KONSEPSI NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Mamur Rizki 1110054100038
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
KONSEPSI NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh : Mamur Rizki 1110054100038
Dibawah Bimbingan :
Muhtadi, M.Si 19750601 2014111 001
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
ABSTRAK
Mamur Rizki Konsepsi Negara Kesejahteraan Dalam Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945. Negara kesejahteraan merupakan model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Pilihan model seperti itu juga telah diinisiasi oleh para pendiri bangsa dan tertuang jelas dalam pancasila dan undang-undang dasar 1945. Penelitian bertujuan untuk mengetahui konsep dan praktik negara kesejahteraan dalam Pancasila dan UUD 1945. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan (library reasearch) dan wawancara. Adapun teknik analisis data yang penulis gunakan yaitu deskriptif-analisis, Deskriptif berarti memaparkan dan menggambarkan secara objektif isi seluruh UUD 1945 dan Pancasila yang berkaitan dengan materi muatan negara kesejahteraan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah dan sosial. Sementara analitis berarti upaya memahami posisi, pemikiran, dan upaya menularkan gagasan baru tentang konsep negara kesejahteraan disertai kritik dan kesimpulan. Hasil penelitian dan analisis menunjukan bahwa Indonesia menganut negara kesjehateraan. Hal tersebut tertuang jelas dalam undang-undang dasar dan bertumpu pada sila kelima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dimana dalam proses perumusan Pancasila para pendiri bangsa menghendaki bentuk Negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Kemudian prinsip dalam UUD 1945 mengakomodir ketiga konsep rezim negara kesejahteraan. Konsep residual welfare state tertuang dalam pasal 34 ayat 1. Konsep universal welfare state tertuang dalam pasal 27 ayat 2, pasal 28H, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34 ayat 2, 3, 4. Konsep social insurance welfare state tercermin pada pasal 28C ayat 2. Sementara pada praktiknya Indonesia lebih dekat dengan Konsep Residual Welfare State, hal itu terlihat dari program-program yang dikeluarkan lebih bersifat kuratif dan residu. Kata kuci: Negara kesejahteraan; Pancasila; deskriptif analisis; undang-undang dasar; residu
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Konsep Negara Kesejahteraan Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, dan semoga kita termasuk dalam golongan yang istiqomah menjalankan sunnahnya hingga hari kiamat. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan sebagai syarat guna meraih gelar Sarjana Sosial Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung kepada: 1.
Bapak Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Suparto, M.Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Ibu Dr. Roudhonah, MA selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Bapak Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2.
Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial, Ibu Nunung Khoiriyah, MA selaku Sekretaris Program Studi Kesejahteraan Sosial. Terima kasih atas nasehat dan bimbingannya.
3.
Bapak Muhtadi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membantu mengarahkan, memberikan masukan dan selalu bersedia meluangkan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. ii
4.
Seluruh dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis.
5.
Kedua orang tua yang sangat penulis cintai, Bukhori Muslim dan Siti Khodijah yang tidak pernah berhenti mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
6. HMJ Kesejahteraan Sosial, DEMA Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan keluarga besar mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menjadi tempat belajar dan berproses yang “asik” bagi peneliti. 7. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menemukan, merumuskan dan menyelesaikan skripsi ini. Dengan demikian skripsi ini penulis susun dengan sebaik-baiknya. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi kita semua yang membacanya, terutama dalam memajukan keilmuan Kesejahteraan Sosial. Amin.
Ciputat, Januari 2017
Mamur Rizki
iii
DAFTAR ISI ABSTRAK ...........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .........................................................................................
ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. .
vi
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................
9
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................
10
D.
Metodologi Penelitian ...................................................................
11
E.
Tinjauan Pustaka…………………………………………………. 13
F.
Sistematika Penulisan…………………………………………….. 14
BAB II LANDASAN TEORI A.
Negara Kesejahtaraan ....................................................................
15
1.
Pengertian Negara Kesejahteraan ...........................................
15
2.
Filosofi Negara Kesejahteraan………………………………
21
3.
Sejarah dan Dinamika Negara Kesejahteraan ........................
26
BAB III ANALISIS KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM PANCASILA DAN UUD 1945 A.
Latar Belakang Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pancasila ..
37
1. Fase Pembuahan Keadilan Sosial ............................................
38
iv
2. Fase Perumusan Keadilan Sosial .............................................
45
Undang-undang Negara Kesejahteraan Di Indonesia....................
51
1. Kebijakan Ketenagakerjaan .......................................................
51
2. Kebijakan Pendidikan ................................................................
53
3. Kebijakan Ekonomi ...................................................................
55
4. Kebijakan Sosial ........................................................................
59
C. Kelembagaan ......................................................................................
62
1. Departemen Sosial (Kementerian Sosial) ..................................
62
2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial .......................................
64
B.
BAB IV PRAKTIK NEGARA KESEJAHTERAAN DI INDONESIA A. Praktik Negara Kesejahteraan Di Indonesia ......................................
66
B. Analisis Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pancasila dan UUD 1945 ...........................................................................................................
74
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan ....................................................................................
86
B.
Saran ..............................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
88
v
DAFTAR TABEL
1.
Tabel 1 Kebijakan ketenagakerjaan……………………………….. 53
2.
Tabel 2 Kebijakan Pendidikan……. ................................................ 54
3.
Tabel 3 Kebijakan Ekonomi............................................................. 59
4.
Tabel 4 Kebijakan Sosial................................................................. 62
vi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pertanyaan awal ketika berbicara tentang negara kesejahteraan Adalah bagaimana mendefinisikan konsep negara kesejahteraan itu sendiri, karena negara kesejahteraan bukanlah sebuah konsep dengan pendekatan baku. negara kesejahteraan sering ditengarai dari atributatribut kebijakan pelayanan sosial dan transfer sosial yang disediakan negara kepada warganya, seperti pelayanan pendidikan, lapangan pekerjaan, pengurangan kemiskinan sehingga negara kesejahteraan dan kebijakan sosial sering diidentikkan.1 Sebagai kajian makro dalam ilmu kesejahteraan sosial, negara kesejahteraan jarang sekali mendapat perhatian. Hal tersebut terjadi karena pertama-tama wacana pendekatan negara kesejahteraan lebih sering bernuansa negatif ketimbang positif. Misalnya saja, seperti yang sering kita dengar bahwa negara kesejahteraan adalah pendekatan yang boros, tidak kompatibel dengan pembangunan ekonomi, dan menimbulkan ketergantungan penerima manfaat (beneficiaries). Akibatnya, tidak sedikit yang beranggapan sistem ini telah menemui ajalnya, alias sudah tidak dipraktekkan lagi di negara manapun. Meskipun anggapan ini jarang
1
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES,2006), h. 8.
1
2
disertai argumen dan riset yang memadai, banyak orang menjadi kurang berminat membicarakan, dan apalagi memperhitungkan pendekatan ini.2 Di sisi lain kajian mikro maupun mezzo lebih populer di Indonesia. Seperti kita tahu bidang ini mengedepankan pelayanan pada lingkup individu yang sudah kadung menyandang masalah kesejahteraan sosial, yang tidak lain sifat dari lingkup ini adalah kuratif (mengobati). Sementara ada yang salah di bagian hulu sehingga terkesan individu-individu yang mempunyai masalah kesejahteraan sosial tak pernah habis dan bertambah terus jumlahnya. Seperti yang disampaikan Edi Suharto dalam makalahnya “Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos” bahwa peningkatan kesejahteraan, termasuk pemberdayaan masyarakat, tidaklah vakum dari situasi sosial yang mengitarinya. Seringkali, kemiskinan yang dialami masyarakat di suatu wilayah bukanlah disebabkan oleh ketiadaan modal finansial dan faktor-faktor produksi lainnya. Melainkan, oleh lemahnya modal sosial, tidak adanya perlindungan sosial, dan tidak beroperasinya sistem keadilan sosial.3 Sementara itu program dalam lingkup mikro tersebut juga kerap menimbulkan stigma. Di Inggris, sebagai ilustrasi, The Poor Law dirancang untuk orang miskin. Karena tidak efektif dan menimbulkan stigma pada penerimanya sistem ini ganti oleh Welfare State. Program dan pelayanan yang hanya diberikan kepada orang miskin tidak akan dapat
2
Edi Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos,” artikel diakses pada 6 September 2008 dari http://209.85.175.104/search?q=cache:gBlPSii64oJ:www.depsos.go.id/modules.php%3Fnam %3DDownloads%26d_op%3Dgetit%26lid%3D24+sejarah+lahir+negara+kesejahteraan&hl=id&c =clnk&cd=5&gl=id 3 Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos,” h. 19.
3
mencegah kemiskinan. Karena orang harus miskin terlebih dahulu agar dapat menerima program dan pelayanan ini.4 Saat ini upaya untuk mentransformasikan gagasan konsep negara kesejahteraan begitu urgen. Faktor utama yang mendorong mengapa konsep negara kesejahteraan begitu urgen dan secepat mungkin harus direalisasikan karena didasarkan pada fakta bahwa di negara-negara berkembang saat ini tingkat kemiskinan kian hari kian memperihatinkan. Peran negara yang semakin berkurang di sektor publik seiring dengan berjalannya proses demokratisasi, segala sesuatu yang bukan menjadi urusan negara akan diserahkan kepada masyarakat. Sebagai salah satu contoh misalnya ialah privatisasi beberapa perguruan tinggi negeri, rumah sakit dan perusahaan-perusahan milik negara. Tim Peneliti PSIK dalam bukunya ”Negara Kesejahteraan dan Globalisasi”, mengutip dari buku Adam Smith, yang berjudul “An Inquiry into the Nature and the Causes of the Wealth of Nation”, menjelaskan bahwa ada dua tugas utama yang menjadi tanggung jawab negara. Pertama, negara memiliki kewajiban untuk menciptakan sebuah rasa aman bagi setiap warga negaranya dari ancaman dalam bentuk apa pun. Kedua, kewajiban negara harus mendorong dan menciptakan kesejahteraan ekonomi bagi semua warga negara. Faktor keamanan biasanya menjadi pilar utama bagi terwujudnya kesejahteraan sosial.5 Jadi keamanan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan,
4
Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos,” h. 16. Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008), h. 16. 5
4
situasi sosial dan politik yang tidak stabil akan menyulitkan terciptanya kesejahteraan sosial, dan situasi keamanan sulit untuk terwujud bila suatu negara warganya tidak memiliki jaminan kesejahteraan sosial. Mimpi akan terciptanya sebuah negara yang “Budiman”, yakni sebuah negara yang kuat namun mencurahkan segala upaya untuk memenuhi dan melindungi hak-hak warganya dan negara yang berdaya dan peduli terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar sosial-politik-ekonomi warga negaranya. Namun setelah tiga dasawarsa lebih, Negara lebih sering diidentikkan dengan wajah bengisnya, angan-angan tentang sebentuk negara yang kuat dan budiman bisa menjadi bahan “cemooh”. Tidak dapat dipungkiri lagi ruang publik didominasi oleh wacana “emoh negara” atau “state denial”. Negara seolah-olah berasosiasi dengan segala keburukan. Dibidang ekonomi, negara berkonotasi dengan kolusi, inefisiensi dan nepotisme; di ranah birokrasi, bergandeng makna korupsi; sedangkan di dalam ranah politik, negara disandingkan dengan aneka bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia. Sebuah reputasi buruk yang seolah memberikan legitimasi bagi pelucutan kapasitas dan peran Negara.6 Pengalaman empiris negara-negara Eropa dengan demikian merupakan sumber telaah yang menarik dan penting. Perjalanan negara kesejahteraan Eropa yang dimulai dari era Otto Van Bismarck pada tahun 1883 hingga awal abad ke-21 ini telah menggambarkan pengalaman empiris yang kaya tentang bagaimana negara menjalankan peran kesejahteraan dan beradaptasi dengan tantangan-tantangan eksternal dan 6
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES,2006), h. 1-2.
5
internal yang terus berubah. Eksperimen yang dilakukan negara-negara Eropa Barat dan Utara melalui format negara kesejahteraan tersebut menunjukkan bahwa negara mampu memikul peran yang aktif dalam pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja yang luas, sistem kesehatan dan pendidikan yang terjangkau oleh warga, serta jaminan sosial yang universal. Hal ini membuktikan bahwa negara kesejahteraan (walfare state) merupakan bentuk paling riil dari angan-angan tentang “negara budiman”.7 Indonesia, merupakan negara yang unik. Yang berbeda dengan negara lain. Dalam hal ideologi, Indonesia tidak menganut paham sosialis, liberalis, nasionalis, ataupun agamis. Melainkan ideologi yang dibentuk melalui budaya bangsa Indonesia sendiri. Adalah Pancasila, yang menjadi dasar bagi negara Indonesia. Sedangkan penjelas bagi Pancasila termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.8 Cita-cita demokrasi Indonesia tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang politik namun juga emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi. Sila keempat (kerakyatan) dan sila kelima (keadilan) dari pancasila merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat 7 8
Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 4. Lihat Pembukaan UUD 1945
6
dipisahkan. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, hasil rumusan orisinil Panitia 9, kedua sila tersebut dihubungkan dengan kata sambung (“serta”), “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”9 Soekarno menyebut keterkaitan kedua sila tersebut sebagai rangkaian dari prinsip “sosio-demokrasi”. Istilah terakhir ini dia pinjam dari seorang teoritikus Marxis Austria, Fritz Adler, yang mendefinisikan “sosio demokrasi” sebagai “Politiek ekonomische democratie” (demokrasi politik-ekonomi). Ungkapan Adler yang sering dikutip Bung Karno adalah bahwa, “demokrasi yang kita kejar janganlah hanya demokrasi politik saja, tetapi kita harus mengejar pula demokrasi ekonomi.”10 Dalam suatu pamflet berjudul „Menuju Indonesia Merdeka‟ Bung Hatta menulis, “Di atas sendi [cita-cita tolong menolong] dapat didirikan tonggak demokrasi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan”. Selanjutnya dia menegaskan bahwa demokrasi politik dan demokrasi ekonomi tidak bisa dipisahkan dan saling terkait. “Cita-cita demokrasi kita lebih luas, tidak saja demokrasi politik tetapi juga demokrasi ekonomi.” Senada dengan itu, Soekarno kerap mengatakan bahwa “Untuk membangun satu negara yang
9
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas,dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h.491. 10 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, h.491.
7
demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak mungkin kita mendirikan negara, tak mungkin kita tetap hidup”.11 Para pendiri Republik Indonesia secara sadar menganut pendirian bahwa revolusi kebangkitan bangsa Indonesia, sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa yang telah hidup dalam alam feodalisme ratusan tahun lamanya, haruslah berwajah dua: revolusi politik (nasional) dan
revolusi
sosial.
Revolusi
politik
(nasional)
adalah
untuk
mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme serta untuk mencapai satu Negara Republik Indonesia. Revolusi sosial adalah untuk mengoreksi struktur sosial-ekonomi yang ada dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur.12 Cita-cita keadilan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir dari revolusi Indonesia hendak diwujudkan dengan jalan mensinergikan demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi melalui pengembangan dan pengintegrasian pranata-kebijakan ekonomi dan pranata-kebijakan sosial yang berorientasi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan. Keadilan ekonomi dan jaminan sosial diupayakan tanpa mengorbankan hak milik dan usaha swasta (pasar). Daulat pasar dihormati dalam kerangka penguatan daulat rakyat (keadilan sosial). Sebagai katalis untuk menghadirkan pranata-kebijakan ekonomi dan pranata-kebijakan sosial yang berorientasi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan itu, para pendiri
8 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, h. 492. 9 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, h. 492.
8
bangsa menghendaki penjelmaan negara Republik Indonesia sebagai “Negara Kesejahteraan” (dalam istilah Yamin) atau “Negara Pengurus” (dalam istilah Hatta).13 Sebagai gagasan atau cita-cita kebangsaan “Kesejahteraan Sosial” pertama kali dikemukakan oleh Bung Karno dalam pidato 1 juni 1945, sebagai sila ke 4 Pancasila. Tapi istilah itu hilang dari rumusan Pancasila dan diganti dengan istilah “Keadilan Sosial”, sebuah istilah yang dikemukakan oleh Bung Hatta. Tapi istilah keadilan sosial itu, oleh Bung Hatta dijelaskan sebagai kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa keadilan sosial adalah prinsip yang mendasari kesejahteraan sosial. Dalam pengertian itu istilah kesejahteraan sosial sinonim dengan istilah “adil dan makmur” atau kemakmuran yang berkeadilan yang dijelaskan juga sebagai kemakmuran yang merata di antara semua warga atau istilah “samarasa-samarata” dalam istilah pejuang sosialis Mas Marco.14 Istilah kejahteraan muncul kembali dalam Piagam Jakarta dan Mukaddimah UUD 1945, dalam istilah “kesejahteraan umum” sebagai salah satu tujuan kemerdekaan. Sementara itu istilah kesejahteraan sosial sendiri menjadi judul bab XIV UUD 1945, yang berisikan pasal 33 dan 34.15 Landasan ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dengan jelas menegaskan bahwa Republik Indonesia adalah negara
13
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, h.
492-493. 14 15
M. Dawam Rahardjo, Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Di Era Globalisasi, h. 1. M. Dawam Rahardjo, Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Di Era Globalisasi, h. 1.
9
kesejahteraan. Tetapi sistem negara kesejahteraan Indonesia berbeda dengan ketiga model sistem negara kesejahteraan diutarakan di atas. Sistem negara kesejahteraan dari negara-negara kapitalis barat, baik model universal, asuransi sosial, maupun selektif residual, semuanya berbasis kapitalisme liberal, sebagai lampiran dari sistem kaptalisme, untuk memelihara kelangsungan hidup kaptalisme, bukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan kesejahteraan yang adil. Sistem negara kesejahteraan Indonesia berdasarkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.16 Oleh karena itu, melalui penelitian ini, penulis ingin memahami dan mengkaji serta ikut berpartisipasi memberikan sedikit sumbangsih literasi tentang “Konsepsi Negara Kesejahteraan Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar penelitian ini tidak jauh melebar perlu kiranya penulis membatasi masalah, yaitu memfokuskan penelitian pada persoalan bagaimana konsep negara kesejahteraan dalam Pancasila dan UUD 1945 serta bagaimana praktik negara kesejahteraan di indonesia. Dalam penelitian ini penulis mencoba merumuskan beberapa hal pokok yang akan menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain:
16
Holil Sulaiman, Perencanaan Kebijakan dan Program Sosial, h. 18.
10
1. Bagaimana konsep Negara Kesejahteraan menurut Pancasila dan UUD 1945 ? 2. Bagaimana praktik negara kesejahteraan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah agar mengetahui konsep negara
kesejahteraan menurut Pancasila dan UUD 1945.
2.
Manfaat Penelitian a)
Manfaat Akademis 1)
Melacak jejak akar konsep Negara Kesejahteraan dalam sejarah politik Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan.
2)
Sebagai tambahan referensi atau perbandingan bagi studi-studi selajutnya, dan akan menambah jumlah studi mengenai Negara Kesejahteraan.
3)
Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S1) di Program Studi Kesejahteraan Sosial Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
11
b)
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai referensi bagi penelitian lebih lanjut tentang Negara Kesejahteraan dan atau kebijakan sosial di Indonesia.
D.
Metodelogi Penelitian 1.
Pendekatan Dalam menggarap skripsi ini, jenis data yang digunakan adalah
kualitatif dimana pengumpulan data diperoleh dari berbagai sumber tertulis seperti buku, artikel, jurnal, serta majalah yang berkaitan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta hubungannya dengan konsep negara kesejahteraan dan kesejahteraan sosial. 2.
Teknik Pengumpulan Data Secara kategoris, teknik pengumpulan data dalam skripsi ini
menggunakan penelitian pustaka (library research), yaitu dengan memanfaatkan sumber informasi yang berada di perpustakaan baik berupa buku, jurnal dan lain sebagainya. Menurut M. Nazir dalam bukunya yang berjudul ‟Metode Penelitian‟ mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. 17
17
M.Nazir, Metode Penilitian ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), cet ke-5. h. 27.
12
Peneliti juga menambahkan metode wawancara dalam skripsi ini kepada narasumber yaitu Yudi Latif (penulis buku Negara Paripurna dan Ketua Harian Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila). Alasan penulis memilih Yudi Latif sebagai narasumber dalam penelitian ini adalah karena beliau fokus mengkaji Pancasila, itu terlihat dari karya-karyanya seperti “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila” yang merupakan karya monumental yang oleh banyak kalangan intelektual dianggap sebagai buku klasik yang menjadi rujukan di era mendatang, satu lagi adalah buku yudi latif yang berjudul “Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan”. 3.
Teknik Analisis Data Data tersebut kemudian diklasifikasi sesuai dengan judul yang akan
dibahas oleh penulis. Secara metodologis, penelitian ini bersifat deskriptifanalitis. Deskriptif berarti memaparkan dan menggambarkan secara objektif isi seluruh UUD 1945 dan Pancasila dalam kaitannya dengan materi muatan negara kesejahteraan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah dan sosial. Sementara analitis berarti upaya memahami posisi, pemikiran, dan upaya menularkan gagasan baru tentang konsep Negara Kesejahteraan disertai kritik dan kesimpulan. 4.
Keabsahan Data Pada teknik keabsahan data, penulis melakukan diskusi secara
analitis dimana hasil penelitian sementara diekspos. Kemudian, dilakukan pola pengoreksian bersama teman sejawat untuk kemudian melakukan
13
perbaikan secara terus menerus dan memfokuskan pada isu yang sedang diteliti. 5.
Pedoman Penulisan Skripsi Untuk tujuan mempermudah, teknik penulisan yang dilakukan
dalam skripsi ini merujuk pada buku “Pedoman Karya Ilmiah” yang diterbitkan oleh CeQda UIN Jakarta 2008.
E.
Tinjauan Pustaka Seperti yang telah disinggung di atas, topik tentang negara kesejahteraan seolah tak ada habisnya untuk dikaji dan diteliti. Oleh karena itu, penelitian tentang negara kesejahteraan juga telah banyak dilakukan, akan tetapi hanya sedikit yang mengungkapkan dan meneliti konsep negara kesejahteraan menurut Pancasila dan UUD 1945. Dari beberapa skripsi yang penulis temukan ada juga yang membahas negara kesejahteraan, tetapi tidak mengkhusukan diri pada Pancasila dan UUD 1945 tentang konsep negara kesejahteraan. Seperti skripsi Abdul Aziz Azamzami, dari Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Jurusan Pemikiran Politik Islam tahun 2008, yang berjudul Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar Bin Khattab. Skripsi ini, sesuai dengan judulnya lebih mengulas konsep kepemimpinan syaidinna Umar tentang negara kesejahteraan. Dalam bentuk karya tulis lain ada juga yang membahas tentang negara kesejahteraan dalam konteks Indonesia salah satunnya adalah Antonius Galih Prasetyo yang bertajuk “Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model bagi Indonesia”
14
karya tersebut berbebentuk prosiding yang diterbitkan oleh Institute of International Studies Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, tahun 2013.
F.
Sistematika Penulisan Dalam penelitian skripsi ini, terdiri dari beberapa bab dengan penyusunan sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, pedoman penulisan skripsi, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II : PENGERTIAN NEGARA KESEJAHTERAAN Menguraikan mengenai pengertian dan beberapa contoh model Negara Kesejahteraan di dunia. BAB III : ANALISIS KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM PANCSILA dan UUD 1945 Menguraikan
tentang
latar
belakang
dan
bentuk
negara
kesejahteran dalam pancasila dan UUD 1945. BAB IV: PRAKTIK NEGARA KESEJAHTERAAN DI INDONESIA Menguraikan tentang praktik negara kesejahteraan di Indonesia. BAB V : PENUTUP Pada bab ini berisi kesimpulan, kritik dan saran.
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A.
Negara Kesejahteraan (Welfare State) 1.
Pengertian Negara Kesejahteraan (Welfare State) Kesejahteraan rakyat merupakan wacana yang menarik untuk
selalu dijadikan bahan perdebatan oleh politisi dan akademisi, karena kesejahteraan merupakan hal paling mendasar yang harus diciptakan oleh negara. Ide konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara dalam mengelola sumber daya yang dimiliki dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tujuan mulia untuk mensejahterakan rakyat, kemudian direalisasikan oleh negara lewat kebijakan-kebijakan pelayanan sosial (social service). Dengan demikian dalam negara kesejahteraan
menuntut
adanya
peranan
yang
dominan
dalam
pengelolaan sektor publik. Seperti yang dituliskan pada bab sebelumnya pengertian tentang sebuah negara kesejahteraan sangatlah beragam dan itu artinya pengertian negara kesejahteraan tidak bersifat statis dan baku. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi negara kesejahteran adalah negara yang mengusahakan kesejahteraan rakyat dengan mengatasi anarki produksi dan krisis ekonomi, meningkatkan jaminan hidup warga dengan memberantas pengangguran.1 Sedangkan Edi Suharto dalam bukunya berjudul Kebijakan Sosial: Sebagai Kebijakan
1
Save M. dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LKPN, 2000), h. 708.
15
16
Publik mendefinisikan negara kesejahteraan (welfare state) sebagai model
ideal
pembangunan
yang
difokuskan
pada
peningkatan
kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Jadi fokus dari sistem negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan sebuah sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap warga negara sebagai gambaran adanya hak warga negara dan kewajiban negara.2 Negara kesejahteraan sebenarnya tidak hanya menciptakan pelayanan-pelayanan sosial untuk orang miskin saja, akan tetapi pelayanan sosial ditunjukan untuk semua penduduk seperti; orang tua dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin. Hal ini dimaksudkan agar pelayanan sosial yang diselanggarakan oleh negara bisa tersebar secara merata dan adil. Karya Richard Titmuss, Essays on the Welfare State (1958) telah mendapat
tempat
istimewa
dalam
studi-studi
tentang
negara
kesejahteraan, Buku Titmuss ini dapat dikatakan sebagai magnum-opus yang secara mendalam mengupas ide negara kesejahteraan sebagai berikut: "a welfare state is a state in which organized power is deliberately used through politics and administration in an effort to modify the play of market forces to achieve social prosperity and economic well-being of thepeople".3
2
Edi Suharto, Kebijakan Sosial:Sebagai Kebijakan Publik (Bandung: ALFABET, 2007),
h. 57. 3
Richard Titmuss, “Essays on the Welfare State” dalam Triwibowo dan Bahagijo, ed., Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 11.
17
Pemikiran tersebut dapat disarikan menjadi tiga hal esensial. Pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan hidup paling pokok. Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial jika individu dan keluarga ada dalam situasi rawan/rentan sehingga mereka dapat menghadapi masa-masa krisis, seperti sakit, usia lanjut, menganggur, dan miskin yang potensial mengarah ke atau berdampak pada krisis sosial. Ketiga, semua warga negara, tanpa membedakan status dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi (bagi anak balita), sanitasi, dan air bersih.4 Negara
kesejahteraan
sering
ditengarai
dari
atribut-atribut
kebijakan pelayanan sosial dan transfer sosial yang disediakan negara kepada warganya, seperti pelayanan pendidikan, lapangan pekerjaan, pengurangan kemiskinan sehingga negara kesejahteraan dan kebijakan sosial sering diidentikkan.5 Namun hal tersebut dinilai kurang tepat karena kebijakan sosial dan negara kesejahteraan tidak mempunyai hubungan dua arah. Kebijakan sosial bisa diterapkan tanpa keberadaan negara kesejahteraan, tapi sebaliknya negara kesejahteraan selalu membutuhkan kebijakan sosial untuk mendukung keberadaannya.6 Secara umum, suatu negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utamanya, yaitu: (i) social
4
Titmuss, “Essays on the Welfare State” h. 12. Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES,2006), h. 8. 6 Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 8. 5
18
citizenship; (ii) full democracy; (iii) modern industrial relation systems; serta (iv) rights to education and the expansion of modern
mass
education systems.7 Keempat pilar ini dimungkinkan dalam negara kesejahteraan karena negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai “penganugerahkan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya
yang diberikan berdasarkan basis kewargaan
(citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau kelas.8 Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan yang (kemudian disebut sebagai dekomodifikasi) dengan menjadikannya sebagai hak setiap warga yang diperoleh melalui perangkat kebijakan sosial yang disediakan oleh negara. Lebih jauh lagi, keberadaan hak-hak sosial dan social citizenship ini digunakan oleh negara untuk menata ulang relasi kelas dalam masyarakat, serta menghapuskan kesenjangan kelas yang terjadi. Seperti yang di ungkapan oleh Esping-Andersen: “…negara kesejahteraan bukan hanya suatu mekanisme untuk melakukan intervensi terhadap, atau mengoreksi struktur ketidaksetaraan yang ada. Namun, merupakan suatu sistem stratifikasi sosial yang khas. Negara kesejahteraan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam penataan ulang relasi sosial…”.9
Jelaslah bahwa negara kesejahteraan adalah lebih dari kumpulan kebijakan sosial. Keberadaannya tidak bisa dengan sederhana diukur melalui besaran pengeluaran sosial oleh negara karena negara
7
Esping-Andersen “Three World of Welfare Capitalism” dalam Triwibowo dan Bahagijo, ed., Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 9. 8 Esping-Andersen “Three World of Welfare Capitalism” h. 9. 9 Esping-Andersen, “Social Foundation for Postindustrial Economies” dalam Triwibowo dan Bahagijo, ed., Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 9
19
kesejahteraan adalah upaya negara untuk menggunakan kebijakan sosial sebagai alat untuk meredefinisikan relasinya terhadap warga. Seperti halnya yang diungkapkan Marshall: “…istilah tersebut (negara kesejahteraan) merujuk pada suatu komitmen politik yang baru, penulisan ulang kontrak sosial antara negara dan warganya.. yang melibatkan pengakuan atas hak sosial seluruh warga dan merefleksikan suatu tekad untuk menjembatani kesenjangan kelas sosial yang ada…”.10
Dalam negara kesejahteraan, adanya sistem kesejahteraan sebagai hak sosial warga harus diimbangi oleh dua hal yang saling terakait, yaitu pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja penuh (full employment). Di satu sisi, hak sosial tidak seharusnya menjadi disinsentif bagi warga untuk terlibat dalam pasar tenaga kerja, sehingga Negara harus menerapakan kebijakan ketenagakerjaan yang aktif untuk mendorong partisipasi penuh warga dalam pasar tenaga kerja. Di sisi lain, luasnya basis hak sosial membutuhkan sumber pembiayaan yang memadai melalui sistem perpajakan yang kuat yang hanya dimungkinkan dalam pertumbuhan ekonomi dengan peran aktif pemerintah didalamnya. Segitiga antara peran negara dalam pertumbuhan ekonomi-jaminan hak sosial-kebijakan aktif tenaga kerja merupakan karakteristik kunci dari suatu negara kesejahteraan.11 Negara kesejahteraan sendiri bukanlah satu entitas berwajah tunggal. Luas cakupan dan ragam kebijakan sosial yang diterapkan oleh negara bervariasi dari satu negara kesejahteraan dengan negara 10
Esping-Andersen, “Social Foundation for Postindustrial Economies” h. 10-11. Kuhnle dan Hort, “The Developmental Welfare State in the Scandinavia: Lessons for the Developing World” dalam Triwibowo dan Bahagijo, ed., Mimpi Negara Kesejahteran (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 11. 11
20
kesejahteraan lainnya. Titmuss telah mengidentifikasi adanya dua tipologi negara kesejahteraan, yaitu residual welfare state dan institusional welfare state. Residual welfare state mengasumsikan tanggung jawab negara sebagai penyedia kesejahteraan jika dan hanya jika keluarga dan pasar gagal menjalankan fungsinya serta terpusat pada kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti kelompok marginal serta mereka yang patut mendapatkan alokasi kesejahteraan dari negara. Sedangkan institutional welfare state bersifat universal, mencakup semua populasi warga, serta terlembaga dalam basis kebijkan sosial yang luas dan vital bagi kesejahteraan masyarakat.12 Penggolongan Titmuss membawa kita pada pemahaman tentang pengaruh
rezim
kesejahteraan
terhadap
kemampuan
negara
kesejahteraan untuk memproduksi dan mendistribusi kesejahteraan melalui kebijkan sosial. Rezim kesejahteraan mengacu pada pola interaksi
dan
saling
keterkaitan
dalam
produksi
dan
alokasi
kesejahteraan antara negara, sistem pasar, dan keluarga/rumah tangga. Ketiga lembaga tersebut merupakan penyedia kesejahteraan dan tempat individu mendapatkan perlindungan dari resiko-resiko sosial. Masingmasing lembaga menerapkan pola pengelolaan resiko yang berbeda. Sebagai contoh, dalam keluarga, pola alokasi kesejahteraan bersandar pada resiprositas (reciprocity), sedangkan pada pasar basisnya adalah pertukaran tunai (cash nexus), dan dalam negara basisnya adalah redistribusi otoritatif (authoritative redistribution) melalui kebijakan 12
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 11-12.
21
sosial. Bagaimana risiko dikelola dan siapa aktor utama pengelola risiko/penyedia
kesejahteraan
akan
menentukan
bentuk
rezim
kesejahteraan.13
2. Filosofi Negara Kesejahteraan Negara kesejahteraan adalah bagian dari rezim kesejahteraan. Rezim mengacu pada seperangkat norma, prinsip, aturan dan prosedur pengambilan
keputusan,
baik
implisit
maupun
eksplisit,
yang
menyatukan ekspektasi para aktor dalam wilayah tertentu dalam kehidupan sosial.14 Sebagai temuan kelembagaan (institutional invention) dalam suatu bentuk rezim, negara kesejahteraan juga terikat dan didasarkan pada kerangka etik spesifik. Barr (1998) menyatakan bahwa kerangka etik negara kesejahteraan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Katolik dan pengaruh doktrin karitatif sosial (social charity) gereja. Hal senada juga diungkapkan oleh Huber dan Stephens (2001) maupun Manow (2004) yang menengarai pengaruh doktrin sosial katolik dalam desain dan proses pengembangan negara kesejahteraan di negara-negara Eropa. Manow menyimpulkan bahwa perbedaan rezim kesejahteraan di negara-negara Eropa juga dipengaruhi oleh “ragam” basis religius, yang didalamnya negara-negara dengan basis Protestan reformis lebih memilih rezim kesejahteraan liberal; negara dengan basis Protestan Lutheran cenderung kearah rezim sosial demokrat; sedangkan negara dengan basis
13
Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 13-14. Krasner dan I Gough, “Welfare Regimes: On Adapting the Framework to Development Countries,” dalam Triwibowo dan Bahagijo, ed., Mimpi Negara Kejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 18. 14
22
Gereja
Katolik
Roma
lebih
condong
ke
rezim
kesejahteraan
konservatif.15 Kelley (1994) menyatakan bahwa etika Katolik yang “alergi” terhadap
orientasi-diri
(selfishness)
dan
ketamakan
(avarice),
menyebakan munculnya paham keadilan sosial yang menjadi legitimasi intervensi negara terhadap mekanisme pasar.16 Kelley membagi paham keadilan sosial menjadi dua aliran, yaitu Welafrism dan egalitarianism. Welafrism
memandang
bahwa
individu
mempunyai
hak
untuk
mendapatkan kebutuhan dasar tertentu dalam hidup, sehingga menjadi kewajiban masyarakat untuk memastikan setiap individu mempunyai akses pada kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sistem kapitalis laissez-faire tidak mampu menjamin tercapainya hal tersebut, sehingga dibutuhkan intervensi negara untuk memodifikasi pasar agar bisa memenuhi tanggung jawab distribusinya. Egalitarianism, disisi lain, menyatakan bahwa
kemakmuran
yang
diproduksi
oleh
masyarakat
harus
didistribusikan dengan adil. Sistem kapitalis berbasis pasar cenderung membenarkan
bahkan
mendorong
terjadinya
kesenjangan,
baik
pendapatan maupun kemakmuran di antara individu-individu. Inilah yang menyebabkan dibutuhkannya negara untuk memastikan terjadinya distribusi kemakmuran yang lebih merata. Paham ini sangat dekat dengan pandangan liberal dalam teori sosial. Seperti yang diungkapkan George dan Wilding dalam Barr (1998), 15
Philip Manow, “The Good, the Bad,and the Ugly: Esping-Andersen‟s Regime Typology and the Religious Roots of the Western Welfare State,” dalam Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 19. 16 David Kelley, “Altruism and Capitalism,” dalam Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negaara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 19.
23
kaum liberal memandang bahwa: (i) kapitalisme merupakan sistem yang paling efisien dibandingkan dengan sistem lain yang ada; (ii) meskipun efisien, kapitalisme mempunyai efek negatif
berupa kemiskinan dan
ketimpangan; (iii) negara mampu mengatasi efek negatif tersebut. Berbeda dengan kaum natural –right libertarian (seperti Nozick), yang memandang intervensi negara salah secara moral, dan kaum empirical libertarian (seperti layaknya Hayek dan Friedman), yang memandang bahwa campur tangan negara akan menurunkan kesejahteraan agregat, kaum liberal meyakini pentingnya fungsi redistribusi kesejahteraan dari negara untuk menjamin terjadinya keadilan sosial dan pemerataan dalam sistem kapitalis.17 Merujuk pada Beveridge: “(adalah suatu hal yang penting) untuk menggunakan kuasa negara, sepanjang diperlukan dengan tanpa batasan apapun, untuk menghindari merajalelanya lima „iblis‟ utama didalam tatanan masyarakat, yaitu ketamakan, penyakit menular, ketidakpedulian, kekejaman (squalor), serta kesia-siaan (idleness)”18 Seperti halnya Beveridge, Keynes memandang bahwa kapitalisme tidak mengatur dirinya sendiri.19 Berbeda dengan yang dijanjikan hukum pasar say, permintaan tidak selalu bisa mengimbangi tingkat produksi. Keynes menunjukkan bahwa kapitalisme, sebagai suatu sistem ekonomi, tidak selalu akan dengan sendirinya mengoordinasi permintaan dan penawaran dengan harmonis melalui mekanisme pasar bagi keseluruhan
17
Nicholas Barr, “The Economics of the Welfare State” dalam Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 20-21. 18 Barr, “The Economics of the Welfare State” h. 22. 19 Vic George dan Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hal. 75.
24
perekonomian, khususnya ketika terjadi defisit permintaan agregat.20 Kaum kolektivis setengah hati, seperti Keynes, Galbraith, dan Beveridge, sependapat dengan pandangan liberal dan percaya tentang dibutuhkannya peran negara dalam perokonomian. Mereka berpendapat bahwa negara dibutuhkan untuk memikul tanggung jawab pengelolaan perekonomian guna memelihara suatu agregat permintaan yang akan menjamin kesempatan kerja penuh.21 Mereka juga percaya bahwa tanpa tindakan pemerintah, pertumbuhan ekonomi tidak akan mampu mengahapuskan kemiskinan.22 Hanya saja, seperti disampaikan Tawney, negara kesejahteraan bukanlah wujud dari sosialisme.23 Dalam format negara kesejahteraan memang terdapat persinggungan antara pemikiran liberal dan kolektivis sosial demokrat, khususnya dalam area “social justice” dan “mutual responsibility and the duty of the strong aid to the weak”.24 Namun, persinggungan tersebut tidak bisa menghapuskan perbedaan dasar diantara pandangan kolektivis dan liberal. Kaum kolektivis menilai negara kesejahteraan sebagai bentuk peralihan dari kapitalisme laissezfaire menuju sosialisme, sehingga dalam kaca mata mereka, negara kesejahteraan tidak pernah lebih dari suatu “tahapan antara” (a staging post in the transition).25
20
Kaum kolektivis Marxian bahkan menilai
George dan Wilding, Ideologi dan Kesejahteran Rakyat, h. 82. George dan Wilding, Ideologi dan Kesejahteran Rakyat, h.90. 22 George dan Wilding, Ideologi dan Kesejahteran Rakyat, h.93. 23 George dan Wilding, Ideologi dan Kesejahteran Rakyat, h.108. 24 Nicholas Barr, “The Economics of the Welfare State” dalam Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 22. 25 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3S, 2006), h. 23. 21
25
negara kesejahteraan bukan didorong oleh motif keadilan sosial, melainkan lebih sebagai tipu daya kaum kapitalis untuk melindungi kepentingan kapitalisme itu sendiri. Negara kesejahteraan kemudian hanya berfungsi membantu memenuhi kebutuhan industri kapitalis untuk tenaga kerja terdidik yang sehat, dan itu adalah uang tebusan yang dibayar oleh elite penguasa yang mengandung kerusuhan sosial.26 Pandangan a la Marx ini akurat pada tahap awal pengembangan negara kesejahteraan, khususnya di Eropa kontinental yang konservatif, tapi menjadi tidak akurat dengan makin berkembangnya pengakuan hak sosial warga yang makin universal, khususnya di Skandinavia. Rawls, Keynes, Beveridge, maupun Galbraith, sebaliknya, bukanlah kolektivis. Mereka memandang kapitalisme sebagai sistem yang paripurna dan negara kesejahteraan
adalah upaya untuk
menyelamatkan kapitalisme agar bisa lebih diterima secara moral dengan menggunakan campur tangan negara.27 Apa yang ingin mereka capai adalah menyelamatkan kapitalisme dan unsur-unsur pentingnya, sambil mengurangi atau menghapus hal-hal yang sekarang tidak dapat diterima. Keynes melihat kesalahan-kesalahan kapitalisme lebih sebagai kesalahan teknis daripada kesalahan mendasar. Kapitalisme, merujuk pada Keynes, jika dikelola secara bijak mungkin dapat menjadi alat yang efisien untuk mencapai tujuan ekonomi dibandingkan dengan sistem lain manapun yang dibayangkan. Melalui tindakan yang tepat ia percaya bahwa suatu
26
Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 23. Vic George dan Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti ,1992), h. 103. 27
26
jalan tengah dapat ditemukan antara anarki laissez-faire dan kelaliman totaliterisme.28 Negara kesejahteraan, dengan demikian, merupakan jalan tengah tersebut.
3. Sejarah dan Dinamika Negara Kesejahteraan Gagasan Negara kesejahteraan lahir di Eropa sebagai respon kemiskinan akibat proses industrialisasi pada abad 19. Munculnya teknologi baru dalam industri dimana mesin-mesin mengambil peran lebih dan menggantikan tenaga manusia mengakibatkan pengangguran dan menurunkan upah buruh. Dengan demikian, maka sumber kemiskinan ada dua, upah buruh rendah dan pengangguran. Di Jerman cikal bakal Welfare State adalah program kesejahteran yang diciptakan oleh Kanselir Jerman, Otto Van Bismark (1815-1878). Latar belakang ontologisnya adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh proses industrialisasi yang menimbulkan kemerosotan kesejahteraan dikalangan kaum buruh. Karena kekhawatiran terhadap gerakan sosialis yang merebak kuat di Jerman ketika itu, maka Bismark berusaha membendungnya dengan program kesejahteraan dalam bidang yang sempit, yaitu jaminan sosial dalam bentuk skema asuransi oleh negara. Tapi UU itu disertai dengan UU Anti-Sosialis pada tahun 1878, yang pada intinya adalah pemberangusan kebebasan pers.29 Dalam kasus ini program kesejahteran sosial yang di gagas oleh Bismark adalah sebagai peredam dari gerakan sosialisme yang masiv di negara-negara eropa 28 29
George dan Wilding, Ideologi dan Kesejahteran Rakyat, h. 84. M. Dawam Rahardjo, Mewujudkan Kesejahteraan Sosial di Era Globalisasi, h. 3.
27
dalam konteks ini adalah Jerman. Setelah Jerman pada tahun 1884 menerapkan
sistem
asuransi
nasional
wajib
pertama
untuk
penanggulangan penyakit. Segera setelah itu Denmark dan Negaranegara Skandinavia lain ikut menyusul. Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963) adalah merupakan tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan. Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services (asuransi sosial dan kumpulan pelayanan sosial), yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge, menyebut kekurangan (want), kemelaratan (squalor), Kebodohan (ignorance), Penyakit (disease) dan Kemalasan (idleness) sebagai „the five giant evil’ (lima setan-setan raksasa) yang harus diperangi. Dalam laporan itu, Beveridge, memiliki gagasan-gagasan mengenai perlindungan hak-hak warga negara yang harus dipenuhi oleh negara, yaitu dengan menciptakan sebuah sistem asuransi sosial yang komperhensif. Menurut Beveridge, hanya sistem itu yang mampu memberikan kesejahteraan dan mampu melindungi hak-hak warga negara dari mulai lahir hingga meninggal (from cradle to grave). Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke negara-negara lain di Eropa dan bahkan hingga ke Amerika Serikat dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut.30
30
Edi Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos,” dalam Abdul Aziz Azamzami, Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar Bin Khattab, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 28.
28
Kesejahteraan sosial dengan sistem asuransi yang digagas oleh Beveridge, memiliki banyak kekurangan. Karena dengan menggunakan dasar prinsip dan skema asuransi, banyak resiko-resiko yang dihadapi oleh warga negara, terutama ketika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Kemudian asuransi sosial juga tidak mampu merespon kebutuhan kelompok-kelompok khusus, seperti; orang cacat, orang tua tunggal, serta orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan. Manfaat asuransi sosial terkadang tidak mampu memenuhi kesejahteraan warga negara, karena jumlahnya yang terlalu kecil sehingga hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar secara minimal. Marshall,
memiliki
pemikiran
yang
berbeda
mengenai
kesejahteraan sosial terutama dalam konteks kapitalisme. Menurutnya kewajiban
untuk
menciptakan
kesejahteraan
sosial
menjadi
tanggungjawab semua warga negara. Warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk memperjuangkan kesejahteraan orang lain lewat sebuah lembaga yang disebut negara. Ketidakadilan yang disebabkan karena ketidak sempurnaan pasar menyebabkan kesejahteraan sosial tidak tumbuh secara merata dalam kehidupan warga negara. Menjadikan negara sebagai lembaga yang mampu menciptakan pelayanan sosial dan kesejahteraan sosial merupakan sebuah solusi untuk menutupi dan mengurangi ketidak sempurnaan pasar dan juga untuk mengurangi dampak-dampak negatif dari sistem kapitalisme.31
31
Edi Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos,” dalam Abdul Aziz Azamzami, Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar Bin Khattab, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 28.
29
Pematangan konsep negara kesejahteraan terjadi pada periode akhir 1960-an dan awal 1970-an. Pada periode-periode tersebut di negara-negara Eropa khususnya, kebijakan-kebijakan sosial tumbuh dengan pesat dan negara banyak mengeluarkan kas negaranya untuk menciptakan pelayanan sosial. Negara-negara Eropa banyak mengadopsi berbagai program jaminan sosial baru, seperti; program pensiun, program jaminan orang cacat, dan santunan bagi pengangguran.32 Programprogram kesejahteraan sosial yang diciptakan oleh negara terus mengalami peningkatan sesuai dengan kemajuan industrialisasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Sistem negara kesejahteraan mencoba menjadi penyeimbang antara peran negara dan pasar, antara oligarki dan redistribusi ekonomi, antara pertumbuhan dan pemerataan. Seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Uni Eropa dan negara Skandinavia, menganut negara kesejahteraan atau welfare state sebagai langkah untuk membangun kesejahteraan sosial warganya. Seperti telah dijelaskan diatas, pada hakikatnya kesejahteraan sosial merupakan hak asasi warga negara yang wajib dipenuhi oleh negara. Maka, hak asasi merupakan sebuah titik sentral pertimbangan negara dalam pengambilan kebijakan-kebijakan sosial. hak-hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara, yaitu; hak untuk mendapatkan keamanan sosial, hak mendapatkan pekerjaan,
hak
mendapatkan
tempat
tinggal
yang
layak,
hak
mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan, dan 32
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 28.
30
jaminan-jaminan sosial lainnya. Bila hak warga negara tidak dipenuhi oleh negara maka negara telah melakukan pelanggaran kemanusiaan dan tidak menjalankan fungsinya.33 Upaya untuk menyingkirkan peranan negara atau intervensi negara terhadap kebijakan-kebijakan publik telah dimulai sejak lahirnya pemikiran aliran Kanan Baru, aliran ini sering disebut ekonomi Thatcherisme atau Reaganisme. Neoliberalisme pertama kali dipraktekkan oleh Perdana Menteri Margareth Thatcher di Inggris, yaitu dengan menghapus kewajiban negara memikul tanggung jawab terhadap rakyat yang tidak produktif, meminggirkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan full employment (kesempatan kerja penuh), memangkas secara radikal subsidi-subsidi sosial, dan sebagai gantinya, pemerintahan Thatcher lebih mementingkan pelayanan terhadap swasta, melakukan pemotongan pajak, menjalankan program
privatisasi/swastanisasi
dan
liberalisasi,
menghilangkan
pengawasan terhadap penyiaran, telekomunikasi, transportasi, dan perikanan, kemudian membabat habis seluruh serikat buruh dan menyalahkannya sebagai penyebab rendahnya kinerja industri Inggris.34 Pelucutan peran negara terus berlanjut lewat pengaruh globalisasi pada abad ke-21. Istilah globalisasi menempati berbagai agenda intelektual dan politik. Kata itu sekarang muncul dimana-mana, pidato politik tidak lengkap, atau manual bisnis tidak dapat diterima jika tidak 33
Negara dan Kesejahteraan, artikel diakses pada 6 September 2015 dari http://www.inilah.com/berita/2008/07/24/40004/negara-dan-kesejahteraan/. 34 Noreena Herzt, Perampok Negara: Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi, dengan judul asli buku; “The Silent Take Over; Global Capitalism and the Death of Democracy” (Yogyakarta: Alinea, 2005), h. ix.
31
menyebut kata globalisasi. Globalisasi dengan segala kebaikan dan keburukannya telah mendorong perdebatan intens, dan menjadi pusat dari sebagian besar diskusi politik dan perdebatan ekonomi.35 Istilah globalisasi berakar pada konsep yang lebih umum bahwa akumulasi modal, perdagangan dan investasi tidak lagi dibatasi pada negara-bangsa. Dalam pengertiannya yang lebih umum, globalisasi mengacu pada aliran-aliran barang, investasi, produksi dan teknologi lintas bangsa. Globalisasi telah menciptakan sebuah tatanan dunia baru dengan lembaga-lembaga dan konfigurasi-konfigurasi kekuasaannya yang menggantikan struktur-struktur sebelumnya yang diasosiasikan dengan negara-bangsa.36 Perkembangan ekonomi global memiliki implikasi terhadap negara kesejahteraan (welfare state). Batas dan kekuatan negara yang semakin memudar, organisasi-organisasi independen, badan-badan supranasional dan perusahaan perusahaan multinasional. Sebuah konsekuensi logis dari kecenderungan global dan telah memunculkan kritik terhadap sistem negara kesejahteraan yang dipandang tidak tepat lagi untuk diterapkan sebagai pendekatan dalam pembangunan suatu negara. Bahkan berkembangnya anggapan yang menyatakan bahwa negara kesejahteraan telah mati (welfare state has gone away and died).37
35
Anthony Giddens, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, dengan judul asli buku; “The Third Way: The Renewal of Social Democracy” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), Cet. Ke-4, h. 32. 36 James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21, dengan judul asli buku; “Globalization Unmasked: Imperialism in the 21 Century” (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2002), h.37. 37 Edi Suharto, “Peta dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara”, artikel diakses pada tenggal 12 September 2016 dari situs: http://www.policy.hu/suharto/naskah%20PDF/UGMWelfareState.pdf
32
Edi Suharto, dalam makalahnya yang berjudul “Islam dan Negara Kesejahteraan” mengutip dari bukunya Ramesh Misrah, yang berjudul “Globalization and welfare state” , dijelaskan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF) menjual kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.38 Adanya anggapan yang mengatakan bahwa negara kesejahteraan telah berakhir (mati), karena tidak mampu menghadapi ancaman globalisasi dan berkuasanya sistem kapitalisme adalah sebuah anggapan yang tidak benar. Sistem Negara Kesejahteraan masih tetap berdiri kokoh dengan segala skema-skema kesejahteraan sosial yang dipraktekkan di negara-negara Skandinavia, Eropa Barat, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberal yang kuat seperti Amerika, Inggris dan Australia. Dalam hal ini, negara kesejahteraan sedang mengalami reformulasi dan penyesuaian sejalan dengan tuntutan perubahan tatanan global. Jadi, sangat salah bila menganggap sistem negara kesejahteraan telah menemui akhir dari sejarahnya.
38
Edi Suharto, “Islam dan Negara Kesejahteraan”, artikel diakses pada tanggal 25 September 2016 dari
http://www.policy.hu/suharto/Naskah20%PDF/IslamNegaraKesejahteraan.pdf.
33
Salah satu bukti yang mampu mematahkan mitos the end of welfare state, adalah masih beroperasi 3 (tiga) model negara kesejahteraan yang dipraktekkan oleh negara-negara di dunia, yaitu:39 1. Model Residual (Residual Welfare State) Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang meliputi Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada dan Selandia Baru. Model negara kesejahteraan residual dicirikan dengan basis rezim kesejahteraan liberal dan pemberian jaminan sosial kepada warga negara secara terbatas dan selektif, serta adanya kesempatan besar bagi swastanisasi pelayanan publik. Umumnya pelayanan sosial yang diberikan berjangka pendek dan relatif kecil. 2. Model Universal (Universalist Welfare State) Model
universal
sering
juga
disebut
sebagai
The
Scandinavia Welfare State. Model ini diadopsi oleh negara-negara seperti; Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Belanda. Model negara kesejahteraan ini dicirikan dengan basis rezim kesejahteraan sosial demokrat dan jaminan sosial yang diberikan kepada warga negara bersifat komprehensif. 3. Model Korporasi (Social Insurance Welfare State) Model korporasi ini diadopsi oleh negara-negara seperti; Jerman, Austria, Belgia, Prancis, Italia, dan Spanyol. Model negara kesejahteraan ini dicirikan dengan basis rezim kesejahteraan konservatif dan jaminan sosial yang diberikan kepada warga negara 39
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta:LP3ES, 2006), h. 14-15.
34
dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pilar, yaitu; pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Dalam hal ini, pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Ide model negara kesejahteraan ini pertama kali dikembangkan oleh Otto Van Bismarck dari Jerman, dan model negara kesejahteraan ini sering disebut sebagai model Bismarck. Globalisasi yang menjadi anak kandung dari sistem kapitalisme memiliki peran yang besar dalam upaya pelucutan segi tiga “suci” (pertumbuhan ekonomi kesempatan kerja penuh-jaminan sosial) sistem negara kesejahteraan. Seiring perubahan tatanan global dan perekonomian dunia, peristiwa itu telah memaksa sistem negara kesejahteraan yang dipraktekkan di beberapa negara-negara direstrukturisasi. Restrukturisasi itu sebenarnya lebih kepada upaya untuk melucuti skema-skema kesejahteraan yang ada dalam sistem negara kesejahteraan.40 Negara memang bukan satu-satunya lembaga yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial kepada warga negaranya. Namun, negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan sosial kepada warga negaranya sebagai usaha untuk menciptakan kesejahteraan sosial, dan mandat negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat dari pada masyarakat, dunia usaha atau lembaga-lembaga kemanusiaan
40
Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 29.
35
internasional. Negara sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, memiliki kewajiban untuk memenuhi, melindungi dan menghargai hak-hak dasar warga negara, ekonomi dan budaya. Edi
Suharto,
dalam
makalahnya
yang
berjudul
“Negara
Kesejahteraan dan Reinventing Depsos”, mengutip dari buku Bessant, Rob Watts Judith, Tony Dalton dan Paul Smith yang berjudul, “Talking Policy: How Social Policy in Made”, menjelaskan bahwa akar atau ide dasar konsep negara kesejahteraan telah ada sejak abad ke-18, yaitu ketika Jeremy
Bentham
(1748-1832),
mempromosikan
gagasan
bahwa
pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (welfare) of the greatest number of their citizens (kebahagiaan terbesar atau kesejahteraan dari sebanyak-banyaknya warga negara mereka). Ia mencoba menjelaskan konsep kebahagiaan dan kesejahteraan dengan menggunakan istilah kegunaan (Utilitarian). Menurutnya segala sesuatu yang mampu menciptakan atau menghadirkan kebahagiaan yang lebih adalah sesuatu yang baik. Begitupun sebaliknya sesuatu yang tidak menghadirkan kebahagiaan atau kesejahteraan adalah sesuatu yang buruk. Dalam hal ini ia ingin menjelaskan bahwa negara harus mampu menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan sebanyak mungkin untuk rakyat. Negara pun harus mampu melakukan upaya reformasi hukum yang tidak mengarah kepada kesejahteraan, peran konstitusi dan penelitian sosial untuk membangun kebijakan sosial. Bentham, lewat gagasan-
36
gagasannya itu ia digelari sebagai “Bapak Negara Kesejahteraan” (father of welfare state).41
41
Edi Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos,” dalam Abdul Aziz Azamzami, Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar Bin Khattab, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 28.
BAB III NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM PANCASILA DAN UUD 1945
A. Latar Belakang Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pancasila Dalam penetapan tujuan-tujuan hidup berbangsa dan bernegara, sebuah bangsa merumuskan konsep-konsep tersendiri yang diidentifikasi oleh pemimpin dan rakyatnya sebagai kristalisasi dari hasrat dan ikhtiar untuk membumikan apaapa yang dianggap sebagai ideal. Dasar dan ideologi negara seringkali menjadi payung dan sumber referensi utama untuk pencarian tujuan-tujuan bersama tersebut. Dalam konteks Indonesia, Pancasila berperan sebagai sumber mata air konseptual tersebut sehingga darinyalah kemudian para pendiri bangsa merumuskan model-model tata pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam segala bidang. Termasuk dalam konteks negara kesejahteraan di Indonesia, Pancasila merupakan sumber telaah penting. Sehingga membaca dan mempelajari teks serta konteks dalam proses perumusan Pancasila adalah jalan untuk menemukan pengetahuan tentang bagaimana negara ini dirancang. Sejarah konseptualisasi pancasila sudah melewati beberapa fase yang panjang, fase “pembuahan” ,fase “perumusan” dan fase “pengesahan”. Fase “pembuahan” dimulai pada 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antar ideologi dan gerakan. Fase “perumusan” dimulai pada masa persidangan pertama BPUPK dengan pidato Soekarno (1 juni) yang kemudian memunculkan istilah pancasila, dan di godok melalui pertemuan Chuo Sangi in dengan membentuk panitia Sembilan yang menyempurnakan rumusan pancasila
37
38
dari pidato Soekarno dalam versi piagam Jakarta. Fase “pengesahan” dimulai sejak 18 Agustus 1945 yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara.1 Salah satu yang menjadi kesepakatan bersama para pendukung Negara Kesejahteraan di Indonesia adalah bahwa konsep ini bertumpu pada sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”.2 Maka di bab ini penulis akan membahas khusus pada sila kelima saja. Mulai dari fase pembuahan, fase perumusan, dan fase pengesahan.
1. Fase Pembuahan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Pada fase ini para tokoh dari kalangan pergerakan kebangsaan Indonesia mulai mengemukakan gagasannya tentang apa yang disebut sebagai sosialisme a la Indonesia. Munculnya istilah tersebut karena besarnya pengaruh ajaran Sosialisme-Marxisme yang merebak di dunia, khususnya kritik kaum Marxis terhadap kolonialisme yang oleh mereka dianggap sebagai perpanjangan tangan dari individualisme dan kapitalisme. Sosialisme-Marxisme masuk ke Indonesia lewat salah satu pemimpin partai buruh Belanda Henk Sneevliet.3 Kehadiran ajaran sosialisme-marxisme di Indonesia menimbulkan sisi positif sekaligus negatif. Positif karena telah merangsang proses pembelajaran social bagi elemen-elemen pergerakan yang ada
1
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 39. 2 Antonius. G. Prasetyo, “Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model bagi Indonesia.,” h. 3. 3 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 514.
39
untuk merumuskan ideologinya masing-masing, baik sebagai respon terhadap pengaruh Marxisme maupun sebagai cara perlawanan baru terhadap kolonialisme. Di sisi lain, kritik ideologi Marxisme juga mendorong terjadinya perpecahan pada perkumpulan Sarekat Islam.4 Dalam perkembangan lebih lanjut, ada upaya untuk membumikan sosialisme dalam kenyataan sosial-historis negeri ini. Upaya ini berkembang seiring kemunculan generasi baru intelegensia yang lahir pada awal abad ke-20, baik yang berkuliah di Eropa maupun di dalam negeri.5 Dari dalam negeri, salah satu tokoh terpenting dari generasi baru intelegensia ini adalah Soekarno. Dalam pidato pembelannya di depan hakim kolonial pada 1930, yang kemudian diterbitkan dalam buku Indonesia Menggugat, Soekarno mengalamatkan sumber kesengsaraan dan kemelaratan bangsa Indonesia di masa kolonial pada kapitalisme dan imperialisme. Terlebih dahulu dia mendefinisikan kapitalisme dan imperialism sebagai berikut: “Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dan alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari cara produksi, yang oleh karenanya menjadi penyebab nilai lebih baik jatuh di dalam tangan kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme oleh karena itu pula, menyebabkan akumulasi capital, sentralisasi capital dan industriele reservearmee (tentara kaum pengganggu). Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung (memelaratkan kaum buruh).”6
Soekarno memandang perlu adanya kontekstualisasi Marxisme dalam realitas sosial-historis keindonesiaan dalam rangka menghadirkan sosialisme yang 4
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 515. 5 Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, cet. Ke-4. h. 517. 6 Soekarno, Pancasila Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Panitia Nasional Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, 2001), h. 10.
40
berakar dan berjalan. Sejak 1926, dalam tulisannya “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, Soekarno beragumen bahwa Marxisme sendiri mengalami perubahan baik secara taktis maupun teoritis. “… sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan bersama Nasionalis dan Islamis di Asia …”.7 Secara teoritis, menurutnya sudah berubah dan memang seharusnya seperti itu, selengkapnya Soekarno menyatakan: Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman itu berobah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan paham ataupun perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti Verelendung (pemelaratan kaum buruh) sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis” dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital”, maka segeralah tampak pada kita perobahan faham atau perindahan itu. Bahwasanya: benarlah pendapat Sosia-demokrat Emile Vandervelde, di mana ia mengatakan, bahwa “revisionisme” itu tidak dimulai dari Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya.”8
Dalam pandangan Soekarno, keadaan kapitalisme di Eropa berbeda dengan keadaan kapitalisme di Indonesia. Di Eropa, kapitalisme yang berkembang terutama kapitalisme kepabrikan, sedang di sini ia adalah kapitalisme pertanian; di Eropa, kapitalisme bersifat industrial, sedang di sini sebagian besar bersifat perkebunan.
Oleh karena itu, di Eropa dampak buruk kapitalisme
kepabrikan-industrial melahirkan terutama kaum proletar, yakni kaum yang tidak memiliki alat produksi. Adapun di sini, kapitalisme pertanian-perkebunan menghasilkan kaum tani melarat; pada umumnya, mereka masih memiliki alat 7 8
Soekarno, 19 Tahun Lahirnya Panjta Sila (Jakarta: Departemen Penerangan RI,1965), h. 17. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Di Bawah Bendera Revolusi, 1964) h. 256.
41
produksi (lahan, cangkul dan sebagainya), namun sangat terbatas dan hasilnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.9 Dengan mempertimbangkan hal itu, Soekarno berkesimpulan bahwa revolusi sosialisme yang di alamatkan kepada kaum proletar tidak bisa sepenuhnhya di terapkan di Indonesia. Untuk memperkuat argumennya kemudian Soekarno membuat istilah baru yang lebih tepat menggambarkan kaum kecil di Indonesia yakni “Marhaen” yang kemudian ia sebut sosialisme a la Indonesia (Marhaenisme).10 Dari luar negeri, salah satu tokoh terpenting dari intelegensia generasi baru adalah Mohammad Hatta. Sebagai mahasiswa ilmu ekonomi, Hatta memiliki perhatian mendalam mengenai keadaan struktur ekonomi kolonial serta bagaimana politik perekonomian yang praktis sebagai jalan ekonomi menuju ekonomi kemerdekaan sejati. Sebagai aktivis Perhimpunan Indonesia, Hatta mewakili kecenderungan baru aktivis mahasiswa Indonesia di Belanda setelah Perang Dunia I yang lebih progresif dan apresiatif terhadap pemikiran-pemikiran sosialisme. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia tidak saja harus mencapai kemerdekaan politik, tetapi juga kemerdekaan ekonomi. Seperti halnya Soekarno, Hatta juga ditangkap di Negeri Belanda pada akhir 1927, karena aktivitas politiknya. Dalam pidato pembelaannya di depan Pengadilan Den Haag pada 9 Maret 1928, yang kemudian diterbitkan dalam “Indonesia Merdeka”, Bung Hatta mulai melancarkan tuntutan keadilan ekonomi dan sosial bagi rakyat Indonesia. Selanjutnya dikatakan: 9
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 520. 10 Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 521.
42
“Orang melihat dengan jelas, betapa telah dipakai dua macam ukuran! Hal ini memang cocok dengan system kolonial, yang bertolak dari prinsip, bahwa daerah jajahan harus mendukung kesejahteraan negeri penjajah, sehingga tekanan yang paling berat justru dilakukan atas penduduk bumiputera yang lemah ekonominya.”11
Usaha memperjuangkan keadilan dan kemakmuran, dalam pandangan Bung Hatta, meniscayakan adannya semangat kerja sama, tolong-menolong sesama rakyat dalam suasana kesederajatan. Dalam suatu pamflet berjudul “Menuju Indonesia Merdeka” tahun 1932, Bung Hatta menulis, “ Di atas sendi cita-cita tolong menolong dapat didirikan tonggak demokrasi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan”.12 Meski memeperjuangkan keadilan dan kolektivisme dalam perekonomian, gagasan sosialisme Hatta tidak mau menjadi epigon dari paket utuh Marxisme. Seperti halnya Soekarno, dia memandang perlu untuk mengembangkan sosilaisme yang cocok dengan perspektif sosio-historis dan alam pemikiran keindonesiaan. Dia lebih dekat dengan paham social-democracy seperti yang dikembangkan di Negara-negara Skandinavia, yang berusaha memperjuangkan sosialisme melalui jalur parlemen (demokrasi). Perbedaan pahamnya dengan pengikut komunisme ditandai oleh penghapusan namanya dari keanggotaan Liga Imperialisme dan untuk Kemerdekaan Nasional pada 1930. Sebuah majalah komunis di Berlin mengumumkan bahwa empat orang dikeluarkandari organisasi tersebut karena
11
Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1976), h. 113. Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 523-524. 12
43
dituduh berhaluan reformis. Dua orang dari Eropa (Maxton dan Edo Fimmen) dituduh sebegai reformis social, dan dua orang dari Asia (Mohammad Hatta dan Jawaharlal Nehru) dituduh sebagai reformis nasional.13 Dalam risalahnya tentang teori
Marx,
Hatta
menuliskan
catatan
kritisnya
bahwa
Marx
tidak
memperhitungkan munculnya banyak irasionalitas dalam masyarakat. Buruh yang membelanya, dalam kasus Jerman, malah mendukung Fasisme dan menindas kelas mereka sendiri.14 Haluan sosialisme Hatta diperkuat ke arah yang lebih “kanan” oleh sejawat Yuniornya di Perhimpunan Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia, Sutan Sjahrir. Dalam serangkaian tulisannya seperti dalam jurnal Daulat Ra’jat, Sjahrir menyerang Komunisme sebagai ideology yang mengkhianati sosialisme karena mengabaikan kemanusiaan. Dengan mengutip pandangan tokoh peletak dasar sosialisme, Robert Owen, dia menekankan bahwa, “… Sosialisme yang kita perjuangkan adalah sosialisme yang memerdekakan manusia dari penindasan dan penghisapan oleh manusia ...”. Dalam konteks ini kebebasan individu dihormati namun individu tersebut hendaknya individu yang kooperatif dengan sikap altruism, asosiatif dan harmonis dengan kehidupan secara kolektif. Persebrangan garis pemikirannya dengan komunisme juga tampak dalam konsepsinya tentang negara. Di satu sisi, dalam pemikiran komunisme-leninisme negara dipandang semata-mata sebagai alat kekuasaan golongan yang berkuasa yaitu kelas borjuis dan harus diganti menjadi alat kekuasaan diktator proletariat. Di sisi lain, Sjahrir menyandarkan pemikirannya pada pemikiran kaum sosialis 13
Mohammad Hatta, Memoir Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 242-243. Eko Kurniawan Komara, Kemerdekaan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial: Penggalan Riwayat dan Pemikiran Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka (Jakarta: Tempo Institute, 2009), h. 4. 14
44
(sosial-demokrasi) yang memandang bahwa negara mempunyai bentuk yang dinamis sesuai dengan perkembangan dan perbandingan kekuatan yang ada. Berdasarkan pada cara pandang seperti itu, Sjahrir mengidealkan adanya suatu bentuk
negara
yang
mampu
menjembatani
dinamika
masyarakat
dan
mengharmoniskan kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya. Sejak tahun 1930an, Sjahrir juga sudah mulai menggagas apa yang dikenal sebagai konsep “Negara Kesejahteraan”. Dalam artikelnya di Daulat Ra’jat (1931-1934) yang berjudul “ Barisan Persatoean Baroe”, Sjahrir menuliskan pelbagai bentuk intervensi Negara dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan social antara lain: 1. Standar penghidupan minimum, 2. Upah atau pendapatan elementer guna memenuhi keperluan hidup secara sederhana (ditetapkan batas upahnya dengan peraturan yang bijaksana, 3. Pesangon (pensiun) bagi para orang tua, 4. Dibebaskan dari kewajiban membayar pajak bagi orang-orang yang penghasilannya minim karena hanya cukup dipakai untuk memenuhi kehidupan sederhana bagi keluarganya, 5. Kerja 8 jam per hari bagi pekerja, 6. Anak-anak di bawah 15 tahun tidak boleh menjadi buruh, 7. Perempuan hamil tidak boleh bekerja, 8. Ada uang pengganti ongkos berobat, 9. Ekstra gaji bagi buruh yang mendapat kecelakaan.
45
Berkaitan dengan jaminan-jaminan sosial tersebut, Sjahrir juga menyebut tugastugas yang harus dikeluarkan oleh negara: 1. Membuat aturan pajak progresif, 2. Membuat undang-undang sosial tentang keselamatan kerja, 3. Menetapkan batas upah minimum (living wage), 4. Menghapus hukuman sanksi rodi dan segala bentuk kerja paksa, 5. Mengeluarkan undang-undang anti-riba, 6. Peraturan yang mewajibkan semua orang untuk menyekolahkan anakanaknya dan bebas uang sekolah kepada anak-anak miskin hingga umur 15 tahun, 7. Memerangi buta huruf melalui pengurusan rakyat dan pendidikan umum.15
2. Fase Perumusan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Visi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang diidealisasikan oleh para pemimpin pergerakan kebangsaan kemudian mewarnai diskusi tentang dasar falsafah negara dalam persidangan BPUPK. Sebelum dinyatakan Soekarno dalam pidatonya pada 1 juni 1945, gagasan keadilan dan kesejahteraan telah dikemukakan oleh beberapa pembicara. Pada 29 mei, Muhammad Yamin pada poin kesepuluh dari pidatonya, menyebutkan tentang pentingnya “kesejahteraan rakyat: perubahan besar tentang kesejahteraan yang mengenai kehidupan ekonomi dan sosial sehari-hari yang mengenai dari putra-putra negeri”. Pada hari yang sama, Soerio menyatakan 15
Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perjuangan (Yogyakarta: Jendela, 2000), h. 65-66.
46
bahwa salah satu yang dikehendaki oleh negara baru nanti adalah bahwa negara tersebut harus “subur dan makmur”. Untuk mencapai negara yang subur dan makmur itu, menurutnya, “membutuhkan perekonomian yang sehat dan praktis”. Dalam kaitan ini, “karena perekonomian ini berhubungan erat dengan keadaan rakyat jelata, maka seharusnya kita pandang lebih dahulu keadaan rakyat pada dewasa ini”. Untuk itu, menurutnya selain perlu mengatasi “kerendahan penghidupan”, yang amat penting diperhatikan dari kesejehteraan rakyat adalah “kesehatan”.16 Pada 30 Mei, A. Rachim Pratalykrama menyatakan bahwa salah satu dasar negara yang harus diperhatikan adalah masalah perekonomian. “Ekonomi dalam arti seluas-luasnya perlu diperluas dan diperdalam disegala lapangan misalnya nasionalisasi dari perusahaan-perusahaan. Aturan-aturan hak tanah-tanah komunal dihapuskan, tanah erfpach,... dan opstal harus dikembalikan pada rakyat via pemerintah.”17 Pada 31 Mei, Abdul Kadir menyatakan bahwa salah satu dari tiga dasar pembentukan negara baru yang diusulkannya adalah “Pembangunan untuk memajukan ekonomi yang sehat agar rakyat menjadi makmur”. Pada tanggal yang sama Soepomo menguraikan gagasan tentang keadilan sosial ini secara lebih elaboratif, dalam kaitannya dengan “perhubungan antara negara dengan perekonomian”. Menurutnya, “Dalam negara yang berdasar integralistik yang
16
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 528. 17 Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 528.
47
berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem „sosialisme negara‟ (staatssocialime).”18 Pada 1 Juni 1945, giliran Soekarno menyampaikan pidatonya. Dalam uraiannya mengenai dasar falsafah negara Indonesia merdeka , dia memasukan prinsip “kesejahteraan” sebagai prinsip keempat. Dia memulai uraiannya mengatakan bahwa “saya dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan”. Pernyataan itu barangkali disebabkan prinsip keadilan dan kesejahteraan itu dikemukakan oleh para pembicara sebelumnya dengan formulasi yang beragam dan secara umum tidak dinyatakan dalam terma “kesejahteraan”. Meski demikian secara substantif prinsip ini juga diidealisasikan oleh anggotaanggota
BPUPKI
lainnya.
Selanjutnya,
Soekarno
mengemukakan
visi
emansipasinya, bahwa dengan prinsip kesejahteraan, “ tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Juga tidak akan dibiarkan “kaum kapitalis merajalela”.19 Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran-pemikiran yang berkembang pada masa persidangan pertama dan usulan dari anggota Chuo Sang In itu dirumuskan ulang oleh panitia sembilan yang merancang pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Berdasarkan hasil rumusan panitia sembilan, prinsip kesejahteraan, yang disebut sebagai prinsip keempat dalam pidato Soekarno pada 1 juni, ditempatkan menjadi sila ke-5. Redaksinya disempurnakan menjadi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.20
18
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 529-530. Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 530-531. 20 Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h.533. 19
48
Menurut penjelasan tentang UUD Negara Republik Indonesia, Pembukaan UUD 1945 mengandung empat pokok pikiran. Dua dari empat pikiran pokok tersebut terkait dengan “keadilan sosial”. Pokok pikiran pertama menyatakan, “Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan „keadilan sosial‟ bagi seluruh rakyat Indonesia.” Pokok pikiran ini mengandung pengertian bahwa persatuan nasional sebagai wahana untuk melindungi segenap bangsa dan tanah air mensyaratkan perwujudan keadilan sosial. Pokok pikiran kedua menyatakan, “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dengan pokok pikiran ini, negara mengemban misi mewujudkan keadilan sosial sebagai basis legitimasinya.21 Pada hari kedua masa persidangan kedua BPUPK (11 Juli), Radjiman Widioningrat selaku Ketua BPUPK membentuk tiga kelompok panitia: (1) panitia perancang hukum dasar, (2) panitia perancang keuangan dan ekonomi, (3) panitia perancang pembelaan tanah air. yang pertama diketuai oleh Soekarno, yang kedua diketuai oleh Mohammad Hatta, dan yang ketiga diketuai oleh Abikoesno Tjokrosoejoso. Dalam perkembangannya, Panitia Perancang Hukum Dasar yang diketuai Soekarno membentuk Panitia Kecil yang bertugas untuk merumuskan rancangan UUD yang dipimpin oleh Soepomo. Persoalan yang menyangkut prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial dibicarakan dalam Panitia Kecil perumus rancangan UUD dan dalam Panitia Perancang Keuangan dan Ekonomi yang diketuai oleh Mohammad Hatta.
21
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 534.
49
Hatta memberi masukan kepada Panitia Kecil perumus UUD mengenai persoalan keadilan dan kesejahteraan sosial diantaranya: 1. Orang Indonesia hidup dalam tolong menolong, 2.
Tiap-tiap orang Indonesia berhak mendapat pekerjaan dan mendapat penghidupan yang layak bagi manusia. Pemerintah menanggung dasar hidup minimum bagi seseorang,
3. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, menurut dasar kolektif, 4. Cabang-cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak, dikuasai oleh pemerintah, 5. Tanah adalah kepunyaan masyarakat, orang-seorang berhak memakai tanah sebanyak yang perlu baginya sekeluarga, 6. Harta milik orang-seorang tidak boleh menjadi alat penindas orang lain, 7. Fakir dan miskin dipelihara oleh Pemerintah. Mempertimbangkan sifat supel dari rancangan UUD, tidak semua masukan Hatta itu diakomodasi dalam pasal-pasal (rancangan) UUD. Meski demikian, pokok-pokok pikiran yang tidak tersurat dalam pasal-pasal UUD itu tetap menjiwai pasal-pasal UUD yang berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan sosial yakni pasal 27 ayat 2, pasal 33 dan pasal 34.22 Pada Rapat Besar BPUPK (15 juli) yang membahas rancangan UUD tersebut, Soekarno sekali lagi mengingatkan: “Kita telah menentukan di dalam sidang yang pertama bahwa kita menyetujui kata keadilan dan preambule.
22
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 536.
50
Keadilan inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme.”23 Setelah Soepomo menjelaskan hasil rancangan UUD, Muhammad Yamin mengajukan usulan, “hendaklah fasal-fasal tentang kesejahteraan, seperti dijanjikan dalam pembuka undang-undang dasar, diberi jaminan yang lebih luas dan lebih terang”. Yamin juga menekankan perlunya Republik Indonesia mewujudkan diri sebagai “negara kesejahteraan”. Selengkapnya dia nyatakan: “Adapun republik Indonesia ialah negara kesejahteraan, maka seperti Constution Weimar, Rusia, Filipina dan Republik Tiongkok hendaklah garis-garis besar kesejahteraan diatur dengan sebaik-baiknya dan sejelas-jelasnya. Rancangan ini mempunyai isi yang sangat sederhana dan tidak memberi jaminan yang teguh kepada suatu dasar, yang telah dijanjikan dalam penerangan kemerdekaan dan preambule undang-undang dasar ini.”24 Demikianlah, prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial menjadi perhatian penting dalam Pembukaan UUD 1945. Prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial dari Pembukaan ini meliputi suasana kebatinan perumusan pasal-pasal UUD dan dokumen lain yang terkait dengan itu yang bisa dijadikan sebagai sumber hukum yang tidak tertulis. Komitmen keadilan itu tampak nyata, baik dalam pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan keuangan negara yang menekankan pemuliaan partisipasi dan daulat rakyat maupun dalam pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan perekonomian yang menekankan pemenuhan hak warga dan jaminan keadilan dan kesejahteraan sosial.
23 24
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 539. Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 541-542.
51
B. Undang-undang Negara Kesejahteraan di Indonesia Dalam gambaran besarnya Indonesia adalah negara kesejahteraan. Ini bukan merupakan pembacaan yang ahistoris atau retrospektif karena sudah sejak masa-masa persiapan kemerdekaan, para pendiri bangsa mencita-citakan terbentuknya negara kesejahteraan di Indonesia. Cita-cita itu lalu kemudian diterjemahkan ke dalam sila kelima Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia” dan beberapa pasal dalam konstitusi, di antaranya Pasal 27 (2), 31, 33, dan 34. Prinsip negara kesejahteraan diterima secara bulat, baik oleh anggota BPUPKI maupun anggota PPKI yang bersidang pada 18 Agustus 1945.25
1. Kebijakan Ketenagakerjaan Pasal 27 ayat 2 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak” oleh Soepomo dalam Rapat Besar BPUPK 15 juli 1945 dijelaskan “bahwa panitia memasukan ayat ini dalam undang-undang dasar, sebagai pernyataan, bahwa kami hendak menyelesaikan hukum negara kita dengan aliran zaman. Ini sesungguhnya aliran keadilan sosial yang sesuai dengan sifat kekeluargaan.”26 Kebijakan ketenagakerjaan merupakan kebijakan yang paling utama dalam negara kesejahteraan. Di sini, negara harus mampu menyediakan akses lapangan pekerjaan bagi warganya. Tujuan dari kebijakan ketenagakerjaan tidak lain adalah untuk menciptakan daya beli masyarakat dan mengurangi ketergantungan warga negara atas tunjangantunjangan sosial yang disediakan oleh negara.
25
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h.584. 26 Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, h. 539.
52
Kebijakan ketenagakerjaan (employment policy) dibagi kedalam dua kebijakan pokok, yaitu; outset kebijakan dan kebijakan active employment (kebijakan tenaga kerja aktif). Mengenai
Outset kebijakan, negara memiliki beberapa kewajiban:
Pertama,
negara harus membuat sebuah kebijakan dan upaya untuk memberikan bantuk-bentuk asuransi penganguran, sebagai peranan negara dalam mensiasati kompetisi yang tidak sempurna dalam dunia lapangan kerja. Kedua, negara harus membuat kebijakan dan upaya agar tidak tercipta tingginya angka pengangguran, karena hal itu akan menimbulan konflik masyarakat dan meningkatnya angka kemiskinan. Ketiga, negara membuat kebijakan dan upaya untuk mengaitkan antara kebijakan pendidikan dengan kebijakan ketenagakerjaan dengan tujuan untuk merespon tantangan sosial-ekonomi yang dihadapi negara.27 Sedangkan kebijakan active employment yaitu kebijakan yang akan menjawab segala permasalahan dalam ketenagakerjaan, terutama pasar tenaga kerja. Pasar tenaga kerja merupakan penjelasan mengenai kondisi dan status dari warga negara yang berkaitan dengan kerja, seperti; lapangan pekerjaan, usia kerja, jenis pekerjaan, dan output kerja. Ketika suatu lembaga statistik memberikan data mengenai pasar tenaga kerja, kewajiban pemerintah, para ahli dan politisi adalah mampu menafsirkan data pasar tenaga kerja secara benar dan kemudian merekomendasikan kepada warga negara. Jika mereka gagal menafsirkan data pasar tenaga kerja, maka warga negara akan menuai kualitas kehidupan yang buruk. Pemerintah tidak hanya berkewajiban untuk menyediakan
27
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008), h. 70-71.
53
lapangan pekerjaan bagi warga negara di satu sisi, disisi lain lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah harus mampu mensejahterakan.28
Tabel 1 Kebijakan Ketenagakerjaan NO.
KEBIJAKAN
1
UUD 1945 Pasal 27 ayat 2
2
UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 4
KETERANGAN Membahas mengenai ketenagakerjaan bahwa setiap warga negara, baik individu atau kelompok berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai perlindungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan serta pemerataan kesempatan kerja untuk mencapai pembangunan nasional.
2. Kebijakan Pendidikan Pasal 31 terdiri dari 4 ayat berikut: (1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; (4) negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
28
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman, h. 71.
54
Keempat ayat tersebut berfungsi sebagai batu sendi yang menginskripsikan salah satu wujud negara kesejahteraan yaitu jaminan pembiayaan pendidikan gratis oleh negara. Layanan pendidikan memiliki posisi penting dalam mewujudkan sebuah negara yang adil, makmur dan sejahtera. Dalam hal ini pendidikan adalah bagian penting dari pemberdayaan masyarakat untuk turut serta dalam menciptakan kemakmuran negara. Jadi tugas negara agar bisa menjadi negara yang kehidupan rakyatnya sejahtera adalah menyediakan sistem pendidikan dan pengembangan pendidikan.29 Pendidikan akan menciptakan kemampuan orang perorang dan masyarakat mengakses sumber daya dan tata kebijakan, dan mengorganisasikannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran mereka sendiri. Pendidikan yang didapatkan oleh warga negara akan menciptakan kemampuan efektif dalam menghadapi situasi dimana orang atau masyarakat terjebak dalam struktur sosial-kemasyarakatan yang bisa menciptakan kemiskinan dan kemunduran atau deprivasi sosial. Terutama dalam era globalisasi, kemampuan dan layanan pendidikan yang didapatkan warga negara akan menentukan seberapa jauh kehidupan sosial-ekonomi dapat terus berkembang, seiring berkembangnya negara-negara lain. Tabel 2 Kebijakan Pendidikan NO.
1
29
KEBIJAKAN
KETERANGAN
Dalam UUD tersebut dijabarkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan UUD 1945 Pasal menyelenggarakan satu sistem 31 Ayat 1,2,3 pendidikan nasional bagi semua warga dan Negara wajib membiayainya.
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman, h. 101.
55
3. Kebijakan Ekonomi Sebelum diamandemen dengan menambahkan dua ayat yang merupakan pendetailan dari ayat asli sehingga pada hemat penulis tidak mengubah roh yang terkandung di dalamnya, Pasal 33 terdiri dari tiga ayat berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi dan air dan kekayaan alamyang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bersama-sama, ketiga ayat tersebut berfungsi sebagai batu sendi yang menginskripsikan bentuk dari ekonomi Pancasila. Untuk memahami bagaimana ketiganya dapat dimaknai dalam kerangka ekonomi Pancasila, perhatian perlu diberikan pada kata-kata kunci yang terdapat di dalamnya. Dalam Pasal 33 ayat 1, kata kuncinya adalah “asas kekeluargaan”. Perumus pasal ini, yakni wakil presiden pertama Mohammad Hatta yang juga acapkali disebut dengan Bapak Ekonomi Pancasila dan Bapak Ekonomi Kerakyatan, menjelaskan secara tegas bahwa apa yang dimaksud dengan asas kekeluargaan adalah koperasi. Meski Hatta tidak memasukkannya ke dalam batang tubuh pasal 33, hal itu diuraikannya dalam bagian penjelasan di mana dikemukakan bahwa ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama bentuknya adalah koperasi. Istilah asas kekeluargaan berasal dari Taman Siswa untuk menggambarkan bagaimana guru dan murid-murid hidup sebagai satu keluarga. Maka begitu pulalah hendaknya corak koperasi, satu sama lain harus mencerminkan orang-orang bersaudara sekeluarga.30 Secara historis, ketertarikan Hatta terhadap koperasi tersebut berakar dari studinya pada tahun 1921-1922 mengenai bentuk usaha masyarakat menengah ke bawah di Inggris, 30
Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Mutiara, 1977), h. 27.
56
Jerman, dan Swedia dan kunjungannya ke negara-negara Skandinavia, khususnya Denmark, pada akhir tahun 1930-an.31 Pandangannya mengenai koperasi dapat ditelusuri dari pandangan Perhimpoenan Indonesia tentang ekonomi seperti yang diuraikan Hatta dalam pleidonya di pengadilan Den Haag.32 Bila dikatakan bahwa asas kekeluargaan menemukan perwujudannya dalam bentuk bangun usaha koperasi, tentu tidak lantas berarti bahwa seluruh penyelenggaraan ekonomi yang dijalankan di suatu negara harus dilakukan melalui koperasi sebagai institusi yang paling selaras dengan norma ekonomi Pancasila. Tentu ini merupakan hal yang tidak mungkin karena dalam realitasnya, sudah sejak masa awal kemerdekaan, koperasi hidup bersama-sama dengan bangun usaha lainnya seperti perusahaan negara dan perusahaan swasta (baik besar, menengah, maupun kecil). Di antara berbagai bangun usaha tersebut, peranan perekonomian rakyat kecil dialokasikan pada koperasi, dengan harapan berangsur -angsur meningkat ke atas, artinya koperasi mendapatkan peranan membangun dari bawah.33 Asas kekeluargaan dengan demikian lebih tepat dipahami sebagai semangat dan spirit daripada sebagai bentuk institusional yang baku.34 Hatta sendiri meyakini bahwa asas kekeluargaan tidak hanya dapat diterapkan pada koperasi, melainkan juga dapat diterapkan pada perusahaan negara (BUMN) dan swasta. Meski demikian, koperasi tetap memegang peranan yang istimewa dalam keseluruhan usaha ekonomi nasional. Dia merupakan sokoguru dari perekonomian Indonesia, artinya semua
31
Dawam Rahardjo, ”Apa Kabar Koperasi Indonesia,” dalam Rikard Bagun, ed., Seratus Tahun Bung Hatta (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 294. 32 Sutan Sjahrir, ”Ideologi Hatta, Tapi Masih Relevankah itu?,” dalam Rikard Bagun, ed., Seratus Tahun Bung Hatta (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 246. 33 Suharso Monoarfa, ”Semestinya Hatta Menang,” dalam Rikard Bagun, ed., Seratus Tahun Bung Hatta (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 290. 34 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial, dan Keadilan: Analisa Trans-Disiplin Dalam Rangka Mendalami Ekonomi Pancasila (Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika, 1980), h. 82.
57
bentuk usaha lain hendaknya menjadikan prinsip dan nilai-nilai koperasi sebagai model idealnya. Sementara itu, ayat 2 dan 3 dari Pasal 33 UUD 1945 pada dasarnya merupakan dua ayat yang secara bersama menubuhkan prinsip sosialisme dalam ekonomi Indonesia. Prinsip sosialisme ini hadir dalam pernyataan “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara‖ dan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.” Ini artinya, dalam ekonomi Pancasila hak milik pribadi tidak diberikan secara sebebasbebasnya. Barang-barang publik yang vital bagi kepentingan orang banyak, berikut sumber daya alam dalam rupa bumi dan air berikut kekayaan yang terkandung di dalamnya, hanya boleh dikuasai dan dikelola oleh negara dalam rangka untuk mewujudkan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Rumusan demikian memberikan tilikan yang jelas mengenai posisi dari hak milik pribadi: pendakuan atasnya hanya berlaku untuk barang-barang yang tidak menyentuh kepentingan orang banyak, dan penggunaan serta pemanfaatannya hendaknya disertai dengan tanggung jawab, yakni tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Gabungan dari dua pokok tersebut, yakni menyerahkan cabang produksi dan sumber daya yang penting bagi orang banyak ke tangan negara sembari tetap mengakui hak milik pribadi, memberikan karakterisasi yang khusus pada bangunan ekonomi Pancasila. Dia bukanlah sosialisme dalam pengertiannya yang murni negara-negara komunis dan sosialis sekaligus juga bukan kapitalisme yang menyerahkan jalannya perekonomian sepenuhnya pada pasar dan norma hak milik pribadi. Sistem ekonomi Pancasila adalah, sebagaimana dituliskan salah satu penyokongnya yang paling militan,
58
sistem ekonomi campuran yang mengandung pada dirinya ciri-ciri positif dari kedua sistem yang kita kenal (kapitalis-liberal dan sosialis-komunis) tetapi menolak ciri-cirinya yang negatif.35 Dalam tataran global, sistem campuran atau jalan tengah tersebut telah banyak dimanifestasikan oleh berbagai negara di dunia dalam suatu format yang disebut dengan negara kesejahteraan (welfare state). Negara kesejahteraan merupakan negara yang pemerintahnya menjalankan serangkaian program untuk melindungi rakyatnya dari kerugian akibat risiko kehidupan, memberikan bantuan bagi yang membutuhkan, dan mendorong konsumsi atas pelayanan tertentu seperti pendidikan, perumahan, dan perawatan anak. Berbagai program tersebut sengaja diciptakan untuk memenuhi tujuantujuan tertentu, di antaranya menyediakan rasa keamanan bagi semua warga dan mengurangi
kemiskinan.36
Selain
berkaitan
dengan
kebijakan-kebijakan
yang
menyejahterakan dan memberi rasa aman warganya, konsep negara kesejahteraan juga bersinggungan erat dengan nilai-nilai kewarganegaraan modern seperti kebebasan, toleransi, persaudaraan, kemakmuran, dan otonomi.37 Dalam gambaran besarnya, ekonomi Pancasila memang dapat dipahami dan dimaknai sebagai negara kesejahteraan. Setelah melihat penjabaran diatas dapat diketahui bahwa Pasal 33 merupakan terjemahan dari semangat para pendiri bangsa dalam merumuskan keadilan sosial versi Indonesia atau Sosialisme a la Indonesia dalam bahasa Yudi Latif. 35
Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial, dan Keadilan: Analisa Trans-Disiplin Dalam Rangka Mendalami Ekonomi Pancasila, h. 84. 36 Antonius Galih Prasetyo, “Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian.” dalam Proceeding Model bagi Indonesia Papers Indonesia International Political Economy Week “Quo Vadis Developmentalisme”, 7-8 Desember, 2013 (Yogyakarta: IIS UGM, 2013), h. 6. 37 Rei Shiratori, “The Future Of The Welfare State,” dalam Antonius Galih Prasetyo, ed., Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model bagi Indonesia (Yogyakarta: IIS UGM, 2013), h. 6.
59
Tabel 3 Kebijakan Ekonomi NO. 1 2
3
KEBIJAKAN KETERANGAN UUD 1945 Pasal 33 Perekonomian disusun sebagai usaha ayat 1 bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi UUD 1945 Pasal 33 negara dan yang menguasai hajat hidup ayat 2 orang banyak dikuasai oleh negara Bumi air dan kekayaan alam yang UUD 1945 Pasal 33 terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk ayat 3 kemakmuran rakyat
4. Kebijakan Sosial Jaminan Sosial (Pasal 28 H ayat 3 dan Pasal 34 ayat 2) Setelah krisis melanda Indonesia pada 1997 yang diikuti dengan pergantian rezim dan proses demokratisasi setahun sesudahnya, semakin disadari bahwa skema kebijakan sosial yang ada di Indonesia tidak mencukupi, baik bila dilihat dari jumlah peserta, cakupan dan kualitas manfaat, maupun tata kelola. Untuk itu, mulai dilakukan reformasi kebijakan dalam rangka untuk membangun sistem jaminan sosial yang lebih bersifat sistemis dan inklusif. Legitimasi untuk melakukan reformasi tersebut mendapatkan penguatan melalui amandemen UUD 1945 Pasal 28H ayat 3 “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat 2 “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. MPR juga telah menetapkan Ketetapan MPR-RI No.
60
X/MPR-RI/2001 yang mengamanatkan presiden membentuk sistem jaminan sosial yang terpadu dan komprehensif.38 Sebagai tindak lanjut terhadap amanat konstitusi tersebut, pemerintah kemudian membentuk Tim Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada Maret 2001 yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Tim SJSN pada April 2002 dengan tugas yang lebih luas, antara lain membuat RUU SJSN dan melaporkannya kepada Presiden. Setelah melalui proses perdebatan dan tawar-menawar yang alot, UU 40/2004 tentang SJSN akhirnya disetujui. Substansi jaminan sosial yang disetujui dalam UU SJSN mencakup jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Sebelumnya, diusulkan pula tunjangan pengangguran namun usulan ini akhirnya ditolak.39 Demikian juga usulan mengenai tunjangan PHK dimentahkan karena telah terakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan. Penetapan UU SJSN merupakan momen historis dalam sejarah kebijakan sosial di Indonesia sekaligus merupakan langkah yang penting bagi tercapainya cita-cita negara kesejahteraan di negeri ini. Selain mencakup bantuan yang lebih luas dari skema-skema yang telah ada sebelumnya, SJSN juga bersifat universal. Kini tidak hanya mereka yang bekerja di sektor tertentu saja
yang dilindungi, melainkan seluruh warga tanpa
memandang profesi maupun penghasilannya. SJSN menganut sistem asuransi sosial sehingga sumber pendanaannya berasal dari iuran penerima manfaat dan pemberi kerja atau pemerintah (bagi PNS). Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu atau tidak mempunyai penghasilan, iurannya akan dibayar oleh pemerintah. 38
Antonius Galih Prasetyo, Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model bagi Indonesia, h. 6. 39 Dinna Wisnu, Politik Sistem Jaminan Sosial: Menciptakan Rasa Aman dalam Ekonomi Pasar (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 100-102.
61
SJSN memberikan jaminan rasa aman bagi seluruh warga sepanjang hidupnya, dari sejak lahir sampai meninggal. Rasa aman itu terwujud karena berbagai ancaman yang berisiko pada turunnya pendapatan, baik yang datang secara tiba-tiba (sakit, kecelakaan) maupun alamiah (pensiun), dijamin tidak akan memberikan pengaruh terhadap kualitas kesejahteraan. Melalui sistem asuransi, SJSN juga akan berperan secara tidak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat dengan cara memobilisasi dana masyarakat untuk membentuk tabungan nasional yang besar. Tabungan tersebut dapat diinvestasikan untuk menghasilkan keuntungan. Dana yang ditempatkan di bank misalnya, diskenariokan dapat menurunkan tingkat bunga sehingga mendorong investasi, dan investasi pada gilirannya akan membuka perluasan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk yang menerima bantuan iuran. Terbentuknya tabungan nasional yang besar juga akan meningkatkan kemampuan keuangan negara untuk membiayai programprogram pembangunannya sehingga negara tidak perlu lagi berutang. Skenario semacam ini terbukti sukses di Malaysia sehingga negara tersebut terhindarkan dari dampak yang parah dari krisis 1997. Sementara di Jepang, akumulasi dana jaminan sosial digunakan pemerintah untuk dipinjaman ke berbagai negara termasuk Indonesia. Bunga dari pinjaman tersebut kemudian masuk ke dana jaminan sosial.40
40
Sulastomo, “SJSN: Mesin Pembangunan,” Kompas, 21 Januari 2003, h. 6.
62
Tabel 4 Kebijakan Sosial NO. 1
2
3
KEBIJAKAN UUD 1945 Pasal 34
KETERANGAN Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
UUD 1945 Pasal 28H ayat 3
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat
UUD 1945 Pasal 34 ayat 2
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan
C. Kelembagaan Dalam rangka menunjukan komitmen konstitusionalnya Pemerintah mendirikan beberapa Intitusi untuk menjalankan apa-apa yang sudah di cita-citakan para pendiri bangsa yang kemudian termaktub dalam Pasal-Pasal dalam UUD 1945. Memang tidak semua lembaga yang didirikan pemerintah akan dibahas, penulis hanya membahas beberapa lembaga yang berhubungan dengan pasal-pasal negara kesejahteraan yang disebutkan di atas diantaranya; Departemen Sosial (yang kemudian berganti nama menjadi Kementerian Sosial), dan BPJS.
1. Departemen Sosial (Kementerian Sosial) Departemen Sosial (Depsos) pertama kali dibentuk pada tanggal 19 Agustus 1945. Rezim Soekarno yang mendirikan Depsos ini menunjuk posisi setingkat menteri untuk departemen ini. Hanya ada sedikit informasi yang menjelaskan asal-usul Departemen sosial sebagai lembaga modern. Namun satu hal yang pasti adalah pendirian
63
lembaga ini adalah hasil dari sebuah perdebatan panjang diantara para pendiri negara Indonesia. Beberapa berpendapat bahwa pendirian Departemen Sosial diperjuangkan oleh partai sosialis Indonesia dengan gagasan-gagasan Sosialis-Dermokratnya.41 Pimpinan tertinggi
Departemen Sosial pada masa awal kemerdekaan
dipercayakan pada Mr. Iwa Kusuma Sumantri yang pada waktu itu membawahi kurang lebih 30 orang pegawai untuk Bagian Perburuhan dan Bagian Sosial. Hampir semua pegawai tersebut kurang/tidak berpengetahuan dan berpengalaman cukup mendalam dalam bidang perburuhan dan bidang sosial.42 Untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, Pemerintah memikul tanggung jawab konstitusional, mengenai pembangunan kesejahteraan sosial, termaktub dalam pasal 34 UUD‟ 45 bahwa : “Fakir miskin dan anak -anak terlantar dipelihara oleh Negara”, yang berarti bahwa secara konstitusional, berdasarkan pasal 34 yang dirangkaikan dengan pasal 33 tentang perekonomian. Pemerintah membangun kesejahteraan sosial untuk meniadakan kemiskinan dan keterlantaran, yang terutama disebabkan oleh penjajahan, yang menindas dan menghisap Bangsa Indonesia yang nyata-nyata tidak berusaha untuk membangun kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia, malah membiarkan rakyat Indonesia cukup hidup dengan segobang atau dua setengah sen sehari. Departemen sosial memang mengalami banyak perubahan seiring bergantinya rezim pemerintahan. Di awal era reformasi, tepatnya pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Depsos di likuidasi (dibubarkan) dengan asumsi dari 41
Budi Rahman Hakim, Rethinking Social Work Indonesia: Suatu Jelajah Kritis (Jakarta: RM BOOKS, 2010), h. 121. 42 Budi Rahman Hakim, Rethinking Social Work Indonesia: Suatu Jelajah Kritis, h. 123.
64
Presiden Gus Dur bahwa pelayanan kesejahteraan sosial cukup dilakukan oleh masyarakat. Namun keadaan berkata lain, secara tidak diduga pula, saat itu muncul berbagai masalah kesejahteraan social seperti bencana alam, bencana sosial, populasi anak jalanan dan anak terlantar semakin bertambah terus jumlahnya, sehingga para mantan petinggi Departemen Sosial menggagas untuk dibentuknya sebuah Badan yang berada langsung di bawah Presiden, maka terbentuklah Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN). Baru ketika masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri Depsos difungsikan kembali untuk menyelenggarakan tugas-tugas pembangunan di bidang kesejahteraan sosial. Demikian fungsi Departemen sosial dengan sendirinya bersifat kuratif. Pelayanan, Perlindungan, dan Jaminan dilakukan pada golongan masyarakat yang sudah mengalami kesulitan dan masalah-masalah sosial. 2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Sebagai lembaga yang berwenang untuk menjalankan dan mengelola SJSN, dibentuk badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS). Untuk itu, setelah melalui proses yang panjang dan berlarut-larut, pada tahun 2011 lalu dibentuklah UU 24/2011 tentang BPJS. Di dalamnya, ditentukan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial nasional akan dijalankan oleh dua BPJS, yakni BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Untuk itu, dua BUMN, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek, akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Januari 2014 dengan status badan hukum publik. BPJS Ketenagakerjaanakan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian bagi pekerja selambatnya 1 Juli 2015. Adapun BPJS Kesehatan bertugas menyelenggarakan jaminan kesehatan per
65
1 Januari 2014 dengan menerima pelimpahan peserta jaminan kesehatan dari Jamsostek, TNI/Polri, PNS, Jamkesmas, dan Jamkesda. Selain melayani pekerja formal, BPJS Kesehatan juga akan melayani pekerja informal dan penganggur. Bagi mereka yang tidak mampu mengiur, pemerintahlah yang akan mengiuri. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap hingga pada 2019 diharapkan sudah melayani seluruh warganegara. Sementara itu, PT Taspen dan PT Asabri baru akan bertransformasi dan bergabung ke dalam BPJS Ketenagakerjaan paling lambat pada 31 Desember 2029.43
43
Antonius Galih Prasetyo, Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model bagi Indonesia, h. 15.
BAB IV PRAKTIK NEGARA KESEJAHTERAAN DI INDONESIA
A. Praktik Negara Kesejahteraan Di Indonesia Untuk melacak jejak praktek negara kesejahteraan di Indonesia penulis mencoba menguraikan beberapa program pemerintah yang menurut hemat penulis dapat memberi gambaran bagaimana sebenarnya konsep negara kesejahteraan di Indonesia diterapkan. Salah satu fitur utama dari negara kesejahteraan adalah kebijakan sosial. Setiap negara kesejahteraan selalu menerapkan kebijakan-kebijakan sosial untuk menunjang sistemnya, meskipun tidak bisa dikatakan sebaliknya bahwa setiap negara yang memiliki kebijakan sosial secara otomatis pasti merupakan negara kesejahteraan.1 Kebijakan sosial merupakan instrumen kebijakan yang digunakan untuk memastikan bahwa warganegara mendapatkan akses terhadap pelayanan sosial dasar seperti layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sebagainya. Kebijakan sosial berperan sebagai komplemen dari kebijakan ekonomi dan kebijakan sektoral lainnya.2 Salah satu bentuk dari kebijakan sosial adalah bantuan sosial, bantuan sosial merupakan bantuan yang dapat bersifat tunai maupun non tunai, ini biasanya ditujukan bagi kelompok miskin dan rentan seperti 1
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, 2006), h. 8. 2 Darmawan Triwibowo dan Nur Iman Subono, Meretas Arah Kebijakan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih Dari Sekadar Pengurangan Kemiskinan (Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, 2009), h.5.
66
67
janda dan yatim piatu. Skema pemberiannya bersifat mean-tested, artinya penerimanya harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti yang ditetapkan oleh pemerintah.3 Di Indonesia, pemerintah beberapa kali pernah membuat kebijakan dalam bentuk bantuan sosial, misalnya dalam bentuk beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, beras untuk rakyat miskin (raskin), Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada saat krisis ekonomi 1998, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau BLSM (Bantuan Langsung Tunai Sementara) sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM. Kebijakan sosial yang diberikan dalam skema bantuan sosial biasanya bersifat ad hoc.4 Namun demikian, dalam konteks negara kesejahteraan, bantuan sosial tidaklah mencukupi. Dalam negara kesejahteraan yang sejati, kebijakan sosialnya dibangun melalui pendekatan yang sistemik dan berkelanjutan dalam bentuk jaminan sosial (social security). Jaminan sosial
merupakan
sistem
yang
diwujudkan
untuk
mewujudkan
kesejahteraan dan memberikan rasa aman sepanjang hidup manusia melalui penyediaan layanan-layanan untuk menanggulangi risiko-risiko hidup seperti sakit, kecelakaan, menganggur, pensiun, kematian, dan sebagainya. Masing-masing negara kesejahteraan memiliki mekanisme penggalian sumber dana yang berbeda untuk menjalankan sistem jaminan
3
Triwibowo dan Subono, Meretas Arah Kebijkan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih Dari Sekedar Pengurangan Kemiskinan, h.6. 4 Antonius. G. Prasetyo, “Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model bagi Indonesia.” dalam Proceeding Papers Indonesia International Political Economy Week “Quo Vadis Developmentalisme”, 7-8 Desember, 2013, 261-286 (Yogyakarta: IIS UGM, 2013), h. 11.
68
sosialnya, entah apakah itu melalui asuransi, tabungan, pajak, atau kombinasi di antara berbagai mekanisme yang ada.5 Indonesia sebenarnya telah menginisiasi kebijakan jaminan sosial sejak lama. Pada masa awal kemerdekaan, telah diterbitkan peraturan mengenai jaminan kesehatan di bawah Peraturan Menteri Perburuhan No. 48/1953 yang kemudian diamandemen menjadi Peraturan Menteri Perburuhan No. 57/1957. Peraturan ini menjadi landasan dari diberikannya bentuk-bentuk tunjangan bagi pekerja seperti jasa di poliklinik, santunan selama sakit, hamil, melahirkan, dan kematian. Di tahun 1964, jaminan kesehatan direvisi dalam Peraturan Menteri Perburuhan No. 3/1964. Kemudian, pada masa pemerintahan Orba ketika Soeharto menjadi presiden, peraturan-peraturan terdahulu tentang jaminan sosial direvisi menjadi Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3/1967. Lalu dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun periode 1974-1979, pemerintah menargetkan untuk memperluas dan meningkatkan distribusi jaminan sosial. Sejak saat itulah kemudian dibentuk perusahaan-perusahaan umum yang memberikan jaminan sosial bagi warganegara berdasarkan pekerjaannya. Pada tahun 1977 dibentuk Astek (berubah menjadi Jamsostek pada 1992) yang melayani pekerja formal sektor swasta, Taspen di tahun 1963 untuk jaminan hari tua pegawai negeri, Asabri untuk jaminan hari tua personel militer, dan Askes di tahun 1968 yang memberikan jaminan kesehatan bagi pegawai negeri dan personel militer.6
5
Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional: Mewujudkan Amanat Konstitusi (Jakarta: Kompas Gramedia, 2014), h. 5-7. 6 Dinna Wisnu, Politik Sistem Jaminan Sosial: Menciptakan Rasa Aman dalam Ekonomi Pasar (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 100-102.
69
Ciri utama dari kebijakan jaminan sosial yang diberlakukan pada masa Orba, yang sebagiannya masih berlanjut hingga saat ini, adalah sifatnya yang parsial dan instrumental, yakni untuk mendukung tujuan pertumbuhan ekonomi.
Hanya sebagian kecil warganegara
yang
terlindungi dan menerima manfaat dari jaminan sosial. Mereka merupakan golongan yang dipandang penting bagi negara seperti PNS, pekerja swasta formal, dan militer. Sementara untuk asuransi yang berbasis privat, hanya kelas menengahlah yang mempunyai kemampuan untuk mengaksesnya. Adapun sebagian besar warganegara lainnya, misalnya mereka yang bekerja di sektor informal, pertanian, pekerja musiman,
dan
pengangguran, sama sekali tidak terlindungi.7 Dalam beberapa hal, kebijakan di masa Orba ini paralel dengan yang dilakukan oleh negara-negara industri Asia Timur, terutama sejak Perang Dunia II sampai dengan tahun 1980-an. Negara-negara seperti Jepang,
Korea
Selatan,
dan
Taiwan
membentuk
corak
negara
kesejahteraan yang dalam literatur disebut sebagai negara kesejahteraan produktivis atau developmentalis. Dalam model negara kesejahteraan ini, kebijakan
kesejahteraan
sosial
ditempatkan
di
bawah
orientasi
pertumbuhan ekonomi. Penyediaan jaminan sosial tidak didasarkan pada prinsip kesetaraan sosial atau redistribusi ekonomi, namun lebih pada investasi modal SDM demi produktivitas ekonomi. Untuk itu negara hanya memberikan jaminan kesejahteraan bagi sekelompok kecil pekerja yang bekerja di dalam sektor-sektor yang berperan penting dalam menggenjot 7
Darmawan Triwibowo dan Subono, Meretas Arah Kebijakan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih Dari Sekadar Pengurangan Kemiskinan, h.16-17.
70
pertumbuhan seperti pegawai negeri, personel militer, pekerja industri besar, dan guru. Sementara bagi mereka yang bekerja di sektor-sektor marjinal, jaminan kesejahteraannya diserahkan kepada keluarga masingmasing.8 Bagi negara-negara produktivis yang dipimpin oleh rezim otoriter, sekali lagi mirip dengan Orba, legitimasi pemerintah didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan masyarakat sipil serta gerakan buruh ditindas. Setelah krisis melanda Indonesia pada 1997 yang diikuti dengan pergantian rezim dan proses demokratisasi setahun sesudahnya, semakin disadari bahwa skema kebijakan sosial yang ada di Indonesia tidak mencukupi, baik bila dilihat dari jumlah peserta, cakupan dan kualitas manfaat, maupun tata kelola. Untuk itu, mulai dilakukan reformasi kebijakan dalam rangka untuk membangun sistem jaminan sosial yang lebih bersifat sistemis dan inklusif. Legitimasi untuk melakukan reformasi tersebut mendapatkan penguatan melalui amandemen UUD 1945 Pasal 28H ayat 3 (“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”) dan Pasal 34 ayat 2 (“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”). MPR juga telah menetapkan
8
Ketetapan
MPR-RI
No.
X/MPR-RI/2001
yang
Triwibowo dan Subono, Meretas Arah Kebijkan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih Dari Sekedar Pengurangan Kemiskinan, h.39.
71
mengamanatkan presiden membentuk sistem jaminan sosial yang terpadu dan komprehensif.9 Sebagai tindak lanjut terhadap amanat konstitusi tersebut, pemerintah kemudian membentuk Tim Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada Maret 2001 yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Tim SJSN pada April 2002 dengan tugas yang lebih luas, antara lain membuat RUU SJSN dan melaporkannya kepada presiden. Setelah melalui proses perdebatan dan tawar-menawar yang alot, UU 40/2004 tentang SJSN akhirnya disetujui. Substansi jaminan sosial yang disetujui dalam UU SJSN mencakup jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun,
dan jaminan
kematian. Sebelumnya, diusulkan pula tunjangan pengangguran namun usulan ini akhirnya ditolak.10 Demikian juga usulan mengenai tunjangan PHK dimentahkan karena telah terakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan. Penetapan UU SJSN merupakan momen historis dalam sejarah kebijakan sosial di Indonesia sekaligus merupakan langkah yang penting bagi tercapainya cita-cita negara kesejahteraan di negeri ini. Selain mencakup bantuan yang lebih luas dari skema-skema yang telah ada sebelumnya, SJSN juga bersifat universal. Kini tidak hanya mereka yang bekerja di sektor tertentu saja yang dilindungi, melainkan seluruh warga tanpa memandang profesi maupun penghasilannya. SJSN menganut sistem
9
Antonius. G. Prasetyo, “Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model bagi Indonesia.” dalam Proceeding Papers Indonesia International Political Economy Week “Quo Vadis Developmentalisme”, 7-8 Desember, 2013, 261-286 (Yogyakarta: IIS UGM, 2013), h.13. 10 Dinna Wisnu, Politik Sistem Jaminan Sosial: Menciptakan Rasa Aman dalam Ekonomi Pasar (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 111.
72
asuransi sosial sehingga sumber pendanaannya berasal dari iuran penerima manfaat dan pemberi kerja atau pemerintah (bagi PNS). Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu atau tidak mempunyai penghasilan, iurannya akan dibayar oleh pemerintah. SJSN memberikan jaminan rasa aman bagi seluruh warga sepanjang hidupnya, dari sejak lahir sampai meninggal. Rasa aman itu terwujud karena berbagai ancaman yang berisiko pada turunnya pendapatan, baik yang datang secara tiba-tiba (sakit, kecelakaan) maupun alamiah (pensiun), dijamin tidak akan memberikan pengaruh terhadap kualitas kesejahteraan. Melalui sistem asuransi, SJSN juga akan berperan secara tidak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat dengan cara memobilisasi dana masyarakat untuk membentuk tabungan nasional yang besar. Tabungan tersebut dapat diinvestasikan untuk menghasilkan keuntungan. Dana yang ditempatkan di bank misalnya, diskenariokan dapat menurunkan tingkat bunga sehingga mendorong investasi, dan investasi pada gilirannya akan membuka perluasan lapangan kerja dan mengurangi
jumlah
penduduk
yang
menerima
bantuan
iuran.
Terbentuknya tabungan nasional yang besar juga akan meningkatkan kemampuan keuangan negara untuk membiayai program-program pembangunannya sehingga negara tidak perlu lagi berutang.11 Skenario semacam ini terbukti sukses di Malaysia sehingga negara tersebut terhindarkan dari dampak yang parah dari
krisis 1997. Sementara di
Jepang, akumulasi dana jaminan sosial digunakan pemerintah untuk 11
Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional: Mewujudkan Amanat Konstitusi (Jakarta: Kompas Gramedia, 2014), h. 30-31.
73
dipinjaman ke berbagai negara termasuk Indonesia. Bunga daripinjaman tersebut kemudian masuk ke dana jaminan sosial.12 Sebagai lembaga yang berwenang untuk menjalankan dan mengelola SJSN, dibentuk badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS). Untuk itu, setelah melalui proses yang panjang dan berlarut-larut, pada tahun 2011 lalu dibentuklah UU 24/2011 tentang BPJS. Di dalamnya, ditentukan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial nasional akan dijalankan oleh dua BPJS, yakni BPJS
Ketenagakerjaan dan BPJS
Kesehatan. Untuk itu, dua BUMN, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek, akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Januari 2014 dengan status badan hukum publik. BPJS Ketenagakerjaanakan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian bagi pekerja selambatnya 1 Juli 2015. Adapun BPJS Kesehatan bertugas menyelenggarakan jaminan kesehatan per 1 Januari 2014 dengan menerima pelimpahan peserta jaminan kesehatan dari Jamsostek, TNI/Polri, PNS, Jamkesmas, dan Jamkesda. Selain melayani pekerja formal, BPJS Kesehatan juga akan melayani pekerja informal dan penganggur. Bagi mereka yang tidak mampu mengiur, pemerintahlah yang akan mengiuri. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap hingga pada 2019 diharapkan sudah melayani seluruh warganegara. Sementara itu, PT Taspen dan PT Asabri baru akan bertransformasi dan bergabung ke dalam BPJS Ketenagakerjaan paling lambat pada 31 Desember 2029.
12
Sulastomo, “SJSN: Mesin Pembangunan,” Kompas, 21 Januari 2003, h. 6.
74
B. Analisis Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pancasila dan UUD 1945 Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan pemersatu dalam peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Secara singkat, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuanya. Dalam posisinya seperti itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa. Dengan demikian, negara Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas dan visioner. Sebagai ideologi negara, pancasila mempunyai peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila juga mempunyai dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang jika dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang citacita luhur peradaban bangsa. Pancasila, yang terdiri dari lima sila tersusun secara hierarkis dan sistematis yang saling menopang demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sila pertama, “Ketuhanan yang maha Esa” nilai-nilai ketuhanan sebagai sumber etika dan spiritualitas dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Berkaitan dengan hal ini Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrim yang memisahkan antara agama dan negara.
75
Negara diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama, sementara agama diharapkan mampu memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Artinya, peran agama dan negara tidak perlu dipisahkan melainkan dibedakan. Dengan syarat bahwa keduanya saling mengerti batas otoritas masing-masing, yang dalam bahasa Latif disebut dengan istilah “Toleransi-kembar” (twin tolerations). Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab” nilai-nilai kemanusiaan universal yang dari hukum tuhan, hukum alam, dan sifatsifat sosial manusia dianggap penting sebagai fundamen etika politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Landasan etik sebagai prasayarat persaudaraan universal ini adalah “adil” dan “beradab”. Dalam mengembangkan
kemanusiaan
secara
adil
dan
beradab
itulah
menempatkan visi Indonesia dalam perpaduan antara idealisme politik dan realisme politik yang berorientasi kepentingan nasional dan hubungan internasional. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia” nila-nilai etis kemanusiaan itu harus terlebih dahulu mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Kesatuan masyarakat Indonesia ini dikelola berdasarkan
konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan
persatuan dalam keragaman dan keragaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”. Disisi lain ada wawasan pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup
76
bagi aneka perbedaan, seperti aneka keyakinan, budaya dan bahasa daerah, dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan budaya. Dengan demikian Indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat yang mampu mempertemukan kemajemukan masyarakat, keragaman komunitas, agar tidak tercerabut dari akar tradisi sejarahnya masing-masing. Konsepsi ini menyerupai perspektif “etnosimbolis”, yang memadukan perspektif modernis dengan perspektif primordialis. Sila
keempat,
“Kerakyatan
yang
dipimpin
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”
oleh
hikmat
menurut alam
pemikiran pancasila nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam permusyawaratan yang dimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiaannya dalam penguatan daulat rakyat. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (mayokrasi) atau kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha (minorokrasi), melainkan di pimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan warga tanpa pandang bulu. Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menurut alam pemikiran pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial harus mencerminkan imperatif
77
keempat nilai pada sila lainnya. Di sisi lain, otensitas pengalaman sila-sila pancasila
bisa
ditakar
dari
perwujudan
keadilan
sosial
dalam
perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut pancasila semua hendak di seimbangkan. Keseimbangan peran manusia sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial, keseimbangan pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam suasana kehidupan sosial-perekonomian yang ditandai oleh aneka kesenjangan sosial, kompetisi ekonomi diletakkan dalam kompetisi yang kooperatif berlandaskan asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh
negara
dan
dipergunakan
untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dalam mewujudakan keadilan sosial masing-masing pelaku ekonomi diberi peran masing-masing yang secara keseluruhan mengembangkan
semangat
kekeluargaan.
Peran
individu
(pasar)
diberdayakan, dengan tetap menempatkan negara dalam posisi penting dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitas, penyediaan, dan rekayasa sosial, serta penyediaan jaminan sosial. Berdasarkan uraian setiap sila di atas, penulis meminjam karya “Panitia Lima” yang telah menyelesaikan penafsiran tunggal tentang pancasila.
Panitia Lima yang terdiri dari Mohammad Hatta (Ketua),
Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, A.A. Maramis, Sunario, dan A.G. Pringodigdo. Menunjukan dua cara pendekatan dasar yang terkandung dalam pancasila dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat.
78
Pertama adalah cara pendekatan etis yang memberi dasar moral. Kedua adalah cara pendekatan politis, memberi dasar politis kepada seluruh sistem sosial, ekonomi dan politik. Sila pertama dan kedua dari pancasila yang dalam satu rangkaian menyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, dengan jelas menunjukan dasar pendekatan etis yang di maksudkan itu. Moral yang disampaikan dari kedua sila yang berhubungan erat ini menduduki tempat tertingi dalam hierarki nilai-nilai yang meliputi seluruh kehidupan sosial serta kebenaran-kebenaran politis yang terkandung dalam tiga sila lainnya dari pancasila, yang bila dinyatakan dalam satu rangkaian kalimat menyatakan: “Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”. Dengan demikian, maka maksud pendekatan politis tersebut adalah pendekatan menurut kebenaran-kebenaran politis
itu, dan dengan
sendirinya sistem perekonomian dan kesejahteran sosial, juga berurusan dengan apa yang menurut etika atau moralitas (sila pertama dan kedua) baik atau tidak baik, seharusnya atau tidak seharusnya. Sejalan dengan itu Yudi Latif menyampaikan dalam wawancara pribadi dengan penulis bahwa karya studi Esping Andersen tentang tipologi rezim Negara kesejahteraan ; 1) “Universal Welfare State”, 2) “Sosial Insurance“, dan 3) “Residual Welfare State”, masih tetap berguna
79
untuk sekedar melakukan studi komparatif bukan untuk diadopsi. Masih menurut Latif, Indonesia punya orisinialitas sendiri dalam hal model tata pengaturan kesejahteraannya, yaitu kristalisasi dari basis etis atas refleksi keagamaan (Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa) dan refleksi kehidupan
masyarakat
di
Indonesia
sejak
dahulu
(Sila
Kedua,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab). Dibeberapa negara yang menerapkan sistem negara kesejahteraan kita bisa melacak jejak akar konsep rezim kesejahteraannya dari basis etis di masing-masing negara. Manow menyimpulkan bahwa perbedaan rezim kesejahteraan di negara-negara Eropa juga dipengaruhi oleh “ragam” basis religius, yang didalamnya negara-negara dengan basis Protestan reformis lebih memilih rezim kesejahteraan liberal; negara dengan basis Protestan Lutheran cenderung kearah rezim sosial demokrat; sedangkan negara dengan basis Gereja Katolik Roma lebih condong ke rezim kesejahteraan konservatif. Rupanya Latif hendak menarik garis sejajar dengan ungkapan Manow bahwa basis etis keagamaan akan merefleksikan suatu bentuk tatanan kehidupan secara menyeluruh dalam segala sendi kehidupan bernegara dan kehidupan bermasyarakat. Menurut Latif utamanya Indonesia merefleksikan pengaruh ajaran Islam. Didalam Islam hak milik pribadi diperbolehkan tetapi milik pribadi tersebut haruslah memiliki fungsi sosial bagi sesamanya.
80
Didalam Al-Quran Surat Al A’raf Ayat 10 dijelaskan bahwa manusia memegang tanggung jawab sebagai Khlaifatullah Fil Al- Ardh, dan Allah Swt. Telah menganugerahkan sumber penghidupan bagi seluruh ummat di muka bumi, berikut bunyi firman Allah Swt: ٠١ۡ ََۡ ُكزُون ۡ َۡيلۡ َّما ۡ ٗ ِشۡقَل َۡ ِضۡ َو َج َعلۡنَاۡلَ ُكمۡۡفِي َهاۡ َم َۡعي ِ َۡولَقَدۡۡ َم َّكنَّۡ ُكمۡۡفِيۡٱ ۡلَر Yang artinya; “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. (Q.S. Al A’raf; 10) Oleh sebab itu, manusia menggemban amanat Khalifah Allah dimukabumi, dan diberikan kebebasan untuk mencari sumber penghidupan (nafkah) sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Dengan kata lain, Islam pada dasarnya mengakui kepemilikan peribadi. Islam tidak membatasi kepemilikan peribadi, alat-alat produksi, barang dagangan, tetapi Islam melarang cara-cara yang ilegal dan tidak bermoral dalam memperoleh kekayaan. Islam juga sangat menentang setiap bentuk keuntungan yang tidak layak dari kesulitan orang lain, dan melarang penimbunan kekayaan yang tidak sesuai dengan ketentuan ajaran Islam. seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an: ٣ُُۡۡبۡأَنَّ ۡ َمالَهۥُۡۡأَخۡلَ َد ۥ ُ س َ ۡۡۡيَح٢ُۡيۡج َم َعۡ َم ٗالۡۡ َو ََ َّد ََ ُۡۥ َ ۡۡٱلَّ ِذ٠َۡويۡلۡۡلِّ ُك ِّلۡ ُه َمز َۡةۡلُّ َم َۡز ٍة Yang artinya; “1) kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela. 2) yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. 3) Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya”. (Q.S Al Humazah; 1-3)
81
Dengan demikian, sifat menumpuk harta serta tidak menggunakan harta yang dimiliki untuk tujuaan yang bermaanfaat bagi seluruh umat manusia sangat dilarang oleh Allah Swt. karena sifat menumpuk harta hanya akan menjadi seseorang kaya raya sementara kesejahteraan umat manusia yang lain akan terabaikan dan menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Oleh karena itu, dalam Pancasila prinsip keadilan sosial pada sila kelima menjadi landasan adanya konsep negara kesejahteraan di Indonesia. Mengenai model dan bentuk akan lebih jelas dituangkan dalam pasal-pasal dalam undang-undang dasar 1945. Dalam pembahasan berikutnya akan lebih terlihat spesifik konsep negara kesejahteraan dalam prinsip-prinsip dan nilai pancasila yang diabstraksikan dalam bentuk Undang-undang dasar. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya ditemukan beberapa kecenderungan hendak mengarah kemana model negara kesejahteraan yang akan di pilih oleh Indonesia. Dalam Pancasila dan turunannya yaitu Undang-Undang Dasar 1945, rupanya konsitusi kita memberikan ruang kepada tiga model rezim kesejahteraan yang ada yaitu, 1) Rezim Universal welfare state , terlihat pada pasal 27 ayat 2, pasal 28H, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34 ayat 2, 3, 4. 2) Rezim Residual Welfare State, termaktub dalam pasal 34. dan 3) Rezim Social Insurance Welfare State, tersirat dalam pasal 28C ayat 2.
82
Jika hanya melihat landasan hukum normatif, Indonesia tentu menganut konsep negara kesejahteraan dengan ciri khas yang memberi ruang kepada tiga model rezim kesejahteraan yang ada. Ciri tersebut di satu sisi mempunyai kelebihan berupa kemampuan untuk mengakomodir semua lembaga penyedia kesejahteraan (negara-pasar-keluarga). Di sisi lain, keluwesan dan sifat supel tersebut juga mempunyai kekurangan yaitu mudah untuk ditarik kesatu posisi saja. Seperti dalam praktiknya pemerintah dari era pasca kemerdekaan (1945) sampai pasca reformasi belum ada yang benar-benar berkomitmen menerapkan konsep negara kesejahteraan. Salah satu yang menjadi instrumen wajib bagi berdirinya negara kesejahteraan adalah jaminan sosial. Hampir disemua penganut negara kesejahteraan terdapat lembaga atau sistem jaminan sosial. Di Indonesia legislasi dasar tentang jaminan sosial sebenarnya sudah ada sejak 1950-an, namun tunjangan yang ada (sampai saat sebelum di sahkannya UU BPJS) masih sangat kecil dan terbatas untuk kalangan tertentu saja. Kajian yang dilakukan Lindenthal (2004) mengidentifikasikan karakteristik umum sistem jaminan sosial yang telah berkembang di Indonesia selama ini sebagai berikut:13
Cakupan sistem jaminan sosial yang terbatas, hanya melayani minoritas populasi, khususnya pegawai negeri, angkatan bersenjata dan sebagian kecil sektor swasta. Sejauh ini, sistem
13
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 87-88.
83
yang dikembangkan secara keseluruhan hanya mampu mencakup kurang dari 20 persen populasi Indonesia.
Ketergantungan yang kuat terhadap keluarga (inti maupun extended
family)
serta
komunitas
untuk
memberikan
perlindungan sosial informal terhadap hilangnya pendapatan, gangguan kesehatan, ataupun musibah lainnya.
Ketergantungan yang terbatas pada majikan/perusahaan, melalui
peraturan
perburuhan
yang
didesakkan
lewat
kesepakatan kolektif, untuk mneyediakan benefit, seperti upah semasa sakit atau cuti melahirkan dan kompensasi saat pemutusan hubungan kerja.
Pilihan jaminan sosial yang terbatas bagi pekerja disektor swasta dengan tumpuan pada skema dana pensiun bagi pemberian lump sum saat berhenti bekerja.
Paket benefit sosial yang relatif lebih komprehensif bagi pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata dibandingkan dengan yang diterima oleh kelompok masyarakat lainnya.
Tunjangan sosial berbasis subsidi yang tidak memadai, serta memiliki tingkat kebocoran dan biaya administrasi yang tinggi.
Sistem kesehatan publik yang tidak didanai dengan memadai serta tidak mampu memberikan pelayanan yang memadai kepada seluruh warga.
84
Kajian tersebut sekaligus membuktikan dalam prakteknya pemerintah (sebelum UU BPJS disahkan) justru lebih dekat pada konsep rezim kesejahteraan residual, dimana penyedia kesejahteraan dan pengelola risiko lebih banyak dibebankan pada mekanisme pasar dan keluarga, dan bentuk peran pemerintah yang minim dan terbatas pada golongan yang paling tidak diuntungkan saja. Negara seolah berpangku tangan menyerahkan semua kepada mekanisme pasar dan memberi beban kepada keluarga untuk menanggung risiko-risiko yang menimpa. Meskipun dalam prakteknya pemerintah banyak menggelontorkan dana sosial untuk mengurangi kemiskinan tapi nyatanya belum bisa berbicara banyak. Hal itu disebabkan dana-dana sosial tersebut dikeluarkan dalam bentuk terpisah diberbagai instansi pemerintah dalam pecahan kecil-kecil, sehingga target utama justru tak terpenuhi, sementara biaya birokrasi justru tinggi. Lebih parah lagi, masing-msing instansi pemerintah ini kemudian bersaing mempertahankan porsi kegiatan sosialnya itu, dan mengklaim diri dapat mendesain program pengentasan kemiskinan yang lebih baik daripada instansi lain. Baru kemudian pada 2011 pemerintah mengambil momentum pengesahan UU BPJS No 24 Tahun 2011 dimana jaminan sosial diselenggarakan dalam satu kesatuan lembaga (tidak parsial) dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Skema ini dekat dengan aliran universal welfare state, dimana program menjangkau keseluruh warga negara dan cakupan programnya yang komprehensif. Sementara kecenderungan rezim social insurance welfare state juga lekat dengan
85
masyarakat kita dimana peran keluarga menjadi tumpuan dari risiko-risiko kehilangan pendapatan baik yang bersifat tiba-tiba (sakit, kecelakaan) maupun yang alamiah (pensiun).
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengetahui pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan. Kesimpulan mengenai bagaimana konsep negara kesejahteraan dalam Pancasila dan UUD 1945, sebagai berikut: 1. Para pendiri bangsa dalam cita-citanya mensejatahteran rakyat memilih bentuk negara kesejahteraan sebagai pilihan yang dianggap tepat untuk kondisi negara Indonesia. Hal itu tertuang dalam Pancasila terutama sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam proses perumusan dasar falsafah negara pada sidang BPUPKI prinsip keadilan dan
kesejahteraan
sosial
mewarnai
diskusi.
Beberapa
nama
mengeluarkan pendapatnya tentang keharusan negara menjelma sebagai lembaga yang adil dan mensejahterakan diantaranya: 1). Muhammad Yamin, pada 29 Mei 1945, 2). Soerio, pada 29 Mei 1945, 3). A. Rachim Pratalykrama, 30 Mei 1945, 4). Abdul Kadir, pada 31 Mei 1945, 5). Soepomo, pada 31 Mei 1945, dan 6). Soekarno, Pada 1 Juni 1945. 2. Prinsip negara kesejahteraan itu kemudian tertuang dalam UUD 1945. Prinsip dalam UUD 1945 mengakomodir ketiga konsep rezim negara kesejahteraan. Konsep residual welfare state tertuang dalam pasal 34 ayat 1. Konsep universal welfare state tertuang dalam pasal 27 ayat 2,
86
87
pasal 28H, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34 ayat 2, 3, 4. Konsep social insurance welfare state tercermin pada pasal 28C ayat 2. 3. Dalam praktiknya pemerintah dari awal kemerdekaan sampai dengan periode disahkannya UU BPJS lebih banyak menjalankan mandat pasal 34 ayat 1 saja. Dimana prinsip itu dekat dengan konsep residual welfare state. 4. Momen disahkannya UU SJSN adalah sejarah bagi kebijakan sosial di Indonesia sekaligus merupakan langkah penting bagi tercapainya citacita negara kesejahteraan di negara ini. Selain mencakup bantuan yang lebih luas dari skema-skema yang telah ada sebelumnya, UU tersebut juga bersifat universal. Kini tidak hanya mereka yang bekerja di sektor tertentu saja yang dilindungi, melainkan seluruh warga tanpa memandang profesi maupun penghasilannya. B. SARAN 1. Momen disahkannya SJSN dan BPJS memang merupakan sebuah langkah besar akan tetapi hal tersebut belum dirasa cukup untuk mengukuhkan berdirinya negara kesejahteraan. Basis pendukung harus kuat agar skema-skema bantuan yang sudah ada dalam BPJS bisa tetap dijalankan dan diperluas cakupannya. 2. Saatnya pemerintah terutama Kemensos harus berani mengurangi program-program yang sifatnya residual dan mengalihkan bantuan pada penambahan anggota yang iurannya (BPJS) dibayari oleh pemerintah.
88
DAFTAR PUSTAKA
Azamzami, Abdul Aziz. Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar Bin Khattab. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Barr, N. The Ecoimics Of The Welfare State. Stanford: Stanford University Press, 1998. Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LKPN, 2000. George, V dan Wilding, P. Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Pustaka Utama Garfiti, 1992. Giddens, Anthony. Jalan Ketiga : Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Hatta, Mohammad. Indonesia Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Hatta, Mohammad. Memoir Mohammad Hatta. Jakarta: Tintamas, 1982. Herzt, Noreena. Perampok Negara: Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi. Yogyakarta: Alinea, 2005. Komara, Eko Kurniawan. Kemerdekaan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial: Penggalan Riwayat dan Pemikiran Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka. Jakarta: Tempo Institute, 2009. Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997. Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2008. Petras, James dan Veltmeyer, Henry. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002. Prasetyo, Antonius G. Ekonomi Pancasila Sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model Bagi Indonesia. Yogyakarta, 2013. Rahardjo, M Dawam. Diskursus Kesejahteraan Sosial. Rahardjo, M Dawam. Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Di Era Globalisasi. Sjahrir, Sutan. Pikiran dan Perjuangan. Yogyakarta: Jendela, 2000.
89
Soekarno. Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Dibawah Bendera Revolusi, 1964. Soekarno. 19 Tahun Lahirya Pantja Sila. Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1965. Soekarno. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Panitia Nasional Peringatan Lahirnya Pancasila, 2001. Suharto, Edi. Kebijakan Sosial: Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabet, 2007. Sulaiman, Holil. Perencanaan Kebijakan Sosial dan Program Sosial. Triwibowo, Darmawan dan Bahagijo, Sugeng. Mimpi Negara Kesejahteraan. Jakarta: LP3ES, 2006.
90
SUMBER INTERNET D Kelley, Altruism anda Capitalism 1994. Artikel diakses pada 29 Mei 2015 dari www.objectivist-center.org/text/dkelley-altruism-captalism.asp. Negara dan Kesejahteraan. Artikel diakses pada 06 Sepetember 2015 dari http:www.inilah.com/berita/2008/07/24/40004/negara-dan-kesejahteraan/. Edi Suharto, Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa Negara. Artikel diakses pada 12 Oktober 2016 dari http
LAMPIRAN-LAMPIRAN Transkrip Wawancara Pribadi Yudi Latif (penulis buku Negara Paripurna) Selasa, 28 juni 2016, 09.30 s/d 10.30 Wawancara bertempat di kediaman Yudi Latif
Pertanyaan; Apa itu Negara Kesejahteraan? Jawaban;
Negara
kesejahteraan
itu
sebenernya
merefleksikan
teologi
keagamaan
masyarakatnya. Jadi kalau di Skandinavia umumnya itu gereja lutheran. Dalam keyakinan lutheran itu manusia itu terlahir setara hanya karena ada distorsi pasar, maka muncul ketidakadilan, dan negara lebih melayani segelintir orang lain, akhirnya kesetaraan itu berubah menjadi ketidaksetaraan. Ada yang beruntung, ada yang buntung. Pertanyaan; Seberapa dominan peran agama dalam menciptakan negara kesejahteraan? Jawaban;
Ada beberapa negara dengan basis katolik yang kuat. Nah mereka itu terinspirasi
oleh pelayanan gereja. Gereja itu hadir untuk melayani . Maka lahirnya kesejahteraan itu tunjangan dari Kekawanan komunitas Gereja. Pertanyaan; Bagaimana dengan di Indonesia? Jawaban;
Agama mayoritas di Indonesia adalah Islam. Di dalam Islam, hak milik pribadi itu
boleh. Hak milik pribadi itu mempunyai efek sosial. Nah, dalam Islam kan ada juga pajak, ada juga shadaqah. Jadi, zakat itu sama dengan pajak . ada juga itu kan sifatnya shadaqoh. Tapi, kalo pajak itu kan dimensinya universal memang untuk pembangunan. Seumpama kita lihat 8 asnaf itu ya sifatnya universal. Kena semua. Tapi, ada yang sifatnya pemberian khusus. Bukhori, Masakin, zakat fitrah. Dan residual itu ada juga. Jadi yang sebagian universal itu dikenal dalam Islam . Makanya kenapa dulu orang Islam bayar djizzah. Tapi itu intinya sama dengan bayar
pajak. Semua penduduk yang hidup harus bayar untuk 8 asnaf itu. Karena 8 asnaf itu sebenernya universal. Ada zakat fitrah, shadaqoh, padahal itu residu. Artinya, peran agama begitu dominan dalam menciptakan sistem Negara kesejahteraan. dalam prakteknya, di Indonesia sendiri kan masyarakat Islam Indonesia ini kan kebetulan juga karena dibawah penjajahan lama. Penjajahan ini kan lama, makanya sudah sejak lama dalam perjalanan kita, ormas ormas keagamaan itu mengembangkan rezim kesejahteraannya sendiri. Muhammadiyah punya panti panti,klinik, dll. Pelayanan pelayanan komunitas komunitas keagamaan itu mempunyai basis tersendiri yang sangat kuat . Bahkan dalam banyak waktu kita lihat kita jadi pembelahan juga dalam hal pajak dan zakat juga. Pajak untuk sekuler gitu, dan zakat untuk sifatnya keagamaan gitu. Ada pembedaan kaya gitu. Jadi kalo zakat diurus oleh masyarakat, kalo pajak oleh negara. Kita mengalami split seperti itu. Jadi akibatnya nanti baru belakangan UU zakat itu di ambil oleh negara. Tapi saya kira kalau kita lihat para pendiri bangsa juga melihat konteks agama dan sisi historis itu. Pertanyaan; Apa tugas negara dalam menciptakan negara kesejahteraan? Jawaban;
Tugas dari Negara kesejahteraan pokoknya mengembalikan kondisi-kondisi
kesetaraan itu dengan mengembangkan satu konsep namanya yaitu universal welfare state. gak pandang bulu, pokoknya semua diberikan pelayanan-pelayanan keseharian. Kebutuhan Dasar lah. Kesehatan, pendidikan, kerja, jaminan mengaggur juga. Tapi, ada juga semisal Amerika, di Amerika itu ada yang namanya reform church. Reform church ini mempunyai keyakinan bahwa manusia itu pada dasarnya lahirnya sudah tidak setara . jadi jangan ada upaya-upaya untuk menyamaratakan manusia. Karena memang dari sononya itu memang sudah tidak setara. Nah, tugas dari negara itu hanya memastikan supaya ketidaksetaraan ini jangan sampai melahirkan unsur-unsur destruktif yang bisa mengacaukan tatanan masyarakat. Pertanyaan; Bagaimana dengan di Indonesia? Jawaban;
Dalam UUD 45 itu memberi ruang pada 3 rezim negara kesejahteraan. Pertama
Negara Kesejahteraan yang sifatnya universal . Pasal 23 tentang pajak, pasal 27 setiap warga berhak untuk pekerjaan dan wilayah oleh kemanusiaan. Pasal 31 tentang pendidikan. Pasal 32 tentang kebudayaan. Pasal 33 tentang cabang produksi. Kalau negara kesejahteraan di Eropa itu karena mereka tidak punya sumber daya alam hanya mengandalkan pada pajak. Nah sedangkan
kita, selain dari pajak kita juga ngambil dari sumber daya alam itu. Makanya kalau di Eropa itu klabakan untuk membuat sistem negara kesejahteraan. Karena orangnya banyak sedangkan penduduk muda lebih kecil dibandingkan dengan yang tua . Yang muda makin nyusut, yang tua makin besar. Nah kita pajak punya. Pasal 123. Itu semua sifatnya universal. Pasal 26 tentang basicly. Kehidupan yang layak bagi manusia itu seharusnya basicly. Tidak ada yang kelaparan, mendapatkan pekerjaan, dan segala hal yang mencakup semua kehidupan. Pun halnya dengan pasal 31, setiap warga negara berhak atas pengajaran. Kedua, negara kesejahteraan yang sifatnya residual, dengan sistem negara kesejahteraan yang sifatnya universal tadi, masih ada orang-orang yang terlantar, fakir, dan miskin. Nah itulah residual, yang dipelihara oleh negara. Jadi pasal 34 UUD 1945 itu sifatnya residu. Problem kita hari ini kan karena yang universal welfare state nya gak di jalankan, pasal 23, pasal 26 , 31, 32 tidak dijalankan maka kemiskinan kan tinggi. Sehingga itu bukan residu lagi. Tapi sudah urat nadi dan menjadi tulang punggug negara. Kalo kemiskinan sudah melebihi 40 juta itu, beban. Tapi kemudian setelah amandemen, pasal 34 itukan juga diperluas misalnya jaminan jaminan sosial. Sebenernya menurut saya jaminan-jaminan itu si sifatnya universal. Adanya di pasal 26 itu pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi perikemanusiaan . hidup layak itu kan harus sehat. jadi kalo jaminan jaminan sosial itu ada di pasal 26, 31 dan isinya kesehatan, pendidikan, pekerjaan, itu semua sudah ada disitu masalah sosial itu . pasal 34 itu kan memang tentang residual. Korban-korban pembangunan lah. Makanya sekarang ada raskin. Nah, karena kebanyakan, maka bukan residu residu lagi itu. Akibat tidak dijalankanya program universal welfare state.memberi beban pada residu, dan residu itu kemudian jadinya universal . program raskin, bantuan langsung tunai lah, apalah. Ketiga, Swasta itu
juga memiliki fungsi
pen-
deliver kesejahteraan juga. Artinya hak milik pribadi itu harus juga digunakan untuk hak milik social juga. Jadi, ia juga memiliki fungsi sosial. Makanya tanah-tanah yang mangkrak itu kan tidak produktif, mestinya itu harus di pajak tinggi. Bukan sebaliknya,kita ini tanah mangkrak malah gak di pajak. Justru tanah mangkarak itu di pajak tinggi kalau diusahakan, paling tidak men generalisasikan untuk lapangan kerja. Itu juga untuk mendeliver kesejahteraanya sendiri, baik selain lewat pajak, lewat tenaga kerja. Jadi kalo residual itu kan utamanya pendeliver kesjahteraan itu di berikan kepada market. Kecuali sisanya baru ditangani oleh Negara. Jadi kita juga memberi peran pada swasta itu untuk mengembangkan kesejahteraan. tapi yg sering kali terjadi itu kepemilikan pribadi itu tidak memiliki fungsi sosial. Padahal tanah apapun itu harus
menjadi kepemilikan sosial. Dan industri juga menjadi kepemilikan sosial yang sifatnya koperarif. Koperasi yang mendatangkan kesejahteraan bukan hanya segelintir orang, tapi untuk banyak orang. Jadi koperasi itu sebenernya dalam penghayatan para pendiri bangsa kita kan bukan hanya badan pusat koperasi, tapi semangatnya itu harus koperatif. Gotong royong juga, koperatif juga, semangatnya, kekayaanya diambil sebagian orang. Tapi buruhnya semuanya di miskinkan. Eksploitatif. Hal yang sama kita tahu kemudian adalah karena hak.milik pribadi itu boleh dan memiliki fungsi sebagai hak sosial. Artinya, negara memberi peran kepada asosiasi asosiasi dibiarkan untuk mengelola kesejahteraannya juga. Apalagi kita mempunyai pengalaman historis tadi. Bagian2 keagamaan sudah lama ngurus panti2, zakat, dll . Itu seperti sosial insurance. Ia juga dibiarkan untuk mengembangkan kesejahteraan juga. Jadi tidak semua kesejahteraan ini di tangani oleh negara. Bisa pasar, bisa juga masyarakat sipil. Jadi kita memadukan antara universal welfare state, residual, dan juga sosial insurent. Jadi, secara universal, sektor swasta juga diharapkan mengembangkan kesejahteraan. Karena milik pribadi juga memiliki fungsi sosial, dan juga usaha2 masyarakat sipil oleh sosial insurent. Panti2, dll itu. Makanya sebenarnya zakat dengan pajak kan gede zakat. Seperti dompet dhuafa dll ini bisa kita berdayakan dan negara itu hanya mengandalkan audit aja. dan untuk memastikan aja bahwa dana2 masyarakat itu tidak di korupsi. Jadi yang penting adalah bagaimana semua itu ujungnya membawa ke muara kesejahteraan masyarakat. Kan gitu. Itulah negara gotong royong. Jadi kita lebih fleksibel, lebih luas cakupannya. Kita tidak meniru, kita ada kesamaan lah untuk melihat. hanya untuk komparatif . Tapi kita punya orisinalitasnya tersendiri yang merefleksi sendiri keagamaan kita dan merefleksi dari sisi historis masyarakat kita. Dan perbandingan itu hanya untuk sekedar melihat. Dibandingkan negara lain, dilihat bagaimana program negara kesejahteraannya.mungkin lebih pasnya menjadi rezim kesejahteraan. Itulah tugas negara. Karena itu tadi memberi ruang privat juga bagi rakyat sipil . Pertanyaan; Apakah sistem Negara Kesejahteraan sudah tercantum semua dalam UUD 1945? Jawaban;
dalam bentuk uud tidak mendalami hakikat itu seperti itu. Kalau menurut saya,
kecuali kalau zakat itu disamakan dengan pajak itu harus diserahkan. Kalau pajak diurus sama negara, yaudah zakat diurus sama masyarakat. Tapi harus disampaikan sudah sampai ke mustahiqnya. Karena kita kan memang pengertian Zakat ini kan juga residu. Perbaiki rumah
ibadah, bukan pengertian Zakat yang 8 asnaf itu yang mencakup ilmu pengetahuan. Kan beda juga. Pertanyaan; Kenapa Indonesia tidak mengarah ke satu sistem Negara Kesejahteraan? Ya karena tadi, ada berbagai macam ideologi, agama, budaya, dll. Kalau dalam komunisme tidak ada namanya milik pribadi. Semua kolektif. Kalau liberalisme sebaliknya. Yang penting adalah hak individu. Nah kita ini di jalan ketiga, milik pribadi boleh, karena milik pribadi itu mempunyai fungsi sosial. Yang tidak boleh digunakan sembarangan . Harus Digunakan sesuai dengan sifat2 sosial dan hak milik itu. Misalnya tanahnya tanah apa nih...tanah perkebunan, tanah pertanian atau tanah apa? Kalau tanah pertanian gunakan hak milik itu sesuai dengan sifat sosial dari tanah pertanian itu. Gitu loh. Tapi harus ada pembatasan hak milik atas tanah. Kita itu yang tidak ada sama sekali . Makanya kesenjangan kepemilikan tanah . Pertanyaan; Apakah di UUD 1945 mengatur pembatasan itu? saya belum cek di UU agraria, tapi kalau dalam konstitusi semangatnya lebih dari itu. Ini dikuasai oleh negara. Makna dikuasai itu juga memiliki batasan atas kepemilikan itu .dan sebenernya yang kalau punya pribadi mau di akomodir sama negara juga bisa. Kalau diluar, misal di Singapura, di Australia itu kan sebenernya hak guna. Hak guna tanah. Atau hak milik. Tapi di kita karena dulu dibawah pengaruh kapitalisme juga. Dibawah pengaruh penjajah. Tapi kalau diluar kan masih ada hak wilayah atas tanah. Pertanyaan; berarti kalau kita menekankan titik universal nya harus jalan gitu? Itu berarti tidak menghilangkan yang residunya gitu di panti panti misalnya? Jawaban;
ya karena tetep aja masih ada residu karena kan selalu ada orang yang terlempar
dari dunia kerja makanya kenapa harus ada jaminan atas itu. Kalau di negara Skandinavia kan orang hilang pekerjaan itu kan dapet santunan. Santunan bulanan. Karena selalu ada residu. Karena gak ada sistem yang sempurna. Pasti ada seorang yang residu. Selama dunia ada, orang miskin akan tetap ada. Seberapa canggihnya pun kan cuma derajatnya aja. Barusan saya dikirimin gambar tadi. Di Amerika sekarang udah banyak orang yang mencari makanan untuk makanan anjing yang ditaruh di jalanan terus di ambil. Terus mereka di interview kenapa kamu
sering mencuri makanan anjing dia jawab i have no access for decent meal. Jadi hal kaya gitu ada. Apalagi di Indonesia. Pertanyaan; Apakah kalau negara melakukan program universal, yang residu itu akan berkurang? Jawaban;
Ya akan berkurang. Jadi gak akan sebanyak dengan jumlah yang sekarang,
sekarang banyak yang residu karena univeresal state nya gak di jalanin. Pertanyaan; Jadi fungsi Kemensos sekarang itu residu? Jawaban;
Ya sebenernya Kemensos itu fungsinya residual. Yang diurusin ya orang2
pelacur, orang-orang korban bencana. Orang-orang yang dapet jaminan ya gitulah. Jadi fungsinya yang residual. Mereka itu sebenernya ga ngerti apa fungsinya Kemensos. Saya merumuskan kemarin. Pertama, proteksi sosial, kedua kesetiakawanan sosial, ketiga kepahlawanan sosial. Proteksi sosial ini termasuk jaminan sosial. Sehingga saya bingung kenapa Kemensos setiap tahun cuma kasih reward kepahlawanan pada orang-orang yang sudah mati. Padahal disana ada bagiannya loh. Direkrorat dan dibagian kepahlawanan apa gitu. Saya bilang bukan begitu caranya mendefinisikanya. Ini adalah pahlawan pahlawan yang memberi dan membangkitkan kembali orang-orang yang memberi residu itu. Jadi kaya pemberian award desadesa yang sudah ditinggalkan orang terus kemudian ada orang dari kota besar terus kembali dan membangun desa tersebut dan memberi kemajuan kepada masyarakat. Itu yang disebut dengan pahlawan. Orang-orang yang tadinya dari rumah bordir tiba-tiba bisa mempelopori berhentilah sebagai pelacur, gimana caranya yang residu ini kembali ke cara yang restoratif memulihkan kembali yang tadinya pelacur gimana caranya biar dia tidak lagi melacur gimana caranya yang tadinya membuat komunitas yang eksklusif kaya Ahmadiyah Syiah korban-korban pemerkosaan disitu banyak sekali residu itu, orang-orang menjadikan residu menjadi normal, jadi residual itu juga fakir miskin yang dilindungi negara itu dipelihara bukan dalam artian disantuni tapi disantuni dlm artian restoratif itu di pulihkan di sehatkan diberdayakan, sosial segtimate beasiswa untuk orang-orang yang tidak mampu artinya itukan memberi bantuan khusus terhadap orang-orang yaitu prinsipnya positive discrimination memenuhi kapasitas ulang untuk bangkit seperti halnya manusia lain.
Pertanyaan; Kalo misalkan negara udah menangani yang residu itu pak kaya misalkan adanya panti anak atau panti untuk orang tua terus panti untuk PSK dll itu udh banyak, cuma ketika mereka memberikan pelayanan karena yang melayani itu kapabilitasnya seadanya akhirnya mereka itu ngerasa kaya cuman di pelihara bukan diberdayakan. Nah kira-kira menurut bapak seharusnya panti itu tetap ada atau dihapuskan saja cuma negara punya cara lain untuk menangani masalah ini? Jawaban;
negara
mempunyai
hak
untuk
melindungi
dan
memproteksi
dalam
menjalankannya tidak harus pemerintah yang ngejalanin. Kita juga memiliki ruang bagi peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga pelayanan sosial nya mungkin mereka jauh lebih profesional jadi yg dilakukan negara sebenarnya menantang masyarakat sipil yg memiliki kompetensi menangani hal-hal seperti itu, lalu pencapaian nya itu negara memberikan reward. Tidak semua bisa dipahami negara . Jadi di Amerika dulu itu ada daerah hardine brbrong. Itu selalu standar pendidikan ya paling buruk. Rata-rata nasional selalu paling buruk. Negara gak bisa menjegal itu. Karena emang diperlukan lembaga-lembaga masyarakat sipil yang memiliki kompetensi khusus bagaimana berhadapan dengan kelompok-kelompok seperti itu. Akhirnya negara bikin yang namanya Charter school. Jadi mereka ini menjadi Charter organisasi masyarakat semacam di undang siapa diantara kalian yang memiliki gagasan untuk membangun satu institusi pembelajaran di daerah itu. Nah semakin banyak peserta Didik dan semakin sukses hasil. Orang-orang yang berhasil disitu mereka diberikan ganjaran besar nah ternyata Charter sxhool ini yang bisa mengangkat tarag pendidikan orang orang di daerah tersebut. Misalnya kita juga punya sekolah rimba itu. Negara gak bisa bikin sekolah rimba. Karena itu memerlukan passion khusus. Bagaimana kerjasama dengan masyarakat yang suka berpindah-pindah gitu. Nah itu kan cuma swasta yang ppunya . Nah sebenernya panti2 inigak perlu dikelola oleh negara. Negara cuma menfasilitasi aja. Kalau ada organisasi masyarakat yang memengaruhi butuh dan mempunyai kompetensi ya negara cuma kasih subsidi aja. Makanya kekuasaan itu tidak harus dijalankan langsung bisa memfasilitasi atau memprotekting tidak harus memprofit. Penguasa tuh banyak fungsinya. Tapi ga harus memprofit langsung . Nisa aja cuma memfasilitasi dengan membuat sarana atau memberikan uang atau memprotekting. Jadi negara juga ada batas kemampuan. Makanya kita itu jauh lebih fleksibel dalam konteks itu. Kita juga membuka peluang untuk sosial insurance dimana masyarakat juga bisa berkontribusi. Nah menurut saya dompet dhuafa itu bisa di pelajari. Cara dia menghabiskan handle program-program. Pelayan
sosial kan jauh lebih bagus. Dan mulai bberkembang bikin rumah sakit, sekolah, menciptakan interpeuner baru. Artinya kan uang ini bisa memberdayakan ketimbang hal ini ditangani langsung oleh negara. Nah dalam kasus ini sebenernya negara tinggal memprotekting aja. Memprotekting memfasilitasi lembaga lembaga seperti ini. Memprotekting dua hal. Pertama eksistensi itu sendiri, kedua memprotekting Masyarakat yang menjadi mustahiq dengan cara mengaudit auang itu untuk memastikan uangnya sampai ke mustahiqnya. Jangan ambil zakatnya aja. Nah itu fasilitating. Dan memprotekting juga. Restorasi itu kan bukan hanya fungsi uang zakat itu . Kalau uang di taburin itu sama aja kaya naburin garam di laut. Paradigma kita kan kadang gitu. Yang penting justru memberdayakan ulang. Terus memberdayakan ulang tuh lebih dari sekedar uang. Memanajemen faktor pembelajaran. Jadi si uang miskin ini kan perlu di ajarin bagaimana cara mengembangbiakan lele yang baik, bagaimana cara nanenm sayuran, itu kan lebih dari sekedar ngasih uang. Nah ini bisa terjadi jika badan Amil zakatnya ini bukan cuma ngasih umpan, tapi juga ngasih pancing dan kail. Nah terkadang negara gak sanggup sampai kesitu. jadi perlu ada kelompok-kelompok yang lebih spesifik. Pertanyaan; Perlukah Negara ini membentuk lembaga khusus untuk menjalankan universal state? Jawaban;
Ya, udah ada lembaganya. Pendidikan udah ada, pajak udah ada di direktorat
pajaknya. Pasal 33 udah ada menteri BUMN. Sudah ada SDM nya. Masalahnya kan tidak sesuai dengan mandat konstitusi. Lembaganya sih udah ada. Tapi mereka tidak menjalankannya konstitusi. Kesalahan nya kan di mis manajemen. Jadi misalnya bumi, air, tanah. dan segala macem sumber daya alam di kuasai oleh negara. Mana sih operasisasi dari pasal ini? Nah itu banyak orang yang gak paham. Bumi air dan alam dikuasai oleh negara, itu artinya sampai kapanpun mereka tidak boleh diperjualbelikan. Akan tetapi dikuasai oleh negara. Tapi dalam pemanfaatannya di serahkanlah ke BUMN atau BUMD. Bukan di serahkan ke freeport atau ke new mon. Nah tapi kan BUMN dan BUMD untuk menambang kan perlu duit, perlu teknologi, dan tidak selalu tersedia duit dan teknologi itu. Nah dalam kasus itu bolehlah kita mengundang modal asing tapi dia hanya mendapatkan keuntungan dari usaha itu aja. Bukan menguasai sumurnya langsung. Nah kalau kita kan orang Indonesia bisa. Menguasai sumurnya langsung. Jadi cara kita mengoperasionalisasikan mandat kesejahteraan di pasal 33 ini tidak berjalan semestinya. Sekarang Pertamina itu punya apa sih? Sumur aja hampir udah gak punya. Emang
alasannya selalu faktor modal, ngebor, padat modal, tapi sebenernya permasalahanya itu cuma di pembagian hasil saja. Tapi penguasaannya ttep dikuasai oleh nenega. Sumur2 itu tidak boleh jatuh ke tangan asing. Swasta lokal aja belum tentu boleh, apalagi asing. Sebenernya kan bisa diatur skala2 tambang itu. Tapi yang mempunyai atauu yang menguasai hajat hidup orang banyak itu dikuasai oleh negara. Jadi sebenarnya lembaganya udah ada. Tali mereka semua menyalahkan mandat konstitusinya. Misalnya pasal 31 ttg pendidikan setiap warga negara berhak atas pengajaran. Kalau begitu kan pada dasarnya pendidikan ini merupakan kewajiban negara dong? Apalagi kemudian atas dasar itu menjalankannya program wajib belajar
ini
mestinya kan setiap anak yang berada di wajib belajar, harus belajar kan? Karena wajib belajar, negara berarti juga wajib membiayainya. Nah tapi kan tadi di dalam pelaksanaannya negara juga mempunyai keterbatasan dan lagi pula sejarah kita juga tadi. Swasta juga ingin mengadakan pemberdayaan pendidikan, maka daya tampung sekolah2 negeri tidak mampu menampung seluruh minat orang untuk belajar. Nah kemudian di tampung oleh swasta. Nah tetapi karena itu wajib belajar mestinya swasta juga dapet subsidi dari pemerintah. Negara wajib mengikuti subsidi sekolah swasta sampai titik tertinggi wajib belajar itu dimana. Terutama swasta2 yang garis besar ekonominya itu rendah. Kalau swasta yang emang buat masyarakat kelas. Ekonomi tinggi sih gapapa. Cumaa itu bagi yang gak.mamoaja. Tapi kusus sekolah yang menampung rakyat kekecil. Di tampung negara juga gak bisa karena kapasitasnya terbatas terus masuk sekolah mahal dia gak bisa. Nah dia masuk sekolah swasta biasa. Nah sekolah swasta ini yang diberikan subsidi oleh pemerintah. Kalau di subsidi oleh negara dia juga bisa meningkatkan kualitas. maslah kaya gini aja kok gak bisa dipikirkan. Jadi ujungnya nih kita ada sekolah kambing, padahal itu negara wajib kan? Kewajiban negara itu banyak. Kalau negara ga bisa menampung semua? Oke, swasta yang akan menampung. Swasta yang akan kita kategorisasi lagi. Ada sekolah sekolah Jersy ya okelah. Negara gausah men subsidi. Nah sekolah2 yang untuk masyarakat biasa itu yang biarpun swasta harus di subsidi oleh negara. Karena dia malah menolong negara itu. Dia harus di subsidi. Dana pendidikajadn itu kan paling besar. Tapi negara malah bingung mau mengalokasalokasikanemanmalah dibikinin bos semuanya. Biaya operasional sekolah. Jadi biarkan orang itu miskin tapi mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Nanti orang-orang kreativ bisa buat sekolah yang memiliki sasaran orang-orang yang spesifik atau yang memiliki kebutuhan khusus. Sekarang saya teeus terang kelompok2 daun sindrom orang autis atau orang apa yang negara tidak membangun sekolah-sekolah nya. Nah ini
kelompok-kelompok residu juga. Yang membutuhkan pelayanan da dari negara. Ini sekarang saya baru ketemu sama istrinya Umar Wahab . Umar Wahabi kususma dia baru sekolah untuk anak yang diseleksi itu susah banget. Karena dia gak dapet subsidi apa apa dari negara. Bahkan sampai sekarang tanah itu susah banget. Padahal peminatnya banyak hampir seluruh Indonesia. Itu harusnya dapet subsidi dari negara. Karena setiap warga negara berhak atas. Pengajaran karena orang orang seperti ini tidak di perhatikan . Ini adalah bersifat universal. Semua harus terima. Ya jadi itu institusi ada tapi pemahaman dasar terhadap itu tidak ada. Padahal kata setiap itu maknanya universa. Kalau dijalanin semua sebenernya Indonesia bisa maju lah semua. Mungkin pemahaman dasar tentang kesejahteraan sosial aja menteri banyak yang tidak faham. Pertanyaan; Bagaimana
Konsep
menciptakan
kesejahteraan
sosial
dalam
negara
kesejahteraan? Jawaban;
Kesejahteraan sosial itu harus kembali ke empat fungsi negara. 1. Protekting,
fasilitating, providing, serving. Jadi negara misalnya ada dana untuk desa. Itu juga gak clear pikirannya. Desa juga harus di kategorisasi. Ada desa yang tertinggal. Desa yang ora sejahtera, desa yang sejahtera. Ini dana desa jangan seragam semua begitu. Sama 1 milyar. Itu kan menggarami air laut itu. Di kategorisasi desanya. Di Indonesia itu ada 74 ribu desa. Sekitar 39rb desanya termasuk tertinggal. Dan sebagian banyak desa tertinggal itu ada di bagian timur Indonesia. Jadi kalau desa2 sudah mandiri, mestinya gak harus dapet dana desa. Desa2 itu kan juga harus membentuk kemandirian. Sebenernya kalo seluruh kepala desa itu harus di gaji negara ya berapa banyak negara ini harus menggaji orang. Menggaji pensiun. Katakanlah 74 rb desa. Banyak banget. Mestinya yang di subsidi itu bukan gaji kepala desa. Tapi setiap desa itu mendapatkan subsidi dana desa. Itua anggaranya akan diterima oleh desa2 yang tadi itu. Nah dana desa itu bisa di alokasikan untuk kepala desa. Tapi sifatnya ethok aja. Tidak dapat pensiun apa2. Jadi itu dana desa, bukan gaji kepala desa. Sifatnya itu ethok tidak permanen. Kalau dia udah selesai menjabat kepala desa, tidak ada jaminan pensiun. Karena mereka kan sebenernya mau membangun kemandirian desa. jadi memang ada desa2 yang harus di providing secara keseluruhan oleh nsebenerny a juga desa yang bersifat desa adat, nah itu difungsikan tanahnya dan adatnya karena mereka punya adat dan wilayah. kan sekarang desa adat juga diakui. sebenernya kan juga hanya perlu difungsikan adat dan pengelolaan tanahnya. dll. kepala desa itu bukan pegawai negara. Kepala desa itu kan sebenakaki dari permuswaratan desa. Mandiri dia.
Tidak bisa di intervensi dari politik manapun. Kalau misalnya kepala desa itu Pegawai negara, dia bisa di atur oleh politik.
Tapi kalau dia mandiri, dia tidak bisa diatur oleh partai politik.
Itulah negara kesejahteraan bagian dari welfare state. Padahal kan sekarang negara lagi mengurangi pegawai sampai 1 jt. Tapi kalau kepala desa dijadikan kepala negeri. Gimana coba logikanya. Gak logis. Karena di kepalanya gak clear.