1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Hak atas tanah merupakan hak untuk menguasai tanah yang diberikan kepada perorangan, sekelompok orang, atau badan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043 (selanjutnya ditulis UUPA) menyatakan: “Atas dasar hak menguasai negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orangorang lain serta badan-badan hukum”. Macam-macam hak atas tanah tersebut antara lain berupa hak milik, hak guna bangunan hak pakai dan lain sebagainya. Hak-hak atas tanah tersebut dapat diperoleh melalui warisan dengan cara beralih maupun dialihkan melalui jual beli dengan melakukan pemindahan hak atau peralihan hak. Obyek peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibagi menjadi dua bentuk:1 a. Beralih Berpindahnya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemegang haknya kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan.
1
Urip Santoso, 2011, Pendaftaran Tanah Dan Pengalihan Hak Atas Tanah, Cet.II, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 363.
2 Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ini terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya pemegang hak (subyek hak), maka ahli warisnya memperoleh hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dalam beralih ini, pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subyek) hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. b. Dialihkan/pemindahan hak Berpindahnya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemegang (subyek) haknya kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut. Peralihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak atas tanah dari suatu pihak ke pihak lain atau dalam praktik dikenal antara lain jual beli tanah. Dalam perkembangannya, yang diperjualbelikan tidak hak atas tanah, tetapi juga Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Hak-hak atas tanah yang dapat dialihkan dan dapat beralih dengan akta jual beli antara lain hak milik sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA yang menyatakan: ”Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Setiap hak atas tanah baik yang diperoleh dengan cara beralih maupun dialihkan, wajib dilakukan pencatatan yang sistematis melalui pendaftaran di kantor pertanahan, hal tersebut sejalan dengan sistem yang berlaku di Indonesia yaitu sistem pendaftaran hak (“registration of titles”), sebagaimana yang dinyatakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah dan sekarang sudah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696) (selanjutnya ditulis PP No.24/Thn 1997), dan bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut
3 tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang terdaftar. 2 Tujuan pendaftaran hak atas tanah untuk memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan berupa memberikan kepastian hukum terhadap obyek/hak atas tanah dan subyek/pemegang hak tanah baik perorangan maupun badan hukum pada saat dilakukan peralihan dan pembebanan hak atas tanah, sebagaimana menjadi tujuan dari PP No.24/Thn 1997. Tujuan kepastian hukum yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah tidak diikuti dengan pengaturan yang jelas mengenai syarat umur dewasa sebagai pemegang hak atas tanah, baik dalam PP No.24/Thn 1997 maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746 (selanjutnya ditulis PP No.37/ThN 1998), hal tersebut melahirkan ketidakpastian hukum. Dalam praktek polemik mengenai kecakapan melakukan perbuatan hukum yaitu dalam hal pendaftaran peralihan hak, pada satu sisi sebagian menggunakan Pasal 1330 juncto Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek)
Diindonesiakan
oleh
R.Subekti
dan
Tjitrosudibio
(selanjutnya ditulis KUHPerdata) yaitu 21 tahun, sementara disisi lain menggunakan Pasal 47 juncto Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1) 2
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaanya, Cet.XII, Djambatan, Jakarta, hal. 477.
4 (selanjutnya ditulis UU No.1/Thn 1974) dan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491), (selanjutnya ditulis UUJN), yaitu usia 18 tahun. Hal tersebut hingga saat ini belum ada keseragaman antara Kantor Pertanahan yang satu dengan Kantor Pertanahan lainnya dalam menentukan usia dewasa, kadang kala 19 tahun atau 20 tahun dapat diterima sebagai usia dewasa namun kadang kala tidak dapat diterima sebagai sudah dewasa. Ketidakpastian umur dewasa ini kadang kala menimbulkan keragu-raguan dan ketidakpastian bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya ditulis PPAT) dalam membuat akta, sehingga PPAT harus melakukan pendekatan atau pembicaraan dengan Kantor Pertanahan.3 Selanjutnya Effendi Parangin mengemukakan, jika suatu jual beli tanah dilakukan, tetapi ternyata yang menjual belum dewasa, walaupun si penjual berhak atas tanah tersebut, maka akibatnya jual beli tanah tersebut dapat dibatalkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal ini oleh si pihak yang belum dewasa. Lagi pula kantor pendaftaran tanah akan menolak pendaftaran jual beli itu.4 Polemik mengenai batas umur dewasa diatas, selain berakibat bagi pembeli, karena sewaktu-waktu tanah yang dibelinya tersebut dituntut pembatalannya oleh pihak yang berkepentingan, meskipun tanah tersebut dibelinya dari pemilik yang 3
Mustofa, 2010, Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT, Karya Media, Cet.II, Yogyakarta, hal. 37. 4 Effendi Perangin, 1990, Praktek Jual Beli Tanah, Cet.II, Rajawali Pers (selanjutnya ditulis Effendi Perangin I), Jakarta, hal. 4.
5 sah, juga dapat mengakibatkan akta jual beli tersebut tidak dapat dijadikan dasar peralihan hak atas tanah. PPAT sebagai pejabat yang diberi kewenangan untuk membuat akta jual beli wajib memberikan perlindungan kepada para pihak dari kerugian yang diakibatkan tidak terpenuhinya syarat dan proses terjadinya jual beli tanah. Sebelum terjadinya peralihan hak dan penyerahan tanah, proses jual beli tanah didahului oleh kesepakatan atau persesuaian kehendak antara pihak penjual dan pembeli tentang harga dan tanah yang hendak diperjualbelikan. Selain adanya kesepakatan, jual beli tanah juga menganut asas obligatoir, yang meletakan hak dan kewajiban bertimbal balik di antara para pihak, di mana pihak pembeli berkewajiban membayar harga tanah yang merupakan hak penjual berbalik dengan kewajiban penjual menyerahkan tanah (hak atas tanah) yang merupakan hak pembeli. Asas obligatoir inilah yang di dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia atau yang dalam Hukum Tanah Nasional melahirkan penyerahan hak (levering) baik dalam bentuk penyerahan nyata (faitelijke levering) atas tanahnya maupun penyerahan hukum (yuridische levering) dalam bentuk peralihan hak atas tanah dalam proses balik nama di kantor pertanahan di tempat tanah tersebut berada.5 Hal tersebut sejalan dengan makna yang terkandung dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang memberikan pengertian bahwa: ”Jual beli adalah suatu persetujuan para pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. 5
Adrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Cet.III, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 83.
6 Artinya bahwa jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik di mana pihak satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Perjanjian jual beli dalam KUHPerdata menganut sistem bahwa perjanjian jual beli bersifat obligatoir, yakni perjanjian jual beli baru meletakan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli. Sekalipun jual beli menurut KUHPerdata belum memindahkan hak milik sebagaimana tercermin dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut ketentuan yang bersangkutan”. Adapun hak milik baru beralih dengan melakukan levering atau penyerahan. Dengan demikian dalam sistem KUHPerdata
Levering
merupakan suatu perbuatan
yuridis guna memindahkan hak milik.6 Levering atau penyerahan hak milik untuk barang tetap (tidak bergerak) menurut KUHPerdata dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan balik nama dimuka Pegawai Kadaster.7 Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 616 juncto Pasal 620 KUHPerdata bahwa penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tidak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata.
6
R.Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cet.X, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disingkat R.Subekti I), hal. 9. 7 Ibid.
7 Namun apabila dikaji lebih jauh, jual beli tersebut apabila dilakukan dengan suatu perjanjian jual beli yang telah dibayar lunas oleh pembeli, yang tentu diikuti dengan diserahkannya kuasa dari penjual kepada pembeli, sesungguhnya telah terpenuhi baik obligaturnya maupun leveringnya, terbukti dari apabila seseorang yang telah menerima kuasa menjual dari seorang penjual, maka pembeli tersebut dapat mengalihkan haknya tersebut dengan menjual kepada pihak lain. PP No.24/Thn 1997 menyatakan bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan PPAT, maksud dari peraturan tersebut adalah hak milik atas tanah juga berpindah pada saat dibuatnya akta dimuka pejabat tersebut.8 Dengan demikian akta jual beli yang dibuat oleh PPAT dalam Hukum Tanah Nasional terkait dengan keperluan penyerahan secara yuridis (juridische levering) di samping penyerahan nyata (feitelijk levering). Kewajiban menyerahkan surat bukti milik hak atas tanah yang dijual sangat penting, karena Pasal 1482 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Kewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik, jika itu ada”. Jadi penyerahan sebidang tanah meliputi penyerahan sertifikatnnya dari pemilik lama ke pemilik baru. Penyerahan harus memenuhi formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan syarat, dilakukan melalui prosedur yang ditetapkan, menggunakan dokumen yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT.9
8 9
Budi Harsono, op.cit, hal. 172-178. Adrian Sutedi, op.cit, hal. 83.
8 Dalam perbuatan hukum jual beli tanah, selain tunduk pada asas-asas hukum seperti di atas, juga menganut dan tunduk pada asas hukum adat yang berlaku dalam hukum agraria atau Hukum Tanah Nasional sebagaimana tersurat dalam Pasal 5 UUPA bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, yaitu dalam hal jual beli tanah harus bersifat tunai, terang dan riil. Sifat
tunai berarti bahwa perbuatan pemindahan hak dan
permbayaran harganya dilakukan secara kontan dan pada saat yang sama. Sifat terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut dilakukan di hadapan kepala adat yang berperan menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan hukum pemindahan hak tersebut. Sifat riil berarti perbuatan pemindahan hak tersebut dilakukan secara nyata. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 juncto PP No.24/Thn 1997, pemenuhan sifat terang dari jual beli harus dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT. Selanjutnya akta PPAT tersebut dijadikan dasar untuk pendaftaran tanah karena jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT. Penandatanganan para pihak pada akta jual beli membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Dengan demikian sejak ditandatanganinya akta jual beli dihadapan PPAT maka transaksi atas tanah tersebut dianggap telah final, yaitu pembayaran atas harga tanah telah dibayar lunas sehingga tanah yang diperjualbelikan telah diserahkan oleh penjual kepada pembeli/penguasa fisik
9 tanah (faitelijke levering) sementara penyerahan hak atas tanahnya dilaksanakan dalam proses balik nama di kantor kadaster Kantor Pertanahan (juridische levering) dengan perantaraan akta PPAT. Dalam praktik Ke-PPAT-an, Akta Jual Beli
yang dijadikan dasar
pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan yang dibuat di hadapan PPAT dapat berdasar pada sebuah Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (selanjtunya ditulis Akta PPJB) yang diikuti dengan Akta Kuasa Menjual sebagai suatu perjanjian pendahuluan (factuum de contrahendo) yang dibuat oleh Notaris. Menurut Herlien Budiono PPJB adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.10 Selanjutnya Subekti menyatakan bahwa PPJB adalah sebagai suatu persetujuan di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu barang sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya. 11 Dasar dibuatnya PPJB oleh Notaris dalam proses pengalihan hak dapat ditemukan salah satunya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (selanjutnya ditulis UU No. 10/Thn 2011). Keberadaan UU No.10/Thn 2011 ini sekaligus memberikan legalitas terhadap pembuatan PPJB yang dilakukan di hadapan notaris, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) yaitu: ”Proses jual beli Satuan Rumah Susun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB dibuat di hadapan Notaris”.
10
Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disingkat Herlien Budiono I), hal. 269. 11 R.Subekti, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cet. XXXII (selanjutnya disingkat R.Subekti II), Jakarta, hal. 162.
10 Kedudukan PPJB sebagai perjanjian pendahuluan, PPJB berfungsi memperkuat perjanjian pokok yang merupakan awal untuk lahirnya perjanjian jual beli yang dilakukan di hadapan PPAT. Pada umumnya PPJB diikuti Kuasa Menjual ini diberikan oleh penjual kepada pembeli untuk dapat melakukan jual beli sendiri, baik mewakili calon penjual maupun dirinya sendiri selaku pembeli, termasuk memberikan hak-hak kewenangan kepada pembeli untuk dapat mewakili secara umum hak-hak kepengurusan atas tanah tersebut selama belum dilakukan jual beli di hadapan PPAT. Kuasa ini bertujuan agar pembeli tidak dirugikan hak-haknya mengingat telah dipenuhinya persyaratan jual beli di hadapan PPAT. Salah satu syarat mutlak agar akta jual beli dapat dijadikan dasar peralihan hak atas tanah adalah terpenuhinya syarat penerima hak untuk menjadi pemegang hak atas tanah yang akan diperolehnya, persetujuan/kesepakatan bersama untuk melakukan perbuatan hukum jual beli tersebut, dipenuhinya syarat terang, tunai dan riil bagi pemindahan hak yang akan dilakukan, serta terpenuhinya syarat materiil yaitu kecakapan dan kewenangan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum tersebut, (Pasal 1320 KUHPerdata dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 123/K/Sip/1970 Tentang Kasus Hibah Tanah di Bali.12 Pemenuhan syarat materiil kecakapan bertindak tidak hanya dalam hal peralihan hak atas tanah, tetapi juga berlaku terhadap akta PPJB. Syarat kecakapan bertindak merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan bahwa: 12
Boedi Harsono, op.cit, hal. 515.
11 Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal Konsekuensi hukum tidak terpenuhinya keempat syarat diatas akan mengakibatkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah menjadi batal demi hukum dan dapat di batalkan. ”Batal demi hukum” artinya bahwa suatu perjanjian akan batal apabila syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, tidak terpenuhi syarat ini dikenal dengan syarat obyektif. Sedang ”dapat dibatalkan” artinya bahwa suatu perjanjian akan terancam batal apabila syarat kesepakatan mengikatkan diri dan kecakapan bertindak tidak terpenuhi, syarat ini dikenal syarat subyektif. Perbedaan dari kedua kebatalan (dapat dibatalkannya) perjanjian yang dimaksud diatas adalah, terhadap ”batal demi hukum” perjanjian yang dibuat tidak mengikat para pihak, karena sejak semula perjanjian dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak ada dasar bagi para pihak untuk saling menuntut di depan hakim. Sedang terhadap ”dapat dibatalkan” adalah perjanjian hanya akan batal apabila salah satu pihak meminta perjanjian tersebut dibatalkan. Sepanjang tidak ada pembatalan, maka perjanjian yang telah dibuat tetap mengikat para pihak. Salah satu faktor yang menentukan kecakapan bertindak adalah faktor umur. KUHPerdata menentukan batas umur dewasa adalah 21 tahun. Pasal 1329 KUHPerdata menentukan bahwa pada prinsipnya bahwa: ”Setiap orang adalah
12 cakap untuk membuat perjanjian, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Golongan orang-orang yang tidak cakap telah ditentukan dalam Pasal 1330 yaitu anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan perempuan yang sudah bersuami, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian. Akan tetapi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963, seorang istri berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Selanjutnya Pasal 330 KUHPerdata menentukan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin dan apabila mereka yang kawin sebelum berumur 21 tahun itu bercerai, status mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Sebagaimana dijelaskan diatas KUHPerdata menentukan kedewasaan dari faktor umur, hal ini berbeda dengan hukum adat. Kedewasaan seseorang di dalam hukum adat diukur dari faktor apabila telah kawin atau telah meninggalkan rumah keluarga, bisa dengan mencar, memasuki suatu ruangan tersendiri dalam rumah keluarga dan mulai hidup mandiri atau di daerah Jawa Barat memakai ukuran ”kuat gawe” yaitu sudah bekerja, sudah bisa mengurus harta bendanya, sudah bisa mandiri.13 Namun demikian, penentuan kedewasaan menurut hukum adat diatas kurang memberikan kepastian hukum, karena tidak mudah mengetahui dan mengukur apakah seseorang tersebut sudah mampu mengetahui akibat dari 13
Ade Maman Suherman dan J.Satrio, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, hal. 10.
13 perbuatannya serta sudah mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, hanya dengan melihat tanda-tanda dalam tubuh perubahan segi biologis seseorang. Sehingga demi menjamin kepastian hukum, berbagai peraturan perundangundangan dan putusan hakim memberikan batasan umur dalam menentukan kedewasaan seseorang, misalnya: 1. Undang-Undang Perkawinan; Pasal 6 ayat (2) menentukan bahwa: ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua”. 2. Undang-Undang Jabatan Notaris; Pasal 39 ayat (1) UUJN menentukan bahwa: ”Seseorang penghadap harus memenuhi syarat paling rendah berumur 18 tahun atau telah menikah”. 3. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), Nomor Dpt.7/539/7-77 Tentang Dewasa Hukum, Tanggal 13-17-1977 (selanjutnya ditulis SK Mendagri Dpt.7/539/7-77) menyatakan bahwa yang dimaksud dewasa adalah berumur 21 tahun untuk golongan penduduk non pribumi, dan 19 atau 20 tahun untuk golongan penduduk pribumi. 4. Putusan MA Nomor: 35K/Sip/1955 tertanggal 1 Juni 1935 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan seseorang telah dewasa adalah apabila usianya telah mencapai 15 tahun. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai batas umur dewasa bagi seseorang yang memenuhi syarat cakap melakukan perbuatan hukum
14 tidak memiliki kesamaan, baik dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maupun putusan pengadilan. Dalam praktik jual beli tanah, syarat penghadap dalam membuat Akta Jual Beli di hadapan PPAT adalah 21 tahun sebagaimana diatur dalam SK Mendagri Dpt.7/539/7-77, sedang syarat penghadap dalam membuat Akta PPJB dihadapan Notaris adalah 18 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UUJN. Dua ketentuan diatas jelas dapat menimbulkan ketidakpastian atau keraguraguan di kalangan para Notaris dan PPAT, karena jika notaris mengikuti Pasal 39 ayat (1) UUJN maka seseorang yang telah berusia 18 tahun dapat menjadi pihak/penghadap di hadapan notaris dan berhak untuk melakukan perbuatan hukum jual beli termasuk membuat PPJB. Akibatnya akta jual beli yang dibuat oleh PPAT tersebut tidak dapat didaftarkan di Kantor Badan Pertanahan Nasional karena Badan Pertanahan Nasional sendiri sudah memiliki pedoman atau peraturan tersendiri mengenai kecakapan bertindak yaitu dalam peraturan pelaksana UUPA yang tentunya berbeda batas umur kecakapan bertindaknya dengan UUJN. Berdasarkan perbedaan batas umur kecakapan bertindak di atas Ismiati Dwi Rahayu, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kota Depok, mengemukakan contoh kasus seseorang anak usia 18 tahun hendak melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah dihadapan notaris, karena berdasarkan UUJN usia 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum di hadapan notaris, maka notaris membuatkan akta pengikatan jual beli terhadap anak tersebut, dan selanjutnya berdasarkan akta pengikatan jual beli yang dibuat oleh Notaris,
15 PPAT membuat Akta Jual beli. Kemudian, waktu melakukan pendaftaran terhadap akta jual beli tersebut, oleh pihak Kantor Pertanahan/Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya ditulis BPN) tidak menerimanya, alasannya, BPN tidak tunduk pada UUJN dan menganggap usia 18 tahun belum cakap hukum, untuk itu anak tersebut harus menunggu hingga dinilai telah cakap hukum yaitu 21 tahun.14 Uraian di atas memberikan gambaran bahwa antara aturan yang satu dan aturan yang lain terjadi pertentangan atau konflik norma yang dapat menimbulkan permasalahan hukum, sehingga penelitian menjadi penting untuk dilakukan. Implikasi hukum yang dapat timbul dari konflik norma di atas adalah sebagai berikut: Pertama, apakah syarat kecakapan bertindak seseorang dalam membuat PPJB harus mengacu kepada UUPA dan bukan UUJN mengingat PPJB merupakan perjanjian yang mengandung peralihan hak? Kedua, bagaimana keberadaan atau kedudukan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT berdasarkan PPJB yang dibuat oleh notaris yang kewenangan bertindaknya mengacu pada UUJN, apakah batal demi hukum, dapat dibatalkan, atau tetap sah menurut hukum akan tapi tidak dapat digunakan sebagai dasar peralihan hak dan pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan? Ketiga, bagaimana tanggung jawab PPAT apabila akta jual beli yang dibuat oleh PPAT berdasarkan PPJB yang dibuat oleh notaris yang kewenangan bertindaknya mengacu pada UUJN tersebut tidak dapat dijadikan dasar peralihan hak karena telah cacat hukum? 14
Ismiati Dwi Rahayu, 2006, “Peralihan Hak Atas Tanah” Majalah Renvoi, Nomor 5/42, Tahun IV, Novermber 2006, hal. 21.
16 Keempat, apakah dalam keadaaan tertentu dan dalam hal-hal yang khusus seperti peralihan hak atas tanah, hukum dapat memberikan pendewasaan kepada mereka yang berumur 18 tahun. Mengingat Akta Jual Beli dan Akta PPJB dibuat oleh dua institusi hukun yang berbeda yakni PPAT tunduk kepada UUPA yang merupakan hukum publik dan Notaris tunduk kepada hukum privat. Kelima, apakah PPJB dan Akta Jual Beli memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata? Dari beberapa permasalahan di atas, penulis membatasi ruang lingkup penelitian, yaitu hanya mengkaji tentang keberadaan Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT sebagai dasar peralihan hak atas tanah di kantor pertanahan yang dibuat dengan mendasarkan dengan PPJB dan Kuasa Menjual, sementara kedua akta terakhir, syarat kecakapan bertindak yang ditentukan dalam UUJN yaitu umur 18 tahun. Hal tersebut di atas dapat melahirkan implikasi hukum terhadap Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT yang akan/kelak dijadikan dasar permohonan peralihan hak di Kantor Pertanahan, sebab dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut syarat kecakapan bertindak melepaskan hak atas tanah mengacu pada ketentuan dewasa menurut UUPA, yakni setelah berusia 21 tahun dan/atau telah menikah. Sedangkan dalam Akta PPJB maupun Kuasa Menjual, kewenangan bertindak pihak penjual mengacu syarat dewasa menurut UUJN yaitu 18 tahun atau telah menikah. Sehingga Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT tersebut secara normatif tidak dapat dijadikan dasar permohonan peralihan hak atas tanah.
17 Ketidakseragaman penetapan batas umur sebagai dasar hukum seseorang dianggap dewasa dan mempunyai kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum dapat menimbulkan implikasi hukum yang mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap
kepastian
hukum
yang dicita-citakan oleh pemerintah
dalam
mewujudkan negara hukum, selain itu tujuan kepastian hukum melalui Pendaftaran Tanah dalam memberikan perlindungan hukum khususnya bagi subyek atau pemegang hak atas tanah di Indonesia melalui sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertananahan Nasional tidak akan tercapai bahkan konflik norma tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian aturan hukum. Ketidakpastian hukum dapat menimbulkan interpretasi keliru atau sengaja dikelirukan untuk mempertahankan haknya atau memperjuangkan sesuatu hak. Hal ini mengingat perjanjian yang dibuat oleh si pihak yang belum dewasa bisa dituntut pembatalannya meskipun perjanjian tersebut sama-sama dibuat dengan itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1331 KUHPerdata. Sedangkan undang-undang tidak memberikan hak kepada si pihak dewasa untuk menuntut pembatalan, apabila setelah diketahui lawan janjinya adalah pihak belum dewasa. Dalam penelitian ini, penulis telah membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang kecakapan bertindak. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain: Penelitian yang dilakukan oleh Ningrum Puji Lestari, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Tahun 2008, Dengan Judul Tesis: Kecakapan Bertindak Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Setelah Berlakunya Undangundang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Adapun yang menjadi permasalah hukum
18 yang dibahas dalam ini mengenai penerapan dalam praktek mengenai batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum setelah berlakukanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan akibat hukumnya apabila muncul perbedaan persepsi mengenai masalah batas usia bertindak yang menyangkut usia kedewasaan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Selanjutnya Daan Muttaqien, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia, Tahun 1997 melakukan penelitian dengan Judul Tesis: Penentuan Kecakapan Melakukan Tindakan Perbuatan Hukum Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Bidang Perkawinan dan Perjanjian). Adapun permasalahan hukum dalam penelitian tersebut antara lain: apa yang dimaksud dengan kecakapan melakukan perbuatan hukum, baik dalam hukum Islam dan hukum positif, jenis-jenis kecakapan melakukan perbuatan hukum, baik dalam hukum Islam maupun dalam hukum positif dan hal-hal apa saja yang dijadikan sebagai dasar penetapan batas awal kecakapan melakukan perbuatan hukum baik dalam hukum Islam maupun dalam hukum positif serta akibat hukum adanya penetapan kecakapan melakukan perbuatan hukum baik terhadap perkawinan maupun terhadap perjanjian yang dilakukan oleh seseorang, baik dalam hukum Islam maupun hukum positif.
19 Dari uraian penelitian di atas tidak ditemukan kesamaan baik judul maupun permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, sehingga tingkat originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan paparan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Akta Jual Beli Yang Dibuat Berdasarkan Akta Notaris Yang Kecakapan Bertindak Para Pihaknya Mengacu Pada Undang-Undang Jabatan Notaris Sebagai Dasar Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada Undang-Undang Jabatan Notaris dapat dijadikan dasar peralihan hak atas tanah? 2. Bagaimana akibat hukum Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada Undang-Undang Jabatan Notaris?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus.
20 1.3.1 Tujuan umum. Untuk mengetahui pengaturan tentang akta jual beli sebagai dasar peralihan hak atas tanah dalam perkembangannya hingga saat ini. 1.3.2
Tujuan khusus. Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian tesis ini adalah sebagai
berikut: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan pada Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada UUJN sebagai dasar peralihan hak atas tanah. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum Akta Jual Beli yang dibuat berdasar pada Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada UUJN.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis. Manfaat penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk
dapat
memberikan
masukan
dalam
pengembangan
ilmu
pengetahuan dalam ilmu hukum khususnya bidang hukum pertanahan. 2. Untuk dapat memberikan masukan dalam hukum pertanahan khususnya dalam pendaftaran hak atas tanah.
21 1.4.2. Manfaat praktis. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
bagi
PPAT/Notaris, pembuat kebijakan di bidang pertanahan, masyarakat dan peneliti sendiri. Adapun manfaat yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1.
Bagi PPAT/notaris, hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman berkenaan dengan akibat hukum yang ditimbulkan dari Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan pada Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada UUJN.
2.
Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan di bidang hukum, khususnya di bidang hukum pertanahan dan hukum kenotariatan mengenai syarat-syarat jual beli hak atas tanah serta syarat pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan.
3.
Pembuat kebijakan dibidang hukum pertanahan, diharapkan agar hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi dan lebih memperjelas pengaturan mengenai pengalihan hak atas tanah khususnya syarat kecakapan melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah.
4.
Bagi peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang hukum pertanahan dan hukum kenotariatan khususnya mengenai syarat kecakapan melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah.
22 1.5 Landasan Teoritis 1.5.1
Teori penjenjangan norma (Stufentheorie). Teori
Penjenjangan
Norma
digunakan
untuk
menganalisa
ketidakharmonisan pengaturan tentang kecakapan bertindak terkait dengan batas umur dewasa dalam melakukan perbuatan hukum dalam Hukum Tanah Nasional dan UUJN. Hukum Tanah Nasional menentukan bahwa batas umur dewasa adalah 21 tahun sebagaimana diatur dalam SK Mendagri No.Dpt.7/539/7-77, sedangkan UUJN menentukan 18 tahun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat (1). Perbedaan penentuan batas umur dewasa dalam melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dalam peraturan perundang-undangan diatas telah menimbulkan implikasi pada praktik pembuatan Akta Jual Beli yang dijadikan dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah. Kantor Pertanahan menolak melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah apabila Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan Akta PPJB dan Kuasa Menjual dengan kecakapan bertindak mengacu kepada UUJN yakni 18 tahun. Meskipun setiap undang-undang mempunyai alasan dan latarbelakang tersendiri dalam menentukan aturannya, namun demikian diperlukan cara yang dapat mengontrol norma-norma yang terdapat dalam sistem perundang-undangundangan agar. Pengontrolan terhadap suatu norma hukum (norm controls) dinamakan legal control, judicial control, atau judicial review jika mekanismenya dilakukan oleh pengadilan. Pada pokoknya, kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak (general) hanya dapat dikontrol melalui mekanisme hukum yaitu judicial review oleh pengadilan. Ada negara yang menganut sistem terpusat
23 (controllised system) yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, atau lembaga lain yang khusus. Ada pula negara yang menganut sistem tersebar atau tidak terpusat (decentrelised system) sehingga setiap badan peradilan dapat melakukan pengujian atas peraturan perundang-undangan yang berisi norma umum dan abstrak. Indonesia termasuk negara yang menganut sistem tersentralisasi, yaitu undang-undang terpusat di Mahkamah Konstitusi, sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dipusatkan di Mahkamah Agung. 15 Pertentangan yang timbul antara peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainya dapat dilakukan suatu uji mateiil (judicial review), dimana lembaga yang berwenang untuk melaksankan hak uji materiil yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan uji meteriil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar hal ini sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945), sedang Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dengan undang-undang yang diatur dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945. Kedua lembaga ini diharapkan sebagai lembaga ini diharapkan sebagai lembaga yang mampu menyelesaikan konflik norma yang terjadi antara peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainya selalu selaras dan tidak menimbulkan pertentangan atau konflik norma. 15
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Yogyakarta, hal. 7.
24 Selain dilakukan judicial review, cara lain untuk mengatasi permasalahan pertentangan norma adalah dengan menerapkan asas hukum atau doktrin yang dikemukakan para ahli hukum. Hans Kelsen dalam Stufantheorie atau dikenal dengan istilah Stufantheorie mengajarkan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm). Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang ada dibawahnya, sehingga norma dasar itu dikatakan presupposed.16 Ajaran jenjang norma Stufentheorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hirarki normanorma. Validitas (keabsahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung pada norma yang lebih tinggi.17 Hans Kelsen mengungkapkan bahwa hukum adalah tata aturan (order) sebagai sistem aturan-aturan (rules) tentang berperilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan 16
Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1, Kanisius, Yogyakarta, hal. 41. 17 Antonius Cahyadi dan E Fernando M.Maullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 83.
25 sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.18 Tata hukum, khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan lainnya, tetapi suatu hirarki dari norma-norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain, yang lebih tinggi.19 Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut membawah konsekuensi, peraturan perundangundangan yang tingkatannya lebih di bawah dibentuk, bersumber, dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, demikian seterusnya hingga pada akhirnya sampai pada peraturan perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya yaitu Undang-Undang Dasar.20 Di Indonesia teorui jenjang norma (stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tersebut diimplementasikan kedalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) (selanjutnya ditulis UU No.11/Thn 2011). Pasal 7 ayat (1) UU No.11/Thn 2011 mengatur mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan
Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 13. 19 Ibid , hal. 110. 20 Muhamad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Jakarta, hal. 21.
26 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dari ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No.11/Thn 2011 diatas menunjukan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menginginkan suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang tersusun dalam bentuk hierarkis. Diharapkan bahwa peraturan perundangan di Indonesia memiliki tingkatan vertikal yang mana pada tataran atas yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki posisi yang tertinggi dalam produk sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia. Dengan demikian maka peraturan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia. Berdasarkan atas ketentuan Pasal 7 angka 3 UU No.11/Thn 2011 yaitu: “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud dalam angka 1”. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa: “Dalam ketentuan ini yang dimaksdu dengan “hierarki” adalah perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangn-undangan yang lebih tinggi”. Dalam ilmu hukum, asas yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 angka 2 UU No.11/Thn 2011 asas lex superior derogate legi inferiori. Apabila terjadi konflik antara kepentingan peraturan perundang-undang, antara undang-undang dengan kebiasaan, antara undang-undang dengan putusan
27 pengadilan diberlakukan secara konsisten asas-asas preferensi yang terdiri dari 3 hal yaitu sebagai berikut:21 1. Asas lex superior darogat legi inferiori, artinya undang-undang yang tingkatanya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama; 2. Asas lex specialis derogat legi generali, artinya undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum apabila undang-undang tersebut sama kedudukannya; 3. Asas lex posteriori darogat legi priori, artinya dalam undang-undang yang sama derajatnya serta sama persoalan yang diaturnya berlaku asas, bahwa undang-undang yang baru mendesak/membatalkan yang keluar lebih dulu. 1.5.2
Teori perjanjian. Teori Perjanjian ini digunakan untuk menganalisa akibat hukum terhadap
para pihak yang melakukan perbuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli obyeknya tanah di hadapan notaris. Akta PPJB yang dibuat oleh para pihak di hadapan notaris dengan tujuan terjadinya jual beli merupakan alat bukti otentik yang didalamnya mengandung peralihan hak dapat dijadikan dasar dibuatnya Akta Jual Beli oleh PPAT dengan tujuan agar perbuatan hukum para pihak dalam melakukan perjanjian jual beli dapat dijadikan dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan. PPJB yang dibuat dihadapan notaris merupakan perjanjian yang diangkat dan dibuat dari konsepsi KUHPerdata yang didasarkan pada kesepakatan para pihak mengenai hak dan kewajiban yang dibuat 21
R.Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Cet.VII, Jakarta, hal. 135-136.
28 berdasarkan Pasal 1320 juncto Pasal 1338 KUHPerdata sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Teori Perjanjian mengajarkan bahwa yang menjadi dasar hukum mengikatnya suatu perjanjian adalah apabila dilakukan dengan sah. Perjanjian diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata tentang perikatan yaitu Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Artinya bahwa apabila antara dua orang atau lebih tercapai suatu persesuaian kehendak untuk mengadakan suatu ikatan, maka terjadilah antara mereka suatu persetujuan. Selanjutnya Subekti mengatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.22 Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. O.W Holmes berpendapat bahwa The duty on keep contract in common law means a prediction that you must pay damages if you do not keep it, if you commit a tort, you are liable to pay compesatory.23 Maksudnya bahwa kewajiban untuk menjaga suatu perjanjian dalam hukum masyarakat diartikan sebagai prediksi bahwa kamu harus membayar kerusakan-kerusakan, akan tetapi kalau kamu tidak menjaganya, apabila kamu komit dengan gugatan tersebut, maka kamu bertanggung jawab untuk membayar kompensasi tersebut.
22
R.Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta (selanjutnya disingkat R.Subekti III), hal. 45. 23 M.P Golding, The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia University, Random House, New York, page. 180.
29 Sucitthra Vasu mengatakan bahwa The purpose of setting down the terms of contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties. Secondly, in the event of a dispute between parties, it enables the court to decide which is the defaulting party so that the dispute can be resolved.24 Maksudnya bahwa perjanjian atau kontrak bertujuan, pertama dengan kontrak akan dapat menunjukkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, kedua suatu saat nanti ada perselisihan antara pihak kontrak ini dapat memutuskan yang mana pihak yang menyalahi kontrak, sehingga perselisihan itu dapat dipecahkan. Proses dari pembuatan perjanjian adalah just a drafting is the process of converting the underlying intention of the party or parties into a written document, construction is the process od derinving the tru intention of the party or parties from the document. 25 Terjemahan bebas: membuat kontrak merupakan proses konversi niat yang mendasari pihak-pihak yang membuat kontrak menjadi dokumen tertulis konstruksinnya adalah proses menuangkan niat dari pihak-pihak ke dokumen yang dibuat. Setiap perjanjian yang sah dibuat tanpa adanya paksaan dari pihak manapun juga. Perjanjian yang sah artinya perjanjian memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang sehingga diakui oleh hukum, akibatnya yang timbul dari perjanjian tersebut dapat menimbulkan akibat hukum. Undangundang yang mengatur tentang sahnya suatu perjanjian yaitu KUHPerdata khususnya dalam Pasal 1320 yang menyatakan bahwa: 24
Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, Singapore, page. 1. 25 Ros Macdonald & Denise McGrill, 2008, Drafting Second Edition LexixNexis Butterworths, Australia, page.3.
30 Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu: 26 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan dirinya. 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan Kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah diterangkan, beberapa golongan orang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, seperti orang di bawah umur, orang di bawah pengawasan (Curatele), dan perempuan yang telah kawin sebagaimana dimaksud dala Pasal 1330 KUHPerdata. 3. Suatu hal tertentu Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Adapun suatu hal tertentu yang diperjuangkan tersebut adalah hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.
26
Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I), hal. 77.
31 1.5.3
Teori Kewenangan Teori kewenangan ini digunakan untuk menganalisa akibat hukum yang
timbul dari Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan Akta PPJB dan Kuasa Menjual dalam hubungannya dengan pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan. Akta PPJB yang dibuat oleh para pihak dengan tujuan terjadinya jual beli merupakan alat bukti otentik yang didalamnya mengandung peralihan hak adalah merupakan akta yang dibuat oleh notaris atas permintaan para pihak karena belum terpenuhinya syarat jual beli di hadapan PPAT. Pasal 1 angka 1 UUJN menyatakan bahwa: ”Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh notaris dalam membuat akta otentik harus di dasarkan atas kewenangan yang sah. Teori kewenangan mengajarkan bahwa setiap kewenangan yang sah harus di dasarkan pada hukum. Istilah kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegdheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegdheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegdheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam
32 hukum privat. Dalam konsep hukum Indonesia, istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.27 Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan “authority” dalam bahasa Inggris dan “bevoegdheid” dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai “Legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties.”28 (Terjemahan bebas; Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik). Menurut Ateng Syafrudin perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang adalah kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan
27
Philipus M. Hadjon, Makalah Tentang Wewenang, Universitas Airlangga, Surabaya, hal. l. 28 Henry Campbell Black, 2009, Black’S Law Dictionary, Ninth Edition, West Publishing, page. 133.
33 dalam peraturan perundang-undangan. 29 Sedangkan menurut Indroharto, secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum .30 Berdasarkan beberapa pengertian kewenangan yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa kewenangan memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang. Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undangundang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu. Menurut Philipus M.Hadjon wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya 3 komponen yaitu pengaruh, dasar hukum dan komforrmitas. Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum, komponen dasar hukum dimaksudkan bahwa wewenang haruslah mempunyai dasar hukum yang sah, sedangkan komponen konformitas maksudnya bahwa wewenang haruslah mempunyai standar. 31 Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi, delegasi dan 29
Ateng Syarifudin, 2000, Jurnal Menuju Penyelenggaraan Pemerintah Negara yang Bersih dan Bertanggungjawab, Universitas Parahyangan, Bandung, hal. 22. 30 Indroharto, 1994, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti , Bandung, hal. 65. 31 Philipus M.Hadjon, dkk, 1998, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), Cet.I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal.135.
34 mandat; kadang-kadang juga, mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang.32
1.6 Metode Penelitian 1.6.1
Jenis penelitian. Penelitian ini adalah penelitan hukum normatif. Penelitian ini berangkat dari
konflik norma dalam pengaturan mengenai syarat kecakapan bertindak sebagai syarat sahnya perjanjian jual beli tanah. Konflik norma tersebut terjadi akibat Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT didasarkan atas Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang dibuat dihadapan Notaris yang kecakapan bertindaknya mengacu kepada UUJN dan bukan SK Mendagri No.Dpt.7/539/7-77, sedangkan kedua peraturan tersebut memiliki perbedaan dalam menentukan batas umur seseorang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum jual beli tanah tersebut. Terhadap perbedaan/konflik pengaturan dalam menentukan batas umur kecakapan seseorang dalam UUJN dan SK Mendagri No.Dpt.7/539/7-77 tersebut dapat menimbulkan permasalahan yaitu Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Akta PPJB dan Kuasa Menjual tidak dapat dijadikan dasar peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan. Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian difokuskan terhadap bahanbahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier yang ada, dalam rangka menjawab masalah Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan pada Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak para pihak
32
Ibid.
35 mengacu kepada UUJN dan akibat hukum terhadap Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada UUJN. 1.6.2
Jenis pendekatan. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Perundang-undangan digunakan untuk menelaah peraturan perundang-undangan dan peraturanperaturan lainnya yang terkait dengan peralihan hak atas tanah dan pendaftaran hak atas tanah. Sedang pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji konsepkonsep yang terkait dengan peralihan hak atas tanah, termasuk konsep kecakapan bertindak, asas kepastian hukum dan teori penjenjangan norma. 1.6.3
Sumber bahan hukum. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka sumber bahan
hukum yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier. a. Bahan hukum primer dalam penelitian ini, mencakup : 1.
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
(Burgerlijk
Wetboek)
Diindonesiakan oleh R.Subekti dan Tjitrosudibio, 2006, Cet.37, Pradnya Paramita, Jakarta. 2.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).
36 3.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1).
4.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (Diundangkan pada tanggal 10 November 2011 dan dimuat dalam LN.RI Tahun 2011 Nomor 108 serta TLN-RI Nomor 5214).
5.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82).
6.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491).
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696).
8.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746).
37 10. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 11. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1/Thn 2010 Tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. 12. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. 13. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), Nomor Dpt.7/539/7-77. Tentang Dewasa Hukum (berlaku Tanggal 13-17-1977). a. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini, mencakup : Buku–buku literature, jurnal, makalah dan bahan–bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. b. Bahan hukum tertier dalam penelitian ini, mencakup : Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia serta bahan hukum tertier lainnya yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 1.6.4
Teknik pengumpulan bahan hukum. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaah kepustakaan (study document). Teknik telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang
38 diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier. 1.6.5
Teknik analisis bahan hukum. Teknik analisis yang digunakan terhadap bahan-bahan hukum pada
penelitian tesis ini adalah teknik deskripsi dan teknik sistimatis. Teknik deskripsi yaitu menganalisa bahan hukum yang ada dengan menggambarkan serta menjelaskan kaitan antara bahan-bahan hukum tersebut dengan permasalahanpermasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini. Dengan penjelasan yang apa adanya maka akan didapatkan suatu kesimpulan dari permasalah-permasalahan yang dibahas. Sedangkan teknik sistimatis yaitu upaya yang dilakukan dalam mengaitkan rumusan suatu konsep hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.
39 BAB II TINJAUAN UMUM JABATAN NOTARIS DAN AKTA JUAL BELI
2.1 Jabatan Notaris dan Akta Notaris 2.1.1 Hakekat jabatan notaris Pasal 1 angka 1 UUJN menyatakan bahwa: ”Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undangundang lainnya”. UUJN tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan pejabat umum, akan tetapi menurut Husni Thamrin yang mengutip pendapat N.G.Yudhara menyatakan bahwa, pejabat umum (openbaar ambtenar) yang dimaksud diatas adalah organ negara yang dilengkapi kekuasaan umum, yang berwenang menjalankan sebagian kekuasaan negara khususnya pembuatan dan peresmian alat bukti tertulis dan otentik di bidang hukum perdata.
33
Jabatan
notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) biasanya dikaitkan dengan urusan pemerintahan, karena istilah openbaar berarti urusan yang terbuka untuk umum atau kepentingan umum.34 Jabatan notaris sebagai pejabat umum sengaja diciptakan negara sebagai implementasi dari negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat dalam bidang hukum keperdataan, khususnya dalam pembuatan alat bukti yang otentik yang diakui oleh negara.
33
Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Cet.II, LaksBang , Yogyakarta hal. 73. 34 Ibid, hal. 78.
40 Menurut Husni Thamrin yang mengutip pendapat Herlien Budiono menyatakan bahwa diperlukan pejabat umum yang ditugaskan oleh undangundang untuk pembuatan akta otentik sebagaimana diamanatkan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: ”Akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Perwujudan tentang perlunya kehadiran pejabat umum berdasarkan undang-undang untuk lahirnya akta otentik tidak dapat dihindarkan. Pejabat yang menjalankan kekuasaan negara di bidang hukum perdata disebut pejabat umum, sedang fungsionaris yang secara operasional menjalankan kegiatan pejabat umum ditunjuk oleh negara adalah notaris.35 Wewenang yang melekat pada jabatan notaris sifatnya khusus, yaitu membuat akta otentik. Dengan wewenang yang khusus itu jabatan notaris bukanlah suatu jabatan struktural dalam organisasi pemerintahan tetapi wewenang atribusi, karena notaris diangkat dalam jabatannya berdasarkan undang-undang jabatan notaris. Pasal 2 UUJN menentukan bahwa: ”Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan”. Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti
35
Ibid, hal. 65.
notaris
menjadi
subordinasi
(bawahan)
yang
41 mengangkatnya pemerintah. Dengan demikian notaris dalam menjalankan tugas jabatannya bersifat mandiri, tidak memihak dan tidak tergantung pada siapa pun.36 Kedudukan notaris selaku pejabat umum yang bertugas mengkonstantir atau memformulasikan hubungan-hubungan hukum para penghadap yang secara sepakat meminta bantuan jasa-jasanya notaris, mempunyai konstruksi hukumyang khas yaitu:37 1.
Notaris bukan sebagai pihak dalam akta nyang dibuatnya
2.
Notaris hanya memformulasikan keinginan para pihak agar tindakannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik atau akta notaris.
3.
Keinginan atau niat untuk membuat akta tertentu tidak akan pernah berasal dari notaris, tapi sudah pasti merupakan keinginan para pihak sendiri. Dalam menjalankan tugas sebagian tugas negara khususnya pembuatan akta
otentik, maka semua peraturan yang berhubungan baik pejabatnya maupun produknya seharusnya mengacu pada tujuan yang dilandasi untuk kepentingan umum dalam hal ini kepentingan masyarakat. Penjabaran dan pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut harus ditunjang pula dengan fungsi notaris yang menjaga adanya kebebasan berkontrak dan menjamin akan kepastian hukum,
38
karena
jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan baik oleh negara maupun masyarakat. Negara melalui undang-undang memberikan kepercayaan kepada notaris untuk membuat akta otentik sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sedang 36
Habib Adji, 2009, Menoropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disingkat Habib Adji I), hal. 17. 37 Ibid, hal. 22. 38 Sjaifurrahman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, hal. 67.
42 masyarakat juga mempercayakan segala sesuatunya kepada notaris untuk dituangkan dalam akta-akta dan percaya notaris tidak akan melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat. Untuk menjaga kepercayaan diatas, notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum wajib mengikuti ketentuan-ketentuan dalam undangundang Jabatan Notaris, kode etik Notaris dan peraturan perundangan lainnya yang mengatur tentang Notaris. Notaris senantiasa dituntut bertindak secara professional dan bertanggung jawab serta berhati-hati sesuai dengan yang tercantum dalam kode etik notaris. 2.1.2
Tugas dan Kewenangan notaris Pengertian notaris menurut Pasal 1 angka 1 UUJN adalah ”Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Pengertian yang diberikan undang-undang tersebut merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN. Kewenangan notaris dalam membuat akta otentik tersebut berhubungan dengan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
”Akta otentik ialah suatu akta yang
didalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”, sedang inti dari tugas notaris sebagai pejabat umum ialah merekam
43 secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak, yang secara mufakat meminta bantuan jasa-jasa notaris. Menurut Habib Adji wewenang (atau sering pula ditulis kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Berdasarkan UUJN Notaris sebagai pejabat umum memperoleh wewenang secara atribusi. Wewenang atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundangundangan atau aturan hukum.39 Adapun kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15 UUJN yang menentukan bahwa: 1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau 39
Habib Adji I, op.cit, hal. 77.
44 g. Membuat akta risalah lelang 3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 2.1.3
Pengertian dan jenis-jenis akta notaris Pengertian akta notaris ditentukan dalam Pasal 1 angka 7 UUJN yang
menyatakan bahwa: ”akta notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Menurut Habib Adji, secara subtantif akta notaris dapat berupa:40 1. Suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dikehendaki oleh para pihak agar dituangkan dalam bentuk akta otentik untuk dijadikan sebagai alat bukti 2. Berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa tindakan hukum tertentu wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Menurut jenisnya, akta notaris dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akta yang dibuat oleh (door) notaris, biasa disebut dengan istilah akta relaas atau berita acara dan akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) notaris, biasa disebut dengan istilah akta pihak atau akta partij. Adapun uraian mengenai kedua jenis akta notaris diatas adalah sebagai berikut: 41 1. Akta yang dibuat oleh (door) notaris, biasa disebut dengan istilah akta relaas/akta pejabat/akta berita acara. Akta relaas adalah akta yang dibuat oleh notaris atas permintaan para pihak, agar notaris mencatat atau menuliskan
40 41
Habib Adji I, op.cit, hal. 14. Habib Adji I, op.cit, hal. 45.
45 segala sesuatu yang dibicarakan oleh pihak berkaitan dengan tindakan hukum atau tindakan laiinya yang dilakukan oleh para pihak, agar tindakan tersebut dibuat atau dituangkan dalam suatu akta notaris. Dalam akta relaas ini, notaris menulis atau mencatatkan semua hal yang dilihat atau didengar sendiri secara langsung oleh notaris yang dilakukan para pihak. Contoh akta relaas antara lain akta berita acara lelang, akta risalah rapat umum pemegang saham, akta penarikan undian, akta pencatatan boedel. 2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris, biasa disebut dengan istilah akta pihak atau akta partij. Akta partij adalah akta yang dibuat di hadapan notaris atas pemintaan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan sendiri oleh para pihak di hadapan notaris,
selanjutnya pernyataan atau
keterangan para pihak tersebut oleh notaris dituangkan ke dalam akta notaris. Contoh akta partij antara lain: akta perjanjian pengikatan jual beli, akta sewa menyewa, akta pendirian perseroan terbatas, akta koperasi, akta yayasan, akta pengakuan utang. Perbedaan dari kedua jenis akta otentik yang dibuat oleh notaris diatas, dilihat dari sifatnya adalah dalam akta relaas masih sah sebagai suatu alat pembuktian apabila ada salah satu pihak atau lebih diantara penghadapnya tidak menandatangani, asal saja oleh notaris disebutkan apa sebabnya ia atau mereka tidak menandatanganinya. sedangkan dalam akta partij hal demikian itu akan menimbulkan akibat yang lain. Sebab apabila dalam akta partij salah satu pihaknya tidak menandatangani aktanya, misalnya dalam perjanjian jual beli atau perjanjian sewa menyewa maka tidak menandatanganinya salah satu pihak dapat
46 diartikan bahwa pihak tersebut tidak menyetujui perjanjian tersebut kecuali apabila tidak menandatanganinya itu didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, terutama dalam bidang fisik. Artinya tidak ditandatanganinya akta tersebut tidak karena alasan yang dapat diartinya bahwa pihak tersebut tidak menyetujui perjanjian itu. alasan demikian harus dicantumkan dengan jelas oleh notaris dalam akta yang bersangkutan. 2.1.4
Kekuatan hukum akta notaris Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang
menjadi dasar dari sesuatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Alat bukti tulisan dibagi menjadi dua yaitu akta dibawah tangan dan akta otentik sebagaimana ditentukan Pasal 1867 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisantulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukannya atau dilihat dihadapannya. 42 Suatu akta dikatakan akta otentik apabila memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata disebutkan bahwa: “Suatu akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang 42
Husni Thamrin, op.cit, hal. 11.
47 berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Akta otentik mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat, artinya sempurna adalah bahwa untuk membuktikan akta itu sempurna/tidak, atau benar/tidak, cukup dibuktikan dengan akta itu sendiri, dengan kata lain tidak memerlukan pembuktian dengan alat bukti lainnya. Mengikat artinya bahwa hakim harus menguji kebenaran isi akta otentik itu sendiri kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.43 Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat umum yang berwenang. Akta demikian dibuat semat-mata oleh para pihak yang berkepentingan.44 Akta di bawah tangan ini mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari pihak-pihak yang membuatnya, artinya kekuatan akta di bawah tangan ini dapat dipersamakan kakuatannya dengan akta otentik bila dalam hal pembuktiannya oleh para pembuat akta di bawah tangan mengakui atau membenarkan apa yang ditandatangani. Dengan demikian, maka bila di dalam akta otentik tidak perlu persetujuan dari pihak tertentu namun di dalam akta di bawah tangan memerlukan persetujuan dari pihak tertentu. Oleh karena itu, perbedaan antara akta di bawag tangan dengan akta otentik adalah terletak pada ada atau tidaknya campur tangan dari pejabat yang berwenang.45 Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta otentik keduanya harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan secara materiil mengikat para pihak yang membuatnya sesuai 43
Hendri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 65. 44 Husni Thamrin, loc.cit. 45 Hendri Raharjo, op.cit, hal. 66.
48 dengan Pasal 1338 KUHPerdata sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (asas Pacta Sunt Servanda). Salah satu akta otentik adalah akta notaris sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 7 UUJN yang menyatakan bahwa: ”Akta notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Fungsi akta notaris adalah sebagai alat bukti otentik sehingga proses pembuatannya wajib tunduk pada syarat sahnya pembuatan akta otentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata dengan ketentuan sebagai berikut:46 1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum; 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang 3. Pejabat umum oleh/atau di hadapan siap akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Menurut Habib Adji, Akta notaris sebagai alat bukti otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna apabila akta notaris tersebut memupunyai nilai pembuktian lahiriah, formil dan materil:47 1. Nilai pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) Kemampuan lahiriah akta notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica proban sese ipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai
46
Habib Adji, 2011, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, Cet.I, Rafika Aditama (Selanjutnya disingkat Habib Adji II), Bandung, hal. 9. 47 Ibid, hal. 18.
49 dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkalnya keotentikan akta notaris. parameter untuk menentukan akta notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan dan adanya awal akta (mulai dari judul sampai dengan akhir akta. Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, bukan ada apanya. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik. Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta notaris sebagai akta otentik, atau bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi obyek gugatan bukan akta notaris. 2. Nilai pembuktian formal (formele bewijskracht) Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta-akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dengan akta
50 sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak). Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap; membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran
pernyataan
atau
keterangan
para
pihak
yang
diberikan/disampaikan di hadapan notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun. Tidak dilarang siapapun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal akta notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa aspek formal yang dilanggar atau
51 tidak sesuai dengan akta yang bersangkutan. Misalnya, bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Jika hal ini terjadi bersangkutan atau penghadap tersebut untuk mengugat notaris, dan pengugat harus dapat membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut. 3. Nilai pembuktian materiil (materiele bewijskracht) Kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat/berita acara, atau keterangan atau para pihak yang diberikan/disampikan dihadapan notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai benar berkata demikian yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang datang menghadap notaris kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah bena berkata demikian. Jika ternyata pernnyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata demikian, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta notaris mempunyai kepastian sebagai sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.
52 Jika akan membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan, bahwa notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak telah benar berkata (di hadapan notaris) menjadi tidak benar secara meteriil dari akta notaris. Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta otantik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktian sebagai akta yang mempunyai pembuktian sebagai akta di dibawah tangan.
2.2 Akta Jual Beli Sebagai Dasar Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah 2.2.1
Pengertian dan unsur-unsur Akta Jual Beli Istilah akta jual beli ditemui dalam Pasal 95 ayat (1) Peraturan
Mendagri/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 yang mengatur tentang jenis dan bentuk akta yang menjadi produk hukum PPAT, yang menentukan bahwa : 1) Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah: a. Akta Jual Beli; b. Akta Tukar Menukar; c. Akta Hibah; d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan; e. Akta Pembagian Hak Bersama; f. Akta Pemberian Hak Tanggungan; g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik; h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. 2) Selain akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PPAT juga membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang merupakan akta pemberian kuasa yang dipergunakan dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan.
53
Ketentuan di atas tidak memberi batasan tentang pengertian dari masingmasing akta yang dimaksud, demikian juga terhadap batasan atau pengertian akta jual beli. Sehingga untuk memperoleh pengertian tentang akta jual-beli dapat dilakukan dengan menggali dalam pengertian jual-beli, akta pada umumnya atau dalam akta PPAT khususnya. Jual beli adalah suatu kesepakatan antara dua pihak atau lebih sebagai subyek hukum, yaitu antara pihak pertama selaku penjual dengan pihak kedua selaku pembeli yang mengikatkan diri untuk menjual karenanya menyerahkan sesuatu barang atau benda kepada pembeli, sebaliknya pembeli menyerahkan uang harga pembelian dengan menerima penyerahan barang atau benda tersebut. Karena menurut Wiryono Projodikoro, jual-beli menurut hukum adat adalah bukan hanya persetujuan belaka antara kedua belah pihak melainkan merupakan suatu penyerahan hak atas barang atau benda dengan syarat membayar harga.48 Demikian juga menurut konsepsi hukum perdata, seperti dalam Pasal 1457 KUHPerdata menentukan bahwa: “Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan” (koop en verkoop is een overeenkomst, waarbij de ene partij zich verbindt om een zaak te leveren, en de andere om daarvoor de bedongen prijs te betalen).49
48
Wiryono Projodikoro, 2000, Hukum Antar Golongan di Indonesia, Sumur, Bandung, hal. 73. 49 AB Massier, 2000, Handelsrecht, KITLV Uitgeverij, Leiden, page. 68.
54 Batasan-batasan di atas jika dijadikan dasar dalam pembahasan terhadap pengertian jual-beli tanah atau jual-beli hak milik atas tanah maka, jual-beli dimaksud adalah adanya hubungan hukum berupa persetujuan antara penjual dengan pembeli untuk menjual dan membeli atas sebidang tanah dengan meletakan kewajiban bertimbal balik berupa penyerahan hak tanah yang dijual dari penjual kepada pembeli dan adanya penyerahan uang harga pembeli dari pembeli kepada penjual. Dalam hal tersebut, Subekti mengatakan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.50 Demikian juga Van Dijk51 mengatakan bahwa jual beli tanah menurut hukum adat adalah perpindahan tanah untuk selamalamanya dengan menerima sejumlah uang yang dibayar secara tunai atau kontan oleh pembeli dan pembeli memperoleh hak milik penuh atas tanah tersebut. Secara yuridis berdasar pada ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai benda yang dijual belikan itu serta harganya, biarpun bendanya tersebut belum diserahkan dan harganya pun belum dibayar. Dengan terjadinya jual-beli itu saja hak milik atas benda yang bersangkutan belumlah beralih kepada pembelinya. Hak milik atas tanah tersebut baru beralih kepada pembelinya jika telah dilakukan apa yang disebut “penyerahan yuridis” (juridische levering), yang
50
R.Subekti III, op.cit, hal. 79. Van Dijk, 1989, Pengantar Hukum Adat Indonesia, terjemahan oleh A .Soehadi, Sumur, Bandung, hal. 66. 51
55 wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta di hadapan pejabat yang berwenang. Akta menurut A.Pitlo merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.52 Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.53 Selanjutnya Subekti mengatakan bahwa istilah “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan. 54 Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.55 Berdasarkan pada pendapat di atas, maka akta merupakan suatu tulisan atau surat yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang dilakukan pihak-pihak, yang menjadi dasar daripada suatu hak atau telah terjadinya perikatan dan ditandangani. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 PP No.37/Thn 1998 Akta PPAT adalah: “Akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Sementara Pasal 1 angka 1 PP
52
A.Pittlo, 1979, Pembuktian dan Daluarsa, Terjemahan M. Isa Arif, Intermasa, Jakarta, hal. 29. 53 Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi VI Cet.I, Liberty Yogyakarta (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), hal. 142. 54 R.Subekti dan R. Tjitrosoedibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 9. 55 R.Subekti, 2005, Hukum Pembuktian, Cet.XV, Pradnya Paramita, Jakarta (selanjutnya disingkat R.Subekti IV), hal. 25.
56 No.37/Thn 1998 ditentukan bahwa: “PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Dengan demikian akta PPAT merupakan akta otentik sebagai alat bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Dari deskripsi di atas, maka yang dimaksud dengan akta jual beli adalah suatu akta otentik yang dengan sengaja dibuat oleh PPAT sebagai alat bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Akta jual beli mempunyai tiga unsur pokok yakni unsur essensialia, unsur naturalia dan unsur aksidentalia. Berikut ini uraian ketiga unsur akta jual beli:56 1. Unsur essensialia Unsur essensialia adalah merupakan unsur pokok yang harus ada dalam suatu akta jual beli. Unsur essensialia dalam akta jual beli mewujudkan bentuk utuh dari suatu akta otentik. Akta jual beli merupakan akta otentik, oleh karenanya menurut Irawan Soerodjo, ada 3 unsur utama yang merupakan essenselia agar terpenuhi syarat formal bahwa suatu akta merupakan akta otentik, yaitu: 57
56
Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disingkat Herlien Budiono II), hal. 67. 57 Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Cet.I, Arkola Surabaya, Surabaya, hal. 148.
57 1. dibuat di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; 2. dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum; 3. akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat. 2. Unsur naturalia Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah (regelend/aanvullend recht). Misalnya kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1476 KUHPerdata) dan untuk menjamin/vrijwaren (Pasal 1491 KUHPerdata) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. 3. Unsur aksidentalia Unsur aksidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, Undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut. Di dalam suatu perjanjian jual-beli, benda-benda pelengkap tertentu bisa dikecualikan. Unsur aksidentalia bagian dari perjanjian akta jual beli berupa ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. 2.2.2
Pejabat yang berwenang membuat akta jual beli Pasal 19 ayat (1) UUPA menegaskan bahwa: “Untuk menjamin kepastian
hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia”. Dalam menyelenggarakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT sebagaimana di tentukan dalam Pasal 6 ayat (2) PP No.24/Thn 1997.
58 PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dalam hal ini Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 PP No.37/Thn. 199858. Pasal 1 angka 24 PP No. 24/Thn 1997 menyatakan bahwa: “PPAT adalah sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. Keberadaan PPAT bertujuan mendukung pemerintah/Kepala Kantor Pertanahan dalam mencapai salah satu tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menyelenggarakan tertib administrasi pertanahan yaitu melaksanakan pendaftaran tanah dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Akta-akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik berfungsi sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh para pihak mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang menimbulkan akibat hukum bagi para pihak tersebut. Akibat hukum dari perbuatan tersebut dapat berupa pemindahan/peralihan hak, pembebanan hak dan pemberian hak. Dalam melaksanakan tugasnya, PPAT wajib memenuhi semua ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena fungsi akta PPAT selain sebagai alat pendaftran hak atas tanah di Kantor Pertanahan juga sebagai alat bukti yang dapat memberikan jaminan kepastian hukum serta perlindungan kepada pihak-pihak sebagai pemegang hak atas tanah. 58
Ibid, hal. 119.
59 A. Tugas dan kewenangan PPAT diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan, antara lain: 1. PP No.37/Thn 1998 Pasal 2 (1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. (2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. jual beli; b. tukar menukar c. hibah d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) e. pembagian hak bersama f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik g. pemberian Hak Tanggungan h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan Pasal 3 (1) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hakatas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. (2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya. Pasal 4 (1) PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. (2) Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta. Pasal 22
60 (1)
Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
2. Pasal 40 (PP No.24/Thn 1998) Pasal 40 (1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. (2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan. 3. Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 97 (1) Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftardaftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli. (2) Pemeriksaan sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap pembuatan akta oleh PPAT, dengan ketentuan bahwa untuk pembuatan akta pemindahan atau pembebanan hak atas bagianbagian tanah hak induk dalam rangka pemasaran hasil pengembangan oleh perusahaan real estat, kawasan industri dan pengembangan sejenis cukup dilakukan pemeriksaan sertipikat tanah induk satu kali, kecuali apabila PPAT yang bersangkutan menganggap perlu pemeriksaan sertipikat ulang. B. Larangan PPAT diatur dalam 1. PP No.37/Thn 1998 Pasal 23 (1) PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain. (2) Di daerah Kecamatan yang hanya terdapat seorang PPAT yaitu PPAT Sementara dan di wilayah desa yang Kepala Desanya ditunjuk sebagai PPAT Sementara, Wakil Camat atau Sekretaris Desa dapat membuat
61 akta untuk keperluan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mengucapkan sumpah jabatan PPAT di depan PPAT Sementara yang bersangkutan. 2. PP No.24/Thn 1997 Pasal 39 (1) PPAT menolak untuk membuat akta, jika: a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan: 1) Surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan 2) Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau. e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. (2) Penolakan untuk membuat akta tersebut diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang bersangkutan disertai alasannya. 3. Sanksi PPAT diatur dalam PP No.24/Thn 1997 Pasal 62 PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang
62 ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut. 2.2.3
Syarat sahnya akta jual beli Sebelum membahas akta jual beli, sebelumnya akan dijelaskan mengenai
jual beli. UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan jual beli, namun demikian jual beli menurut Hukum Tanah Nasional mengacu pada asas dan ketentuan hukum adat, sebagaimana terkandung dalam Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat. Boedi Harsono mengatakan bahwa hukum adat dalam Hukum Agraria adalah hukum adat yang sudah “diseneer” artinya hukum adat yang sudah di hilangkan cacat-cacatnya, hukum adat yang sudah disempurnakan, hukum adat yang sudah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi sifat nasional.59 Wiryono Projodikoro mengatakan bahwa jual-beli menurut hukum adat adalah bukan hanya persetujuan belaka antara kedua belah pihak melainkan merupakan suatu penyerahan hak atas barang atau benda dengan syarat membayar harga. 60 Selanjutnya Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa jual beli tanah menurut hukum adat adalah perjanjian “jual lepas” yaitu perbuatan hukum penyerahan yang menyebabkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya. Perbuatan jual lepas adalah perbuatan
59 60
Boedi Harsono, op.cit, hal. 216. Wiryono Projodikoro, op.cit, hal. 73.
63 tunai yang berlaku “riel” dan “konkrit”. Penyerahan benda dan pembayaran harganya terjadi dengan tunai, sudah diserahkan dan sudah dibayar harganya.61 Menurut Boedi Harsono, syarat sahnya jual beli menurut UUPA adalah berdasarkan pada hukum adat yaitu jual beli yang bersifat tunai, terang dan riil. Sifat tunai artinya dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut hak atas tanahnya berpindah kepada pihak lain, terang artinya dilakukannya perbuatan hukum dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, jadi bukan perbuatan yang dilakukan secara “gelap” atau sembunyi-sembunyi. Sedangkan riel adalah akta yang ditandatangani para pihak menunjukan secara nyata perbuatan hukum jual beli tersebut. Akta tersebut menunjukan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum memindahkan hak, maka akta tersebut secara implisit juga membuktikan bahwa penerimaan hak sudah menjadi pemegang hak yang baru.62 Syarat sahnya jual beli tanah, selain harus dilakukan menurut konsep jual beli menurut hukum adat, juga harus memenuhi syarat materiil. Menurut Keputusan MA No.123/k/SIP/1970 jual beli tanah harus memenuhi syarat materiil jual beli, hal yang sama juga dikemukakan Effendi Perangin bahwa jual beli tanah harus memenuhi syarat materiil jual beli yakni syarat subyek hukum pihak-pihak yang melakukan jual beli dan syarat obyek jual beli. 63 Dalam Keputusan MA No.123/k/SIP/1970 dinyatakan bahwa sahnya jual beli ditentukan oleh syarat-
61
Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung (selanjutnya disingkat Hilman Hadikusuma I), hal. 108. 62 Boedi Harsono, op.cit, hal. 330. 63 Effendi Perangin, op.cit., hal.1.
64 syarat materil jual beli yang bersangkutan. Adapun syarat-syarat materil yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan; 2. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan 3. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan menurut hukum; 4. Tanah hak yang bersangkutan tidak dalam sengketa. Syarat materiil jual beli tanah diatas dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu syarat berkaitan dengan subyek hukumnya dan syarat berkaitan dengan obyek jual beli. 64 a. Syarat subyek hukumnya adalah berkaitan dengan pihak-pihaknya, yakni penjual dan pembeli. -
Penjual maupun pembeli harus mempunyai kecakapan bertindak. Kecakapan bertindak berkaitan dengan umur dewasa seseorang. Bagi mereka yang dinyatakan tidak cakap atau belum dewasa harus diwakili oleh walinya.
-
Penjual harus berwenang menjual, artinya jual beli tanah hanya boleh dilakukan oleh yang berhak atas tanah tersebut.
-
Pembeli harus berwenang membeli
b. Syarat berkaitan dengan obyek jual beli -
Tanah tidak dalam masalah/sengketa
-
Bukan tanah pertanian yang dilarang dialihkan/diperjualbelikan
64
Effendi Perangin, op.cit., hal.2-9.
65 Dalam pemahaman Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 952 K/Sip/1974 bahwa jual beli adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dalam KUHPerdata yakni syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan hukum jual beli dilakukan menurut hukum adat, yaitu secara kontan, riil dan terang diketahui oleh Kepala Kampung, maka syarat dalam Pasal 19 PP No.10/Thn 1961 tidak mengenyampingkan syarat-syarat jual untuk jual beli dalam KUHPerdata dan hukum adat, melainkan hanya merupakan syarat bagi pejabat agraria. Hal ini terkait dengan pandangan hukum adat, di mana dengan telah terjadinya jual beli antara penjual dan pembeli yang diketahui oleh Kepala Kampung yang bersangkutan dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, serta diterimanya harga pemberian oleh penjual, maka jual beli itu sudah sah menurut hukum, sekalipun belum dilaksankan di hadapan PPAT.65 Syarat jual beli dalam KUHPerdata terkait dengan syarat sahnya perjanjian. Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Karena jual beli tanah merupakan suatu perjanjian, maka dalam hal ini berlakulah syaratsyarat untuk sahnya perjanjian tersebut yaitu Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. 65
Mahkamah Agung RI, 1999, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969-1997.
66 Menurut Adrian Sutedi66 dan Urip Santoso67 syarat jual beli hak atas tanah harus memenuhi syarat materil dan syarat formal. Syarat subyek berkaitan subyek hukum (penjual dan pembeli) dan obyek (tanah) sebagaimana telah diuraikan diatas dan syarat formal terkait dengan akta yang wajib dibuat oleh PPAT sebagai dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan. Sebagaimana telah uraikan pada sub bab sebelumnya bahwa pengertian akta jual beli adalah suatu akta otentik yang dengan sengaja dibuat oleh PPAT sebagai alat bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Syarat sahnya akta jual beli yang dibuat PPAT dalam rangka pendaftaran tanah adalah sepanjang jual beli tanah tersebut dilakukan menurut UUPA yaitu secara tunai, terang dan riil, serta memenuhi memenuhi syarat materiil jual beli dalam hal ini syarat subyek dan syarat obyek jual beli dan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka tatkala akan dituangkan kedalam bentuk akta otentik dengan sendirinya tunduk kepada syarat dan keabsahan akta otentik. Ketentuan mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Dari rumusan Pasal 1868 KUHPerdata, terdapat 3 (tiga) unsur yaitu sebagai berikut: 66 67
Adrian Sutedi, op.cit, hal.77-78. Urip Santoso, op.cit, hal.367-369.
67 1. Bentuk akta ditentukan undang-undang; 2. Akta dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu; 3. Akta dibuat di tempat di mana akta dibuatnya. Unsur pertama suatu akta otentik apabila bentuk akta tersebut ditentukan oleh undang-undang, demikian pula hal ini berlaku bagi akta PPAT dalam hal ini akta jual beli. Ketentuan mengenai bentuk akta jual beli diatur oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, yaitu: - Pasal 38 ayat (2) PP No.24/Thn 1997 yang menyatakan bahwa: “Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional”. - Pasal 21 PP No.37/Thn 1998 menyatakan bahwa: “Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional”. - Pasal 95 dan Pasal 96 Peraturan Kepala BPN No.3/Thn 1997 yang sudah di ubah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nasional Nomor 8
Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 (selanjutnya ditulis Peraturan Kepala BPN No.8/Thn 2012) menyatakan bahwa: “Penyiapan dan pembuatan blanko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dilakukan oleh masing-masing Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti, Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara,
68 atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam ketentuan ini”. Unsur kedua suatu akta dikatakan akta otentik apabila dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu. Pegawai umum yang dimaksud adalah pejabat umum diatur dalam PP No.37/Thn 1998, PP No.24/Thn 1997 dan PP No.1/Thn 2006, yaitu: - Pasal 1 angka 1 PP No.37/Thn 1998 menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah “Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa: PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri”. - Pasal 1 angka 24 PP No.24/Thn 1997 menyatakan bahwa: “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu”. - Pasal 1 angka 1 PP No.1/Thn 2006 menyatakan bahwa: “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Unsur ketiga suatu akta dikatakan otentik apabila akta pejabat umum yang membuat akta harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta tersebut didaerah (wilayah) kerjanya. PP No.37/Thn 1998 dan PP No.1/Thn 2006, yaitu:
69 - Pasal 1 angka 8 PP No.37/Thn 1998 yang menyatakan bahwa: “Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalamnya. Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa PPAT diangkat untuk satu daerah kerja tertentu”. - Pasal 5 ayat (1) PP No.1/Thn 2006 menyatakan bahwa: “Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan”. Dalam rangka pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan pembuatan Akta jual beli juga wajib dibuat menurut tata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana diatur PP 24/Thn 1997 Tentang Pendaftaran Tanah juncto PP No.37/Thn 1998 Tentang PPAT dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan pendaftaran tanah, yaitu: 1.
Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 101 ayat (1) PP No.3/Thn 1997 Tentang Peraturan Pelaksana PP No.24/Thn 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2.
Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya,
keberadaan
dokumen-dokumen
yang
ditunjukkan
dalam
pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh
70 para pihak yang bersangkutan (Pasal 101 ayat (2) PP No.3/Thn 1997 Tentang Peraturan Pelaksana PP No.24/Thn 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3.
PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku (Pasal 101 ayat (3) PP No.3/Thn 1997 Tentang Peraturan Pelaksana PP No.24/Thn 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
4.
Akta Jual Beli harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT (Pasal 22 PP No.37/Thn 1998)
5.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Peraturan Pelaksana PP No.37/Thn 1998 Tentang PPAT (selanjutnya ditulis Peraturan Kepala BPN No.1/Thn 2006), dalam Pasal 54 ayat (4) dan ayat (5) mensyaratkan bahwa: dalam pembuatan akta PPAT wajib mencantumkan Nomor Identifikasi Bidang (selanjutnya ditulis NIB) dan atau nomor hak atas tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (selanjutnya ditulis SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (selanjutnya ditulis PBB). Fungsi akta PPAT dalam jual beli, menurut Mahkamah Agung dalam
putusannya No.1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 No.10/Thn 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah. Selanjutnya dalam Yurisprudensi MA No.123/K/Sip/1971, pendaftaran
71 tanah hanyalah perbuatan hukum administrasi belaka, artinya bahwa artinya bahwa pendaftaran bukan merupakan syarat bagi sahnya atau menentukan berpindahnya hak atas tanah dalam jual beli. Menurut Adrian Sutedi yang mengutip dari pendapat Boedi Harsono akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut PP No.10/Thn/Thn 1961 (yang sekarang sudah disempurnakan dengan PP No.24/Thn 1997), pendaftaran jual beli itu hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang akan melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan memperoleh sertifikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum. 68 2.2.4
Kecakapan bertindak dalam hal jual beli Kecakapan bertindak adalah salah satu syarat sahnya perjanjian yang diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatakan bahwa: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu: 1. Kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian 2. Kecakapan melakukan perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Sebab yang halal Peraturan perundang-undangan tidak memberikan pengertian secara jelas mengenai kecakapan bertindak. Namun demikian menurut Subekti, cakap adalah mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta mengetahui dampak dari perbuatan
68
Adrian Sutedi, op.cit, hal. 79.
72 yang dilakukannya. Dengan kata lain, sudah dapat mengendalikan apa yang diperbuatnya serta mampu mempertanggungjawabkannnya 69 . Dari pengertian tersebut dapat ditafsirkan bahwa kecakapan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum. Dalam banyak hal kecakapan bertindak berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum, meskipun kedua hal tersebut berbeda. Kecakapan berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu perbuatan hukum, sedang kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan melakukan tindakn hukum. Dapat saja seseorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Sebaliknya
seseorang dianggap berwenang untuk
bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap bertindak dalam hukum.70 Misalnya: seorang pemilik tanah berumur 15 tahun, sekalipun masih belum dewasa, ia tetap pemilik atas tanah tersebut. Sebagai pemilik maka ia mempunyai kewenangan atau kapasitas untuk melakukan tindakan kepemilikan atas tanah miliknya, namun dia tidak bisa secara sah menutup atau melakukan perjanjian jual beli, karena ditinjau dari faktor umurnya, secara hukum dia belum memenuhi syarat umur dewasa, atau meskipun syarat dewasa terpenuhi, tetapi orang tersebut berada di bawah pengampuan. Sehingga
69
R.Subekti IV, op.cit, hal. 39. Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet.V, Rajagrafindo Persada (selanjutnya disingkat Kartini & Gunawan I), Jakarta, hal. 127. 70
73 apabila dia ingin melakukan tindakan hukum atas tanah misalnya menjual tanah tersebut, maka harus didampingi oleh orang tua, wali atau pengampu. Pasal 1329 KUHPerdata menentukan bahwa pada prinsipnya ”Setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Golongan orang-orang yang tidak cakap telah ditentukan dalam Pasal 1330 yaitu anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan perempuan yang sudah bersuami, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian. Akan tetapi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963, seorang istri berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Selanjutnya Pasal 330 KUHPerdata menentukan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin dan apabila mereka yang kawin sebelum berumur 21 tahun itu bercerai, status mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Meskipun tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan dewasa, namun jika ditinjau dari kedewasaan yang didasarkan pada faktor umur, maka ketentuan dalam Pasal 330 KUHPerdata tersebut dapat diketahui secara a contrario bahwa orang dewasa yaitu orang yang sudah berumur 21 tahun dan orang yang sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun. Ketentuan tersebut diatas dapat ditafsirkan bahwa masalah umur adalah berperan dalam menentukan kedewasaan seseorang. Hal ini senada dengan yang dikatakan J.Satrio bahwa Kecakapan bertindak bergantung dari kedewasaan yang
74 dibatasi umur. Namun demikian ada faktor lain, seperti status menikah, yang bisa mempengaruhi kecakapan seseorang. Kecakapan bertindak dikaitkan dengan faktor umur, dan faktor umur ini didasarkan atas anggapan bahwa orang di bawah umur tertentu belum dapat menyadari sepenuhnya akibat perbuatannya. Dengan demikian orang yang dapat melakukan tindakan hukum secara sah dengan akibat hukum yang sempurna adalah mereka yang telah dewasa, dan yang menjadi ukuran dewasa adalah salah satunya dari faktor umur yaitu 21 tahun.71 Sebagaimana dijelaskan diatas KUHPerdata menentukan kedewasaan dari faktor umur, hal ini berbeda dengan hukum adat, karena hukum adat tidak mengukur kecakapan bertindak atau kedewasaan seseorang dari faktor jumlah umur. Kedewasaan seseorang di dalam hukum adat diukur dengan tanda-tanda bangun tubuh apabila anak wanita sudah haid (datang bulan), buah dada sudah menonjol, berarti ia sudah dewasa. Bagi anak pria ukurannya hanya dilihat dari perubahan suara, bangun tubuh, sudah mengeluarkan air mani atau sudah mempunyai nafsu seks.72 Faktor lain yaitu telah kawin atau telah meninggalkan rumah keluarga, bisa dengan mencar, memasuki suatu ruangan tersendiri dalam rumah keluarga dan mulai hidup mandiri atau di daerah Jawa Barat memakai ukuran ”kuat gawe” yaitu sudah bekerja, sudah bisa mengurus harta bendanya, sudah bisa mandiri. 73
71
Ibid, hal. 40. H.Hilman Hadikusuma,2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet.III, Mandar Maju, Bandung (selanjutnya disingkat Hilman Hadikusuma II), hal. 50. 73 Ade Maman Suherman dan J.Satrio, op.cit, hal. 10. 72
75 Dalam Hukum Pertanahan batas umur dewasa dalam menentukan kecakapan bertindak dalam hal jual beli tanah tidak hanya didasarkan pada KUHPerdata melainkan juga berdasarkan Hukum Adat. Dalam Surat Keputusan Departemen Menteri Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah Nomor Dpt.7/539/7.77 Tahun 1977 Tentang Dewasa Hukum yang ditujukan kepada Semua Gubernur Kepala Daerah Propinsi termasuk Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Dan Kepala Daerah Khusus Yogjakarta U.p Kepala Direktorat Agraria Propinsi dan Semua Bupati atau Walikota Kepala Daerah U.P Kepala Sub Direktorat Agraria di seluruh Indonesia ditentukan bahwa: Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam: a. Dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut pemilu b. Dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut undang-undang perkawinan yang baru; c. Dewasa hukum, Dewasa dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum. 1. Bagi golongan penduduk yang tunduk pada hukum Eropa, sebagaimana diatur dalam pasal 330 juncto Pasal 1330 KUHPerdata vide S.1931-54, batas umur dewasa adalah 21 tahun atau telah menikah; 2. Bagi golongan penduduk Cina, dimana hampir seluruh hukum Eropa dengan sedikit pengecualian hal tersebut dipertegas lagi dalam L.N.1924 No.557, sehingga seorang Cina hanya dipandang dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau telah menikah lebih dahulu; 3. Bagi golongan penduduk Timur asing, minus Cina, dipergunakan ketentuan kriteria yang sama vide. L.N.1924 No.556 sehingga seorang Timur Asing bukan Cina juga hanya dipandang dewasa apabila sudah berumur 21 tahun atau menikah lebih dahulu sedang apabila pernikahan dibubarkan kemudian sebelum mencapai 21 tahun mereka tetap dipandang dewasa; 4. Bagi golongan penduduk pribumi, tidak ada pegangan tegas mengenai batas umur supaya dipandang dewasa sehingga tidak ada keseragaman. Namun, penulis-penulis terkenal Hukum Adat memberikan kriteria bahwa dewasa adalah apabila seseorang telah mentas. Dengan
76 demikian apabila seorang notaris atau PPAT mempergunakan batasan umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa, hal ini dapat diterima sebagai benar; 5. Pencatatan atas nama seseorang belum dewasa berdasarkan satu peristiwa hukum, misalnya kematian, tidak mempersoalkan dewasa atau tidak sehingga seseorang A meninggal duni, sedang ahli warisnya X,Y,Z, katakanlah semuanya di bawah umur, pencatatan alik nama dari harta benda tidak bergerak milik A kepada ahli warisnya yang di bawah umur tersebut tidak memerlukan bantuan (bijstand) sehingga langsung saja dapat dicatat atas nama mereka-meraka. Berdasarkan SK Mendagri No. Dpt.7/539/7.77, tampak bahwa penentuan batas umur dewasa didasarkan pada golongan penduduk Indonesia dan hukum apa yang berlaku bagi mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling (IS). Dualisme dan pluralisme hukum perdata ini tidak terlepas dari sejarah hukum berlakunya hukum perdata di Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka, sebagai akibat penjajahan kolonial Belanda, politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang dituangkan dalam Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling (IS), terdapat penggolongan hukum dan penggolongan penduduk. Mengacu pada ketentuan tersebut berlakulah Hukum Perdata Eropa (Burgerlijk Wetboek) yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan Staatblad No : 23/1847 bagi Golongan Eropa, Hukum Adat Bagi Golongan Bumiputera (penduduk Indonesia asli) dan Hukum Adat masing-masing bagi golongan Timur Asing. Dalam perjalanannya Burgelijk Wetboek (KUHPerdata) diberlakukan bagi golongan Timur Asing dan diberikan kemungkinan bagi Golongan Bumiputra untuk melakukan penundukan diri secara sukarela (gelijkstelling) terhadap Burgerlijk Wetboek.74
74
Djaja S.Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Edisi Revisi, Nuansa Aulia, Bandung (selanjutnya disingkat Djaja Maliala I), hal. 24.
77 Pembagian golongan ke dalam 3 golongan ini, sebanarnya sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini. Bahkan dengan dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/12/1966, telah diinstruksikan kepada Menteri Kehakiman serta Kantor Cacatan Sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggunakan golongan penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregering pada Kantor Cacatan Sipil di seluruh Indonesia. Namun demikian sampai saat ini penggolongan penduduk Indonesia masih tetap berlaku terutama dalam bidang hukum waris sebagaimana ditentukan dalam Pasal 111 PP No.3/Thn 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur mengenai syaratsyarat membuat Surat Keterangan Waris didasarkan pada etnis, baik bentuknya maupun pejabat yang membuatnya. Mengacu pada SK Mendagri No. Dpt.7/539/7.77 Tahun 1977 Tentang Dewasa Hukum tersebut diatas, dapat dikatakan penentuan kecakapan bertindak dalam melakukan perbuatan yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah dapat dibedakan berdasarkan 2 (dua) golongan penduduk dan hukum yang mengaturnya, yaitu sebagai berikut: 1. Bagi golongan penduduk yang tidak tunduk pada hukum adat, berlaku ketentuan dewasa menurut hukum perdata yaitu 21 tahun, dan 2. Bagi golongan penduduk yang tunduk pada hukum adat, berlaku ketentuan dewasa menurut hukum adat yaitu umur 19 (sembilan belas) atau 20 (dua puluh).
78 BAB III AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SEBAGAI DASAR DIBUATNYA AKTA JUAL BELI
3.1 Tinjauan Terhadap Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli 3.1.1
Pengertian Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Istilah perjanjian dan perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam
KUHPerdata. Kedua istilah ini mempunyai hubungan sangat erat karena perikatan dapat lahir dari undang-undang dan perikatan dapat juga lahir dari perjanjian, hal ini berarti bahwa perjanjian adalah bagian dari perikatan sebagaimana dalam rumusan Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena undang-undang”. Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan bahwa: “Sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Selanjutnya Pasal 1233 menyebutkan bahwa: “Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”. Apabila dihubungan pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata dengan Pasal 1233 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa pengertian perikatan lebih luas dari pengertian perjanjian karena perikatan dapat lahir dari undang-undang juga perikatan lahir dari perjanjian itu sendiri.
79 Pengertian perikatan menurut Subekti adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari kedua pengertian tersebut beliau mengatakan pada hakekatnya antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari undang-undang tetapi juga lahir perjanjian.75 Perikatan yang lahir perjanjian merupakan hasil kesepakatan para pihak yang bersumber dari asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam KUHPerdata, yang memberikan kebebasan kepada setiap subyek hukum untuk membuat perjanjian tentang apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Salah satu perikatan yang lahir dari perjanjian adalah Perjanjian Perngikatan Jual Beli (selanjutnya disingkat PPJB). Pengertian Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang obyeknya tanah menurut Subekti adalah suatu persetujuan di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu barang sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa PPJB adalah perjanjian antara pihak penjual dan pihak pembeli sebelum 75
R.Subekti III, op.cit, hal.79.
80 dilaksanakannya jual beli di hadapan PPAT dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses di kantor pertanahan serta belum terjadinya pelunasan harganya. 76 Hal ini sejalan dengan pendapat
Maria S.W.Sumardjono yang
menyatakan bahwa perjanjian jual beli merupakan kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan prestasi masing-masing di kemudian hari, yakni jual beli di hadapan PPAT.77 Dari beberapa pengertian Perjanjian Pengikatan Jual Beli diatas dapat dikatakan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat oleh para pihak dihadapan notaris dengan tujuan terjadinya jual beli adalah merupakan akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang berfungsi sebagai alat bukti otentik didalamnya mengandung peralihan hak. 3.1.2
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai bagian dari perjanjian Pasal 1 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa: “Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undangundang lainnya”. Akta otentik termasuk kewenangan notaris yang tidak dikecualikan kepada pejabat umum lain diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yaitu: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang76
R.Subekti II, 1987, op.cit, hal. 162. Maria S.W.Sumardjono, 2009, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Cet.VI, Buku Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal. 137. 77
81 undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”. Pasal 15 ayat (1) UUJN diatas mengandung konsekuensi bahwa notaris tidak dapat menolak pembuatan akta yang dimintakan kepada kecuali akta tersebut telah ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Misalnya pembuatan akta yang berkaitan dengan perbuatan hukum
tertentu
mengenai
hak
atas
tanah
atau
Hak
Milik
Atas
Satuan
Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, antara lain Akta Jual Beli, Akta Hibah, Akta Tukar Menukar, Akta Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah yang merupakan tugas seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana dimaksud dalam PP No. 24/Thn 1997 juncto PP No.30/Thn 1998. Akta otentik tentang peralihan hak atas tanah yang menjadi kewenangan notaris bukanlah Akta Jual Beli yang menjadi syarat pendaftaran hak atas tanah di Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam PP No.24/Thn 1997, melainkan akta otentik yang mengandung peralihan hak atas tanah dalam bentuk Akta PPJB. Kewenangan notaris dalam membuat Akta PPJB di dasarkan pada Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang berkaitan dengan pertanahan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik.
82 Suatu Akta PPJB yang dibuat dihadapan notaris merupakan perjanjian yang diangkat dan dibuat dari konsepsi KUHPerdata yang merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan kewajiban yang dibuat berdasarkan Pasal 1320 juncto Pasal 1338 KUHPerdata. Akta PPJB sebagai akta notaris tentang peralihan hak atas tanah, mengandung dua ranah hukum yang berbeda yakni ranah hukum perdata terutama yang terkait dengan perjanjian dan ranah hukum publik/agraria yang terkait dengan obyek dari akta PPJB tersebut, yaitu tanah. Dari sisi hukum perdata, yaitu hukum perikatan yang bersumber pada perjanjian, sehingga keberadaan PPJB yang dibuat oleh notaris tunduk pada syarat-syarat, unsur-unsur dan tata cara dibuatnya suatu perjanjian menurut hukum perdata khususnya suatu perjanjian yang obyeknya barang tetap. Terkait dengan hal tersebut Subekti mengatakan bahwa, B.W. menganut sistem bahwa perjanjian jual-beli itu “obligatoir” saja, artinya bahwa perjanjian jual-beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli) yaitu meletakkan kepada si penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui dan disebelah lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya.78 Selanjutnya dikatakan pula bahwa, perjanjian jual-beli menurut B.W. itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik 78
Subekti I, op.cit, hal. 11.
baru berpindah dengan
83 dilakukannya “levering” atau penyerahan. Dengan demikian maka dalam sistem B.W. tersebut “levering” merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (“transfer of ownership”) yang caranya tergantung dari macamnya barang, dalam hal ini untuk barang tetap dengan perbuatan yang dinamakan “balik-nama” (bahasa Belanda : “overschrijving”) dimuka Pegawai Kadester ang juga dinamakan Pegawai balik-nama atau Pegawai Penyimpan hipotik, yaitu menurut Pasal 616 dihubungkan dengan Pasal 620, yang masing-masing dari pasal tersebut menentukan : Pasal 616 menentukan bahwa : “Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 620.” Pasal 620 menentukan : Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud di atas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpanan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan berada, dan dengan dibukukannya dalam register. Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik sebuah salina otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau keputusan itu, agar penyimpan mencatat didalamnya hari pemindahan beserta bagian dari nomor register yang bersangkutan. Dalam pada itu segala sesuatu yang mengenai tanah dengan
84 mencabut semua ketentuan yang termuat dalam buku B.W. tersebut, sudah diatur dalam UUPA.79 Kemudian dikatakan pula bahwa, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan telah diganti dengan PP Nomor 24/1997 tentang hal yang sama yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UUPA dalam pasal 19 menentukan bahwa jual-beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT, sedangkan menurut maksud paraturan tersebut hak milik atas tanah juga berpindah pada saat dibuatnya akta dimuka pejabat tersebut.80 Berdasarkan pendapat di atas dalam kaitannya dengan akta notaris yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan peralihan hak atas tanah yakni PPJB tentang hak atas tanah sebagai obyek perjanjiannya dapatlah dikatakan bahwa sebagai bagian dari perjanjian. 3.1.3
Syarat dan keabsahan akta perjanjian pengikatan jual beli Akta PPJB yang dibuat oleh para pihak di hadapan notaris dengan tujuan
terjadinya jual beli merupakan alat bukti otentik wajib dibuat dengan memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, ketentuan mengenai tata cara pembuatan akta notaris yang diatur dalam UUJN, yaitu bentuk dan tata cara pembuatan akta notaris yang diatur dalam UUJN dan syarat pembuatan akta otentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Dalam Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta
79 80
Ibid, hal. 10. Ibid.
85 yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Dari rumusan Pasal 1868 KUHPerdata, terdapat 3 (tiga) unsur yaitu sebagai berikut: 1. Bentuk akta ditentukan undang-undang; 2. Akta dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu; 3. Akta dibuat di tempat di mana akta dibuatnya. Unsur pertama suatu akta otentik adalah apabila bentuk akta tersebut ditentukan oleh undang-undang, demikian pula hal ini berlaku bagi akta notaris dalam hal ini Akta PPJB. Ketentuan mengenai bentuk akta notaris diatur dalam Pasal 38 UUJN, yang menyatakan bahwa: 1. Setiap akta notaris terdiri atas: a. awal akta atau kepala akta; b. badan akta; dan c. akhir atau penutup akta. 2. Awal akta atau kepala akta memuat : a. judul akta; b. nomor akta; c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. 3. Badan akta memuat: a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. 4. Akhir atau penutup akta memuat: a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);
86 b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta sejumlah perubahannnya. Selain syarat yang ditentukan oleh Pasal 38 UUJN diatas, terdapat pula syarat penghadap untuk membuat akta notaris yang di tetapkan berdasarkan Pasal 39 UUJN yang menentukan bahwa : (1)
(2)
(3)
Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. cakap melakukan perbuatan hukum. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta.
Unsur kedua suatu akta dikatakan akta otentik apabila dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu. Akta PPJB adalah merupakan akta otentik yang termasuk jenis akta partij atau disebut akta Pihak. Akta partij adalah akta yang dibuat di hadapan notaris atas pemintaan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan sendiri oleh para pihak di hadapan notaris, selanjutnya pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh notaris dituangkan ke dalam akta notaris.81 Akta PPJB adalah salah satu bentuk akta otentik yang dibuat oleh notaris berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN Notaris berwenang membuat akta
81
Habib Adji I, op.cit, hal. 45.
87 otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang berkaitan dengan pertanahan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Adapun kewenangan notaris membuat akta otentik diatur dalam Pasal 15 UUJN menyatakan bahwa: (1)
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat akta risalah lelang (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Unsur ketiga suatu akta dikatakan otentik apabila akta pejabat umum yang membuat akta harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta tersebut didaerah (wilayah) kerjanya. Kedudukan dan wilayah kerja notaris diatur dalam Pasal 18 UUJN yang menyatakan bahwa: “Notaris mempunyai tempat kedudukan
88 di daerah kabupaten atau kota serta wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya”. Wewenang notaris sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta otentik meliputi 4 hal, yaitu :82 1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu; 2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; 3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat; 4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
3.2 Kedudukan dan Fungsi Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dalam Jual Beli 3.2.1
Akta PPJB merupakan akta pendahuluan akta jual beli Akta Jual Beli adalah suatu akta otentik yang dengan sengaja dibuat oleh
PPAT sebagai alat bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Dalam praktik Ke-PPAT-an, Akta Jual Beli yang dijadikan dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan yang dibuat di hadapan PPAT dapat berdasar pada sebuah
82
Habib Adjie I, op.cit, hal. 13.
89 Akta PPJB yang diikuti dengan Akta Kuasa Menjual sebagai suatu perjanjian pendahuluan (factuum de contrahendo) yang dibuat oleh Notaris. Menurut Herlien Budiono Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas83. Perjanjian bantuan dapat berupa perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo), yaitu suatu perjanjian, dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk terjadinya suatu perjanjian utama atau perjanjian pokok (dalam hal ini akta jual beli) yang merupakan tujuan dari para pihak”. 84 ”Perjanjian Pokok adalah perjanjian yang mempunyai alasan sendiri untuk adanya perjanjian tersebut, sedangkan perjanjian bantuan adalah merupakan perjanjian yang alasan dilakukannya bergantung pada adanya perjanjian lain. Oleh karena perjanjian PPJB merupakan perjanjian pendahuluan, maka biasanya di dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat-syarat untuk jual beli di hadapan PPAT telah terpenuhi”.85 Setelah persyaratan pembuatan akta jual beli telah terpenuhi maka, para pihak datang kembali melaksanakan jual belinya di hadapan PPAT, akan tetapi ada kemungkinan penjualnya berhalangan untuk hadir. Untuk mengatasi hal tersebut maka pihak pembeli diberi kuasa oleh pihak penjual. Dalam PPJB yang berkenaan dengan pengalihan hak-hak atas tanah dan atau bangunan yang dibuat di hadapan Notaris, lazimnya diikuti dengan pemberian kuasa jual dari pihak penjual ke pihak pembeli. Hal ini bertujuan agar pihak pembeli dapat 83
Herlien Budiono I, loc.cit. Herlien Budiono I, loc.cit. 85 Herlien Budiono I, loc.cit. 84
90 melakukan jual beli sendiri, baik mewakili calon penjual maupun dirinya sendiri selaku calon pembeli, termasuk memberikan hak-hak kewenangan kepada calon pembeli untuk dapat mewakili secara umum hak-hak kepengurusan atas tanah tersebut selama belum dilakukan jual beli dihadapan PPAT. Kuasa ini bertujuan agar pembeli tidak dirugikan hak-haknya mengingat telah dipenuhinya persyaratan pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT. Kuasa tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah di pejabat pembuat akta tanah (PPAT) telah terpenuhi.
Terkait dengan pemberian kuasa, Pasal 1792 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaaan kepada orang lain, yang menerimannya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatur urusan”. Berdasarkan pengertian pemberian kuasa Pasal 1792 KUHPerdata diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian kuasa merupakan perjanjian sepihak. Dimana penerima kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, sehingga segala akibat dari pelaksanaan kuasa tersebut menjadi tanggung jawab dari pemberi kuasa.86 Herlien Budiono mengatakan unsur-unsur pemberian kuasa terdiri atas 3 (tiga) unsur yaitu sebagai berikut:87
86
Djaja S Maliala, 2007, Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Nuansa Aulia, Bandung (selanjutnya disingkat Djaja Maliala II), hal. 3. 87 Herlien Budiono, 2004, Artikel “Pengikatan Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Majalah Renvoi, Nomor 10, Edisi Tahun I, Maret 2004, hal. 57.
91 a. Persetujuan yaitu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian b. Memberi kekuasaan kepada penerima kuasa yaitu pemberi kuasa dan penerima kuasa telah meyetujui tentang pemberian kuasa tersebut. c. atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan yaitu menerima kuasa melakukan tindakan hukum demi kepentingan dari pemberi kuasa baik yang dirumuskan secara umum maupun yang dinyatakan dengan kata-kata secara tegas. Pelaksanaan
pemberian
kuasa
dilakukan
dengan
berbagai
bentuk
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1795 KUHPerdata bahwa: “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa”. Untuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli biasanya pemberian kuasa dilakukan secara khusus oleh penjual, yaitu penjual memberikan kekuasaan kepada pembeli untuk mewakilinya apabila semua persyaratan mengenai jual beli telah dipenuhi, sehingga pemindahan hak atas tanah dapat dilakukan tanpa pihak penjual untuk melakukan penandatanganan terhadap akta jual beli dihadapan PPAT. Kuasa tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah di pejabat pembuat akta tanah (PPAT) telah terpenuhi. 3.2.2
Kekuatan hukum mengikat Akta PPJB Suatu perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum sempurna apabila
perbuatan hukum tersebut didasarkan atas peraturan perundang-undangan atau kewenangan yang sah. Kewenangan notaris dalam membuat Akta PPJB merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang sebagaimana diatur
92 dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang berkaitan dengan pertanahan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Akta PPJB yang dibuat oleh para pihak di hadapan notaris dengan tujuan terjadinya jual beli merupakan alat bukti otentik yang mengikat dan sah. Sehingga sebagai akta otentik, proses pembuatannya harus mengacu pada syarat dan keabsahan perbuatan akta otentik. Ketentuan mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Kekuatan pembuktian akta PPJB memberikan nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat sebagai akta otentik sebagaimana terdapat dalam UUJN pada bagian Penjelasan Bagian Umum ditegaskan bahwa Akta notaris sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya secara memuaskan dihadapan persidangan pengadilan. Akta Notaris (Akta PPJB) yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna harus memenuhi kekuatan nilai pembuktian lahiriah, formal dan materil. Kekuatan nilai pembuktian akta notaris termasuk akta PPJB adalah mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktian, yaitu sebagai berikut:88
88
Habib Adji II, op.cit, hal. 18.
93 1. Kekuatan pembuktian Lahiriah (uitwendige bewijskracht) Kemampuan lahiriah akta notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica proban sese ipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkalnya keotentikan akta notaris. parameter untuk menentukan akta notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan dan adanya awal akta (mulai dari judul sampai dengan akhir akta. Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, bukan ada apanya. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik. Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta notaris sebagai akta otentik, atau bukan akta otenti, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat
94 harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi obyek gugatan bukan akta notaris.
2. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht) Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta-akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dengan akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak). Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap; membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran
pernyataan
atau
keterangan
para
pihak
yang
diberikan/disampaikan di hadapan notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta
95 notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun. Tidak dilarang siapapun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal akta notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dengan akta yang bersangkutan. Misalnya, bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Jika hal ini terjadi bersangkutan atau penghadap tersebut untuk mengugat notaris, dan pengugat harus dapat membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut. 3. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht) Kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat/berita acara, atau keterangan atau para pihak yang diberikan/disampikan dihadapan notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai benar berkata demikian yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang datang menghadap notaris kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah
96 benar berkata demikian. Jika ternyata pernnyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata demikian, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta notaris mempunyai kepastian sebagai sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. Jika akan membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan, bahwa notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak telah benar berkata (di hadapan notaris) menjadi tidak benar secara meteriil dari akta notaris. Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan akta notaris (Akta PPJB) sebagai akta otantik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Tidak terpenuhinya salah satu dari ketiga aspek diatas tidak mengakibatkan akta PPJB menjadi batal atau tidak sah, melainkan akta bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
3.3 Perihal Kecakapan Bertindak dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli 3.3.1
Kecakapan bertindak menurut undang-undang pada umumnya Kecakapan bertindak berkaitan dengan syarat subyektif sahnya perjanjian
yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu: 1. Kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian 2. Kecakapan melakukan
97 3. Suatu hal tertentu 4. Sebab yang halal Seseorang dalam melakukan perbuatan hukum perjanjian terlebih dahulu harus sudah dinyatakan cakap untuk bertindak menurut hukum. Hingga saat ini belum ada aturan yang tegas bersifat universal tentang batasan usia cakap bertindak dalam hukum di Indonesia, hal ini terlihat adanya perbedaan batasan usia dewasa dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, misalnya dalam hukum adat, hukum agama dan hukum negara dan hukum perdata barat.
1. Hukum Adat Hukum adat mengenal saat menjadi dewasa tidak berdasarkan pada parameter umur (usia) melainkan lebih pada ciri-ciri nyata (fisik dari orang yang bersangkutan. Pendapat para ahli Hukum Adat tentang dewasa menurut hukum adat, yaitu sebagai berikut:89 - Soepomo dalam bukunya Adat ”Privaatrecht van West Java”, menyatakan bahwa ciri-ciri seseorang telah dianggap dewasa, apabila ia sudah: o kuat gawe atau mentas (sudah mampu bekerja sendiri) o cakap mengurus harta benda dan lain-lain keperluan sendiri o cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya. - Barend Ter Haar dalam bukunya ”Beginselen Stelsel can Het Adatrecht”, menyatakan bahwa menurut Hukum Adat yang dimaksud dengan dewasa ini
89
Ibid.
98 baru mulai setelah tidak menjadi tanggungan orang tua. Jadi bukan asal sudah kawin saja. Dari pendapat para ahli Hukum Adat diatas, dapat dikatakan bahwa ukuran dewasa menurut hukum adat didasarkan pada 2 (dua) ciri, yaitu: sudah bekerja tidak bergantung pada orang tua dan telah menikah.
Berbicara mengenai
ketentuan dewasa menurut hukum adat yang didasarkan pada ciri-ciri nyata fisik yang bersangkutan dalam perkembangannya mengalami perubahan, hal ini sesuai dengan sifat hukum adat yakni hukum yang bersifat elastis dan dinamis mengikuti perkembangan modernisasi suatu masyarakat. Tuntutan kepastian hukum dalam lalu lintas hubungan hukum antar individu dalam masyarakat mendorong kriteria umur disamping status sudah menikah, lambat laun menjadi biasa dipakai untuk menggantikan
kriteria
ciri-ciri
tertentu.
Sebagai
bukti
terhadap
mulai
ditinggalkannya ciri-ciri fisik tertentu serta dimulainya dipakai kriteria umur. Hal ini dapat dilihat dalam putusan-putusan pengadilan tersebut antara lain sebagai beritkut: - Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Juni Tahun 1955 No.53/k?Sip/1952, menyatakan bahwa umur 15 (limabelas) tahun adalah suatu umur yang umum di Indonesia menurut Hukum Adat dianggap sebagai sudah dewasa” - Dalam Keputusan Mahkamah Agung tanggal 3 September 1958 reg. No.316/K/Sip/1958 yang menyatakan bahwa oleh karena si anak tersebut (penggugat) telah berumur 20 tahun, ia dipandang sudah dewasa, sehingga tuntutannya (gugatannya) tidak beralasan. Dan dengan demikian tuntutan (gugatan) itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.
99 - Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tertanggal 13 Oktober 1976 No.477/K/Pdt, yang secara tegas menyatakan bahwa yang batasan usia dewasa ialah 18 tahun. 2. Hukum Agama Dalam hukum agama khususnya hukum Islam, kecakapan melakukan perbuatan hukum adalah kemampuan menggunakan pikirannya untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk, yang berguna dan yang tidak berguna, terutama dapat menyadari
perbedaan jenisnya, laki-laki atau
perempuan dan telah mencapai usia tamyiz (kurang lebih umur tujuh tahun). Seorang anak yang berumur 7 sampai dengan 15 tahun dianggap sebagai anak mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk). Seseorang yang dianggap akil baliq, bagi laki-laki apabila sudah pernah mimpi bersetubuh atau keluar mani dan bagi perempuan apabila sudah mendapat menstruasi (haid) atau apabila sudah mencapai umur 15 tahun menurut Jumhur Ulama dan umur 17 tahun menurut Mazhab Hanafi.90 3. Hukum Perdata Barat KUHPerdata; Pasal 330 KUHPerdata menentukan bahwa: ”Orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi 90
Muttaqien Dadan, 1997, “Penentuan Kecakapan Melakukan Perbuatan Hukum Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif (Bidang Perkawinan dan Perjanjian)” Tesis, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal.149-150.
100 dalam kedudukan belum dewasa”. Hal ini berarti secara a contrario, orang dewasa yaitu orang yang sudah berumur 21 dan orang yang sudah kawin.91 4. Hukum Negara Dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara khususnya dalam bidang hukum perdata, tampak terlihat perbedaan penentuan batas umur dewasa dalam menentukan kecakapan bertindak, yaitu antara lain: a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 6 ayat (2) menentukan bahwa: ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua”. Pasal 7 ayat (2) menentukan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahuan dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 47 menentukan bahwa: “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Pasal 50 menentukan bahwa: “Anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”. Dari ketentuan diatas dapat dikatakan bahwa ukuran dewasa dalam undangundang perkawinan adalah 21 tahun hal ini tampak dalam Pasal 6 bahwa seseorang akan melakukan perkawinan, jika belum berusia 21 tahun maka ia 91
R.Subekti, 1991, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Cet.IV, Alumni, Bandung (selanjutnya disingkat R.Subekti V), hal. 44.
101 haruslah mendapat izin dari orang tuanya. Ketika telah berusia 21 tahun seseorang dianggap telah mampu untuk melakukan hubungan hukum perkawinan, sehingga ia tidak perlu meminta izin lagi kepada orang tuanya. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan konsep hukum perdata. Namun pada kenyataannya di Indonesia, meski telah berusia 21 tahun atau lebih, dan telah dewasa, sangat penting untuk mendapatkan izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan. b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491). Pasal 39 ayat (1) UUJN menentukan bahwa: ”Seseorang penghadap harus memenuhi syarat paling rendah berumur 18 tahun atau telah menikah”; c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Per-18/MEN/IX/2007
Tentang
Pelaksanaan
Penempatan
dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa: ”Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”. Pasal 10 huruf a menyebutkan bahwa: ”Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan direkrut harus memenuhi persyaratan yakni berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun.
102 3.3.2
Kecakapan bertindak menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Sebagaimana telah uraikan sebelumnya bahwa Akta PPJB merupakan
sebuah akta perjanjian pendahuluan yang dibuat di hadapan notaris sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokok (dalam hal ini AJB) yang dibuat di hadapan PPAT. Pembuatan Akta PPJB oleh notaris disebabkan karena syarat pembuatan Akta Jual Beli di hadapan PPAT belum dapat dipenuhi oleh para pihak pada saat jual beli dilaksanakan. Persyaratan tersebut antara lain harga jual beli harus dibayar lunas, pajak-pajak yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah harus sudah dibayar lunas, sertifikat tanah masih dalam proses pengurusan di Kantor Pertanahan dan lain sebagainya. Untuk mengatasi masalah tersebut para pihak sepakat membuat Perjanjian Perngikatan Jual Beli di hadapan notaris. Akta PPJB yang dibuat dihadapan notaris merupakan perjanjian yang diangkat dan dibuat dari konsepsi KUHPerdata yang merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan kewajiban yang dibuat berdasarkan Pasal 1320 juncto Pasal 1338 KUHPerdata. Perjanjian jual beli dalam KUHPerdata menganut sistem bahwa perjanjian jual beli bersifat obligatoir, yakni perjanjian jual beli baru meletakan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli. Sekalipun jual beli menurut KUHPerdata belum memindahkan hak milik sebagaimana tercermin dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut ketentuan yang bersangkutan”. Adapun hak milik baru beralih dengan melakukan levering atau penyerahan.
103 Dengan demikian dalam sistem KUHPerdata Levering merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik.92 Levering atau penyerahan hak milik untuk barang tetap (tidak bergerak) menurut KUHPerdata dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan balik nama dimuka Pegawai Kadaster.93 Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 616 juncto Pasal 620 KUHPerdata bahwa: “Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tidak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPerdata. Asas obligatoir inilah yang di dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia atau yang dalam Hukum Tanah Nasional melahirkan penyerahan hak (levering) baik dalam bentuk penyerahan nyata (faitelijke levering) atas tanahnya maupun penyerahan hukum (yuridische levering) dalam bentuk peralihan hak atas tanah dalam proses balik nama di kantor pertanahan di tempat tanah tersebut berada.94 Namun apabila dikaji lebih jauh, jual beli tersebut apabila dilakukan dengan suatu perjanjian jual beli yang telah dibayar lunas oleh pembeli, yang tentu diikuti dengan diserahkannya kuasa dari penjual kepada pembeli, sesungguhnya telah terpenuhi baik obligaturnya maupun penyerahnnya (leveringnya), terbukti dari apabila seseorang yang telah menerima kuasa menjual dari seorang penjual, maka pembeli tersebut dapat mengalihkan haknya tersebut dengan menjual kepada pihak lain.
92
R.Subekti I, op.cit, hal. 9. R.Subekti I, loc.cit. 94 Adrian Sutedi, op.cit, hal. 83. 93
104 Selain hal tersebut diatas, didalam hukum Indonesia, perihal mengatur mengenai bumi, air dan ruang angkasa berdasarkan asas menguasai negara yakni Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Asas menguasai negara tersebut memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Dengan demikian, terhadap tanah yang merupakan bagian dari bumi, pengaturannya untuk dapat atau tidak dapat diperjanjikan yang pada dasarnya dimaksudkan untuk penyerahan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli tunduk pada kewenangan negara dalam hal mengatur perbuatan hukum tentang tanah. Oleh karenanya untuk dapat seseorang mempunyai atau memperoleh hak atas tanah tunduk pula pada ketentuan persyaratan tentang orang sebagai subyek hak atas tanah dalam hal ini berdasarkan pada UUPA. Syarat subyek hak atas tanah khusus mengenai syarat dewasa dalam UUPA di dasarkan pada SK Mendagri No. Dpt.7/539/7.77. Dalam SK Mendagri No. Dpt.7/539/7.77 ditegaskan bahwa syarat dewasa subyek hak atas tanah didasarkan pada golongan penduduk Indonesia dan hukum apa yang berlaku bagi mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling (IS). Adapun
ketentuan
dewasa
yang
diyatakan
dalam
SK
Mendagri
No.
Dpt.7/539/7.77 bahwa bagi golongan penduduk yang tidak tunduk pada hukum
105 adat, berlaku ketentuan dewasa menurut hukum perdata yaitu 21 tahun, golongan penduduk yang dimaksud adalah Golongan Penduduk Eropa, Golongan Penduduk Cina, Golongan Penduduk Timur Asing bukan Cina. Sedangkan bagi golongan penduduk yang tunduk pada hukum adat, berlaku ketentuan dewasa menurut hukum adat. Mengingat tidak ada pegangan tegas mengenai batas umur supaya dipandang dewasa sehingga tidak ada keseragaman. Namun, berdasarkan penulispenulis terkenal Hukum Adat, kriteria bahwa dewasa adalah apabila seseorang telah
mentas.
Dengan
demikian
apabila
seorang
notaris
atau
PPAT
mempergunakan batasan umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa, hal ini dapat diterima sebagai benar. Berdasarkan pada ketentuan tersebut diatas, dimana tentang tanah, baik yang menjadi obyek perjanjian yang di maksud dengan Akta PPJB sebagai syarat peralihan hak atas tanah, haruslah mengacu pada norma yang diatur dalam UUPA, oleh karena itu seharusnya Akta PPJB yang dibuat berdasarkan pada akta notaris harus pula mengacu atau mengikuti ketentuan dewasa menurut UUPA. Lebih jauh tentang hal tersebut, ternyata bahwa apabila kita melihat Akta PPJB sebagai produk hukum notaris yang proses dibuatnya mengacu pada UUJN syarat dewasanya yaitu 18 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akta PPJB yang mengandung peralihan hak atas tanah telah mengalami disharmonisasi atau konflik norma secara vertikal dengan SK Mendagri No. Dpt.7/539/7.77. Apabila dikaji dari perspektif teoritis, permasalahan ketidaksesuaian atau disharmonisasi norma mengenai syarat kecakapan bertindak bagi subyek hak atas tanah yang diatur dalam SK Mendagri No. Dpt.7/539/7.77. dan UUJN dapat dikaji
106 dengan menggunakan teori perjenjangan norma atau Stufantheorie dari Hans Kelsen. Di Indonesia Stufantheorie ini diimplementasikan kedalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Hans Kelsen mengemukakan bahwa teori mengenai jenjang norma hukum adalah teori mengenai norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Selanjutnya apabila terjadi konflik pertentangan keberlakukan norma hukum antara peraturan perundang-undang yang berbeda tingkatanya akan berlaku Asas Lex Superior Darogat Legi Inferiori, artinya undang-undang yang tingkatanya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama, sehingga peraturan perundangundangan yang satu dengan yang lainya selalu selaras dan tidak menimbulkan pertentangan atau konflik norma. Sehingga secara teoritis ketentuan mengenai syarat subyek hak atas tanah khusus mengenai syarat dewasa diatur SK Mendagri No.Dpt.7/539/7.77 dapat dikesampingkan karena bertentangan dengan UUJN yang kedudukan lebih tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT berdasarkan pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual yang
107 kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada UUJN, secara yuridis-teoritis dapat dijadikan dasar peralihan hak atas tanah, dengan demikian pihak BPN wajib mendaftarkan akta tersebut. Sehingga berdasarkan kajian yuridis-teoritis tersebut diatas dapat dikatakan bahwa konflik norma antara SK Mendagri dengan UUJN yang mengatur mengenai batasan umur dalam menentukan kecakapan bertindak adalah 18 tahun.
3.4 Tinjauan Komprehensif Akta Jual Beli adalah suatu akta otentik yang dengan sengaja dibuat oleh PPAT sebagai alat bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Syarat sahnya akta jual beli yang dibuat oleh PPAT sebagai suatu perjanjian harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, dan khusus syarat kecakapan bertindak mengacu kepada SK Mendagri No.Dpt.7/539/7.77 dan syarat akta otentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Fungsi Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT adalah sebagai syarat pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (1) PP No24/Thn 1998 Tentang Pendaftaran Tanah. Dalam praktek, Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT dapat dibuat berdasar pada Akta PPJB yang diikuti Kuasa Menjual yang dibuat oleh para pihak di hadapan notaris. Keberadaan Akta PPJB dalam jual beli tanah disebabkan belum terpenuhinya syarat-syarat pelaksanaan jual beli dihadapan PPAT, sehingga untuk
108 dapat terlaksananya jual beli maka para pihak sepakat untuk membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli di hadapan Notaris sebelum terlaksananya jual beli di hadapan PPAT. Akta PPJB yang dibuat oleh para pihak dengan tujuan terjadinya jual beli merupakan alat bukti otentik yang didalamnya mengandung peralihan hak atas tanah merupakan bagian dari perjanjian yang kewenangan membuatnya termasuk dalam kewenangan notaris sebagaiman diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN yakni
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang berkaitan dengan pertanahan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Sebagai suatu perjanjian, Akta PPJB yang dibuat para pihak wajib memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan mengenai syarat kecakapan bertindak yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UUJN yang merupakan dasar dibuatnya Akta PPJB dan Kuasa Menjual, menentukan syarat kecakapan bertindak paling rendah 18 (delapan belas) tahun, sedangkan Akta Jual Beli yang merupakan Akta Tanah, dimana tentang tanah, baik yang menjadi obyek perjanjian yang di maksud dengan Akta Jual Beli sebagai syarat peralihan hak atas tanah, mengacu pada norma yang diatur dalam SK Mendagri No.Dpt.7/539/7.77, syarat dewasanya yaitu 21 (duapuluh satu) tahun untuk golongan penduduk yang non pribumi dan 19 tahun atau 20 tahun untuk golongan penduduk pribumi. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa akta PPJB yang mengandung peralihan hak atas tanah telah mengalami
109 disharmonisasi atau konflik norma secara vertikal dengan SK Mendagri No.Dpt.7/539/7.77. Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT berdasarkan pada Akta PPJB yang kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada UUJN, secara yuridis-teoritis dapat dijadikan dasar peralihan hak atas tanah. Secara yuridis, syarat kecakapan bertindak dalam pembuatan Akta PPJB telah sesuai dengan UUJN yang merupakan dasar hukum pembuatan Akta PPJB oleh notaris. Sedangkan dan secara teoritis, ketentuan mengenai syarat subyek hak atas tanah khusus mengenai syarat kecakapan bertindak diatur SK Mendagri No.Dpt.7/539/7.77 dapat dikesampingkan karena bertentangan dengan UUJN yang kedudukan lebih tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT berdasarkan pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada UUJN, secara yuridis-teoritis dapat dijadikan dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan. Namun dalam praktiknya akan menemui hambatan karena Pejabat Pembuat Akta Tanah akan berpegang pada ketentuan undang-undang yang mengikat tentang pendaftaran tanah dalam hal ini UUPA, sementara itu UUPA tidak mengatur secara tegas kecakapan bertindak dalam hal pendaftaran tanah, sedangkan kecakapan bertindak yang berlaku dalam praktik pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan adalah umur 21 tahun.
110 BAB IV AKTA JUAL BELI SEBAGAI DASAR PENDAFTARAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH
4.1 Fungsi dan Dasar Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah 4.1.1
Fungsi pendaftaran hak atas tanah menurut UUPA Istilah Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre (Bahasa Belanda
Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah. Cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari tanah tersebut dan juga sebagai Continous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak atas tanah.95 Pengertian pendaftaran tanah menurut Pasal 1 angka 1 PP No.24/Thn 1997 adalah: Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Defenisi pendaftaran tanah dalam PP No.24/Thn 1997 merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UUPA yang hanya meliputi: pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah,
95
A.P.Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung (selanjutnya disingkat A.P.Parlindungan I), hal. 18-19.
111 pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat. Fungsi dan tujuan pokok diberlakukan UUPA oleh pemerintah sebagaimana yang dimuat dalam penjelasan umumnya adalah sebagai berikut: a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. b. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan ke- sederhanaan dalam hukum pertanahan. c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana tercantum pada huruf a penjelasan umum diatas merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA yang menyatakan bahwa: “untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Selanjutnya tujuan pendaftaran tanah ditegaskan dalam Pasal 3 PP No.24/Thn 1997 yang menyebutkan bahwa: 1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas sesuatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. 2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
112 3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan A.P.Parlindungan mengatakan bahwa tujuan pendaftaran tanah dalam PP No.24/Thn 1997 telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, yaitu:96 a. Bahwa terbitnya sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. b. Tersedianya data fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah di Kantor Pertanahan. Oleh karena itu, Kantor Pertanahan haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk suatu bidang tanah, baik untuk pemerintah sendiri sehingga dapat merencanakan pembangunan Negara dan juga bagi masyarakat sendiri informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan terkait tanah. Informasi tersebut dapat bersifat terbuka untuk umum, artinya dapat diberikan informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang bangunan yang ada. c. Untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahn dijadikan suatu hal wajar. Boedi Harsono mengatakan bahwa UUPA dan PP No.24/Thn 1997 dengan ketentuan-ketentuan yang tegas dan terinci mempunyai tujuan yang jelas yaitu hendak menjamin kepastian hak dan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat, baik pihak yang mempunyai tanah maupun pihak yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah.97Selanjutnya menurut Sudikno Mertokusomo,
96 97
Ibid, hal. 2. Boedi Harsono, op.cit, hal. 95.
113 secara umum fungsi dan tujuan dari pendaftaran tanah tidak lain adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan meliputi :98 1. Kepastian hak atas tanah, berkaitan dengan hak atas tanah apa yang dapat dimiliki diatas tanah tersebut, apakah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, atau Hak atas tanah lainnya. 2. Kepastian subyek haknya, berarti tentang kepastian pemilik sah dari hak atas tanah yang didaftarkan. 3. Kepastian obyek haknya, hal ini berkaitan dengan dimana letak, luas, dan batas-batasnya. 4. Kepastian hukumnya, artinya dengan didaftarkan hak atas tanahnya akan dapat diketahui wewenang dan kewajiban-kewajiban bagi si empunya hak tanah tersebut. Dengan demikian tujuan kepastin hukum baik terhadap subyek hak maupun obyek hak yang dijamin oleh pemerintah tersebut diatas, akan bermuara pada pada pemberian perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah di Indonesia, dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tersebut berupa Buku Tanah, dan Sertifikat yang terdiri dari Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur. Sertifikat hak atas tanah tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat sebagaimana dinyatakan dalam UUPA dan PP Nomor 24/1997.
98
Sudikno Mertokusumo, 1988, Materi Pokok Hukum dan Politik Agraria, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Terbuka, Jakarta (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), hal. 95.
114 4.1.2 Sistem pendaftaran tanah Sistem dalam pendaftaran tanah pada umumnya dikenal dua macam sistem, yaitu: a. Sistem Pendaftaran Akta ( Registration Of Deeds) Dalam sistem pendaftaran akta, akta inilah yang didaftar oleh Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT). dalam sistem ini PPT bersifat pasif. Ia tidak melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar. b. Sistem Pendaftaran Hak ( Registration Of Titles) Dalam sistem pendaftaran hak tiap pemberian atau menciptakan hak baru serta pemindahan dan pembebanannya dengan hak lain kemudian, harus dibuktikan dengan suatu akta.
Dalam penyelenggaraannya, sistem pendaftaran tanah
menggunakan 2
(dua) sistem publikasi, yakni: a. Sistem Publikasi Positif yaitu : sistem pendaftaran tanah dimana surat tanda bukti hak (sertipikat) yang diberikan kepada seseorang adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak, artinya terdaftarnya seseorang dalam daftar buku tanah itu tidak dapat dibantah lagi, meskipun ternyata bukan pemegang hak atas tanah tersebut. b. Sistem Publikasi Negatif yaitu : sistem pendaftaran tanah dimana segala apa yang tercantum di dalam sertipikat tanah atas nama seseorang dianggap benar, sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya, artinya seseorang yang terdaftar dalam daftar buku tanah masih dapat
115 dibantah jika yang terdaftar bukan pemegang hak atas tanah yang sebenarnya Menurut Boedi Harsono Sistem pendaftaran yang digunakan dalam penyelenggarana pendaftaran tanah menurut Pasal 29, PP No.24/Thn .1997 adalah sistem pendaftaran hak, hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar. Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang di uraikan dalam surat ukur secara hukum telah didaftar. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, Sistem publikasi yang digunakan yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 99 Menurut Irawan Soerodjo bahwa hak atas tanah yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf Dan Hak Milik Atas Satuan Ruma Susun di daftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya maka dicatat pula status haknya pada surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut
99
Boedi Harsono, op.cit, hal.477.
116 merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur telah didaftar. 100 Menurut Pasal 31 PP 24/Thn 1997 bahwa untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan diterbitkan sertifikat tanah sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. PPNo.24/Thn 1997 secara tegas menyebutkan bahwa instansi pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah republik Indonesia menurut Pasal 5 adalah Badan Pertanahan Nasional, selanjutnya dalam Pasal 6 ditegaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada Pejabat lain. Pengaturan mengenai Badan Pertanahan Nasional diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP
100
Irawan Soerodjo, op.cit, hal.109.
117 No.24/Thn 1997 dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. PejabatPejabat yang membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam pelaksanan pendaftaran tanah, adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Peran PPAT dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adalah dalam hal pembuatan akta pemindahan hak dan akta pemberian Hak Tanggungan atas tanah Hak Milik atas Satuan Rumah Susun Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Pejabat dari Kantor Lelang dan Panitia Ajudikasi. Peran Panitia Ajudikasi dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adalah dalam hal pendaftaran tanah adalah dalam hal pendaftaran tanah secara sistematik. Semua kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik dari awal hingga sertifikat hak atas tanah dilaksanakan Panitia Ajudikasi. Berdasarkan Pasal 11 PP No.24/1997, kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan Pemeliharaan data pendaftaran tanah 1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali Kegiatan tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan PP No.10/Thn 1961 atau PP No.24/Thn 1997. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 10 dan angka 11. a. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi
118 semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksankan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dalam melaksanakan pendaftarn tanah secara sistematik, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk oleh Menteri Negra Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional. b. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran secara sistemtik, maka pendaftaran tanahnya dilaksankan melalui pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan baik secara perseorangan maupun massal. Pasal 12 PP No.24/Thn 1997 menyebutkan bahwa Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi: a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik; Untuk keperluan pengumpulan dan pengelolaan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan, yang meliputi. Kegiatan pengumpulan dan pengelolaan data fisik meliputi: pembuatan peta
119 dasar pendaftaran, penetapan batas-batas bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidang-bidang taah dan pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar tanah, pembuatan surat ukur b. Pembuktian hak dan pembukuannya, kegitanan pembuktian hak dan pembukuannya meliputi: pembuktian hak baru, pembuktian hak lama, pembuktian hak. c. Penerbitan sertifikat; d. Penyajian data fisik dan data yuridis; e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen. 2. Kegiatan pemeliharaan dan pendaftaran tanah Kegiatan
pemeliharaan
dan
pendaftaran
tanah
adalah
kegiatan
pendaftaran tanah yang untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikan dengan perubahan yang terjadi kemudian (Pasal 1 angka 12 PP No.24/Thn 1997). Pemeliharaan dan pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik atau data yuridis tersebut kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah. Buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yurids dan data fisik suatu obyek pendaftaran yang sudah ada haknya.
120 Agar data yang tersedia di kantor pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang mutakhir, maka Pasal 36 ayat (2) PP No.24/Thn 1997 menentukan bahwa para pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan-perubahan yang dimaksudkan kepada kantor pertanahan. Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di kantor pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, meliputi: pemindahan hak, pemindahan hak dengan lelang, peralihan hak karena pewarisan, peralihan karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi, pembebanan hak dan penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, meliputi: perpanjangan jangka waktu hak atas tanah; pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah; pembagian hak bersama; hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun; peralihan dan hapusnya Hak Tanggungan; Perubahan
data pendaftaran tanah
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan dan perubahan nama. Perbuahana data yuridis dapat berupa: a. Peralihan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya;
121 b. Peralihan hak karena pewarisan; c. Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi; d. Pembebanan Hak Tanggungan; e. Peralihan Hak Tanggungan; f. Hapusnya hak atas tanah, Hak Pengelolaan, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan Hak Tanggungan; g. Pembagian hak bersama; h. Perubahan data pendaftrana tanah berdasarkan putusan pengadilan atau penerapan Ketua Pengadilan; i. Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama; j. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah. Perbuahana data fisik dapat berupa: a. Pemecahan bidang tanah; b. Pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah; c. Penggabungan dua atau lebih bidang tanah. 4.1.3 Obyek pendaftaran tanah UUPA mengatur bahwa hak-hak atas tanah yang di daftar hanyalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, sedangkan Hak Sewa Untuk Bangunan tidak wajib didaftar. Berdasarkan Pasal 9 PP No.24/Thn 1997 bahwa objek pendaftaran tanah meliputi: a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.
122 b. Tanah hak pengelolaan. c.
Tanah wakaf.
d. Hak milik atas satuan rumah susun e. Hak tanggungan f. Tanah negara 4.1.4 Syarat dan tata cara pendaftaran hak atas tanah di Badan Pertanahan Nasional Pendaftaran hak atas tanah dilakukan sesuai dengan perbuatan hukum yang dilakukan. Misalnya pendaftaran pertama kali (konversi), jual beli, pewarisan atau wasiat, tukar menukar, hibah, pembagian hak bersama, pemecahan dan pemisahan hak, penggabungan, pendaftaran Hak Tanggungan dan Penghapusan Hak Tanggungan/Roya. Pembahasan pendaftaran hak atas tanah yang akan diuraikan dibawah ini adalah mengenai pendaftaran peralihan hak dalam hal jual beli. Dalam rangka pendaftran peralihan hak atas tanah melalui jual beli wajib dibuktikan dengan Akta PPAT sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (1) PP No.24/Thn 1997 yang menyatakan bahwa” “peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pendaftaran peralihan hak atas tanah dilakukan oleh Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Kepala BPN
123 No.3/Thn 1997 juncto Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1/Thn 2010 Tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan (selanjutnya di tulis Peraturan Kepala BPN No.1/Thn 2010). Pendaftaran peralihan hak atas tanah melalui jual beli di atur dalam Pasal 103 Peraturan Kepala BPN No.3/Thn 1997, yang menyatakan bahwa: (1) PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang bersangkutan. (2) Dalam hal pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah bersertipikat atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya; b. Surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak; a. Akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan yang dibuat oleh PPAT yang pada waktu pembuatan akta masih menjabat dan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan; b. Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak; c. Bukti identitas penerima hak; d. Sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang dialihkan; e. Izin pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2); f. Bukti pelunasan pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang; g. Bukti pelunasan pembayaran PPH sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang. (3) Dalam hal pemindahan hak atas tanah yang belum terdaftar, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Surat permohonan pendaftaran hak atas tanah yang dialihkan yang ditandatangani oleh pihak yang mengalihkan hak; b. Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya; c. Surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak; d. Akta PPAT tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan;
124 e. f. g. h. i.
Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak; Bukti identitas penerima hak; Surat-surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76; Izin pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 Ayat (2); Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 21 tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang; j. Bukti pelunasan pembayaran PPH sebagaimana dimaksud dalam peraturan pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang. Dalam rangka meningkatkan pelayanan dalam proses pendaftaran tanah, baik untuk pendaftaran pertama kali (Konversi), maupun pemeliharaan pendaftaran tanah, diatur dalam Peraturan Pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Kepala BPN No.1/Thn 2010. Adapun persyaratan yang diperlukan dalam pelayanan pendaftaran hak atas tanah melalui jual beli adalah sebagai berikut yaitu: 1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan 3. Fotocopy identitas pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum 5. Sertipikat asli 6. Akta Jual Beli dari PPAT a. Fotocopy KTP dan para pihak penjual-pembeli dan/atau kuasanya b. Ijin Pemindahan Hak apabila di dalam sertipikat/keputusannya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan jika telah diperoleh ijin dari instansi yang berwenang 7. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak) Formulir permohonan memuat: 1. Identitas diri 2. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon 3. Pernyataan tanah tidak sengketa 4. Pernyataan tanah/bangunan dikuasai secara fisik
125 Selain syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, beberapa syarat lain yang harus dipenuhi apabila akan melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak di Kantor Pertanahan, karena apabila tidak terpenuhi Kepala Kantor Pertanahan akan menolak melakukan pendaftaran. Pasal 45 ayat (1) PP No.24/Thn 1997 menyatakan bahwa: Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak, jika salah satu syarat di bawah ini tidak dipenuhi: 1. Sertipikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan. 2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) tidak dibuktikan dengan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, kecuali dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2); 3. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran peralihan atau pembebasan hak yang bersangkutan tidak lengkap; 4. Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang bersangkutan; 5. Tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di Pengadilan; 6. Perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau dibatalkan oleh putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau 7. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan.
4.2
Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Akta Jual Beli
4.2.1 Pengertian peralihan hak atas tanah Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan agar supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain. Pengertian peralihan hak menurut Erene Eka Sihombing adalah beralihnya atau berpindahnya hak kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah tanah dari pemilik semula kepada pemilik yang baru karena sesuatu atau perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum pemindahan hak
126 bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain untuk selamalamanya (dalam hal ini subyek hukumnya memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah).101 Selanjutnya menurut Boedi Harsono pengertian peralihan hak atas tanah adalah pindahnya hak atas tanah dari satu pihak kepada pihak lain baik karena adanya perbuatan hukum yang disengaja maupun bukan karena perbuatan hukum yang disengaja.102 Peralihan hak atas tanah bukan karena adanya perbuatan hukum yang disengaja yakni terjadi karena berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain karena suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum.103 Salah satu peristiwa hukum dalam hal ini yakni pewarisan. Pewarisan merupakan proses berpindahnya hak dan kewajiban dari seseorang yang sudah meninggal dunia kepada para ahli warisnya. Peralihan hak atas tanah karena perbuatan hukum yang disengaja karena adanya perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain. Dengan dialihkannya suatu hak menunjukkan adanya suatu perbuatan hukum yang dengan sengaja dilakukan oleh satu pihak dengan maksud agar hak atas tanahnya menjadi milik pihak lainnya demikian sebaliknya bahwa perbuatan hukum tersebut dengan sengaja dilakukan dengan maksud agar hak milik atas
101
Irene Eka Sihombing, 2005, Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 56. 102 Boedi Harsono, op.cit, hal. 329. 103 Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 130.
127 tanah seseorang menjadi milik kepada orang lain, sehingga pemindahan hak tersebut diketahui atau diinginkan oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. Jual beli adalah salah satu bentuk peralihan hak atas tanah karena adanya suatu perbuatan hukum yang disengaja agar hak atas tanah tersebut pindah kepada pihak lain. Peralihan hak dalam konsep Hukum Pertanahan bahwa peralihan hak yang dilakukan dihadapan seorang PPAT dengan proses balik nama merupakan suatu peristiwa hukum terjadinya transaksi jual beli dengan merubah status kepemilikan dari penjual sebagai pemilik tanah sebelumnya kepada pembeli sebagai pemilik tanah yanag baru. Peralihan hak dalam PP No.24/Thn 1997 juncto Peraturan Kepala BPN No.3/Thn 1997 termasuk dalam bagian pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pemeliharaan data dan pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Perbahan data fisik yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3) Peraturan Kepala BPN No.3/Thn 1997 yaitu : a. Pemecahan bidang tanah. b. Pemisahan sebagin atau beberapa bagian dari bidang tanah. c. Penggabungan dua atau lebih dari bidang tanah. 4.2.2
Cara-cara peralihan hak atas tanah A.P.Parlindungan mengatakan bahwa peralihan hak-hak tanah seluruhnya,
dapat terjadi karena penyerahan, pewarisan, pewarisan-legaat, penggabungan budel, pencabutan hak, lelang. Penyerahaan ini dapat berwujud jual beli, hibah ataupun tukar menukar dan pewakafan. Pewarisan suatu hak terjadi jika yang
128 mempunyai hak meninggal dunia. Peralihan karena wasiat legaat, suatu lembaga yang berlaku di kalangan masyarakat yang tunduk kepada Hukum Perdata. Penggabungan Budel dapat terjadi jikalau hak atas nama suami dan istri dan salah satu meninggal dunia maka jika salah satu daripadanya adalah ahli waris dapat mengajukan permohonan pencatatan hak atas namanya dengan melampirkan Surat Keterangan Kewarisan. Pencabutan hak dapat terjadi karena pembebasan. 104 Obyek peralihan hak atas tanah dapat berupa antara lain Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai. Salah satu sifat hak atas tanah adalah dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Adapun bentuk peralihan hak atas tanah, yaitu: 1.
Beralih Beralih artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya kepada
pihak lain karena suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum.105 Salah satu peristiwa hukum dalam hal ini yakni pewarisan. Pewarisan merupakan proses berpindahnya hak dan kewajiban dari seseorang yang sudah meninggal dunia kepada para ahli warisnya. Dalam proses pewarisan hal yang terpenting adalah adanya kematian, yaitu seorang yang meninggal dunia dan meninggalkan kekayaan itu kepada ahli warisnya.106
104
A.P.Parlindungan, 1990, Pedoman Pelaksanaan UUPA Dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Cet.VI, Alumni, Bandung (selanjutnya disingkat A.P.Parlindungan II), hal. 23-24. 105 Soedjono Dirdjosisworo, op.cit, hal. 130. 106 Effendi Perangin, 2010, Hukum Waris, Rajawali Pers, Jakarta (selanjutnya disingkat Effendi Perangin II), hal. 3.
129 Dalam beralih ini, pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak (subjek) hak atas tanah. Hukum tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahli waris. Menurut ketentuan Pasal 61 ayat (3) PP No.24/Thn 1997, untuk pendaftaran pengalihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu enam (6) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran. 2. Dialihkan Dialihkan artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menimbulkan hak dan kewajiban.107 Bentuk-bentuk perbuatan hukum yang melahirkan peralihan hak atas tanah yaitu dengan cara beralih dan dialihkan sebagaimana diuraikan diatas antara lain dapat berupa jual-beli, hibah, tukar-menukar, pemasukan dalam perusahaan, lelang. a. Jual Beli Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata, yaitu: jual dan beli. Kata “jual” menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan kata “beli” adalah adanya perbuatan membeli. Maka dalam hal ini, terjadilah perbuatan a hukum jual
107
CST. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 119.
130 beli.108 Pengertian jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah (penjual), berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui. Mengenai jual beli, pengaturannya dapat dilihat dalam Buku III bab ke V KUHPerdata. Dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. (koop en verkoop is een overeenkomst, waarbij de ene partij zich verbindt om een zaak te leveren, en de andere om daarvoor de bedongen prijs te betalen.109 Pada saat dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apa pun pada hak atas tanah yang bersangkutan, sekalipun misalnya pembeli sudah membayar penuh harganya dan tanahnya secara fisik sudah diserahkan kepadanya. Hak atas tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkan secara yuridis kepadanya dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya. Menyerahkan secara yuridis berarti si penjual sudah memberikan hak atas kepemilikannya terhadap suatu barang. Pengalihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain. 110
108
Gunawan Widjaja dan Kartini Widjaja, 2007, Jual-Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta (selanjutnya disingkat Gunawan dan Kartini II), hal. 128. 109 AB Massier, op.cit, page. 68. 110 Adrian Sutedi, op.cit, hal. 27.
131 b. Hibah Mengenai pengertian dari hibah diatur dalam ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata, yakni: “Suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup. Dalam ketentuan Pasal 1667 KUHPerdata disebutkan bahwa: “Penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi”. Syarat hibah lainnya antara lain pemberi hibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (bukan seorang yang masih dibawah umur atau tidak sedang dalam pengampuan), sedangkan penerima hibah sudah ada (dalam hal ini lahir atau sudah di dalam kandungan) pada saat pemberian hibah tersebut dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 1679 KUHPerdata), artinya bahwa jika seseorang ingin menghibahkan sesuatu kepada anaknya, anak tersebut minimal harus sudah lahir atau sudah berada di dalam kandungan ibunya.111 c. Tukar-Menukar Dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUHPerdata, tukar-menukar ialah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain. Dalam dunia perdagangan perjanjian ini dikenal dengan istilah “barter”. 111
hal. 59.
Irma Devita Purnamasari, 2010, Hukum Pertanahan, Kaifa, Bandung,
132 Sebagaimana dapat dilihat dari rumusan tersebut di atas, perjanjian tukarmenukar ini adalah juga suatu perjanjian konsensual, dalam arti ia sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang menjadi objek perjanjiannya. Demikian pula dapat dilihat bahwa perjanjian tukar-menukar adalah suatu perjanjian obligatoir sama seperti jual-beli, ia belum memindahkan hak milik, tetapi baru pada taraf memberikan hak dan kewajiban. Masing-masing pihak mendapat hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian. Yang memindahkan hak milik atas masing-masing barang adalah perbuatan hukum yang dinamakan levering atau penyerahan hak milik secara yuridis. 112 Segala apa yang dapat dijual, dapat menjadi obyek perjanjian tukar-menukar. Tukar-menukar ini adalah suatu transaksi mengenai barang lawan barang. Untuk dapat melakukan perjanjian ini, masing-masing pihak harus pemilik dari barang yang ia janjikan untuk diserahkan dalam tukar-menukar itu.113 d. Penyertaan Modal dalam Perusahaan (Inbreng) Peningkatan modal selain saham yang disetor dalam bentuk uang, bisa juga dengan inbreng atau pemasukan dalam perusahaan, yaitu memasukkan barang sebagai modal, dinilai dengan uang dan dijadikan saham. Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya ditulis UU No.40/Thn 2007), penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya, yaitu baik berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud, dapat dinilai dengan uang, secara nyata telah 112 113
R.Subekti I, op.cit, hal. 36. Ibid.
133 diterima oleh perseroan, penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang harus disertai rincian yang menerangkan nilai atau harga, jenis atau macam, status, tempat kedudukan, dan lain-lain yang dianggap perlu demi kejelasan rnengenai penyetoran tersebut. Dalam hal ini, penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli dengan perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2) UU No.40/Thn 2007. e. Lelang Lelang yang dimaksud adalah lelang hak atas tanah, yang dalam praktik sering disebut dengan lelang tanah. Secara yuridis, yang dilelang adalah hak atas tanah bukan tanahnya. Tujuan lelang hak atas tanah adalah supaya pembeli lelang dapat dapat secara sah menguasai dan menggunakan tanah. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang, sedangkan lelang tanah adalah penjualan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terbuka untuk umum oleh Kantor Lelang setelah diterbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dengan harga yang tertinggi yang didahului oleh pengumuman lelang.114 4.2.3 Akta jual beli sebagai dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah Untuk kepentingan pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan, setiap peralihan hak baik dalam bentuk penyerahan berupa jual beli, hibah ataupun tukar menukar 114
Urip Santoso, op.cit, hal. 382.
134 wajib di buat di hadapan PPAT, hal ini ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (1) PP No.24/Thn 1997, yang menentukan bahwa: ”Setiap peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Salah satu jenis atau bentuk akta yang dibuat oleh PPAT sebagai dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan adalah akta Jual Beli, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 95 ayat (1) Peraturan Kepala BPN No.3/Thn 1997 yang mengatur tentang jenis dan bentuk akta yang menjadi produk hukum PPAT, yang menentukan bahwa : Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah: a. Akta Jual Beli; b. Akta Tukar Menukar; c. Akta Hibah; d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan; e. Akta Pembagian Hak Bersama; f. Akta Pemberian Hak Tanggungan; g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik; h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. Akta Jual Beli adalah suatu akta otentik yang dengan sengaja dibuat oleh PPAT sebagai alat bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Fungsi akta jual beli adalah sebagai bukti telah diadakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Akta yang dilangsungkan di hadapan PPAT menghasilkan alat bukti otentik yang mempunyai peran penting terhadap
135 terbitnya sertifikat sebagai tanda bukti bahwa hak kepemilikan atas tanah telah beralih dari penjual sebagai pemilik lama kepada pembeli sebagai pemilik baru, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA bahwa akhir dari proses pendaftaran tanah yang diadakan oleh pemerintah adalah pemberian suratsurat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Fungsi akta PPAT dalam jual beli, menurut Mahkamah Agung dalam putusannya No.1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 No.10/Thn 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah. Selanjutnya dalam Yurisprudensi MA No.123/K/Sip/1971, pendaftaran tanah hanyalah perbuatan hukum administrasi belaka, artinya bahwa artinya bahwa pendaftaran bukan merupakan syarat bagi sahnya atau menentukan berpindahnya hak atas tanah dalam jual beli. Menurut Adrian Sutedi yang mengutip dari pendapat Boedi Harsono akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut PP No.10/Thn/Thn 1961 (yang sekarang sudah disempurnakan dengan PP No.24/Thn 1997), pendaftaran jual beli itu hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang akan melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan memperoleh sertifikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum. 115
115
Adrian Sutedi, op.cit, hal. 79.
136 Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT yang didasarkan pada Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang proses pembuatan Akta PPJB dan Kuasa Menjual tersebut didasarkan pada UUJN secara yuridis sah menurut hukum, sehingga seharusnya Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan Akta PPJB dan Kuasa Menjual tersebut dapat dijadikan dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah. Sedangkan praktiknya, PPAT tunduk kepada UUPA dan UUPA belum ada perubahan, sementara pendaftaran tanah merupakan ruang lingkup kewenangan PPAT maka ketentuan yang berlaku dalam pembuatan Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang proses pembuatannya merujuk pada UUJN tidak serta merta dapat diberlakukan terhadap proses pendaftaran tanah. Sebagaimana dikemukanan oleh Ismiati Dwi Rahayu, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kota Depok, mengemukakan contoh kasus seseorang anak usia 18 tahun hendak melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah di hadapan notaris, karena berdasarkan UUJN usia 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum di hadapan notaris, maka notaris membuatkan akta pengikatan jual beli terhadap anak tersebut, dan selanjutnya berdasarkan akta pengikatan jual beli yang dibuat oleh Notaris, PPAT membuat Akta Jual beli. Kemudian, waktu melakukan pendaftaran terhadap akta jual beli tersebut, oleh
pihak Kantor
Pertanahan/Badan
BPN)
Pertanahan
Nasional
(selanjutnya
ditulis
tidak
menerimanya, alasannya, BPN tidak tunduk pada UUJN dan menganggap usia 18 tahun belum cakap hukum, untuk itu anak tersebut harus menunggu hingga dinilai telah cakap hukum yaitu 21 tahun.116
116
Ismiati Dwi Rahayu, loc.cit.
137 Sehingga didalam praktik pembuatan Akta Jual Beli, PPAT tetap merujuk pada UUPA, sedangkan UUPA sendiri tidak mengatur secara tegas tentang kecakapan bertindak dalam rangka pendaftaran tanah. Ketentuan mengenai kecakapan bertindak dalam UUPA di atur dalam SK Mendagri No.Dpt.7/539/7.77 tentang Dewasa Hukum sehingga dalam prakteknya PPAT mengacu kepada SK Mendagri No.Dpt.7/539/7.77 Tentang Dewasa Hukum. Tetapi praktik ini menimbulkan problem teoritik yang cukup mendasar dengan adanya UU No.12/Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang didalamnya mengandung tata urutan peraturan perundang-undangan. Masalah teoritik
tersebut
antara
lain
mengenai
tidak
adanya
SK
Mendagri
No.Dpt.7/539/7.77 Tentang Dewasa Hukum dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.12/Thn 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan tentang kewenangan menteri dalam negeri dalam mengatur substansi yang mustinya diatur oleh undang-undang dalam hal ini UUPA.
4.3
Akibat Hukum Akta Jual Beli Yang Dibuat Berdasarkan Akta PPJB Yang Kecakapan Bertindaknya Mengacu pada UUJN
4.3.1 Akibat hukum dalam hubungannya perbuatan hukum para pihak dalam Akta PPJB Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa Akta PPJB yang dibuat oleh para pihak di hadapan notaris dengan tujuan terjadinya jual beli merupakan akta otentik yang mengandung peralihan hak atas tanah merupakan bagian dari
138 perjanjian. Sebagai suatu perjanjian, keberadaan Akta PPJB mempunyai ragam fungsi berkenaan dengan tindakan hukum, antara lain berfungsi memberikan perlindungan dan kepastian hukum agar para pihak melaksanakan hak dan kewajiban yang telah mereka sepakati dalam perjanjian tersebut serta berfungsi sebagai keabsahan perbuatan hukum para pihak dalam perjanjian tersebut. Keabsahan akta dan akibat hukum yang timbul adalah merupakan hal yang substantial tentang adanya kepastian hukum. Ketentuan mengenai keabsahan suatu perjanjian, undang-undang telah menentukan syarat sahnya suatu perjanjian telah diatur secara explisit dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu: 1. Kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian 2. Kecakapan melakukan perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Sebab yang halal Syarat 1 dan 2 merupakan syarat subyektif karena terkait dengan subyek perjanjian dan syarat 2 dan 3 merupakan syarat obyektif karena terkait dengan obyek
perjanjian.
Akibat
hukum
tidak
terpenuhinya
syarat
subyektif,
mengakibatkan perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan oleh para pihak, sedangkan akibat hukum terhadap tidak terpenuhinya syarat obyektif, perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah batal demi hukum. Berkaitan dengan akibat hukum terhadap perjanjian diatas dihubungan dengan akibat hukum yang dimaksud dalam pembahasan pada sub bab ini adalah
139 akibat hukum dalam hubungannya perbuatan hukum para pihak dalam Akta PPJB khususnya terkait dengan syarat kecakapan bertindak sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris telah. Akta PPJB yang merupakan produk hukum notaris, proses pembuatannya wajib dibuat dengan mengacu pada ketentuan yang diatur dalam UUJN dimana dalam Pasal 39 ayat (1) UUJN telah ditegaskan bahwa syarat kecakapan bertindak para pihak dalam melakukan perbuatan hukum perjanjian di hadapan notaris paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun. Dengan demikian berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UUJN tersebut diatas, maka perbuatan hukum para pihak dalam membuat Akta PPJB di hadapan notaris telah memenuhi syarat pembuatan akta notaris, dan oleh karenanya akibat hukum terhadap perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang adalah sah menurut hukum. Sehingga meskipun dalam praktik, Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada UUJN tidak diterima untuk dijadikan dasar permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan tidak menyebabkan Akta PPJB dibuat oleh para pihak menjadi batal atau dibatalkan karena suatu perjanjian yang dibuat secara sah menurut menurut hukum berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Sepanjang Akta PPJB telah memenuhi asas terang dan tunai untuk sahnya suatu jual beli atas tanah yang dianut dalam UUPA dan telah memenuhi syarat materil dan syarat formil yakni syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata juncto syarat pembuatan Akta PPJB sebagai akta otentik sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata, maka jual beli hak atas tanah
140 telah dikatakan sah mengikat, oleh karena itu pihak BPN terikat secara hukum dan wajib mendaftarkan Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT berdasarkan pada Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak mengacu kepada UUJN tersebut. 4.3.2 Akibat hukum dalam hubungannya dengan Akta PPJB Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab sebelumnya bahwa Akta PPJB yang dibuat oleh para pihak dihadapan notaris dengan tujuan terjadinya jual beli merupakan alat bukti otentik yang mengandung peralihan hak. Untuk dapat disebut sebagai akta otentik suatu akta haruslah memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya. Suatu akta pada dasarnya memiliki ragam fungsi berkenaan dengan tindakan
hukum,
antara
lain,
fungsi
menentukan
keabsahan
(Menurut
Mochammad Dja’is dan RMJ Koosmargono, akta dilihat dari fungsinya untuk menentukan lengkap atau sempurnanya (bukan sahnya) suatu perbuatan hukum), atau syarat pembentukan dan fungsi sebagai alat bukti.117 Dilihat dari segi fungsinya sebagai alat bukti, akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna (hanya satu bukti cukup sebagai dasar pemutus perkara, akta otentik dianggap benar adanya dan pihak yang membantah dibebani untuk membuktikan kebenaran bantahannya.118 Menurut Pasal 1869 KUHPerdata menentukan bahwa akta otentik dapat turun atau terdegradasi kekuatan 117
Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas‐Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disingkat Herline Budiono III), hal. 256. 118 Mochammad Dja’is dan RMJ Koosmargono, 2008, Memahami dan Mengerti HIR, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, hal. 157.
141 pembuktiannya dari mempunyai kekuatan pembuktian sempurna menjadi hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai tulisan di bawah tangan, jika pejabat umum yang membuat akta itu tidak berwenang untuk membuat akta tersebut atau jika akta tersebut cacat dalam bentuknya. Kata-kata berwenang dalam Pasal 1868 dan Pasal 1869 KUHPerdata mempunyai arti bahwa pembuatan akta tersebut dibatasi oleh tugas wewenang pejabat yang bersangkutan dan wilayah kerjanya. Ketentuan mengenai kewenangan pejabat dalam membuat akta otentik tidak hanya menentukan keotentitakan suatu akta yang mengakibatkan akta otentik terdegradasi menjadi akta dibawah tangan, melainkan juga termasuk menentukan keabsahan perbuatan hukum dari pejabat umum yang membuat akta otentik itu sendiri termasuk perbuatan hukum notaris dalam membuat Akta PPJB. Karena suatu perbuatan hukum tanpa dilandasi dengan kewenangan yang sah akan mengakibatkan perbuatan hukum tersebut cacat hukum atau batal demi hukum. Dalam perspektif teoritis kewenangan notaris untuk membuat Akta PPJB adalah merupakan kewenangan atributif, karena bersumber dari undang-undang. Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, sehingga perbuatan hukum dalam membuat Akta PPJB tersebut bersifat sah. Suatu perbuatan hukum yang cacat hukum jika perbuatan tersebut dilakukan tanpa wewenang/alas hak yang jelas
adalah cacat wewenang. Cacat wewenang
mengakibatkan suatu perbuatan
menjadi batal demi hukum (van rechtswege
nietig).119
119
Ibid.
142 Menurut Husni Thamrin yang mengutip pendapat Philipus M.Hadjon perihal kewenangan dapat dilihat pada konstitusi negara yang memberikan legitimasi kepada badan atau pejabat publik dan lembaga negara dalam menjalankan fungsinya. Suatu kewenagan dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan atribusi lazim digariskan melalui pembagian kekuasaan negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, sedang delegasi dan manda merupakan suatu kewenagan yang berasal dari pelimpahan.120 Pasal 1 angka 1 UUJN menyatakan bahwa: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undangundang lainnya”. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa notaris sebagai pejabat umum diberikan kewenangan untuk menjalankan sebagian tugas negara dalam melayani masyarakat umum dalam bidang hukum perdata khususnya dalam perbuatan alat bukti otentik yang diakui oleh negara. Notaris sebagai pejabat umum diangkat dan diberhentikan oleh negara dan diberikan wewenang berdasarkan undang-undang untuk melayani masyarakat dalam bidang hukum tertentu. Untuk menjamin legalitas dan keabsahan dari pelaksanaan kewenangan notaris diperlukan dasar hukum yang menjadi landasan sumber kewenangan tersebut. Wewenang notaris dalam membuat akta PPJB di dasarkan pada kewenangan atributif, karena bersumber pada UUJN, khususnya Pasal 15 ayat (2) huruf f Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai
120
Husni Thamrin, op.cit, hal. 101.
143 semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang berkaitan dengan pertanahan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Adapun kewenangan notaris yang diatur dalam Pasal 15 UUJN adalah sebagai berikut: 1)
2)
(4)
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat akta risalah lelang Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, meskipun dalam praktek, Akta Jual Beli yang dibuat berdasar pada Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak mengacu kepada UUJN tidak dapat dijadikan dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan, akan tetapi secara yuridis-teoritis Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang dibuat oleh notaris termasuk perbuatan hukum para pihak yang
144 terkandung didalamnya mempunyai akibat hukum yang sempurna serta memiliki kekuatan hukum mengikat dan sah secara hukum, baik dari sisi keabsahan perbuatan hukum para pihak yang menjadi pihak dalam Akta PPJB maupun keabsahan kewenangan notaris sebagai pejabat umum yang membuat Akta PPJB tersebut, oleh karena pihak BPN terikat dan wajib mendaftarkannya.
4.4
Tinjauan Komprehensif Peralihan hak atas tanah adalah pindahnya hak atas tanah dari satu pihak
kepada pihak lain baik karena adanya perbuatan hukum yang disengaja maupun bukan karena perbuatan hukum yang disengaja. Peralihan hak atas tanah karena perbuatan hukum yang disengaja karena adanya perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain. Salah satu cara atau bentuk perbuatan hukum yang melahirkan peralihan hak atas tanah adalah melalui perbuatan hukum jual beli. Dalam rangka menjamin kepastian hukum yang merupakan tujuan hukum dalam bidang hukum pertanahan, setiap peralihan hak atas tanah termasuk peralihan hak atas tanah melalui jual beli wajib di daftarkan di Kantor Pertanahan dengan menggunakan Akta PPAT. Salah satu Akta PPAT yang dimaksud adalah Akta Jual Beli untuk perbuatan hukum peralihan hak atas tanah melalui jual beli. Kewajiban melakukan pendaftaran tanah tersebut ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (1) PP No.24/Thn 1997 yang menentukan bahwa dalam rangka pendaftaran tanah,
145 setiap peralihan hak baik dalam bentuk penyerahan berupa jual beli, hibah ataupun tukar menukar wajib di buat dalam bentuk Akta PPAT. Dalam praktik Ke-PPAT-an, Akta Jual Beli
yang dijadikan dasar
pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan yang dibuat di hadapan PPAT dapat berdasar pada sebuah Akta PPJB yang diikuti dengan Akta Kuasa Menjual yang dibuat oleh notaris sebagai suatu perjanjian pendahuluan (factuum de contrahendo).
Namun demikian terdapat perbedaan pengaturan mengenai
syarat kecakapan bertindak antara UUJN yang merupakan dasar hukum dibuatnya Akta PPJB oleh notaris, dimana syarat dewasa penghadap adalah 18 tahun sedangkan SK Mendagri No.Dpt.7/539/7.77 yang merupakan dasar hukum dibuatnya Akta Jual Beli yang akan dijadikan dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah mensyaratkan 21 tahun untuk golongan penduduk non pribumi dan 19 atau 20 tahun untuk golongan penduduk pribumi, akibatnya Akta Jual Beli tersebut tidak dapat didaftarkan di Kantor Pertanahan. Terkait dengan akibat hukum dalam hubungannya perbuatan hukum para pihak dalam Akta PPJB terkait dengan syarat kecakapan bertindak adalah sah menurut hukum. Karena secara normatif syarat kecakapan bertindak yang merupakan salah satu sahnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat oleh para pihak dihadapan notaris wajib dibuat dengan mengacu kepada ketentuan kecakapan bertindak yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UUJN, sehingga secara normatif akibat hukum dari perbuatan para pihak dalam membuat Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang dijadikan dasar dibuatnya Akta Jual Beli oleh PPAT adalah sah menurut hukum.
146 Selanjutnya, akibat hukum dalam hubungannya dengan Akta PPJB yang dijadikan dasar oleh PPAT dalam membuat Akta Jual Beli sebagai dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan adalah sah menurut hukum. Karena secara teoritis kewenangan notaris dalam membuat Akta PPJB dan Kuasa Menjual telah sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya yakni Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang berkaitan dengan pertanahan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik.
147 BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebagaimana telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan Akta PPJB dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada UUJN, secara yuridisteoritis dapat dijadikan dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan. Namun dalam praktiknya akan menemui hambatan karena Pejabat Pembuat Akta Tanah akan berpegang pada ketentuan undang-undang yang mengikat tentang pendaftaran tanah dalam hal ini UUPA, sementara itu UUPA tidak mengatur secara tegas tentang batas umur seseorang agar dapat dikatakan cakap bertindak dalam hukum. Sementara dalam praktik pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan ditentukan umur 21 tahun sebagai syarat untuk mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah. 2. Akta Jual Beli yang dibuat berdasarkan pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual yang kecakapan bertindak para pihaknya mengacu kepada UUJN secara yuridis-teoritis sah menurut hukum. Secara yuridis, pembuatan akta PPJB yang menjadi dasar dibuatnya Akta Jual beli memenuhi syarat materiil dan syarat formal pembuatan akta notaris yang diatur dalam UUJN sesuai dengan untuk kewenangan notaris untuk membuat Akta PPJB atas dasar Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN.
148 5.2 Saran Berdasarkan pembahasan sebagaimana telah diuraikan diatas, maka saran yang dapat diberikan adalah adalah sebagai berikut: 1. Kepada notaris disarankan bahwa dalam hal membuat perjanjian yang berupa perbuatan hukum peralihan hak atas tanah agar mempertimbangkan ketentuan dalam UUPA agar produk hukum yang dihasilkan dalam konteks pendaftaran tanah dapat dijadikan dasar pendaftaran peralihan hak atas tanah. Selain itu dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketentuan yang mengatur mengenai kecakapan bertindak dalam UUJN khususnya Pasal 39 ayat (1), sebaiknya diubah dengan memberikan penegasan bahwa jika akta notaris dibuat untuk perjanjian yang berupa perbuatan hukum peralihan hak atas tanah harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Kepada pembentuk undang-undang disarankan untuk melakukan perubahan terhadap UUPA khususnya terkait dengan kecakapan bertindak agar sejalan dengan ketentuan kecakapan bertindak yang diatur dalam UUJN, sehingga ada harmonisasi antara UUJN dengan UUPA.
149 DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Adji, Habib, 2009, Menoropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30.Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Cet.II, Rafika Aditama, Bandung. _______, 2009, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cet.II, Rafika Aditama, Bandung. _______, 2011, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, Cet.I, Rafika Aditama, Bandung. Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia; Prespektif Hukum dan Etika, Cet.II, UII Press, Yogyakarta. Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Yogyakarta. Asshiddiqie, Jimly dan Ali, M. Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi. Badrulzaman, Mariam Darus et.al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung. Bertens, K,1997, Etika, cetakan ke 3, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Budiono, Herlien, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas‐Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti. _______, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung. Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Burhan, Ashofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
150 Cahyadi, Antonius dan E Fernando M.Maullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Kansil, CST., 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Darmodihardjo, Darji, dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Di Indonesia, Cet.VI, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dijk, Van, 1989, Pengantar Hukum Adat Indonesia, terjemahan oleh A .Soehadi, Sumur, Bandung. Efendi, Masyhur, 1994, Dimensi / Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta. Fajar, Mukti dan Achmad, Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Cet.I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Furmston, Michael, 2007, Law Of Contract, Oxford University, Great Clarendon, New York. Golding, M.P, The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia University, Random House, New York. Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaanya, Cet.XII, Djambatan, Jakarta. Indrati, Farida Maria, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1, Kanisius, Yogyakarta Indroharto, 1994, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti , Bandung. Ibrahim, Johnny, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet.I, Bayumedia, Surabaya. Hadjon, M, Philipus, Tentang Wewenang, Universitas Airlangga, Surabaya. Hadjon, M, Philipus, dkk, 1998, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative LAW), Cet.I, Hadjah Mada University Press, Yogyakarta Hadikusuma, Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
151 _______,2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet.III, Mandar Maju, Bandung. Kantaprawira, Rusadi, 1998, Hukum dan Kekuasaan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, Cet.I, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Macdonald, Ros & McGrill, Denise, 2008, Drafting Second Edition LexixNexis Butterworths, Australia Mahkamah Agung RI, 1999, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969-1997. Meliala, S, Djaja, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Edisi Revisi, Nuansa Aulia, Bandung. _______, 2007, Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Nuansa Aulia, Bandung. Massier, A.B, 2000, Handelsrecht, KITLV Uitgeverij, Leiden. Mertokusumo, Sudikno, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi VI Cet.I, Liberty Yogyakarta. _______, 1988, Materi Pokok Hukum dan Politik Agraria, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Terbuka. Mochammad Dja’is dan RMJ Koosmargono, 2008, Memahami dan Mengerti HIR, Badan Penerbit UNDIP, Semarang. Muhamad, Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Jakarta. Muhamad, Abdulkadir, 1982, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 1994, Hukum Harta Kekayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Cet.III, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
152 Muljadi, Kartini & Widjaja, Gunawan, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cet.V, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Mulyosudarmo, Suwoto, 1990, Kekuasaan dan Tanggungjawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga, Surabaya. Mustofa, 2010, Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT, KaryaMedia, Yogyakarta. Mustafa, Bachsan, 1985, Hukum Agraria Dalam Perspektif, Cet.II. Remadja Karya, Bandung Mustafa, Bacshan dkk, 1982, Azas-Azas Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Edisi Pertama, Armico, Bandung. Otje, H.R.Salman., 2010, Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika Masalah, Cet.II, Rafika Aditama, Bandung. Parlindungan, A.P, 1984, Serba Serbi Hukum Agraria, Alumni, Bandung. _______, 1990, Pedoman Pelaksanaan UUPA Dan Tata Cara Pejabatan Pembuat Akta Tanah, Cet.VI, Alumni, Bandung. _______, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung. _______, 2008, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Cet.X, Alumni, Bandung. Perangin, Effendi, 1990, Praktek Jual Beli Tanah, Cet.II, Rajawali Pers, Jakarta. _______, 2010, Hukum Waris, Rajawali Pers, Jakarta Peter, Marzuki Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Cet.III, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Pittlo, A, 1979, Pembuktian dan Daluarsa, Terjemahan M. Isa Arif, Intermasa, Jakarta. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu,Cet. VIII, Sumur, Bandung, 1985. Purnamasari, Irma, Devita, 2010, Hukum Pertanahan, Kaifa, Bandung. Raharjo, Handri, 2009, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
153 Rasjidi, H.Lili, dan Ira, Rasjidi Thania, 2004, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Cet. IX, Citra Aditya Bakti, Bandung. R.H.Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Santoso, Urip, 2011, Pendaftaran Tanah Dan Pengalihan Hak Atas Tanah, Cet.II, Prenada Media Group, Jakarta. Setiardja, Gunawan, 1990, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta. Setiawan, Yudi, 2010, Hukum Pertanahan Teori Praktik, Cet.I, Bayumedia Publishing, Malang. Sjaifurrahman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Cet.I, Mandar Maju, Bandung. Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Soerjono, Soekanto dan Sri, Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Cet.I, Arkola Surabaya, Surabaya. Subekti, R, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXXII, Intermasa, Jakarta. _______, 1995, Aneka Perjanjian, Cet.X, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 1991, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Cet.IV, Alumni, Bandung. _______, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. _______, 2005, Hukum Pembuktian, Cet.XV, Pradnya Paramita, Jakarta. Subekti, R. dan Tjitrosudibio, R, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sutedi, Adrian, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Cet.III, Jakarta, Sinar Grafika. Sumardjono, S.W. Maria, 2009, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implikasi, Cet. VI, Kompas Media Nusantara, Jakarta.
154 Suherman, Ade Maman dan Satrio, J, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Berdasarkan Batasan Umur), Cet.I, Nasional Legal Reform Program, Jakarta. Suherman, E, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung. Syarifudin, Ateng, 2000, Jurnal Menuju Penyelenggaraan Pemerintah Negara yang Bersih dan Bertanggungjawab, Universitas Parahyangan, Bandung. Vasu, Sucitthra, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, Singapore. Widjaja, Gunawan dan Kartini Widjaja, 2007, Jual-Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2. Kamus Black, Campbell Henry, 2009, Black’S Law Dictionary, Ninth Edition, West Publishing. Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.III, Balai Pustaka, Jakarta. 3. Arikel Dan Majalah Herlien Budiono, 2004, Artikel “Pengikatan Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Majalah Renvoi, Nomor10, Edisi Tahun I, Maret 2004. Ismiati Dwi Rahayu, 2006, “Peralihan Hak Atas Tanah” Majalah Renvoi, Nomor 5/42, Tahun IV, Novermber 2006. 4. Karya Yang Tidak Diterbitkan Ningrum Puji Lestari, 2008, “Kecakapan Bertindak Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris” Tesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Dadan Muttaqien, 1997, “Penentuan Kecakapan Melakukan Perbuatan Hukum Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif (Bidang Perkawinan dan Perjanjian)” Tesis, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
155 Buang Affandi, 2008, “Akibat Hukum Terhadap Pembatalan Akta Pengikatan Jual Beli Tanah Di Jakarta Selatan” Tesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. 5. Internet www.ptun.palembang.go.id/upload_data/PMH.html, Diakses pada tanggal 12 Desember 2013. 6. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),2006, Cet.37 DiIndonesiakan oleh R.Subekti dan Tjitrosudibio, 2006, Cet.37, Pradnya Paramita, Jakarta. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (Diundangkan pada tanggal 10 November 2011 dan dimuat dalam LN.RI Tahun 2011 Nomor 108 serta TLN-RI Nomor 5214). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696). Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746).
156 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), Nomor Dpt.7/539/7-77. Tentang Dewasa Hukum (berlaku Tanggal 13-17-1977).