BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pada sektor kesehatan menjadi salah satu upaya negara yang diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan sosial. Dimana peran pemerintah untuk melakukan perubahan dan perbaikan ke arah yang lebih baik, agar sektor kesehatan dapat dirasakan oleh semua orang. Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa sektor ini mempunyai peran penting dalam menunjang pelaksanaan pembangunan lainnya. Lebih lanjut bahwa kesehatan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia yang harus terpenuhi. Sudah seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah untuk berupaya dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sumodiningrat (1999) mempertegas bahwa tingkat kesejahteraan tidak hanya ditentukan dari aspek ekonomi semata, namun aspek kesehatan termasuk didalamnya. Aspek kesehatan tidak bisa dipisahkan dari keberlangsungan kehidupan manusia. Kesehatan menjadi kebutuhan utama dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi setiap orang akan dihadapkan pada resiko yang akan mengancam keberlangsungan hidupnya. Dapat dipastikan bahwa kesehatan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi setiap individu. Dengan demikian, kehadiran negara sangat dibutuhkan untuk memberikan proteksi terhadap setiap individu. Upaya tersebut telah dilakukan oleh berbagai negara
1
2
melalui skema jaminan sosial termasuk di Indonesia, terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap masyarakat dari berbagai resiko kehidupan, terutama bagi masyarakat miskin atau tidak mampu. Resiko kehidupan bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja yang dapat mengancam setiap saat. Pemberian jaminan sosial diupayakan agar masyarakat dapat terlindungi dari resiko kehidupan yang terjadi. Botterweck mengatakan, bahwa fungsi jaminan sosial dapat diartikan negara hendaknya menjalankan suatu tindakan untuk melindungi dan mengantisipasi terhadap resiko di masa depan atas kondisi sosial-ekonomi warga negara khususnya warga miskin (Yudhatama, 2007:64). Permasalahan kesehatan sangat identik dengan masyarakat miskin, dengan kondisi ekonomi yang lemah menyebabkan masyarakat tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan secara layak, sehingga pemenuhan kebutuhan kesehatan menjadi tidak dapat terpenuhi. Saat ini masyarakat miskin rentan untuk terkena penyakit kronik, seperti jantung, diabetes dan kanker. Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, 80% penyakit kronik terjadi pada penduduk dengan penghasilan menengah ke bawah. Diprediksikan kematian dan kecatatan akibat penyakit tidak menular mencapai 60% pada tahun 2020 (Yudhatama, 2007:17). Secara yuridis penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan sudah layak terlaksana bagi setiap individu, sebagaimana yang telah di amanatkan dalam UUD 1945. Sesuai dengan amanat UUD 1945, semua orang berhak untuk
3
memperoleh pelayanan kesehatan dan negara bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan kesehatan tersebut. Dimana dalam Pasal 28 H UUD 1945 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” dan Pasal 34 (ayat 3) UUD 1945 “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas layanan umum yang layak”. Skema perlindungan aspek kesehatan yang telah dikembangkan oleh negara belum mampu menjadi jawaban atas persoalan yang terjadi. Pada tataran praktek, upaya tersebut hanya mencakup sebagian kecil masyarakat. Masih banyak masyarakat pada saat sakit harus menjalani pengobatan yang murah. Ironisnya, meskipun jaminan sosial kesehatan sebagai hal yang sifatnya mendasar, hampir sebagian besar penduduk Indoensia tidak memiliki asuransi kesehatan (Nurhadi, 2007:152). Melihat sejarah jaminan kesehatan yang ada di Indonesia lebih cenderung menggunakan pendekatan model Beveridge dan Bismarck. Dimana model jaminan kesehatan dengan sistem asuransi melalui pembayaran premi oleh peserta yang digabungkan dana dari pemerintah dan premi dibayarkan sepenuhnya melalui pemerintah, terutama bagi masyarakat miskin atau tidak mampu. Manfaat yang didapatkan dalam bentuk pemeliharaan kesehatan di fasilitas kesehatan milik pemerintah, seperti rumah sakit milik pemerintah dan puskesmas. Namun dalam realitanya, jaminan kesehatan yang ada cenderung menggunakan model biaya sendiri. Sering kali ketika sakit masyarakat harus
4
mengeluarkan biaya secara pribadi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Skema perlindungan yang telah dikembangkan belum mampu memberikan garansi bagi masyarakat. Jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu sebenarnya sudah diupayakan pemerintah pusat maupun daerah melalui program Jamkesmas dan Jamkesda. Program Jamkesmas merupakan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dari pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan. Untuk program Jamkesda sendiri merupakan inisiatif dari pemerintah daerah untuk menjaring masyarakat miskin yang belum tercover Jamkesmas yang biayanya bersumber dari APBD. Salah satu daerah yang telah berupaya melaksanakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu adalah Kota Pangkalpinang. Namun dalam pelaksanaannya, muncul beberapa persoalan yang membuat jaminan kesehatan tersebut belum dapat menjadi skema perlindungan yang memadai untuk menjamin masyarakat dalam melakukan pemeliharaan kesehatan. Penyelenggaraan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dirasakan masih belum berjalan secara efektif. Implementasi program ini belum tepat sasaran dan masih banyak masyarakat miskin yang kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini yang masih dirasakan oleh penerima program Jamkesmas dan masyarakat miskin atau tidak mampu yang masih belum mendapatkan kartu. Dalam tulisan berita online Antara Babel, Muhammad Yahya anggota Komisi I DPRD Kota Pangkalpinang mengatakan, “saat ini masih banyak warga miskin yang sulit mendapatkan pelayanan
5
kesehatan di puskesmas dan rumah sakit karena mereka tidak mendapatkan kartu Jamkesmas dari kelurahan” (antarababel.com, 2013). Berdasarkan data dari BPS pada tahun 2010, jumlah keluarga miskin di Kota Pangkalpinang berjumlah 5.468 keluarga, jika satu keluarga terdapat empat jiwa maka jumlah penduduk miskin berjumlah sekitar 21.872 jiwa (RKPD Kota Pangkalpinang, 2013). Dalam program Jamkesda masyarakat miskin atau tidak mampu yang berhasil dicover adalah sebanyak 13.600 peserta. Hal tersebut memperlihatkan bahwa masih menyisakan masyarakat yang belum tercover oleh jaminan kesehatan. Pada sisi lain, masyarakat yang menjadi peserta dirasakan belum tepat sasaran. Dengan demikian, masih ada masyarakat miskin yang tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan. Hal ini sesungguhnya telah disadari oleh pemerintah bahwa jaminan kesehatan yang ada belum mampu memberikan perlindungan secara adil dan merata bagi setiap individu. Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk mengembangkan jaminan kesehatan yang mencakup seluruh penduduk. Setelah melalui proses yang panjang, untuk mewujudkan hal tersebut pada 1 januari 2014 secara nasional mulai diselenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kepesertaan dalam program JKN meliputi Non Penerima Bantuan Iuran (Non PBI) dengan sistem membayar iuran wajib yang besarannya sesuai dengan kelas yang dipilih dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) bagi masyarakat miskin atau tidak mampu dimana biaya iurannya ditanggung
6
oleh pemerintah dan diintegrasikan dengan dana dari peserta non PBI. Dengan kata lain, terjadi subsidi secara tidak langsung sehingga peserta PBI dapat melakukan pemeliharaan kesehatan di fasilitas kesehatan secara memadai. Usaha ini dilakukan untuk memperbaiki pelaksanaan jaminan kesehatan sebelumnya yang masih secara terpisah-pisah, sehingga biaya kesehatan dan mutu pelayanan sulit untuk dikendalikan. Pelaksanaan program JKN yang sudah berjalan kurang lebih selama dua tahun masih dalam priode transisi untuk menuju jaminan kesehatan semesta dengan perluasan cakupan kepesertaan secara bertahap hingga 1 Januari 2019. Dapat dipahami bahwa priode ini merupakan tahapan peralihan dari jaminan kesehatan yang telah ada sebelumnya. Pemerintah daerah di setiap daerah telah mengembangkan upaya skema jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu. Dengan demikian, dalam masa transisi pemerintah daerah dihadapkan pada proses pengintegrasian jaminan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah daerah untuk diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan agar tidak terjadi tumpang tindih (overlaping). Dalam memahami hal tersebut bahwa proses integrasi harus dapat mempertimbangkan kesiapan dari setiap pemerintah daerah mengenai regulasi dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh BPJS Kesehatan. Pada sisi lain, persoalan yang masih menjadi keraguan banyak pihak adalah apakah skema ini dapat lebih baik dalam memberikan perlindungan. Dapat dilihat dari beberapa pemberitaan media massa bahwa sejak mulai diimplementasikan skema perlindungan ini sudah dihadapkan dengan berbagai masalah. Hal ini semakin
7
menguatkan bukti bahwa skema yang ada tidak akan memberikan dampak perubahan yang signifikan. Sejak awal pelaksanaan JKN, badan penyelenggara sudah dihadapkan pada persoalan aspek finansial. Menurut Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Pusat Tono Rutsianto, peserta BPJS sebagian besar yang sedang sakit. Lebih lanjut bahwa pada tahun 2014 masyarakat yang sehat belum banyak mendaftar sebagai peserta, sehingga dana yang sudah terkumpul tidak mencukupi untuk membiayai klaim. Dalam tulisan koran lokal Babel online, Tono mengungkapkan, “selama ini BPJS bisa membiayai kapitasi dan klaim dari rumah sakit karena terbantu dan peralihan dari PT. Askes sekitar Rp. 5,5 triliun (bangka.tribunnews.com, 2014). Salah satu pemberitaan yang dilakukan oleh liputan 6 yang ditulis dalam berita online pada tanggal 10 Desember 2015 bahwa dua tahun berjalan, pasien BPJS masih dinomor duakan oleh rumah sakit. Hasil dari pantauan yang dilakukan memperlihatkan bahwa “beberapa antrean pemeriksaan, rawat inap dan operasi di fasilitas kesehatan masih kerap terjadi seperti misalnya di RSUD Budhi Asih. Belum lagi kesan BPJS membuat pasien merasa dinomor duakan di rumah sakit karena dilayani dengan loket terpisah serta pelayanan yang berbeda dengan pasien umum lainnya” (liputan6.com, 2015). Persoalan tersebut memperkuat alasan pemerintah daerah ketika belum memutuskan bersedia untuk bergabung dengan BPJS Kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya kesiapan secara finansial dalam menjamin masyarakat untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan secara memadai.
8
Dalam pelaksanaan JKN bagi peserta PBI di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sendiri belum diikuti oleh semua wilayah. Pemerintah daerah beranggapan bahwa belum adanya kepastian jaminan bagi masyarakat untuk melakukan pemeliharaan kesehatan secara lebih baik. Hal ini justru berbeda dengan langkah yang diambil oleh Pemerintah Kota Pangkalpinang yang bersedia
bergabung
dengan
BPJS
Kesehatan
sejak
program
ini
diimplementasikan. Berdasarkan pemahaman terhadap isu yang sedang berkembang bahwa secara konseptual upaya transformasi ini adalah untuk memberikan kepastian perlindungan yang adil dan merata, bagi setiap individu mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Namun pada tataran realita, muncul beberapa persoalan yang memperkuat keraguan publik tentang program ini. Berdasarkan hal tersebut memunculkan ketertarikan bagi peneliti untuk memahami lebih jauh mengenai pelaksanaan jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu setelah JKN diberlakukan di Kota Pangkalpinang. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, penelitian ini dimaksudkan untuk memahami tentang jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu pasca pemberlakuan JKN di Kota Pangkalpinang. Untuk memahami persoalan tersebut, maka secara sepesifik pertanyaan penelitian yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
9
1. Bagaimana implementasi program JKN bagi peserta PBI dalam masa priode transisi dari Jamkesmas dan Jamkesda? 2. Bagaimana kualitas pelayanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat miskin atau tidak mampu pasca JKN diberlakukan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan implementasi program JKN bagi peserta PBI dalam masa priode transisi dari Jamkesmas dan Jamkesda. 2. Mengidentifikasi kualitas pelayanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat miskin atau tidak mampu pasca JKN diberlakukan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kalangan akademisi dalam pengembangan keilmuan serta dapat memberikan sumbangan pemikiran dan referensi bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi BPJS Kesehatan dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan, khusunya terkait dengan pelaksanaan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu.
10
E. Tinjauan Pustaka 1. Jaminan Sosial Kesehatan sebagai Kewajiban Negara Skema jaminan sosial sebenarnya sudah lama berkembang di negaranegara maju yang pada dasarnya menganut paham kapitalisme untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial yang terjadi. Dalam hal ini jaminan sosial merupakan bentuk perlindungan dari negara terhadap warga negaranya. Jaminan sosial pada hakekatnya sejalan dengan prinsip negara kesejahteraan (welfare state). Meskipun secara formal Indonesia bukan negara kesejahteraan, secara konstitusional masyarakat dijamin kesejahteraannya (Mudiyono, 2002:70). Bentuk intervensi melembaga dari negara dalam mengatasi persoalan sosial sebenarnya sudah diperkenalkan di Jerman pada tahun 1980 oleh Otto Van Bismarck. Dalam model yang diterapkan mengenai program keamanan sosial dengan skema asuransi sosial bagi para pekerja. Pembangunan ini membuka jalan akan hadirnya program-program sosial pemerintah lebih luas, termasuk keamanan sosial, pemukiman dan kesehatan secara menyeluruh (Midgley, 2005:70). Sistem negara kesejahteraan begitu melekat pada negara-negara industri untuk mengatasi persoalan sosial yang terjadi, walaupun secara nyatanya negara tersebut menganut ideologi kapitalisme. Hal tersebut sebagai suatu langkah yang diambil untuk mengatasi masalah akibat ketidakmampuan pasar dalam menyediakan pelayanan sosial.
11
Jaminan sosial sebagai bentuk perlindungan dari negara terhadap masyarakat yang mengalami kerentanan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup. Another ILO document (2001) concurs by stressing the role of social security in protecting people against low or declining living standards arising out of a number of risks and needs (Midgley and Tang, 2008:18). Dapat dipastikan bahwa jaminan sosial merupakan upaya intervensi yang sangat
dibutuhkan
untuk
mengatasi
persoalan
ketidakadilan
dan
ketimpangan yang terjadi, terutama pada masyarakat miskin. Oleh karena itu, pada dasarnya jaminan sosial diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar akibat dari resiko kehidupan yang terjadi. Negara mempunyai kewajiban untuk memberi perlindungan terhadap semua warga negara untuk mencapai kesejahteraan. Sudah seharusnya peran negara dibutuhkan dalam mengatasi masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat. Lebih lanjut dalam mengatasi persoalan kemiskinan yang semakin kompleks dan ketimpangan sosial yang terjadi. Dimana yang terjadi pada masyarakat lapisan bawah yang mempunyai pendapatan minimum semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masyarakat lapisan bawah
membutuhkan
pertolongan
dari
negara
sebagai
pemegang
kewenangan. Artinya, negara perlu melakukan upaya intervensi untuk mengatasi persoalan yang terjadi. Oleh karena itu, jaminan sosial perlu
12
disediakan untuk melindungi dan menjamin masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Jaminan sosial hadir sebagai upaya perlindungan kebutuhan dasar yang adil terhadap setiap orang yang sudah menjadi hak sebagai warga negara. Dalam pasal 22 dan 25 UU HAM 1948, bahwa dalam keabsenan dalam penyelenggaraan jaminan sosial oleh suatu negara bearti pelanggaran HAM (Purwoko, 1999:14). Jaminan sosial sebagai hak yang universal bagi semua orang, maka pemerintah wajib melaksanakan program jaminan atas kepentingan masyarakat. Negara dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan dan pembiayaan dalam program jaminan sosial. Dapat dipastikan bahwa jaminan sosial merupakan skema yang harus diwujudkan oleh pemerintah untuk melindungi hak dasar bagi setiap orang secara adil. Secara konseptual model jaminan sosial di Indonesia mendekatkan pada konsep Bismarck dan Beveridge, dimana dalam dua konsep tersebut terdapat perbedaan. Konsep Bismarck lebih dikenal dengan sistem asuransi sosial yang diperuntukkan untuk ruang lingkup bagi pekerja dengan kepersertaannya wajib. Dengan demikian, model tersebut kepesertaannya cukup terbatas hanya menjangkau masyarakat yang mampu membayar premi. Konsep Beveridge lebih bersifat makro, yaitu memberikan santunan minimum yang diperuntukkan bagi proteksi orang miskin termasuk orang jompo (Purwoko, 1999:3). Dengan kata lain, model ini digunakan sebagai
13
skema jaminan sosial bagi orang miskin atau tidak mampu yang pembiayaannya ditanggung oleh negara melalui sistem perpajakan. The International Labour Organization (ILO, 2009) menegaskan bahwa: “uses the term “social security” to broadly mean the set of institutions, measures, rights, and obligations whose primary goal is to provide, or aim to provide, according to specified rules, income security and medical care to individual members of society (Desai, 2014:203). Jaminan sosial merupakan upaya yang menjadi suatu kewajiban dengan tujuan untuk melindungi dari kerentanan kehidupan dalam bentuk jaminan pendapatan dan perawatan medis bagi masyarakat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Melalui skema jaminan sosial setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan dari kondisi kehidupan yang kurang beruntung. Setiap orang pasti dihadapkan pada resiko yang sewaktu-waktu dapat mengancam keberlangsungan kehidupan. Salah satu resiko yang rentan dihadapi oleh masyarakat adalah mengenai masalah kesehatan. Aspek kesehatan tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan kehidupan manusia. Hal yang lebih penting bahwa kesehatan merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi setiap orang. Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 1978 pasal V menyebutkan, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk kesehatan rakyatnya yang bisa dipenuhi hanya dengan ketetapan mengenai ukuran-ukuran yang cukup dalam hal kesehatan dan sosial (Ayuningtyas, 2014:6). Dalam hal ini jelas
14
kesehatan merupakan hak yang harus didapatkan oleh semua orang dan negara dapat menjamin penyediaan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, bahwa negara harus menjamin bagi setiap individu untuk dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan sehingga dapat hidup sehat. Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 memberikan batasan kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Notoatmodjo,
2007:3).
Kesehatan
menjadi
aspek
penting
dalam
keberlangsungan kehidupan setiap individu. Ketika kesehatan dapat diwujudkan maka akan menghasilkan produktifitas baik secara ekonomi maupun sosial. Melihat model-model jaminan kesehatan universal di negara-negara lain, sebagai acuan yang cocok penerapan di Indonesia. T.R Reid (Suharto, 2009:82-84). telah mengemukakan empat model dasar jaminan kesehatan, sebagai berikut: a. Model Beveridge Dalam sistem ini, perawatan kesehatan disediakan dan dibiaya oleh pemerintah melalui pajak, seperti halnya kepolisian atau pepustakaan publik. Setiap warga negara berhak menggunakan layanan kesehatan dan tidak akan pernah menerima tagihan karena pembiayaannya didanai oleh pajak. Negara yang menerapkan model ini adalah Inggris, Spanyol, sebagian besar negara-negara Skandinavia dan Selandia Baru.
15
b. Model Bismarck Model ini berpijak pada sistem asuransi yang dananya dinamai “sickness funds” dan dibayar oleh penyedia kerja dan karyawan melalui pemotongan gaji. Hanya khusus untuk orang miskin, premi sepenuhnya ditanggung oleh negara. Model Bismarck diantaranya diterapkan di Jerman, Perancis, Belgia, Belanda, Jepang, Swiss, dan dalam tingkat tertentu, di Amerika Latin. c. Model Asuransi Kesehatan Nasional (the national Health Insurance Model) Model ini pada dasarnya merupakan gabungan dari model Beveridge dan Bismarck. Skema ini menggunakan pihak swasta sebagai penyedia layanan kesehatan, tetapi pembayaran klaim didanai pemerintah melalui program nasional. Meskipun program asuransi dikelola pemerintah, setiap warga negara wajib membayar premi. Model klasik dari sistem ini ditemui di Kanada dan beberapa negara industri baru, seperti Taiwan dan Korea Selatan. d. Model Biaya Sendiri (the Out-of-Pocket Model) Hanya negara-negara industru maju, yakni sekitar 40 dari 200 negara yang ada, yang memiliki sistem perawatan kesehatan efektif. Di wilayahwilayah pedesaan Afrika, India, Cina dan Amerika Selatan ratusan juta orang menjalani hidup tanpa pernah mengunjungi dokter. Dalam amanat konstitusi secara jelas negara mempunyai kewajiban untuk memberi perlindungan aspek kesehatan bagi masyarakat. Namun
16
dalam pelaksanaanya belum mampu menjadi skema perlindungan secara adil bagi setiap individu. Memahami kondisi yang terjadi masih banyak masyarakat ketika sakit harus mengeluarkan biaya pribadi dan melakukan pengobatan yang murah. Skema jaminan sosial yang ada belum secara sepenuhnya dapat menjangkau seluruh masyarakat. Aspek kesehatan dianggap sebagai salah satu pondasi utama dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dapat lihat bahwa sebagian negaranegara maju mengeluarkan dana yang cukup besar di bidang kesehatan. Perlindungan tersebut menunjukkan bahwa betapa pentingnya aspek kesehatan dalam sebuah negara yang harus dilindungi. Hal tersebut belum terjadi di Indonesia yang ditunjukkan dengan masih minim alokasi mengenai dana kesehatan. Masalah minimnya anggaran pembangunan sudah menjadi alasan klasik yang sering dilontarkan oleh penguasa dalam melaksanakan pembangunan sektor kesehatan (Suparjan, 2006:420). Masalah minimnya anggaran menjadi persoalan dalam peningkatan mutu kualitas kesehatan masyarakat. Pengeluaran pemerintah yang masih minim dalam
bidang
kesehatan
menjadi
salah
satu
penghambat
dalam
penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan. Dampak yang terjadi akan menimbulkan tingkat kesehatan yang buruk bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin atau tidak mampu.
17
2. Transformasi
Jaminan
Kesehatan
Menuju
Jaminan
Kesehatan
Nasional (JKN) Di berbagai negara maju istilah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau National Health Insurance (NHI) sudah diperkenalkan sebagai sistem dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan. Inggris menjadi negara pertama yang memperkenalkan jaminan kesehatan universal atau yang lebih dikenal dengan istilah National Health Service (NHS). Sistem jaminan kesehatan yang mencakup kepesertaan yang luas bagi semua warga negara, tanpa dikaitkan dengan iuran bagi setiap peserta. Jaminan kesehatan yang digunakan dengan menerapkan model pendanaan yang bersumber dari pajak umum. Setiap warga negara berhak menggunakan layanan kesehatan dan tidak akan pernah menerima tagihan karena pembiayaannya didanai pajak (Suharto, 2009:82). Inggris adalah negara yang cukup berhasil mengembangkan suatu sistem yang dapat menjamin bagi seluruh penduduk (universal coverage) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Padahal pada dasarnya Inggris mengembangkan ekonomi terbuka yang tidak dapat menyediakan layanan kesehatan bebas biaya. Kondisi tersebut bertentangan dengan pendapat umum bahwa dengan ekonomi terbuka membuat layanan kesehatan menjadi tidak bisa disediakan (Ayuningtyas, 2014:21). Lebih lanjut hal tersebut diterapkan terhadap seluruh penduduk dan pelayanan kesehatan dapat diakses tanpa ada biaya. Semua biaya penggunaan jasa dokter dan tenaga medis pun sudah dibiayai oleh negara. Artinya, semua
18
masyarakat mempunyai hak yang sama untuk dapat menggunakan layanan kesehatan tanpa dikenakan biaya. Melihat persoalan yang terjadi pada sektor kesehatan memang perlu adanya suatu skema yang mampu memberikan perlindungan yang adil bagi semua orang. Sektor kesehatan dirasakan semakin tidak berpihak pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Biaya untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan dirasakan begitu mahal. Sistem kesehatan yang ada dibangun atas dasar sistem kapitalis yang semakin memberatkan masyarakat.
Sektor
kesehatan
menjadi
komoditas
dagang
untuk
mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Hal ini sangat memprihatinkan ketika kebutuhan yang paling mendasar bagi masyarakat tidak dapat terpenuhi akibat sistem yang tidak menguntungkan. Penyediaan pelayanan kesehatan gratis belum banyak tersedia diberbagai negara, terutama pada negara berkembang. Bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah atau tidak mempunyai pengasilan tetap membutuhkan akses pelayanan kesehatan secara gratis. Melihat pengalaman di India bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab atas penyediaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin (Ahuja, 2014). Prinsip asuransi kesehatan tidak tepat untuk dijadikan pilihan sebagai jaminan kesehatan bagi masyarakat lapisan bawah. Untuk membayar iuran atau premi terlalu memberatkan dan jelas tidak akan berjalan secara optimal. Jaminan sosial kesehatan sebagai bentuk perlindungan dari negara harus dapat dirasakan secara adil bagi semua warga negara. Sebagai hak dari
19
semua orang, sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan jaminan kesehatan yang handal, sehingga masyarakat dapat mengakses pelayanan kesehatan yang memadai. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa jaminan kesehatan sangat dibutuhkan dengan melihat kondisi masyarakat yang semakin sulit untuk mengakses pelayanan kesehatan, terutama kelompok miskin. Terlebih lagi sektor kesehatan sudah menjadi super kapitalis, dalam artian pelayanan kesehatan hanya disediakan bagi masyarakat yang mampu untuk membayar dengan biaya tinggi. Gupta dan Trivedi (2005) mengemukakan bahwa perawatan kesehatan gratis atau bersubsidi merupakan upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara berkembang dalam memenuhi tanggung jawabnya. Beberapa negara telah menggunakan skema jaminan sosial kesehatan untuk memperluas cakupan kesehatan bagi masyarakat. Skema jaminan sosial kesehatan sebagai langkah untuk memperluas perlindungan sosial terhadap masyarakat. Upaya perlindungan tersebut dipandang sebagai tanggung jawab negara untuk merawat warganya. Hal ini telah dipahami oleh banyak negara bahwa kurangnya perlindungan dari penyakit dan kematian. Artinya, perlindungan terhadap aspek kesehatan sangat penting dilakukan yang menjadi tanggung jawab negara dan dapat secara adil menjangkau bagi setiap orang. Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjadi pondasi perbaikan dalam penyelenggaraan jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan. Upaya ini dilakukan oleh
20
pemerintah untuk mengembangkan jaminan sosial yang dapat menjangkau seluruh masyarakat secara adil dan merata. Berbagai program jaminan sosial kesehatan yang sudah ada sebelumnya hanya menjangkau sebagian kecil masyarakat. Setiap orang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak, termasuk didalamnya kebutuhan kesehatan. SJSN merupakan upaya perbaikan pada penyelenggaraan jaminan sosial yang masih terpisah-pisah dimana biaya dan mutu sulit dikendalikan. Dengan demikian, SJSN mensinkronisasikan berbagai bentuk jaminan sosial agar dapat menjangkau kepesertaan yang lebih luas dan setiap peserta mendapatkan manfaat yang lebih besar. Melalui SJSN negara telah mengembangkan suatu program jaminan sosial dalam memberi perlindungan yang pada dasarnya untuk menjamin masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Program jaminan sosial kesehatan tersebut adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini dilakukan sebagai tugas negara untuk mewujudkan komitmen global dalam mengembangkan Universal Health Coverage (UHC) bagi seluruh penduduk. Cakupan universal mengandung dua elemen inti yakni akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga negara, dan perlindungan resiko finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan (Supriyantoro, 2014:1). Jaminan kesehatan yang dikembangkan untuk seluruh penduduk agar mendapatkan perlindungan secara adil dan memadai. Sehingga semua warga negara terjamin untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
21
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, tujuan dari pelaksanaan JKN adalah untuk memberikan perlindungan kesehatan dalam bentuk manfaat pemeliharaan kesehatan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar kesehatan bagi semua penduduk dengan kepesertaan melalui iuran wajib dan iurannya ditanggung oleh negara. Oleh karena itu, bahwa secara jelas program JKN adalah bentuk perlindungan bagi masyarakat untuk melakukan pemeliharaan kesehatan agar dapat memenuhi kebutuhan kesehatan, termasuk masyarakat miskin atau tidak mampu. Model jaminan kesehatan dalam program JKN terlebih dahulu sudah diperkenalkan di negara Taiwan. Sebagai negara pertama di Asia yang menggunakan istilah Asuransi Kesehatan Nasional (AKN), model ini digunakan dengan menggabungkan beberapa jaminan kesehatan yang dikelola oleh satu badan penyelenggara. Jaminan kesehatan di Taiwan sebelumnya masih diselenggarakan secara terpisah seperti di Indonesia. Penggabungan tersebut mengahasilkan pelayanan yang efisien dan berkualitas dapat menjamin akses yang sama bagi semua masyarakat. Hal ini jelas merupakan suatu pembelajaran penting bagi pemerintah dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan yang bersifat universal. Dalam merumuskan konsep jaminan sosial, Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dibentuk dengan Kepres Nomor 20 Tahun 2002
22
menyepakati suatu sistem jaminan sosial harus dibangun dengan tiga pilar (Thabrany, 2014:100-101), sebagai berikut: a. Pilar pertama yang terbawah adalah Pilar Bantuan Sosial (social assistance) bagi mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, melalui bantuan iuran dari pemerintah. Penduduk miskin dan tidak mampu penerima bantuan sosial dalam bentuk subsidi iuran disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI). b. Pilar Asuransi Sosial yang merupakan suatu sistem pengumpulan dana (risk pooling) dengan mekanisme transfer resiko yang wajib diikuti oleh semua penduduk. Penduduk berpenghasilan (di atas garis kemiskinan) wajib membayar iuran yang proposional terhadap penghasilannya atau upahnya. Pilar ini merupakan tulang punggung dari SJSN. c. Pilar tambahan atau Pilar Suplemen yang dapat disiapkan oleh mereka yang menginginkan (demand) jaminan atau manfaat yang lebih memuaskan dari paket JKN. Untuk jaminan hari tua dan pensiun, pilar ketiga dapat sangat besar jumlahnya, jauh melebihi pilar 1 dan pilar II. Pilar bantuan sosial diperuntukkan sebagai penopang pendanaan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Sumber dana dalam SJSN diperoleh dari pilar satu dan pilar dua yang dijadikan sebagai pondasi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara memadai, wajib diikuti dan diterima oleh semua masyarakat. Menjadi harapan bahwa semakin banyak pekerja yang ikut serta dalam kepesertaan
23
program JKN. Sesungguhnya UU SJSN jelas mengagariskan dasar penyelenggaraannya adalah kombinasi bantuan sosial (dana pajak/APBN) dan iuran peserta (Thabrany, 2014:17). Sehingga dengan menggabungkan dana dari skema bantuan sosial dan iuran peserta asuransi sosial diharapkan dapat menopang masalah pendanaan. Dengan demikian, jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat dapat menjadi terwujud. Bantuan sosial digunakan sebagai skema jaminan sosial di berbagai negara dengan manfaat standar untuk semua penduduk yang biaya seluruhnya atau sebagian besar dari pendapatan umum. Skema bantuan sosial dijadikan cara yang optimal untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu. Skema bantuan sosial bisa diterapkan dalam berbagai bentuk perlindungan sosial dari negara. Menurut ILO (1989) beberapa negara dalam mengoperasikan layanan kesehatan nasional yang menyediakan perawatan medis untuk setiap individu tanpa adanya kontribusi, biaya dapat terpenuhi seluruhnya berasal dari dana publik. Artinya, pelayanan kesehatan yang didapatkan secara gratis tanpa harus mengeluarkan biaya. Skema tersebut yang dijadikan sebagai salah satu pilar dalam program JKN bagi masyarakat miskin atau tidak mampu. Transformasi program jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat miskin menjadi program JKN adalah upaya pemerintah untuk perbaikan dalam penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan. Terlepas dari persoalan yang terjadi, bahwa reformasi jaminan sosial kesehatan tersebut agar dapat memperbaiki masalah yang terjadi pada program jaminan sosial kesehatan
24
sebelumnya, sehingga jaminan sosial kesehatan dapat dinikmati oleh setiap warga negara secara seutuhnya, terutama masyarakat miskin atau tidak mampu. 3. Implementasi JKN dalam Perspektif Teori Kebijakan Kebijakan pada sektor kesehatan mempunyai peran penting dalam peningkatan mutu kualitas kesehatan masyarakat, khususnya dalam penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan pada program JKN. Suatu tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk hajat hidup orang banyak dan kepentingan masyarakat luas untuk menjamin aspek kesehatan agar dapat merasakan pelayanan kesehatan secara adil serta memadai. Kebijakan tersebut diharapkan akan berdampak pada peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Hal ini dapat membantu masyarakat miskin atau tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Menurut Meter dan Horn implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan dalam kebijakan (Wibawa et.al, 1994:15). Sekalipun dalam suatu kebijakan untuk mengatasi persoalan yang ada, akan menjadi percuma jika pada tahap pelaksanaan tidak dapat berjalan dengan baik. Sebuah kebijakan tanpa proses implementasi yang baik dapat dikatakan kebijakan tersebut gagal. Tahap implementasi menjadi sangat penting dalam keberhasilan sebuah kebijakan. Oleh karena itu, tahapan implementasi
25
kebijakan mempunyai peran penting dalam sebuah keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan. Jaminan
sosial
kesehatan
harus
dapat
menjadi
mekanisme
perlindungan yang handal bagi masyarakat miskin atau tidak mampu. Melihat kondisi yang ada bahwa kebutuhan kesehatan akan terasa semakin sulit untuk terpenuhi secara mandiri dengan melihat sektor kesehatan yang menjadi super kapitalis, tanpa memikirkan aspek sosial. Peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam hal ini untuk menjamin kebutuhan kesehatan masyarakat. Transformasi jaminan kesehatan yang telah diupayakan oleh negara harus mendapat dukungan penuh oleh semua pihak. Sebuah kebijakan tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak, baik itu dari pemerintah, swasta dan masyarakat yang menjadi kelompok sasaran. Dalam implementasi kebijakan tidak dapat hanya mengandalkan badan pelaksana yang ditunjuk, namun harus mendapat dukungan dari pihak-pihak lain yang berkepentingan. Dengan demikian, JKN dapat menjadi skema perlindungan yang memadai untuk menjamin
masyarakat
dalam
melakukan
pemeliharaan
kesehatan
masyarakat. Kebijakan pemerintah pada sektor kesehatan khususnya mengenai jaminan sosial kesehatan dalam program JKN menjadi harapan baru untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Jaminan kesehatan merupakan mekanisme
perlindungan
bagi
masyarakat
agar
dapat
melakukan
pemeliharaan kesehatan. Kebijakan ini mempunyai peran penting bagi
26
masyarakat untuk melindungi masyarakat dari resiko kesehatan sehingga dapat mengakses pelayanan kesehatan yang layak dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan. Suatu kebijakan pasti mempunyai sasaran dan tujuan yang harus dapat dicapai. Hal yang perlu disadari bahwa sebaik apapun suatu perencanaan dan perumusan kebijakan, terdapat faktor-faktor yang menentukan dalam tahapan implementasi. Artinya, dapat dikatakan hampir tidak ada kebijakan yang dapat secara sempurna untuk diimplementasikan. Walaupun demikian, dalam tahapan implementasi kebijakan harus dilaksanakan sebaik mungkin agar dapat berjalan secara efektif dan optimal. Implementasi suatu kebijakan dapat ditentukan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Ada beberapa variabel yang mempengaruhi suatu kebijakan saat diimplementasikan. Dalam pandangan Edwards III (Subarsono, 2013), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu komunikasi, sumber daya manusia dan finansial, disposisi dan struktur birokrasi. Keempat variabel ini saling berkaitan satu sama lain, variabel tersebut antara lain sebagai berikut: a. Komunikasi Keberhasilan
implementasi
kebijakan
mensyaratkan
agar
implementator atau pelaksana mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi. Apabila tujuan dan sasaran tidak tersampaikan dengan jelas terhadap
27
kelompok sasaran, maka akan terjadi adalah resistensi dari kelompok sasaran. Dengan demikian, harus ada komunikasi atau penyampaian secara jelas terhadap kelompok sasaran yang menjadi target dalam suatu kebijakan. b. Sumber Daya Sumber daya meliputi sumber daya manusia dan sumber daya dana. Sumber daya manusia yang mendukung dalam implementasi mempunyai peran penting dalam keberhasilan sebuah kebijakan. Dalam hal ini, meskipun tujuan dan sasaran sudah ditransmisikan dengan baik tanpa ada dukungan sumber daya yang tersedia maka program tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sekalipun aturan main pelaksanaan kebijakan jelas dan kebijakan telah ditransformasikan dengan tepat, namun manakala sumber daya manusia terbatas baik dari jumlah maupun kualitas (keahlian) pelaksanaan kebijakan tidak akan berjalan efektif (Widodo, 2008:99). Aspek finansial dalam pelaksanaan suatu kebijkan merupakan salah satu komponen penting yang mendukung keberhasilan dalam tahap pelaksanaan. Pengelolaan anggaran dengan baik dapat membuat program terlaksana dengan optimal. Ketersediaan sumber daya finansial yang mencukupi dan selanjutnya bagaimana dana tersebut dapat dikelola secara efektif dan efisien untuk penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu.
28
c. Disposisi Keberhasilan implementasi kebijakan tidak hanya ditentukan oleh kapasitas pelaku kebijakan saja, tetapi juga ditentukan oleh komitmen yang kuat para pelaku untuk melaksanakan kebijakan tersebut dengan baik. Menurut Edward III (Widodo, 2008:104), disposisi diartikan sebagai kecenderungan, keinginan atau kesepakatan para pelaksana (implementators) untuk melaksanakan kebijakan. Apabila pelaksana kebijakan mempunyai disposisi yang baik, maka kebijakan tersebut dapat dijalankan dengan baik sehingga kebijakan akan menjadi efektif. d. Struktur Birokrasi Struktur birokrasi yang baik memiliki pengaruh penting dan menjadi salah satu penentu keberhasilan dalam mengimplementasikan suatu kebijakan. Oleh karena itu, perlu adanya prosedur operasi standar yang dapat menjadi petunjuk dan pedoman untuk para implementator dalam melakukan tindakan. Terutama harus adanya kejelasan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing pihak, agar tidak terjadi tumpang tindih antara unsur-unsur penyelenggara. Pada masa transisi dari program jaminan kesehatan yang ada sebelumnya, implementasi program JKN tentu menjadi tantangan bagi badan penyelenggara untuk membangun komunikasi terhadap pemerintah daerah dan menyampaikan informasi secara jelas mengenai program terhadap kelompok sasaran. Dapat dilihat sebagai badan penyelenggara yang baru dibentuk ketersediaan sumber daya manusia harus menjadi faktor
29
yang diperhitungkan. Faktor lain adalah mengenai ketersediaan dan pengelolaan dana yang ada dalam menjamin masyarakat miskin atau tidak mampu
untuk
mendapatkan
pelayanan
kesehatan
yang
memadai.
Selanjutnya, komitmen dari BPJS Kesehatan, pemerintah daerah dan fasilitas kesehatan dalam menjamin masyarakat untuk dapat melakukan pemerliharaan kesehatan secara memadai. Struktur birokrasi yang jelas adalah suatu cara untuk menghindari tumpang tindih wewenang dan tanggung jawab dari unsur-unsur penyelenggara. 4. Kepuasan Publik Atas Mutu Pelayanan Kesehatan Dalam perkembangan masyarakat yang semakin kritis, maka mutu pelayanan akan menjadi sorotan apalagi untuk pelayanan sekarang ini tidak hanya pelayanan medis semata (Sabarguna, 2008:1). Mutu pelayanan kesehatan dirasakan memang masih perlu untuk ditingkatkan agar masyarakat dapat merasakan pelayanan yang memadai dan mendapatkan apa yang sudah menjadi hak sebagai peserta jaminan kesehatan. Hal ini akan berimplikasi pada tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat atas pelayanan kesehatan yang diberikan tidak sesuai dengan harapan. Dalam hal ini, peran pemerintah sangat diperlukan untuk menggalakkan peningkatan kualitas pelayanan yang ada di institusi pemberi pelayanan kesehatan melalui fungsi pengawasan dan pembinaan. Sebenarnya, sudah menjadi kewajiban bagi institusi pelayanan kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas terhadap semua masyarakat secara merata tanpa memandang status.
30
Menurut Lovey dan Loomba pelayanan kesehatan merupakan setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyebuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat (Mubarak, 2005:89). Upaya yang dilakukan oleh penyedia pelayanan kesehatan adalah memberi pelayanan yang memadai dan dapat memberi kepuasan bagi masyarakat. Sebagai pengguna jasa tentu masyarakat ingin mendapatkan pelayanan yang baik serta memadai. Terkait hal tersebut bahwa mutu pelayanan kesehatan harus menjadi pertimbangan penting bagi penyedia pelayanan kesehatan. Menurut Parasuraman (Wijono, 1999) ada lima dimensi untuk menilai mutu pelayanan kesehatan, yaitu: a. Dimensi Reliability (Kehandalan) Merupakan dimensi mutu pelayanan yang berupa kemampuan untuk memberikan
pelayanan
sesuai
yang
dijanjikan,
sehingga
dapat
memberikan pelayanan yang terpercaya dan akurat. Pada dimensi ini pelayanan meliputi kecepatan, ketepatan dan kelancaran pelayanan yang diberikan serta pemberian informasi yang akurat. Dimensi ini tentu akan menjelaskan kehandalan rumah sakit dalam memberikan pelayanan terhadap pasien tanpa harus menunggu waktu yang lama untuk mendapatkan perawatan.
31
b. Dimensi Empathy (Empati) Meliputi kemudahan dalam hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pasien. Disamping itu empati berupa harapan bagi pasien terhadap kemampuan petugas dalam memahami dan menempatkan diri pada keadaan yang sedang dialami pasien. Empati berupa kepedulian, dalam bentuk memberi perhatian terhadap pasien atau kemampuan petugas untuk merasakan persaan pasien. c. Dimensi Tangible (Wujud/Tampilan) Kemampuan suatu penyedia pelayanan untuk dapat menyediakan wujud tampilan pelayanan dalam bentuk fisik melalui sarana dan prasarana yang tersedia. Fasilitas pendukung dalam pemberian pelayanan terhadap pasien yang menimbulkan kepuasan pelayanan dalam bentuk fisik yang ada. Pada dimensi ini pasien melihat dan merasakan fasilitas yang di sediakan oleh rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan, misalnya peralatan yang digunakan oleh rumah sakit dan fasilitas penunjang lainnya seperti ruang tungu bagi pasien dan keluarga pasien. d. Dimensi Responsiveness (Ketanggapan) Kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang tepat pada pasien, dengan menyampaikan informasi yang jelas, jangan membiarkan pasien menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan. Dimensi ini mengarah pada kecepatan tenaga medis dalam memberikan
32
penanganan terhadap pasien dan kejelasan perawatan yang diberikan terhadap pasien. e. Dimensi Assurance (Jaminan) Mencakup pengetahuan, kesopanan dan sifat dapat diperccaya yang dimiliki petugas kesehatan, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Asuransi diartikan sebagai salah satu kegiatan menjaga kepastian atau menjamin keadaan dari apa yang dijamin atau indikasi menimbulkan rasa kepercayaan. Dimensi ini mengarah pada kejelasan informasi yang diberikan terhadap pasien, misalnya terkait dengan penjelasan sebelum tindakan medis dilakukan. Kondisi layanan kesehatan di Indonesia masih menjadi sorotan banyak pihak. Kualitas pelayanan kesehatan yang ada belum dapat dikatakan baik hingga sekarang ini. Pelayanan kesehatan cenderung hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang mampu untuk membayar dengan harga yang tinggi. Biaya kesehatan kadang tidak diimbangi oleh pelayanan kesehatan
yang
diberikan
terhadap
masyarakat,
sehingga
tingkat
kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah semakin menurun. Harus ada upaya yang serius dalam perbaikan kualitas pelayanan kesehatan. Selayaknya, masalah kesehatan harus menjadi komitmen utama pemerintah dengan menempatkan masalah kesehatan sama pentingnya dengan masalah politik, ekonomi dan keamanan (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2008:7).
33
Salah satu persoalan rendahnya mutu pelayanan kesehatan yang dirasakan oleh masyarakat diakibatkan persebaran tenaga medis yang tidak merata. Keterbatasan tenaga medis akan berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan terhadap masyarakat. Kekurangan tenaga medis pada fasilitas pelayanan kesehatan akan menyebabkan kualitas kesehatan masyarakat akan semakin rendah. Fasilitas kesehatan puskesmas dan rumah sakit memiliki jangkauan yang terbatas, sehingga penggunaan layanan kesehatan sekunder (rumah sakit) oleh masyarakat miskin masih rendah (Ghofur dan Badoh, 2009:263). Dengan demikian, masyarakat akan semakin sulit untuk merasakan pelayanan kesehatan yang memadai. Diskriminasi akses masyarakat terhadap pelayanan medis masih terjadi di berbagai pelosok negeri ini. Akibat dana dan fasilitas yang terbatas, sementara itu harus menjangkau wilayah kelompok sasaran yang amat luas, di beberapa daerah terjadi kesenjangan dalam pelayanan medis (Usman, 2004:138). Paling utama ketika pelayanan kesehatan lebih mengutamakan pasien yang mampu membayar tinggi untuk mendapatkan pelayanan medis. Hal ini akan berdampak pada kelompok miskin yang dikhawatirkan semakin sulit untuk mengakses pelayanan kesehatan. Dengan demikian, masyarakat miskin akan tetap mengalami penderitaan sakit yang berkepanjangan tanpa bisa mengakses pelayanan medis yang layak. Persoalan lain yang terjadi adalah kondisi pelayanan kesehatan di lapangan bisa dikatakan belum mampu untuk mendukung dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Keterbatasan fasilitas kesehatan dan tenaga medis
34
yang masih terbatas menjadi salah satu kendala yang dihadapi. Kondisi ini akan menjadi salah satu penghambat bagi masyarakat miskin atau tidak mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan pun tidak dapat segera diberikan (harus menunggu lama), dan akhirnya rentang penderitaan kelompok miskin menjadi semakin panjang (Usman, 2003:25). Dalam pelaksanaan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu masih banyak menyisakan persoalan, dimana jaminan kesehatan yang ada tidak sepenuhnya menjadi jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pada tataran praktek, penyelenggaraan jaminan sosial sering kali terkendala pada kondisi mutu pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat belum memadai. Dengan demikian, persoalan ini harus menjadi pertimbangan yang penting bagi pemerintah untuk dapat mendorong penyedia pelayanan kesehatan agar dapat meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik.