BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia, menjadikan Jakarta sebagai tempat bertemunya berbagai suku bangsa dari seluruh Indonesia bahkan dengan
bangsa
asing
telah
memacu
perkembangannya
menjadi
pusat
pemerintahan, pusat perdagangan, pusat perindustrian, dan pusat kebudayaan. Hal tersebut yang menjadikan terjadinya interaksi sosial yang semakin luas dan majemuk. Kemajemukan masyarakat Jakarta dapat dilihat dalam dalam berbagai hal, seperti keanekaragaman seni dan budaya, lingkungan alam, dan wilayahnya. Keanekaragaman Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing (di luar Indonesia). Hal tersebut mengakibatkan hadirnya beraneka ragam seni budaya yang dibawa oleh suku-suku bangsa serta bangsa asing masing-masing. Masyarakat Jakarta terbagi dua jenis, yakni masyarakat pendatang dan masyarakat keturunan asli Jakarta yang disebut orang Betawi
Keanekaragaman
masyarakat Betawi tersebut tercerminkan dalam berbagai ekspresi keseniannya yang khas. Masyarakat Betawi adalah masyarakat yang secara berkelanjutan mengalami perubahan dan perkembangan di berbagai aspek kehidupan. Perubahan sosial yang mendasar terjadi pada masa penjajahan, masa
1
2
kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan di masa reformasi sekarang ini. Berbagai agen perubahan di sektor teknologi, politik, ekonomi, agama dan pendidikan hadir dan menawarkan saluran untuk perubahan di tatanan kehidupan sosial dan religi. Perubahan sosial mendorong perubahan produk kebudayaannya dan kesenian yang tidak saja dalam lingkup konsep atau gagasan tetapi juga dalam bentuk-bentuk yang lebih nyata dan terlihat hailnya. Dampak perubahan dan perkembangan sosial ini mengakibatkan adanya nilai-nilai tradisi yang terkikis bahkan terlupakan atau berkembang searah perkembangan sosial tersebut . Maka tidak heran, jika dari masa ke masa masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri-ciri budayanya yang khas sehingga mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain. Namun bila dikaji dari permukaan sering tampak unsur-unsur kebudayaan yang menjadi sumber asalnya. Jadi tidaklah mustahil bila bentuk kesenian Betawi itu sering menunjukkan persamaan dengan kesenian daerah atau kesenian bangsa lain. Di antara sekian banyak jenis kesenian Betawi hasil akulturasi yang khas diantaranya adalah Gambang Kromong. Musik Gambang Kromong tumbuh dan berkembang di Jakarta, dan diakui oleh masyarakat Betawi sebagai musik identitas orang Betawi. Jenis musik ini memiliki ciri-ciri tersendiri dan mudah dibedakan dengan musik daerah lainnya, oleh karena itu musik Gambang Kromong dikenal sebagai musik khas Betawi (Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 1996:2) Gambang Kromong merupakan jenis musik tradisi yang populer di Jakarta, dan mewakili sebagai musik identitas bagi masyarakat Betawi (sebutan
3
populer bagi penduduk Jakarta). Jenis musik ini hampir tidak pernah absen dalam berbagai kesempatan acara di DKI Jakarta, antara lain mengisi acara-acara radio, televisi, dan berbagai pertunjukkan di lokasi hiburan dan hotel berbintang. Selain itu Gambang Kromong juga difungsikan sebagai hiburan dalam berbagai perhelatan masyarakat misalnya acara hajatan, syukuran, selamatan, dan sebagainya. Istilah Gambang Kromong diambil dari gabungan dua instrumen yang digunakan, yakni instrumen Gambang yang berbentuk bilahan kayu yang berjumlah 18 buah, terbuat dari kayu, dan instrumen Kromong yang biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon), bentuk kromong menyerupai instrumen bonang dalam gamelan Jawa. Beberapa instrument Gambang Kromong berasal dari alat musik negeri, Cina yakni instrumen Sukong, Hosiang, Tehyan, Kongahyan (instrumen gesek), Sambian, Suling, Pan ( kecrek ) dan Ningnong. Adapun alat musik dengan unsur pribumi, yaitu instrumen gambang, kromong (bonang), kendang, gong, kempul, sedangkan larasnya menggunakan laras slendro Cina. Selain itu perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendarahaan lagu-lagunya. Jadilah Gambang Kromong sebagai musik perpaduan yang serasi antara unsur pribumi dan unsur Cina. Menurut
Suroso (2002:13) perpaduan pribumi dan cina
disamping
intrumentnya juga lagu-lagunya, yang menunjukkan sifat pribumi seperti Jali-jali, Surilang, Persi, Balo-balo, Lenggang-lenggang Kangkung, Onde-onde, Gelatik Ngunguk dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Cina, baik
4
nama lagu, alur melodi maupun liriknya seperti Kong Jilok, Sipatmo, Phe Pantaw, Citnosa, Macuntay, Gutaypan dan sebagainya. Dari masa ke masa musik Gambang Kromong terus berevolusi dan berkembang, searah dengan perubahan dan perkembangan zaman. Perubahan dan perkembangan tersebut, bisa terjadi karena tuntutan masyarakat pendukungya, atau terjadi karena dipengaruhi repertoar seni lain. Sebagai genre seni Gambang Kromong difungsikan difungsikan pula sebagai instrument musik untuk mengiringi repertoar seni lain, seperti Cokek, dan Teater Lenong. Seperti dipaparkan oleh Soedarsono, sebagai berikut. Gambang Kromong dewasa ini banyak dipergunakan untuk mengiringi tari Cokek dan teater Lenong. Cokek merupakan tari hiburan pribadi, yang dalam pertunjukkannya para penari dan penyanyi wanita dalam Gambang Kromong mengundang tamu atau penonton untuk menari bersama mereka (Soedarsono, 2003 :57)
Selain sebagai iringan repertoar seni tersebut di atas yaitu Cokek dan teater Lenong, seni tradisi Betawi lainnya yang juga menggunakan Gambang Kromong sebagai pengiringnya adalah Gambang Rancag yaitu seni tutur Betawi. Hal tersebut menunjukkan adanya pengembangan fungsi penyajian musik Gambang Kromong, yakni yang pada awalnya hanya sebagai sajian yang berdiri sendiri, artinya dalam penyajiannya hanya menampilkan lagu-lagu Gambang Kromong saja, baik secara instrumental maupun dengan lagu. Perkembangan berikutnya bisa berfungsi mengiringi repertoar seni yang lain, yaitu untuk iringan pada pertunjukkan seni teater Lenong, seni tari Cokek, dan seni tutur Gambang Rancag. Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi media informasi, terutama media elektronik (televisi, telpon celulair, radio dll), musik di tanah air
5
cenderung dikuasai
musik industri yang berorientasi pasar.
Hal tersebut
berdampak pula kepada para pelaku seni, tak terkecuali seniman Gambang Kromong, karena dengan munculnya satsiun-stasiun televisi kesenian tersebut menjadi tergeser keberadaannya baik dari fungsi maupun pengembangannya. Kendati demikian beberapa stasiun televisi ada pula yang masih membuat acara Gambang Kromong, meskipun dalam bentuk yang lain. Dari sekian banyak acara yang pernah ada di televisi yang melibatkan musik Gambang Kromong di dalamnya, sebut saja “Lenong Gaul” di TVRI, “Pentas Seni Tradisi TVRI”, “Lenong Bocah di TPI”, “Nglenong yu” di Trans TV”. Pada acara tersebut kesenian Gambang Kromong digunakan sebagai musik pendukung pertunjukkan, eksisitensinya tidak sebagai pertunjukkan Gambang Kromong seutuhnya. Adanya kondisi perubahan budaya, seniman Gambang Kromong dituntut untuk selalu kreatif, dalam mengembangkan Gambang Kromong, selain itu juga harus peka, dan terbuka dalam mengantisipasi perubahan agar kesenian tersebut tetap bertahan. Akibat keadaan tersebut beberapa seniman Gambang Kromong menanggapi dengan melakukan berbagai perubahan. Para seniman ada yang bersifat “longgar” dengan memasukkan materi seni lain ke wilayah seni Gambang Kromong tersebut. Alasannya adalah agar grupnya ingin tetap bertahan, dan tetap disukai masyarakat, kendatipun dalam mengembangkan seni tersebut, sering terjadi pemaksaan dalam aspek garap musiknya. Sering kali mereka memasukan instrumen-instrumen baru, sehingga terjadi gejala distorsi yang kurang proporsional, sehingga dalam sajiannya tampil dengan garap yang aneh dan asing.
6
Berbeda dengan pandangan masyarakat, garap baru disenangi dan diterima dengan rasa gembira. Sebenarnya Gambang Kromong sejak awal pertumbuhannya mudah diterima oleh masyarakat Betawi, karena musik tersebut berkembang sejalan dengan perubahan masyarakat Betawi. Selain itu Gambang Kromong sajian baik lagu-lagunya
ataupun
larasnya
akrab
dengan
keseharian
masyarakat
pendukungnya. Sehingga sampai sekarang di beberapa daerah di Jakarta, musik Musik Gambang Kromong masih tetap hidup berkembang. Karena Gambang Kromong hadir di tengah masyarakat Betawi selain untuk pemenuhan kebutuhan hiburan, juga Gambang Kromong sebagai ungkapkan ekspresi masyarakat Betawi (Saidi: Wawancara 2009). Dalam Peta Budaya Betawi, Muhajir (1986:3-5) pada tahun 1974/1975 menemukan 17 grup, kemudian pada tahun 1981/1982 tercatat ada 58 grup, kalau kita lihat dari segi jumlah terdapat kemajuan dan penambahan jumlah grup yang ada. Adapun pada tahun 1984/1985 terdapat 34 grup. Meningkatnya jumlah grup-grup Gambang Kromong Betawi dari waktu ke waktu, sebagai gambaran adanya peningkatan pemenuhan kebutuhan masyarakat Betawi akan hiburan. Dari sekian banyak grup-grup Gambang Kromong yang ada di Jakarta, salah satu diantaranya adalah Grup Sinar Pusaka pimpinan Andi Suhandi, grup ini merupakan regenerasi dari grup Gambang Kromong Harapan Jaya, pimpinan Mamit, atau yang di kalangan seniman-seniman
7
Gambang Kromong lebih akrab dengan panggilan Dul Mamit, yang merupakan kakek dari Andi Suhandi. Grup Gambang Kromong Harapan Jaya pada masanya, sekitar tahun 1965 - 1980 pernah mengalami masa jaya dan terkenal. Dul Mamit adalah seniman Gambang yang serba bisa, ia mahir memainkan instrument, sebagai penyanyi Gambang Kromong
dan pemain Lenong yang piawai dalam
memerankan tokoh Adam yaitu tokoh yang membuat orang bisa terhibur dan tertawa. Grup Harapan Jaya juga melakukan pengembangan, sejalan dengan dinamika
perubahan
masyarakat
pendukungnya
dalam
menggemari
seni/lagu. Tidak heran grup tersebut terus diakui masyarakat dan eksis, bahkan hingga generasi penggantinya yaitu Grup Sinar Pusaka yang dipimpin oleh cucunya, yaitu Andi Suhandi. Sebagai tokoh muda yang memimpin sebuah grup seni pertunjukkan, Andi Suhandi berupaya menyesuaikan grupnya dengan keinginan masyarakat pendukungnya sehingga sampai saat ini grup tersebut masih ada dan diakui, baik oleh masyarakat umum, maupun oleh pemerintahan. Hal tersebut terbukti hampir setiap acara-acara resmi yang dilaksanakan oleh pemerintah DKI Jakarta Grup sinar Pusaka selalu tampil dijadikan ikon jati diri seni Betawi. Bahkan dalam setiap pelatihan yang dilaksanakan oleh Suku-suku Dinas di lingkungan pemerintah DKI Jakarta, Andi Suhandi selalu diminta sebagai nara sumber. Hal tersebut merupakan pengakuan dan apresiasi terhadap kemampuan Grup Gambang Kromong Sinar Pusaka dari masyarakat khususnya pemerintah DKI Jakarta.
8
Melihat adanya kemauan, keberanian yang didukung oleh kemampuan masing-masing pemain pendukungnya, grup Gambang Kromong Sinar Pusaka senantiasa mengebangkan bahkan merubah sesuatu yang sudah ada pada Gambang Kromong, yang oleh sebagain seniman Gambang dianggap hal yang tabu. Hal tersebut merupakan gejala lain yang menarik dari Grup Sinar Pusaka, demi keberlangsungan dan keberlanjutannya. Mungkin hal itu dilakukan, selain tuntutan pasar, juga sebagai adaptasi dan pemanfaatan teknologi yang semakin hari semakin maju. Imbas dari hasil kreativitas pada tahun 2002 Grup Sinar Pusaka dipercaya untuk mengisi acara Komedi Betawi di Gedung Kesenian Jakarta. Kondisi tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Edi Sedyawati, sebagai berikut. Adapun yang dimaksud dengan pengembangan sebenamya mempunyai dua arti yaitu pertama, pengembangan dalam arti pengolahan dan kedua pengembangan dalam arti penyebarluasan : (a) Pengembangan dalam arti pengolahan itu berdasarkan unsur-unsur tradisi yang diberi nafas baru sesuai dengan tingkat perkembangan masa, tanpa mengurangi atau menghilangkan nilai-nilai tradisi. (b) Pengembangan dalam arti penyebarluasan untuk dapat dinikmati diresapi oleh lingkungan mengangkat yang lebih luas (Sedyawati,1981: 39).
Di masyarakat Betawi dewasa ini terdapat istilah "Gambang Kromong Asli" dan "Gambang Kromong Kombinasi". Sebagaimana tampak pada namanya "Gambang Kromong Kombinasi", ialah orkes Gambang Kromong yang alatalatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern yang kadang-kadang elektronis, seperti gitar melodi, bass gitar, keyboard, saxopone. drum dan sebagainya. Di sini berlangsung perubahan dari laras pentatonis menjadi
9
diatonis tanpa terasa mengganggu. Dengan penambahan alat musik itu warna suara Gambang Kromong masih tetap terdengar, serta masuknya lagu-lagu pop berlangsung secara wajar, tidak dipaksakan. Adanya perubahan garap dan masih bertahannya seni Gambang Kromong grup Sinar Pusaka, sangat menarik minat peneliti untuk mengetahui cara pengembangannya dan mempertahankan diri sehingga masih diterima masyarakat hingga saat ini.
B. Rumusan Masalah Masalah penelitian ini adalah seni pertunjukkan tradisi, khususnya pertunjukkan Gambang Kromong di tengah masyarakat yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan masih bertahan di masyarakat.
Sebagai
payung penelitian ini adalah sekitar kontinuitas dan perkembangan Gambang Kromong pada grup Gambang Kromong Sinar Pusaka. Agar bahasan terfokus, maka permasalahannya akan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perkembangan yang terjadi pada seni pertunjukkan tradisi Musik Gambang Kromong Grup Sinar Pusaka dari tahun 1960 - 2007 2. Faktor-faktor apakah yang mendukung kontinuitas Gambang Kromong Grup Sinar Pusaka dari tahun 1960 – 2007 ?
10
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan Perkembangan dan Perubahan apakah yang terjadi pada seni pertunjukkan tradisi Musik grup Gambang Kromong Sinar Pusaka. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kontinuitas pada Gambang Kromong Sinar Pusaka (1960-2007)
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai: 1. Menambah wawasan tentang peta konsep penelitian kontinuitas dan pengembangan seni pertunjukkan tradisional orkes Gambang Kromong dalam perubahan peradaban masyarakat Jakarta sekarang dalam rangka menempatkan dan mengokohkan identitas diri. 2. Pengajar, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran Gambang Kromong di sekolah-sekolah khususnya di DKI Jakarta 3. Sebagai bahan referensi kajian sosial dan sejarah tentang Gambang Kromong untuk para seniman dan pemerhati seni 4. Memberikan kontribusi terhadap pelaku seni dalam mengembangkan seni tradisional Gambang Kromong. 5.
Bagi Program studi menjadi salah satu kajian yang dapat memberikan kontribusi akademis bagi mahasiswa Jurusan Seni Musik serta
11
memperkaya bidang kajian dalam rangka mengembangkan orkes Gambang Kromong. 6. Bagi Pemerintah sebagai bahan masukkan agar pemerintah lebih memperhatikan grup-grup kesenian Betawi khususnya musik Gambang Kromong 7. Masyarakat, untuk dijadikan sumber bacaan dalam rangka menambah wawasan dalam Musik Gambang Kromong Betawi terutama yang berkaitan dengan kontinuitas dan pengembangannya
E. Telaah Pustaka Dalam studi ini peneliti mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis dengan tujuan untuk mencari kesesuaian antara teori yang akan digunakan dengan permasalahan yang akan diteliti, serta untuk menjaga keorisinalitasan hasil penelitian Artinya bahwa kajian yang dilakukan peneliti bukanlah plagiarisme/plagiat dari penelitian lain. Oleh sebab itu, peneliti mencantumkan semua sumber yang digunakan sebagai bahan referensi dalam studi ini. Studi literatur yang peneliti lakukan di antaranya mengkaji sumber data yang berupa tulisan hasil karya ilmiah, hasil seminar, jurnal penelitian, laporan penelitian, artikel, data pnbadi, dokumen pribadi dan manuscript. Beberapa sumber bacaan yang dikaji oleh peneliti antara lain: 1. ”Analisis
Nilai-nilai
Pendidikan
dalam
Lagu-Lagu
Betawi”
(Tuti
Tarwiyah,M.Si.,dkk.2003). Penelitian ini mengungkap nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada lagu-lagu Betawi yang biasa disajikan dalam pertunjukkan Gambang Kromong, yang dianalisis hanya lagu-lagu sayur, belum
12
mengungkap masalah instrumen dan pengelompokan lagu yang ada pada Gambang Kromong itu sendiri serta kontinuitas dan perkembangannya 2. ”Lagu-lagu Klasik Betawi: Suatu Kajian tentang Keberadaan karakteristik, dan Kiat-kiat Mempelajarinya” (Tuti Tarwiyah,M.Si.,dkk.2007). Penelitian ini hanya mengidentifikasi keberadaan lagu-lagu klasik Gambang Kromong Betawi atau yang dikenal dengan istilah Lagu Dalem., siapa saja pelaku yang masih menguasainya, dan bagai mana kendala serta kiat mempelajarinya, tulisan ini tidak mengungkap secara spesifik seni pertunjukkan musik Gambang Kromong secara utuh dan menyeluruh, demikian pula tentang perkembangannya dari masa ke masa. 3. ”Seni Tradisi Lisan Nusantara Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik” (Ninuk Kleden-Probonegoro, 1996). Buku tersebut mengungkap tentang bagaimana perkembangan pertunjukan teater Lenong di Betawi dalam kurun dua dasa warsa, peneliti juga melihat peran manusia (folk) yang menghidupi seni tersebut. Peran musik Gambang Kromong sebagai musik pengiring terlihat sangat dominan dalam pertunjukan tersebut, namun belum mengungkap tentang kontinuitas dan perkembangan struktur lagu dan kedudukan instrumen musik Gambang Kromong. Melihat tulisan dalam kajian pustaka yang berkaitan dengan Gambang Kromong Betawi terhadap tulisan di atas, peneliti menganggap belum ada yang mengungkap tentang kontinuitas dan perkembangan secara spesifik tentang musik Gambang Kromong terutama yang berkaitan dengan struktur lagu, kedudukan instrumen serta faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya kontinuitas dan perkembangan pada musik Gambang Kromong Betawi.
Berdasarkan tinjauan
13
pustaka itu artinya berbeda dengan topik dalam penelitian ini, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian ini terjaga keasliannya.
F. Kerangka Teoretik 1. Kontinuitas Kontinuitas merupakan perwujudan dari pelestarian dan regenerasi terhadap masalah yang digarap untuk mencapai pengembangan yang diharapkan. Pada ranah sosiologis, kontinuitas diwujudkan dalam bentuk kesepahaman komunitas untuk melakukan pemberdayaan atas masalah yang diangkat ke dalam penetapan yang diinginkan secara representatif menghasilkan perilaku budaya, respons internalisasi pengembangan yang diharapkan dalam mencapai tujuan yang menjadi komitmennya. Secara teoretik kontinuitas memerlukan perilaku budaya dan internalisasi pengembangan, dalam hal musik Gambang Kromong kajian aspek kontinuitas tentang bagaimana cara mewujudkannya. Oleh sebab itu, di sini diperlukan adanya kesungguhan tentang perilaku budaya dan internalisasi pengembangan. Kontinuitas mengandung makna pelestarian dan regenerasi. Hal tersebut menjebak pada konsep normatif dan sarat nilai politis. Pelestarian dan regenerasi menyangkut pertaruhan masa depan bangsa, dimana bangsa di waktu akan datang keberadaannya dipertanyakan. Dalam perwujudannya, dampak pengembangan yang harus dilakukan membawa perubahan psikologis atas yang terjadi. Dengan demikian, konsep kontinuitas dan pengembangan dalam masalah di sini
14
diinginkan dapat membawa perubahan terhadap struktur dan fungsi yang mengikutinya (Widya: 2000, Dudung K: 2000). Secara kronologis orkes Gambang Kromong direpresentasikan untuk secara kontinu membutuhkan konsep kesatuan atas bagaimana perilaku pendukung budaya dalam menetapkan inspirasi heuristik melakukan pencarian dan penyusunan bahan secara sosiologis terhadap aksi peran masyarakat khususnya dalam pelestarian dan regenerasikan. Oleh sebab itu, di sini dibutuhkan peran yang langsung dalam menginternalisasikan perilaku ke dalam penghayatan sosial yang dilakukan. Dengan demikian kontinuitas dan perkembangan jadi terwujud ( Dudung, 2000: 25-27). Kontinuitas dalam menopang terwujudnya eksistensi pelestarian seperti apa adanya sulit digapai, dalam konteksnya langkah tersebut membutuhkan kesepahaman komunitas. Kesepahaman komunitas sangat rentan terhadap konsekuensi perkembangan yang dilakukan. Oleh sebab itu, masalah pelestarian yang diharapkan di sini akan banyak mengalami perubahan, selanjutnya dibutuhkan adanya komitmen dalam merepresentasikan niatan untuk mewujudkan cita-cita yang ingin diwujudkan. Berdasarkan hal tersebut di atas dalam mengamati Seni Gambang Kromong dengan pendekatan teori yang ada, diharapkan mampu mengunkap kontinuitas yang terjadi dalam seni musik Gambang Kromong serta bagaimana perkembangan yang terjadi pada seni tersebut.
15
2. Musik Betawi Musik Betawi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah meliputi berbagai jenis musik yang tumbuh dan berkembang di wilayah Betawi yang berlatar belakang tradisional. Menurut Wardi dalam Karwati (2007/2008:1) disebutkan bahwa, cirri-ciri musik tradisional antara lain: pertama, meusik tertentu yang hidup dan berkembang dalam konteks masyarakat tertentu di wilayah Nusantara; kedua, jenis musi tersebut terkait dengan selera pendukungnya sehingga nilai estetiknya terekspresikan oleh komunitas masyarakat pada saat tertentu.
Dalam melakukan pertunjukan seni, antara nilai dan keyakinan masyarakat terhadap musik, mempengaruhi perilaku-perilaku masing-masing anggota suku bangsa. Perilaku seni yang dilakukan oleh para musisi, sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat, secara langsung akan menghasilkan jenis-jenis seni tertentu yang mereka miliki.
Jenis musik Betawi berkembang pada suatu
masyarakat sesuai dengan lingkungan yang mereka hadapi atau dengan kata lain berkembang dan didukung oleh suatu komunitas tertentu. Jenis-jenis seni yang dihasilkan suatu kelompok masyarakat telah berlangsung selama berabad-abad dan terus-menerus diwariskan dari generasi ke generasi. Pada akhirnya jenis keseniannya menjadi bagian atau identitas bagi suatu kelompok masyarakatnya. Jenis-jenis seni tertentu di masyarakat telah seringkali dipertunjukan sejak dahulu dan telah menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat pendukungnya. tersebut antara lain mendasari munculnya istilah seni tradisional.
Fenomena
16
3. Kajian Musik: manusia, teks, dan konteks Elliot (1995) juga mengemukakan bahwa secara esensial, musik merupakan hasil dari aktivitas manusia yang dilakukan berdasarkan pada tujuan tertentu, yaitu untuk didengarkan oleh pendengarnya. Oleh karena itu, musik akan selalu berkaitan dengan aspek pelaku dan pendengar. Elliot menyatakan bahwa pada masing-masing aspek melibatkan empat dimensi, yaitu: •
Manusia, sebagai pelaku
•
Aktivitas tertentu (memainkan, mengubah, menciptakan, mengembangkan musik)
•
Hasil Aktivitas (musik tradisional maupun modern)
•
Konteks utuh yang mempengaruhi pengetahuan manusia, aktivitas yang dilakukan manusia, dan musik yang dihasilkan. Pada prosesnya, para pelaku musik dipengaruhi oleh konsekuensi-
konsekwensi musikal dari apa yang mereka lakukan dan mainkan, serta oleh penilaian ahli musik dan rekan-rekan mereka tentang aktivitas para pelaku. Oleh karena itu aktivitas musik selalu melibatkan aktivitas lain, yaitu mendengarkan musik. Hal memperlihatkan bahwa setiap penciptaan musik berkaitan dengan sekelompok orang yang berperan khusus sebagai pendengar. Contohnya, pada pertunjukan paduan suara Barok, pasti ada pendengar panduan suara barok; pada pertunjukan jazz, pasti ada penggemar jazz; dan pada pertunjukan musik tradisi, pasti ada komunitas penggemar musik tradisi. Berdasarkan konteks itu, pembuat musik dipengaruhi oleh mengapa dan bagaimanapendengarnya (termasuk musisi sendiri) mendengarkan musik yang mereka mainkan. Hal ini dapat kita lihat
17
dalam pertunjukan musik, misalnya tindakan pemain musik berkomunikasi dengan pendengarnya. Sebaliknya, pendengar dipengaruhi oleh mengapa, apa, dan bagaimana musisi melakukan apa yang mereka lakukan. Oleh karena itu, ditinjau dari konteks pendengar, terdapat aktivitas manusia yang bertujuan yang membentuk hubungan empat dimensi, seperti halnya pada konteks musisi. Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan maka dapat disimpulkan bahwa musik merupakan suatu aktivitas manusia. Kesimpulan lain adalah bahwa musik merupakan suatu fenomena manusia yang bersifat multidimensional, yang melibatkan hubungan yang erat antara dua bentuk aktivitas manusia yang bertujuan, yaitu: membuat musik (menciptakan, memainkan, dan seterusnya) dan mendengar musik. Kenyataan pada manusia yang dibentuk oleh keterkaitan erat antara membuat musik dan mendengar musik ini kita sebut sebagai aktivitas musik. Kajian tentang musik tidak dapat terlepas dari sistem sosiokultural yang ada. Sistem sosiokultural seringkali disebut dengan masyarakat oleh para sosiolog, dan kebudayaan oleh para antropolog. Kebudayaan, dalam ilmu sosial, memiliki makna yang luas, yaitu mlibatkan seluruh teknik, nilai, dan symbol yang dipelajari manusia dari masyarakatnya dan menggunakan apek-aspek tersebut untuk beradaptasi dengan lingkungan yang dihadapi sebagai upaya yang memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan juga mengacu pada sekumpulan fenomena atau gejala yang saling berkaitan. Sebagai sekumpulan fenomena atau gejala yang saling berkaitan, apabila terjadi perubahan pada satu gejala maka akan terjadi perubahan pula pada gejala yang lain.
18
Sistem sosiokultural umumnya merupakan suatu unit yang sangat terintegrasi dan dipandang terdiri dari beberapa komponen, yaitu sebagai berikut. •
Material, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan biologis manusia, misalnya makanan, tempat tinggal, dan peralatan penunjang.
•
Sosial, yaitu berkaitan dengan kebutuhan manusia dalam kehidupan sosialnya. Komponen ini terdiri dari hubungan sosial dan institusi sosial. Hubungan sosial adalah cara-cara manusia berinteraksi dengan manusia yang lain, misalnya konflik, kecemburuan, dan lain-lain. Institusi sosial merupakan caracara yang tersetandar yang dilakukan manusia untuk berhubungan manusia lain, misalnya institusi pendidikan, kelompok kekerabatan, dan lain-lain.
•
Ekspresif, yaitu berkaitan dengan kebutuhan kognitif dan emosional atau perasaan manusia, misalnya seni musik. Secara lebih khusus komponen ini mengacu pada kebutuhan seseorang untuk mengekspresikan diri dan memperoleh reaksi positif dari orang lain. Sistem sosiokultural merupakan hal yang penting dalam hubungannya
dengan kajian tentang musik karena sistem sosiokultural menekankan bahwa dinamika sosial merupakan suatu bagian terpadu dari institusi dan pengetahuan musik pada seluruh manusia di dunia. Metode yang paling efektif untuk meneliti dasar perilaku musik adalah berusaha untuk mengaitkan interaksi personal antara musisi dan pendengarnya, institusi-institusi dalam aktivitas musisi, dan gagasangagasan tentang musik yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya. Musik tradisi yang dimiliki oleh suatu masyarakat, misalnya, tidak hanya terdiri dari
19
teknik-teknik pertunjukan musik, tetapi juga cara-cara bereaksi dan evaluasi pertunjukan musik tersebut oleh masyarakat pendukungnya. Sistem
musikal
juga
mencakup
motivasi
para
musisi
dan
penyelenggaraan pertunjukan musik. Hal ini mengimplikasikan bahwa musik tidak hanya dipertunjukan untuk hiburan saja karena musik memiliki hubungan yang penting dengan ekonomi, tindakan politik, cabang seni yang lain, dan bahasa. Hubungan musik dengan bidang lain dalam masyarakatnya dilakukan melalui pendekatan holistik. Penjelasan
di
atas
memperlihatkan
bahwa,
walaupun
musik
dikategorikan sebagai kebudayaan ekspresif, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa musik juga berkaitan erat dengan kebudayaan material dan sosial. Dalam memproduksi musik, teknologi, sosial, dan gagasan, merupakan komponenkomponen penting yang umumnya dilibatkan. Teknologi dan ketersediaan material secara langsung mempengaruhi pembuatan instrumen musik. Misalnya, penggunaan bambu untuk instrumen musik sangat bergantung pada ketersediaan bahan bambu di daerah tertentu dan pengetahuan manusia tentang bambu. Hal ini mengingatkan kita pada sebuah instrumen tradisional dari Sulawesi Utara, yaitu kolintang. Masyarakat ini menggunakan bahan bambu sebagai material dasar untuk instrument yang menyerupai vibraphone. Pembuatan instrumen tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan apabila masyarakat itu tidak memiliki ketersediaan bambu di lingkungannya dan orang-orang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang bambu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
20
aktivitas musik secara tidak langsung kadang-kadang dipengaruhi oleh lingkungan yang dihadapi oleh pelaku. Musik juga sangat terkait dengan hubungan dari institusi sosial karena masyarakat mengembangkan norma-norma yang mempengaruhi cara-cara manusia dalam melakukan aktivitas musik. Sebagai bagian dari kebudayaan ekspresif, musik dilakukan oleh seluruh masyarakat di dunia, seperti dalam aktivitas bermain, agama, atau hiburan. Di Bali misalnya, musik dilakukan dalam permainan, ritual keagamaan, atau untuk hiburan. Karena musik dapat diterapkan dalam aktivitas lain maka dipandang sebagai suatu hal yang mendasar dalam kehidupan manusia oleh beberapa masyarakat di dunia. Pengkajian musik dalam kerangka ilmu sosial menimbulkan beberapa pertanyaan tentang bagaimana sistem sosiokultural. Pertanyaan-pertanyaan tersebut ditanggapi dengan beberapa teori yang berbeda. Teori-teori yang dikembangkan untuk tujuan menjawab kedua pertanyaan tersebut mempengaruhi gagasan para peneliti untuk memahami hubungan musik dan masyarakat. Teoriteori yang utama adalah neoevoliusionisme, fungsionalisme, dan interaksionis. Namun, teori neo-evoliusionalisme dan fungsionalisme dipandang memiliki kelemahannya masing-masing dalam menjawab pertanyaan tentang keterkaitan musik dan sistem sosiokultural. Para etnomusikolog dan antropolog yang mengkaji tentang musik lebih cenderung pada teori interaksionis. Pandangan interaksionis memfokuskan pada interaksi yang terjadi di antara individu-individu dan kelompok-kelompok individu serta bagaimana interaksi tersebut menciptakan bentuk-bentuk realita sosial dan ekspresif. Ketika
21
para individu berusaha memecahkan masalah-masalah dan mencapai hasil dalam kehidupan. Mereka secara langsung membuat keputusan-keputusan. Dalam membuat keputusan, mereka menggunakan pengetahuan sebagai suatu arahan bagi perilaku untuk mempelajari nilai-nilai dan teknik-teknik yang diperoleh dari orang-orang di sekitar mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kebudayaan, misalnya kebudayaan ekspresif, merupakan perilaku yang dipelajari. Menurut Schutz dalam Karwati (2007/2008:11) dikemukakan, bahwa: pengetahuan merupakan akumulasi dari pengalaman-pengalaman konkrit yang diperoleh dan dimantapkan oleh seseorang secara terus-menerus dalam lingkungan sosialnnya. Namun, pengetahuan tentang nilai-nilai dan teknik-teknik tersebut tidak begitu saja diikuti, tetapi diadaptasi sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang mereka yakini serta sesuai dengan konteks yang ada. Pola-pola keputusan yang dibuat oleh para individu berdampak pada modifikasi kebudayaan, misalnya dalam salah satu bentuk kebudayaan ekspresif, yaitu musik. Berdasarkan
penjelasan
tersebut
maka
pandangan
interaksionis
dipandang tepat sebagai dasar dalam mengkaji hubungan-hubungan antara masyarakat dan musik. Masyarakat dan tradisi musik tidak dipandang sebagai elemen-elemenyang statis, tetapi sebagai suatu model umum dari reproduksi tindakan dengan keagamaan tingkatan keberlanjutan. Pandangan interaksionis ini memungkinkan timbulnya pemikiran adanya pengaruh masyarakat atau sistem sosiokultural terhadap musik dan pengaruh musik terhadap masyarakat atau sistem sosiokultural. Salah satu pelopor dari aliran ini adalah Alan P. Merriam. Merrian (1964) mengganggap bunyi musik sebagai suatu produk atau artefak dari perilaku manusia yang menghasilkannya. Perilaku ini dahadirkan oleh konsep-konsep tentang musik yang terbentuk dalam pikiran seseorang melalui interaksi dengan
22
orang lain dalam suatu masyarakat. Bunyi musik dihasilkan oleh perilaku musikal yang memberikan feedback kepada pemain musik dan pendengarnya, baik dengan memodifikasi atau memperkuat konsep-konsep tersebut. Perlu dipahami pula bahwa tidak seluruh perilaku manusia yang berkaitan dengan musik bertujuan untuk menghasilkan bunyi. Tindakan non-musikal, seperti menggandakan suatu manuskrip musik atau menjual rekaman musik, juga turut berpengaruh. Lebih dari itu, perilaku non-musikal ini seringkali penting dalam menimbulkan kegiatankegiatan musikal. Untuk memahami konsep tersebut dibutuhkan pemahaman tentang manusia, musik dan konteks. Manusia yang hidup dalam masing-masing kelompok masyarakat di Indonesia memperoleh pengalaman-pengalaman konkrit dari lingkungan yang berbeda-beda. Pengalaman-pengalaman konkrit tersebut secara lambat-laun membentuk pengetahuan pada para pelaku musik dalam suatu kelompok masyarakat. Pengetahuan inilah yang digunakan oleh para pelaku musik sebagai arahan dalam melakukan aktivitas-aktivitas dalam menghasilkan karya-karya musik sesuai dengan nilai, norma, dan konteks yang mereka yakini. Kenyataan memperlihatkan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh para pelaku musik dalam kelompok masyarakat tertentu memperlihatkan perbedaan dengan para pelaku musik dalam kelompok masyarakat yang lain. Ditinjau dari musik, dapat kita pahami bahwa musik dipandang sebagai hasil dari aktivitas manusia yang dilakukan untuk didengarkan oleh masyarakat pendukungnya. Dalam prosesnya, musik sebagai salah satu kebudayaan ekspresif dari masing-masing kelompok masyarakat di Indonesia akan melibatkan pelaku
23
dan masyarakat pendukungnya (pendengar musik) sesuai dengan konteks yang dihadapi. Berdasarkan pada penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa musik Betawi merupakan karya-karya musik yang dihasilkan oleh para pelaku musik sebagai bagian dari masing-masing kelompok masyarakat di Indonesia. Keberagaman yang terjadi pada masing-masing karya musik yang dihasilkan oleh para pelaku musik dari setiap kelompok masyarakat disebabkan oleh adanya keberagaman pengetahuan yang diperoleh pelaku yang hidup dalam lingkunganlingkungan yang berbeda. Ketika kita mengenali keragaman musik Betawi, kita juga harus mengakui bahwa musik tersebut umumnya memiliki karakteristik-karakteristik penting. Leonard B. Meyer dalam bukunya Emotion and Meaning in Music (1956) menyatakan bahwa karakteristik yang terpenting tetapi jarang sekali diperhatikan adalah kealamian yang berkaitan dengan sintaksis dari gaya-gaya musik yang berada antara satu kelompok etnis dengan kelompok yang lain. Hubungan-hubungan organisasi bunyi ke dalam suatu sistem hubungan-hubungan kemungkinan, batas-batas yang menentukan pengkombinasian bunyi, dan sebagainya, merupakan seluruh karakteristik umum dari musik. Kerana musik berkaitan dengan sintaksis dari gaya-gaya musik yang berada antara satu kelompok etnis dengan kelompok yang lain maka musik dipandang bermanfaat untuk memahami kebudayaan suatu komuniti masyarakat. Artinya, dengan menganalisa musik yang dimiliki oleh komuniti masyarakat tertentu di Indonesia, misalnya kita dapat memiliki pemahaman tentang
24
kebudayaan masyarakat tersebut dengan lebih baik. Mengapa?. Karena, seperti juga cabang seni lainnya, musik yang dihasilkan oleh komuniti masyarakat tertentu di Indonesia berkaitan dengan aturan-aturan dasar, sanksi-sanksi, dan nilai-nilai yang sering kali memperlihatkan esensi-esensi masyarakat tersebut. Oleh karena itu, musik kadang-kadang dipandang bersifat simbolis yang dapat merefleksikan organisasi masyarakatnya. Dalam hal ini, musik merupakan alat untuk memahami suatu kelompok masyarakat serta menganalisa kebudayaan dan masyarakat. Elliot juga menyatakan bahwa musik merupakan hasil tindakan atau perilaku manusia yang memiliki tujuan tertentu. Musik dipandang sebagai praktik manusia yang beragam. Setiap praktik musik yang dilakukan manusia mencakup pemahaman-pemahaman yang disebar luaskan dan usaha-usaha para musisi dalam praktik musik. Sebagai akibatnya, setiap praktik menghasilkan musik yang berhubungan dengan jenis musik yang memiliki karakter tertentu dan karya-karya musik. Musik yang dihasilkan dari praktik manusia tersebut dapat dikatakan sebagai produk dari praktik-praktik musik tertentu karena memperlihatkan dengan jelas prinsip-prinsip dan standar-standar dari praktisi-praktisi musik yang menciptakannya. Oleh karena itu, kita dapat mengidentifikasi jenis-jenis musik tertentu, seperti gamelan gong kebyar (Bali), gamelan Jawa, Gamelan Sunda ketika kita mendengarkannya secara teliti. Pengidentifikasian tersebut pola-pola bunyi musik pada ketiga contoh jenis musik tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa musik tradisional merupakan hasil dari praktik manusia. Sebagai hasil praktik, setiap musik
25
tradisional yang dimiliki oleh setiap suku bangsa di Indonesia akan selalu memperlihatkan karakter-karakter tertentu sesuai dengan nilai, keyakinan, dan pengetahuan yang dimiliki para musisi yang memainkan atau menciptakannya. Karakter-karakter yang terdapat dalam suatu jenis musik tradisional secara jelas memperlihatkan perbedaan dengan jenis tradisional dari kelompok masyarakat yang lain. Secara umum sudut pandang kajian musik akan meliputi : manusia, teks, dan konteks musik di masyarakat. Mengetahui apa dan bagaimana bentuk musik, perilaku apa yang ditunjukan dengan musik, dan bagaimana manusia memperlakukan musik dalam komunitasnya.
4. Tinjauan Kajian Musik Tradisi Betawi Secara keilmuan, musik tradisi termasuk pada cabang ilmu humaniora, sifat penelitiannya bisa kualitatif maupun kuantitatif, tergantung pada tujuan penelitian yang hendak diungkap. Secara kualitatif, penelitiannya musik tradisi dapat mengungkap antara lain: estetika seni, kesejarahan seni, biografi seniman, fungsi seni, makna seni, atau tafsir tentang seni. Akibat kondisi seni tergantung pada selera masyarakat, hasil penelitiannya tidak mengharuskan adanya standar atau ketentuan yang mengikat melainkan sesuai dengan keadaan dilapangan. Hal itu sesuai dengan
sifat dasar dari keilmuan humaniora yakni sulit untuk
digeneralisasikan. Kajian musik tradisi tidak dapat lepas dari konteks musik di masyarakat. Oleh karena itu untuk mengungkapnya maka kita dapat melihat dari dua unsur
26
yakni: dimensi teks dan konteks. Dalam hal pengkajian seni Marco DeMarinis, dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Performance, menyimpulkan bahwa seni itu bersifat entetis yang multi lapis. Untuk mengkajinya diperlukan pemahaman mengenai lapis teks seninya (dalam hal ini musik) sendiri dan lapis bagaimana konteksnya di masyakarat. Karena sifatnya teks dan konteks, maka sangat dimungkinkan sebuah penelitian musik tradisi dilakukan pendekatan secara multidisiplin. Dikaji dari disiplin etnomusikologi untuk teks musiknya dan juga dari berbagai sudut pandang dengan meminjam disiplin ilmu lain untuk membedah permasalahan yang terdapat dalam lapis konteks. Beberapa disiplin ilmu yang dapat digunakan untuk analisis konteks antara lain : 1) antropologi untuk menelaah stratifikasi sosial, proses enkulturasi dalam masyarakat, serta guna dan fungsi musik dalam suatu kelompok masyarakat; 2) sosiologi untuk menganalisis masyarakat pengguna musik tersebut (elit culture, folk culture, mass culture). 3) sejarah untuk menganalisis bagaimana perkembangan musik tersebut awalnya, kini, serta memprediksi masa depannya; 4) manajemen, untuk menganalisis bagaimana manajemen kegiatan bermusik yang melibatkan banyak orang dikelola. 5) psikologis untuk menganalisis bagaimana pengaruh musik terhadap tingkah laku dan kepribadian manusia, dll. Keberadaan musik tradisi yang beraneka dapat dikaji dari berbagai aspek antara lain berkaitan dengan budaya material musik, teks (gending dan lagu), pelaku musik (seniman/musisi), konteks musik di masyarakat: Pengkajian musik Tradisi akan sangat beragam akibat dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial budaya yang mempengaruhi perkembangannya. Perkembangan musik tradisi juga
27
dapat diakibatkan oleh akulturasi budaya dan adanya perubahan-perubahan pada pranata-pranata dalam kebudayaan, seperti agama, sosial-budaya, politik, ekonomi, dan teknologi. Bentuk musik tradisi mengalami perubahan dari masa kemasa sesuai dengan dinamika perubahan sosial budaya yang melingkupnya. Aspek-aspek tersebut merupakan bagian kajian sosial budaya pada musik tradisi. Musik tradisi dapat diamati berdasarkan bentuk material musiknya. Pengelompokan jenis alat musik lazim disebut sistem klasifikasi. Banyak cara mengelompokan jenis alat musik, di Cina pengklasifikasian dilakukan berdasarkan: cara memainkan, cara menghasilkan bunyi. Pengklasifikasian musik tradisi dilakukan atas dasar ensambelnya, peniruan bunyi, cara memainkan, bahan, dsb. Fenomena ini menunjukan, bahwa cara mengelompokkan alat musik tidak hanya satu cara, melainkan bermacam-macam. Salah satu kajian yang ditulis Supanggah (2002) terdapat dalam Bothekan Karawitan 1 membahas masalah karawitan dari sisi klasifikasi musik berdasarkan aspek instrument. Pada tulisannya diungkapkan bahwa klasifikasi musik dapat ditinjau berdasarkan sudut bahan
pembuatan
instrumen,
perangkat
instrument
gamelan,
penempatannyadalam sebuah ensambel, laras, irama, dan gaya. Pengklasifikasian alat musik pada dasarnya adalah untuk memperlihatkan persamaan dan perbedaan masing-masing alat musik, struktur bangunan fisik alat musik, serta karakteristik bunyi alat musik yang berhubungan dengan cara memainkannya, bentuk instrumennya, dan lain-lain. Musik tradisi pada akhir-akhir ini telah menjadi salah satu materi pengamatan dalam penelitian ilmiah. Bentuk kajian musik tradisi dapat dilakukan
28
dengan mengambil fokus-fokus tertentu, misalnya: bagaimana musik dibuat, bagaimana musik didokumentasikan, bagaimana musik difungsikan, bagaimana musik dikembangkan, bagaimana peran dan sikap tokoh penting, bagaimana musik ditranmisikan, bagaimana struktur dan teksnya. Kajian musik tradisi pada dasarnya menyangkut tiga elemen penting yakni; seniman, karya, dan masyarakatnya. Menurut Waridi dalam Karwati (2007/2008:17)) ruang lingkup kajian musik Tradisi meliputi: kajian tekstual akan membahas masalah: struktur musik, cara bermain dan mengolah musik, organisasi musikal, organologi, perubahan musik, proses penciptaan musik, instrumentasi, hubungan musik dengan seni lainnya, unsur-unsur musikal, linguistik dalam musik Tradisi, dan kasus kehidupan musisi. Kajian konstektual akan membahasa masalah: kajian konteks musik Tradisi di masyarakat, fungsi musik Tradisi dalam kehidupan masyarakat, makna musik Tradisi di tengah kehidupan masyarakat pendukungnya, musik Tradisi dan ritual sosial, hubungan struktur musik Tradisi dengan struktur sosial masyarakat pendukungnya, hubungan musik Tradisi dengan industri, hubungan musik tradisi dengan pendidikan multikultural. Kajian lain yakni mengenai seniman musik tradisi Betawi, sebagai fokus kajiannya antara lain: latar belakang kehidupan keluarga dan lingkungan seniman, pendidikan formal-nonformal serta informal seniman, pandangan seniman tentang musik tradisi yang ditekuni, kreativitas individu seniman dan karya cipta yang dihasilkan, konstribusi seniman dalam kehidupan musik Gambang Kromong, cara belajar seniman musik Tradisi dan cara mewariskan kemampuan kepada generasi beikutnya. Aspek lain dari kajian musik tradisi adalah ciri khas seniman dalam bekarya musik Gambang Kromong, dibahas mengenai; spesialisasi dan gaya pribadi, tingkat popularitas dalam komunitas musik Gambang Kromong, penghargaan yang pernah diperoleh, persoalan spesifik lain yang berkait dengan munculnya karakter karya musik yang khas. Sebagai sebuah kajian teks musik
29
Gambang Kromong, di dalamnya merupakan perpaduan antara berbagai aspek penting yang saling menunjang. Mengkaji musik tradisi Gambang Kromong Sinar Pusaka menerapkan paradigma etnomusikologis, menggunakan beberapa teori seperti: musikologi, akustika dan organologi. Secara kontekstual dapat dibantu dengan menggunakan teori: sosiologi, anthropologi, atau teori sosial lainnya. Penggunaan teori dalam analisisnya dapat dilakukan secara silang antara teks dan konteks, menggunakan pendekatan berbagai disiplin ilmu atau disebut pendekatan multidisiplin. Kendati demikian beragam aspek kajian namun secara garis besar, paradigma penelitian seni baik kualitatif maupun kuantitatif hal tersebut berada pada payung keilmuan etnomusikologi. Paradigma yang dapat diaplikasikan dalam kajian musik tradisi dapat berbentuk kualitatif maupun kuantitatif dengan pendekatan deskritif, atau eksperimen. Pendekatan kualitatif dalam penelitian, dapat menjawab bentuk pentanyaan yang sangat sederhana misalnya sekitar berapa jumlah atau prosentase tertentu terkait dengan objek yang diteliti, sedangkan mengenai bentuk pertanyaan mengapa atau bagaimana mengenai objek yang diteliti maka jawabannya tidak cukup diperolah melalui penelitian kuantitatif, melainkan ditempuh dengan caracara penelitian kualitatif (Soedarsono: 1999). Pendekatan antropologis dalam musik tradisi, dapat mengkaji antara lain terkait dengan masalah nilai dan kebermaknaan, fungsi musik tradisi pada suatu komunitas masyarakat tertentu. Pendekatan sosiologis antara lain menggali persoalan musik Tradisi dalam konteks perubahan sosial masyarakat. Pendekatan
30
lain yakni menguangkap liku-liku sejarah pertunjukan musik dari satu waktu ke waktu tertentu. Pendekatan pedagogis musik tradisi misalnya mengkaji masalah hakekat dan kebermaknaan musik tradisi dalam pendidikan, metode pembelajaran musik tradisi. Karena data-data masa lalu umumnya informatif maka dalam kajian musik tradisi dapat dilakukan melaui rekonstruksi. Rekonstruksi data, menjadi salah satu cara guna melengkapi data penelitian, disamping itu untuk mengungkap data-data masa lalu musik Tradisi, maka data dapat diambil dari bentuk lain seperti mauscript atau artefak, dan informasi melalui informan yang dipandang berkompeten. Penelitian musikologis dapat berbentuk kajian tekstual, sementara penelitian musik terkait dengan budaya masyarakat, kajiannya disebut konstektual. Kehidupan musik tradisi bukan entitas tunggal yang homogen melainkan bervariasi/beragam, berubahdari waktu ke waktubergulat dengan lapis sosialbudaya yang hidup dalam konteks kebudayaan. Perubahan musik tradisi disebabkan berbagai factor seperti : politik, sosial-budaya, ekonomi, seniman, bahkan sifat perubahannya bisa secara eksternal atau internal. Perwujudan teks dan konteks musik tradisi merupakan dua sisi yang saling kait mengkait. Asumsinya adalah, ketika pandangan masyarakatnya terhadap kebiasaankebiasaan yang telah lama berlaku kemudian berubah, maka secara kuat berpengaruh pula terhadap perubahan pertunjukan karawitan, pendekatan hermeneutic:
pendekatan
ini
dimanfaatkan
untuk
mengungkap
dan
menginterprestasi makna teks (linguistik) yang terdapat dalam karya-karya musik
31
kaitannya dengan ruang dan waktu. Konsep interpretatif geertz tentang mencari makna juga dapat digunakan untuk mengungkap permasalahan tersebut. Mengenai perubahan dalam bentuk seni dinyatakan oleh Sedyawati (1981:2): bahwa: perubahan bentuk seni semata-mata tidak lahir sebagai cetusan yang benar-benar baru, melainkan kalau dilihat dalam rentangan waktu yang panjang, hal yang baru senantiasa bertolak dari yang sudah ada sebelumnya. Tiga hal metode sejarah yang dapat diaplikasikan dalam penelitian musik tradisi yakni berdasarkan pengertian Garraghan (1957:34): Heuristik: menghimpun materi sebagai sumber informasi/bukti sejarah, kritik: menguji sumber/bukti sejarah, pengujian secara heuristic yakni membandingkan data tertulis, menguraikan pernyataan formal dan kritik. Model penelitian sejarah yang dapat diaplikasikan yakni: model sinkronis: untuk mengetahui gambaran lingkungan sosial, historis, fungsi dan latar belakang dan model diakronis: untuk menggambarkan bagaimana pertumbuhan tersebut dari waktu-kewaktu, bagaimana ia tumbuh dari awal sebagai suatu gejala yang unik mengingat detail yang berbeda (Kuntowijoyo, 1994:38). Sebagai karya penelitian musik maka fakta kesejahteraannya diambil dengan cara pendeskripsian; vokal/gaya vokal; gending, instrumen, garap, teknik, pendekatan karya (tradisi, reinterprestasi) (Barbara Krader) analisis: bentuk gending, instrumentasi, struktur, irama, laras, unsur musikal. Fakta tersebut digunakan untuk melihat apa yang tetap dan apa yang berubah, metode penelitian deskriptif kesejahteraan mengungkap perbedaan fakta-fakta, pengkatagorisasian atau pengklasifikasian (Sartono Kartodirdjo, 1992:217). Pada kajian musik tradisi maka pengklasifikasian dilakukan terhadap lagu-lagu, instrumen musik, dan data
32
informatif, interpretatif data didasarkan pada pengalaman dan pemahaman peneliti. Bentuk lain dari konteks kajian seni yakni aspek psikologis musik, seperti pernyataan Leonard B. Meyer dalam bukunya Emotion and Meaning in Music (1956), sebagaimana dikutip oleh Elliot (1995), bahwa bunyi musik berpengaruh pada pendengar-pendengarnya. Kebalikan dari Meyer, Susanne K. Langer mengemukakan teorinya dalam philosophy in a New (1976), sebagaimana dikutip oleh Elliot (1995), bahwa bunyi musik tidak memiliki pengaruh pada perasaan manusia. Teori Langer tersebut banyak didkukung oleh para filsuf musik, seperti Charles Leonhard dan Bennett Reimer serta pengikut-pengikut mereka. Bentuk lain dari definisi bentuk lain dari definisi musik yakni menurut Allan P. Merriam (1964) menuliskan bahwa terdapat perbedaan besar antara musik sebagai alat komunikasi dan musik sebagai “bahasa yang universal”. Untuk itu, kita perlu memiliki pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan “komunikasi”. Pada tahap yang paling mudah. Musik mengkomunikasikan sesuatu dalam suatu komunikasi yang terjadi dalam musik tertentu. Kemungkinan yang paling sering terjadi adalah bahwa komunikasi dihasilkan melalui penerimaan musik dengan makna-makna simbolik yang telah dipahami dengan baik oleh anggota komunitas. Namun, sedikit sekali yang diketahui pendengar tentang makna-makna simbolik yang dimiliki oleh masyarakat pendukung musik tradisional tersebut maka akan sulit untuk menganggap musik sebagai alat komunikasi. Bentuk kajian secara teks musik Tradisi dapat dikembangkan misalnya: mengkaji musik dari sudut ilmu analisis musikal atau dikenal secara spesifik
33
dengan istilah “garap” musik, antara lain melihat: beberapa bagian secara umum lagu/gending dimainkan, bentuk vokal yang disajikan, instrumen yang berperan dalam musik, garap gending, jalannyalagu, perubahan-perubahan musik, fungsi dan garap instrument dalam mewujudkan musik, akhir bagian gending, garap gending: (rasa selesai, setengah selesai, frasa, periode, kalimat, dll), teknis penyajian instrumen: (unisono, ritmis, bayangan nada, nada selesai, kesan selesai, nada kempyung, interloking, struktur kenong, struktur gong), gambaran penyajian vokal, syair, tema syair, teknik sajian/garap vokal dalam gending, perubahan syair, tempo vokal, selingan garap dan vokal, peranan instrument terhadap vokal, dan lain-lain.
5. Seni Pertunjukkan Tradisi a. Tradisi Tradisi berdasarkan
adalah nilai-nilai
kebiasaan budaya
turun-temurun masyarakat
sekelompok
yang
masyarakat
bersangkutan.
Tradisi
memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan. Di
dalam
tradisi
diatur
adanya
hubungan,
bagaimana
manusia
berhubungan dengan manusia lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain. Bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya, dan bagaimana manusia berlaku dengan alam lain secara komunikatif dapat oleh masyarakat tradisi. la berkembang menjadi suatu sistem. pola-pola dan norma-
34
norma dimilikinya, sekaligus mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan penyimpangan. Sebagai sistem budaya, tradisi menyediakan seperangkat model untuk bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan utama. Sistem nilai dan gagasan utama ini dapat tertuang dalam sistem ideologi, sistem sosial, dan sistem teknologi (Soebadio, 1983, Mursal Esten, 1993: 11). Sistem ideologi meliputi etika, norma, dan adat istiadat yang berfungsi memberikan dasar dan petunjuk terhadap sistem sosial yang meliputi hubungan dan kegiatan sosial masyarakat yang bersangkutan (Esten, 1993: 11). Selaras dengan hal di atas, Harsya Bachtiar mengemukakan bahwa tradisi sebagai sistem budaya merupakan suatu sistem yang menyeluruh. Terdiri dari cara-cara dan aspek-aspek pemberian arti terhadap laku ajaran, laku ritual, dan berbagai jenis laku lainnya dari manusia atau sejumlah manusia yang mengadakan tindakan antara satu dengan yang lain. Unsur terkecil dari sistem itu adalah simbol. Simbol meliputi simbolsimbol konstitutif (yang terbentuk sebagai kepercayaan-kepercayaan), simbol kognitif (yang terbentuk sebagai ilmu pengetahuan), simbol-simbol penilaian moral, dan simbol-simbol ekspresif atau simbol-simbol yang menyangkut pengungkapan perasaan (Bachtiar, 1982, Esten 1992 :15). Kelangsungan sebuah tradisi sangat bergantung dari adanya inovasi yang terus menerus dari para pendukungnya. Pengembangan keunikan terdiri dari unsur perorangan, detail, kebiasaan, persepsi intern dan ekstern (Murgiyanto, 2004 : 3). Tradisi berubah karena tidak pernah dapat memuaskan seluruh pendukungnya
35
(Shite, 1981 : 4). Sebuah tradisi bisa saja mengalami perubahan yang besar tetapi pewarisnya menganggap tidak ada perubahan, karena ada kesinambungan yang kuat antara bentuk inovasi yang baru dan bentuk tradisi sebelumnya (Murgiyanto, 2004 : 3). b. Seni Definisi seni telah dimulai sejak Plato (427 - 347 SM) mengetengahkan teori Mimesis(imitasi) yaitu segala kenyataan yang ada di dunia ini (termasuk seni) merupakan tiruan dari yang asli (alam). Menurut Jakob Sumardjo (2000 : 51), keberagaman pendapat tentang batasan pengertian seni disebabkan adanya perbedaan dasar pandangan titik tolak pemikiran. Batasan pengertian seni yang bertolak dari seniman, akan memunculkan masalah ekspresi, kreasi, , intuisi dan sebagainya, batasan pengertian seni yang bertolak dari benda seni menekankan pada pentingnya aspek bentuk, material, struktur, simbol. Sedangkan batasan pengertian seni yang bertolak dari publik seni menekankan kepada masalah apresiasi, interpretasi, evaluasi dan konteks dan sebagainya. Salah satu teori yang dianut dalam tulisan ini adalah yang dikemukakan oleh Tolstoi yaitu Emotionalist Theory. Teori ini juga menjadi pokok pikiran Veron, Tolstoy dan Ducasse. Tolstoi memandang seni sebagai ungkapan perasaan seniman yang disampaikan kepada orang lain agar mereka dapat merasakan apa yang dirasakannya. Seni merupakan ekspresi dari emosi dengan medium indrawi. Menurut Tolstoi, jenis perasaan yang diekspresikan itu beragam. Ada tiga syarat utama ekspresi perasaan seniman atas pengalamannya adalah Pertama, nilai ekspresi
36
bergantung pada besar kecilnya kepribadian seniman(individualrtas), makin menonjol individualitasnya, makin kuatlah daya pengaruh pada penerimanya. Kedua, nilai ekspresi bergantung pada besar kecilnya kejelasan, kejernihan perasaan yang diungkapkannya. Seniman mendasarkan diri pada perasaan universal manusia, sehingga penerima seni dapat menemukan kembali perasaan yang telah dikenal, tetapi jarang dirasakan. Ketiga, nilai seni bergantung pada besar kecilnya kejujuran seniman. Tolstoi memaparkan pula bahwa seni yang baik itu selalu universal, karena mampu menyatukan perasaan seluruh umat manusia dan mendekatkan manusia pada Tuhan(Weitz, 1967 dalam Soedarsono, 1977 : 17, Dickie, 1971: 40, Pranjoto Setjoatmodjo, 1988 : 48 - 53, The Liang Gie,1996 : 15, Sumardjo, 2000 : 62 - 65). Secara filosofis untuk menguraikan apakah seni itu, ada enam pokok bahasan yaitu: 1) Penghasil seni (pencipta seni/seniman). 2) karya seni (benda seni), 3) publik seni (penerima seni, penikmat seni), 4)nilai-nilai seni, 5) pengalaman seni 6) Konteks seni (Sumardjo.2000 : 29). Penjabaran tentang seni dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Penghasil Seni (pencipta seni/seniman) Adalah orang yang menghasilkan karya seni. Persoalan seniman dalam seni menyangkut masalah kreativitas dan ekspresi. Ekspresi dalam seni adalah mencurahkan perasaan tertentu dalam suasana perasaan gembira (Sumardjo, 2004 : 74). Kualitas perasaan yang diekspresikan dalam karya seni bukan perasaan individual, tetapi perasaan universal, yakni perasaan yang dapat dihayati oleh manusia lain sekalipun jenis perasaan itu belum pernah dialaminya. Sedangkan
37
kreativitas dalam seni adalah menemukan sesuatu yang baru atau hubunganhubungan baru dari sesuatu yang telah ada (Sumardjo, 2004 : 84). Manusia menciptakan sesuatu dari sesuatu yang telah ada sebelumnya. Setiap seniman menjadi kreatif dan besar karena bertolak dari bahan yang telah tercipta sebelumnya. Persoalannya adalah apakah seniman mampu menciptakan karya seni baru atau yang tidak serupa (tidak mirip) dengan karya seni yang telah ada sebelumnya. Tingkat orisinalitas karya seni tergantung pada tingkat totalitas pembaruan yang dilaksanakan. 2) Karya Seni (benda seni) Karya Seni berwujud kongkret, terindera, dan teralami oleh manusia. Seni (visual maupun audio) terwujud berdasarkan medium tertentu. Setiap medium memiliki ciri khas, keterbatasan dan kelebihan rnasing-masing. Karya seni merupakan perwujudan nilai yang terkandung dalam benda seni tersebut dan juga titik pertemuan komunikasi antara seniman dan publiknya. 3) Publik Seni Publik Seni merupakan suatu masyarakat yang dapat mengakui suatu ciptaan sebagai sebuah karya seni. Persoalan komunikasi nilai-nilai seni oleh seniman kepada publik seni berkaitan dengan empati, jarak estetik, apresiasi dan institust penentu nilai seni dalam masyarakat. Sedangkan persoalan karakteristik masyarakat yang dapat menerima suatu produk seni. kajian dari perspektif sosiologi, psikologi, dan antropologi seni sangat berperan .
38
4) Nilai Seni Nilai adalah ukuran tinggi rendah atau kadar yang dapat diperhatikan, diteliti atau dihayati dalam berbagai obyek yang bersifat ftsik (kongkrit) maupun abstrak. Nilai seni merupakan suatu cita yang berkaitan dengan bentuk visual dan auditif dari manusia, fauna, flora, dan alam, disamping bentuk yang abstrak seperti gerak hati, ekspresi rasa dan citra (Dharsono, 2004 : 20). Menurut Dharsono ada tiga nilai seni yaitu : Nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik, nilai musikal, dan nilai makna. Pertama, Nilai Intrinsik dan Nilai Ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang hakiki dalam karya seni secara implisit. Sifatnya mutlak dan hakiki. Macam dan fungsinya dalam berbagai cabang seni dan jenis seni berlainan. Nilai intrinsik adalah nilai itu sendiri. Sedangkan nilai ekstrinsik adalah nilai yang tidak hakiki. Nilai ini tidak langsung menentukan suatu karya seni, melainkan berfungsi mendukung, memperkuat kehadiran atau penyelenggaraan karya seni dan bersifat melengkapi kehadiran karya seni. Nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik sama penting bagi kehadiran karya seni, sebab pada umumnya keberhasilan penampilan dan penyelenggaraan suatu karya seni akan banyak ditentukan oleh terpadunya kedua nilai ini secara berimbang menurut kaidah dan norma tertentu. Kedua, Nilai Musikal adalah suatu kualitas 'musik' murni yang tersamar dan sukar ditangkap oleh proses penghayatan karya seni, memuaskan pencipta seni dengan perasaan senang yang disadari secara spontan. Schopenhauer (17881860) menyatakan bahwa semua seni mengandung suasana musik. Nilai musikal adalah suatu nilai yang murni dalam seni musik (dan seni-seni lainnya).
39
Ketiga, Nilai Makna. Ada dua makna pada penampilan seni, yaitu makna yang terdapat pada bentuk luar atau 'kulit'dan makna isinya atau 'dalam'nya. Makna 'kuiit adalah makna sebenamya dan melambangkan makna yang terkandung dibalik makna itu. Sedangkan makna 'dalam' adalah makna yang universal, yang merupakan pelipat gandaan makna yang sebenarnya, atau suatu makna ibarat yang dilambangi oleh makna yang sebenamya (Dharsono, 2000 : 21 - 22). 5) Pengalaman Seni Pengalaman Seni adalah pengalaman manusia dengan benda seni, pengalaman yang dialami oleh penikmat seni/penanggap seni/publik seni, berlangsung dalam suatu proses yang berkaitan dengan waktu, ada waktu 'sebelum seni', 'mengalami seni', dan 'sesudah seni'. Seni mengandung komunikasi yang tidak biasa seperti penyampaian informasi. Komunikasi seni adalah komunikasi pengalaman yang melibatkan kegiatan penginderaan, nalar, emosi, dan intuisi. Pengalaman seni menyangkut hubungan antara karya seni, publik seni dan pengalaman
seni sang
pencipta
seni. Dalam pengalaman seni unsur perasaan merupakan kekuatan utama yang menggerakan dan mendasari unsur-unsur potensi manusia yang lain. Seorang penikmat seni/penanggap seni lebur dalam nilai-nilai yang ditawarkan
oleh
benda seni. Penikmat
seni/penanggap
seni
berempati atau memproyeksikan
perasaan ke dalam benda seni. Proyeksi parasaan itu bersifat subyektif sekaligus obyektif. Bersifat subyektif karena penanggap rnenamukan kesenangan pada
40
bentuk karya seni dan bersifat obyektif karena proyeksi itu berdasarkan nilai-nilai benda seni itu sendiri. Pengalaman seni selalu memiliki suatu pola. Suatu pengalaman seni terdlri atas berbagai unsur pengalaman (visual, audio, rabaan) yang satu sama lain tersusun dan terhubung sendiri. Hubungan antar unsur inilah yang rnemberikan makna pada pengalaman seni. Pola hubungan antar unsur pengalaman menunjukan adanya hubungan antara apa yang sekarang dialami dengan apa yang diketahui sebelum pengalaman Itu.Cara pandang orang-orang terhadap sebuah karya seni berbeda kualitas dan maknanya tergantung pada pengalaman seni dan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya (Sumardjo,2000 : 162). 6) Konteks seni berkaitan dengan nilai-nilai seni Seni menyangkut nilai-nilai setempat dan sezaman. Analisis kontekstual sebuah seni pertunjukkan lebih menempatkan seni pertunjukkan dalam konteks budaya masyarakat pemiliknya (Sudarsono, 1999 : 65). Pendekatan kontekstual terhadap seni sering digunakan oleh antropolog, hal ini selaras dengan salah satu ciri penting antropologi yang bersifat holistik, yakni dalam memahami fenomena sosial budaya, seorang antropolog akan berusaha untuk melihat keterkaitan fenomena tersebut dengan fenomena-fenomena yang lain dalam kebudayaan yang bersangkutan. Cara pandang seperti ini membuat pemahaman tentang seni menjadi lebih komprehensif dan lebih utuh (Ahimsa-Putra, 2000 :413-414).
41
6. Perubahan Kebudayaan Kebudayaan berada dalam kondisi yang selalu berubah (Beals.1953 : 600). Menurut Suparlan Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh sejumlah warga masyarakat yang terdapat dalam aturan-aturan atau nomra-norma, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa. Perubahan kebudayaan bisa mencakup salah satu unsurnya dan mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan lainnya, atau juga dapat merubah seluruh unsur-unsur kebudayaan tersebut ... (Suparlan, 2004 : 24). Sehubungan dengan persoalan tersebut Edi Sedyawati dalam Karwati (12007/2008:30) berpendapat bahwa: perubahan bentuk seni semata-mata tidak lahir sebagai cetusan yang benar-benar baru, melainkan kalau dilihat dalam rentangan waktu yang panjang, hal yang baru senantiasa bertolak dari yang sudah ada sebelumnya. Gambang Kromong sebagai hasil dari budaya masyarakat Betawi juga mengalami perubahan. Gejala perobahan pada Gambang Kromong dapat dimulai dari ide masyarakat pendukungnya (seniman dan apresiator). Secara musikal perubahan itu dapat diamati berdasarkan beberapa aspek, baik tekstual maupun kontekstual dan perubahan tersebut dipengaruhi bebrapa kepentingan yang dapat diamati berdasarkan nomra-norma, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa Seni pertunjukkan tradisi Gambang Kromong, merupakan memiliki faktor yang menyebabkan terjadinya kebudayaan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua kelompok
42
berdasarkan sumbernya yakni yang terletak di dalam dan diluar masyarakat itu sendiri. Faktor yang bersumber dari dalam masyarakat antara lain : 1) Bertambah atau berkurangnya penduduk, 2) Penemuan-penemuan baru, 3) Konflik masyarakat, 4) Terjadinya pemberontakan atau revolusi. Adapun faktor dari luar masyarakat antara lain : 1) Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia, 2) Peperangan dengan negara lain, 3) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain (Soekanto.1992 : 352-360).
G. Lokasi Subjek Penelitian Pemilihan lokasi penelitian disesuaikan dengan tempat objek yang akan diteliti yaitu alamat Grup Gambang Kromong Sinar Pusaka, di Jalan Cibubur III No. 11 RT/RW. 10/01.Kelurahan Cibubur, Kecamatan Ciracas Jakarta Timur, dan Grup Gambang Kromong Harapan Jaya, yang beralamat di Kelapa II Wetan, Kecamatan Ciracas Jakarta Timur. Alasan pemilihan lokasi dan sampel ini antara lain karena: seni Gambang Kromong "Sinar Pusaka" pimpinan Andi Suhandi, dan seni Gambang Kromong Harapan Jaya pimpinan Dul Mamit, memiliki sejarah yang menarik untuk dikaji serta menunjukkan fenomena perubahan dan kontinuitas dalam pertunjukannya. Di samping itu beberapa tokoh dan senimannya masih hidup, sehingga hal ini membantu peneliti dalam hal mendapatkan data yang diperlukan. Seniman dan para tokoh tersebut dianggap memiliki informasi atau kemampuan tentang seni Gambang Kromong berada dekat dengan lokasi penelitian.
43
H. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif untuk memperoleh data kualitatif; dengan pendekatan sejarah, hal tersebut digunakan
dalam
penelitian
ini
dengan
alasan
bahwa
penelitian
ini
mengungkapkan mengenai terjadinya kontinuitas dan perkembangan pertunjukan musik Gambang Kromong pada grup Sinar Pusaka dari geneasi ke generasi. Penelitian
kualitatif
ini
lebih
mengutamakan
comparability
dan
translatabiltiy dari temuan-temuannya bukan transer terhadap kelompok atau populasi yang tidak diteliti karena dalam pengambilan sampel penelitian kualitatif tidak statis melainkian bersifat dinamis dari fase ke fase berurutan, berkembang dan kontekstual. Hal ini terjadi karena adanya paradigma kualitatif yang berupaya mengembangkan ranah penelitian dengan terus menerus bahkan memunculkan pemikiran dan hipotesis baru.
Alwasilah mengemukakan bahwa: penelitian
kualitatif berfokus pada fenomena tertentu yang tidak memiliki generalizality dan comparability, tetapi memiliki internal vability dan contextual under standing (1991:143). . Penelitian yang berjudul “Kontinuitas dan Perkembangan Gambang Kromong Betawi Grup Sinar Pusaka Jakarta Timur” ruang lingkupnya dibatasi hanya pada seni Gambang Kromong yang berada di derah Jakarta Timur terutama wilayah Cibubur. Adapun yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah seni Gambang Kromong grup Sinar Pusaka dan Gambang Kromong grup Harapan Jaya yang berada di daerah tersebut. Alasan pemilihan lokasi dan sampel ini antara lain karena: seni Gambang Kromong Sinar Pusaka pimpinan Andi Suhandi,
44
dan seni Gambang Kromong Harapan Jaya pimpinan Dul Mamit, memiliki sejarah yang menarik untuk dikaji serta menunjukkan fenomena perubahan dan kontinuitas dalam pertunjukannya. Di samping itu beberapa tokoh dan senimannya masih hidup, sehingga hal ini membantu peneliti dalam hal mendapatkan data yang diperlukan. Seniman dan para tokoh tersebut dianggap memiliki informasi atau kemampuan tentang seni Gambang Kromong. Seni pertunjukan Gambang Kromong yang terdapat pada masyarakat Betawi, tidak statis, dari waktu ke waktu mengalami proses perubahan. Apabila diamati berdasarkan bentuk penyajiannya. ternyata dalam setiap fase perubahan seni Gambang Kromong masih memiliki unsur-unsur seni yang telah ada dan lanjutan dari seni sebelumnya. Beberapa langkah persiapan yang dilakukan dalam pengamatan seni Gambang Kromong adalah: observasi ke lapangan dan menentukan sample yang menjadi objek penelitian. Sebagai sample penelitian yakni: Grup seni Gambang Kromong Sinar Pusaka dan Hararapan Jaya, yang terdapat di Cibubur Jakakarta Timur. Selanjutnya melakukan interviu melalui teknik wawancara mendalam dengan objek penelitian guna mengetahui informasi atau keterangan yang terkait dengan permasalahan penelitian. Pengambilan sampel analisis karya musik Gambang Kromong, antara lain diperoleh dari: hasil rekaman lagu-lagu baik berupa rekaman kaset recorder, vcd dan sejenisnya atau hasil rekaman langsung. Peneliti kemudian melakukan pentranskripsian yakni mencatat hal-hal yang esensial. serta menghindari hal-hal yang dipandang tidak esensial. Transkripsi data musik dibantu dengan sistem alat rekam. dengan dua cara yakni
45
penggunaan notasi yang detail atau penggunaan notasi untuk mencatat kerangkakerangka saja. Terkait dengan sifat penelitian etnomusikologis maka dalam bahasan laporan seni Gambang Kromong akan mengetengahkan antara lain: proses-proses terjadinya seni secara teknis, kontinuitas dan perubahan. dan fungsi dari totalitas seni dari totalitas kebudayaannya, seperti bahasan yang dimaksudkan Seeger dalam R. Supanggah. ed. (1995: 15-25). Setelah data dianggap memadai, langkah Selanjutnya adalah seleksi terhadap data yang telah diperoleh. ketika masih terdapat informasi yang diperlukan dicari data lanjutan. Data yang terkumpul secara simultan direduksi, diinterpretasi, dianalisis, dan disajikan dalam laporan penelilian. Karena sitat penelitian ini adalah penelitian kasus maka hasil kajian kelak tidak berlaku terhadap objek lain. Penelitian juga dilakukan melalui pengamatan berperan serta atau berpartisipasi pada obyek yang dikaji yaitu pendukung pertunjukan Gambang Kromong dan seni pertunjukan Gambang Kromong. Dalam hal ini selain mengamati pertunjukan yang padat maupun yang utuh, substansi dari pertunjukan Gambang Kromong dipelajari dari beberapa Nara Sumber. Pertunjukan yang padat yang dimaksud disini adalah pertunjukan yang dilakukan dalam waktu relatif pendek, maximum 3 jam. Pertunjukan Gambang Kromong yang padat biasanya dilaksanakan untuk keperluan hiburan seperti di Televisi, ditempattempat hiburan seperti : Taman Mini Indonesia Indah dan Taman Impian Jaya Ancol, di kampungan Budaya Betawi, di pusat-pusat Kesenian seperti Taman Ismail Marzuki atau di Kantor-Kantor Pemerintah dalam rangka memperingati
46
Hari Besar Nasional. Sedangkan Pertunjukan yang utuh adalah pertunjukan yang dilaksanakan hampir semalam suntuk di daerah-daerah orang-orang Betawi berdomisili untuk keperluan hajatan. Adapun pengamatan terhadap komunitas pendukung seni pertunjukan Gambang Kromong dilakukan pada saat pertunjukan dilaksanakan serta sebelum dan sesudah pertunjukan. Juga dilakukan wawancara terhadap orang-orang Betawi yang sekrtar tahun 1970-an dan 1980-an selalu menggelar Gambang Kromong dalam melakukan Hajatan, di daerah Kelurahan Cibubur, Jakarta Timur. Studi pustaka dilakukan untuk melacak pertumbuhan seni pertunjukan Gambang Kromong dari pertengahan abad XIX di Batavia khususnya dan di pulau Jawa bagian barat pada umumnya Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa pendekatan sejarah tepat digunakan dalam penelitian ini dengan alasan bahwa penelitian ini mengungkapkan mengenai terjadinya kontinuitas dan perkembangan pertunjukan musik Gambang Kromong pada grup Sinar Pusaka dari geneasi ke generasi.