BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Sepanjang hidupnya manusia selalu dihadapkan pada kebutuhan hidup yang semakin kompleks. Manusia akan selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, untuk memenuhi semua kebutuhan hidup merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama untuk menyediakan dana demi mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia selalu dihadapkan pada beberapa permasalahan guna mencapai kebutuhan hidupnya. Apalagi, melihat kondisi ekonomi bangsa Indonesia dewasa ini yang sedang tidak stabil, karena dampak dari krisis global. Selain itu, dampak dari krisis global juga berakibat terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Adanya hal tersebut sudah tentu mengakibatkan bertambahnya daftar pengangguran di Indonesia, serta mempersempit peluang kerja bagi masyarakat. Salah satu alternatif yang diambil masyarakat guna mempertahankan hidup dan kondisi ekonominya, yaitu melalui jalur wirausaha. Karena wirausaha akan membuat masyarakat menjadi mandiri. Melalui wirausaha masyarakat akan mampu membuka peluang untuk dirinya sendiri dan selain itu juga menarik keuntungan dari
peluang yang tercipta tersebut. Bahkan lebih jauh, wirausaha dapat menciptakan peluang kerja bagi orang lain yang ada disekitar usaha tersebut. Itulah sebabnya pemerintah sangat menganjurkan bagi masyarakat untuk menjadi wirausahawan. Banyak cara untuk menjadi wirausahawan, antara lain mendirikan bisnis sendiri atau membeli sistem bisnis yang sudah jadi. Masing-masing pilihan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Mendirikan bisnis sendiri mempunyai kelebihan dalam hal pengaturan yang dapat disesuaikan dengan keinginan pemilik bisnis, sedangkan kekurangannya, sistem bisnis belum berjalan, pasar belum ada, sehingga sering terjadi bisnis yang baru dibangun akhirnya gagal. Membeli sistem bisnis yang sudah jadi mempunyai kelebihan bahwa sistem bisnis sudah tercipta dan siap pakai, pembeli bisnis tinggal menjalankan saja di sistem yang sudah ada itu. Relasi bisnis antara daerah yang satu ke daerah yang lain mempunyai aksebilitas yang mudah terjangkau bahkan antar negara sekalipun. Karena itu persaingan bisnis di era global ini diperlukan payung hukum untuk menaungi dan melindungi semua kalangan komunitas masyarakat baik masyarakat yang terjun langsung di dunia bisnis maupun masyarakat pada umumnya. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan rasa keadilan sosial dan adanya kepastian hukum di dalam kehidupan masyarakat luas, bukan semata-mata mencari keuntungan materi belaka (profit oriented) tetapi ada pertanggungjawaban terhadap dampak yang ditimbulkan dari operasional bisnis secara menyeluruh tersebut. Indonesia, seperti kebanyakan negara berkembang yang lain, berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Untuk itu
pengembangan pada sektor ekonomi menjadi tumpuan utama agar taraf hidup rakyat menjadi lebih mapan. Pembangunan ekonomi merupakan pengolahan kekuatan ekonomi riil dimana dapat dilakukan melalui penanaman modal, penggunaan teknologi dan kemampuan berorganisasi atau manajemen.1 Syahrin Naihasy mengatakan lebih lanjut bahwa sejak perekonomian dunia telah mengalami perubahan yang sangat dahsyat dan kini dunia, termasuk Indonesia, menyaksikan fase ekonomi global yang bergerak cepat dan telah membuka tabir lintas batas antar negara.2 Dapat dikatakan bahwa dunia usaha adalah sebagai tumpuan utama yang dipergunakan sebagai pilar dan dilaksanakan dengan berbagai macam cara yang sekiranya dapat memupuk perkembangannya dengan lebih optimal dan berdaya guna. Semangat kewirausahaan inilah yang senantiasa dimunculkan dalam kehidupan masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik dan mengatasi pengangguran di berbagai bidang. Wirausaha akan membuat masyarakat menjadi mandiri karena dalam wirausaha masyarakat akan mampu membuka peluang untuk dirinya sendiri dan menarik keuntungan dari peluang yang tercipta tersebut. Bahkan lebih jauh, wirausaha dapat menciptakan peluang kerja bagi orang lain yang ada di sekitar usaha tersebut. Wirausahawan pada umumnya membutuhkan orang-orang dengan berbagai jenis keahlian untuk membantu mereka agar bisnis yang mereka jalankan tetap menguntungkan dan selalu berkembang.3 1
2 3
Ridwan Khairandy, 2000, Perjanjian Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi, Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta bekerjasama dengan yayasan Klinik Haki Jakarta, Yogyakarta, hlm. 132. Syahrin Naihasy, 2005, Hukum Bisnis (Business Law), Mida Pustaka, Yogyakarta, hlm. 23-24. Ismail Solihin, 2006, Pengantar Bisnis Pengenalan Praktis Dan Studi Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 119.
Dengan demikian seorang wirausahawan dalam pengembangan bisnis pada umumnya adalah sebagai pemilik ide usaha (proses kreatif) dan menerjemahkan ide-ide usaha tersebut menjadi suatu kenyataan (proses inovasi) dan sekaligus menunjang perkembangan ekonomi suatu negara. Dunia usaha tidak akan dapat berkembang dalam perekonomian yang statis karena perekonomian yang statis tidak memberikan insentif yang memadai bagi kreatifitas maupun inovasi. Tetapi, bisnis akan berkembang pesat di sebuah negara yang ekonominya berkembang pesat.4 Faktor objektif yang dihadapi para bisnisman akan berlaku teori Charles Darwin yang menyatakan bahwa dalam hidup terjadi apa yang disebut dengan “survival fittes” yaitu terjadinya seleksi alam di bidang bisnis bahwa yang kuat akan bertahan dan yang tidak kuat akan mati suri atau collapse.5 Banyak cara untuk menjadi wirausahawan, antara lain mendirikan bisnis sendiri atau membeli sistem bisnis yang sudah jadi. Menurut Robert T. Kiyosaki, ada tiga jenis utama sistem bisnis yang dapat dimasuki oleh para entrepeneur yaitu :6 1. Sistem bisnis tradisional yaitu entrepreneur mengembangkan sendiri bisnisnya. 2. Sistem bisnis waralaba (franchise) yaitu entrepreneur membeli sebuah sistem yang sudah ada, dan
4 5 6
Ibid, hlm. 120. Syahrin Naihasy, Op. Cit., hlm. 24. Arifa’I, 2000, Proposal Bisnis Personal Franchise (Waralaba Pribadi) Bentuk Usaha Alternatif Menjadi Jutawan Dalam Waktu Relatif Singkat, L4L Press, Surakarta, hlm. 37.
3. Sistem bisnis pemasaran jaringan yaitu entrepreneur membeli dan menjadi bagian dari sebuah sistem yang telah ada. Setiap sistem bisnis memiliki kekuatan dan kelemahan, namun jika dilakukan dengan benar apapun sistemnya akan menghasilkan kemakmuran serta kesuksesan. Membangun sistem bisnis secara tradisional atau sendiri mempunyai kelebihan dalam hal pengaturan yang dapat disesuaikan dengan keinginan pemilik bisnis, sedangkan kekurangannya, sistem bisnis belum berjalan, pasar belum ada, sehingga sering terjadi bisnis yang baru dibangun akhirnya gagal. Bisnis apapun yang digeluti oleh seorang wirausahawan, mereka berkeinginan agar bisnisnya dapat meraih laba serta pertumbuhan usaha meskipun dalam upaya meraih laba dan partumbuhan usaha tersebut senantiasa dibayang-bayangi oleh risiko dan penuh dengan ketidakpastian yang kemungkinan akan terjadi. Pada umumnya sangat sulit untuk menemukan seorang wirausahawan yang juga memiliki managerial skill, keahlian yang sangat mendalam dalam suatu bidang tertentu, mampu mengelola berbagai sumber daya perusahaan secara sinkron.7 Biasanya butuh waktu lama (lebih dari 5 tahun) untuk dapat membangun sebuah sistem yang baik. Membeli sistem bisnis yang sudah jadi mempunyai kelebihan bahwa sistem bisnis sudah tercipta dan siap pakai, si pembeli bisnis tinggal menjalankan saja di dalam sistem yang sudah ada itu. Demikian pula pasar sudah ada, sehingga pemilik bisnis baru ini tidak akan kesulitan dalam memasarkan produknya. Kelemahannya adalah pemilik modal tidak akan bebas dalam menentukan usahanya, karena 7
Ismail Solihin, Op. Cit., hlm. 119.
semuanya tergantung kepada pihak yang dibeli bisnisnya. Bisnis waralaba adalah tren bisnis masa depan dengan risiko kegagalan yang kecil dimana pertumbuhannya sangat pesat dan memberi warna tersendiri dalam perekonomian Indonesia. Popularitas bisnis waralaba sebagai suatu cara pemasaran dan distribusi barang dan jasa memang semakin meningkat. Sebagai salah satu sistem pemasaran yang efektif keberadaan waralaba dianggap mampu menjangkau pangsa pasar suatu jenis produk ke seluruh Indonesia. Besarnya peluang bisnis waralaba di Indonesia menjadikan waralaba baik asing maupun lokal bermunculan dan mengalami peningkatan yang sangat luar biasa. Untuk seorang pemula dalam dunia bisnis, bentuk waralaba ini merupakan alternatif untuk memulai sebuah bisnis.8 Bisnis waralaba ini dipakai sebagai alternatif berwirausaha tanpa batas ke seluruh bagian dunia, yang berarti pula seorang pemberi waralaba (franchisor) harus mengetahui secara pasti ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di negara dimana waralaba akan dikembangkan agar nantinya penerima waralaba tidak beralih wujud dari mitra usaha menjadi kompetitor. Pada sisi lain, seorang atau suatu pihak penerima waralaba yang menjalankan kegiatan usaha sebagai mitra usaha pemberi waralaba menurut ketentuan dan tata cara yang diberikan, juga memerlukan kepastian bahwa kegiatan usaha yang sedang dijalankan olehnya tersebut memang benar-benar teruji dan memang merupakan suatu produk yang disukai masyarakat serta akan dapat memberikan suatu manfaat
8
Arifa’i, Op. Cit., hlm. 56.
(value) baginya. Ini berarti waralaba sesungguhnya juga memiliki satu aspek yang penting baik itu bagi pengusaha pemberi waralaba maupun mitra usaha penerima waralaba yaitu masalah kepastian dan perlindungan hukum. Waralaba digambarkan sebagai perpaduan bisnis besar dan kecil yaitu perpaduan antara energi dan komitmen individual dengan sumber daya dan kekuatan sebuah perusahaan besar. Waralaba adalah suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan (franchisor) memberi hak pada pihak independen (franchisee) untuk menjual produk atau jasa perusahaan tersebut dengan peraturan yang ditetapkan oleh franchisor. Franchisee menggunakan nama, goodwill, produk dan jasa, prosedur pemasaran, keahlian, sistem prosedur operasional, dan fasilitas penunjang dari franchisor company. Sebagai imbalannya franchisee membayar initial fee dan royalty (biaya pelayanan manajemen) pada franchisor company seperti yang diatur dalam perjanjian waralaba. Pemerintah dalam hal ini senantiasa turut aktif dalam menggulirkan kebijakan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pelaku ekonomi agar mampu merentangkan sayap usahanya. Bagi Pemerintah, penegakan hukum (rule of law) merupakan tanggung jawab yang harus direalisasikan untuk memberikan pelayanan dan keadilan hukum bagi warganya demi terciptanya ketertiban dan keselarasan dalam kehidupan. Bagaimanapun perlindungan hukum merupakan hak bagi setiap warga negara dimanapun berada dan Pemerintah mempunyai tanggung jawab besar untuk menegakkan hukum demi terselenggarakannya perlindungan hukum bagi warganya tanpa ada diskriminasi. Campur tangan yang dilakukan pihak
Pemerintah ini diwujudkan melalui sarana hukum, sedangkan apa yang dimaksudkan dengan hukum adalah dengan berbagai bentuk peraturan perundangan khususnya dalam bidang bisnis waralaba. Lebih dari itu hukum apabila diamati dengan menggunakan optik hukum dan masyarakat, yakni melihat hukum tidak hanya sebagai fungsi dari peraturan, melainkan juga kebijakan (policy) pelaksanaannya serta tingkah laku masyarakat.9 Pelaksanaan suatu peraturan tidak hanya terbatas pada perwujudan secara riil peraturan tersebut, akan tetapi mempunyai keterkaitan dengan keefektifan yang akan tampak pada pelaksanaan peraturan tersebut. Suatu sistem hukum dapat dikatakan efektif kalau perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat cocok atau sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku. Hal-hal yang diatur oleh hukum dan perundang-undangan merupakan das sollen yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian waralaba. Jika para pihak mematuhi peraturan dan tidak menyimpang dari aturan main yang ada, maka tidak akan timbul permasalahan dalam perjanjian waralaba ini. Dalam kenyataan kehidupan masyarakat seringkali perilaku menyimpang dari aturan yang sudah ada, seperti halnya dalam perjanjian bisnis waralaba dimana penyimpangan ini menimbulkan wanprestasi sebagai akibat tidak ditaatinya aturan main oleh para pihak. Berlakunya hukum dilihat dari pola harapan dan pelaksanaannya (expectation and performance) ini memberikan bobot yang lebih realistis serta dinamis terhadap
9
Satjipto Rahardjo, 1978, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 13.
berlakunya hukum.10 Perjanjian waralaba merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan yang merugikan pihak lain. Jika salah satu pihak melanggar isi perjanjian waralaba, maka pihak yang lain dapat menuntut pihak yang melanggar sesuai dengan hukum yang berlaku. Saat ini sektor bisnis waralaba sudah sangat beragam artinya tidak hanya didominasi oleh sektor makanan saja tetapi mulai dari sektor usaha pendidikan, salon, retail, laundry, kebugaran, pencucian mobil, aksesoris kendaraan sudah banyak yang diwaralabakan, tidak terkecuali Bakmi Gila yang merupakan jenis usaha makanan sejenis bakmi yang telah memiliki sepuluh franchisee.
B. RUMUSAN MASALAH Dalam tesis ini penulis memfokuskan pada pelaksanaan perjanjian bisnis waralaba dalam lingkup lokal yaitu pada Bakmi Gila baik dari segi tinjauan normatif peraturan perundang-undangannya maupun pelaksanaan perlindungan hukumnya bagi para pihak. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa macam permasalahan yang diteliti: 1
Bagaimanakah perlindungan hak kekayaan intelektual atas merek BAKMI GILA di dalam perjanjian franchisee?
2
Bagaimanakah upaya hukum yang ditempuh pihak franchisor dan master franchesee terhadap franchesse yang melakukan pengalihan outlet merek
10
Ibid, hlm. 14.
BAKMI GILA?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian yang dilakukan dalam tesis mengenai pelaksanaan perjanjian bisnis waralaba serta perlindungan hukumnya bagi para pihak adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui perlindungan hak kekayaan intelektual atas merek BAKMI GILA di dalam perjanjian franchesee, dan 2. Untuk mengetahui upaya hukum yang ditempuh pihak franchisor dan master franchesee terhadap franchesse yang melakukan pengalihan outlet merek BAKMI GILA.
D. KEASLIAN PENELITIAN Proposal penelitian yang berjudul “Pengalihan Kontrak Outlet Merek Bakmi Gila Oleh Franchise Tanpa Persetujuan Franchisor (Studi Kasus Bakmi Gila)”, sengaja penulis angkat menjadi judul penelitian, ini merupakan karya ilmiah yang sejauh ini belum pernah ditulis di lingkungan Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada, walaupun ada beberapa tesis di Universitas Gajah Mada tentang waralaba namun ada perbedaan Tesis ini dengan tesis-tesis waralaba tersebut yaitu dalam tesis ini membahas mengenai penerapan franchise (waralaba) pada bisnis bakmi dengan nama Bakmi Gila jika si franchise selaku penerima waralaba (franchisee) mengalihkan kontrak standar waralaba (franchise). Penulis menyusun
penelitian ini berdasarkan referensi buku-buku, media cetak dan media elektronik, juga melalui bantuan dari berbagai pihak. Jadi penelitian ini dapat disebut asli dan sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. KEGUNAAN PENELITIAN Penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan yang signifikan diantaranya: 1. Kegunaan teoritis Penelitian ini secara akademik berguna bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum bisnis tentang perjanjian waralaba di Indonesia. 2. Kegunaan secara praktis Selain
kegunaan
secara
teoritis,
hasil
penelitian
yang
dilakukan
diharapkan juga mampu memberikan sumbangan praktis yaitu: a. Memberikan wacana kepada semua pihak yang terkait dengan masalah pelaksanaan perjanjian bisnis waralaba serta perlindungan hukumnya bagi para pihak. b. Memberikan
sumbangan
kejelasan
tentang
perjanjian
bisnis
pikiran
penyelesaian waralaba
hukumnya bagi para pihak.
dalam
upaya
memberikan
sengketa
dalam
pelaksanaan
kaitannya
dengan
perlindungan
F. TINJAUAN PUSTAKA Sejarah waralaba atau franchise muncul sejak 200 tahun sebelum Masehi. Saat itu, seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk makanan dengan merek tertentu.11 Di Perancis tahun 1200an, pengusaha negara dan penguasa gereja mendelegasikan kekuasaan mereka kepada para pedagang dan ahli melalui apa yang dinamakan diartes de frnchise yaitu hak untuk menggunakan atau mengolah hutan yang berada dibawah kekuasaan negara atau gereja. Sebagai imbalannya, penguasa gereja atau penguasa negara menuntut jasa tertentu atau uang. Namun sebenarnya franchise dengan pengertian yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, franchise mulai dikenal kurang lebih dua abad yang lalu ketika perusahaan-perusahaan bir memberikan
lisensi
kepada
perusahaan-perusahaan
kecil
sebagai
upaya
mendistribusikan produk mereka. Sistem franchise di Amerika Serikat pertama kali dimulai tahun 1851. Pada saat itu, diAmerika Serikat timbul apa yang dinamakan sistem franchise generasi pertama yang disebut sebagai straight product franchising (waralaba produksi murni). Pada mulanya, sistem ini berupa pemberian lisensi bagi penggunaan nama pada industri minuman (Coca Cola), kemudian berkembang sebagai sistem pemasaran pada industri mobil (General Motors). Kemudian sistem franchise ini dikembangkan oleh produsen bahan bakar, yang memberikan hak franchise kepada pemilik pompa bensin sehingga terbentuk jaringan penyediaan 11
Anonymous, 2006, Bisnis Waralaba Indonesia, Franchisee News, Jakarta, hlm. 7.
untuk memenui suplai bahan bakar dengan cepat. Secara bebas dan sederhana, waralaba atau franchise didefinisikan sebagai hak istimewa (privilege) yang terjalin dan atau diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban kewajiban atau pembayaran. Dalam format bisnis, pengertian franchise adalah pengaturan bisnis dengan sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh franchisor kepada pihak independen atau franchisee untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan kesepakatan.12 Franchise sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu francorum rex yang artinya bebas dari ikatan, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha. Sedangkan pengertian franchise berasal dari bahasa Perancis abad pertengahan, diambil dari kata franc (bebas) atau francher (membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa. Oleh sebab itu, pengertian franchise diinterpretasikan sebagai pembebasan dari pembatasan tertentu, atau kemungkinan untuk melaksanakan tindakan tertentu, yang untuk orang lain dilarang. Dalam bahasa Inggris, franchise diterjemahkan dalam pengertian privilege (hak istimewa/hak khusus). Di Amerika Serikat, franchise diartikan konsesi. Di Indonesia, waralaba atau franchise mulai dikenal pada tahun 1950-an dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal pemilik merek. Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya waralaba asing yaitu KFC, McDonald’s, Burger King, dan Wendys. Perusahaan-perusahaan waralaba lokal mulai tumbuh salah satunya ialah Es Teller 12
Ibid, hlm. 14.
77. Pesatnya pertumbuhan penjualan sistem waralaba disebabkan oleh faktor popularitas franchisor. Hal ini tercermin dari kemampuannya untuk menawarkan suatu bidang usaha yang probabilitas keberhasilannya tinggi. Dari sudut hak atas kekayaan intelektual, Ferro Sinambela mendefinisikan franchise adalah semua hak milik yang berhubungan daya fikir, seperti merek dagang, nama perusahaan, label perusahaan, model barang penemuan, hak cipta, know how atau hak paten, yang digunakan untuk tujuan penjualan barang-barang atau jasa kepada konsumen.13 Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba atau franchise, terutama Pasal 1 butir 1, waralaba diartikan sebagai hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Definisi inilah yang berlaku baku secara yuridis formal di Indonesia. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba ditegaskan bahwa waralaba (franchise) adalah perikatan antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dimana penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan
13
F. Sinambela, 2000, Peranan Perjanjian Kerja Antara Pengusaha dan Pekerja Pada Perusahaan Waralaba, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana USU, Medan, hlm. 50.
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Dalam peraturan ini juga dijelaskan bahwa pemberi waralaba (franchisor) adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba. Sedangkan penerima waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan ciri khas pemberi waralaba. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, waralaba merupakan bentuk kerjasama dimana franchisor memberikan izin atau haknya kepada franchisee untuk menggunakan hak intelektualnya, seperti nama, merek dagang, produk/jasa, dan sistem operasi usahanya dalam jangka waktu tertentu. Sebagai timbal balik, franchisee membayar jumlah tertentu serta mengikuti sistem yang vertikal antara pemilik bisnis (franchisor) dengan penerima hak pengelolaan operasional bisnis (franchisee). Dengan demikian, pada dasarnya didalam sistem waralaba terdapat tiga komponen pokok, yaitu sebagai berikut: a. Franchisor yaitu pihak yang memiliki sistem atau cara dalam berbisnis b. Franchisee yaitu pihak yang membeli waralaba atau sistem dari franchisor sehingga memiliki hak untuk menjalankan bisnis dengan
cara yang dikembangkan oleh franchisor c. Franchise atau waralaba yaitu sistem dan cara bisnis itu sendiri yang merupakan pengetahuan atau spesifikasi usaha dari franchisor yang dijual kepada franchisee Sedangkan suatu bisnis waralaba dicirikan dengan adanya: a. Franchisor yang menawarkan paket usaha b. Franchisor yang memiliki unit usaha (outlet) yang memanfaatkan paket usaha milik franchisor c. Ada kerjasama antara franchisor dan franchisee dalam hal pengelolaan unit usaha d. Ada kontrak tertulis yang mengatur kerjasama Ada empat faktor utama dalam bisnis waralaba yang tidak akan dijumpai dalam melakukan kegiatan usaha
atau bisnis secara independen diluar sistem
waralaba, yaitu:14 1. Keberadaan franchisor dan franchisee dalam suatu hubungan yang terusmenerus 2. Kewajiban untuk menggunakan nama dan sistem franchisor serta patuh pada pengendaliannya 3. Terdapat risiko yang dapat merusak bisnis waralaba yang berada diluar kemampuan dan kesiapan franchisee untuk menghadapinya, misalnya
14
T. Siambaton, 2008, Beberapa Aspek Hukum Franchise Format Bisnis di Medan, Tesis Program Pasca Sarjana USU, Medan, hlm. 73.
kegagalan bisnis franchisor atau tindakan franchisee lain yang membuat reputasi waralaba menjadi buruk 4. Kemampuan franchisor untuk tetap memberikan jasa sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, yang dianggap bernilai dan wajar yang bisa membuat bisnis waralaba tersebut berhasil Dengan demikian, karakteristik bisnis waralaba tidak lain adalah penggunaan merek
dagang
dan
perusahaan/wirausahawan
identitas
suatu
lainnya,
yang
perusahaan/wirausahawan disertai
dengan
dengan
pendamping
dan
pengawasan yang berkelanjutan dari franchisor dan kewajiban pembayaran biaya (fee) oleh franchisee yang disertai dengan ketaatan terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian waralaba yang telah disepakati. Pengaturan waralaba di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/MDag/Per/3/2006 tentang ketentuan dan tata cara penerbitan surat tanda pendaftaran usaha wararalaba. Kedua peraturan tersebut sebagai dasar hukum usaha waralaba yang telah berkembang pesat di Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini. Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 dilandasi upaya pemerintah meningkatkan pembinaan usaha waralaba diseluruh Indonesia sehingga mendorong pengusaha nasional, terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai franchisor nasional yang andal dan mempunyai daya saing didalam negeri dan luar negeri khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang
ketentuan dan tata cara penerbitan surat tanda pendaftaran usaha waralaba Pasal 1 Ayat 4 menyatakan, pemberian waralaba dapat dilakukan dengan pemberian hak lebih lanjut kepada penerima waralaba utama untuk mewaralabakannya kembali kepada penerima waralaba lanjutan. Pada praktiknya hal ini biasa disebut disebut dengan istilah master franchise, yang kesepakatan pemberian waralabanya dibuat dalam perjanjian penerima waralaba lanjutan (master franchise agreement). Didalam suatu perjanjian waralaba, para pihak yaitu pemberi waralaba dan penerima waralaba bebas untuk mengaturnya selama dan sepanjang:15 a. Memenuhi persyaratan sahnya perjanjian sesuai Buku III KUHPerdata b. Tidak bertentangan dengan ketentuan memaksa yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1997 dan
Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang ketentuan dan tata cara penerbitan surat tanda pendaftaran usaha wararalaba mewajibkan pihak-pihak yang terlibat dalam sistem waralaba melakukan perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak lain. Hal ini dikarenakan perjanjian tersebut dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk menegakkan perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat dalam sistem waralaba. Jika salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pihak lain dapat menuntut pihak yang melanggn hukum yang berlaku. 15
Setiawan, 1992, Aneka Masalah dan Hukum Acara Perdata, PT. Alumni, Bandung, hlm. 157.
Dilihat dari yuridis dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang ketentuan dan tata cara penerbitan surat tanda pendaftaran usaha wararalaba, dikenal adanya pemberi dan penerima waralaba, diantara keduanya ada suatu perjanjian atau kontrak waralaba yang wajib didaftarkan kepada Kementrian Perdagangan. Hal-hal yang diatur oleh hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan das sollen yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian waralaba. Jika para pihak mematuhi semua peraturan trsebut, maka tidak akan muncul masalah dalam pelaksanaan perjanjian waralaba. Pada dasarnya waralaba berkenaan dengan pemberian izin oleh franchisor kepada pihak lain untuk menggunakan sistem atau cara pengoperasian suatu bisnis. Pemberian izin ini meliputi penggunaan hak-hak pemilik waralaba yang berada dibidang hak milik intelektual (intelectual property rights). Pemberian izin ini disebut dengan pemberian lisensi. Perjanjian lisensi tidak sama dengan perjanjian waralaba. Pada perjanjian lisensi biasanya meliputi satu bidang kegiatan saja, misalnya pemberian izin lisensi bagi penggunaan merek tertentu ataupun lisensi pembuatan satu atau beberapa jenis barang tertentu. Dengan beranjak pada rumusan, pengertian, dan konsep waralaba yang telah dijelaskan dapat diketahui bahwa pemberian waralaba senantiasa terkait dengan pemberian hak untuk menggunakan dan/atau memanfaatkan hak atas kekayaan intelektual tertentu.16 Sedangkan pada perjanjian waralaba, pemberian lisensi melibatkan berbagai macam hak milik intelektual seperti 16
Ibid, hlm. 152.
nama perniagaan, merek, model, dan disain. Pada saat franchisor terikat pada perjanjian waralaba dengan franchisee, franchisor tidak diperkenankan untuk mewaralabakan produk atau jasa yang sama dengan merek dagang yang sama kepada franchisee lainnya dilokasi-lokasi yang berdekatan. Apabila hal tersebut terjadi, dapat mengakibatkan persaingan antar unit waralaba di lokasi-lokasi tersebut. Pembatasan ini juga berlaku bagi franchisee terhadap franchisee lanjutan. Dalam hal pemberian hak eksklusif untuk mempergunakan dan/atau memasarkan produk atau jasa didaerah tertentu, para pihak juga harus mempertimbangkan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan persaingan usaha tidak sehat. Suatu hak eksklusif untuk mempergunakan dan/atau memasarkan produk atau jasa termasuk kedalam kategori kegiatan-kegiatan yang dilarang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang bertujuan menghapus praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia. Perjanjian waralaba tidak hanya mengenai pemberian lisensi, tetapi lebih dari itu. Didalam perjanjian waralaba juga terdapat perjanjian-perjanjian lain, yaitu:17 1. Perjanjian tentang uang piutang (loan agreements) 2. Penyewaan tempat usaha (site leases) 3. Perjanjian pembangunan tempat usaha (building agreements) 4. Penyewaan peralatan (equipment leases)
17
Setiawan, 1991, Segi-segi Hukum Trade Mark and Licensing, Varia Peradilan No. 70, Jakarta. hal. 160.
Bisnis waralaba memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan bisnis lain, yaitu dapat memperluas jaringan usaha dengan cepat, menciptakan kemitraan yang
saling
menguntungkan,
meningkatkan
lapangan
kerja
baru,
mampu
mempercepat alih teknologi dan meningkatkan peluang usaha bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM), serta merupakan pilihan berwiraswasta dengan risiko lebih kecil. Waralaba pada hakikatnya merupakan sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha dengan cepat. Dengan demikian waralaba bukanlah sebuah alternative melainkan salah satu cara yang sama kuat dan sama strategisnya dengan cara konvensional dalam mengembangkan usaha. Menurut Mendelson, ada beberapa keuntungan dan kerugian usaha waralaba format bisnis, yaitu: 1. Keuntungan usaha waralaba format bisnis a. Franchisee tidak memerlukan pengetahuan dasar dan pengetahuan khusus b. Franchisee mendapat insentif dengan memiliki bisnis sendiri sehingga mendapat keuntungan tambahanungan dari daya beli c. Franchisee mendapat keuntungan dari aktivitas iklan dan promosi franchisor pada tingkat nasional d. Franchisee akan mendapat keuntungan dari daya beli yang besar dan kemampuan negosiasi yang dilakukan franchisor e. Franchisee mendapat pengetahuan khusus serta pengalaman dari organisasi dan manajemen cantor pusat franchisor, walaupun ia tetap mandiri f. Risiko bisnis franchisee berkurang sangat besar
g. Franchisee mengambil keuntungan dari program riset dan pengembangan franchisor yang terus menerus dilakukan untuk memperbaiki bisnis dan membuatnya tetap up to date dan kompetitif h. Franchisor mengumpulkan informasi dan pengalaman yang tersedia sebanyak-banyaknya untuk dibagi kepada seluruh franchisee dalam sistemnya i. Franchisee akan menerima bantuan dari franchisor, yaitu: 1. Penyeleksian tempat 2. Mempersiapkan rencana untuk memperbaiki model outlet, termasuk rencana tata kota yang diperlukan atau persyaratan-persyaratan hukum yang diperlukan 3. Mendapat dana untuk sebagian biaya akuisisi dari bisnis yang diwaralabakan 4. Pelatihan staf franchisee 5. Bantuan pembelian peralatan 6. Membantu membuka bisnis dan menjalankanny dengan lancar
2. Kerugian usaha waralaba format bisnis a. Tidak dapat dihindari bahwa hubungan antara franchisor dengan franchisee pasti melibatkan penekanan kontrol, artinya kontrol tersebut akan mengatur kualitas jasa dan produk yang akan diberikan kepada masyrakat melalui franchisee
b. Franchisee
harus
membayar
franchisor
untuk
jasa-jasa
yang
didapatkannya untuk penggunaan sistem c. Kesulitan dalam menilai kualitas franchisor d. Kontrak waralaba akan berisi beberapa pembatasan terhadap bisnis yang diwaralabakan e. Franchisee akan tergantung pada franchisor f. Kebijakan-kebijakan franchisor mempengaruhi keuntungan franchisee g. Franchisor munkin membuat kesalahan dalam kebijakan-kebijakannya h. Reputasi dan citra merek dari bisnis yang diwaralabakan mungkin tejadi turun citranya karena alasan-alasan diluar kontrol franchisor
Agar perjanjian waralaba dapat ditafsirkan secara seragam dan dapat dilaksanakan dengan lancar, maka perlu ditentukan hukum negara mana yang akan diberlakukan. Pilihan hukum yang sering disebut aplicable law atau governing law yang dicantumkan dalam perjanjian waralaba merupakan bagian dari apa yang disebut klausul penyelesaian perselisihan.
Jika dalam perjanjian waralaba tidak
memuat pilihan hukum, apabila terjadi perselisihan, hakim akan menentukan pilihan hukum tersebut dengan menggunakan teori-teori hukum perdata internasional.18 Disamping pilihan hukum, yang juga merupakan klausul penyelesaian perselisihan pilihan mengenai forum penyelesaian perselisihan (choice of forum). Pilihan forum , baik yang berkenaan dengan lembaga peradilan ataupun nonperadilan juga perlu 18
S. Gautama, 1982, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Bina Cipta, Bandung, hlm. 57.
dikaitkan dengan pilihan hukum dan dicantumkan dalam perjanjian. Apabila pilihan hukum dan pilihan forum telah diatur atau dicantumkan dalam perjanjian waralaba dengan jelas, maka dalam menerapkan perjanjian dan hukum yang dimaksud tidak membutuhkan waktu dan biaya lagi. Untuk pilihan forum, agar perjanjian dan hasilhasil keputusan forum dapat dilaksanakan dengan efisien, sebaiknya forum yang dipilih adalah forum yang putusannya dapat dilaksanakan dengan paksa oleh hukum tempat berlangsungnya bisnis waralaba. Di Indonesia, forum yang memadai adalah Arbitrase atau Pengadilan Negeri setempat. Sedangkan putusan Pengadilan Asing, sebagaimana diatur dalam Pasal 436 Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (RV) tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya atau tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Indonesia. Berbeda dengan putusan pengadilan asing, putusan arbitrase asing, sebagaimana halnya dengan putusan arbitrase dalam negeri, memang dapat dieksekusi di Indonesia. Hal ini mengingat Indonesia meupakan negara anggota Konvensi New Cork 1958 (The New Cork Convention on Arbitration), yaitu konvensi mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 yang antara lain menyatakan bahwa Indonesia memberlakukan konvensi tersebut dengan asas timbal balik. Dengan demikian, agar putusannya dapat dieksekusi di Indonesia, dapat dipilih forum arbitrase didalam maupun diluar negeri.
G. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu
meneliti asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, dan sistematika hukum dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Untuk menunjang dan melengkapi data yang ada, maka dilakukan pula Penelitian Lapangan guna memperoleh data primer secara langsung dari subjek penelitian yang menjadi landasan penelitian yaitu metode pendekatan, spesifikasi penelitian, populasi, metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data.
H. SISTEMATIKA PENULISAN Agar penulisan karya ilmiah tesis ini dapat terarah dan sistematis, dibutuhkan sistem penulisan yang baik. Sistematika penulisan tesis ini berdasarkan pada Buku Pedoman Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gajahmada. Sistematika tesis ini terdiri dari lima bab, yang akan diuraikan sebagai berikut : Bab I
: Pendahuluan, bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan
penelitian,
keaslian
penelitian,
kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II
: Tinjauan Pustaka, bab ini berisikan tinjauan pustaka yang menyajikan landasan teori tentang sejarah waralaba, pengertian dan definisi waralaba, karakteristik waralaba, pengaturan waralaba di Indonesia kaitannya dengan perlindungan hukumnya bagi para pihak dan bentuk perjanjian yang meliputi istilah dan pengertian kontrak, perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan waralaba,
hubungan waralaba dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) keuntungan dan kerugian bisnis waralaba, dan penyelesaian perselisihan perjanjian waralaba. Bab III
: Metode Penelitian, yang akan memaparkan
metode dengan
pendekatan yuridis normatif, yaitu meneliti asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, dan sistematika hukum dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Untuk menunjang dan melengkapi data yang ada, maka dilakukan pula Penelitian Lapangan guna memperoleh data primer secara langsung dari subjek penelitian yang menjadi landasan penelitian yaitu metode pendekatan, spesifikasi penelitian, populasi, metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab IV
: Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang akan menguraikan hasil penelitian
yang
relevan
dengan
permasalahan
dan
pembahasannnya yaitu mengenai pelaksanaan perjanjian bisnis waralaba serta perlindungan hukumnya bagi para pihak di Bakmi Gila, Depok Jawa Barat serta penyelesaiannya ketika terjadi pengalihan merek oleh franchesee. Bab V
: Merupakan Bab Penutup, dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan dari masalah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Setelah mengambil kesimpulan dari seluruh data yang diperoleh melalui
penelitian, dapat pula memberikan saran–saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan tesis ini.