maka hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas, atau dijatuhi pidana mati kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja membunuhnya.Oleh karena itulah hukum pidana objektif dapat disebut hukum sanksi istimewa. Pidana yang diancamkan seperti yang tertera dalam pasal 10 KUHP itu apabila diterapkan akan menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara.Negara merupakan organisasi sosial tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib masyarakat.Dalam rangka melaksanakan kewajiban itu, maka wajar bila negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.
Mengenai kepentingan pidana ini perlu dijatuhkan, terdapat berbagai pendapat. Bagi hakim yang bijak, ketika ia akan menarik atau menetapkan amar putusan, ia akan terlebih dahulu mempertimbangkan benar tentang manfaat apa yang akan dicapai dari penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi terdakwa, maupun masyarakat dan negara. Dalam keadaan demikian, teori hukum pidana dapat membantunya.Ketika jaksa hendak membuat tuntutan dan hakim hendak menjatuhkan pidana, seringkali bergantung pada pendirian mereka mengenai teori-teori pemidanaan yang dianut. Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun secara umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu: 1.
Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
2.
Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)
3.
Teori gabungan (vernegings theorien) Ada beberapa teori-teori tujuan pemidanaan yang pada umumnya dibagi dalam
tiga golongan (teori) yaitu: a.
b.
Teori Absolut (Pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbert, Stahl dan Leo Polak. Teori ini teori tertua (klasik) yang berpendapat pidana ltu merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenar pidana terletak pada kejahatan itu sendiri. Menurut teori ini, oleh kafena kejahatan menimbulkan penderitaan bagi yang terkena kejahatan, maka penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa pidana kepada seseorang yang melakukan kejahatan itu. Seperti halnya, siapa yang membunuh harus dibunuh. Teori Relative (Tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanafaat. Mengenai tujuan pidana itu ada beberapa pendapat, yaitu tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah karena akibat dari telah terjadinya kejahatan. Selain itu, tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang dapat dibedakan atas Pencegahan Umum (Generale Preventie) dan Pencegahan Khusus (Speciale Preventie). Selain itu, masih dikenal lagi Teori relative modern, penganutnya Frans Von Lizt, Van Hamel, dan D. Simons. Teori
c.
ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen) merupakan gabungan dari Teori Absolut (Pembalasan) dengan Teori Relatif (Tujuan). Yang pertama kali mengajukan teori gabungan ini adalah Pellegrino Rossi (1787-1848). Teori ini menitikberatkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban masyarakat dan tidak boleh lebih berat dari beratnya penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana. Teori ini dalam juga melihat kemasa depan dalam pelaksanaan pidana atau pembalasaanya, yakni dengan melakukan pencegahan-pencegahan agar tidak terjadinya tindak pidana sebagaimana dalam teori relatif.10
1.7.4 Pedoman Pemberian Pidana (Statutory Guidelines for Stentencing) Menciptakan suatu pedoman pemberian pidana (Statutory Guidelines for Stentencing), yang memberikan kemungkinan bagi Hakim untuk memperhitungkan seluruh fakta daripada kejadian-kejadian, yaitu dengan berat-ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, dengan pribadi daripada si pembuatnya, umurnya, tingkatan kecerdasannya dan keadaan-keadaan serta suasana waktu perbuatan pidana itu dilakukan. Menurut Prof. Oemar Senoadji, kapankah suatu hukuman dijatuhkan, erat sekali hubungannya dengan sifat dan “ernest” dari perbuatan yang dilakukan (de aard en ernest van het feit), pribadi ataupun keadaan pribadi dari si terdakwa yang memberikan kesan bagi hakim mengenai kepribadian terdakwa dalam persidangan, baik sifat dari perbuatan maupun pribadi dari terdakwa, maka gabungan dari kedua tersebut diterima pula oleh jurisprudensi.11
1.8 Metode Penelitian 1.8.1Jenis Penelitian
10 11
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta,Bandung, h.53. Muladi dan Barda Nawawi, op.cit, h. 67.
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara guna mencapai tujuan yang telah diinginkan, maka dari itu pada suatu karya ilmiah agar dapat melakukan penelitian dengan teratur atau sistematis. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi iniadalah penelitian hukum yuridis empiris.Metode penelitian yuridis empiris adalah penelitian dengan mengkaji suatu peraturan perundang-undangan yang kemudian dihubungkan dengan fakta-fakta atau pada kenyataan yang ada di dalam masyarakat.
1.8.2 Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan penulis yaitu deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula didalamnya ilmu hukum yang bertujuan menggambarkan secara komferhensif gejala-gejala dalam masyarakat. Serta, menghubungkan antara gejala satu dengan gejala lainnya.12 1.8.3Sumber Data Pada penyusunan skripsi penulis membedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat yang dinamakan data primer dan diperoleh dari bahan-bahan pustaka dinamakan data sekunder. Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2(dua) sumber data, yaitu : 12
Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,hal.25.
1. Data primer Agar dapat memperoleh data primer dilakukan penelitian lapangan (field Research), yang berarti dengan cara melakukan penelitian secara langsung ke lapangan yakni diperoleh secara langsung dari Pengadilan Negeri Negara yang dimana putusan kasus tentang kecelakaan lalu lintas terdapat disana, sehingga Pengadilan Negeri Negara sebagai tempat penelitian pada penulisan skripsi ini. 2. Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, Doktrin, ensiklopediayakni data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan. 3.Data tersier Terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, kemudian bahan hukum sekunder yaitu berdasarkan doktrin atau pendapat para sarjana dan bahan hukum tersier yaitu berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi wawancara dan teknik studi dokumen, mengenai teknik studi wawancara (interview) dalam hal ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada informan yaitu Hakim Pengadilan Negeri Negara maupun responden yang dirancang atau telah
dipersiapkan sebelumnya untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dan dari jawaban ini diadakan pencatatan sederhana yang kemudian diolah dan dianalisa. Kemudian pada teknik studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian yaitu KUHP, UU NRI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta bahan bacaan yang berkaitan dengan disparitas penjatuhan sanksi pidana. 1.8.5Teknik Penenetuan Sampel Penelitian Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitian ini adalah dengan teknik non probability sampling khususnya dengan menggunakan teknik purposive sampling.Sampel penelitian ditentukan sendiri oleh si peneliti dengan mencari key information(informasi kunci) ataupun responden kecil yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti. 1.8.6 Teknik pengolahan dan analisis data Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah di dapat sebelumnya.Adapun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian telah dihimpun dengan menggunakan teknik kualitatif yang berarti data yang sudah diperoleh diuraikan yang kemudian dihubungkan dengan teoriteori yang berasal dari literatur yang bersangkutan. Teknik yang penulis gunakan adalah teknik analisis kualitatif. Dalam hal ini data yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas kata-kata (narasi), data
sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun kedalam struktur klasifikasi, hubungan antar variabel tidak jelas, sampel lebih bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi. Dalam penelitian dengan teknik analisis kualtatif atau yang juga sering dikenal dengan analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan thema, diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interprestasi untuk memahami data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejakpencarian data di lapangan dan berlanjut terus sehingga pada tahap analisis.