BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis atau suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah pernikahan muslim dengan nonmuslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama‟‟.1 Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat semakin luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang muslimin dan muslimat sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-muslim.2 Hal ini tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada. Tak jarang ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang 1
Yusuf Badri, Nikah Beda Agama (Bandung: Persis Press, 2009), hlm. 120. Abdul Muta‟al Al Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 23. 2
1
2
pernikahan beda agama. Dalam konteks ke-Indonesiaan salah satu upaya merealisasikan hukum Islam yang dinamis adalah dengan adanya fatwa. Fatwa ini dikeluarkan apabila terdapat persoalan hukum yang memerlukan penyelesaian baik dilakukan oleh lembaga yang berkompenten maupun kyai perseorangan. Fatwa merupakan pendapat atau jawaban hukum terhadap persoalan yang diajukan atau terjadi dalam masyarakat.3 Dalam hal ini masyarakat ada yang mengajukan kepada NU yang kemudian dibahas dalam forum Bahtsul Masail, ada yang mengajukan ke Muhammadiyah yang kemudian menggelar Majelis Tarjih dan ada pula yang mengajukan ke MUI yang kemudian menggelar sidang fatwa. Salah satu keputusan dari hasil yang dikeluarkan oleh MUI, Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Mihammadiyah adalah masalah pernikahan beda agama yang dikeluarkan pada MUNAS MUI Tahun 2005, Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII di Malang, dengan tegas ormas-ormas ini mengharamkan keharaman pernikahan beda agama,
dengan dalil pendukung karena
demi
kemaslahatan.4 Maslahah adalah satu term yang bisa jadi paling populer bila sedang berbicara mengenai hukum Islam. Hal tersebut disebabkan maslahah merupakan tujuan syara‟ dari ditetapkannya hukum Islam. Maslahah di sini berarti jalbu almanfa‟ah wa daf‟u al-mafsadah (menarik kemanfaatan dan menolak kemudaratan).5
3
Tim Depag RI, Bunga Rampai Jaminan Produk Halal (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 432. Badri, Nikah, hlm. 142. 5 Hasbi ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 4
171-182.
3
Menempatkan maslahah sebagai sebuah kajian, ternyata merupakan persoalan yang lumayan dilematis. Di satu sisi, sebagaimana ditemui dalam banyak literatur turats, maslahah sudah terbentuk sebagai tatanan teori yang baku. Sehingga kajian terhadap maslahat otomatis lebih cenderung kepada kajian teoritis yang kaku dan tidak menarik. Sementara di sisi lain, maslahah dalam pengertian yang luas merupakan
lahan subur bagi upaya pemberian muatan hukum syariat kepada
qadiyah-qadiyah (persoalan hukum).6 Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengambil skripsi dengan judul “ Nikah Beda Agama (Studi terhadap penggunaan maslahah dalam penetapan fatwa MUI, Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana teori maslahah menurut MUI, Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah? 2. Bagaimana pertimbangan maslahah MUI, Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam penetapan fatwa pernikahan beda agama ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu 1. Untuk mengetahui teori maslahah MUI, Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah. 6
Ahmad Nadhif Mudjib dan Afifuddin Harisah. “Maslahat, Antara Syariah dan Filsafat”, dikutip dari pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/ Jan96/5.htm, diakses 28 November 2011. Jam 10.15 WIB.
4
2. Untuk mengetahui pertimbangan maslahah MUI, Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam penetapan fatwa nikah beda agama. Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin ilmu pengetahuan secara umum, dan sekurang-kurangnya dapat digunakan untuk dua aspek diantaranya yaitu : 1. Aspek teoritis, sebagai upaya bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum keluarga Islam yang berkaitan dengan permasalahan pernikahan beda agama. 2. Aspek praktis, dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat yang hendak melaksanakan pernikahan beda agama.
D. Telaah Pustaka Dalam skripsi ini penulis berpedoman kepada buku-buku yang membahas tentang nikah beda agama, dan penelitian yang meneliti tentang pernikahan beda agama. Pertama, dalam buku yang berjudul Nikah Beda Agama karangan Yusuf Badri menjelaskan bahwa Ormas Islam mengharamkan pernikahan seorang muslim dengan ahli kitab adalah MUI dan Muhammadiyah, sedangkan NU mengharamkan laki-laki muslim dengan wanita kafir. Ormas Islam MUI, NU dan Muhammadiyah mengharamkan pernikahan beda agama sebab banyak madaratnya.7 Kedua, penelitian yang ditulis oleh Faeshol Jamaluddin, mahasiswa fakultas syariah IAIN Wali Songo Semarang, dengan judul skripsinya” Analisis Fatwa MUI Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama, yang intinya 7
Badri, Nikah, hlm. 142-143.
5
Fatwa yang dikeluarkan MUI ini dengan mendasarkan pada dalil-dalil al-Quran, Hadits, dan menggunakan kaidah fiqhiyyah dan ushuliyah. Dasar kaidah fiqhiyyah dar'u al-mafâsid muqaddamun ‟ala jalbi al-mashâlih dan saddu al-żarî'ah. Kedua kaidah fiqhiyyah di atas dijadikan dasar dalam mengharamkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab. hlm ini mengingat kemaslahatan praktik pernikahan ini belum tentu terwujud, sedangkan madlaratnya sangat mungkin ada yakni tidak adanya
kemampuan suami dalam menjaga agama diri. Belum lagi
kelemahan iman laki-laki yang sangat mungkin justru ia yang akan terseret dalam kemurtadan. Mengingat ini maka fatwa MUI relevan dalam konteks keindonesiaan mengingat kondisi
sosial masyarakatnya yang memang cenderung permisif dan
Islam formal (Islam KTP) masih dominan.8 Ketiga, penelitian yang ditulis oleh Liza Zuci Amalia, mahasiswi UNDIP Semarang, dengan judul Tesisnya” Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam” dalam tesis ini dijelaskan bahwa al-Quran membolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab, dan sebagian ulama juga ada yang membolehkan perempuan Muslim menikah dengan laki-laki non muslim apabila dalam keadaan memungkinkan, tetapi hukum perkawinan Islam di Indonesia melarangnya.9 Larangan ini disebabkan oleh terjadinya dinamika sosial dan kebutuhan komunitas muslim pada waktu tertentu untuk memelihara kohesi sosial dan integritas umat merupakan suatu maslahat yang menjadi tujuan agama. Perkawinan beda agama dikhawatirkan akan mempengaruhi keyakinan laki-laki dan perempuan muslim, dan
8
http://idb4.wikispaces.com/file/view/bu4001.pdf : diakses pada tanggal 25 November 2012 jam 21.40 WIB. 9 http://eprints.undip.ac.id/10747/1/2003MNOT2393.pdf: diakses pada tanggal 25 November 2012 jam 22.20 WIB.
6
berpengaruh pula pendidikan anak-anaknya kelak. Perkawinan beda agama akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kemanfaatannya.10 Keempat, dalam buku Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam karangan Mohammad Idris Ramulyo, SH. MH. Menjelaskan bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab akibat hukumnya sama dengan perkawinan pria muslim dengan muslim yang memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan. Anak menjadi sah suami istri, dan berhak saling mewarisi antara ayah dengan anak, demikian juga dengan suami istri. Apabila sebaliknya yang terjadi yaitu wanitanya muslim, prianya ahli kitab akibat hukumnya perkawinannya menjadi tidak sah11 Kelima, dalam buku Kawin Lintas Agama : Perspektif Kritik Nalar Islam karangan Suhadi, menjelaskan bahwa metode istinbat al-ahkam yang digunakan MUI untuk membatalkan teks QS. al-Maidah ayat 5 adalah metode mashalih almursalah, yakni demi kepentingan masyarakat Islam.12 Sedangkan menurut Muhammadiyah haram disini bukan haram li żatihi, tetapi haram li sadd al-żarî‟ah. Metode ini dipandang sebagai bentuk aplikasi dari kaidah fiqh : dar‟ al-mafâsid muqaddamun ‟ala jalbi al-mashâlih (menghindari kerusakan itu harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.13 Metode ini dimaksudkan untuk merealisasikan pemeliharaan atas agama (hifd al-din). Dengan alasan untuk menghindari
10
Ibid. Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 65-66. 12 Suhadi, Kawin Lintas Agama: Perspektif Kritik Nalar Islam (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. 46. 13 Ibid., hlm. 48. 11
7
perpindahan agama.14 Perbedaan skripsi ini dengan beberapa kajian di atas adalah belum adanya kajian yang secara spesifik mengkaji tentang bagaimana penggunaan maslahah MUI, Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang penetapan fatwa pernikahan beda agama. Karenanya, skripsi ini mencoba
mengkaji lebih dalam
dengan harapan menemukan suatu temuan baru yang bermanfaat.
E. Kerangka Teori Dalam menemukan jawaban atas masalah yang diajukan, penulis mengkaji dari beberapa karya ilmiah seperti skirpsi dan buku-buku yang terkait dengan masalah di atas dan penulis memakai teori qâidah fiqhiyyah Imam as-Suyutiy. Pengertian maslahah berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan kerusakan atau kemudharatan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahah. Sebagimana dalam qâidah fiqhiyyah :
َد ْف ُع ى ن َدً َد ِسا ِسى ُعي َد َّد ٌموى َدهَد ى َد ْفه ِسى ن َدً َد ِسن ىِس ”menolak mafsadah harus didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”15 Apabila dalam suatu perkara terlihat adanya manfaat atau kemaslahatan, namun disitu juga terdapat adanya mafsadat (kerusakan), maka haruslah didahulukan menghilangkan mafsadatnya, karena kemafsadatan dapat meluas dan menjalar 14
Ibid., hlm. 48. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-malasah yang Praktis (Jakrta: Kencana, 2006), hlm. 29. 15
8
kemana-mana, sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Pada dasarnya maslahah adalah :
ُعن ُعً َد َد َدتُعى َد َده ى َدي ْف ُع ْفٕ ِسى ن َّد ل ْفز ىِس “Memelihara tujuan syara‟ (dalam penetapan hukum)”
Sedangkan dalam memelihara syara‟ ada 5 hal yang harus dijaga guna agar tidak mengancam eksistensi manusia, yaitu : menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta.16 Dalam qâidah fiqhiyyah juga dijelaskan : .ت ٌم َد ى
نز َد ِس َد ِستى َديُُع ْفٕ ٌمى ِس ْفن َدً ْف هَد َد ث َد َد َدز ُع ى ْف ِس َدي ِسوى َد َده ى َّد
Artinya: “ Tindakan Imam kepada rakyatnya itu harus bergantung kepada kemaslahatan (kebaikan) “17 Kaidah ini memberikan pengertian bahwa setiap tindakan atau kebijakan para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat harus bergantung kepada kemaslahatan rakyat banyak, ditujukan pada suatu kebaikan.
Dengan demikian, menolak kerusakan (mafsadah) itu harus didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan. Sebab menolak mafsadah itu sudah merupakan kemaslahatan.
16
Mukhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushul Fiqih dan Fiqhiyah (Jakarta: Raja Grafindo, 1997), hlm. 134. 17 Abi al-Fadl Jalaluddin Abdurrahman as-Suyutiy. Al- Asybah wa al-Nazâir (Beirut: Dar alfikr, tt), cet. ke-3 hlm. 158.
9
F. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah sebagai berikut : 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Perbandingan perbandingan hukum terhadap lembaga hukum dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum yang lain. Sehingga dengan perbandingan tersebut peneliti dapat melakukan analisis data untuk menjawab permasalahan yang diajukan.18 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis pakai adalah penelitian hokum normatif, yaitu penelitian yang meletakkan hokum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, dan putusan pengadilan pengadilan.19 3. Sumber Data Dalam penelitian ini diperlukan jenis sumber data yang berasal dari literaturliteratur yang berhubungan dengan penelitian. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. a. Sumber Primer Sumber data primer adalah bahan utama yang dijadikan referensi. Dalam hal ini sumber data primer yang penulis gunakan adalah dokumen tentang fatwa MUI Nomor: 4/Munas
VII/MUI/8/2005, Hasil Keputusan Bahtsul Masail Nahdhatul
Ulama, dan Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII. tentang nikah beda 18
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum : Normatif dan Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 188. 19 Ibid., 34.
10
agama b. Sumber Sekunder Sumber penunjang sebagai bahan pendukung dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian-penelitian yang berisi tentang perkawinan beda agama dan bukubuku yang terkait. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini penulis memperoleh data-data yang diperlukan dengan cara membaca, mempelajari, memahami dan menganalisa dari data yang dipandang relevan dengan pembahasan masalah tersebut. Kemudian data-data yang telah diperoleh akan dikelompokkan ke dalam bab-bab sesuai dengan sifatnya masingmasing untuk mempermudah dalam menganilisa data-data.20 5. Analisis Data Adapun untuk menganalisa data setelah data terkumpul, maka dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.21 Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005, Hasil Keputusan Bahtsul Masail Nahdatul Ulama dan Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII tentang nikah beda agama dengan penggunaan Maslahah. G. Sistematika Penulisan Adapun untuk lebih mengetahui dan mempermudah dalam memperoleh gambaran dalam hasil penetian ini, maka secara umum penulis mengemukakan urutan (sistematika) penelitian seperti di bawah ini: BAB I
Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, 20 21
Suharni Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: LP3S, 1993), hlm. 202. Moh Nadzir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), hlm. 63.
11
tujuan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II
Tinjauan umum tentang konsep maslahah dalam Islam terdiri dari pengertian maslahah, dasar hukum maslahah, jenis-jenis maslahah dan maslahah sebagai maqasid syari‟ah.
BAB III
Metode Ijtihad dan Fatwa MUI, NU dan Muhammadiyah tentang pernikahan beda agama.
BAB IV
Analisis pembahasan
pernikahan beda agama dalam teori maslahat
menurut MUI, NU dan Muhammadiyah bab ini terdiri maslahah
dari teori
MUI, NU dan Muhammadiyah tentang pernikahan beda
agama dan pertimbangan maslahah MUI, Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyyah dalam penetapan hukum pernikahan beda agama. BAB V
Penutup bab ini membahas tentang simpulan dan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP MASLAHAH DALAM ISLAM
A. Pengertian Maslahah1 Maslahah secara etimologi memiliki dua makna yang berbeda. Pertama, maslahah memiliki arti yang sama dengan manfa‟ah, baik dalam arti maupun pemakaian lafaznya.2 Kedua, maslahah secara bahasa digunakan terhadap perbuatan yang mengandung manfaat dalam bentuk
majaz mursal,3 seperti perdagangan
maslahah, mencari ilmu maslahah. Artinya perbuatan berdagang dan mencari ilmu yang bisa mendatangkan maslahah.4 Bahwa al-maslahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari almaslahah. Pengarang kamus Lisan al-Arab menjelaskan dua arti, yaitu al-maslahah yang berarti al-shalah dan al-maslahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat5 baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemudaratan dan penyakit. Semua itu dapat dikatakan
1
Kata “maslahah” yang digunakan dalam tulisan ini setara atau memiliki maksud yang sama dengan kata “maslahat” ( )مصلحـةdalam bahasa arab. Artinya konteks kata “maslahah” yang dimaksud dalam tulisan ini adalah maslahat yang berada dalam kajian ushul fiqh 2 Pengertian semacam ini dapat dilihat misalnya dalam Louis Ma‟luf, al-Munjid (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hlm. 432. lebih lanjut kamus ini juga menjelaskan bahwa shalaha, sebagai kata dasar dari maslahat berarti hilangnya kerusakan atau kemafsadatan. Artinya ketika dikatakan dia ahli mafsadat bukan maslahat, artinya dia termasuk golongan orang yang berbuat kerusakan 3 Majaz adalah setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Lihat Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 187. 4 Majaz semacam ini disebut majaz mursal musabbabiyat, yaitu majaz yang menyebabkan akibat, tapi yang dimaksud sebenarnya adalah penyebabnya. Ibid, hlm. 231. 5 Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum Syara‟ (Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluk-Nya. Lihat Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih (Pekalongan: STAIN Press, 2006), hlm. 156
12
13
al-maslahah.6 Sedangkan definisi maslahah secara terminologi atau istilah syara‟ telah banyak dikemukakan oleh para ulama ushul. Di antaranya adalah: 1. Imam Ghazali, memberikan definisi maslahah sebagai berikut:7
المصلحـة هً عبارة فى االصل عن جلب منفعة او دفع مضرة Artinya: “Maslahah adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan adanya (usaha) mengambil manfaat dan menolak mudarat.”
2. Abdul Wahhab Khalaf mendefinisikan maslahah:
ى ه ى
ـٓ ىٔنىىيـ لى ن ـمىشـز
نً ه ـتى نخـ ىنىىيلـز ىحكًـ ىنخ ى. ٓخب رْ ىأٔىإنغ ئـ
Artinya: “Maslahah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya tidak digariskan oleh Tuhan dan tidak ada dalil syara‟ yang menunjukan tentang kebolehan dan tidaknya maslahah tersebut”.8
3. Abu Zahrah dalam kitab ushul fiqihnya menjelaskan:
ى
نً ه ـتى نًزاـهتىأٔى إلاخـ الحىْيىنهً ـ ن ى نًالئًـتىنً ـ ى.خبـ رىأٔى نغـ ء نلـ ر ى إلاـالي ىٔ ىيلٓ ىنٓـ ىأ ـمى
Artinya: “Maslahah atau istislah adalah segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syara‟ (dalam menentukan hukum) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjuk tentang diakui atau tidaknya”.9 Dengan demikian al-maslahah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat kejadian yang tidak ada ketentuan syari‟at dan tidak ada „illat yang keluar dari syara‟ yang 6
Ibid., hlm. 156. Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa (Bairut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, tt), hlm 174. 8 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih (Bairut: Dar al-Qalam, 1971), hlm. 84. 9 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Mesir: Dar‟u al-Arabi, tt), hlm. 279. 7
14
menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara‟, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-maslahah dan al-mursalah. Tujuan utama al-maslahah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari kemudaratan dan menjaga kemanfaatan. Alasan dikatakan al-maslahah, karena syara‟ memuthlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat dalil atau kaidah syara‟ yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
B. Dasar Hukum Maslahah Secara umum, alasan yang dikemukakan jumhur ulama dalam menetapkan maslahah sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:10 1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits yang menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. 2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari‟at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, maka akan membawa kesulitan bagi umat manusia. 3. Jumhur ulama juga beralasan pada beberapa perbuatan sahabat yang seringkali berbuat dan membuat kebijakan dengan berdasar pada maslahah.
1) Al-Quran
10
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), cet. ke-1, hlm. 1147.
15
a) Surat al-Anbiya‟ ayat 107 ىىىى ىى Artinya: “dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.11 Ayat ini memiliki kandungan arti bahwa segala ketentuan syari‟at yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad saw. bertujuan untuk membawa manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Ayat ini juga mengindikasikan tujuan syariat untuk mengatur kemaslahatan yang ada pada kehidupan manusia. Bahkan melalui ayat ini juga dipahami adanya perlakuan yang sama antara sikap Allah kepada muslim dan non-muslim dalam hal pemberian rahmat.12 b) Surat al-Baqarah ayat 179 ى ى ى ى ى ى ى ىىىىى Artinya: “ dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”13 Ayat-ayat tentang hudud semacam ini, termasuk ayat tentang potong tangan bagi pencuri, jilid bagi pencuri, dan lain sebagainya setidaknya memberikan penjelasan bahwa syari‟at Islam sangat serius untuk menjaga kamaslahatan manusia yang dorury.14 c) Ayat-ayat dalam Al-Quran yang menunjukkan adanya konsep tadrijiy (gradual) 11
Al-Quran dan Terjemahnya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), VIII, hlm. 520. 13 Al-Quran dan Terjemahnya 14 Fathurrahman, Tafsir al-Qurthubi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), II, hlm. 930. 12
16
dalam menetapkan syariat Islam, seperti ayat-ayat yang menunjukkan proses haramnya
khamr.15 Graduasi pengharaman
khamr tersebut mempertimbangkan
kebiasaan umat yang ada saat itu, sehingga perubahan tidak dilakukan secara frontal. Hal ini menunjukkan bahwa syari‟at Islam begitu memperhatikan kemaslahatan manusia secara sosiologis dan psikologis. 2) Al-Sunnah Bukti dukungan al-Sunnah yang sering digunakan untuk melegitimasi dukungan Nabi Muhammad saw. terhadap konsep maslahah adalah sabda Nabi yang juga digunakan oleh al-Thufi sebagai dalil teori maslahah yang ia ciptakan.16 Hadis tersebut adalah:
عن أبى سعٌد بن سعد بن سنان الخدري – رضً هللا عنه – أن رسول (حدٌث حسن رواه ابن ماجه والدار. ال ضرر وال ضرار:هللا ملسو هيلع هللا ىلص لال ًلطنً وغٌرهما مسندا ورواه مالن فً الموطا مرسال عن عمرو بن ٌح .) وله طرق أخرى ٌموي بعضا،عن أبٌه عن النبً ملسو هيلع هللا ىلص فأسمط أبا سعٌد Artinya: Dari Abu Sa‟id, Sa‟ad bin Sinan Al Khudri radiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu‟alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh melakukan perbuatan (mudarat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain“. [Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruqutni serta selainnya dengan sanad yang bersambung, juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwattha‟ secara mursal dari Amr bin Yahya dari bapaknya dari Rasulullah saw., dia tidak menyebutkan Abu Sa‟id. Akan tetapi dia memiliki
15
Khamr sebagaimana tercermin dari ayat-ayat Al-Quran mengalami proses tiga tahap sampai dinyatakan sebagai sesuatu yang diharamkan. Pertama, khamr dinyatakan memiliki manfaat dan mudarat, namun mudaratnya lebih besar dari manfaatnya (QS. Al-Baqarah [2]: 219). Kedua, larangan minum khomr hanya ketika mengerjakan sholat (QS. Al-Nisa‟ [4]: 43). Ketiga, Al-Quran baru secara jelas melarang dan mengharamkan khamr secara mutlak 16 Muhammad Roy, Filsafat Hukum al-Thufi dan Dinamisasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pondok Pesantren UII, 2007), hlm. 79.
17
jalan-jalan yang menguatkan sebagiannya atas sebagian yang lain].17 3) Ijtihad Sahabat atau Dalil ‘Aqli Selain kedua dalil di atas yang disepakati ulama kekuatan hujjahnya (almuttafaq „alaihima), ada juga beberapa ijtihad sahabat yang juga bisa menjadi landasan kuat maslahah dan secara rasional bisa mengindikasikan bahwa maslahah pernah menjadi peranan penting dalam sejarah Islam. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh para sahabat Nabi ini secara jelas mengindikasikan peran pertimbangan maslahah yang begitu besar di dalamnya, misalnya: a) Para sahabat telah mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf. Kenyataan ini pernah terjadi di zaman Rasullah. Mereka melakukan kebijakan yang demikian semata-mata karena maslahah, adalah untuk memelihara al-Quran agar tidak tersiasia dan agar keotentikannya tidak hilang disebabkan meninggalnya para sahabat yang hafal al-Quran. Dan ini merupakan implementasi dari firman Allah yang menyatakan keterpeliharannya.18 b) Ijtihad Umar tentang beberapa hal yang sering dijadikan rujukan dalam penetapan maslahat. Misalnya, ia menyatakan bahwa talak tiga sekaligus dianggap jatuh tiga talak, tidak berlakunya hukum potong tangan bagi pencuri, muallaf tidak berhak mendapat zakat, tidak dibaginya ganimah, dan lain sebagainya. c) Ijtihad Utsman untuk menyeragamkan bacaan Al-Quran dengan jalan pembuatan satu mushaf yang berlaku bagi semua dan membakar mushaf-mushaf yang lain. Hal ini dilakukan Utsman demi kemaslahatan bersama, berupa persatuan dan kesatuan 17
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, al-Wafi: Syarah Hadits Arba‟in Imam Nawawi (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), hlm. 282. 18 Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqih (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet ke-2, hlm. 93.
18
umat Islam.19 Dengan demikian bahwa seluruh ajaran yang tertuang dalam Al-Quran ,alSunnah dan Ijtihad Sahabat dapat menjadi dalil adanya maslahah. Meskipun sumber syara‟ tersebut tidak semuanya berbicara mengenai kemaslahatan secara langsung, akan tetapi ada beberapa dalil yang bisa mengindikasikan terhadap eksistensi maslahah dalam syari‟at Islam.
C. Jenis-Jenis Maslahah Al-Syatibi, berdasarkan segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, membagi maslahah menjadi tiga urutan peringkat, yaitu ad-darûriyyah, al-hâjiyyah dan at-tahsiniyyah. Maslahah menurutnya, tidak jauh berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh Al-Ghazali, yaitu memelihara lima hal pokok berupa agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.20 Segala bentuk upaya untuk memelihara kelima macam ini dipandang sebagai maslahah, dan merusaknya adalah mafsadat. Ketiga tingkatan maslahah tersebut secara lebih mendetail dapat dijabarkan sebagai berikut:21 1. Maslahah ad-darûriyyah, adalah sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia baik diniyah maupun dunawiyah, dalam arti kebutuhankebutuhan yang bersifat esensial (primer) bagi kehidupan manusia. Kebutuhan esensial ini adalah memelihara agama, jiwa akal, keturunan dan harta dalam batas jangan sampai terancamnya eksistensi kelima hal pokok
19
Muhammad Husain Haekal, Utsman Bin Affan (Jakarta: Pustakan Litera AntarNusa, 2002), hlm. 124-125. 20 al-Ghazali, al-Mustashfa, hlm. 76. 21 Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah (Kairo: Mustafa Muhammad, tt), III, hlm. Hlm. 9.
19
tersebut. Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu akan mengakibatkan terancamnya eksistensi kelima hal pokok di atas.22 2. Maslahah al-hâjiyyah, adalah segala sesuatu yang sifatnya merupakan kebutuhan skunder bagi manusia yang seharusnya dilakukan usaha pemenuhannya jika dalam kehidupannya tidak diinginkan timbul berbagai kesulitan, kepicikan dan kemaksiatan. Status dan urgensi kemaslahatan ini ada pada di bawah ad-darûriyyah di atas. Untuk perwujudan kemaslahatan ini antara lain Islam mensyari‟atkan hukum-hukum keringanan dalam berbagai lapangan, misalnya mengqasar dan menjama‟ shalat dalam perjalanan, tayamum di waktu tidak ada air, membeli barang dengan cara pesanan dengan cara memberikan identitasnya.23 3. Maslahah at-tahsiniyyah merupakan maslahah yang menopang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan. Meninggalkan maslahah ini tidak akan mengancam eksistensi manusia atau menimbulkan kesulitan karena ia hanya bersifat sebagai pelengkap.24
Pada hakikatnya, baik maslahah
ad-darûriyyah, al-hâjiyyah maupun
tahsiniyyat bertujuan untuk memelihara kelima hal pokok sebagaimana yang disebutkan di atas. Hanya saja peringkat pentingnya berbeda satu sama lain. Kebutuhan dalam kelompok pertama dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer. Maslahah dalam kelompok kedua dapat disebut sebagai kebutuhan sekunder. 22
Zuhri, Ushul Fiqih, hlm. 104-105. Ibid., hlm. 106. 24 ash Shidiqy, Falsafah Hukum Islam, hlm. 171 -182. 23
20
Artinya, jika kelima hal pokok dalam kelompok ini tidak dapat terpenuhi, tidak akan mengancam keberadaannya, melainkan akan mempersulit dan mempersempit kehidupan manusia. Sedangkan maslahah dalam kelompok ketiga erat kaitannya untuk menjaga etika sesuai dengan kepatutan, dan tidak akan mempersulit, apalagi mengancam eksistensi kelima hal pokok itu. Dengan kata lain bahwa kebutuhan dalam kelompok ketiga lebih bersifat komplementer.25 Al-Ghazali sendiri berdasarkan tolak ukur syara‟ membagi maslahah menjadi tiga: Pertama, maslahah yang memiliki bukti syara‟. Kedua, maslahah yang ditolak oleh syara‟, dan ketiga, maslahah yang tidak ada kejelasan apakah ia diakui atau dilarang oleh syara‟. Maslahah yang pertama jelas valid dan dapat dijadikan dasar qiyas. Maslahah kedua jelas terlarang. Sedangkan maslahah yang ketiga
membutuhkan pertimbangan dan penilaian dari segi kekuatannya yang
bersifat hierarki darurat, hajat, tahsinat atau tazyinat.26 Berdasarkan cakupan dan implikasinya, ulama ushul fiqih membagi maslahah menjadi dua, yaitu
al-maslahah al-‟ammah27 dan
al-maslahah al-
khasshah.28 Yang pertama adalah maslahat yang berimplikasi pada orang banyak, sementara yang kedua berakibat hanya pada kebaikan pribadi atau golongan saja.29
25
Amir Mu‟alim dan Yusdani, Konfigurasi Hukum Islam (Jakarta: UII Press, 2005), hlm. 55-
56. 26
al-Ghazali, al-Mustashfa., hal. 176. al-maslahah al-‟ammah adalah kemashlahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemashlahatan ini tidak berarti untuk kepentingan semua aorang, tetapi bias berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Contohnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid‟ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banya. Lihat Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah, 2005). Hlm. 201-202. 28 al-maslahah al-khasshah adalah kemashlahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang yang dinyatakan hilang. Ibid, hlm. 202. 29 Aziz Dahlan, Ensiklopedi, hlm. 1144. 27
21
Sedang berdasarkan segi perubahan maslahah, Musthafa al-Syalabi membagi maslahah menjadi al-maslahah al-tsabitah, yaitu maslahat yang tetap dan tidak berubah sampai akhir zaman, seperti kewajiban ibadah mahdah, dan al-maslahah almutagayyirah, yaitu maslahat yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.30 Berbeda dengan kebanyakan ulama-ulama di atas yang juga banyak diikuti oleh Jumhur Ulama, Ulil Abshar Abdalla justru membagi maslahah menjadi dua:31 1. Maslahah kulliyah asasiyah (maslahat universal fundamental), adalah sebentuk maslahat yang bersifat lintas batas cakupan. Masuk dalam kategori ini adalah keadilan („adl), kesetaraan (musawah), kebebasan (hurriyah), dan sejenisnya. 2. Maslahah far‟iyyah juz‟iyyah (maslahat partikular), adalah kemaslahatan yang terus menerus mengalami perubahan-perubahan seiring dengan peradaban manusia. Artinya maslahat jenis ini bersifat tentatif, relatif dan biasanya lokal.
D. Maslahah sebagai Maqashid asy-Syari’ah Maqâsid
secara bahasa merupakan jamak dari al-maqshud yang berarti
tujuan. Dalam ushul fiqh, bahasan maqâsid as-syari‟ah bertujuan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya dalam mensyariatkan hukum.
30
Ibid., hlm. 1145. Ulil Abshar Abdalla, Islam Pribumi; Menolak Arabisme, Mencari Wajah Islam Indonesia, dalam Zuhairi Misrawi (ed), Menggugat Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (Jakarta: Kompas, 2004), hlm, 108. 31
22
Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam melakukan ijtihad. Ulama ushul fiqh mendefinisikan maqâsid as-syari‟ah sebagai makna dan tujuan yang dikehendaki
syara‟ dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan
manusia.32 Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah saw. sudah ada petunjuk yang mengacu kepada peranan penting
maqâsid as-syari‟ah dalam
pembentukan hukum Islam.33 Kemudian selanjutnya, Imam Syatibi dianggap sebagai bapak maqâsid as-syari‟ah karena peranannya dalam membahas topik tersebut secara sistematis dalam kitabnya al-Muwafaqat Padahal Syatibi bukanlah orang yang pertama menggulirkan topik tersebut. Syatibi sendiri ketika berbicara mengenai maslahah dalam konteks maqâsid as-syari‟ah mengatakan
bahwa tujuan pokok pembuat undang-undang (Syari‟)
adalah tahqiq mashalih al-khalqi (merealisasikan kemaslahatan makhluk), dan bahwa kewajiban-kewajiban syari‟at dimaksudkan untuk memelihara maqâsid assyari‟ah. Dalam studinya, al-Raisuni mengemukakan bahwa maqâsid as-syari‟ah Syatibi berdiri atas dua asas: Pertama, kausasai atau enumerasi syari‟ah (ta‟lil) dengan menarik maslahah dan menolak mafsadah. Kedua, maqâsid sebagai produk induksi menjadi dasar ijtihad terhadap kasus-kasus yang belum tersentuh oleh nash
32
Azis Dahlan, Ensiklopedi, hlm. 1108. Yang sering dijadikan contoh dan menjustifikasi ajaran maslahat dari Nabi adalah hadis nabi yang melarang orang-orang Islam di Madinah menyimpan daging kurban, kecuali sekedar bekal selama tiga hari. Beberapa tahun kemudian, ada beberapa orang sahabat yang menyalahi ketentuan Rasulullah Saw. dengan menyimpan daging kurban lebih dari sekedar perbekalan untuk tiga hari. Peristiwa itu disampaikan orang kepada Rasulullah Saw., namun Rasulullah membenarkannya serta menjelaskan bahwa dahulu hal tersebut dilarang karena kepentingan ad-daffah (para pendatang dari perkampungan badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging kurban). Ini menunjukkan bahwa ketetapan dari Rasulullah tetap mempertimbangkan kemaslahatan sebagai maqashid syari‟ah. Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar Al-Kutub al-„Ilmiyah, 1992), XIII, hlm.11. 33
23
dan qiyas.34 Hubungan antara teori hukum dan perubahan masyarakat merupakan salah satu dari sekian permasalahan pokok dalam filsafat hukum. Hukum Islam sebagaimana dipahami oleh para orientalis memiliki karakter ruang lingkup yang terbatas (tahdid), tetap (sabat), pasti (qath‟i), dan abadi (dawam), oleh karenanya hukum Islam tidak dinamis dan tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat dan beradaptasi dengannya. Sebagian orientalis di antaranya Snouck Hurgonje berpendapat bahwa fiqh Islam hanya mencerminkan “teori kewajiban”. Artinya lebih mencerminkan teori etika ketimbang teori hukum dalam pengertian terminologinya. Jadi hukum Islam sesuai dengan karakteristiknya merupakan hukum agama yang kaku (jamid) yang tidak menerima perubahan dan adaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat. Pendapat ini disertai oleh beberapa alasan antara lain: 1. Hukum Islam sebagai hukum yang komprehensif dan mutlak menolak perubahan apapun dalam dirinya sendiri baik berupa konsep maupun lembaga. 2. Karakteristik sumbernya dan metode yang berkembang pada masa pembentukan telah menjauhkannya dari lembaga-lembaga hukum dan perangkat negara dan perubahan masyarakat. 3. Hukum Islam tidak mengembangkan metode yang sejalan dengan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat.35 Adapun dari aspek metode (al-manhaj) semua sistem hukum biasanya
34
Ahmad al-Raisuny, Nazariyât al-Maqâsid „inda al-Imam al-Syatibi (Riyad: Dar al-Ilmiah li al-Kitab al-Islmai, 1992), hlm. 143. 35 Asmuni M. th, “Penalaran Induktif Syatibi dan Perumusan al Maqasid Menuju Ijtihad yang Dinamis” dikutip dari www.yusdani.com, diakses pada 10 Januari 2012, Jam 9.40. WIB
24
berusaha menjadi sempurna dan abadi dan juga dinamis sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Hukum Romawi, misalnya dalam mengatasi masalah ini berusaha memisahkan antara jus civile yang dianggap kaku dengan jus honorarium yang memiliki sifat yang fleksibel, dinamis. Seperti halnya hukum Romawi tersebut, di dalam
fiqh Islam pun juga telah dilakukan pengembangan metode untuk
melengkapi teori-teori sumber hukum yang empat dan mengisi kekosongan yang belum terpenuhi oleh sumber-sumber yang empat tersebut sebagai akibat cara pandang yang kaku dan tektualis yang selalu bermuara pada kaidah-kaidah qiyas. Pengembangan metode ini antara lain dengan nalar al-istihsan, al-istishlah dan siyasah as- syar‟iyah.36 Menurut Syatibi sekurang-kurangnya ada tiga syarat yang dibutuhkan dalam rangka memahami maqâsid as-Syariah. Ketiga syarat ini adalah :37 1. Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab Syarat pertama ini bertitik tolak dari alasan bahwa al-Quran sebagai sumber hukum diturunkan oleh Allah dalam bahasa Arab. Dalam al-Quran surat al-Syu‟ara ayat 192-195 berbunyi : ى ى ى ى ى ىىى ى ى ىىى ى ى ى ى ى ى ىىى ى ىىىىىى Artinya: “192. dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, 193. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), 194. ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi 36
Ibid. Asafri Jaya Bakri, Konsep Syariah Menurut al-Syatibi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 74. 37
25
peringatan, 195. dengan bahasa Arab yang jelas.”
Seseorang yang akan memahami al-Quran termasuk kandungan maqâsid assyariah, menurut Syatibi harus memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab termasuk di dalamnya pengetahuan tentang kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab dalam menggunakan bahasa mereka.38 2. Memiliki Pengetahuan Tentang Sunnah Pemahaman al-Quran tidak akan sempurna hanya dengan pengetahuan bahasa Arab. Antara lain alasannya adalah tidak semua kata-kata dalam al-Quran konsisten dengan arti bahasa. Sebagian kata-kata mengalami perubahan arti setelah kita memperoleh keterangan dari Sunnah. Sebagai contoh kata shalat secara bahasa berarti do‟a, tapi dalam pengertian yang dimaksudkan oleh Allah dengan kata shalat dalam al-Quran, sebagaimana yang dipraktekkan oleh umat Islam dari masa Nabi sampai sekarang ini, hanya dapat ditemukan penjelasannya dari Rasulallah. Demikian pula institusi hukum yang lain seperti puasa, zakat dan menunaikan ibadah haji.39 3. Mengetahui Sebab-sebab Turunnya Ayat Bahwa al-Quran yang dilihat sekarang ini, diterima oleh Nabi secara berangsur-angsur. Ayat atau surat al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. ada yang dilatar belakangi oleh suatu sebab dan ada pula ayat atau surat alQuran yang diturunkan tidak dilatar belakangi oleh suatu sebab. Sebab-sebab turun ayat itu dapat dalam bentuk adanya pertanyaan umat yang harus dijawab oleh Nabi
38 39
Ibid., hlm. 75. Ibid., hlm. 78
26
dan dapat pula bentuk munculnya peristiwa-peristiwa tertentu.40 Ayat-ayat al-Quran yang turun dengan latar belakang tertentu, hanya dapat dipahami secara sempurna apabila latar belakang yang menjadi sebab turunnya ayat itu dapat diketahui dengan baik. Oleh karena itu, bagi Syatibi, pengetahuan tentang sebab turunnya ayat adalah mutlak diperlukan untuk memahami kandungan alQuran.41 Dengan demikian bisa dipahami bahwa definisi yang beragam juga akan mengarah pada adanya kontradiksi antar kemaslahatan. Ada kemaslahatan yang kita yakini dan anggap benar, namun dalam perjalanannya justru menyingkirkan kemaslahatan lain, atau malah terjerumus dalam mafsadat. Dalam kondisi ini semua orang harus meletakkan ragam pendapat tersebut pada porsinya masing masing, kemudian dianalisis dari segala sudut pandang yang telah disebutkan. Baru akan diketahui maslahat yang harus didahulukan dan maslahat yang diakhirkan. Proses inilah yang akan mengantarkan pada maslahat yang benar. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan Yusuf Qardawi yang menuturkan bahwa salah satu faktor terjadinya perbedaan, tidak terkecuali dalam
merumuskan konsep maslahat ini adalah
perbedaan dalam menilai realitas yang oleh para fuqaha dikenal dengan istilah tahqiqul manath (membenarkan illat).
40 41
Ibid., hlm. 83. al-Syatibi, al-Muwafaqat, III, hlm. 12.
BAB III METODE IJTIHAD DAN FATWA MUI, NU DAN MUHAMMADIYAH TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA A. Metode Ijtihad MUI, NU dan Muhammadiyah 1. Metode Ijtihad MUI Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi 1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu‟tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat. 2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma‟, qiyas yang mu‟tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-zari‟ah. 3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapatpendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. 4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan
27
28
Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI ini adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketikan menetapkan fatwa, di samping itu juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidak cenderung kepada dua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya. Dalam menetapkan suatu fatwa, MUI harus mengikuti prosedur penetapan fatwa yang telah digariskan, sebagaimana yang tercantum pada bagian ketiga pasal 3 sampai dengan pasal 5 dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berbunyi: Pasal 3 1. Setiap masalah yang disampaikan kepada Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan. 2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (qath‟iy) hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui nashnya dari Al-Qur‟an dan Sunnah.
29
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatkan fiqih muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan. Pasal 4 Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif, serta memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam siding, Komisi menetapkan fatwa Pasal 5 1. Setiap Keputusan Fatwa harus di-tanfidz-kan setelah ditandatangani oleh Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF). 2. SKF harus dirumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat luas. 3. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber pengambilannya. 4. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan rekomendasi dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF tersebut. Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia Daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut permasalahan umat Islam Indonesia secara nasional dan/atau masalah-masalah keagamaan yang terjadi di
30
daerah, namun efeknya dapat meluas ke daerah-daerah lain, bahkan masalah-masalah tersebut bisa menasional. Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya. Namun ketika keputusan MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka kedua pihak perlu bertemu untuk
mencari
penyelesaian
yang
terbaik,
agar
putusan
tersebut
tidak
membingungkan umat Islam 2. Metode Ijtihad NU Bahtsul Masail al-Diniyah adalah salah satu forum diskusi keagamaan yang ada dalam NU untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual (kontemporer) yang muncul dalam kehidupan masyarakat, yang tidak hanya meliputi persoalan hukum halal haram melainkan juga hal-hal yang bersifat pengembangan keislaman dan kajian kitab, sehingga kalau selama ini Bahtsul Masail di NU hanya menyangkut masalah waqi‟iyyah, kini telah diperluas dengan Bahtsul Masail secara maudhu‟iyyah. Dalam prakteknya para ulama NU lebih mengutamakan otoritas keahlian seseorang dan literatur yang diperolehnya, dari pada meneliti kecenderungan madzhabnya. Oleh karena itu selain tetap berpegang pada pemikiran para ulama klasik, juga tidak mempersoalkan pemikiran ulama sekaliber Syaikh Muthi‟i, Makhluf, Abdul Qadir Audah, Yusuf Musa, dan lain sebagainya, untuk dirujuk kitabnya.
31
Metode pengambilan putusan hukum sebagaimana dalam Keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung tentang sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama. A. PENJELASAN UMUM 1. Yang dimaksud dengan kitab adalah kutub al-madzahibu al-arba‟ah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama‟ah. 2. Yang dimaksud madzhab secara qouli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkungan salah satu al-madzahib al-arba‟ah. 3. Yang dimaksud dengan bermadzhab secara manhaji adalah bemadzhab dengan mengikuti jalan pikiran (metode)dan kaedah penetapan hukum yang telah disusun oleh para imam-imam dari al-madzahib al-arba‟ah. 4. Yang dimaksud dengan istimbath jama‟i adalah mengeluarkan hukum syara‟ dari dalilnya dengan Qawaid ushuliyah secara kolektif . 5. Yang dimaksud dengan Qaul dalam referensi madzhab Syafi‟i adalah pendapat imam Syafi‟i. 6. Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama madzhab Syafi‟i. 7. Yang dimaksud dengan taqrir jama‟i adalah adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah dalam madzhab Syafi‟i. 8. Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul masail bi nazhariha) adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah jadi).
32
9. Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan untuk membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa judul masalah maupun disertai pokok-pokok pikiran atau pola hasil pembahasan awal dengan maksud dimintakan tanggapan. 10. Yang dimaksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil suatu Bahtsul Masail oleh PB Syuriah NU, Munas Alim Ulama NU atau Muktamar NU. B. SISTEM PENGAMBILAN KEPUTUSAN HUKUM I.
PROSEDUR PENJAWABAN MASALAH Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka
bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauli. Oelh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut: 1. Dalam kasus ketika jawaban bias dicukupi dengan ibarat dari kitab almadzahib al-arba‟ah dan disana terdapat hanya satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut. 2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi dengan ibarat dan disana terdapat lebih dari satu qaul atau wajah, maka dilakukan taqrir jama‟i untuk memilih salah satu qaul atau wajah. 3. Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaq al-masail bi nazhairiha secara jama‟i oleh para ahlinya. 4. Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istimbath jama‟i dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya.
33
II.
HIRARKI DAN SIFAT KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL 1. Seluruh keputusan bahtsul masail di lingkungan NU yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan. 2. Suatu hasil keputusan bahtsul masail dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar. 3. Sifat keputusan dalam bahtsul masail tingkat Munas dan Muktamar adalah: a. Mengesahkan rancangan keputusan yang telah disiapkan sebelum atau sesudahnya. b. Diperuntukan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.
III.
KERANGKA ANALISA MASALAH Dalam memecahkan dan merespon masalah, bahtsul masail mempergunakan
kerangka pembahasan masalah, antara lain sebagai berikut: 1. Analisa masalah (sebab kenapa terjadi kasus) ditinjau dari berbagai faktor. a. Factor ekonomi; b. Factor politik ; c. Factor budaya; d. Factor social dan lainnya. 2. Analisa dampak (dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang dicari hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek antara lain:
34
a. Aspek sosial ekonomi; b. Aspek sosial budaya; c. Aspek sosial politik; d. Aspek sosial lainnya. 3. Analisa hukum (dampak Bahtsul Masail tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya disegala bidang) disamping mempertimbangkan hukum Islam juga mempertimbangkan hukum yuridis formal. a. Status hukum (al-ahkam al-khomsah). b. Dasar dari ajaran (Ahlussunnah wal Jama‟ah). c. Hukum positif. 4. Analisa tindakan, peran dan pengawasan (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa di atas). Kemudian siapa saja yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan di mana hal itu hendak dilakukan, serta bagaimana mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai rencana. a. Jalur politik (berusaha pada jalur kewenangan Negara dengan sasaran mempengaruhi kebijakan pemerintahan). b. Jalur budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat melalui berbagai media massa dan forum seperti pengajian dan lain-lain). c. Jalur ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat). d. Jalur sosial lainnya (upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan dan seterusnya).
35
C. PETUNJUK PELAKSANAAN I. PROSEDUR PEMILIHAN QAUL ATAU WAJAH 1. Ketika dijumpai beberapa qaul atau wajah dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat. 2. Pemilihan salah satu pendapat dilakukan : a. Dengan memngambil pendapat yang lebih mashlahah atau yang lebih kuat. b. Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar NU ke I, bahwa perbedaan pendapat disesuaikan dengan memilih: 1. Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhan (al-Nawawi dan al-Rafi‟i); 2. Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi; 3. Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi‟; 4. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama; 5. Pendapat ulama yang terpandai; 6. Pendapat ulama yang paling wara‟. II. PROSEDUR ILHAQ Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaq al-masail bi nazhairiha secara jama‟i oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaq bih, wajhu al-ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
36
III. PROSEDUR ISTINBATH Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istimbath jama‟i dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya. Yaitu dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah oleh para ahlinya. 3. Metode Ijtihad Muhammadiyah Muhammadiyah berpendapat bahwa sumber utama hukum dalam Islam adalah Al-Qur‟an dan Al-Sunnat al-Shahihat. Kemudian untuk menghadapi persoalan-persoalan baru, sepanjang persoalan itu tidak berhubungan dengan ibadah mahdah dan tidak terdapat nash sharih dalam Al-Qur‟an dan Hadits, digunakan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada melalui persamaan „illat. Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Muhammadiyah ijtihad bukan merupakan sumber hukum, melainkan sebagai metode penetapan hukum dalam Islam. Dalam hal ini Muhammadiyah sejalan dengan faham kelompok mukhaththi‟at, yang menyatakan bahwa ijtihad adalah metode penemuan hukum, bukan sumber hukum dalam Islam.1 Al-Qur‟an dan Hadits sebagai sumber hukum dalam Islam tidak hanya diyakini oleh Muhammadiyah saja, tetapi juga diyakini oleh seluruh umat Islam dalam berbagai mazhab dan aliran. Diantara dua sumber itu, Al-Qur‟an merupakan “sumber dari segala sumber hukum”. Artinya, Al-Qur‟an merupakan rujukan utama dalam menetapkan hukum. Sedangkan Hadits berfungsi sebagai penjelas terhadap Al-Qur‟an. Tentu penjelasan dari Nabi tidak boleh bertentangan dengan apa yang dijelaskannya, Al-Qur‟an. Karena itu, menurut sebagian ahli Hadits, salah satu tolok ukur untuk menyeleksi Hadits adalah harus “diuji” dengan Al-Qur‟an. Kalau Hadits 1
hlm. 70.
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos, 1995),
37
itu sejalan dengan Al-Qur‟an, maka Hadits itu dapat diterima. Tetapi kalau Hadits itu tidak sejalan, apalagi bertentangan, dengan Al-Qur‟an, maka Hadits itu tidak dapat diterima. Tolok ukur seperti ini dimasukkan pada kritik matan Hadits.2 Agaknya Muhammadiyah tidak begitu mengembangkan tolok ukur di atas. Sebagai indikatornya adalah terdapat beberapa Hadits yang dijadikan dasar putusan tarjih, yang diduga oleh sementara pihak sebagai “tidak sejalan” dengan Al-Qur‟an. Sebagai contoh dapat dikemukakan Hadits tentang hukum membayar puasa untuk orang yang meninggal dunia dan hukum memakai emas bagi laki-laki.3 Namun demikian, para ahli ushul fiqih berpendapat bahwa dalam kedua kasus ini tidak terdapat pertentangan, karena dalam hal ini kedudukan Hadits sebagai pen-takhshish terhadap keumuman Al-Qur‟an. Kecenderungan Muhammadiyah dalam menilai Hadits hampir sama dengan sikap Al-Syafi‟i. Bagi yang disebut terakhir ini, sebuah Hadits yang telah diketahui keshahihan sanadnya dapat diterima sebagai dasar hukum, tanpa harus meneliti lebih lanjut makna dari matan Hadits itu. Untuk itulah ia dikenal sebagai nashir al-sunnat. Menurut hemat penulis, bahwa kriteria sebuah Hadits itu termasuk kategori shahih, tidak semata-mata ditemukan dari segi sanad saja, tetapi juga harus ditinjau dari segi matannya. Pernyataan bahwa Muhammadiyah lebih menekankan pada kritik sanad Hadits juga dapat dilihat dalam manhaj yang dibuat oleh Majlis Tarjih. Dalam 2
Ibid., hlm. 71. 3 Dalam putusan Majlis Tarjih disebutkan, bahwa apabila ada orang yang dalam perwaliannya meninggal, sedang ia berutang puasa, maka wali harus berpuasa untuk orang tersebut. Diantara dalil yang digunakannya adalah Hadits:
وى ُّىٔن ّى
وى
ٍى ئلتىأٌىرإلىهللاىق لىيٍىي ثىٔ ه ّى
(Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda: „barang siapa yang meninggal dunia dan ia mempunyai kewajiban (hutang) puasa, maka wali dapat berpuasa untuk untuknya). Hadits ini oleh sementara pihak dianggap tidak sejalanm dengan firman Allah:
38
pedoman itu hanya diatur bagaimana hukum menggunakan hadits Mauquf, Mursal Shahabi dan Mursal Tabi‟i, serta bagaimana cara menilai seorang rawi. Semuanya kembali kepada kritik sanad. Bahkan dalam menerima Hadits Dla‟if sebagai hujjah pun, tolok ukur yang dikemukakannya adalah bahwa Hadits itu diriwayatkan dengan sanad yang banyak. Dalam manhaj tersebut tidak terdapat secara eksplisit upaya kritik matan Hadits. Padahal disamping melakukan kritik sanad, kritik terhadap matan hadits juga sangat diperlukan, terutama dalam rangka pengamalan sebuah Hadits. Lebih dari itu, memahami dan mengelompokkan tingkah laku Muhammad SAW dalam berbagai kedudukannya, termasuk kegiatan yang perlu dilakukan. Jika langkah yang terakhir itu juga dilakukan oleh Muhammadiyah, maka kemungkinan untuk dapat menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah kontemporer akan semakin terbuka. Artinya, bahwa banyak kasus yang sekarang muncul tidak selalu sama dengan apa yang pernah terjadi pada mas Rasul. Boleh jadi kasus tersebut sama sekali berbeda dengan kondisi pada waktu itu. Bagaimana dengan metode berijtihad bagi Muhammadiyah? Muhammadiyah secara tegas menyatakan bahwa ijtihad hanyalah metode penetapan hukum. Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqih terdahulu, namun disana sini terdapat “modifikasi” atau lebih tepat lagi disebut kombinasi seperlunya. Ijma, yang dibahas dalam ushul fiqih kelihatannya tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah. Organisasi ini hanya menerima konsep ijma‟ yang terjadi di kalangan sahabat nabi. Hal ini mengisyaratkan, bahwa menurut Muhammadiyah, ijma‟, tidak mungkin terjadi lagi setelah masa sahabat. Pada masa sahabat dimungkinkan adanya ijma‟, karena umat
39
Islam masih sedikit jumlahnya.4 Memang sulit untuk menerima konsep terjadinya ijma‟, pada masa sekarang ini. Ahmad ibn Hanbal secara apriori menyatakan, “siapa yang mengklaim adanya ijma‟ berarti ia telah berdusta. Banyak faktor yang menyebabkan ia menolak terjadinya ijma‟ pada masa sekarang ini. Salah satu diantaranya adalah karena jumlah umat Islam sekarang ini cukup banyak dan mereka tersebar di berbagai belahan dunia yang berjauhan. Lebih dari itu, menentukan kriteria mujtahid, seperti yang terdapat dalam definisi ijma‟, juga tidak mudah. Belum lagi adanya perbedaan aliran dan sekte dalam Islam, yang pada gilirannya akan mempersulit proses ijma‟ itu. Pendapat Ahmad ibn Hanbal ini didukung oleh beberapa pengikut mazhabnya, seperti al-Thufi dan Ibn al-Qayyim. Bahkan yang disebut terakhir ini menegaskan bahwa pengetahuan seseorang tentang kesepakatan umat Islam yang berbeda di berbagai belahan dunia ini, kalau tidak boleh dikatakan mustahil, dapat dikatakan merupakan hal yang paling sulit terjadi. Kecenderungan Hanabilat ini diterima oleh Muhammadiyah. Hal ijni menguatkan asumsi sebagian pengamat yang menyatakan, bahwa Muhammadiyah lebih berorientasi “Hanbalisme”. Sebenarnya sikap Muhammadiyah tentang ijma‟ ini tidak hanya sejalan dengan Hanabilah, tetapi juga dengan ulama lain. Ibn Hazm dan Al-Syafi‟i termasuk yang mempunyai pendapat demikian. Yang disebut pertama hanya menerima ijma‟ sahabat, sedangkan AlSyafi‟i (yang disebut terakhir) menyatakan sulitnya tercapai ijma‟ sahabat setelah periode sahabat.
4
Ibid., hlm. 71.
40
Qiyas sebagai metode penetapan hukum, pada dasarnya diterima oleh Muhammadiyah, dengan catatan tidak mengenai masalah ibadah mahdah. Ketika Muhammadiyah mengadakan pembahasan tentang qiyas sebagai metode penetapan hukum dalam Islam, ternyata banyak peserta muktamar tarjih yang tidak setuju menggunakan qiyas sebagai metode penetapan hukum dalam Islam. Namun banyak pula peserta muktamar yang menyetujuinya. Dengan kata lain, bahwa warga Muhammadiyah tidak sepakat tentang penggunaan qiyas dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa sebagian warga Muhammadiyah ada yang dipengaruhi oleh pendapat Ahmad ibn Hanbal dan para pengikutnya. Bagi Hanabilah, qiyas itu baru digunakan dalam keadaan terpaksa. Namun demikian, kenyataannya, betapapun seseorang atau sekelompok orang tidak menerima qiyas, namun persoalan-persoalan yang baru harus diselesaikan dengan melihat illat-nya. Kegiatan itu tiada lain kecuali qiyas. Dalam sejarah perkembangan ilmu fiqih, qiyas lebih banyak digunakan oleh kelompok “rasionalis”, atau dalam istilah sejarah fiqih disebut ahlu al-ra‟yi. Abu Hanifah dianggap sebagai tokoh dari kelompok ini. Di pihak lain ada kelompok ahli fiqih yang berorientasi pada Hadits, sehingga tidak banyak menggunakan nalar, atau lebih khusus lagi qiyas. Kelompok ini sering disebut ahlu al-hadits. Imam Malik dan Ahmad ibn Hanbal termasuk di dalam kelompok terakhir ini.5 Perbedaan kecenderungan ini disebabkan oleh perbedaan situasi dimana para ahli fiqih hidup. Hijaz, dimana kebanyakan kelompok terakhir tinggal, merupakan tempat lahirnya Hadits, sehingga banyak para sahabat disana yang mengetahuinya. Sementara Irak,
5
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.lm. 93-94.
41
dimana kelompok pertama tinggal, tidak demikian keadaannya. Akibatnya ahli fiqih di Irak lebih banyak menggunakan nalar daripada Hadits. Hal ini tidak berarti, bahwa kelompok pertama tidak menggunakan Hadits sama sekali, dan sebaliknya kelompok kedua tidak menggunakan nalar sama sekali. Kelompok pertama menerima Hadits secara kritis, terutama terhadap matn-nya. Muhammadiyah dalam kerangka pengelompokkan ini, dapat digolongkan kepada kelompok kedua, ahlu al-hadits. Abu Hanifah tidak berhenti pada qiyas saja, melainkan lebih jauh menggunakan istihsan sebagai metode penetapan hukum dalam Islam. Perbedaan antara qiyas dan istihsan, seperti telah dijelaskan, terletak pada “kekuatan” dan “daya jangkau” illat-nya. Dalam yang disebut pertama, antara peristiwa baru dengan nash terdapat kesamaan illat, sedangkan dalam yang disebut terakhir, jangkauan illat-nya lebih luas lagi, bahkan mungkin berbeda atau berpaling sama sekali dari illat itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa metode istihsan lebih berorientasi pada upaya mencari jiwa hukum berdasarkan pada prinsip-prinsip umum dalil syara‟ (alQaya‟id al-Kulliyyat). Muhammadiyah tidak menyebutkan secara eksplisit penggunaan metode istihsan ini. Tetapi dari rumusan yang terdapat dalam manhaj Majlis Tarjih dapat dipahami, bahwa Muhammadiyah menerima metode istihsan sebagai metode penetapan hukum dalam Islam. Dalam point ke sembilan manhaj tersebut dinyatakan, bahwa men-ta‟lil, dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum, dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al-Qur‟an dan hadits. Kegiatan ini erat kaitannya dengan metode istihsan. Seiring dengan adanya konsep istihsan yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, Imam Malik mengemukakan konsep istishlah atau al-mashlahat al-mursalat.
42
Berbeda dengan qiyas dan istihsan, dalam al-mashlahat al-mursalat sama sekali tidak terdapat nash yang secara khusus mengaturnya, melainkan termasuk dalam ruang lingkup maqashid al-syari‟at secara umum. Metode ini digunakan untuk mengantisipasi segala persoalan baru, padahal nash Al-Qur‟an atau Hadits belum mengaturnya. Tentu bidangnya cukup luas dibandingkan dengan dua metode sebelumnya. Metode yang disebut terakhir ini juga digunakan oleh Muhammadiyah. Menurut Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan muamalah peranan akal cukup besar, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu. Agaknya, cara berpikir seperti ini sejalan dengan pernyataan Al-Thufi, salah seorang pengikut Ahmad ibn Hanbal. Ia menegaskan bahwa kemaslahatan umat merupakan “jiwa” dari aspek hukum dalam Islam yang berhubungan dengan muamalah. Bahkan lebih jauh dari itu, baginya kemaslahatan dalam bidang muamalah harus didahulukan daripada nash, apabila terjadi pertentangan satu sama lainnya. Artinya, mashlahat, dalam bidang muamalah, dapat men-takhshish nash. Ia, dengan demikian, tidak bermaksud membatalkan nash sama sekali. Pernyataan Al-Thufi yang terakhir itu tidak dinyatakan secara eksplisit oleh Muhammadiyah. Namun berdasarkan keterangan sebagian pimpinan Majlis Tarjih Muhammadiyah, sebagaimana telah dikemukakan dalam sub bab sebelumnya, diketahui bahwa Muhammadiyah tetap mendahulukan zhahir nash daripada mashlahat, ketika satu sama lain dianggap bertentangan. Pendapat ini pula yang dianut oleh kebanyakan ahli ushul fiqih.6
6
Ibid., hlm. 77.
43
Ditinjau dari segi tidak secara langsung mengamalkan apa yang tertulis pada nash, kelihatannya Al-Thufi dapat dikatakan sejalan dengan kebijaksanaan Umar ibn al-Khattab. Tetapi bila ditinjau dari segi kedudukannya ternyata keduanya berbeda. Umar pada waktu itu sebagai kepala negara, sehingga kebijaksanaannya lebih bersifat praktis. Sedangkan pernyatan Al-Thufi lebih bersifat teoritis. Betapapun, baik Umar maupun Al-Thufi pendapatnya dianggap kontroversial oleh umat Islam sepeninggalnya. Guna melihat kecenderungan mereka, agaknya perlu dibedakan antara ijtihad istinbathi di satu pihak dan ijtihad tathbiqi di pihak lain. Ijtihad dalam bentuknya yang pertama tidak selalu dipengaruhi oleh kepentingan umum (mashlahat ummat), sedangkan ijtihad dalam bentuknya yang kedua sering kali dipengaruhi oleh kepentingan umum. Umar, ketika itu, menetapkan hukum dalam kapasitasnya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Ia ketika itu, bertindak sebagai mujtahid muthabbiq, dan bukan mujtahid mustanbith. Metode lain yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam berijtihad adalah saddu al-zariat. Adapun tujuan digunakannya metode ini oleh Muhammadiyah adalah “untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah”. Jika diambil pengertian sebaliknya, maka tujuan digunakan metode ini adalah untuk kemaslahatan manusia. Metode ini sering digunakan oleh Imam Malik dan Ahmad ibn Hanbal. Hal ini tidak berarti bahwa selain dari kedua tokoh ini tidak menggunakannya sama sekali. Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur, yaitu: 1. Al-Ijtihad al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash Al-Qur‟an dan Hadits.
44
2. Al-Ijtihad
al-Qiyasi,
yakni
menyelesaikan
kasus
baru,
dengan
cara
menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam Al-Qur‟an dan Hadits. 3. Al-Ijtihad al-Istishlahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan. Pada dasarnya semua jalur di atas selalu berorientasi pada mashlahat yang merupakan tujuan utama disyariatkan hukum dalam Islam. Namun bila diurut secara rinci, jalur yang terakhir menggunakan konsep mashlahat lebih banyak daripada jalur sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa metode ijtihad yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam masalah-masalah “mu‟amalat dunyawiyyat” selalu bertumpu pada maqashid al-syariat, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dengan cara memperhatikan hal-hal yang bersifat daruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat. Setiap peringkat memperhatikan kelima unsur utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
B. Fatwa MUI, NU dan Muhammadiyah tentang Pernikahan Beda Agama 1. Fatwa MUI Majelis ulama Indonesia (MUI), dalam Musyarah Nasional MUI VII pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005M., setelah: Menimbang: a. Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi pernikahan beda agama.
45
b. Bahwa pernikahan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengudang keresahan di tengah-tengah masyarakat. c. Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan pernikahan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan d. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentaraman
kehidupan
berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama untuk dijadikan pedoman. Mengingat : 1. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa‟ (4): 4 ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىى Artinya : “berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya:. 2. Firman Allah dalam QS. Ar-Rum (30): 21 ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىىى Artinya : “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
46
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. 3. Firman Allah dalam QS. Al-Tahrim (66): 6 ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىىىىى Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. 4. Firman Allah dalam QS. Al-Maidah (5): 5 ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىى Artinya : “pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
47
Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatandiantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”.
5. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 221 ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىىى Artinya : “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. 6. Firman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah (60): 10 ى
ى
48
ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىىىىى Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” 7. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa‟ (4): 25 ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى
49
ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىىىىى Artinya : “dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budakbudak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 8. Hadits Rasululllah SAW
ىٔ ِسن ْفيُِسٓ َدى َد ْف ظ َد ْفزى ِسذَد ثِسى ح ُع ْفُ َدك ُع ى ْفن َدً ْفزأَدة ُع ِس ىٔ ِسنَُد َد س ِسبٓ َدى َدٔ ِسن َد ً َدنٓى َد َد ىأل َد ْفر َد ٍى ِسنً َد ِسنٓ َد َد ن ِس ِّي ِسْفٍىحَد ِسز َد ْف ىكى(يخ قى ه ّ)ى جىيَد َد َد Artinya : ”Wanita dinikahi karena empat perkara, karena harta bendanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya, maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam, jika tidak akan binasalah kedua tanganmu”. (HR. Mutatafaq‟alaih dari Abu Hurairah).”
50
9. Kaidah Fiqh
َد ْف ُع ى ن َدً َد ِسا ِسى ُعي َد َّد ٌموى َدهَد ى َد ْفه ِسى ن َدً َد ِسن ىِس ”menolak mafsadah harus didahulukan dari pada meraih kemaslahatan” Dan kaidah sadd al- zari‟ah.
Memperhatikan : 1. Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang perkawinan campuran. 2. Pendapat sidang komisi C bidang fatwa pada Munas VII MUI 2005 Dengan tawakkal kepada Allah SWT memutuskan: Menetapkan: Fatwa Tentang Perkawinan Beda Agama: 1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. 2. Perkawinan laki-laki muslim degan wanita ahlul kitab, menurut
qaul
mu‟tamad adalah haram dan tidak sah
2. Fatwa NU Hukum nikah yang berlainan agama di Indonesia adalah tidak sah, sebagimana telah diputuskan dalam Muktamar NU tahun 1962 dan Muktamar Thariqah Mu‟tabarah tahun 1968. Keterangan, dari kitab: 1. Hasyiyah al-Syarqawi
51
ت َةحتَّى ٌُةؤْة ِةم َّن َةوت َة ْةغ ِةل ْةٌبًا ِةللت َّ ْةح ِةرٌ ِةْةم فِةى َةك َةذ ِةل َةن ِةلمَة ْةو ِةل ِةه َةوالَة ت ُة ْةن ِةك ُةح ْةوا ْةال ُةم ْةش ِةر َةكا ِة اْة ِةخٌ َةْةرةِةَ .ةوخ َةَةر َةج بِة ْةال ُةم ْةس ِةل ِةم اْة ْةل َةكافِة ُةر لَة ِةك ْةن ذُة ِةك َةر فِةى ْةال ِةكفَةاٌَة ِةة فِةى ِةح ِةّةل ْةال َةوثَةنِةٌَّ ِةة ً ٌَة ْةنبَة ِةغى ً لَةا َةل ال ُّ سبُة ِةك ِةّة ً َةو ْةج َةهٌ ِةْةن َةوه ْةَةل ت َة ْةح ُةر ُةم ْةال َةوثَةنِةٌَّةُة علَةى ْةال َةوثَةنِة ِةّة ِةل ْةل ِةكتَةابِة ِةّة الت َّ ْةح ِةر ْةٌ ُةم ِةإ ْةن لُة ْةلنَةا اَةنَّ ُةه ْةم ُةمخَةا َة طبُة ْةونَة ِةب ْةالفُة ُةر ْةوعِة َةواِةالَّ فَةالَة ِةح َّل َةوالَة ُةح ْةر َةمةَة (فَةإ ِة ْةن ً ِةإ ْةس َةرااِة ْةٌ ِةلٌَّةٌة) َةحلَّ ْة َةكان ْة صنَةاتُة ت َةلنَةا َةلا َةل ت َة َةعا َةلى َةو ْةال ُةم ْةح َة َةت) ِةكتَةا ِةبٌَّةً (خَةا ِةل َة صةً َةو ِةه َة ب الت َّ ْةو َةراة ُة ي َةح ٌّل َةو ْةال ُةم َةرا ُةد ِةمنَة ْةال ِةكتَةا ِة ِةمنَة الَّ ِةذٌْةنَة ا ُة ْةوت ُة ْةوا ْةال ِةكت َة َة اب ِةم ْةن لَة ْةب ِةل ُةك ْةم أ َة ْة ف ِةشٌ َة ْةس َةوإِةب َةْةرا ِةهٌ َةْةم ص ُةح ِة ب لَة ْةبلَة َةها ُةك ُة سااِة ِةر ْةال ُةكت ُة ِة َةواْة ِةإل ْةن ِةج ْةٌ ُةل د ْةُةونَة َة ْةث َةوإِة ْةد ِةرٌ َة سالَة ُةم ِةِلَةنَّ َةها لَة ْةم ت ُة ْةنزَة ْةل ِةبن ْة ً ص َةالة ُة َةوال َّ َةعلَة ْةٌ ِةه ُةم ال َّ َةظ ِةم ٌُة ْةد َةر ُة س َةوٌُةتْةلَةى َةو ِةإنَّ َةما ا ُة ْةو ِةح َة ِةإلَة ْةٌ ِةه ْةم َةم َةعانِة ْةٌ َةها َةولِة ْةٌ َةل ِةِلَةنَّ َةها ِةح َةك ٌةم َةو َةم َةوا ِةع ُة ظ الَة أ َة ْةح َةكا ٌةم َةوش َةَةرااِة ُةع َةه َةذا ( ِةإ ْةن لَة ْةم ت ْةالمَة ْةب ِةلٌَّةُة أ َة ْةو ُة ش َّن ع ِةل َةم ِة س َةوا ٌةء أ َة ُة ت َة ْةد ُةخ ْةل أ ُة ُة ص ْةولُة َةها فِةى َةذ ِةل َةن ال ِة ّةدٌ ِةْةن بَة ْةع َةد نُة ْةس َةخ ٍةة) َة ض ْةٌلَة ِةة َةذ ِةل َةن فِة ْةٌ َةها ِةلت َة َةم ُّ س ِةك ِةه ْةم بِة َةذ ِةل َةن ال ِة ّةدٌ ِةْةن ِةحٌْةنَة َةكانَة َةحمًّا َةوإِةالَّ فَةالَة ت َة ِةح ُّل ِةل ُة سمُة ْةو ِةط فَة ِة ً ( َةغٌ ُةْةر ِةإ ْةس َةرا ِةا ِةٌ ِةلٌَّ ٍةة َةحلَّ ْة ع ِةل َةم ُةد ُةخ ْةولُة ُةه ْةم فى َةذ ِةل َةن ت) ِةل َةما َةم َّر ِةإ ْةن ُة ال ِة ّةدٌ ِةْةن (أ َة ْةو) َةو ِةه َة ال ِة ّةدٌ ِةْةن لَة ْةب َةل نُة ْةس ِةح ِةه َةولَة ْةو َةب ْةع َةد ت َة ْةب ِةد ْةٌلَة ِةة ِةإ ْةن ت َة َةجنَّبُةوا ْةال ُةم ْةب َةد ُةل) َةواِةالَّ فَةالَة ت َة ِةح ُّل ِةل َةما َةم َّر أ َة ْةخذًا بِة ْةاالَة ْةغلَة ِةظ فِة ْةٌ َةما اِة َةذا ُة ش َّن فِةى ال ُّد ُةخ ْةو ِةل ْةال َةم ْةذ ُةك ْةو ِةر َةوت َة ْةعبِةٌ ُةْةرهُة بِة َةما ذُة ِةك َةر ُةه َةو ص َةرانِةٌَّةُة بِةال َّ ش ْةر ِةط ْةال َةم ْةذ ُةك ْةو ِةر) ص ِةل بِة ِةم َةعب َةَّر بِة ِةه (فَةت َة ِةح ُّل ْةالٌَة ُةه ْةو ِةدٌَّةُة َةوالنَّ ْة ُةم َةرا ُةد اْةالَة ْة صا ِةا َةبةُة ِةإ ْةن َةوافَةمَةتَةا ْةال َةٌ ُةه ْةو َةد ِةفى اْة ِةال ْةس َةرا ِةا ِةٌ ِةلٌَّ ِةة َةو َةغٌ ِةْةرهَةا ( َةو) َةك َةذا (ال َّ س ِة ام َةرة ُة) َةوال َّ ص ِةل ِةد ْةٌنِة ِةه ْةم َةو ِةإ ْةن لَة ْةم ت ُة َةوافِةمَةا ُةه ْةم فِةى فُة ُةر ْةو ِةع ِةه فَةإ ِة ْةن خَةالَةفَةتَةا ُةه ْةم فِةى ارى فِةى أ َة ْة َةوالنَّ َة ص َة َةص َةعلَة ْةٌ ِةه ال َّ ص ِةر ص ْةٌ ُةل ُةه َةو َةما ن َّ ا َة ْة ص ِةل ِةد ْةٌنِة ِةه ْةم ُةح ِةر َةمتَةا َةو َةه َةذ الت َّ ْةف ِة ى فِةى ُةم ْةخت َة َة شافِة ِةع ُّ ْةال ُةمزَة نِةّةى َةو َةعلَة ْةٌ ِةه ُةح ِةم َةل ا ْة آخ ِةر بِة َةع َةد ِةم ِةه ضعٍة بِة ْةال ِةح ِةّةل َةوفِةى ِة ِةطالَةلُةهُة فِةى َةم ْةو ِة ص َةر فَة ُةه َةو أ َة َةع ُّم ِةم ْةن لَة ْةو ِةل ِةه ً تَةنَة َّ ( َةو ْةال ُةم ْةنت َة ِةم ُةل ِةم ْةن ِةدٌ ٍةْةن ِةالَة ِةخ ٍةر) َةكٌَة ُةه ْةو ِةد ٍةّة ي ا َة ْةو َةوثَةنِة ٍةّة سهُة ( َةال ٌُة ْةم َةب ُةل ِةم ْةنهُة اِةالَّ اْة ِةال ْةسالَة ُةم) ِةِلَةنَّهُة أَةلَة َّر ِةببُة ْة طالَة ِةن ص َةر َةو َةع ْةك ُة َةمنء ت َة َةه َّو َةد اِةلَةى تَةنَة َّ
52
َةما ْةنتَةمَة َةل َةع ْةنهُة َةو َةكانَة ُةم ِةم ًّرا ِةببُة ْة )ط َةال ِةن َةما ا ْةنتَةمَة َةل ِةإلَة ْةٌ ِةه ( َةوالَة ت َة ِةح ُّل ُةم ْةس ِةل َةمةٌة ِةل َةكافِة ٍةر ُةح َّرة ً َةكان ْة ق ( َةوالَة) ت َة ِةح ُّل ( ُةم ْةرت َة َّدة ٌة ِةِل َة َةح ٍةد) الَة ِةل ُةم ْةس ِةل ٍةم ِةالَةنَّ َةها َةت أ َة ْةو ا ُة َّمةً بِة ْة ِة االتْة َةما ِة .ع ْةلمَة ِةة اْة ِةال ْةسالَة ِةم فِة ْةٌ َةها اء ُة َةكافِة َةرة ٌة الَة تُةمَة ُّر َةو َةال ِةل َةكافِة ٍةر ِةلبَةمَة ِة (pernikahan-pernikahan yang batal adalah…..dan pernikahan seorang muslim dengan non muslim selain kitabiyah murni, seperti wanita penyembah berhala, majusi atau salah satu dari kedua orang tuanya beragama beragama seperti itu karena firman Allah SWT. :”Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelm mereka beriman…” (QS. Al-Baqarah: 221) dan karena memenangkan hukum haram dalam kasus yang terakhir (salah satu dari kedua orang tuanya beragama seperti itu). Dan terkecualikan dengan kata “muslim” orang kafir. Namun dalam kitab al-kifayah disebutkan tentang keabsahan pernikahan perempuan penyembah berhala untuk lakilaki kitabi itu terdapat dua pendapat. Apakah perempuan penyembah berhala halal dinikahi bagi laki penyembah berhala? Al-Subki berkata “semestinya haram bila kita berpendapat mereka dikhitbahi dengan furu‟ syariah. Bila tidak, maka tidak halal dan tidak haram”. Apakah wanita tersebut kitabiyah murni, yaitu wanita israiliyah, maka wanita itu halal bagi kita muslimin, Allah ta‟ala berfirman: “ Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang memiliki kehormatan di antara orang-orang yang diberi alKitab sebelum kamu…..” (QS. al-Maidah: 4), maksudnya mereka halal. Yang dimaksud dengan al-Kitab adalah Taurat dan Injil, bukan seluruh kitab sebelum keduanya, seperti shuhuf (lembaran-lembaran) Nabi Syits, Nabi Idris, Nabi Ibrahim. Sebab, kitab-kitab itu tidak diturunkan dengan urutan yang dapat dipelajari dan
53
dibaca, yang diturunkan kepada Nabi itu adalah maknanya saja. Menurut pendapat lain , karena kitab-kitab itu hanya berisi hikmah-hikmah dan nasehat-nasehat, bukan hukum dan syari‟ah. Hukum tersebut berlaku selama nenek moyangnya tidak memeluk agama israiliyah itu setelah dinash diganti dengan syari‟ah lain). Baik sebelum dinasakhnya itu deketahui secara yakin atau diragukan, karena mereka berpegangan dengan agama tersebut semasa agama itu masih benar. Bila tidak, maka perempuan itu tidak halal karena gugurnya keutamaan agama tersebut. Atau perempuan itu bukan israiliyah maka halal karena ayat yang tela lewat (QS. al-Maidah: 4), bila ketahui nenek moyangnya masuk agama tersebut sebelum penyalinannya, meskipun setelah didistorsi. Bila tidak, maka tidak halal karena gugurnya kemuliaan keutamaan agama tersebut dan karena mengambil hukum yang terberat dalam kasus ketika mereka diragukan memeluk agama tersebut sebelum disalin dengan syari‟ah lain atau sebelum didistorsi. Ungkapanku (Syaikh Zakaria alAnshari) itu merupakan maksud ungkapan kitab asal (Tnaqih al Lubab karya Abu Zar‟ah al-Iraqi, 762-826 H/1361-1423 M.). Maka wanita Yahudi dan Nasrani halal dengan syarat yang telah disebut dalam wanita israiliyah dan selainnya. Demikian pula wanita pengikut Musa alSamiri dan wanita Nasrani sekte Sabi‟ah, bila ushul al dinnya sesuai Yahudi dan Nasrani, meskipun furu‟nya berbeda. Bila ushul al-dinnya berbeda dengan Yahudi dan Nasrani, maka keduanya haram. Perincian hukum inilah yang dijelaskan Imam Syafi‟I dalam kitab Mukhtasar al-Mizani. Pada perincian itulah keterangan mutlak beliau, yaitu, di satu tempat halal dan di tempat lain tidak halal.
54
Sementara orang yang pindah dari suatu agama ke agama lain, seperti Yahudi atau penyembah berhala memeluk agama Nasrani, redaksi itu Nasrani dan sebaliknya “. Maka hanya keislamannya yang diterima. Sebab ia mengakui kebatilan agama yang ditinggalkan dan pernah mengakui kebatilan agama barunya. Dan seorang wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki non muslim, baik wanita tersebut merdeka atau budak dengan kesepakatan ulama. Sedangkan wanita murtad tidak halal bagi siapapun. Tidak halal bagi laki-laki muslim karena dia wanita non muslim yang tidak dibiarkan dan tidak halal bagi laki-laki non muslim sebab masih adanya hubungan Islam padanya. 2. al-Muhadzab
ِةل ْةل ُةم ْةس ِةل ِةم أ َة ْةن
ارى بَة ْةع َةد الت َّ ْةب ِةد ْةٌ ِةل َةال ٌَة ُةج ْةو ُةز َةو َةم ْةن َةد َةخ َةل فِةى ِةدٌ ِةْةن ْةالٌَة ُةه ْةو ِةد َةوالنَّ َة ص ِة
ٌَة ْةن ِةك َةح َةح َةرااِة َةر ُةه ْةم َةو َةال أ َة ْةن ٌَة َة طأ َة ِةإ َةما َةء ُةه ْةم بِة ِةم ْةل ِةن ْةالٌَة ِةمٌ ِةْةن ِةِلَةنَّ ُةه ْةم َةد َةخلُة ْةوا فِةى ِةدٌ ِةْةن ارت َة َّد ِةمنَة ْةال ُةم ْةس ِةل ِةمٌْةنَة َةو َةم ْةن َةد َةخ َةل فِة ْةٌ ِةه ْةم َةوالَة ٌَة ْةعلَة ُةم أَةنَّ ُةه ْةم َةد َةخلُة ْةوا بَة ِة اط ٍةل فَة ُةه ْةم َةك َةم ِةن ْة اء لَة ْةم ب َةو ُةه ْةم تَةنُة ْةو ُةخ َةو َةبنُة ْةوا ت َة ْةغ ِةلبْة َةو َةب ْةه َةر ِة ارى ْةال َةع َةر ِة لَة ْةب َةل الت َّ ْةب ِةد ْةٌ ِةل َةو َةب ْةع َةدهُة َةكنَة َة ص َة َةٌ ِةح َّل نِة َةكا ُةح َةح َةرااِة ِةر ِةه ْةم َةو َةال َةو ْة ص َةل فِةى ط ُةء ِةإ َةم ِة اء ِةه ْةم ِةب ِةم ْةل ِةن ْةال َةٌ ِةمٌ ِةْةن ِةِل َة َّن اْةالَة ْة ْةالفُة ُةر ْةوجِة ْةال َةح َة َّ ظ ُةر الَة ت ُة ْةستَةبَةا ُةح َةم َةع ال .ش ِةّةن Pemeluk agama Yahudi dan Nasrani setelah terjadinya perubahan, maka lelaki muslim tidak boleh menikahi wanita merdeka mereka dan tidak boleh menyetubuhi budak wanita mereka dengan memilikinya, sebab mereka memeluknya sebelum terjadinya perubahan atau sesudahnya, seperti Nasrani bangsa Arab, seperti Tanukh, Bani Taghlib dan Bahra‟, maka tidak sah menikahi wanita merdeka mereka dengan memilikinya. Karena hukum asal dalam masalah farji adalah haram, yang
55
tidak bisa dihalalkan ketika terdapat keraguan. 3. Referensi Lain a. al-Umm, Muhammad bin Idris al-Syafi‟I, juz V, hlm. 7. b. Ahkamul Fuqaha, soal nomor 297 pada Keputuasn Konferensi Besar Syuiriah NU, Tahun 1960. c. aAl-Faidhat al-Rabbaniyah, Ketetapan Jam‟iyyah Thariqah al-Mu‟tabarah NU, hlm.81-82. d. Keputusan NU Jawa Timur, hlm. 67. e. al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzab, juz II, hlm. 44. f. Tanwirul al-Qulub, hlm. 342.
3. Fatwa Muhammadiyah A. Pengertian 1. Yang dimaksud dengan nikah antar agama ialah pernikahan antara orang muslim atau muslimah dan orang non muslim atau muslimah. 2. Yang dimaksud dengan non muslim atau msulimah ialah: a. Orang-orang musyrik b. Ahlul Kitab B. Landasan Hukum 1. Nash a. Al-Quran surat al-Baqarah ayat 221:
56
ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىىى Artinya: “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
b. Al-Quran surat al-Maidah ayat 5 : ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى
57
ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىى Artinya: “pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”. c. Al-Quran surat al-Mumtahanah ayat 10 : ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىىىىى Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka
58
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. d. Hadits Nabi SAW :
س ِةبها َة َةو ِةل َةجماَةلها َة َدٔ ِسن ْفيُِسٓى َد فا َة ْة ت ظفَة ْةر ِةب َةذا ِة ت ُة ْةن َةك ُةح اْةل َةم ْةرأَةة ُة ِةِل َةَ ْةر َةبعٍة ِةلما َة ِةلها َة َةو ِةلنَة َة ال ِة ّةدٌ ِةْةن تَة ِةر َةب ْة )ت َةٌ َةدا َةن (متفك علٌه Artinya : ”Wanita dinikahi karena empat perkara, karena harta bendanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya, maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam, jika tidak akan binasalah kedua tanganmu”. (HR. Mutatafaq‟alaih dari Abu Hurairah).” 2. Undang-undang : Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. C. Beberapa Pendapat yang berkembang : Mengenai Pernikahan antara muslim atau muslimah dan musyrik atau musyrikah hukumnya adalah haram berdasarkan surat al-Baqarah 221. Demikian pula pernikahan antara muslimah dan laki-laki ahlul kitab hukumnya haram berdasarkan surat al-Mumtahanah 10. Adapun mengenai pernikahan antara muslim dan wanita ahlul kitab ada dua pendapat : 1. Haram, berdasarkan : a. al-Quran surat al-Maidah ayat 72 dan 73 :
59
ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىىىى Artinya : “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam", Padahal Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (73). Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”. b. al-Quran al-Baqarah ayat 120 : ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىىىىىى Artinya: “orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan
60
Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
c. al-Quran al-Bayyinah ayat 1 dan 6 : ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىىى Artinya : orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (QS. al-Bayyinah : 1) ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىىى Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. (QS. al-Bayyinah : 6). d. Hadits Nabi SAW. riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah R.A.
سبِةها َة َةو ِةل َةجماَةلها َة َدٔ ِسن ْفيُِسٓى َد فا َة ْة ت ظفَة ْةر بِة َةذا ِة ت ُة ْةن َةك ُةح اْةل َةم ْةرأَةة ُة ِةِل َةَ ْةربَةعٍة ِةلما َة ِةلها َة َةو ِةلنَة َة ال ِة ّةدٌ ِةْةن تَة ِةر َةب ْة )ت َةٌ َةدا َةن (متفك علٌه Artinya : ”Wanita dinikahi karena empat perkara, karena harta bendanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya, maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam, jika tidak akan binasalah kedua tanganmu”. (HR. Mutatafaq‟alaih dari Abu Hurairah).”
61
2. Mubah, berdasarkan : a. al-Quran al-Maidah ayat 5 : ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىى Artinya: “pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”. b. al-Quran al-Ali Imran ayat 113 : ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ى ىىىى Artinya : “mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang Berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah
62
pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)”. Dengan syarat tidak mendatangkan mafsadah., D. Analisis 1. Tujuan utama dari pernikahan adalah terwujudnya sakinah dalam keluarga. Untuk itu diperlukan beberapa syarat terutama ialah adanya kafa‟ah fiddin. Maka pernikahan antar agama akan menjadikan kendala terwujudnya sakinah tersebut. 2. dalam agama dimungkinkan menetapkan suatu hukum untuk menghindari kemudharatan yang mungkin timbul (saddu al-zarîah) Hal ini sesuai pula dengan qaidah fiqhiyyah yang berbunyi :
َد ْف ُع ى ن َدً َد ِسا ِسى ُعي َد َّد ٌموى َدهَد ى َد ْفه ِسى ل َدي َد ِسن ىِس ”menolak mafsadah harus didahulukan dari pada meraih kemaslahatan” 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1 dan 2. E. Hukum Nikah Antar Agama Mengingat uraian dalam analisis di atas maka pernikahan antar agama hukumnya haram.
BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM TEORI MASLAHAH MENURUT MUI, NU DAN MUHAMMADIYAH A. Teori Maslahah MUI, NU dan Muhammadiyah Tentang Pernikahan Beda Agama 1. Teori Maslahah Menurut MUI Komisi fatwa MUI merupakan lembaga independen yang terdiri dari para ahli ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten dan memiliki otoritas yang memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah. MUI dengan seluruh anggota komisi fatwanya selalu berpegang kepada al-Qur'an dan al-Sunnah dengan memperhatikan pendapat para ulama terdahulu dan juga menggunakan kaidah ushuliyah atau fiqhiyyah. Di dalam mensikapi dan berinteraksi dengan kelompok yang berbeda, MUI tidak fanatik dengan mazhab, kelompok maupun negara. Putusan MUI ini merupakan putusan lembaga bukan perorangan yang tujuannya adalah mencapai kebenaran dengan menjaga kebenaran proses kesimpulan dalil, tujuantujuan syara', realitas keadaan, perubahan situasi dan kondisi serta pencurahan segala kemampuan untuk menetapkannya. Sesuai dengan Surat Keputusan Dewan Pimpinan tahun 1997 yakni setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu'tabarah,1 tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat, ijma', qiyas yang mu'tabar, dan didasarkan pada dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan,
1
Tim Penyunting Ichwan Sam, dkk. Himpunan Fatwa (Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia) (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 2012), hlm. 5.
63
64
maslahah mursalah, dan saddu al-zarîah.2 Juga dalam penetapan fatwa MUI senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum.3 Dalam menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama, MUI mengacu pada prosedur penetapan fatwa di atas. Hal ini semata-mata untuk menjaga bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI secara jelas dapat diketahui sumber atau dalil-dalil yang digunakan serta melalui kaidah-kaidah baku dalam mengeluarkan fatwa. Adapun kaidah-kaidah yang MUI pakai dalam keputusan nikah beda agama adalah berupa kaidah fiqhiyyah dar' al-mafâsid muqaddamun „ala jalbi al-mashâlih dan kaidah ushuliyah saddu al-zarîah. Kedua kaidah fiqhiyyah di atas dijadikan dasar hukum dalam mengeluarkan fatwa MUI tentang kehararaman pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab. Hal ini mengingat kemaslahatan praktik pernikahan ini belum tentu bisa menjaga agama suami dan anak-anaknya dan menjaganya dari api neraka. Dengan demikian kerusakan akibat pernikahan sangat mungkin terjadi yakni hilangnya iman dan tidak adanya kemampuan suami menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Adapun kaidah saddu al-zarîah adalah mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan, atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan. dijadikan dasar untuk menolak kerusakan yang mungkin timbul akibat pernikahan tersebut. 2. Teori Maslahah Menurut NU Sistem (proses) penetapan fatwa dalam bahtsul masail di lingkungan Nadlatul Ulama (NU) ditetapkan pada Musyawarah Nasional (MUNAS) alim ulama NU di 2 3
Ibid., hlm. 6. Ibid., hlm. 6.
65
Bandar Lampung tanggal 21 – 25 Januari 1992, sistem penetapan fatwa kemudian disempurnakan kembali melalui keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama nomor 02/Munas/VII/2006 tentang Fikrah Nadliyah adalah kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlulssunnah wal jama‟ah yang dijadikan landasan berfikir NU untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islah al-ummah (perbaikan umat).4 Prosedur masalah disusun dalam urutan penyelesaian masalah secara hirarki sesuai dengan tingkat kemampuan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah sebagai berikut: (1) Permaslahan yang diajukan apabila dapat dijawab atau cukup oleh Ibarat Kitab dari Kutubul Madzhahib al-Arba‟ah dan hanya didapatkan satu pendapat dari Kutubul Madhahib al-Arba‟ah maka dipakai pendapat tersebut sebagai keputusan fatwa, diktum fatwa akan ditetapkan berdasarkan pendapat tersebut. (2) Apabila terdapat ibarat kutub lebih dari satu pendapat, maka akan dilakukan penyelesainnya dengan jalan “taqrir jama‟iy”5 untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan salah satu pendapat dapat dilakukan dengan prosedur: Mengambil pendapat yang lebih maslahat atau lebih kuat dari segi ushul dan kaidah fiqh khusus mazhab Syafi‟i sesuai dengan keputusan Muktamar ke I.6 Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta merespon berbagai dinamika kehidupan, maka setiap keputusan harus memenuhi kriteria kepentingan 4
Keputusan Komisi Bahtsul Masail al-Diniyyah al-Maudhu‟iyyah Munas Ailim Ulama & Konbes NU di Asrama Haji Sukolilo Surabaya Tanggal 27 – 30 Juli 2006 Tentang Fikrah alNahdliyyah. Dalam Tim Pemekrisa Aksara & Tataletak A. Ma‟ruf Amin, Ahmad Muntaha, Ahkamul Fuqaha‟ (Solusi Probematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010 M.) (Surabaya: Khalista, 2011), hlm. 856-857. 5 taqrir jama‟iy adalah upaya kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa pendapat. 6 Keputusan Komisi Bahtsul Masail al-Diniyyah al-Maudhu‟iyyah Munas Ailim Ulama & Konbes NU di Asrama Haji Sukolilo Surabaya Tanggal 27 – 30 Juli 2006 Tentang Implementasi Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam. Lihat Ahkamul Fuqaha‟ (1926-2010 M.) hlm. 861.
66
umum (maslahah „ammah) yang dibenarkan oleh syara‟.7 Maslahah a‟mmah adalah sesuatu yang mengandung nilai manfaat dilihat dari kepentingan umat manusia dan tiadanya nila mudharat yang terkandung dalam di dalam, baik yang dihasilkan dari kegiatan jalbu al-manfa‟ah (mendapatkan manfaat) maupun kegiatan dar‟ al- mafsadah (menghindari kerusakan). Maslahah a‟mmah harus selaras dengan tujuan syari‟at, yaitu terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia (al-ushul al-khamsah), yang meliputi : keselamatan keyakinan agama, keselamatan jiwa (dan kehormatan), keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan, dan keselamatan hak milik.8
ض َّدزةٍى يى ِس بَد َدرةٌمى ِسيى ْفأل َد ْف ِسمى َد ْفٍى َد ْفه ِسى َدي ْفُ َد َدعتٍىأَد ْفٔى َد ْف ِسى َدي َد أَد َّدي ى ْفن َدً ْف هَد َد تُعى َد ِسٓ َد قى ىٔ َد ْف َد ى َدي َد ض َّدزةٍى َدي َد ِس ُعى ْفنخ ْفَده ِس َدٔنَد ْفسَُد ىََد ْفعُِس ْفيى ِس َدٓ ىذَد ِسن َدكى َدإِس َّدٌى َد ْفه َد ى ْفن َدً ْفُ َد َدع ِست َد قى ِس ْفيىحَد ْف ِس ْف ِسمى َدي َد ِس ِس ِسْ ْفىىنَد ِسكَُّدَُد ىََد ْفع ِسُ ْفيى ِس ْفن َدً ْف هَد َد ِستى َدٔ َد الَد ُعحى ْفنخ ْفَده ِس ىٔى َدي ْف ُع ْفٕ ِسى ن َّد ْفن ُعً َد َد َد ِستى َدهَد ى َدي ْف ُع ْفٕ ِسى ن َّد ستٌمى ل ْفز ِس ِس قىخ ْفَدً َد ىيٍَد ى ْفنخ ْفَده ِس ل ْفز ِس َد َدٔ ُعْ َدٕىأَد ْفٌىيَد ْف َد َد ىٔ َدي نَد ُعٓ ْفىى َد ُعك ُّمى َدي ى ىََٔد ْف َد ىََٔد ْفسهَد ُعٓ ْفى َد ىٔ َد ْفهَد ُعٓ ْفى َد س ُعٓ ْفى َد ظى َدهَد ْف ِسٓ ْفىى ِس ْفيَُد ُعٓ ْفى َد ىح ْف َد ىٔ ُعك ُّمى َدي ىيَد ُع ْفٕثُع ى َدْ ِسذ ِسِى ض َّدً ُعٍ ِس يَدخَد َد ظى َدْ ِسذ ِسِى ْفأل ُع ُع ْفٕ ِسلى ْفنخ ْفَدً َد س ِستى َد ُعٓ َدٕى َدي ْف هَد َد تٌم َد ىٔ َد ْفعُع َدٓ ى َدي ْف هَد َد تٌمى ْفأل ُع ُع ْفٕ ِسلى َد ُعٓ َدٕى َدي ْف َد س َدة ٌم َد Artinya: “Maslahah pada asalnya merupakan ungkapan tentang penarikan manfaat dan penolakan bahaya. Dan yang kami maksud dalam statemen ini bukan makna tersebut. Sebab penarikan manfaat dan penolakan bahaya adalah tujuan dan kebaikan manusia dalam merealisir tujuan mereka. Tetapi yang kami maksud dengan “maslahah” adalah proteksi (perlindungan) terhadap tujuan hukum (syara‟). Tujuan hukum bagi manusia itu ada lima, yaitu memproteksi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Segala tindakan yang menjamin terlindunginya lima prinsip tujuan 7
Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-29 di Cipasung Tasikmalaya pada tanggal 1 Rajab 1415 H. / 4 Desember 2012 M. tentang Pandangan NU mengenai kepentingan umum (maslahah „ammah) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Lihat Ahkamul Fuqaha‟ (1926-2010 M.) hlm. 759. 8 Ibid., hlm. 761.
67
hukum itu disebut “maslahah”. Sedangkan semua tindakan yang mengabaikan lima prinsip tujuan tersebut itu disebut kerusakan (mafsadah) dan menolak kerusakan itu juga maslahah”.9
Dalam pengambilan keputusan tentang pernikahan beda agama NU mengacu dengan apa yang telah diputuskan dalam Keputusan Muktamar NU tahun 1962 dan Muktamar Thariqat Mu‟tabarah tahun 1968. yaitu Haram atau tidak sah.10 Adapun dalam keputusan fatwa pernikahan beda agama, NU tidak mencantumkan kata maslahah dalam fatwanya. Walaupuan sebenarnya di dalam pernikahan beda agama itu banyak maslahah dan mudharatnya. Karena dapat dipahami bahwa keputusan itu diputuskan tahun 1962. dan 1968. sedangkan perumusan dalam keputusan fatwa dipituskan tahun 1992, juga dalam keputusan pernikahan beda agama ini hanya menyangkut masalah waqi‟iyyah bukan masalah maudhu‟iyyah. Dalam pengambilan keputusan fatwa tentang nikah beda selain merujuk pada al-Quran dan Hadits, NU juga merujuk dari kitab-kitab terdahulu seperti kitab Hasyiyah al-Syarqawi, al-Muhadzab, al-Umm, al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzab dan Tanwirul al-Qulub. Hal itu dibuktikan dalam fatwanya yaitu dalam buku Ahkamul Fuqaha‟ (1926-2010 M.). 3. Teori Maslahah Menurut Muhammadiyah Menelusuri metode istinbat Muhammadiyah, tidak bisa terlepas dari peran Majelis Tarjih (selanjutya disingkat MT), lembaga yang berfungsi sebagai “pabrik
9
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa (Beirut: Dar al_kutub al-Ilmiyah, t.t), hlm. 174. Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-28 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta Pada Tanggal 26-29 Rabiul Akhir 1410 H. / 25 – 28 November 1989 M. Lihat Ahkamul Fuqaha‟ (1926-2010 M.), hlm .434. 10
68
hukum”. Sebelum keputusan final sebuah hukum digulirkan kepada publik, terlebih dahulu para cendekiawan Muhammadiyah melakukan penggodokan secara serius dan matang di dalam MT ini. Di sanalah, proses-proses istinbat dipraktekkan. Secara harfiyah, pada mulanya tarjih bermakna “membandingkan pendapat satu dengan yang lain untuk memilih pendapat yang paling kuat.” Dengan kata lain, tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua pendapat atau lebih dengan argumen tertentu. MT pada mulanya memang tak lebih sebagai lembaga untuk menguatkan satu dari beberapa pendapat yang sudah ada sebelumnya. Namun pada perkembangannya, MT tidak lagi sekedar menguatkan pendapat-pendapat yang telah ada itu, melainkan juga turut ber-ijtihad dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang ditemukan. Dalam berijtihad Muhammadiyah juga mempertimbangkan kemaslahatan umat,11 sebagaimana MUI. Menurut Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan muamalah peranan akal cukup besar, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu.12 Metode lain yang yang digunakan Muhammadiyah dalam berijtihad adalah saddu al-zariah.13 Adapun tujuan digunakan metode ini oleh Muhammadiyah adalah untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. Jika diambil pengertian sebaliknya, maka tujuan digunakan metode ini adalah kemaslahatan umat.
11
Mashalih Mursalah adalah teknik yang digunakan Muhammadiyah dalam menetapkan hukum. lihat Buku Agenda Musyawarah Nasional ke-27 Tarjih Muhammadiyah, hlm. 102. 12 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos, 1995), hlm. 77. 13 Ibid., hlm. 78.
69
Bahwa dalam berijtihad Muhammadiyah menempuh tiga jalur, yaitu : a.
al-Ijtihad al-Bayani, yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Quran dan Hadits.
b.
al-Ijtihad
al-Qiyasi,
yaitu
menyelesaikan
kasus
baru
dengan
cara
menganalogikanya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Quran dan Hadits. c.
al-Ijtihad al-Ishtilahi, yaitu menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.14
Pada dasarnya semua jalur di atas selalu berorientasi pada maslahah yang merupakan tujuan utama disyariatkan hukum dalam Islam. Dengan demikian metode dalam berijtihad Muhammadiyah selalu bertujuan untuk kemaslahatan umat. Dalam beberapa putusan Muhammadiyah yang menggunakan metode maslahah adalah tentang pernikahan beda agama dalam Muktamar Tarjih Muhammadiyah ke-XXII di Malang Jawa Timur. Dalam keputusan itu pernikahan beda agama hukumnya adalah haram. Dalam keputusan ini Muhammadiyah secara tegas menyatakan telah menggunakan kaidak fiqhiyah dar' al-mafâsid muqaddamun „ala jalbi al-mashâlih dan metode saddu al-zarîah. Bahwa tujuan digunakan metode ini adalah untuk menghindari kemadaratan yang mungkin timbul, sebagai akibat dilakukannya pernikahan beda agama. Jadi, metode ini lebih beriorentasi kepada akibat perbuatan yang dilakukan seseorang 14
Ibid., hlm. 78.
70
Kendati al-Qur‟an terang membolehkan, juga cendekiawan Muslim seperti Nurcholiss Madjid yang dalam pemikirannya adalah pertama, dalam sejumlah ayat lainnya al-Quran membedakan antara orang-orang Musyrik dengan ahlu kitab. Dalam beberapa ayatnya al-Quran menggunakan huruf “waw” yang dalam bahasa arab disebut “athfun” yang berarti pembedaan antara kata sebelumnya dan sesudahnya. Kedua, larangan menikahi orang-orang musyrik karena dikhawatirkan laki-laki atau perempuan musyrik memerangi Islam. Menurut Nurcholis ayat ini turun dalam situasi dimana terjadi ketegangan antara orang-orang muslim dengan musyrik Arab. Sehingga dengan jelas yang dimaksud musyrik menurut Nurcholis adalah mereka yang suka memerangi orang Islam. Ketiga,
dasar hukum yag
sekiranya cukup fundamental tentang dibolehkannya pernikahan beda agama adalah QS. Al-Maidah: 5. menurut Nurcholis ayat ini sebagai “ayat revolusi”, karena secara ekplisit menjawab beberapa keraguan masyarakat Fatwa Muhammadiyah pada tahun 1989 itu justru mengharamkan. Ayat alQur‟an yang membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5), itupun dengan alasan hifd ad-dîn (memelihara agama). Muhamadiyah menyimpulkan walaupun tanpa melalui penelitian empirik bila pernikahan itu dibenarkan, dikuatirkan anaknya akan mengikuti agama ibunya. Sehingga, peluang kekuatiran ini harus buru-buru ditutup. Pengharaman seperti inilah yang mereka sebut sebagai haram li sadd al-zarîah (mencegah sesuatu yang dikhawatirkan akan terjadi). Menurut penulis, kaidah Fiqhiyyah dar' al-mafâsid muqaddamun „ala jalbi al-mashâlih bagi Muhammadiyyah menolak kerusakan lebih didahulukan dibanding menarik kemaslahatan cukuplah beralasan. Mafsadat yang dimaksud adalah
71
hancurnya keimanan dan agama si lelaki dan anak- anaknya, sedangkan maslahatnya adalah iman dan agama laki-laki muslim beserta anak anaknya akan terjaga, bahkan wanita ahli kitab sebagai istri dapat memeluk Islam. Dengan menimbang keduanya dalam konteks keindonesiaan, maka dikhawatirkan justru maslahatnya tidak terpenuhi sementara mafsadatnya lebih mungkin timbul. Pernikahan beda agama juga akan berdampak pada status anak, hukum waris, serta perwalian dalam pernikahan. Di samping itu secara psikologis pernikahan beda agama ini akan membuat anak tidak dapat eksis dalam melaksanakan ibadah, karena adanya tekanan dari salah satu orang tuanya dan akan timbul kebingungan karena ia merasa tidak bebas dalam memilih agama sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini dapat membuatnya menjadi minder, apatis bahkan menimbulkan stres berat.
B. Pertimbangan Maslahah MUI, Bahtsul Masail NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Penetapan Fatwa Pernikahan Beda Agama 1. Pertimbangan Maslahah MUI dalam Keputusan Pernikahan Beda Agama Adapun mengenai pertimbangan kaidah fiqhiyyah
dar' al-mafâsid
muqaddamun „ala jalbi al-mashâlih dan saddu al-zarîah adalah sebagai penguat dalam menetapkan fatwa tentang keharaman dan tidak sahnya pernikahan beda agama dan pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahli kitab. Dalam menafsirkan ayat 221 surat al-Baqarah dan ayat 5 surat al-Maidah memang terjadi ikhtilaf antara yang membolehkan dan tidak terhadap pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab.
72
Dalam hal ini MUI juga berpendapat bahwa pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab adalah haram dan tidak sah mengingat maslahat alammah yakni demi menjaga agama (hifdz ad-dîn) dan menjaga dari api neraka baik diri maupun keluarga. Kaidah ini secara aplikatif menunjukkan bahwa pernikahan beda agama, khususnya antara laki-laki muslim dan wanita ahli kitab lebih banyak membawa mafsadat dan kecil kemungkinan membawa maslahat. Dengan demikian, meskipun ada maslahat, maka menolak kemafsadatan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Apabila melihat lebih jauh, sebenarnya fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama ini tidak bertentangan dengan pendapat ulama yang membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, apabila dilihat dalam konteks keindonesiaan secara umum. Dalam hal ini, ulama yang berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak dilarang karena yakin bahwa laki-laki muslim tidak akan terpedaya mengikuti agama wanita ahli kitab, bahkan sebaliknya sangat dimungkinkan bahwa wanita yang sudah menjadi istrinya akan mengikuti agama suami. Begitu juga dengan anak-anaknya akan mengikuti bapaknya. Dengan ini maka jelas bahwa laki-laki yang diperbolehkan menikah dengan wanita ahli kitab –sebagaimana pendapat para ulama salaf- adalah laki-laki yang kuat imannya, bagus agamanya, dan mempunyai wibawa serta otoritas sebagai laki-laki atau suami yang mampu 'mengurus' rumah tangga dengan baik. Sebab, apabila laki-laki muslim tidak mempunyai iman yang kuat, agamanya tidak bagus dan kepribadiannya lemah, justru sangat mungkin ia akan
73
tertipu dengan 'menggadaikan' agamanya demi kecantikan wanita atau istri dari ahli kitab. Begitu juga anak-anaknya akan sulit diharapkan dapat mengikuti Islam. Sebagai contoh yang sudah masyhur adalah kasus Jamal Mirdad dengan Lidya Kandaw yang melakukan praktik ini. Dalam hal ini istri Jamal Mirdad tetap dalam agamanya, dalam sisi lain Jamal Mirdad selamat tidak terjerumus, akan tetapi anaknya Nana Mirdad ikut dalam agama Kristen. Dalam hal ini Jamal Mirdad tidak mampu menjaga keluarga (anaknya) dari api neraka.Dengan deskripsi ini, maka jelas kebolehan para ulama salaf terhadap pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab tetap mengandung maksud menjaga iman diri suami dan keluarganya yang merupakan al-huquq al-khamsah. Menurut penulis, nampaknya MUI ingin menegaskan bahwa konteks keindonesiaan saat ini sangat sulit menemukan laki-laki yang diharapkan memenuhi kriteria sebagai mu'min taat, berkepribadian kuat sehingga mampu menjaga iman dan agamanya. Karena kebanyakan mu'min yang semacam ini lebih memilih wanita muslimah. Kebanyakan praktek pernikahan semacam ini cenderung mengarah pada laki-laki yang imannya kurang kuat atau agamanya kurang bagus. Dengan demikian, berdasarkan kaidah menolak kerusakan lebih didahulukan dibanding menarik kemaslahatan cukuplah beralasan. Mafsadat yang dimaksud adalah hancurnya keimanan dan agama si lelaki dan anak-anaknya, sedangkan maslahatnya adalah iman dan agama laki-laki muslim beserta anak-anaknya akan terjaga, bahkan wanita ahli kitab sebagai istri dapat memeluk Islam. Dengan menimbang keduanya dalam konteks keindonesiaan, maka dikhawatirkan justru maslahatnya tidak terpenuhi sementara mafsadatnya lebih mungkin timbul.
74
2. Pertimbangan Maslahah NU dalam Keputusan Pernikahan Beda Agama Dalam keputusan fatwa pernikahan beda agama NU tidak mencantumkan secara tegas maslahah dalam fatwanya, dalam keputusan itu NU hanya menjelaskan apa yang ada dalam ibarat kitab, yaitu menjelaskan tentang siapa ahli kitab dan alkitab itu apa. Dapat disimpulkan bahwa dalam keputusan NU tentang nikah beda agama tidak ada pertimbangan kemaslahatan. Walaupun, banyak sekali kemaslahatan di dalamnya. Setelah penulis pahami dan diteliti ternyata keputusan itu duputuskan tahun 1962 yang waktu NU hanya menyangkut masalah waqi‟iyyah, berbeda dengan saat ini NU kini telah diperluas dengan bahstul masail secara maudhu‟iyyah. Hal itu sebagaimana keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung tentang sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama. 3. Pertimbangan Maslahah Muhammadiyah dalam Keputusan Pernikahan Beda Agama Muhammadiyah menggunakan metode saddu al-zarîah, dengan maksud untuk menghindari mafsadah. Hal ini diartikan bahwa tujuan digunakan metode ini adalah untuk memelihara mashlahah. Disadarai bahwa oleh Muhammadiyah ternyata kemaslahatan suatu saat harus didahulukan dari pada nash. Al-Quran dan Hadits secara ekplisit telah memperbolehkan pria muslim menikah dengan ahlu kitab, namun kemalsakatan umat Islam menghendaki lain. Dengan menggunakan metode saddu al-zarîah kebolehan menikahi wanita ahlu kitab berubah menjadi haram. Haram disini bukan haram
75
lizatihi tetapi haram lisaddi al-zarîah.15 Metode ini sebenarnya merupakan pengejawantahan dari kaidah dar' al-mafâsid muqaddamun „ala jalbi al-mashâlih (menghindari kerusakan lebih baik dari pada mendatangkan kemaslahatan). Metode ini dimaksudkan untuk merealisasikan hukum dalam Islam. Salah satu aspek yang essensial (daruriyat) dalam kasus ini adalah memelihara agama. Berdasarkan kenyataan ini, meski Muhammadiyah memproklamirkan diri tidak bermazhab, toh dalam praktiknya Muhammadiyah tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran mazhab, meskipun hanya pada tingkat metode atau yang akrab disebut mazhab manhaji. Menurut penulis, ketiga fokus pembahasan di atas, dapat diperoleh sebuah kesimpulan bahwa metodologi ijtihad yang digunakan oleh MUI mengambil dasar al-Qur‟an, Sunnah, Ijma, Qiyas. Dan dalil-dalil lain yang mu‟tabar, metodologi ijtihad
yang
digunakan
oleh
Bahtsul
Masail
lebih
bersifat
madzhabian
dan Majlis Tarjih lebih banyak mengacu pada sistem dan metode ijtihad yang pernah digunakan oleh para mujtahid klasik, yang terangkum dalam khazanah ilmu ushul fiqh, Sementara itu, sebagai konsekuensi dari paradigma madzhabian NU, dalam beristinbath Bahtsul Masail cenderung berbeda dengan Majlis Tarjih. Lajnah Bahtsul Masail menggunakan metode qauliy, ilhaqiy dan manhajiy. Sementara Majlis Tarjih lebih ke arah bayani, ta‟lili dan istishlahi. Bahtsul Masail tidak mau menyebut istinbathnya sebagai sebuah ijtihad, sedangkan Majlis Tarjih bersikukuh tidak masalah menyebut istinbathnya sebagai ijtihad. Masalah rujukan utama dalam
15
Djamil, Metode Ijtihad, hlm. 147.
76
berijtihad, Majlis Tarjih terlihat konsisten untuk merujuk langsung pada dalil-dalil alQuran dan Sunah. Sementara Bahtsul Masail lebih mengandalkan pendapat imam dan ulama madzhab dalam al-kutub al-mu‟tabarah. Keputusan-keputusan hukum Majlis Tarjih lebih bersifat konseptual tematis, sementara Bahtsul Masail lebih bersifat sederhana, kecuali keputusan-keputusan yang ditetapkan setelah tahun 1992. sesederhana apapun keputusan Majlis Tarjih, selalu menyertakan dalil dari al-Quran dan Sunah. Sepenting apapun keputusan Bahtsul Masail, selalu merujuk pada pendapat madzhab. Sementara MUI juga memakai ijtihad NU dan Muhammadiyah yaitu dari al-Quran Sunah, Ijma, Qiyas dan juga dalil-dalil yang mu‟tabar. Walaupun demikian, fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, NU dan Muhammadiyah tentang pernikahan beda agama sangatlah tepat tentang haramnya seorang muslimah menikah dengan laki-laki kafir (non muslim), begitu pula sebaliknya laki-laki muslim dengan wanita non muslimah mengacu pada QS al Baqarah : 221, QS al Mumtahanah : 10, QS at Tahrim : 6, hadits “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah…” (HR Bukhari) dan pertimbangan mudharat (dampak negatif) yang lebih besar dibandingkan maslahahnya (dampak positif). Kemudian dikeluarkan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berdasr Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 serta Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 yang akhirnya menjadi hukum positif yang bersifat unikatif bagi seluruh umat Islam Indonesia, dan terutama menjadi pedoman bagi para hakim di lembaga peradilan agama dalam menjalankan tugasnya dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Hal ini tentunya menjadi suatu kewajiban setiap muslim untuk mentaatinya (QS an Nisa : 59).
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Dari deskrpisi dan analisis bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan halhal sebagai berikut sebagai jawaban atas permasalahan penelitian, yakni : 1. Dasar hukum yang digunakan oleh MUI, dan Muhammadiyah dalam memutuskan fatwa pernikahan beda agama ini adalah mendasarkan pada kaidah fiqhiyyah
dar' al-mafâsid muqaddamun „ala jalbi al-mashâlih
(menghindari kerusakan lebih baik dari pada mendatangkan kemaslahatan) dan saddu al-zarîah. Adapun NU mengambil pendapat imam dan ulama madzhab dalam al-kutub al-mu‟tabarah. Kedua kaidah dan pendapat imam dalam al-kutub al-mu‟tabarah di atas dijadikan dasar dalam mengharamkan pernikahan beda agama. Menurut MUI dan Muhammadiyah hal ini mengingat kemaslahatan praktik pernikahan ini belum tentu terwujud, sedangkan madlaratnya sangat mungkin ada yakni tidak adanya kemampuan suami atau istri dalam menjaga agama diri dan anak-anaknya. 2. Fatwa MUI, NU dan Muhammadiyah tentang pernikahan beda agama ini relevan dalam konteks keindonesianan. Dalam konteks ini aspek hifd ad-din dapat terjaga, walaupun dalam fatwanya NU tidak membahas hal itu. Apabila pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab diperbolehkan sangat dikhawatirkan akan membawa
madlarat berupa ketidakmampuan
suami dalam menjaga agama anak-anaknya sehingga tugas menjaga keluarga
77
78
dari api neraka tidak dapat dipenuhi. Belum lagi kelemahan iman laki-laki atau perempuan yang sangat mungkin justru ia yang akan terseret dalam kemurtadan.
B. Saran-saran 1. Kepada para ahli hukum fiqih hendaknya memberi masukan kepada MUI, NU dan Muhammadiyah bagaimana agar fatwa itu dapat disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga tidak ada lagi yang melaksanakan pernikahan beda agama. 2. Kepada
masyarakat
hendaknya
mendukung
fatwa
MUI,
NU
dan
Muhammadiyah. Karena fatwa ini membawa maslahat dan menolak kerusakan pada muslim Indonesia. Fatwa ini menjadikan aspek hifd ad-din tetap terjaga.