2
Indonesia merupakan negara yang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa “....Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum.” Tentu saja kesejahteraan dalam hal ini termasuk kesejahteraan di bidang pendidikan. Namun Konu dan Rimpella (2002) menyatakan bahwa kesejahteraan seringkali dipisahkan dari kurikulum. Hal itu terbukti di mana peningkatan kualitas pendidikan cenderung difokuskan pada penambahan beban kognitif kepada siswa sehingga kesejahteraan siswa di sekolah kurang diperhatikan dengan serius (Siswoyo, dkk, 2007). Kondisi tersebut mengakibatkan siswa merasa tidak nyaman bersekolah, sehingga berdampak sebagaimana portal berita Surabaya.com menyebutkan bahwa pada UAN 2014 lalu sebanyak 15 siswa SMA di Jember mengalami tekanan mental. Fenomena rendahnya kesejahteraan siswa dapat terlihat dari rendahnya persentase siswa yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Sarjana (2005) mengemukakan bahwa salah satu faktornya adalah motivasi intrinsik dari siswa tersebut, yang menandakan siswa tidak menganggap sekolah itu menyenangkan. Anggapan siswa bahwa sekolah tidak menyenangkan juga ditunjukkan oleh
Ampuni dan Andayani (2007), hasil penelitian tersebut
menunjukkan 14% dari keseluruhan klien anak dan remaja yang dikonsultasikan ke Unit Konsultasi Psikologi
terkait kasus mogok sekolah. Data tersebut
tampaknya masih relevan mengingat banyaknya kasus bolos sekolah yang terjadi hingga saat ini.
3
Penelitian terkait kesejahteraan siswa di sekolah menengah atas yang dilakukan melalui sampel siswa di kota Yogyakarta, Madiun, Semarang, dan Pekalongan menunjukkan 89 dari 301 siswa (30%) memiliki kesejahteraan subjektif yang rendah (Utami, 2011; Aditia, 2011; Nusuki, 2011; Dewanto, 2011). Studi awal yang dilakukan peneliti di sebuah SMK swasta di Kota Yogyakarta juga menunjukkan bahwa permasalahan terbesar sekolah adalah banyaknya siswa yang kurang antusias dan kurang menikmati hari-hari di sekolah, sehingga berdampak pada tingginya frekuensi perilaku terlambat dan membolos sekolah. Berdasarkan wawancana dengan guru Bimbingan & Konseling (BK) dari dua SMA Negeri dan satu SMK Swasta di Yogyakarta diperoleh informasi bahwa kenyamanan merupakan hal penting bagi siswa untuk belajar di sekolah. Permasalahan terkait kenyamanan bisa berbeda antarsekolah. Namun demikian, secara umum guru BK menyatakan bahwa indikator kesejahteraan siswa bisa sama di berbagai sekolah. Hal utama yang mempengaruhi kenyamanan siswa bersekolah adalah guru yang bertindak sebagai manajer kelas. Siswa kadang mengeluh cara guru mengajar, dan beberapa siswa mengeluh mengenai komunikasi yang sulit dengan guru. Hal lain yang mempengaruhi kenyamanan adalah status sekolah yang biasanya bukan pilihan pertama siswa, sehingga masih ada pemikiran bahwa seharusnya mereka berada di sekolah yang lebih baik. Oleh karena itu, permasalahan kesejahteraan siswa lebih condong dialami oleh siswa kelas X. Siswa yang gagal beradaptasi akan cenderung mengalami permasalahan pada proses belajarnya di kemudian hari.
4
Berdasarkan wawancara tersebut juga terungkap bahwa secara akademis siswa belum mampu mengukur kemampuan intelektualnya, sehingga dengan mudah menentukan cita-cita yang utopis, hal ini bermasalah ketika ternyata ia gagal meraihnya. Siswa perlu memahami secara realistis kondisi diri dan kondisi sekolah di mana mereka belajar, walaupun terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan tetapi siswa hendaknya dapat menerima dan mencari sisi positif dari kehidupannya di sekolah. Data wawancara menunjukkan bahwa siswa, pada khususnya kelas X, masih tertutup mengemukakan permasalahannya, tetapi bila siswa telah bersedia terbuka ternyata permasalahan yang dihadapi cukup kompleks dan beragam. Survey awal yang dilakukan terhadap 52 siswa kelas X salah satu SMA Negeri di Yogyakarta menunjukkan 92% siswa menganggap perlu berangkat sekolah, tetapi permasalahannya adalah 85% siswa menilai masih banyak hal yang harus disediakan oleh sekolah. Hal tersebut menunjukkan jika siswa belum merasa puas dengan kondisi pembelajaraan di sekolah. Survey juga menunjukkan bahwa 60% responden menganggap dirinya seharusnya berada di sekolah yang lebih baik. Secara afek, 10% siswa sering merasa tertekan dengan kondisi belajar di sekolah. Kesejahteraan subjektif merupakan hasil evaluasi seseorang terhadap kehidupannya baik secara kognitif maupun afektif (Diener, 2000). Evaluasi tersebut dapat dievaluasi pada domain khusus (Diener, 1984; Triandis, 2000), yang dalam hal ini adalah kehidupan siswa di sekolah. Hal tersebut sebagaima Shoshani & Steinmetz (2013) yang menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif
5
penting ditumbuhkan dalam konteks sekolah karena adanya hubungan yang positif antara kesejahteraan subjektif siswa dengan kelekatan di sekolah. Rendahnya kesejahteraan siswa salah satunya disebabkan tujuan kurikulum sekolah yang semakin berorientasi pada akademis dan keterampilan, serta mengesampingkan kompetensi sosial dan emosi. Oleh karena itu, intervensi terkait kesejahteraan subjektif di sekolah bertujuan untuk meningkatkan pengalaman positif siswa di sekolah. Huebner (2001) melakukan penelitian terkait kesejahteraan pada remaja juga menjadikan sekolah sebagai salah satu domain spesifiknya, tetapi masih mengevaluasi kepuasan sekolah secara umum. Evaluasi mengenai kesejahteraan siswa di sekolah yang lebih spesifik dapat mengacu pada konsep school wellbeing yang dikembangkan oleh Konu & Rimpella (2002). Konsep tersebut menjelaskan empat kategori kesejahteraan sekolah yaitu school condition (having), social interaction (loving), means for self-fulfilment (being), dan health status. a. School condition (having) merupakan
kondisi material dan kebutuhan
impersonal terkait kondisi lingkungan fisik di sekitar dan di dalam sekolah. Hal tersebut meliputi keamanan, tingkat kebisingan, temperatur, ventilasi dan lainlain. Termasuk juga kurikulum, ukuran kelas, jadwal belajar, dan lain-lain. b. Social relationship (loving) merupakan kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain seperti hubungan guru-siswa, hubungan antarsiswa, dinamika kelompok, bullying, iklim sekolah, hubungan sekolah dengan orangtua siswa, dan lain-lain.
6
c. Means for self-fulfilment (being), kebutuhan perkembangan personal di mana tiap siswa merasa diterima dan dihormati sebagai bagian yang berharga dari lingkungan sekolah. Termasuk di dalamnya segala hal yang dapat menunjang pemenuhan diri siswa, seperti bimbingan dan dukungan juga perlakuan yang disesuaikan dengan masing-masing kondisi siswa sehingga siswa merasa diterima sebagai bagian dari sekolah. d. Health status, ketiadaan sakit (desease) dan kondisi sakit (illness). Sakit merupakan bentuk abnormalitas pada bagian tubuh seseorang. Sementara kondisi sakit merupakan perasaan tidak sehat yang dialami oleh seseorang. Indikator-indikator tersebut apabila dipersepsi positif oleh siswa maka akan menghasilkan kesejahteraan yang baik, dan demikian pula sebaliknya. Berdasarkan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan peneliti bersama 10 siswa kelas XII salah satu SMA Negeri di Yogyakarta, diperoleh enam indikator berdasarkan
kategori
school
well-being
yang
dianggap
paling
sering
mempengaruhi kesejahteraan siswa remaja di sekolah: 1. Kondisi Akademik Siswa (Having) Siswa merasa tidak puas dalam bersekolah apabila tidak mendapatkan ilmu seperti yang diharapkan. Misalnya siswa ingin mendapat ilmu mengenai kewirausahaan aplikatif tetapi hanya diajarkan teori ekonomi. Selain itu, nilai menjadi hal yang sangat penting bagi kesejahteraan siswa. Siswa yang merasa banyak nilainya tidak memuaskan cenderung memiliki rasa malas untuk berangkat sekolah. Lebih jauh lagi, perasaan bahwa sekolah tidak menyenangkan akan tumbuh pada diri siswa yang merasa tertinggal beberapa
7
mata pelajaran. Kondisi tersebut membuat siswa tidak tertarik untuk mencari ilmu lebih dalam ketika belajar di sekolah. 2. Hubungan dengan Teman (Loving) Siswa yang merasa nyaman bergaul dengan teman di sekolah cenderung lebih mampu menikmati proses belajar di sekolah, dan sebaliknya. Siswa merasa sekolah tidak menyenangkan ketika mendapati banyak teman-teman yang membentuk kelompok ekslusif (genk) dan tidak berbaur. Selain itu cara teman bercanda yang dianggap sebagai hinaan (seperti memanggil dengan atribut fisik, merendahkan status sosial ekonomi keluarga) dapat menurunkan kenyamanan siswa di sekolah. Beberapa siswa juga menyebut ada teman-teman yang egois dan tidak peka ketika dimintai bantuan. 3. Hubungan dengan Guru (Loving) Siswa menilai bahwa selalu ada guru yang menyenangkan dan juga tidak menyenangkan. Guru yang menyenangkan adalah guru yang dianggap mampu menjalin komunikasi dengan siswa, menyisipkan cerita dan pengalaman ketika mengajar, mau membimbing siswa tanpa menyalahkan, tidak mudah memberi hukuman tanpa mendengar alasan siswa, juga memberikan dukungan dan bukan menuntut. Guru dengan kondisi sebaliknya dianggap siswa membuat sekolah tidak menyenangkan, dan malas mengikuti pelajaran. Sebagian siswa juga pernah berpikir untuk membolos walaupun niat tersebut urung dilakukan. 4. Aktivitas di Sekolah (Having) Siswa menganggap aktivitas sekolah merupakan hiburan ketika merasa suntuk dengan mata pelajaran. Kegiatan ekstrakulikuler yang ditawarkan sekolah
8
dapat menarik minat siswa untuk menghabiskan waktu di sekolah, bahkan beberapa siswa lebih bersemangat mengikuti kegiatan ekstrakulikuler dibandingkan belajar di kelas. Namun kondisi kegiatan ekstrakulikuler yang terkadang kosong membuat siswa merasa kecewa. Siswa mengatakan jika ekstrakulikuler seperti olahraga bisa juga dilakukan sendiri tanpa difasilitasi sekolah, tapi siswa mengangap lebih baik jika sekolah dengan serius memperhatikan aktivitas yang bisa diikuti oleh siswa. 5. Fasilitas di Sekolah (Having) Siswa menganggap bahwa salah satu hal yang membuat siswa tidak betah belajar di sekolah adalah fasilitas sekolah. Ketika kelas dirasa terlalu sempit, atau kondisi kelas yang gerah menjadikan siswa sulit menikmati proses belajar. Fasilitas penunjang seperti bangunan yang kuno, tidak menarik juga mempengaruhi rasa bangga siswa terhadap sekolahnya. Siswa cenderung memiliki harapan yang besar terhadap fasilitas yang disediakan sekolah, seperti kamar mandi dan kantin yang mewah, laboratorium dan kelas yang dilengkapi alat-alat canggih. Harapan yang berbeda dari kenyataan tersebut menurunkan semangat siswa untuk menikmati sekolah. 6. Kondisi Diri Sendiri (Being) Siswa yang minder dengan kondisi dirinya, seperti sudah merasa putus asa untuk naik kelas ataupun lulus, merasa kalah bersaing dengan teman-temannya, ataupun tidak percaya diri dengan status sosial ekonomi keluarga cenderung kurang menikmati hari-hari di sekolah. Demikian juga sebagian siswa yang belum memiliki cita-cita ataupun rencana masa depan cenderung belum
9
mengerti arti pentingnya sekolah, sehingga dengan mudah berpikir untuk datang terlambat atau bahkan membolos. Hal-hal yang terkait dengan diri tersebut ikut mempengaruhi kenyamanan siswa di sekolah. Dengan demikian kesejahteraan siswa remaja di sekolah pada penelitian ini dapat diukur melalui persepsi siswa terhadap keenam indikator tersebut. Semakin positif siswa mempersepsi indikator-indikator tersebut, maka akan menghasilkan kesejahteraan yang baik, dan demikian pula sebaliknya. Kategori health status tidak diikutsertakan pada penelitian ini karena bukan merupakan konstrak psikologi. Penelitian Dryfoos (dalam Roeser, 2008) menunjukkan pada siswa remaja, rendahnya keterikatan terhadap sekolah dapat berujung pada perilaku-perilaku yang lebih ekstrem, seperti distress emosional, dan dalam rentang waktu tiga tahun selanjutnya akan memberikan tanda-tanda adanya masalah perilaku seperti penggunaan obat-obat terlarang, kenakalan, kehamilan luar nikah, dan mogok sekolah. Hal tersebut disebabkan adanya reaksi emosi akut yang terjadi akibat sejumlah situasi yang merangsang seperti kekecewaan dan frustrasi (Putri, 2010). Tingginya emosi negatif tersebut merupakan ciri rendahnya kesejahteraan subjektif (Diener, 2003). Kebahagiaan dan kepuasan terhadap sekolah merupakan hal penting bagi remaja, di mana Oetami dan Yuniarti (2011) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada kebahagiaan siswa SMA laki-laki dan perempuan. Tidak dipungkiri bahwa periode awal remaja identik dengan peluang dan resiko untuk berprestasi di sekolah. Oleh karena itu kesejahteraan remaja di sekolah
10
dapat memberikan prediksi ketika remaja memasuki fase akhir atau fase dewasa, apakah akan mampu mencapai kesuksesan, terlibat secara produktif dalam kehidupan masyarakat, atau justru mengalami tekanan dan terasing dari kehidupan sosial (Roeser, 2008). Para remaja dengan kesejahteraan subjektif yang rendah cenderung kurang terlibat dengan aktivitas di sekolah seperti ekstrakurikuler (Utami, 2009) yang mengakibatkan mereka tidak menikmati pengalaman di sekolah. Keengganan siswa mengikuti ekstrakulikuler dapat disebabkan oleh fasilitas yang dianggap tidak memuaskan (Fuadah, 2011). Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Huebner & Diener (2008) menemukan bahwa remaja yang tidak bahagia dengan pengalamannya
di
sekolah
cenderung
memperlihatkan
kesulitan
dalam
beradaptasi terhadap berbagai tantangan hidup dan menimbulkan masalah seperti keinginan bunuh diri, psikosomatis, dan depresi. Siswa yang tidak tertarik mengikuti kegiatan sekolah memiliki kelekatan yang lebih rendah terhadap sekolah, dan memiliki resiko lebih tinggi untuk tidak menyelesaikan sekolah (Appleton, dkk, 2008). Gejolak jiwa yang terjadi pada masa remaja merupakan bagian dari tahap perkembangan. Erikson menyebutkan bahwa remaja berada dalam tahap perkembangan psikososial yang disebut identity vs confusion, yang merupakan masa proses pencarian jati diri (Santrock, 2002). Remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa sehingga mengalami perubahan emosi, kognitif, dan perilaku yang mempengaruhi kesejahteraan subjektifnya (Yadav, 2011). Labilnya kondisi emosi tersebut dibuktikan oleh penelitian pada 400 siswa
11
SMA di Kota Medan, dengan hasil yang menunjukkan bahwa 27,25 % siswa memiliki stabilitas emosi yang tergolong kurang dan rendah (Sitanggang & Saragih, 2013). Dalam prosesnya, remaja cenderung tidak puas pada dirinya, mengkritik diri sendiri, dan membandingkan dirinya dengan orang lain. Namun sebenarnya dengan menerima bahwa setiap orang adalah baik, dengan segala kondisinya, maka individu dapat lebih positif (Ellis, dalam Chamberlain, 1999). Remaja juga memiliki perkembangan kognitif yang masih egosentris. Elkind (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa terdapat dua tipe egosentris remaja: a) The imaginary audience – bagian dari egosentrisme remaja yang menuntut perilaku mencari perhatian. Usaha untuk dilihat dan menonjol. Mereka percaya bahwa dirinya adalah aktor utama dan orang lain hanyalah penonton. b) The personal fable – bagian dari egosentrisme remaja yang menganggap dirinya unik, dan tak dapat disentuh. Remaja percaya bahwa keunikan mereka membuat orang lain tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang mereka rasakan.
Sebagai konsekuensinya, remaja sering mengarang cerita tentang
dirinya yang lepas dari realita. Selain itu, Santrock juga menjelaskan bahwa remaja telah memiliki perspective taking yang berkembang, yaitu kemampuan melihat atau mempersepsi sesuatu dari sudut pandang orang lain dan memahami pikiran serta perasaan dirinya sendiri. Hal ini menyebabkan remaja menjadi sangat peka terhadap apa yang dipikirkan orang lain mengenai dirinya.
12
Penelitian menunjukkan arti penting persepsi siswa terkait kehidupannya di sekolah. Harde dkk (2009) menyebutkan bahwa persepsi siswa SMA mengenai lingkungan belajarnya di kelas dapat mempengaruhi kompetensi dan orientasi tujuannya bersekolah, karena siswa dapat melakukan perbandingan kemampuan dan sosial dengan siswa lain. Selain itu, persepsi siswa SMA terhadap dukungan dari guru dapat memprediksi motivasi dan keinginan untuk menyelesaikan sekolah (Harde, dkk, 2009). Kesejahteraan subjektif siswa remaja juga berkorelasi positif dengan persepsi terhadap iklim sekolah (Prasetyo, 2011). Faktor-faktor dalam iklim sekolah di antaranya adalah keintiman hubungan dengan temanteman, dukungan dari guru, peraturan, dan tugas-tugas akademik (Fuadah, 2011). Seiring
perkembangan
remaja,
kesejahteraan
subjektif
juga
dapat
mengalami perubahan. Diener dkk (1999) menjelaskan adanya pengaruh usia terhadap kesejahteraan subjektif, di mana siswa yang berusia di atas 17 tahun cenderung memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi, karena kemampuan evaluasi yang lebih objektif. Selain itu, usia remaja memiliki intensitas afek positif dan negatif yang lebih tinggi dibandingkan usia tua. Remaja yang berada dalam masa transisi jenjang pendidikan rawan untuk tidak puas dengan sekolahnya. Santrock (2007) menyatakan bahwa masa-masa transisi sekolah cenderung memunculkan top-dog phenomenon, yaitu berubahnya kondisi dari siswa tertua, dan memiliki pengararuh terbesar di jenjangnya menjadi siswa baru yang termuda, terkecil dan tidak berpengaruh pada jenjang pendidikan selanjutnya. Pengalaman siswa pada hal ini sudah terbentuk sejak memasuki kelas
13
VII (kelas 1 SMP). Dapat dikatakan bahwa transisi SD ke SMP dan SMP ke SMA memiliki tantangan yang serupa bagi siswa, khususnya siswa kelas X SMA. Siswa SMA juga memiliki angka drop-out yang tinggi. Info dari laman berita bantenraya.com mengutip bahwa 312 ribu anak tidak bersekolah dari total 602 ribu siswa pada tingkat SMA sederajat. Kepala Dinas Pendidikan Banten, Hudaya Latuconsina, menyatakan bahwa tingginya angka drop-out disebabkan siswa tidak lagi percaya kepada sekolah yang dianggap belum mampu memberi harapan untuk masa depan. Santrock (2007) menguatkan bahwa remaja SMA telah mampu berpikir mandiri dalam pemecahan masalah dan terkadang membuat keputusan instan dengan keluar dari sekolah. Kondisi tersebut menunjukkan adanya permasalahan kesejahteraan subjektif pada siswa SMA. Kesejahteraan subjektif merupakan konsep yang dikembangkan oleh Ed Diener pada tahun 1984. Diener (1984) menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif merujuk pada bagaimana dan kenapa manusia menjalani hidupnya secara positif, yang melibatkan baik penilaian kognitif maupun reaksi afektif. Lebih jauh, kesejahteraan subjektif adalah hasil evaluasi seseorang terhadap kehidupannya baik secara kognitif maupun afektif (Diener, 2000), baik di waktu sekarang maupun lampau (Diener, Oishi, & Lucas, 2003), melalui empat tahapan: (1) kondisi lingkungan dan peristiwa yang direspon seseorang, (2) reaksi evaluatif seseorang terhadap peristiwa tersebut, (3) ingatan seseorang terhadap reaksinya tersebut, dan (4) penilaian umum seseorang terhadap kehidupannya (Diener, 2003).
14
Ilmu psikologi membedakan kesejahteraan (well-being) dengan istilah kebahagiaan (happiness). Hal tersebut dijelaskan dalam APA Dictionary of Psychology (2002) yang mendefinisikan kesejahteraan sebagai kondisi kesehatan baik fisik maupun mental, sementara kebahagiaan mengacu pada emosi kesenangan. Namun demikian kesejahteraan dan kebahagiaan tetap erat kaitannya (Diener & Lucas, 2000), walaupun arti kebahagiaan belum dikonsepkan dengan jelas (Proctor, Linley, & Maltby, 2009). Kebahagiaan juga mempengaruhi kualitas hidup seseorang (Ng, Diener, Aurora, & Harier, 2009), yang dapat berubah sejalan dengan kehidupan, aktivitas, dan pola pikir (Diener, dkk, 2003). Terdapat pula perbedaan istilah antara kesejahteraan subjektif (subjective well-being) dan kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Perbedaan keduanya terletak pada aspek-aspek yang mengusungnya. Namun demikian, Samman (2007) menyatakan bahwa aspek-aspek kesejahteraan baik dari perspektif subjective well-being maupun psychological well-being tidak bertentangan dan bahkan dapat dipadukan menjadi: 1) makna hidup, 2) tiga kebutuhan dasar psikologis berupa autonomi, kompetensi dan keterhubungan, 3) kepuasan hidup baik umum maupun spesifik, dan 4) kebahagiaan. Penelitianpenelitian lain juga menyatukan kedua perspektif tersebut (Seligman, 2002; Horgesen & Nafstad, 2004; Keyes, 2002; Ryand & Deci, 2011; seluruhnya dalam Szentagotai & David, 2013). Kesejahteraan subjektif memiliki dua aspek, yaitu aspek kognitif dan aspek afektif (Diener, 2003; Vazquez, Hervas, Rahona, & Gomez, 2009). Aspek kognitif pada kesejahteraan subjektif berupa evaluasi terhadap kepuasan hidup (Diener
15
2003, Larsen & Eid, 2008; Proctor, dkk, 2009; Kim & Tov, 2011). Kepuasan hidup tersebut dapat dievaluasi secara umum ataupun dilihat pada domain-domain yang lebih spesifik seperti pekerjaan ataupun keluarga (Diener, 1984, Diener, Suh, & Oishi, 1997; dan Triandis, 2000). Schimmack (2008) menjelaskan dua pendekatan teori mengenai aspek kognitif, yaitu kepuasan hidup secara umum (life satisfaction) dan kepuasan hidup dalam domain spesifik (domain satisfaction). Pertama, bottom-up theory menyatakan bahwa penilaian terhadap kepuasan domain menyebabkan kepuasan hidup. Kedua, top-down theory menyatakan bahwa kepuasan hidup secara umum menyebabkan timbulnya kepuasan domain. Namun Andrews & Whitney (dalam Shimmack, 2008) menyatakan bahwa kedua teori tersebut dapat berjalan bersama. Sebagai ilustrasi adalah seseorang yang mendapatkan kenaikan gaji (domain pekerjaan) akan meningkatkan kepuasan hidupnya secara umum, di mana kemudian disertai peningkatan kepuasan pada domain spesifik lainnya, seperti keluarga.Dalam penelitian ini, kepuasan hidup dilihat pada domain spesifik yaitu sekolah dari sudut pandang siswa. Aspek afektif pada kesejahteraan subjektif dibagi menjadi dua, yaitu afek positif dan afek negatif. Afek positif misalnya gembira, bangga, sementara afek negatif seperti malu, marah, sedih , dan cemas (Diener dkk, 1997). Kedua afek tersebut merupakan aspek yang terpisah dan berdiri sendiri (Larsen & Eid, 2008). Schimmack (2008) menjelaskan penelitian-penelitian mengenai afek yang dilakukan berulangkali dengan hasil yang sama, di mana korelasi afek positif dan afek negatif mendekati nol. Artinya seseorang dengan afek positif tinggi tidak
16
berarti memiliki afek negatif rendah, dan sebaliknya. Pengukuran kesejahteraan subjekif secara afektif dapat dilakukan dengan membandingkan frekuensi afek positif dengan afek negatif (Larsen & Eid, 2008). Seseorang dikatakan memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi ketika mengalami afek positif yang lebih sering atau kuat daripada afek negatif (Kim & Tov, 2011). Sementara itu, hasil wawancara dengan guru BK dan focus group disscussion (FGD) terhadap 10 siswa di salah satu SMA di Yogyakarta mengkonfirmasi hal-hal yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif siswa di sekolah, yaitu akademik, hubungan dengan teman, hubungan dengan guru, aktivitas di sekolah, fasilitas di sekolah, dan kondisi diri. Hasil FGD tersebut mendukung konsep kesejahteraan sekolah yang dikembangkan oleh Konu & Rimpella (2002) terkait indikator kesejahteraan di sekolah. Dengan demikian pengukuran kesejahtreraan subjektif siswa di sekolah dapat merujuk pada indikator-indikator tersebut. Berdasarkan hasil asesmen, dapat disimpulkan bahwa banyak persoalan siswa yang mengganggu kesejahteraan subjektif di sekolah disebabkan evaluasi negatif terhadap peristiwa yang dialami dalam kesehariannya. Remaja memiliki kemampuan kognitif yang telah berkembang untuk berpikir abstrak, kompleks dan hipotetis. Kemampuan kognitif remaja juga mampu mengkritisi keyakinan, nilainilai, sikap, dan tujuan. Hal tersebut di sisi lain juga menimbulkan kemungkinan munculnya pemikiran irasional yang berpengaruh pada kondisi psikologisnya (Najafi & Lea-Baranovich, 2011). Selain evaluasi kognitif, emosi negatif juga dapat menganggu proses berpikir dan kemampuan siswa untuk mencapai tujuan di
17
sekolahnya seperti kesuksesan akademik, dan interaksi sosial baik dengan teman maupun guru (Banks, 2006). Kesejahteraan siswa remaja di sekolah merupakan salah satu domain spesifik dari kesejahteraan subjektif, yang memiliki cakupan lebih luas. Diener (2003) menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif merupakan hasil evaluasi seseorang terhadap kehidupannya. Evaluasi tersebut berupa penilaian kognitif seperti kepuasan hidup dan respon emosi terhadap peristiwa, seperti afek positif atau afek negatif. Pendekatan kognitif-afektif tersebut sesuai dengan konsep psikologi yang dikembangkan oleh Albert Ellis, di mana ia berpendapat bahwa gangguan psikologis disebabkan oleh fungsi persepsi, evaluasi, dan sistem nilai (Koffler, 2005). Artinya, seseorang tidak dipengaruhi oleh suatu peristiwa melainkan karena cara pandang dan keyakinannya terhadap peristiwa tersebut. Diener mendukung pandangan Ellis yang menyatakan bahwa cara seseorang berfikir mengenai dunia dapat mempengaruhi emosi dan evaluasi terhadap kesejahteraan (Diener, dkk, 2009). Pada kenyataannya, penilaian negatif manusia pada peristiwa membuatnya tidak bahagia dan sebaliknya (Najafi & LeaBaranovich, 2014). Salah satu intervensi yang dapat digunakan adalah pendekatan rasional-emotif yang mampu membuat seseorang lebih bahagia (Ellis, 2004). Teori rasional-emotif pada awalnya dikembangkan oleh Albert Ellis pada tahun 1953 dan mulai digunakan pada tahun 1955 dengan nama Rational Therapy, kemudian berubah menjadi Rational Emotive Therapy. Sejalan dengan waktu, teori ini kemudian dikenal dengan Rational Emotive Behavioral Therapy (REBT), walaupun berbeda nama tetapi konsepnya masih sama yaitu adanya keterkaitan
18
antara pemikiran, perasaan dan tindakan (Najafi & Lea-Baranovich, 2014). Meskipun menggunakan istilah terapi pada namanya, REBT juga dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan, sebagaimana yang diusulkan oleh Dryden & Neenan (2004). Hal tersebut dikarenakan REBT memiliki filosofi-filosofi yang bersifat non-teknis. Ellis mengembangkan teorinya berdasarkan pengaruh beberapa filsuf kuno dan modern (Koffler, 2005). Oleh karena itu, peneliti menggunakan istilah pendekatan rasional-emotif (rational-emotive approach) untuk menyebut berbagai istilah di atas seperti yang dilakukan oleh Koffler (2005), Gandy (2007), Holt & Austad (2013), serta Oluyemisi & Oyesoji (2013). Pendakatan ini dapat digunakan untuk remaja (Gandy, 2007) dan siswa sekolah menengah atas (Vaida, Kallay, & Opre, 2008). Cara kerjanya adalah dengan memampukan siswa dalam mengelola pikiran dan perasaan di sekolah secara logis dan efisien untuk mengatasi emosi serta perilaku siswa yang membuatnya kurang berhasil di sekolah, (Zionts & Zionts, 1997). Ellis (1980) mengungkapkan bahwa pendekatan rasional-emotif memiliki beberapa filosofi, yaitu: 1) manusia membuat sendiri peraasaan negatifnya karena adanya pemikiran irasional, 2) manusia bisa memilih untuk mengganggu dirinya atau tidak, 3) manusia bisa berubah untuk memodifikasi pikiran, perasaan, dan perilaku, 4) jika manusia memutuskan untuk mengubah filosofi hidupnya, mereka dapat mengubah banyak aspek kehidupannya, 5) manusia bisa menciptakan kebahagiaan jangka panjang. Pendekatakan rasional-emotif bertujuan memperoleh kebahagiaan (Holt & Austad, 2013), dengan usaha untuk (Ellis, 2004): 1) meminimalkan semua
19
permasalahan emosi dan perilaku yang dimiliki, 2) tidak hanya memperoleh pencerahan tetapi menggunakan pencerahan tersebut dalam kehidupan, 3) memberikan motivasi mengenai pentingnya perubahan, 4) memotivasi untuk menggunakan terapi diri agar menjadi lebih baik dan tetap lebih baik. Kebahagiaan erat kaitannya dengan kesejahteraan subjektif, di mana pendekatan rasional-emotif dapat meningkatkan kesejahteraan personal melalui pemikiran rasional yang penuh (Holt & Austad, 2013). Adapun tujuan pendekatan rasional-afektif menurut Ellis adalah (Oluyemisi & Oyesoji, 2013): 1) tertarik pada diri sendiri, 2) tertarik pada hubungan sosial, 3) mampu mengarahkan diri, punya tanggung jawab pada diri sendiri dan mandiri dalam pemecahan masalah, 4) toleransi, memaklumi orang lain berbuat salah, 5) lentur, terbuka pada ide, mau berubah, 6) penerimaan atas ketidakpastian, 7) komitmen, 8) pemikiran ilmiah, dapat bertindak dengan memikirkan akibatnya, 9) penerimaaan diri, menerima diri apa adanya tidak berdasarkan prestasi ataupun penilaian orang lain, 10) berani mengambil risiko, 11) tidak utopis, menyadari bahwa dirinya tidak mungkin mendapatkan semua yang diinginkan atau menghindari sepenuhnya semua yang tidak ia sukai. Terdapat dua pendekatan kognitif yang terkenal pada periode 1960-an dan tetap berkembang hingga saat ini. Selain pendekatan rasional-emotif, terdapat pula pendekatan kognitif-perilakuan (cognitive behavioral) yang dikembangkan oleh Aaron Tim Back. Wilding & Milne (2008) menjelaskan bahwa pada awalnya pendekatan
kognitif-perilakuan digunakan hanya untuk mengatasi masalah
depresi. Pendekatan kognitif-perilakuan juga cenderung lebih bersifat klinis, hal
20
tersebut yang membedakannya dengan pendekatan rasional-emotif yang dianggap lebih fleksibel. Perbedaan keduanya juga terdapat pada operasionalnya, Wilding & Milne (2008) menjelaskan bahwa pendekatan kognitif-perilakuan mengembangkan konsep distorsi kognitif yang dijelaskan melalui model NATs (Negative Automatic Thoughts). Dryden & Neenan (2004) menjelaskan bahwa pendekatan rasional-emotif mengembangkan konsep keyakinan rasional/irasional yang dijelaskan melalui model ABC (Activating Events-Beliefs-Consequences) dan DE (Disputing-Effect) sebagai proses intervensi. Penjelasannya sebagai berikut (Dryden & Neenan, 2004; Gandy, 2007; Vaida, Kallay, & Opre, 2008; Jensen, 2008): 1) A (Activating Events), merupakan peristiwa yang memicu gangguan. Peristiwa tersebut dapat bersifat nyata maupun dugaan. Peristiwa nyata adalah apa yang terjadi sesungguhnya (fakta-situational A), dan peristiwa dugaan adalah evaluasi terhadap peristiwa nyata (opini-critical A). Peristiwa dapat berasal dari masa lalu, masa kini, ataupun antisipasi terhadap masa depan. Peristiwa juga dapat bersifat ekternal (melibatkan orang lain) ataupun internal (dialami oleh diri sendiri). Critical A perlu ditemukan dan ditantang dengan pemikiran baru yang lebih positif (non-critical). 2) B (Beliefs), merupakan keyakinan baik bersifat rasional maupun irasional. Keyakinan irasional merupakan evaluasi yang bersifat a) rigid dan eksterm, b) tidak sesuai kenyataan, c) tidak logis, d) memiliki konsekuensi disfungsional. Keyakianan rasional memiliki sifat sebaliknya, yaitu a) lentur, b) sesuai
21
kenyataan, c) logis, d) memiliki konsekuensi fungsional.
Terdapat empat
keyakinan irasional: a) Demands, merupakan pemikiran kaku tentang bagaimana suatu hal itu seharusnya atau tidak seharusnya terjadi. Tuntutan dapat diberikan kepada diri sendiri ataupun orang lain. Pemikiran irasional tersebut ditantang dengan preference, yaitu pemikiran yang memandang sesuatu sebagai keinginan, kesukaan dan bukan keharusan mutlak. b) Awfulising, merupakan keyakinan berlebihan tentang akibat yang akan diperoleh ketika keinginan tidak terpenuhi. Pemikiran tersebut memandang peristiwa sebagai hal terburuk yang tidak dapat dilihat sisi positifnya. Pemikiran irasional tersebut ditantang dengan meminimalkan antisipasi terhadap evaluasi keburukan yang mungkin terjadi. Pemikiran rasional memandang suatu peristiwa bukan sebagai yang terburuk, dan melihat sisi positif peristiwa tersebut. c) Low Frustration Tolerance, merupakan keyakianan bahwa dirinya tidak dapat menerima kondisi yang dialami ketika keinginan tidak terpenuhi. Pemikiran irasional ini memandang bahwa peristiwa seharusnya lebih nyaman daripada yang terjadi. Pemikiran irasional tersebut dilawan dengan keyakinan rasional yang memandang dirinya akan tetap mampu mengahdapi situasi tidak nyaman, walaupun terasa sulit. d) Depreciation, merupakan pemikiran ekstrem bahwa diri, orang lain & lingkungan harus sesuai dengan apa yang diinginkan. Sesuatu yang tidak sesuai keinginannya akan dilabel buruk walaupun ketidaksesuaian itu
22
hanya terdapat pada satu aspek. Pemikiran irasional tersebut ditantang dengan acceptance, yaitu pemikiran bahwa sesuatu dapat diterima sebagaimana keadaannya. 3) C (Consequences), merupakan akibat yang terjadi akibat adanya beliefs (keyakinan). Jika seseorang memiliki keyakinan irasional terhadap peristiwa kritis, maka ia akan mengalami konsekuensi yang tidak sehat. Demikian sebaliknya. Konsekuensi dapat berupa emosi, perilaku (baik perilaku langsung maupun keinginan berperilaku), dan kognitif. Hubungan antara A, B, dan C dijelaskan dalam gambar berikut:
Gambar 1. Model ABC (Sumber: Ellis, dalam Vaida dkk, 2008)
4) D (Dispute), merupakan bantahan terhadap pemikiran (critical A) ataupun keyakinan (belief) yang disfungsional dan irasional serta menggantinya dengan pemikiran yang lebih rasional. Disputasi dapat dilakukan dengan berbagai cara selama memberikan hasil yang dituju. Cara yang paling umum adalah dengan mengubah sudut pandang atas peristiwa, menunjukkan kerugian dari pemikiran
23
irasional dan manfaat pemikiran rasional, mengajarkan teknik pemecahan masalah, dan distraksi kognitif. 5) E (Effect), merupakan filosofi baru tentang hidup yang menggantikan negative consequence (C), dan diperoleh setelah adanya disputing (D) terhadap critical activating events (A) maupun irrational beliefs (B).
A
B
C
D
E
Gambar 2. Model ABCDE (Sumber: Gandy, 2007)
Kesejahteraan subjektif meliputi evaluasi kognitif dan emosional individu terhadap kehidupannya (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). Evaluasi tersebut berupa penilaian kognitif seperti kepuasan hidup dan respon emosi terhadap peristiwa, seperti afek positif atau afek negatif. Kesejahteraan memiliki empat tahapan 1) kondisi lingkungan dan peristiwa yang direspon seseorang, 2) reaksi evaluatif seseorang terhadap peristiwa tersebut, 3) ingatan seseorang terhadap reaksinya tersebut, 4) penilaian umum seseorang terhadap kehidupannya. Reaksi evaluatif seseorang terhadap peristiwa dapat berubah, khususnya pada remaja. Yadav (2011) menyatakan bahwa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa sehingga mengalami perubahan emosi, kognitif, dan perilaku yang mempengaruhi kesejahteraan subjektifnya. Diener dkk
24
(2004) menyatakan bahwa salah satu hal yang dapat mengubah kesejahteraan adalah pola pikir. Perubahan pola pikir negatif menjadi positif adalah tujuan dari pendekatan rasional-emotif (Oluyemisi & Oyesoji, 2003). Diener mendukung pandangan Albert Ellis yang menyatakan bahwa cara seseorang berfikir mengenai dunia dapat mempengaruhi emosi dan evaluasi terhadap kesejahteraan (Diener dkk, 2009). Asumsi dasar pada pendekatan rasional-emotif yang dikembangkan Ellis adalah seseorang terganggu bukan karena peristiwa yang terjadi pada dirinya, tapi karena cara pandang terhadap peristiwa tersebut (Ellis, 1980; Najavi & LeaBaranovich, 2014). Manusia bereaksi berbeda pada peristiwa yang sama karena adanya faktor persepsi kognitif dan keyakinan (Jensen, 2008). Dengan demikian, apabila seseorang mengubah cara pandang terhadap peristiwa, maka evaluasi kognitifnya pun berubah. Pendekatan rasional-emotif bertujuan mengubah pemikiran negatif menjadi positif (Oluyemisi & Oyesoji, 2013), diantaranya dengan cara menantang pikiran negatif melalui bukti, mencari pikiran positif dan penguatan (Najafi & Lea-Baranovich, 2014). Pikiran dan perasaan saling bersama bertindak dalam serangkaian hubungan sebat-akibat (Ellis, 2004). Namun demikian, Ellis masih mengedepankan pentingnya kognitif dalam mempengaruhi perasaan (Koffler, 2005). Pendekatan rasional-emotif juga memberikan intervensi terkait emosi, diantaranya dengan cara relaksasi dan rational-emotive imagery (Compton, 2005; Brady, 2009). Dengan demikian afek positif menjadi lebih dirasakan dan menunjang peningkatan kesejahteraan subjektif.
25
Pendekatan rasional emotif pada dasarnya memandang adanya keterkaitan antara pikiran, emosi dan perilaku dalam serangkaian hubungan sebab-akibat (Ellis, 2004). Yadav (2011) menyatakan bahwa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa sehingga mengalami perubahan emosi, kognitif, dan perilaku yang mempengaruhi kesejahteraan subjektifnya. Perubahan kognitif, emosi dan perilaku remaja tersebut merupakan bagian dari tahap perkembangan yang terjadi pada remaja, di mana setelah mencapai 17 tahun seseorang memiliki kemampuan evaluasi yang lebih objektif (Diener, 1999). Kemampuan kognitif remaja juga mampu mengkritisi keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan tujuan. Hal tersebut di sisi lain juga menimbulkan kemungkinan munculnya pemikiran irasional yang berpengaruh pada kondisi psikologisnya (Najafi & Lea-Baranovich, 2011). Ellis mengedepankan pentingnya kognitif dalam mempengaruhi perasaan (Koffler, 2005). Remaja masih memiliki kemampuan kognitif yang bersifat egosentris (Elkind dalam antrock, 2007). Dalam prosesnya, remaja cenderung tidak puas pada dirinya, mengkritik diri sendiri, dan membandingkan dirinya dengan orang lain. Egosentrisme tersebut membuat remaja melihat peristiwa dari sudut pandangnya sendiri, yang menjadikan remaja sangat peka terhadap apa yang dipikirkan orang lain mengenai dirinya (Santrock, 2007). Egosentrisme remaja mempengaruhi sudut pandang terhadap peristiwa yang dialami, khususnya di sekolah. Hal itu sesuai dengan asumsi dasar pada pendekatan rasional-emotif yang dikembangkan Ellis, bahwa seseorang terganggu bukan karena peristiwa
26
yang terjadi pada dirinya, tapi karena cara pandang terhadap peristiwa tersebut (Ellis, 1980; Najavi & Lea-Baranovich, 2014). Erikson menyebutkan bahwa remaja berada dalam tahap perkembangan psikososial yang disebut identity vs confusion, yang merupakan masa proses pencarian jati diri (Santrock, 2002). Pada proses pencariannya, tak jarang remaja menggali makna dalam kehidupannya. Makna kehidupan remaja dapat berasal dari prestasi, hubungan, dan penerimaan diri (Wong, dalam Rathi & Rastogi, 2007). Makna hidup tersebut merupakan salah satu indikator kesejahteraan subjektif (Samman, 2007). Namun remaja seringkali tidak puas dengan kondisi dirinya, hal itu diperkuat oleh data dari proses FGD bersama siswa. Hal-hal yang terkait dengan diri ikut mempengaruhi kenyamanan siswa di sekolah. Pendekatan rasional-emotif sangat menekankan atas pentingnya penerimaan diri tanpa syarat untuk meningkatkan fungsi manusia (Ellis, 2004), terlebih lagi penerimaan diri yang tinggi berhubungan erat dengan afek positif dan kepuasan hidup yang merupakan aspek kesejahteraan subjektif (Williams & Lyn, 2000; Garcia, dkk, 2014). Pendekatan rasional-emotif dapat membantu menciptakan evaluasi positif terhadap diri melalui konsep penerimaan diri tanpa syarat (Gandy, 2007). Berikut gambar dinamika peningkatan kesejahteraan subjektif siswa remaja melalui pendekatan rasional-emotif:
27
Peristiwa di sekolah: akademik, hubungan sosial (guru&teman), aktivitas, fasilitas, diri
Evaluasi kognitif secara negatif Afek negatif yang dominan
Ancaman terhadap kesejahteraan subjektif siswa remaja
Intervensi Pendekatan Rasional-Emotif
Penerimaan diri dan orang lain Mengubah pemikiran irasional menjadi rasional Manajemen emosi Gambar 3. Dinamika Intervensi Peningkatan Kesejahteraan Subjektif
Pendekatan rasional-emotif dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pelatihan (Sharp, 2003). Pelatihan berkelompok dapat efisien karena lebih dari satu siswa akan mendapatkan manfaat tidak hanya dari proses tetapi juga dengan melihat siswa lain dengan permasalahan serupa atau lebih serius (Zionts & Zionts, 1997). Selain itu, intervensi secara kelompok lebih efektif karena anggota kelompok dapat saling menguatkan. Anggota kelompok juga dapat menerima umpan balik dari rekannya. Pendukung lainnya adalah permasalahan seseorang cenderung terkait situasi sosial, sehingga setting kelompok dapat membantunya beradaptasi (Moore, 2005). Dalam penerapan intervensi, asumsi dasar yang dipegang dalam pendekatan rasional-emotif adalah seseorang dapat mengubah kondisi kognitif, emosi dan perilakunya (Oluyemisi & Oyesuji, 2013). Ellis menyarankan untuk menggunakan metode aktif-direktif (Zionts & Zionts, 1997) serta mengaplikasikan teknik-teknik ekletik selama mampu memberi hasil positif (Najafi & Lea-Baranovich, 2014).
28
Permasalahan kesejahteraan subjektif siswa remaja di sekolah Siswa merasa tidak nyaman dan bahagia bersekolah sehingga sering membolos, tidak giat belajar, dan mudah melanggar aturan, dikarenakan evaluasi negatif terhadap faktor eksernal berupa -kondisi sekolah, -hubungan sosial, -nilai pemenuhan diri
Penguatan faktor internal siswa Pelatihan Sekolah Itu Menyenangkan (SENANG) Terdiri dari 4 sesi utama: Pengenalan diri Berpikir rasional dan positif Manajemen emosi dan relaksasi Evaluasi Disusun dalam kerangka teori pendekatan rasional-emotif yang dikembangkan oleh Albert Ellis
Kesejahteraan subjektif siswa remaja di sekolah meningkat
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian Secara umum dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki tuntutan yang tidak terpenuhi dan juga kegagalan akan mempersepsi buruk dirinya atau lingkungan, dan menjadi merasa tidak senang serta tidak puas dengan kehidupannya (Holt & Austad, 2013). Perasaan merupakan aspek afektif dan kepuasan hidup merupakan aspek kognitif dari kesejahteraan subjektif (Diener, 2003). Oleh karena itu, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa kondisi yang mengganggu kesejahteraan subjektif siswa di sekolah adalah adanya evaluasi negatif terhadap kondisi yang dialami sehingga menyebabkan timbulnya afek negatif. Hal tersebut sesuai prinsip teori rasional-emotif bahwa pikiran mempengaruhi perasaan. Namun demikian, siswa tidak bisa dengan mudah mengubah
kondisi
eksternal
dirinya,
yang
sebagian
berada
di
luar
kemampuannya. Oleh karena itu, siswa perlu memahami kondisi dirinya dan memandang secara lebih rasional kondisi internal maupun eksternal dirinya untuk dapat meningkatkan evaluasi positif pada kehidupannya, khususnya di sekolah.
29
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui pengaruh pelatihan “SENANG” (akronim dari Sekolah Itu Menyenangkan) yang berdasar pendekatan rasionalemotif dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif pada siswa remaja (berusia 15 – 17 tahun). Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan teori kesejahteraan subjektif pada siswa SMA, khususnya pada budaya Indonesia. Penelitian kesejahteraan subjektif di Indonesia perlu dilakukan karena adanya perbedaan faktor budaya dengan penelitian kesejahteraan subjektif di Barat (Utami, 2012). Diener (dalam Diener dan Lucas, 2000) menyatakan bahwa budaya menjadi prediktor bagi kesejahteraan subjektif. Pada budaya individualis, emosi menjadi prediktor yang dominan, sementara itu pada budaya kolektivis kesejahteraan subjektif ditentukan oleh emosi dan juga perilaku yang sesuai dengan norma. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk mengatasi perilaku ketidakdisiplinan siswa, keaktifan siswa di sekolah, hubungan sosial siswa serta permasalahan lain yang disebabkan perasaan tidak nyaman siswa di sekolah. Hipotesis penelitian ini adalah pelatihan berdasar pendekatan rasional-emotif dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif pada siswa remaja.