BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah kolonial antara 1870-1900 merupakan masa liberal. Pada masa ini pemerintah kolonial melepaskan peranan ekonomi dan menyerahkan eksploitasinya kepada modal swasta. Pemberlakuan Undang-Undang Agraria tahun 1870 1 adalah dasar bagi pembukaan lahan swasta secara besar-besaran di kawasan strategis Pesisir Timur Sumatera. Hutan-hutan belantara di daerah Sumatera dibuka untuk dijadikan daerah penanaman tanaman komersial yang ditujukan untuk komoditi ekspor di pasaran dunia seperti tembakau, karet, sawit, teh, dan rami. 2 Pada tahun 1869, Jacobus Nienhuys bersama C.G. Clemen mendirikan perusahaan Deli Maatschappij dengan mendapat izin kontrak sewa tanah seluas 25.000 ha. Selama 20 tahun, antara tahun 1870-1890, merupakan tahun-tahun paling produktif bagi perkebunan tembakau di Sumatera Timur. 3 Pembukaan lahan perkebunan yang dilakukan secara besar-besaran membutuhkan modal, lahan, dan tenaga kerja yang tidak sedikit jumlahnya. Kebutuhan tenaga kerja dapat dipenuhi dengan cara
1
Undang-undang Agraria Tahun 1870 menetapkan peraturan tata-guna tanah. Dengan diberlakukannya Undang-undang Agraria, suatu alat produksi pokok yaitu tanah diliberalisasikan, maka terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk membuka perusahaan perkebunan. 2 T. Keizerina Devi, Poenale Sanctie Studi Tentang Globalisai dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur(1870-1950), Medan: Program Pasca Sarjana USU, 2004, hlm. 9. 3 Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agrariadi Sumatera Timur, 1863-1947, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 52.
1
Universitas Sumatera Utara
mendatangkan kuli dari Semenanjung Malaya (Penang dan Singapura) 4 dan Pulau Jawa. Mereka akan dipekerjakan pada perusahaan-perusahaan yang berada di perkebunan Sumatera Timur. Banyaknya kuli yang didatangkan menimbulkan banyak masalah karena proses kedatangan mereka dilakukan dengan cara penipuan dan pemaksaan. 5 Para kuli yang didatangkan dari Singapura semuanya adalah laki-laki, sedangkan para kuli Jawa terdiri dari laki-laki dan hanya sedikit perempuan. Hal ini disebabkan adanya larangan kuli membawa istri serta anak-anaknya, dan calon kuli yang sudah menikah biasanya akan ditolak.6 Pada awal tahun 1900 tenaga kerja di perkebunan Deli berjumlah 55.000 orang dan hanya terdapat 10-20% tenaga kerja wanita. Menjelang tahun 1912 dari 100.000 kuli Cina hampir 93.000 orang adalah laki-laki. Melihat perbandingan yang sangat timpang tersebut, kaum perempuan yang datang merupakan sumber daya langka dan sering kali menjadi titik konflik antara kuli Cina dan Jawa. Tidak jarang juga terjadi serangan-serangan terhadap administrator Eropa yang dilakukan oleh para kuli karena adanya penyalahgunaan kekuasaan administrator terhadap kuli perempuan yang sudah bersuami orang pribumi.7
4 Kuli yang didatangkan dari Singapura merupakan kuli – kuli yang berasal dari Cina. Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli, Politik, Kolonial pada Awal Abad ke-20, Jakarta: Pusaka Utama Grafiti, 1997, hlm. 96. 5 Ibid., hlm. 23. 6 Kuli perempuan yang didatangkan dari Jawa, memang sengaja didatangkan dalam kondisi belum menikah. Mereka ditipu akan dipekerjakan sebagai kuli dengan penghasilan yang cukup tinggi. Tetapi sebenarnya, mereka akan dipekerjakan sebagai pelacur dalam upaya mempertahankan kontrak kuli lakilaki. Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979, Yogyakarta: Karsa, 1995, hlm. 48. 7 Dalam hal ini kuli peremuan yang sudah bersuami, akan dijadikan sebagai istri simpanan oleh administrator. Untuk tipe pelacur yang seperti ini, pekerjaannya merangkap sebagai ART (Asisten
2
Universitas Sumatera Utara
Seringkali seorang kuli perempuan dipanggil oleh seorang administrator di tengah jam kerjanya untuk kemudian “memisahkan diri” dari kuli lain dan pergi bersamanya. Para kuli perempuan yang rata-rata berusia muda kebanyakan berasal dari Jawa. Mereka tidak secara terang-terangan dipaksa untuk melacurkan diri dan hanya diberi sedikit pilihan selain berbuat demikian. Tugas mereka melayani kebutuhan seksual dan pelayanan rumah tangga umum untuk para kuli laki-laki. Para kuli perempuan selain mendapat diskriminasi upah8, juga mendapat pelecehan seksual baik dari kalangan para kuli laki-laki maupun dari Administrator Eropa.9 Para kuli perempuan yang telah menikah dan dinilai masih cantik dipaksa menjadi gundik/nyai10 administrator bangsa Eropa. Pada masa itu perempuan pribumi dijadikan komoditas dalam tangan lelaki kulit putih. Mereka tidak punya pilihan lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya kecuali dengan menjadi pelacur, dan bersedia
Tumah Tangga / istilah sekarang atau lebih dikenal sebagai pembantu). Pekerjaannya berupa beres-beres rumah seorang administrator dan melayani kebutuhan seksualnya. Kuli perempuan tersebut akan dipisahkan selama 6 tahun dengan suaminya, dan setelahnya diperbolehkan untuk bertemu kembali. Ibid., hlm. 48-49. Lihat juga Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, Particularly In The Colonies, Amsterdam: Amarpress, tanpa tahun terbit. hlm. 207 8 Upah yang diterima kuli perempuan jauh lebih sedikit dari pada upah yang diterima oleh kuli lakilaki. Upah kuli perempuan hanya sebesar ƒ2.5 sedangkan kuli laki-laki menerima upah sesuai dengan berat yang dikerjakan (rata–rata upah yang diterima sebesar ƒ5 perbulan). Upah tersebut belum termasuk potongan yang dilakukan oleh pihak perkebunan. Kuli harus membiayai sendiri alat berladangnya (termasuk pergantian alat), papan berita di ruang tidur, sampai buku kecil untuk mencatat upah kuli juga ditanggung sendiri oleh kuli. Dan dapat dirata-ratakan pemotongan sekitar ƒ1.8. Jan Breman, Op. Cit., hlm. 112-113 9 T. Keizerina Devi, op. cit., hlm. 108. 10 Menurut KBBI, gundik merupakan istri tidak resmi; selir; perempuan piaraan (istri gelap). Sedangkan Nyai istilah yang diambil dari bahasa sunda yang berarti perempuan piaraan orang asing. Akan tetapi, dalam istilah Jawa, Nyai berarti istri dari Ulama atau Cendikiawan Agama. Dalam hal ini, isitilah yang dipakai merupakan istilah Sunda. Meski kuli yang didatangkan dari Jawa, namun kuli perempuan tersebut banyak didatangkan dari Jawa Barat yang kebanyakan merupakan orang Sunda sehingga istilah Nyai-Nyai terbawa ke Sumatera Timur / Deli. Lihat juga Liesbeth Hesselink, Prostitutuin and Gambling in Deli, Amsterdam: Amarpress, 1997, hlm : 97.
3
Universitas Sumatera Utara
melayani kuli laki-laki yang berjumlah besar terutama di barak barak kuli Cina 11 . Selain itu kuli perempuan merupakan bagian dari umpan yang digunakan untuk memikat kuli laki-laki ke Deli. Mereka dipekerjakan sebagai pelipur lara para kuli lakilaki dan sebagai pengikat kontrak kuli di sana.12 Kondisi seperti ini sengaja diciptakan agar perempuan tetap tersedia dan dapat memberikan pelayanan seksual. Kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh kuli perempuan menyebabkan tingginya jumlah penderita penyakit sipilis. Seorang manajer di Deli Maatscapij mengeluh bahwa dari 60 orang kuli perempuan dan sebanyak 35 orang dimasukkan ke rumah sakit karena sipilis.13 Dampak dari eksploitasi terselubung yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan terhadap para kuli, khususnya kuli perempuan adalah menyebarnya penyakit kelamin dan anak-anak yang lahir diluar nikah. Selain itu juga menyebabkan terjadinya pergundikan. Berdasarkan uraian diatas, maka skripsi ini berjudul “Pelacuran 14 Pada Wilayah Perkebunan di Deli Tahun 1870-1930”. Setiap orang pasti memiliki hasrat
11
Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, Jakarta: Yayasan Obor, 2007, hlm.
47. 12 Disetiap waktu penerimaan gaji, pengusaha – pengusaha perkebunan membuat acara hiburan, perjudian, dan pelacuran. Dalam waktu gajian kecil (setiap dua pekan sekali), akan diadakan hiburan dan perjudian yang didalamnya ditawarkan candu dengan harga yang cukup tinggi. Sedangkan dalam dua bulan sekali akan ada acara yang didalamnya terdapat pelacuran. Hal ini bertujuan agar kuli – kuli tetap dalam keadaan berhutang dan tidak dapat melepaskan diri dari kontrak kerjanya. Ibid., hlm. 51. 13 Ann Laura Stoler, op. cit., hlm. 50. 14 Kata pelacuran dipilih sebagai judul, dikarenakan penulis berusaha menjelaskan bahwa ada dua tipe pelacuran yang terjadi yaitu, pelacuran dan pergundikan. Menurut penulis, gundik/nyai juga merupakan pelacur. Hal ini berdasarkan dari data yang diperoleh penulis yang menjelaskan bahwa, adanya kesamaan kondisi yang dialami oleh pelacur dan gundik. Dikatakan pelacur karena seorang perempuan tersebut menjual diri kepada seorang laki-laki yang ingin memenuhi kebutuhan seksualnya dan sering berganti pasangan. Begitu pula yang terjadi pada gundik. Mereka juga bekerja sebagai pemuas
4
Universitas Sumatera Utara
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, dan yang terjadi saat itu adalah minimnya kuli perempuan di Deli, sehingga menjadikan kuli laki-laki mendominasi pekerja perkebunan, mulai dari tingkat atas sebagai administrator sampai dengan tingkat bawah sebagai kuli. Kuli perempuan pada masa tersebut jarang menjadi pembahasan spesifik baik dalam buku-buku ataupun dalam pembelajaran / perkuliahan. Ternyata, kondisi sosial yang memaksa kuli perempuan menjadi pelacur pada waktu itu, juga cukup berdampak dalam kehidupan kuli dan perusahaan perkebunan di Deli. Aspek spasial dan ruang lingkup dari skripsi ini adalah pada masa kolonial pada tahun 1870 sampai dengan tahun 1930 di wilayah perkebunan Deli. Penulis tertarik mengkaji pada rentang waktu tersebut diakibatkan praktek pelacuran yang terjadi pada rentang waktu tersebut berada dalam ruang lingkup perkebunan dan sementara itu, perkebunan terbanyak diwilayah Sumatera Timur adalah wilayah Deli dan praktek pelacuran di perkebunan tersebut bisa dikatakan berpola yang sama. Juga diketahui bahwa, setelah dikeluarkannya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870, memicu banyaknya investor yang datang ke Sumatera Timur Untuk mendirikan perkebunan. Sehingga setelah tahun 1870 sudah banyak perkebunan yang terdapat di Sumatera Timur dan khususnya pada wilayah Deli.15 Pada masa ini industri tembakau, karet, sawit, dan barang komoditi ekspor lainnya mengalami perkembangan pesat sehingga
kebutuhan seksual administratur dan seorang administratur juga sering berganti gundik layaknya seorang pria berganti pasangan melacurnya, dijelaskan juga bahwa seorang administratur dapat berganti gundik sebanyak 17 kali dalam setahun. Sehingga, penulis berusaha berada pada posisi netral saat menuliskan skripsi. 15 Karl J. Pelzer, op. cit., hlm. 95.
5
Universitas Sumatera Utara
memicu pengadaan lahan seluas-luasnya dan perekrutan tenaga kerja sebanyakbanyaknya. Tenaga kerja didatangkan dari berbagai daerah seperti dari Penang dan Jawa. Demikian juga kuli perempuan, sekitar tahun 1875 mereka didatangkan dari Pulau Jawa bersamaan dengan kedatangan para kuli laki-laki.16 Tahun 1930 dipilih sebagai akhir periode penulisan skripsi ini, karena pada tahun tersebut mulai berkurangnya kegiatan prostitusi dan pergundikan di Deli. Hal ini ditandai dengan adanya ketentuan penghapusan larangan menikah untuk orang Eropa yang akan bekerja sebagai pegawai di perkebunan. Ketentuan lain adalah perusahaan perkebunan menganjurkan untuk membentuk keluarga, baik bagi pegawai Eropa maupun pegawai Pribumi. 17 Ketentuan tersebut memberikan andil besar terhadap berkurangnya kegiatan prostitusi dan pergundikan di perkebunan tembakau Deli.18 1.2 Rumusan Masalah Dalam melakukan suatu penelitian, rumusan masalah menjadi landasan yang sangat penting dari sebuah penelitian karena akan memudahkan penulis dalam proses pengumpulan data dan analisis data. Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini mencoba mengkaji permasalahan yang terjadi pada kuli yaitu
16
Jan Breman, op.cit., hlm. 59 . Pada tahun 1919 Deli Maatschappij melakukan penghapusan terhadap ketentuan larangan pernikahan bagi para pegawainya. Sebenarnya pada tahun 1912 sudah mulai dihapuskan ketentuan pernikahan di dalam kontrak kerja orang Eropa. Peraturan tersebut memberikan andil besar terhadap berkurangnya pergundikan di Deli pada tahun 1920-1930. Ann Laura Stoler, op. cit. hlm. 156. 18 Ibid., hlm. 158. 17
6
Universitas Sumatera Utara
pelacuran yang terjadi pada kuli perempuan di Deli. Penjabaran permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini akan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan utama sebagai berikut: 1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya pelacuran pada wilayah perkebunan di Deli pada tahun 1870-1930? 2. Apa saja bentuk pelacuran yang terjadi pada wilayah perkebunan di Deli pada tahun 1870-1930? 3. Bagaimana dampak pelacuran pada wilayah perkebunan di Deli pada tahun 1870-1930? 4. Bagaimana upaya penanganan pelacuran dan penyakit kelamin pada wilayah perkebunan di Deli pada tahun 1870-1930?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian merupakan suatu cara untuk menjawab masalah yang kita rumuskan. Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang penting tentunya, bukan hanya bagi penulis tetapi juga bagi masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengeahui penyebab terjadinya pelacuran pada wilayah perkebunan di Deli pada tahun 1870-1930. 2. Mengetahui bentuk pelacuran yang terjadi pada wilayah perkebunan di Deli pada tahun 1870-1930. 7
Universitas Sumatera Utara
3. Mengetahui dampak pelacuran pada wilayah perkebunan di Deli pada tahun 1873-1930. 4. Mengetahui penanganan pelacuran dan penyakit kelamin pada wilayah perkebunan di Deli pada tahun 1873-1930. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi disiplin Ilmu Sejarah, dapat menambah referensi dan khasanah penelitian bahwa nafsu / birahi manusia juga dapat menjadi satu kekuatan dalam sejarah. 2. Bagi Masyarakat, penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pelacuran dan dampaknya terhadap kehidupan, yang harapannya terdapat suatu pelajaran yang dapat diambil didalamnya. 3. Aspek praktis yang mungkin diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat dijadikan masukan sebagai sarana informasi bagi penelitian berikutnya yang akan meneliti tentang pelacuran atau kuli wanita di Sumatera Timur. 1.4 Tinjauan Pustaka Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli, Politik, Kolonial pada Awal Abad ke20.(1997). Relevansi buku Jan Breman dengan penelitian ini adalah mengupas tentang eksploitasi buruh di perkebunan Sumatera Timur, terutama pada bab V berjudul Masyarakat Perkebunan dan Orde kolonial. Bab tersebut membahas tentang minimnya 8
Universitas Sumatera Utara
jumlah kuli perempuan pada tahun 1884 hanya berjumlah 148 orang, sedangkan jumlah kuli laki-laki berjumlah 540 orang. Hal ini berarti empat berbanding satu. Beberapa di antara kuli perempuan ada yang hidup tanpa nikah dengan kuli laki-laki. Adanya asisten atau staf Eropa yang menjalin hubungan dengan perempuan Jawa yang sudah bersuami bumiputera sehingga menyebabkan terjadinya serangan terhadap staf Eropa oleh kuli laki-laki. Dalam buku Karl J. Pelzer yang berjudul Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria,(1997) terdapatnya informasi pada bab III dan IV, tentang awal mula dibukanya perkebunan di Sumatera Timur secara besar-besaran sejak kedatangan Jacobus Nienhuys. Relevansi buku dengan skripsi ini adalah penjelasan tentang pengusaha perkebunan di Sumatera Timur mengalami kesulitan dalam menangani kuli. Pertama, banyaknya kuli yang didatangkan dari seberang lautan melarikan diri. Kedua, terjadinya penyerangan terhadap anggota-anggota staf perkebunan oleh para kuli perkebunan. Penyerangan dilakukan oleh para kuli yang merasa dendam karena mereka sering mendapat perlakuan kejam dari para asisten seperti adanya perkataan kasar dan penyiksaan fisik. Ann Laura Stoler menulis buku yang berjudul Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979 (1995) yang membahas tentang konflikkonflik yang terjadi di Sumatera, khususnya Sumatera Timur. Pada tahun 1870 Sumatera Timur merupakan jantung perkebunan kolonial. Buku tersebut menjelaskan strategistrategi pengendalian (kontrol) buruh yang diwarnai dengan masalah 9
Universitas Sumatera Utara
gender.Relevansi buku Stoler ini terutama pada bab II yang membahas tentang eksploitasi terhadap kuli kontrak. Pada bab II membahas tentang Perempuan dan Kontrol (pengendalian) Perburuhan. Stoler juga membahas tentang upah kuli perempuan pada tahun 1894 hanya separuh dari upah kuli laki-laki. Pada tahun 1912 jumlah kuli di perkebunan 100.000 orang dan jumlah kuli laki-laki 93.000 orang. Hal ini berarti jumlah kuli perempuan sebanyak 7.000 orang. Stoler juga membahas tentang meluasnya prostitusi dan penyakit kelamin di kalangan masyarakat perkebunan. Para kuli perempuan tidak mempunyai tempat tinggal atau barak sehingga mereka tidur di barak laki-laki. Buku karya T. Keizerina Devi yang berjudul Poenale Sanctie Studi Tentang Globalisai dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950)(2007). Relevansi buku ini, terutama pada bab I dan II yang membahas tentang hukum terapan dalam perkebunan di Sumatera Timur yang kemudian menimbulkan permasalahan dalam kehidupan kuli atau pun kuli pekerbunan. Sejak lahirnya undang-undang agrarian pada 1870 yang menjadi pemicu kedatangan investor asing ke Sumatera Timur dan kebutuhan perkebunan akan pekerja. Buku ini juga menjelaskan masyarakat lokal tidak mendukung usaha perkebunan dan tidak ingin dijadikan sebagai buruh. Tentunya hal ini menyebabkan perusahaan-perusahaan asing tersebut mendatangkan kuli asal Cina, India, dan Jawa. Setelah kedatangan kuli tersebut lah yang nantinya menimbulkan permasalahan kuli seperti yang telah dijelaskan pada buku sebelumnya dan latar belakang masalah diatas. 10
Universitas Sumatera Utara
Buku Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007) menjelaskan tentang kehidupan kuli perempuan yang usianya masih muda dan “cantik” dipaksa menjadi gundik administrator bangsa Eropa pada bab II dan IV. Pada masa itu perempuan Asia di Hindia dijadikan komoditas dalam tangan lelaki kulit putih. Dilain sisi, buku ini sangat relevan karena menjelaskan kehidupan ekonomi kuli perempuan bahwa para kuli perempuan tersebut tidak punya pilihan lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya kecuali dengan menjadi pelacur. Dalam penjelasan yang juga terdapat dalam buku ini, bahwa kuli perempuan menerima 2.20 dollar perbulan untuk segala keperluan hidupnya, seperti makan, minum, sabun, dan pakaian yang tentunya hal ini dirasa sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup pada masa itu. Buku ini juga menjelaskan bahwa pelacuran juga sengaja dibuat untuk dapat mempertahankan kuli laki-laki dalam perkebunan tersebut. Mahalnya biaya pelacuran menjadikan para kuli laki-laki memilih mengutang ke pemilik perusahaan perkebunan dan terpaksa harus memperpanjang kontrak mereka. Liesbeth Hesselink, Prostitutuin: A Necessary Evil, Particularly In The Colonies, Amsterdam: Amarpress, 1992. Buku ini mnggambarkan kegiatan prostitusi yang terjadi pada masa kolonial di Hindia-Belanda. Buku ini, juga banyak menjelaskan prostitusi dan tekanan terhadap kuli perempuan pada wilayah perkebunan yang ada di Sumatera Timur. Buku ini menjelaskan bahwa proses pelacuran yang dilakukan cenderung berpola yang sama, yaitu dengan tujuan mempertahankan kontrak kuli laki-
11
Universitas Sumatera Utara
laki. Selain itu, buku ini juga bercerita tentang legalitas prostitusi yang dilakukan oleh pihak perkebunan.
1.5 Metode Penelitian Setiap penelitian diwajibkan menggunakan metode, terutama metode penelitian. Metode penelitian adalah suatu cara atau aturan yang sistematis yang digunakan sebagai proses untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip untuk mencari kebenaran dari sebuah permasalahan. Dalam menulis peristiwa sejarah pada masa lampau yang direalisasikan dalam bentuk penelitian sejarah (historiografi), tentu harus menggunakan metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan jejak-jejak peninggalan sejarah. Dalam penerapannya, metode sejarah menggunakan empat tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.19 Tahap pertama adalah heuristik merupakan proses mengumpulkan dan menemukan sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Metode yang dilakukan dalam heuristik adalah studi pustaka dan studi arsip. Dalam upaya awal penelusuran, penulis melakukan studi pustaka di perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Penulis menemukan buku karya Jan Breman yang berjudul Menjinakkan Sang Kuli dan buku Tineke Hellwig dengan judul Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Dalam bibliografi (daftar sumber) di buku tersebut terdapat banyak
19
Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985, hal. 39.
12
Universitas Sumatera Utara
sumber-sumber lain yang dapat memudahkan penulis dalam menelusuri sumbersumber berikutnya. Studi pustaka berikutnya dilakukan dengan pencarian skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan lainnya. Dalam melaksanakan tahap ini penulis mengunjungi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Taman Baca Masyarakat Tengku Luckman Sinar, dan Perpustakaan Daerah Sumatera Utara. Dalam studi pustaka ini, penulis menemukan banyak sumber sekunder yang dapat dijadikan sebagai referensi penulisan skripsi ini. Penelusuran berikutnya, penulis melakukan studi arsip. Studi arsip dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah sumber-sumber primer berupa arsip atau bentuk laporan-laporan seperti laporan perjalanan, laporan penelitian dan laporan instansi Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam pengumpulan arsip-arsip tentang penelitian ini, penulis mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Arsip Daerah Sumatera Utara. Akan tetapi,, penulis hanya menemukan arsip AVROS 1892-1985 No. 358, Verslag van het Pathologisch Laboratorium Medan-Deli (Sumatra’s Oostkust) over de Jaren 1907-1921, yang berisi tentang pembentukan laboratotium dalam upaya penanganan kesehatan kuli dan termasuk didalamnya upaya penanganan penyakit kelamin, Brieven Gouvernement Secretaris/BGS, No. 418/A2 yang berisi tentang gambaran kehidupan kuli, Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1880 No. 133 mengenai peraturan Koelie Ordonnantie, serta surat kabar Deli Courant yang diterbtkan pada 17 Maret 1924 yang didalamnya terdapat iklan obat penyakit sipilis yang disebabkan oleh pelacuran. 13
Universitas Sumatera Utara
Setelah sumber terkumpul, tahap selanjutnya adalah kritik sumber, baik secara intern dan ekstern. Kritik ekstern dilakukan untuk menguji sumber guna mengetahui otentisitas sumber. Dalam hal ini kritik menyangkut arsip atau dokumen dengan cara memilah apakah dokumen itu diperlukan atau tidak serta menganalisis apakah dokumen yang telah dikumpulkan asli atau tidak dengan mengamati tulisan, gaya bahasa, ejaan maupun jenis kertas yang digunakan. Kritik intern merupakan suatu langkah untuk menilai isi dari sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari sumber tersebut. Hal ini dikarenakan sebagian besar dokumen yang ditemukan masih dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Tahapan selanjutnya adalah interpretasi yaitu memuat analisis dan sintesis terhadap sumber yang telah dikritik dan diverifikasi. Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta, dan membandingkannya sehingga akan diperoleh data yang objektif untuk diceritakan kembali kedalam sebuah tulisan. Tahapan terakhir yaitu historiografi atau penulisan yang merupakan proses menceritakan rangkaian fakta sejarah secara kronologis dalam suatu bentuk tulisan yang kritis, analitis dan bersifat ilmiah. Penelitian tersebut akan dituangkan dalam bentuk skripsi yang sifatnya deskripsi-analitis, sehingga akan didapati sebuah gambaran yang cukup jelas mengenai pelacuran yang terjadi di wilayah perkebunan Deli tersebut, dan tentunya berpedoman pada outine yang telah dirancang sebelumnya.
14
Universitas Sumatera Utara