BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan merupakan persoalan yang sangat komplek dan luas, misalnya kebudayaan yang berkaitan dengan cara manusia hidup, adat istiadat dan tata krama. Kebudayaan sebagai bagian dari kehidupan, cenderung berbeda antara satu suku dengan suku lainnya, khususnya di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang heterogen juga adat istiadat dan kebiasaannya yang berbeda dan masih dipertahankan sampai saat ini, termasuk adat perkawinan. Masyarakat Bugis merupakan salah satu suku yang masih mempertahankan budaya dan adat istiadatnya di Indonesia. Suku Bugis yang tergolong ke dalam sukusuku Melayu Deutero, berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain. Masyarakat Bugis
ini kemudian mengembangkan
kebudayaan, bahasa, aksara Lontara dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan Sawitto (Kabupaten Pinrang), Sidenreng dan Rappang. Suku Bugis yang menyebar dibeberapa
Kabupaten
memiliki
adat
keberadaannya. 1
istiadat
yang
masih
dipertahankan
2
Dalam masyarakat Bugis, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama, baik dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai suatu struktur dasar dalam suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat penting bagi orang Bugis untuk membentuk tatanan sosial mereka. Aspek kekerabatan tersebut termasuk perkawinan, karena dinggap sebagai pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan seksnya dan kehidupan rumah tangganya. Selain itu perkawinan juga berfungsi untuk mengatur ketentuan akan harta gengsi sosial dan lebih penting lagi adalah memelihara hubungan kekerabatan. Suku Bugis khususnya Bugis Bone, memaknai perkawinan berarti siala atau mengambil satu sama lain, jadi perkawinan merupakan ikatan timbal balik. Pihakpihak yang terlibat berasal dari strata sosial yang berbeda, namun setelah mereka menikah mereka akan menjadi mitra dalam menjalani kehidupannya. Perkawinan dalam adat Bugis Bone merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan manusia, suatu perkawinan tidak hanya merupakan peristiwa yang dialami oleh dua orang individu berlainan jenis, melibatkan berbagai pihak, baik kerabat keluarga maupun kedua mempelai lebih dalam lagi perkawinan melibatkan kesaksian dari anggota masyarakat melalui upacara perkawinan yang dianggap sebagai pengakuan masyarakat terhadap bersatunya dua orang individu dalam ikatan perkawinan. Guna memahami budaya Bugis Bone, khususnya dalam prosesi upacara perkawinan adat Bugis Bone yang terkait dengan mitos dan spirit religus, maka
3
dibutuhkan pemahaman terhadap budaya tersebut. Sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat Bugis Bone, merupakan simbolisme pada suku Bugis. Dalam proses pelaksanaan upacara perkawinan adat Bugis Bone secara umum terdapat simbol-simbol yang sarat akan makna sehingga sangat penting diketahui makna dari simbol-simbol perkawinan adat tersebut. Simbol-simbol yang terdapat dalam prosesi perkawinan adat Bugis Bone bukan sekedar simbol-simbol yang dibuat tanpa makna namun, pesan komunikasi tersebut tersirat dalam simbol tersebut. Terdapat hubungan yang mutlak antara manusia dengan kebudayaan menyebabkan manusia pada hakikatnya disebut mahluk budaya. Kebudayaan itu sendiri terdiri atas simbol-simbol dan nilai-nilai merupakan hasil karya dari tindakan manusia. Makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Pesan simbolik yang diciptakan manusia dalam situasi tertentu pada dasarnya ditujukan untuk manusia agar dapat melakukan komunikasi. Dalam komunikasi melihat pesanpesan yang bersifat simbolis, misalnya kata yang terungkap, suatu gerak tubuh seperti menggelengkan kepala, simbol-simbol seperti rumah adat Bugis Bone (Bola Soba) yang sarat akan makna dan peristiwa, seperti perkawinan. Dimana simbol-simbol suatu budaya memiliki makna yang telah disepakati atau dipercayai masyarakat setempat. Pemahaman akan makna simbolik dalam upacara perkawinan merupakan keberlanjutan suatu kebudayaan. Maka dianggap perlu untuk melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengeksplorasi pesan atau makna simbolik yang terkandung dalam setiap aktivitas upacara perkawinan adat Bugis Bone. Oleh karena itu untuk
4
menghindari terjadinya kesalahpahaman interpretasi bagi orang-orang internal maupun eksternal masyarakat Bugis Bone, maka penelitian ini sangat menarik untuk di eksplorasi. Karya budaya manusia penuh dengan simbolisme sesuai dengan tata pemikiran atau paham yang mengarahkan pola-pola kehidupan sosialnya, demikian pula budaya tradisional Bugis Bone terdapat banyak hal yang diungkapkan secara simbolik, seperti dalam ritual pelaksanaan perkawinan adat yang memiliki berbagai tahap mekanisme perkawinan mulai dari awal pelamaran sang mempelai perempuan yaitu mattiro, mappesek-pesek, mammanu-manu, madduta malino, mappasierekeng hingga prosesi akad nikah seperti mappasau, mappacci, akad nikah, mappasiluka, marellau dampeng dan setelahnya yaitu prosesi mapparola ke rumah mempelai lakilaki. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi yang menyangkut tentang budaya Bugis Bone dalam perkawinan adat beserta makna dari simbol-simbol yang terkandung didalamnya dengan judul : Pesan Simbolik Dalam Prosesi Perkawinan Adat Bugis Bone di Kabupaten Bone.
5
B. Fokus Penelitian Salah satu kebudayaan masa lampau yang sampai sekarang ini masih dilaksanakan adalah upacara perkawinan. Dalam upacara adat perkawinan suku Bugis Bone dianggap salah satu tahapan terpenting dalam hidup seseorang. Suatu perkawinan tidak hanya merupakan peristiwa yang dialami oleh dua orang mempelai melainkan melibatkan kerabat, keluarga dan kesaksian dari masyarakat. Pada prosesi upacara perkawinan adat, banyak aktivitas atau kegiatan yang bagi suku Bugis Bone merupakan satu hal yang biasa karena mereka telah memahami makna dan pesan-pesan yang terkandung dalam setiap proses yang dijalankan. Meskipun ada sebagian masyarakat Bugis yang kurang memahami makna tersebut, apalagi bagi orang-orang yang di luar suku Bugis, menganggap prosesi tersebut dianggap sangat rumit karena simbol yang terdapat, sehingga dalam proses pemahaman adat Bugis Bone tersebut, sarat akan makna dan nilai-nilai kehidupan karena latar belakang budaya yang berbeda. Pada prosesi upacara perkawinan adat Bugis Bone terdapat banyak hal yang diungkapkan dengan menggunakan pesan-pesan simbolik, dan kesemuanya selalu berpatokan pada nilai-nilai yang terkandung dalam kepercayaan masyarakat suku Bugis Bone. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk menulis, mengeksplorasi pesan simbolis dalam upacara perkawinan suku Bugis Bone dengan pertanyaan penelitian: 1.
Bagaimana tahap-tahap dalam proses perkawinan adat Bugis Bone di Kabupaten Bone?
6
2. Apa makna pesan simbolik dalam prosesi upacara perkawinan adat Bugis Bone berdasarkan ritual dan adat istiadat Bugis Bone di Kabupaten Bone?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menemukan tahap-tahap dalam proses perkawinan adat Bugis Bone di Kabupaten Bone. 2. Untuk mengeksplorasi dan mengkategorisasikan makna pesan simbolik dalam prosesi upacara perkawinan adat Bugis berdasarkan ritual dan adat istiadat Bugis di Kabupaten Bone. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa lain yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut dibidang komunikasi khususnya kajian komunikasi antar budaya. b. Sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada khususnya etnografi komunikasi sebagai suatu tipe penelitian yang dapat digunakan untuk memahami budaya perkawinan adat Bugis Bone. c. Sebagai bahan masukan mengenai pemaknaan pesan simbolik, pesan verbal dan non verbal bagi akademisi yang ingin meneliti lebih lanjut tentang perkawinan Bugis atau simbolisasi perkawinan adat lainnya.
7
2. Kegunaan praktis a. Sebagai bahan masukan khususnya masyarakat Bugis Bone maupun suku lainnya dalam mengetahui makna pesan simbolik yang terdapat pada upacara perkawinan adat Bugis. b. Sebagai bahan masukan dan pembelajaran bagi tokoh adat, dan agama dalam memahami budaya suku Bugis Bone, khususnya dalam prosesi perkawinan.
D. Kerangka Konseptual Komunikasi merupakan kebutuhan yang sangat fundamental (mendasar), baik fisik maupun secara psikis (kejiwaan). Dalam setiap interaksi yang terjadi antara individu dengan yang satu dengan yang lainnya atau antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan kelompok pasti terjadi komunikasi. Komunikasi yang ditujukan kepada kelompok lain tak lain adalah sebuah pertukaran kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Koentjaraningrat (1997:54). James P. Spradley dalam (Sobur, 2003:177) menyatakan bahwa semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Pengetahuan kebudayaan lebih dari suatu kumpulan simbol, baik istilah-istilah rakyat maupun jenis-jenis simbol lain. Sedemikian tak terpisahkannya hubungan manusia dengan kebudayaan, sampai ia disebut mahluk budaya. Kebudayaan sendiri terdiri atas gagasan-gagasan,
8
simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia, sehingga tidaklah berlebihan jika ada ungkapan, “begitu eratnya kebudayaan manusia dengan simbol-simbol, sampai manusia pun disebut mahluk dengan simbol-simbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.” Sebagai mahluk sosial dan juga sebagai mahluk komunikasi, manusia menggunakan berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh manusia itu sendiri maupun yang bersifat alami. Simbol-simbol tersebut pada dasarnya terbagi atas dua yaitu simbol verbal dan non verbal. Simbol verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa. Bahasa dapat didefinisikan seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti. Manusia dalam berkomunikasi selain menggunakan kode verbal (bahasa) juga memakai kode non verbal biasa disebut dengan bahasa isyarat atau bahasa diam. Pemberian arti terhadap kode non verbal sangat dipengaruhi oleh sistem sosial budaya masyarakat yang menggunakannya. Dari berbagai studi yang pernah dilakukan sebelumnya, kode non verbal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk antara lain : a. Kinesik ialah kode non verbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan. b. Gerakan mata (eye gaze) mata adalah alat komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat tanpa kata. Ungkapan “pandangan mata mengundang” atau lirikan matanya memiliki arti adalah isyarat yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan mata.
9
c. Sentuhan (touching) ialah isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan badan. d. Paralanguage ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu dibalik apa yang diucapkan. e. Diam, berbeda dengan tekanan suara, sikap diam juga merupakan kode non verbal yang mempunyai arti. Mix Picard dalam (Cangara, Hafied, 1998:110) menyatakan bahwa diam tidak semata-mata mengundang arti bersikap negatif, tetapi juga bisa melambangkan sikap positif. f. Postur tubuh, orang lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well dan Siegel dalam (Cangara, Hafied 1998:110) berhasil menggambarkan bentuk-bentuk tubuh manusia dengan karakternya. g. Kedekatan dan ruang (proximity and spatial), adalah kode non verbal yang menunjukkan kedekatan dari dua objek yang mengandung arti. h. Artifak dan visualisasi, hasil seni juga banyak memberi isyarat yang mengandung arti. Para antropolog sudah lama memberi penjelasan terhadap benda-benda yang digunakan oleh manusia dalam hidupnya. Artifak selain dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga menunjukkan status identitas diri seseorang atau suatu bangsa. i. Warna, juga memberi arti terhadap objek. Hal ini dapat dilihat pada upacara-upacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warnawarni.
10
j. Kronemik, waktu mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan sering kali melihat waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi, melaksanakan perkawina, membeli sesuatu dan sebagainya. k. Bunyi, jika paralanguage dimaksudkan sebagai tekanan suara yang keluar dari mulut untuk menjelaskan ucapan verbal, banyak bunyi-bunyian yang dilakukan sebagai tanda isyarat yang tidak dapat digolongkan sebagai paralanguage. l. Bau (smell), bau juga menjadi kode non verbal, selain digunakan untuk melambangkan status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan sebagai petunjuk arah. Dalam proses perkawinan adat Bugis memiliki makna tertentu yang hanya dipahami oleh masyarakat setempat. Makna tersebut tertuang dalam simbol-simbol yang terdapat dalam prosesi adat Bugis Bone, sebagai salah satu sistem makna yang kompleks, untuk mengatur tingkah laku mereka dan kebudayaan bagi masyarakat suku Bugis Bone. Dalam budaya Bugis yang masih sangat asli (tradisional), dalam menyampaikan pesannya melalui beberapa cara yang sulit dipahami oleh orang-orang di luar suku Bugis, terutama pada proses upcara perkawinannya yang sarat akan makna pesan simbolik. Komunikasi yang serasi atau efektif dapat dicapai apabila pihak-pihak yang terlibat dalam suatu komunikasi memberikan arti dan makna yang sama kepada
11
lambang-lambang atau simbol-simbol yang digunakan. Manusia merupakan homo simbolicum yang mampu menciptakan simbol-simbol yang memiliki makna tertentu. Salah satu cara yang digunakan para ahli untuk membahas lingkup makna yang lebih besar ini adalah dengan membedakan antara makna denotatif dengan makna konotatif. Untuk memahami makna denotasi dan konotasi Arthur Asa Berger menyatakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional (Sobur, 2003:263). Dikatakan objektif sebab makna dinotatif ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotatif bersifat subyektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Pada budaya Bugis terdapat banyak hal yang diungkapkan melalui simbolsimbol yang memiliki makna tertentu yang hanya dipahami oleh masyarakat suku Bugis itu sendiri, terutama pada prosesi upacara perkawinan adat, dimana simbolsimbol yang terdapat didalamnya memiliki makna tertentu yang diwariskan melalui sejarah. Ini sejalan dengan pendapat Clifford Geertz dalam buku (Abdullah, 2006:1) mengatakan bahwa kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan, dan mengembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini. Titik sentral rumusan kebudayaan Geertz dalam (Abdullah, 2006:1) terletak pada simbol, yaitu bagaimana manusia berkomunikasi melalui simbol. Di satu sisi,
12
simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai, dan sisi lain simbol merupakan acuan wawasan, memberi “petunjuk” bagaimana warga budaya tertentu menjalankan hidup, media sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas sosial. Dalam penelitian ini tahapan proses perkawinan suku Bugis Bone secara umum dapat dibagi atas tiga tahapan yaitu tahapan pra nikah, nikah dan tahapan setelah nikah yaitu : Prosesi pelamaran sang calon pengantin 1. Mattiro (menjadi tamu) Merupakan suatu proses dalam penyelenggaraan perkawinan. Mattiro artinya melihat dan memantau dari jauh atau Mabbaja laleng (membuka jalan). 2. Mapessek-pessek (mencari informasi) Saat sekarang ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek karena mayoritas calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki yang sudah betul-betul dikenal. Ataupun calon mempelai perempuan telah dikenal akrab oleh calon mempelai laki-laki. 3. Mammanuk-manuk (mencari calon) Biasanya orang yang datang mammanuk-manuk adalah orang yang datang mapessek-pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang pertama dan kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk
13
dengan orang tua si perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akan menyampaikan kepada keluarga dari pihak laki-laki untuk datang kembali sesuai dengan waktu yang ditentukan. Jika terjadi kesepakatan maka ditentukanlah waktu Madduta mallino (duta resmi). 4. Madduta mallino Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang tersembunyi. Jadi duta mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki ke rumah perempuan untuk menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang telah dirintis sebelumnya pada waktu mappesek-pesek dan mammanuk-manuk. 5. Mappasiarekkeng Mappasiarekkeng artinya mengikat dengan kuat. Biasa jua disebut dengan mappettuada maksudnya kedua belah pihak bersama-sama mengikat janji yang kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya. Dalam acara ini akan dirundingkan dan diputuskan segala sesuatu yang bertalian dengan upacara perkawinan, antara lain: a. Tanra esso (Penentuan hari perkawinan) b. Balanca (Uang belanja)/ doi menre (uang naik atau uang yang digunakan mempelai wanita untuk mengadakan pesta dan akad nikah dari calon mempelai laki-laki) c. Sompa (emas kawin) dan lain-lain yaitu pemberian berupa uang atau harta dari pihak keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam.
14
Prosesi akad perkawinan Sejak tercapainya kata sepakat, maka kedua belah pihak keluarga sudah mempersiapkan keberlangsungan perkawinan tersebut. Makin tinggi status sosial dari keluarga yang akan mengadakan pesta perkawinan, maka makin lama juga dalam persiapan yang dilakukan. Untuk pelaksanan perkawinan dilakukan dengan menyampaikan kepada seluruh sanak keluarga dan rekan-rekan. Hal ini dilakukan oleh beberapa orang wanita dengan menggunakan pakaian adat. Perawatan dan perhatian akan diberikan kepada calon pengantin biasanya tiga malam berturut-turut sebelum hari pernikahan calon pengantin mappasau (mandi uap), calon pengantin memakai bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang digoreng sampai hangus yang dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah acara mappasau, calon pengantin dirias untuk upacara mappacci atau tudang penni. Mappaccing berasal dari kata paccing yang berati bersih, mappaccing artinya membersihkan diri. Upacara ini secara simbolik menggunakan daun pacci (pacar). Karena acara ini dilaksanakan pada malam hari maka dalam bahasa Bugis disebut ”Wenni Mappacci”. Setelah prosesi mappacci selesai, keesokan harinya mempelai laki-laki diantar ke rumah mempelai wanita untuk melaksanakan akad nikah (jika belum melakukan akad nikah). Karena pada masyarakat Bugis Bone ada juga yang telah melaksanakan akad nikah sebelum acara perkawinan dilangsungkan yang disebut istilah kawissoro. Kalau sudah melaksanakan kawissoro hanya diantar untuk melaksanakan acara mappasilukang dan makkarawa yang dipimpin oleh indo’botting. Setelah
15
mappasilukang dan makkarawa maka dilanjutkan dengan acara marellau dampeng memohon maaf kepada kedua orangtua pengantin, dan kepada seluruh keluarga terdekat yang sempat hadir pada akad nikah tersebut. Prosesi sesudah akad nikah Mapparola acara ini merupakan prosesi penting dalam perkawinan adat Bone yaitu merupakan kunjungan balasan dari pihak perempuan ke pihak laki-laki. Adapun marola wekka dua yaitu mempelai perempuan hanya bermalam satu malam saja dan sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali kerumah mempelai perempuan. Setelah seluruh prosesi akad perkawinan berlangsung, biasanya diadakan acara resepsi (walimah) dimana semua tamu undangan hadir untuk memberikan doa restu dan sekaligus menjadi saksi atas pernikahan kedua mempelai agar mereka tidak berburuk sangka ketika suatu saat melihat kedua mempelai bermesraan.
16
Berdasarkan pemaparan diatas, maka digambarkan kerangka konseptual sebagai berikut:
Pesan Simbolik Pesan Verbal: Lisan Tulisan
Pesan Non Verbal: Kinesik Gerakan Mata Sentuhan Paralanguage Diam Postur tubuh Kedekatan dan ruang Artifak dan visualisasi Warna Waktu Bunyi Bau
Prosesi Lamaran
Prosesi akad nikah
Prosesi setelah akad
Mattiro Mappesek-pesek Mammanuk-manuk Madduta Malino Mappasierekkeng
Mappasau Mappacci Akad nikah Mappasiluka Marellau dampeng
Mapparola Resepsi Mapparola bekke dua
Prosesi Perkawinan Bugis Bone
Gambar 1.1 : Kerangka Konseptual Penelitian
17
E. Metode Penelitian 1. Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih (Dua) bulan yaitu dimulai bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2012. Penelitian dilakukan dengan cara terlibat dan mengamati langsung beberapa prosesi perkawinan Bugis Bone yang dilakukan di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. 2. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini mengacu pada studi etnografi, dengan metode yang digunakan oleh Spradley dalam (Basrowi & Sukidin, 2002:78) yang khas untuk mempelajari etnografi (dengan jalan mengerjakan dan melakukan sendiri) secara sistematis, terarah, dan efektif. Metode itu adalah Development Research Sequence atau Alur Penelitian Maju Bertahap. Metode ini memilik lima prinsip. Pertama, teknik tunggal dimana peneliti melakukan berbagai teknik penilitian secara bersamaan dalam satu fase penelitian. Kedua, identifikasi tugas, yaitu peneliti harus mengenali langkah-langkah pokok yang harus dilaluinya dalam menjalankan teknik tersebut. Ketiga, setiap langkah pokok tadi, sebaiknya dijalankan secara berurutan atau maju bertahap. Keempat, penelitian orisinal maksudnya mempelajari cara untuk untuk melakukan wawancara etnografi dengan mempraktikannya dalam proyek penelitian sungguhan bukan untuk kepentingan latihan saja.
18
3. Informan Informan dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh adat suku Bugis Bone yang dianggap mampu dan memahami budaya Bugis secara mendalam. Adapun usaha dalam menemukan informan dapat dilakukan dengan cara berikut: a.
Peran dalam unit sosial, dalam banyak situasi, orang yang memiliki kedudukan strategis dalam komunitas, organisasi atau masyarakat jelas bahwa ia kemungkinan besar mengetahui banyak informasi. Dengan pertimbangan tertentu, peneliti harus menghindarkan informan yang memiliki posisi marginal atau terasing dari kultur dan struktur sosialnya sendiri.
b.
Berpengetahuan, ini adalah kriteria yang paling penting. Seorang informan harus memiliki pengetahuan, tanpa itu ia hanya sekedar orang awam, yang tidak memiliki sesuatu yang seorang peneliti dapat manfaatkan.
c.
Kesediaan, informan hanya bermanfaat bila ia memiliki keinginan untuk menjalin kerjasama dengan peneliti. Bila ia menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, betapa pun berharganya informasi yang dimilikinya, ia sama sekali tidak bermafaat bagi peneliti.
d.
Komunikatif,
informan
harus
memiliki
kemampuan
untuk
menyampaikan informasinya dalam suatu bahasa yang dapat
19
dimengerti oleh peneliti. Tanpa itu, peneliti dapat memperoleh pemahaman yang keliru, bahkan salah sama sekali. Penentuan informan dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu peneliti yang menentukan sendiri informan yang akan diwawancarai berdasarkan pertimbangan representatitif. Kriteria yang telah ditentukan dalam penelitian ini adalah: a. Orang-orang yang memahami adat Bugis Bone dengan baik dan bersedia memberikan informasi yang relevan dengan penelitian ini. b. Indo’botting tersebut berpengalaman dalam perkawinan adat Bugis, khususnya adat Bugis Bone, minimal dua tahun telah menjalani pekerjaannya mengatur prosesi adat perkawinan Bugis Bone. c. Salah satu tokoh adat Bugis Bone, yakni penghulu, atau ‘Bissu’ yang memahami prosesi, simbol, dan makna perkawinan Bugis Bone. d. Berprofesi
atau
mempunyai
keahlian
dalam
menyelenggarakan
perkawinan Bugis Bone, dalam hal ini Indo’botting sangat berperan penting 4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini terbagi dalam dua jenis data : a. Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh penulis secara langsung dari lokasi penelitian (Field Research) yang merupakan acuan utama
20
dalam penulisan skripsi ini. Adapun data primer tersebut terbagi dalam dua jenis berdasarkan cara diperolehnya data tersebut antara lain:
Observasi Pada penelitian ini penulis mengumpulkan data melalui observasi partisipan yaitu peneliti berfungsi sebagai partisipan, ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan kelompok yang diteliti, baik kehadirannya diketahui atau tidak. Data tersebut dilengkapi dengan dokumentasi pelaksanaan Perkawinan Bugis Bone yang berupa dokumentasi visual yaitu gambar atau foto-foto yang relevan dengan penelitian.
Wawancara Mendalam (Indepth Interview) Pengumpulan data juga dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap tokoh-tokoh adat Bugis yang nantinya terpilih menjadi informan dalam penelitian ini, yaitu tadi bissu, indo’botting, tokoh agama dan adat lainnya.
b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh penulis melalui penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai data yang berhubungan dengan penelitian berupa buku-buku, data dari perpustakaan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah penelitian.
21
F. Teknik Analisis Data Teknik analasis data yang dianggap relevan oleh penulis adalah analisis data kualitatif dengan mengungkapkan fakta yang ditemui di lapangan untuk memberikan gambaran tentang permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Berpedoman pada penelitian kualitatif, pengolahan data dan analisis data dilakukan bersamaan pada proses penelitian. Proses awal analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari wawancara dan pengamatan yang sebelumnya sudah dijelaskan pada teknik pengumpulan data baik berupa dokumen maupun dokumen yang diperoleh penulis selama mengadakan penelitian. Setelah mempelajari berusaha memahami data, maka peneliti berusaha membuat abstraksi data (rangkuman inti), setelah rangkuman inti didapatkan maka selanjutnya mengkategorikan data berdasarkan tema yang disesuaikan dengan penelitian ini. Penyajian data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif ini akan disajikan berbentuk uraian-uraian, kata-kata yang tentunya akan mengarahkan pada pokok fokus penelitian yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. Karena penelitian ini merupakan penilitian yang bersifat deskriptif, maka data dideskriptifkan berdasarkan peristiwa dan pengalaman penting dari kehidupan atau beberapa bagian pokok dari kehidupan objek penelitian untuk kemudian dilakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi dari rumusan masalah yang telah ditentukan sebelumnya.
22
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan disajikan Diagram alir yang menjelaskan komponen-komponen dari teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian.
Masa pengumpulan data
Antisipasi
REDUKSI DATA Selama PENYAJIAN DATA Selama
Pasca Pasca
PENARIKAN KESIMPULAN/VERIVIKASI Selama Gambar 1.2: Diagram Air Komponen-komponen Analisis Data Sumber : Milles & Huberman (1992:19)
Pasca
Analisis
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komunikasi A.1. Konsep Komunikasi Komunikasi merupakan kebutuhan utama manusia dalam berinteraksi dengan manusia atau individu lainnya. Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia, dan kepuasan akan tercapai apabila terpenuhi kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Berangkat dari asumsi tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap individu membutuhkan hubungan sosial dengan individu lainnya. Dan kebutuhan ini akan terpenuhi bila melalui pertukaran pesan yang berfungsi untuk mempersatukan manusia. Dalam komunikasi terjadi pertukaran pesan dalam setiap perilaku dan tindakan manusia. Pesan tersebut dapat disampaikan melalui lambaian tangan, tersenyum, menganggukkan kepala atau dengan bahasa-bahasa isyarat lainnya. Ketika setiap perilaku individu terjadi pertukaran lambang atau simbol berarti sebuah proses komunikasi telah berlangsung. Perilaku juga dapat disadari maupun tidak disadari. Kadang-kadang kita melakukan sesuatu tanpa menyadarinya, terutama perilaku kita itu bersifat nonverbal. Kebiasaan seperti menggigit kuku jari tangan, menganggukkan kepala, menatap dan tersenyum, misalnya seringkali berlangsung tanpa disadari. Oleh karena itu suatu
23
24
pesan terdiri dari perilaku-perilaku yang dapat diartikan, kita harus mengakui kemungkinan memberikan pesan yang tidak kita ketahui. Dengan konsep mengenai hubungan-hubungan perilaku sadar-tidak sadar ataupun sengaja-tidak sengaja ini, dapat dirumuskan suatu definisi komunikasi. Disini komunikasi didefinisikan sebagai apa yang terjadi bila makna diberikan kepada suatu perilaku. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberinya makna, maka komunikasi telah terjadi, terlepas dari apakah kita menyadari perilaku kita atau tidak dan disengaja atau tidak. Bila kita memikirkan hal ini, kita harus menyadari bahwa tidak mungkin bagi kita untuk tidak berprilaku. Setiap perilaku manusia adalah potensi komunikasi. Maka tidak mungkin bagi kita untuk tidak berkomunikasi. Jane Pauley dalam (Lilweri 2009:7) memberikan definisi khusus atas komunikasi, setelah membandingkan tiga komponen yang harus ada dalam sebuah peristiwa komunikasi, jadi kalau satu komponen kurang maka komunikasi tak akan terjadi. Dia berkata komunikasi merupakan : “(1) transmisi informasi, (2) transmisi pengertian, (3) menggunakan simbol-simbol yang sama.” Beberapa ahli juga mencoba memberikan definisi tentang komunikasi sebagai berikut: Raymond S. Ross dalam Mulyana (2000:62) mengemukakan bahwa komunikasi sebagai berikut: Komunikasi (intensional) adalah suatu proses menyortir, memilih dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serua dengan yang dimaksudkan komunikator.
25
B. Konsep Pesan Dalam Komunikasi Pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan seharusnya mempunyai inti pesan atau tema sebagai pengaruh di dalam usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku penerima pesan. Pesan dapat disampaikan panjang lebar, namun yang perlu diperhatikan dan diarahkan adalah tujuan akhir dari pesan itu sendiri. Pesan (message) terdiri dari dua aspek, yaitu isi pesan (The content of message) dan lambang atau simbol untuk mengekspresikannya. Lambang utama pada komunikasi umumnya adalah bahasa, karena hanya bahasalah yang dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan, fakta dan opini hal yang kongkrit dan abstrak, pengalaman yang sudah lalu dan yang akan datang dan sebagainya. Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh pihak yang mengirim pesan. Pesan dapat berupa gagasan, pendapat dan sebagainya yang sudah dituangkan dalam suatu bentuk dan melalui lambang komunikasi diteruskan kepada orang lain atau penerima pesan. Dalam bentuknya pesan merupakan sebuah gagasan-gagasan yang telah diterjemahkan ke dalam simbol-simbol yang dipergunakan untuk menyatakan suatu maksud tertentu. Dimana pesan adalah serangkaian isyarat yang diciptakan oleh seseorang untuk saluran tertentu dengan harapan bahwa serangkaian isyarat atau simbol itu akan mengutarakan atau menimbulkan suatu makna tertentu dalam diri orang lain yang hendakdiajak berkomunikasi. Dalam penyampaian pesan, pesan dapat disampaikan dengan: a. Lisan secara langsung melalui tatap muka b. Menggunakan
26
media atau saluran. Kedua model penyampaian pesan diatas merupakan bentuk penyampaian pesan yang secara umum didalam komunikasi. Dan bentuk pesan sendiri dapat bersifat: a) informasi memberi keteranganketerangan dan kemudian komunikan dapat mengambil kesimpulan sendiri, dalam situasi tertentu pesan informative lebih berhasil dari pada pesan persuasif. b) persuasif bujukan, yaitu membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan rupa pendapat atau sikap sehingga ada perubahan. c) coersif memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi. Secara umum, jenis pesan terbagi menjadi dua, yaitu pesan verbal dan non verbal. Pesan verbal adalah jenis pesan yang penyampaiannya menggunakan katakata, dan dapat dipahami isinya oleh penerima berdasarkan apa yang didengarnya. Sedangkan, pesan non-verbal adalah jenis pesan yang penyampaiannya tidak menggunakan kata-kata secara langsung, dan dapat dipahami isinya oleh penerima berdasarkan gerak-gerik, tingkah laku, mimik wajah, atau ekspresi muka pengirim pesan. Pada pesan non-verbal mengandalkan indera penglihatan sebagai penangkap stimuli yang timbul. C. Konsep Simbol dan Makna Makna muncul dari hubungan khusus antar kata (sebagai simbol verbal) dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran orang. Jadi tidak ada hubungan langsung antara subjk dengan simbol yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu. Misalnya “saya sakit perut”
27
pengalaman itu nyata tapi tidak seorangpun dapat merasakan rasa sakit itu, bahkan dokter yang berusaha mengobati rasa sakit kita. Jadi hubungan itu diciptakan dalam pemikiran pembicara. Upaya memahami makna, sesungguhnya merupakan salah satu masalah filsafat yang tertua dalam umur manusia. Konsep makna telah menarik disiplin komunikasi, psikologi, sosiologi, antropologi dan linguistik. Itulah sebabnya, beberapa pakar komunikasi sering menyebut kata makna ketika mereka merumuskan definisi komunikasi. Para ahli mengakui, istilah makna memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan, ada tiga hal yang dicobajelaskan oleh para filsuf dan linguis sehubungan dengan usaha menjelakan istilah makna (Sobur, 2003: 256), ketiga hal itu yakni: (1) menjelaskan makna kata secara alamiah; (2) mendeskripsikan kalimat secara alamiah; dan (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi. Brown (Sobur2003:256) mendefinisikan makna sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa. Terdapat banyak komponen dalam makna yang dibangkitkan suatu kata atau kalimat. Dengan kata-kata Brown, “seseorang mungkin menghabiskan tahun-tahunnya yang produktif untuk menguraikan makna suatu kalimat tunggal dan akhirnya tidak menyelesaikan tugas itu” Untuk memahami apa yang disebut makna atau arti, kita perlu menoleh kembali kepada teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (Sobur, 2004: 257) bapak linguistik modern asal Prancis, di dalam bukunya yang terkenal Course in General Linguistik. Menurut Saussure, setiap tanda linguistik terdiri atas dua unsur
28
yakni; (1) yang diartikan dan (2) yang mengartikan yang diartikan sebenarnya adalah konsep atau makna dari suatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan adalah bunyi-bunyi itu sendiri, yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda linguistik dari unsur bunyi dan unsur makna. Makna adalah balasan terhadap pesan. Suatu pesan terdiri dari tanda-tanda dan simbol-simbol yang sebenarnya tidak mengandung makna. Makna baru akan timbul, ketika ada seseorang yang menafsirkan tanda dan simbol yang bersangkutan dan berusaha memahami artinya. Dari segi psikologis, tanda dan simbol bertindak selaku perangsang untuk membangkitkan balasan dipihak penerima pesan. Oleh karena itu, makna akan terlihat merupakan bagian dari dua hal, yakni bagian dari penafsiran terhadap informasi yang terkandung dalam simbol-simbol, dan bagian dari proses pertanyaan. Proses ini membawa tahap pemahaman kepada lapisan yang telah mendalam serta lebih luas. Mungkin saja pada awalnya makna digambarkan sebagai sesuatu yang ada pada diri seseorang, namun telah diketahui makna dari simbolsimbol yang dipergunakan dalam komunikasi juga tergantung dari proses yang berlangsung antara orang-orang yang menggunakan informasi. Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep makna. Model prosesi makna Wendell Johnson dalam (Sobur 2003:258) menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia sebagai berikut: 1. Makna ada dalam diri manusia, makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Manusia menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang akan dikomunikasikan. Tetapi kta-kata itu tidak
29
secara
sempurna
dan
lengkap
menggambarkan
makna
yang
dimaksudkan. 2. Makna berubah, kata-kata relatif statis tetapi yang makna dari kata tersebut yang terus berubah dan ini khusunya terjadi pada dimensi emosional dari makna. 3. Makna membutuhkan acuan, walaupun tidak semua komunikasi mengacu kepada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. 4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna, berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi
yang timbul
akibat
penyingkatan berlebihan tanpa
mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. 5. Makna tidak terbatas jumlahnya, pada suatu saat tertentu jumlah kata dalam bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. 6. Makna dikomunikasikan hanya sebagaian, maka yang diperoleh dalam suatu kejadian bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang dapat dijealskan. Karena itu pemahaman yang sebenarnya atau pertukaran makna secara sempurna yang merupakan tujuan ideal yang ingin dicapai namun tidak tercapai.
30
D. Pesan Verbal dan Non Verbal D.1. Pesan verbal Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal dalam (Mulyana, 2005:259). Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Jalaluddin Rakhmat (1994:283), mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti. Kalimat dalam bahasa Indonesia yang berbunyi “Di mana saya dapat menukar uang?” akan disusun dengan tata bahasa bahasa-bahasa yang lain sebagai berikut: · Inggris: Dimana dapat saya menukar beberapa uang? (Where can I change some money?). · Perancis: Di mana dapat saya menukar dari itu uang? (Ou puis-je change de l’argent?).
31
· Jerman: Di mana dapat saya sesuatu uang menukar? (Wo kann ich etwasGeld wechseln?). . Spanyol: Di mana dapat menukar uang? (Donde puedo cambiar dinero?). Tata bahasa meliputi tiga unsur: fonologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi merupakan pengetahuan tentang bunyi-bunyi dalam bahasa. Sintaksis merupakan pengetahuan tentang cara pembentukan kalimat. Semantik merupakan pengetahuan tentang arti kata atau gabungan kata-kata. Menurut Larry L. Barker dalam (Mulyana, 2005:265), bahasa mempunyai tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. a. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. b. Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. c. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai fungsi transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. Ketika kita berkomunikasi, kita menterjemahkan gagasan kita ke dalam bentuk lambang (verbal atau non verbal). Proses ini lazim disebut penyandian (encoding). Bahasa adalah alat penyandian, tetapi alat yang tidak begitu baik (lihat
32
keterbatasan bahasa di atas), untuk itu diperlukan kecermatan dalam berbicara, bagaimana
mencocokkan
menghilangkan
kebiasaan
kata
dengan
berbahasa
keadaan
yang
sebenarnya,
menyebabkan
bagaimana
kerancuan
dan
kesalahpahaman. D.2. Pesan non verbal Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan pada hal-hal yang unik, seperti makin langkanya orang yang bisa menganut prinsip satu kata dan perbuatan, makin banyak orang yang pintar bicara tetapi tidak disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan ucapannya. Ataukah kita sering dihadapkan pada sesuatu yang justru kontradiksi dengan presepsi kita. Misalnya orang cenderung menggunakan atribut tertentu justru untuk menipu orang lain. Dari berbagai studi yang pernah dilakukan sebelumnya, kode nonverbal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain: a. Kinesik Yaitu kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan. b. Gerakan mata (eye gaze) Mata adalah alat komunikasi yang paling berarti dalam memberi isyarat tanpa kata. Ungkapan “pandangan mata mengundang” atau lirikan matanya memiliki arti adalah isyarat yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan mata. Bahkan ada yang menilai bahwa gerakan mata adalah pencerminan hati seseorang.
33
c. Sentuhan Yaitu isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan badan, menurut bentuknya sentuhan dibagi dalam tiga macam yaitu: kinesthetic, sociofugal, dan thermal. d. Paralanguage Paralanguage adalah isyarat yang ditimbulan dari tekanan atau irama suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu dibalik apa yang diucapkan. e. Diam Berbeda dengan tekanan suara, sikap diam juga merupakan kode non verbal yang mempunyai arti. Max picard dalam (Cangara, 1998:110) menyatakan bahwa diam tidak semata-mata mengandung arti bersikap negatif tetapi juga bisa melambangkan sikap positif. f. Postur tubuh Manusia lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well dan Siegel (Cangara, 1998: 110) dua orang ahli psikologi melalui studi yang mereka lakukan, berhasil menggambarkan bentuk-bentuk tubuh manusia dan karakternya. g. Kedekatan dan ruang (proximity and spatial), adalah kode non verbal yang menunjukkan kedekatan dari dua objek yang mengandung arti. h. Artifak dan visualisasi, hasil seni juga banyak memberi isyarat yang mengandung arti. Para antropolog sudah lama memberi penjelasan terhadap benda-benda yang digunakan oleh manusia dalam hidupnya. Artifak selain
34
dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga menunjukkan status identitas diri seseorang atau suatu bangsa. i. Warna, juga memberi arti terhadap objek. Hal ini dapat dilihat pada upacaraupacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni. j. Kronemik, waktu mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan sering kali melihat waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi, melaksanakan perkawina, membeli sesuatu dan sebagainya. k. Bunyi, kalau paralanguage dimaksudkan sebagai tekanan suara yang keluar dari mulut untuk menjelaskan ucapan verbal, banyak bunyi-bunyian yang dilakukan sebagai tanda isyarat yang tidak dapat digolongkan sebagai paralanguage. l. Bau (smell), bau juga menjadi kode non verbal, selain digunakan untuk melambangkan status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan sebagai petunjuk arah.
E. Konsep Simbol Secara etimologis simbol berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu benda atau perbuatan dikaitkan dengan suatu ide (Sobur, 2003:155). Ada pula yang menyebut symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Biasanya simbol terjadi berdasarkan metonimi yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi
35
atributnya. Semua simbol melibatkan tiga unsur yaitu simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal tersebut merupakan dasar bagi makna simbolik. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain diluar perwujudan benntuk simbolik itu sendiri. Peirce (Sobur 2003:156) simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu diluar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi tersebut masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Simbol merupakan kata atau sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan penafsiran pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya dan kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya. Simbol yang ada dalam dan berkaitan dengan ketiga hal tersebut disebut dengan bentuk simbolik. Pada dasarnya simbol dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai lambang kematian. 2. Simbol kultural yang dilatar belakangi oleh suatu kebudayaan tertentu misalnya Badik dalam kebudayaan Bugis. 3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang. Pengklasifikasian yang hampir sama dikemukakan oleh Arthur Asa Berger (Sobur
2003:157)
Berger
mengklasifikasikan
simbol-simbol
menjadi:
(1)
36
konvensional, (2) aksidental, (3) universal. Simbol-simbol konvensional adalah katakata yang dipelajari yang ada untuk menyebut atau menggantikan sesuatu. Sebagai kontrasnya simbol aksidental sifatnya lebih individu, tertutup dan berhubungan dengan sejarah kehidupan seseorang, sedangkan simbol universal adalah sesuatu yang berakar dari pengalaman semua orang. Upaya untuk memahami simbol seringkali rumit atau kompleks, oleh karena fakta bahwa logika dibalik simbolisasi seringkali tidak sama dengan logika yang digunakan orang didalam proses-proses pemikiran kesehariannya. Dalam bahasa komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasrkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera dihalaman rumah untuk menyatakan penghormatan atau kecintaan kepada negara. F. Komunikasi Sebagai Proses Simbolik Hampir semua pernyataan manusia baik yang ditujukan untuk kepentingan dirinya, maupun untuk kepentingan orang lain dinyatakan dalam bentuk simbol. Hubungan antara pihak-pihak yang ikut serta dalam proses komunikasi banyak ditentukan oleh simbol atau lambang-lambang yang digunakan dalam berkomunikasi. Seorang penyair yang mengagumi sekuntum bunga, akan mengeluarkan pernyataan lewat bahasa “alangkah indahnya bunga ini”, ataukah seorang polisi lalu
37
lintas yang tidak bisa berdiri terus dipersimpangan jalan, peranannya dapat digantikan lewat rambu-rambu jalan atau lampu pengantur lalu lintas. Simbol merupakan hasil kreasi manusia dan sekaligus menunjukkan tingginya kualitas budaya manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Simbol dapat dinyatakan dalam bentuk bahasa lisan (verbal) maupun melalui isyarat-isyarat tertentu (non-verbal). Simbol membawa pernyataan dan diberi arti oleh penerima, karena itu memberi arti terhadap simbol yang dipakai dalam berkomunikasi bukanlah hal yang mudah, melainkan suatu persoalan yang cukup rumit. Proses pemberian makna terhadap simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi, selain dipengaruhi faktor budaya, juga faktor psikologis, terutama pada saat pesan di decode oleh penerima. Sebuah pesan yang disampaikan dengan simbol yang sama, bisa saja berbeda arti bilamana individu yang menerima pesan itu berbeda dalam kerangka berpikir dan kerangka pengalaman. G. Pengertian Kebudayaan Dalam pengertian antropologi, budaya tidak ada perbedeaan arti antara budaya dan kebudayaan. Kebudayaan berasal dari kata buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata buddhi, yang berarti budi atau akal. Jadi kata kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Kata lain dalam bahasa inggris yang juga berarti budaya adalah culture, berasal dari kata latin colere yang artinya mengolah atau mengerjakan atau dapat diartikan segala daya dan upaya manusia
38
untuk mengolah alam. Jadi secara umum kebudayaan dapat diartikan seluruh cara hidup suatu masyarakat. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan polapola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individual kelompok. Koentjaraningrat (1990:180) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyrakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Clifford Geertz dalam (Saifuddin 2005:288) mengemukakan definisi kebudayaan sebagai: (1) suatu sitem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol-simbol tersebut individu-individu mendifinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap
39
kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumbersumber ekstrasomatik dari informasi; (4)oleh karena kebudayaan adalah suatu simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan dan diintrepetasi. Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatua yang tidak dapat terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah manusia itu sendiri. Sekalipun manusia akan mati tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan terus diwariskan pada keturunannya. Pewarisan kebudayaan manusia tidak selalu terjadi secara vertikal atau kepada anak cucu mereka, melainkan dapat pula secara horizontal yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia yang lainnya. Berbagai pengalaman manusia dalam rangka kebudayaannya diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi berikutnya oleh individu lainnya. Berbagai gagasan dapat dikomunikasikan dengan orang lain dengan mengembangkan berbagai gagasan dalam bentuk lambang-lambang ataupun bahasa, baik secara lisan maupun tulisan.
H. Makna Denotatif dan Makna Konotatif Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Sebagai contoh, didalam kamus, kata mawar berarti “sejenis bunga”. Makna konotatif ialah makna denotatif yang ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaanyang ditimbulkan oleh kata mawar itu sendiri. Denotasi adalah hubungan yang digunakan didalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting didalam ujaran Lyons (Sobur 2003: 263). Makna denotasi
40
bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda. Dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah pertanda. Dalam Sobur (2004:263) menjelaskan mengenai makna denotatif dengan sebua contoh amplop, kata amplop bermakna sampul yang berfungsi tempat mengisi surat surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, jawatan dan lain-lain. Makna ini adalah makna denotasinya, tetapi pada kalimat “berilah ia amplop agar urusanmu segera selesai”, maka kata amplop itu sudah bermakna konotatif, yakni berilah ia uang. Kata amplop dan uang masih ada hubungan, karena uang dapat saja diisikan didalam amplop. Dengan kata lain amplop mengacu kepada uang, dan lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelicin, uang sogok, uang semir. Jika denotasi sebuah kata adalah definisi objektif kata tersebut, makna konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya menurut Devito dalam Sobur (2003:263) yang menyatakan bahwa kta konotasi melibatkan simbolsimbol historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Dikatakan objektif sebabmakna denotatif ini bersifat umum. Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih kecil. Jadi sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunya “nilai rasa” baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki nilai konotasi disebut berkonotasi netral. Ketika ia berbicara tentang denotasi, kita menunjuk pada asosiasi primer yang dimiliki sebuah kata bagi kebanyakan anggota masyarakat linguistik
41
tertentu. Sedangkan konotasi merujuk kepada asosiasi sekunder yang dimiliki sebuah kata bagi seorang atau lebih anggota masyarakat itu. Chaer, dalam Sobur (2003:264). Namun kadang-kadang konotasi sebuah kata sama, hampir stiap orang kadangkadang hanya berkaitan dengan pengalaman satu individu saja, atau lebih sering dengan sekelompok kecil individu tertentu saja. I. Makna Simbolik Yang Berkaitan Dengan Budaya Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menjumpai beraneka ragam kebudayaan. Kita mengenal kebudayaan dalam bentuk warisan kekayaan yang telah dicapai oleh umat manusia, dirangkum serta diteruskan dari generasi kepada generasi selanjutnya. Adapula yang terwujud dalam proses perkembangan. Proses kebudayaan ini dapat dengan sangat jelas kita ikuti, apabila kita ingat bahwa kehidupan manusia selalu dihadapkan pada masyarakat, lingkungan serta dunia alamnya. Kebudayaan terdiri dari pola-pola berpikir, merasa dan bertindak yang dicapai dan disalurkan melalui simbol. Disini penulis ingin memberikan gambaran lebih lanjut tentang makna simbolik dari satu upacara adat masyarakat Bugis yang masih terus dilaksanakan. Dalam budaya masyarakat Bugis ketika sebuah keluarga akan membangun rumah atau pindah ke rumah baru terdapat serangkaian upacara adat yang harus dijalankan, mulai saat persiapan bahan-bahan untuk membangun rumah, ketika rumah akan dibangun atau didirikan, lalu ketika rumah tersebut siap untuk ditinggali, bahkan saat rumah tersebut sudah dihuni. Rangkaian upacara adat tersebut sarat akan makna-makna simbolik yang terkandung dalam setiap tahapannya, berikut
42
rangkaian upacara tersebut: Upacara Makkarawa Bola. Makkarawa Bola terdiri dari dua kata yaitu makkarawa (memegang) dan bola (rumah), jadi makkarawa bola bisa diartikan memegang, mengerjakan, atau membuat peralatan rumah yang telah direncanakan untuk didirikan dengan maksud untuk memohon restu kepada Tuhan agar diberikan perlindungan dan keselamatan dalam penyelesaian rumah yang akan dibangun tersebut. Tempat dan waktu upacara ini diadakan di tempat dimana bahan– bahan itu dikerjakan oleh panre (tukang) karena bahan–bahan itu juga turut dimintakan doa restu kepada Tuhan. Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada waktu yang baik dengan petunjuk panrita bola, yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin upacara. Bahan–bahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri atas: ayam dua ekor, dimana ayam ini harus dipotong karena darahnya diperlukan untuk pelaksanaan upacara kemudian tempurung kelapa daun waru sekurang – kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara makkarawa bola ini ada tiga, yaitu 1) waktu memulai melicinkan tiang dan peralatannya disebut makkattang, 2) waktu mengukur dan melobangi tiang dan peralatannya yang disebut mappa, 3) waktu memasang kerangka disebut mappatama areteng. Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam yang telah disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam tempurung kelapa yang dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah ayam itu disapukan pada bahan yang akan dikerjakan. Dimulai pada tiang pusat, disertai dengan niat agar selama rumah itu dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam keadaan sehat dan baik–baik, bila saat
43
bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan, maka cukuplah ayam itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan rumah itu berlangsung dihidangkan kue–kue tradisional seperti : Suwella, Sanggara, Onde-Onde, Roko–roko unti sering juga disebut doko-doko, Peca’ Beppa, Barongko dan Beppa loka, dan lain – lainnya. Tahap upacara Mappatettong Bola (mendirikan rumah). Tujuan upacara ini sebagai permohonan doa restu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar rumah yang didirikan itu diberkahi dan dilindungi dari pengaruh-pengaruh roh jahat yang mungkin akan menganggu penghuninya. Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi dimana rumah itu didirikan, sebagai bentuk penyampaian kepada roh-roh halus penjaga – penjaga tempat itu bahwa orang yang pernah memohon izin pada waktu yang lalu sekarang sudah datang dan mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan pembangunan rumah baru itu, maka pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab barazanji. Adapun bahan–bahan dan alat–alat kelengkapan upacara itu terdiri tas : ayam ’bakka’ dua ekor, satu jantan dan satu betina. Darah kedua ayam ini diambil untuk disapukan dan disimpan pada tiang pusat rumah, ini mengandung harapan agar tuan rumah berkembang terus baik harta maupun keturunannya. Selain itu, Bahan–bahan yang ditanam pada tempat posi bola (pusat atau bagian tengah rumah) dan aliri pakka yang akan didirikan ini terdiri atas : awali (periuk tanah atau tembikar), sung appe (sudut tikar dari daun lontar), balu mabbulu (bakul yang baru selesai dianyam), penno-penno (semacam tumbuh-tumbuhan berumbi seperti bawang), kaluku (kelapa), Golla Cella (gula merah), Aju cenning (kayu manis), dan buah pala. Kesemua bahan
44
tersebut diatas dikumpul bersama – sama dalam kuali lalu ditanam di tempat dimana direncanakan akan didirikan aliri posi bola itu dengan harapan agar pemilik rumah bisa hidup bahagia, aman, tenteram, dan serba cukup. Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula sejumlah bahan – bahan yang akan disimpan di posi bola seperti kain kaci 1 meter, diikatkan pada posi bola, padi dua ikat, golla cella (gula merah), kaluku (kelapa), saji pattapi (nyiru), sanru (sendok sayur), piso (pisau), pakkerri (kukur kelapa). Bahan–bahan ini disimpan diatas disimpan dalam sebuah balai – balai di dekat posi bola. Bahan ini semua mengandung nilai harapan agar kehidupan dalam rumah itu serba lengkap dan serba cukup. Setelah kesemuanya itu sudah dilaksanakan, barulah tiba saat Mappanre Aliri, memberi makan orang – orang yang bekerja mendirikan tiang – tiang rumah itu. Makanan yang disajikan terdiri atas sokko (ketan), dan pallise, yang mengandung harapan agar hidup dalam rumah baru tersebut dapat senantiasa dalam keadaan cukup. Tahap upacara Menre Bola Baru (naik rumah baru) tujuannya sebagai pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga dan tetangga sedesa bahwa rumahnya telah selesai dibangun, selain sebagai upacara doa selamat agar rumah baru itu diberi berkah oleh Tuhan dan dilindungi dari segala macam bencana. Perlengkapan upacara yang disiapkan adalah dua ekor ayam putih jantan dan betina, loka (utti) manurung, loka atau utti (pisang) panasa (nangka), kaluku (kelapa), golla cella (gula merah), tebbu (tebu), panreng (nenas) yang sudah tua. Sebelum tuan rumah (suami isteri) naik ke rumah secara resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan
45
tersebut diatas disimpan di tempatnya masing – masing, yaitu : (1) Loka manurung, kaluku, golla cella, tebu, panreng dan panasa di tiang posi bola. (2) Loka manurung disimpan di masing–masing tiang sudut rumah. Tuan rumah masing–masing membawa seekor ayam putih. Suami membawa ayam betina dan isteri membawa ayam jantan dengan dibimbing oleh seorang sanro bola atau orang tertua dari keluarga yang ahli tentang adat berkaitan dengan rumah. Sesampainya diatas rumah kedua ekor ayam itu dilepaskan, sebelum sampai setahun umur rumah itu, maka ayam tersebut belum boleh disembelih, karena dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah peserta upacara hadir diatas rumah maka disuguhkanlah makanan–makanan atau kue– kue seperti suwella, jompo–jompo, curu maddingki, lana–lana (bedda), konde–konde (umba–umba), sara semmu, doko–doko, lame–lame. Pada malam harinya diadakanlah pembacaan kitab barazanji oleh imam kampung, setelah tamu pada malam itu pulang semua, tuan rumah tidur di ruang depan. Besok malamnya barulah boleh pindah ke ruang tengah tempat yang memang disediakan untuknya. Tahap Upacara Maccera Bola. Setelah rumah itu berumur satu tahun maka diadakanlah lagi upacara yang disebut maccera bola. “Maccera Bola” artinya memberi darah kepada rumah itu dan merayakannya. Jadi sama dengan ulang tahun. Darah yang dipakai maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong untuk itu, pada waktu menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan mantra, “Iyyapa uitta dara narekko dara manu”, artinya nantinya melihat darah bila itu darah ayam. Ini maksudnya agar rumah terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah sanro (dukun) bola atau tukang rumah itu sendiri.
46
Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana persepsi manusia terhadap dunia lingkungan serta masyarakat, seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk memotivasi setiap langkah yang hendak dan harus dilakukannya dan sehubungan dengan itu pola hidup serta cara kemasyarakatan. Dengan demikian kebudayaan menunjukkan identitas serta integritas seseorang atau suatu bangsa.
J. Makna Perkawinan Pernikahan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang sakral yang sering dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan, bahkan dipercayai sebagai perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu. Telah menjadi urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai negara. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1, bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan perjanjian yang resmi antar dua individu yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menciptakan sebuah kekerabatan. Pernikahan dilakukan sesuai dengan adat yang dianut atau disepakati oleh kedua calon pengantin. Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam
47
dan variasi antar bangsa, suku satu dengan yang lainnya pada satu bangsa, agama, budaya maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda tangani. Upacara pernikahan sendiri biasnya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan kesempatan untuk merayakannya bersama keluarga dan teman. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan disebut pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami-istri. K. Perkawinan Bugis Dalam masyarakat Bugis Bone, sebagaimana masyarakat lain di Nusantara ini upacara perkawinan atau pernikahan menandai dimulainya jalinan hubungan berdasarkan cinta kasih yang sah menurut adat (aturan-aturan duniawi) dan agama (aturan-aturan ukhrawi). Berawal dari peristiwa perkawinan itulah suami istri dapat menapaki masa depannya, membina rumah tangga dan melanjutkan keturunannya. Upacara perkawinan yang dalam bahasa Bugis disebut tudang botting bukan hanya menyatukan dua orang menjadi sepasang suami istri, tetapi juga menyatukan dua rumpun keluarga yang lebih besar yaitu keluarga dari pihak mempelai laki-laki dan keluarga dari pihak mempelai wanita. Penyatuan kedua keluarga besar tersebut dalam bahasa bugis disebut silorongeng (saling mengulurkan tangan) atau mappasideppe mabelae (mendekatkan yang jauh).
48
Pandangan
masyarakat
Bugis
tentang
perkawinan
dan
tata
cara
pelaksanaannya, pada dasarnya memiliki persamaan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Hanya saja dalam segi-segi kecil sering ditemukan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu prinsipil. Misalnya, acara ripaddupai yang masih sering dijumpai didaerah Sidenreng Rappang, Soppeng dan daerah-daerah sekitarnya, merupakan hal yang tidak ditemukan didaerh lain. Acara ripaddupai ini dilaksanakan dirumah mempelai wanita yang dipandu oleh seorang indo’botting (juru rias pengantin). Pada saat mempelai laki-laki selesai membuka pakaian pengantin, disiapkan sembilan lembar sarung untuk dipakai. Kesembilan sarung tersebut dipasangkan kepada mempelai laki-laki yang dimulai dari kepala sampai kaki. Satu lembar diantaranya diikatkan dipinggang untuk dipakai tidur, sedangkan yang lainnya dilepas dan disimpan kembali. Menurut berbagai sumber makna dari acara ripaddupai itu adalah agar mempelai laki-laki kelak dapat mengetahui bahwa diantara banyak sarung yang ada dirumah isterinya, hanyalah sarung isterinya yang berhak diapakainya. Artinya banyak keluarga dan kerabat isterinya tetapi yang menjadi hak miliknya hanyalah isterinya yang telah dinikahinya. K. 1. Jenis-jenis Perkawinan Bugis Melihat dari proses pelaksanaannya, dalam masyarakat Bugis, dikenal beberapa jenis perkawinan antara lain : a. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan.
49
Perkawinan jenis ini berlaku secara turun menurun bagi masyarakat Bugis yang bersifat umum, baik golongan bangsawan maupun bagi masyarakat biasa. Perbedaannya hanya dilihat dari tata cara pelaksanaannya, yakni bagi golongan bangsawan, melalui proses yang panjang dengan upacara adat tertentu. Sedangkan bagi masyarakat biasa dilaksanakan secara sederhana sesuai kemampuan. b. Perkawinan silariang (kawin lari) Jenis perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan, tetapi karena kedua belah pihak mengadakan mufakat untuk lari ke rumah penghulu untuk minta perlindungan dan selanjutnya dinikahkan. Sebenarnya dalam masyarakat Bugis khususnya Bugis Bone, peristiwa silariang (melarikan diri untuk dinikahkan) adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan siri’ bagi keluarga perempuan. K. 2. Syarat-syarat Untuk Melangsungkan Perkawinan Sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis Bone, persyaratan lebih banyak dibebankan kepada pihak laki-laki. Disamping ia harus menyiapkan diri untuk menjadi nahkoda dalam melayarkan bahtera rumah tangga yang akan dibinanya nanti. Dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pembiayaan perkawinan dibebankan kepada pihak laki-laki, karena disamping harus menaikkan doi’ menre (uang belanja), juga harus membawa persembahan yang sekarang ini dikenal dengan nama leko’ (sirih pinang) yang nilainya tidak sedikit.
50
Disamping itu, apabila calon mempelai laki-laki berasal dari daerah luar, maka kepadanya diharuskan membayar pallawa tana. Besarnya pallawa tana ditentukan oleh pemuka adat setempat atau penghulu dimana mempelai wanita itu berdomisili. Pallawa tana itu merupakan tanda atau pengakuan bagi mempelai lakilaki bahwa dirinya siap mengikuti segala aturan-aturan adat dan aturan-aturan agama yang berlaku di daerah itu. K. 3. Perkawinan Yang Dilarang Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis melarang perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat, seperti:
Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu atau nenek) baik melalui ayah maupun melalui ibu.
Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun darinya (anak, cucu,cicit) baik keturunan anak wanita.
Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau dari keturunan ibu (saudara kandung atau anak dari saudara kandung).
Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang menurunkan (saudara kandung ayah atau saudara kandung ibu, saudara kandung kakek atau nenenk baik dari ayah maupun dari ibu).
Dari hal yang disebutkan di atas, berarti seorang pria dilarang kawin dengan seorang wanita dalam garis keturuanan lurus ke atas dan ke bawah tanpa batas.
51
Apabila hali ini terjadi masyarakat Bugis menganggapnya sebagai peristiwa malaweng (perbuatan haram menurut Islam). Sesuai hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis Bone khususnya, keduanya akan ditenggelamkan di laut sebagai makanan ikan, karena merupakan pelanggaran hukum adat yang berat. K. 4. Masalah Perjodohan Dahulu, masalah pemilihan jodoh bagi masyarakat Bugis Bone, selalu dipilihkan oleh orang tua. Kedua mempelai nanti akan saling kenal setelah duduk dipelaminan atau setelah masing-masing membuka pakaian pengantin yang ditandai dengan suatu acara yang disebut ripasiewa yaitu adat yang dimkasudkan untuk saling menyapa. Dalam memilih jodoh, masyarakat Bugis Bone biasanya memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Faktor obyektif, yaitu adanya kesiapan untuk berumah tangga yang dititik beratkan kepada masalah ekonomi, kedewasaan, mental, karakter, kecerdasan dan sebagainya. b. Faktor subyektif, yaitu adanya dasar saling cinta mencintai. Dahulu faktor ini lahir setelah terlaksananya perkawinan, karena pada umumnya mempelai dijodohkan oleh orang tua dan tidak saling mengenal. Dalam masyarakat Bugis Bone, dikenal adanya pelapisan sosial yang sampai sekarang masih sering terjadi perimbangan dalam hal perjodohan. Seorang yang berasal dari golongan bangsawan selalu mempertimbangkan untuk memilih jodoh
52
dari golongan masyarakat biasa, golongan hamba atau ata’ yang pernah dikenal pada zaman masa lampau. Dahulu hubungan antara anak bangsawan dengan anak orang biasa apalagi anak seorang hamba dianggap sebagai suatu pelanggaran yang disebut nasoppa’i tekkenna, artinya tertusuk oleh tombaknya sendiri. Yang artinya hal yang memungkinkan seorang lelaki yang berasal dari golongan biasa dapat mengawini seorang wanita dari golongan bangsawan, adallah harus memiliki kelebihan seperti to warani (pemberani), to sugi (orang kaya), cendekiawan atau pemimpin agama.
BAB III GAMBARAN LOKASI PENELITIAN A. Asal Usul Orang Bugis Suku Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deuteromelayu, atau Melayu muda. masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata ‘Bugis’ berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan ‘ugi’ sendiri merujuk pada nama raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Tiongkok, tapi salah satu daerah yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (yang dipertuan di ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
53
54
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain. Masyarakat Bugis
ini kemudian mengembangkan
kebudayaan, bahasa, aksara, pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan Sawitto (Kabupaten Pinrang), Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk etnik Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. B. Sejarah Berdirinya Kabupaten Bone Kerajaan Tana Bone dahulu terbentuk pada awal abad ke- IV atau pada tahun 1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk sudah ada kelompok-kelompok dan pimpinannya digelar KALULA Dengan datangnya LA UBBI yang digelar TO MANURUNG (Manurungge Ri Matajang) atau MATA SILOMPO-E. maka terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO MANURUNG MATA SILOMPO- E menjadi Raja Bone, terjadilah kontrak pemerintahan berupa sumpah setia antara rakyat Bone dalam hal ini diwakili oleh penguasa Cina dengan 10 MANURUNG, sebagai tanda serta lambang kesetiaan kepada Rajanya sekaligus merupakan pencerminan corak pemerintahan Kerajaan Bone diawal berdirinya.
55
Disamping penyerahan diri kepada Sang Raja juga terpatri pengharapan rakyat agar supaya menjadi kewajiban Raja untuk menciptakan keamanan, kemakmuran, serta terjaminnya penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat. Adapun teks sumpah yang diucapkan oleh penguasa Cina mewakili rakyat Bone berbunyi sebagai berikut: “ ANGIKKO KURAUKKAJU RIYAAOMI’RI RIYAKKENG KUTAPPALIRENG ELOMU ELO RIKKENG ADAMMUKKUWA MATTAMPAKO KILAO.. MALIKO KISAWE. MILLAUKO KI ABBERE. MUDONGIRIKENG TEMMATIPPANG. MUAMPPIRIKKENG TEMMAKARE. MUSALIMURIKENG TEMMADINGING “ Terjemahan bebas: “ ENGKAU ANGIN DAN KAMI DAUN KAYU, KEMANA BERHEMBUS KESITU KAMI MENURUT KEMAUAN DAN KATA-KATAMU YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI, APABILA ENGKAU MENGUNDANG KAMI MENYAMBUT DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI, WALAUPUN ANAK ISTRI KAMI JIKA TUANKU TIDAK SENANGI KAMIPUN TIDAK MENYENANGINYA, TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR TENTRAM, ENGKAU BERLAKU ADIL MELINDUNGI AGAR KAMI MAKMUR DAN SEJAHTERA ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN ‘
56
Budaya masyarakat Bone demikian Tinggi mengenai sistem norma atau adat berdasarkan Lima unsur pokok masing-masing : Ade’, Bicara, Rapang, Wari dan Sara yang terjalin satu sama lain, sebagai satu kesatuan organis dalam pikiran masyarakat yang memberi rasa harga diri serta martabat dari pribadi masing-masing. Kesemuanya itu terkandung dalam satu konsep yang disebut “Siri” merupakan integral dari ke Lima unsur pokok tersebut diatas yakni pangadereng ( norma adat), untuk mewujudkan nilai pangadereng maka rakyat Bone memiliki sekaligus mengamalkan semangat budaya. SIPAKATAU artinya : Saling memanusiakan, menghormati atau menghargai harkat dan martabat kemanusiaan seseorang sebagai mahluk ciptaan ALLAH tanpa membeda - bedakan, siapa saja orangnya harus patuh dan taat terhadap norma adat atau hukum yang berlaku. SIPAKALEBBI artinya : Saling memuliakan posisi dan fungsi masing-masing dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan, senantiasa berprilaku yang baik sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku dalam masyarakat SIPAKAINGE artinya: Saling mengingatkan satu sama lain, menghargai nasehat, pendapat orang lain, manerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesadaran bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan. Dengan berpegang dan berpijak pada nilai budaya tersebut diatas, maka sistem pemerintahan Kerajaan Bone adalah berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan dimana waktu itu kedudukan ketujuh ketua kaum (Matoa Anang) dalam satu majelis dimana MenurungE sebagai ketuanya ketujuh kaum itu diikat dalam satu ikatan persekutuan
57
yang disebut Kawerang, artinya Ikatan Persekutuan Tana Bone. Sistem Kawerang ini berlangsung sejak ManurungE sebagai Raja Bone pertama hingga Raja Bone ke IX yaitu Lapttawe Matinroe Ri Bettung pada akhir abad ke XVI. Pada tahun 1605 Agama Islam masuk di Kerajaan Bone dimasa pemerintahan Raja Bone ke X Latenri Tuppu Matinroe Ri Sidendreng. Pada masa itu pula sebuatan Matoa Pitu diubah menjadi Ade Pitu ( Hadat Tujuh ), sekaligus sebutan Matoa mengalami pula perubahan menjadi Arung. Arung misalnya Matua Ujung disebut Arung Ujung dan seterusnya. Demikian perjalanan panjang Kerajaan Bone, maka pada bulan Mei 1950 untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk dan berdiri diawal abad ke XIV atau tahun 1330 hingga memasuki masa kemerdekaan terjadi suatu demonstrasi rakyat dikota Watampone yaitu menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur, serta dihapuskannya pemerintahan Kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia Beberapa hari kemudian para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan berhenti. Disusul pula beberapa tahun kemudian terjadi perubahan nama distrik atau onder distrik menjadi Kecamatan sebagaimana berlaku saat ini. Pada tanggal 6 April 1330 melalui rumusan hasil seminar yang diadakan pada tahun 1989 di Watampone dengan diperkuat Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Bone No.1 Tahun 1990 Seri C, maka ditetapkanlah tanggal 6 April 1330 sebagai hari jadi Kabupaten Bone dan diperingati setiap tahun.
58
C. Keadaan Geografis Daerah Kabupaten Bone merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, secara Geografis letaknya sangat strategis karena adalah pintu gerbang pantai timur Sulawesi Selatan yang merupakan pantai Barat Teluk Bone memiliki garis pantai yang cukup panjang membujur dari Utara ke Selatan menelusuri Teluk Bone tepatnya 174 Kilometer sebelah Timur Kota Makassar, luas wilayah Kabupaten Bone 4,556 KM Bujur Sangkar atau sekitar 7,3 persen dari luas Propinsi Sulawesi Selatan, didukung 27 Kecamatan, 333 Desa dan 39 Kelurahan, dengan jumlah penduduk 648,361 Jiwa. Keadaan tanahnya yang subur, terutama di daerah-daerah yang terletak dibagian pesisiran umumnya adalah tanah datar, seperti daerah Barebbo, Tanete Riattang, Mare, Tonra, Salomekko, dan sebagian lagi daerahnya datar dan berawarawa. Secara keseluruhan daerah Bone tidak sesuai untuk digunakan sebagai daerah persawahan karena tanahnya bercampur batu. Selain itu, jenis tanah di daerah ini adalah tanah jenis aluvial hidromorf glei yang berakar rendah, complex mediteran coklat kekuningan. Kabupaten Bone secara geografis berbatasan dengan Kabupaten Wajo disebelah utara dengan sungai cenrana sebagai batasnya, disebelah timur teletak Teluk Bone, di sebelah selatan dengan sungai tangka dan tanah-tanah pemerintahan yang terdapat diantara Gunung Katanorang, Bowoloangi dan Bontonuli, batas ini adalh batas yang ditetapkan pada tahun 1860 setelah perang Bone selesai. Di sebelah barat dengan Tabete, Mario, Soppeng, sungai Walannae, dan Danau Tempe.
59
Wilayah Kabupaten Bone boleh dikatakan tidak memilikki gunung-gunung yang tinggi. Sungai yang paling penting adalah Sungai Walannae berhulu di Gunung Bawakaraeng, mengalir ke bagian tenggara Kabupaten Bone dan mengaliri dataran Bengo, dan daerah Soppeng. Beberapa bagian alirannya mengaliri daerah Lamuru, berlanjut ke daerah-daerah Mario-ri-wawo dan Mario-ri-awa dan akhirnya bersatu dengan Sungai Cenrana di sebelah Timur Danau Tempe Kabupaten Wajo. Jalur utama aliran sungai ini dari selatan ke utara Sungai Cenrana berhulu di Gunung Latimojong, di perbatasan Luwu dan Toraja. D. Pemerintahan di Era Otoda Otonomi daerah yang sebagaimana digariskan oleh Undang – Undang No. 22 Tahun 1999 yang secara efektif diberlakukan pada 1 Januari 2001, memang akan menyita berbagai pemikiran bagi pemerintah ditingkat Kabupaten, karena dalam pelaksanaannya
memerlukan
transportasi
para
digmatik
terutama
dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dari pemikiran ini pemerintah Kabupaten Bone berupaya merumuskan langkah-langkah yang strategis serta berbagai kebijakan untuk menjawab tuntutan yang sifatnya mendesak seperti peningkatan Sumber Daya Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Potensi Bone merupakan salah satu daerah yang berada dipesisir Timur Sulawesi Selatan memiliki peranan yang penting dalam perdagangan Barang dan jasa dikawasan Timur Indonesia, apalagi Kabupaten yang berpenduduk 648.361 Jiwa memiliki Sumber Daya Alam disektor pertambangan
60
misalnya bahan industri atau bangunan, emas, tembaga, perak, batubara dan pasir kuarsa. Seluruhnya dapat dieksplorasi dan eksploitasi, namun hal ini akan menjadi peluang emas bagi masyarakat Bone dalam peningkatan Kesejahteraan dimasa yang akan datang dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sedikitnya hal ini akan menjadi penunjang utama peningkatan pembangunan. K. Lapisan Sosial Pada Masyarakat Bugis Bone Masyarakat Bugis membeda-bedakan manusia menurut tinggi rendah keturunannya. Ukuran satu-satunya ialah soal darah atau unsur keturunan sebagai unsur primair, untuk itu perlu dibedakan terlebih dahulu macam-macam keturunan yaitu : 1. Wija (keturunan) ana’ eppona MappajungE, ialah keturunan anak cucu raja, menurut garis lurus dari raja ke XV 2. Wija Mappajung, ialah keturunan raja-raja sebelum masuk Islam dan sebelum menjadi raja La Patau Matanna Tikka, raja XV. 3. Wija To Leb’bi, ialah keturunan orang-orang mulia, yakni famili-famili dari ibu-bapak La Patau Matanna Tikka. 4. Wija Anakarussala, ialah keturunan orang-orang merdeka, biasa juga disebut Tosama. 5. Wija Ata, ialah keturunan hamba.
61
Tiap individu dalam banyak masyarakat Bone, termasuk dalam salah satu lapisan, walaupun baginya tidak berlaku lagi perbedaan fasilitas-fasilitas lapangan kerja seperti sediakala. Dewasa ini sedang mengalami proses perubahan, namun sering menyatakan diri terutama kalau akan terjadi perkawinan, klafikasi darah muncul jadi persoalan secara diam-diam tapi dengan tajam.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Latar Belakang Informan Pada penelitian yang dilakukan menggunakan etnografi komunikasi peneliti kemudian memilih dan mewawancarai sejumlah informan yang relevan memahami, menjalankan simbol dan makna dalam prosesi perkawinan adat suku Bugis khususnya suku Bugis Bone. Berikut latar belakang beberapa informan yang telah memberikan sumbangsih informasi yang bermanfaat kepada penulis dalam melakukan penelitian ini adalah : Informan yang pertama, yaitu Abidin sehari-hari beliau bekerja sebagai pengelola Saoraja museum Lapawawoi yang beralamat di Jalan MH Thamrin Museum Lapawawoi Kabupaten Bone beliau juga dikenal sebagai budayawan Bugis oleh masyarakat Bone. Abidin, sapaan akrab beliau dianggap merupakan tokoh budaya Masyarakat Bone yang juga merupakan putra bungsu dari Andi Mappasissi atau lebih dikenal dengan Petta Awangpone yang dalam masyarakat Bone termasuk pemangku adat yang ikut melestarikan kebudayaan Bone. Informan yang kedua adalah Rahman (mammi’ fitri) berusia 50 tahun pengelola Bola Soba yaitu Soraja (rumah raja Bugis) rumah tinggal panglima perang kerajaan Bone di masa pemerintahan Raja Bone XXXII tahun 1895-1905, yaitu Andi Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta Ponggawae salah seorang putra Raja Bone XXXI (Lapawawoi Karaeng Sigeri). Namun setelah kerajaan Bone di bawah kekuasaan
62
63
Belanda, rumah ini dijadikan sebagai penginapan para tetamu dari kalangan penguasa ketika itu, sehingga seterusnya menjadi lazim dengan sebutan “Bola Soba”. Bola yang sekarang ini juga dijadikan sebagai sarana berbagai kegiatan seni dan budaya di daerah ini, mammi’ Fitri lah yang mengatur segala sesuatu kegiatan dirumah itu. Mammi’ Fitri juga merupakan seorang Indo’ botting yaitu seseorang yang dipercaya untuk mengerjakan suatu perkawinan adat dikalangan masyarakat Bugis Bone, dimulai dari merias pengantin, perlengkapan pelantin, bahkan setiap tahapan adat perkawinan Bugis Bone yang dilalui oleh pengantin diurus oleh mammi’ Fitri. Informan yang terakhir adalah Andi Immank, pria yang berusia 32 tahun ini menjabat sebagai wakil sekertaris dewan kesenian Bone, dan juga sebagai protokeler diberbagai acara adat di Kabupaten Bone termasuk protokoler perkawinan. Andi imran sapaan untuk narasumber penulis yang satu ini, Andi Imran tinggal di Jalan Lapawawoi no. 10 Kab. Bone, Andi Imran sudah mendalami karirnya sebagai protokoler acara adat pada saat usia 20 tahun, keahliannya sebagai protokoler diperoleh dari mengikuti sanggar Bola Soba yang ditekuninya sejak duduk dibangku SMP dan mulai memberanikan diri pada usianya menginjak usia 20 tahun. Awalnya karena permintaan keluarga, dan orang-orang disekitarnya hingga kini Andi Imran dipercayai untuk memprotokoleri perkwaninan adat Bugis Bone diberbagai daerah di Indonesia.
64
B. Tahapan Prosesi Perkawinan Adat Bugis Bone Konsep suatu perkawinan bagi masyarakat Bugis Bone,merupakan sesuatu yang sakral dan sangat penting. Tetapi melalui beberapa fase dengan rentang waktu yang agak panjang serta melibatkan orang tua, kerabat dan keluarga. Perkawinan dianggap ideal apabila prosesi-prosesi yang telah menjadi ketentuan adat dan agama tersebut dilalui. Perkawinan dianggap sangat penting dalam kehidupan seseorang, karena merupakan babak baru untuk membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari suatu masyarakat. Sesuai dengan sifat dan watak orang Bugis Bone yang religius dan mengutamakan kekeluargaan, maka untuk menuju kepada suatu perkawinan diperlukan partisipasi keluarga dan kerabat untuk merestui perkawinan tersebut. Sebelum acara perkawinan dilangsungkan maka ada beberapa prosesi adat yang harus dilalui, prosesi-prosesi tersebut adalah sebagai berikut: b. Mammanu’ manu adalah merupakan langkah awal yang dilakukan oleh orang tua laki-laki yang bermaksud mencarikan jodoh (pasangan) anaknya yang akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Mammanu’manu artinya melakukan kegiatan seperti burung yang terbang kesana kemari, tujuannya adalah untuk menemukan seorang gadis yang kelak akan dilamarnya. Setelah menemukan seorang gadis yang menurut pertimbangan bisa dijadikan isteri oleh anaknya, maka dilanjutkanlah kegiatan itu kepada langkah selanjutnya yang disebut “mappese’pese’ (menyelidiki). Setelah pihak perempuan mendengar bahwa pihak laki-laki benar ingin melamar,
65
dengan segala kerendahan hati pihak perempuan akan berkata “narekko makkoitu adatta- soroni tangngaka-nakubali tangnga toi. (kalau begini maksud anda, kembalilah mempelajari keluarga kami dan saya juga mempelajari keluarga anda)”. c. Massuro (meminang) yaitu mengutus beberapa orang ke rumah perempuan yang akan dilamar, biasanya orang yang diutus tersebut adalah orang-orang yang mengetahui tentang seluk beluk cara meminang. Pertama-tama ia harus mengemukakan maksudnya dengan penuh sopan santun agar orang tua dan keluarga perempuan yang akan dilamarnya tidak merasa tersinggung. Salah seorang dari rombongan to’ madduta mengemukakan maksud kedatangannya dengan kata-kata yang halus yang bersifat ungkapan-ungkapan yang bermakna. Sementara orang yang menerimanya juga menjawabnya dengan kata-kata yang halus serta penuh makna simbolis. Berikut ini adalah salah satu contoh dialog antara to-madduta dengan to riaddutai: - To madduta : Iyaro bunga puteta-tepu tabakka toni- engkanaga sappo na? (Bunga putih yang sedang mekar, apakah sudah me miliki pagar?). + To riaddutai: De’ga pasa ri kampotta- balanca ri liputta mulincoma
66
bela? (apakah tidak ada pasar dikampung anda, jualan ditempat anda sehingga anda pergi jauh?). -To madduta: Engka pasa ri kampokku- balanca ri lippuku- naekaiya nyawami kusappa (ada pasar dikampungku, jualan di tempatku, tetapi yang kucari adalah hati yang budi pekerti yang baik). +To riaddutai: Iganaro maelo ri bunga puteku-temmakkedaung temak Temakkecolli (siapakah yang berminat terhadap bunga putihku, tidak berdaun tidak pula berpucuk). Sementara pihak perempuan segera melakukan musyawarah dengan keluarganya untuk membicarakan hal berbagai hal seperti besarnya uang belanja, uang mahar, serta hari pernikahan. Pihak laki-laki pun kembali melakukan hal yang sama guna membicarakan persiapan menjelang perkawinan. d. Mappettu ada, setelah terjadi kesepakatan bahwa lamaran pihak laki-laki telah diterima baik oleh pihak orang tua perempuan, maka ditentukanlah waktu pelaksanaan acara mappetu ada yaitu memutuskan segala apa yang diperlukan dalam pelaksanaan pernikahan nanti. Dalam acara mappetu ada, dibicarakan berbagai hal yang berhubungan dengan pernikahan yang meliputi:
67
Tanra Esso: penentuan hari pernikahan baik laki-laki maupun pihak perempuan mempertimbangkan tentang waktu-waktu luang bagi keluarga. Misalkan saja apabila keluarga tersebut terdiri dari petani maka dipilh waktu pada saat selesai panen, sedangkan apabila keluarga terdiri dari pegawai maka dipilih pada waktu libur atau hari minggu.
Doi menre: sesudah menetapkan hari pernikahan (tanra esso), maka hal yang paling penting adalah besarnya uang naik yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Sekarang ini untuk menetapkan uang belanja pihak perempuan selalu melihat harga yang berlaku dipasaran. Kalau pihak perempuan menghendaki pesta pernikahan itu ramai, maka uang belanja yang diminta juga tinggi, kecuali kalau antara laki-laki dan perempuan ada saling pengertian, maka biasanya diserahkan saja kepada laki-laki tentang berapa kemampuannya. Menurut aturannya uang belanja ini merupakan biaya yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam rangka pelaksanaan pesta pernikahan tersebut. Dalam acara mappetu ada tersebut memang telah dibicarkan dan disepakati apabila sesudah menikah dan terjadi masalah, misalnya laki-laki tidak mampu memberi nafkah batin kepada isterinya maka, sehingga terjadi perceraian maka uang belanja tersebut tidak dikembalikan.
68
Sompa (mahar) adalah pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, baik itu berupa uang atau benda, sebagai salah satu syarat sahnya pernikahan. Jumlah sompa sebagaimana yang diucapkan oleh mempelai laki-laki pada saat akad nikah, menurut ketentuan adat jumlahnya bervariasi menurut tingkat kebangsawanan seseorang. Sompa yang berlaku sejak lama di daerah Bugis, dinilai dengan mata uang lama yang di sebut real (orang Bugis menyebutnya rella). Bagi bangsawan tinggi sompa dinyatakan dengan kati senilai 88 real, ditambah satu orang hamba atau ata senilai 40 real dan satu ekor kerbau senilai 25 real. Sompa bagi perempuan dari kalangan bangsawan tinggi disebut sompa bocco yang bisa mencapai 44 kati. Sedangkan bagi perempuan dari kalangan bangsawan menengah kebawah hanya satu kati, bagi orang baik-baik setengah kati, dan bagi kalangan orang biasa hanya seperempat kati.
e. Mappasiarekeng dan Mappaenre balanca yaitu dalam pelaksanaannya orang biasa menggabungkan pada acara mappetu ada dengan acara mappasiarekang dan mappaenre balanca. Itu tergantung dari kesempatan kedua belah pihak calon pengantin dengan berbagai pertimbangan misalnya,
mengirit
biaya
dan
mengefesienkan
waktu.
Acara
mappasierekeng yaitu menguatkan kembali apa yang telah dibicarakan dan mappaenre balanca yaitu membawa sejumlah uang belanja sesuai
69
dengan kesepakatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan pada saat mappetu ada. Rombongan pihak laki-laki terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berpakaian adat dan dipimpin oleh seseorang yang dituakan. Begitu pula perempuan menyambut kedatangan rombongan pihak laki-laki dengan pakaian adat pula. Pihak
laki-laki
membawa
sirih
pinang
untuk
mappaota
(menyuguhkan sesuatu) berupa tujuh ikat daun sirih, tujuh biji buah pinang, tujuh bungkus kapur, tujuh bungkus tembakau. Semua jenis benda tersebut mengandung makna penghargaan kepada calon mempelai wanita termasuk seluruh keluarganya. Selain itu, pihak laki-laki membawa pula barang berupa satu buah cincin dan dua lembar sarung. Cincin dan sarung tersebut dipasangkan kepada calon mempelai wanita setelah acara mappasierekeng selesai. Cincin dan sarung tersebut dimaksudkan sebagai tanda ikatan yang dalam bahasa Bugis disebut passeo dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita. Kebiasaan suku Bugis pada masa lampau yaitu mengunyah daun sirih, maka pemberian daun sirih dengan segala kelengkapannya, seperti pinang, tembakau, gambir, kapur dan lain-lain merupakan penghargaan yang tinggi pada masa lampau. (Abidin) f. Mappada atau mattampa (mengundang) yaitu dilakukan baik oleh pihak laki-laki maupun pihak perempuan untuk memberi informasi kepada segenap keluarga, handai tolan tentang akan dilaksanakannya pesta pernikahan tersebut. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan tujuh hari
70
sebelum acara puncak. Dahulu sebelum adanya alat percetakan, kegiatan mappada atau mattampa dilakukan oleh beberapa orang wanita atau laklaki untuk menyampaikan secara lisan kepada segenap keluarga tentang rencana pernikahan tersebut. tersebut. Oleh kerena itu, kegiatan ini disebut juga madduppa atau mappaisseng. Orang yang melakukan kegiatan madduppa atau mattampa itu, terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat lengkap. Biasanya berpasang pasangan yaitu jumlah laki-laki sama dengan jumlah perempuan. Selain itu, jumlah orang yang akan melakukan kegiatan mappada atau mattampa disesuaikan dengan tingkat kebangsawanan orang yang akan ripada. Kalau orang yang akan ripada atau ritampai tersebut tergolong bangsawan tinggi, maka pattampa berjumtah 12 orang, bangsawan menengah enam orang, dan masyarakat biasa empat atau dua orang. (Mammi’ Fitri) g. Mappasau (mandi sauna) yaitu beberapa hari sebelum pesta pernikahan dilaksanakan, calon mempelai wanita dirawat dengan cara mappasau (mandi uap). Tujuan adalah agar keringat dan bau badan menjadi segar. Setiap mandi pagi atau petang diharuskan memakai bedda lotong (bedak hitam) yang terbuat dari beras yang digoreng sampai hangus lalu ditumbuk sampai halus. Disamping itu, selama beberapa hari sebelum pesta pernikahannya, calon mempelai wanita diharuskan selalu memakai
71
bedak basah atau lulur. Hal ini dilakukan agar kulit calon mempelai wanita kelihatan bercahaya. Dalam masyarakat Bugis Bone ada semacam kepercayaan bahwa calon mempelai itu mudah terkena bahaya yang disebut raporaponna (rentang dengan bahaya), karena itu maka itu kedua calon pengantin melakukan prosesi ini sebagai tolak bala. (Mammi’ Fitri) Dahulu kala ritual ini dilaksanakan selama 40 hari, dewasa ini hanya 3 hari atau 7 hari atau malah hanya 1 kali sebelum acara tudampenni atau mappacci. (Andi Immank) h. Cemme passili (mandi tolak bala) dilakukan sebagai permohonan kepadaAllah SWT agar dijauhkan dari segala macam bahaya. Acara ini dilaksanakan pada pagi hari ketika matahari mulai muncul di sebelah timur. Cemme passili dilakukan oleh calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita untuk memasuki acara - mappacci pada malam harinya. Tata cara pelaksanaannya dipandu oleh indo' botting (juru rias pengantin) dengan mendudukkan calon mempelai di atas sebuah kelapa yang masih utuh yang diletakkan di atas loyang besar. Calon mempelai memakai baju dan sarung yang baru yang sebentar akan diserahkan kepada indo' botting yang memandikannya. Selama prosesi mandi tolak bala itu berlangsung, lilin (dahulu pesse pelleng) harus selalu manyala. Air yang akan digunakan untuk cemme passili harus dilekke (diambil) dengan suatu acara khusus yang dilakukan oleh indo' botting.
72
Disamping itu, air yang akan dimandikan kepada calon mempelai tersebut dicampur dengan ramuan-ramuan seperti yang dipakai pada saat mandi sauna (mappasau). Dari beberapa sumber disebutkan bahwa sumber air yang akan digunakan biasanya berasal dari beberapa sumur bersejarah dan masih dianggap punya kelebihan (keramat) dibanding sumber air biasa. Sumur yang dianggap suci di masyarakat Bone ini ada beberapa diantaranya yaitu: 1)
Bubung Manurungé disebut juga bubung Cemma yang terletak di jalan Manurungé (tidak ada lagi)
2)
Bubung Lassonrong disebut juga bubung Suwabeng terletak di sekitar jalan Lassonrong sekarang jalan Irian.
3)
Bubung Laccokkong yang terletak di sekitar jalan Serigala dilingkungan Laccokkong Kel. Watampone
4)
Bubung Lagaroang yang terletak di Kelurahan Bukaka
Adapun bahan-bahan yang akan digunakan adalah: • Daun sirih simbol harga diri • Daun serikaja simbol kekayaan • Daun waru simbol kesuburan • Daun tebu simbol kenikmatan • Daun ta’baliang simbol penangkis bala • Bunga cabbéru simbol keceriaan • Daun cangadori simbol penonjolan
73
• Maja alosi atau mayang pinang Kedelapan bahan tersebut dimasukkan ke dalam gentong atau loyang terbuat dari tanah liat sebagai simbol lekat atau saling melengket yang telah dialasi dengan semacam tikar yang disebut okkong atau appereng sebagai simbol jalinan kebersamaan. Setelah semuanya siap maka dilakukanlah penyiraman pertama yang dilakukan oleh indo’ botting dengan membaca Basmalah kemudian dilanjutkan dengan membaca beberapa doa kiranya Allah SWT senantiasa memberikan berkah –Nya kepada calon mempelai. Penyiraman dimulai dengan: Kepala 3x kemudian selangkah atau bahu kanan 3x. Bahu kiri 3x, punggung dan seluruh badan sebanyak 3x, sesudah indo’ botting mempersilahkan kepada sesepuh atau keluarga lainnya untuk melakukan hal yang sama. Setelah selesai maka air itu pun dipercikkan ke arah luar pintu rumah dengan maksud agar semua yang tidak baik keluar pula melalui pintu. Sesudah cemme passili’ atau mappassili’ selesai maka calon mempelai baik itu laki-laki maupun perempuan disilakan mandi seperti biasa. Calon mempelai perempuan kemudian memakai: • Waju tokko warna merah jambu • Lipa’ sabbé warna hijau dan perhiasan sekedarnya. Calon mempelai pria bisa memakai: • Waju belladada (warna tidak ditentukan)
74
• Lipa’ sabbé yang serasi • Songko’ pamiring Dahulu, masyarakat Bugis menggunakan air dari sumur yang dianggap keramat. Tetapi sekarang karena hal seperti itu sulit untuk dilakukan, maka orang yang akan melakukan cemme passili cukup mengambilnya dari sumber air yang ada dalam rumah. (Abidin) i. Mappacci berasal dari kata pacci (daun pacar) yaitu semacam tumbuhan yang oleh orang Bugis daunnya biasa digunakan sebagai belo kanuku (hiasan atau pemerah kuku), terutama pada saat memasuki bulan ramadhan. Kemudian dari kata pacci dikonotasikan menjadi kata paccing (bersih atau suci) yang diyakini akan memiliki makna bagi kedua calon mempelai. Dengan demikian acara mappacci mempunyai arti simbolis yaitu kebersihan dan kesucian sebagai suatu unsur yang sangat diperlukan sebelum memasuki acara puncak dari prosesi perkawinan. Acara mappacci disebut juga tudampenni (duduk malam) dilaksanakan di rumah masing-masing calon mempelai pada malam hari
sebelum
pelaksanaan resepsi pernikahan yang disebut tudabbotting (duduk pengantin) pada malam berikutnya. Pelaksanaan acara mappacci ini hanya dihadiri oleh kerabat, keluarga dan tetangga terdekat kedua calon mempelai. Sebelum acara mappacci atau tudampenni dilaksanakan, pada sore harinya keluarga kedua calon mempelai melakukan kegiatan yang disebut mallekke' pacci (pengambilan daun pacci/pacar). Kalau calon
75
mempelai tersebut adalah keturunan bangsawan, maka tempat malekke' pacci dilakukan di rumah raja atau pemangku adat. Sedangkan bagi calon mempelai yang hanya berasal dari orang kebanyakan (masyarakat biasa), maka tempat mallekke pacci dilakukan dirumah kerabat terdekatnya saja. Apabila calon mempelai berasal dari keturunan bangsawan, maka yang melakukan mallekke' pacci adalah keluarga yang terdiri atas pria dan wanita, tua, muda, dengan pakaian adat lengkap. Iring-iringannya adalah sebagai berikut: 1.
Pembawa tombak
2.
Pembawa tempat sirih
3.
Pembawa bosara yang berisi kue-kue
4.
Pembawa daun pacci yang dipayungi dengan lellu
5.
Pembawa alat bunyi-bunyian berupa gendang, gong, anabbeccing dan lain-lain. Apabila calon mempelai tersebut berasal dari orang kebanyakan,
maka yang akan melakukan mallekke' pacci cukup satu atau dua orang keluarga terdekatnya juga dengan pakaian adat lengkap. Langsung melakukannya di rumah kerabat calon mempelai atau langsung mengambil daun pacci dari pohonnya. Acara mappacci oleh masyarakat Bugis diyakini mengandung makna simbolis kebersihan dan kesucian bagi calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan. Artinya baik calon mempelai laki-laki rnaupun calon mempelai wanita dianggap masih suci dan
76
bersih, oleh karena itu bagi calon mempelai yang berstatus janda atau duda, tidak lagi ada acara mappacci. (Abidin) Kebiasaan lain masyarakat Bugis Bone yaitu akan menggelar Barasanji pada saat mengadakan hajatan baik itu berupa perkawinan, pemakaman, selamatan kelahiran atau acara ritual semacamnya, jika pada upacara perkawinan maka pembacaan Barasanji diadakan dan diikuti dengan upacara mappaenretemme’ yang dirangkaikan dalam upacara malam mappaci. (Andi Immank) j. Mappaenre botting sebagai acara puncak prosesi perkawinan adalah saat mappaenre botting yaitu mempelai laki-laki diantar ke rumah mempelai wanita. Pada hari itu orang Bugis menyebutnya mata gau' (puncak acara), atau biasa juga disebut sebagai esso appabbottingeng (hari pengantin). Orang-orang yang mengantar mempelai laki-laki ke rumah mempelai wanita disebut pampawa botting (pengantar pengantin) yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat. Setelah berada di depan rumah mempelai wanita, mempelai laki-laki bersama pengiringnya dijemput oleh keluarga perempuan yang berjumlah empat orang atau lebih terdiri dari laki-laki atau perempuan. Mereka berpakaian adat dan membawa sirih pinang (sekarang rokok) atau benda apa saja sebagai tanda bahwa mempelai laki-laki berserta rombongannya telah diperkenankan memasuki rumah mempelai wanita. Sedangkan dari calon mempelai laki-laki membawa leko' (sirih pinang). Mappaenre leko' biasanya dilakukan dua kali, pertama pada acara mappasiarekeng atau
77
meppetu ada yang disebut leko' caddi: Kedua pada acara mappaenre botting atau acara pernikahan yang disebut leko' lompo. Perbedaannya hanya dari segi jumlah barang yang dibawa, yaitu leko' caddi jumlahnya sedikit, sedangkan leko lompo jumlahnya banyak dan lebih lengkap. Misalnya, kalau calon mempelai wanita adalah keturunan bangsawan tinggi, maka jumlah bosara yang berisi kue-kue tradisional sebanyak 14 buah. Disamping itu, bosara yang jumlahnya 12 atau 14 buah berisi kue-kue tradisional seperti onde-onde, cucuru' te'ne, baje', dodoro', doko'doko' utti, dan sebagainya. Selanjutnya alat-alat kecantikan, alat-alat untuk mandi, pakaian dan perhiasan sesuai kemampuan pihak laki-laki. Sedangkan bagi orang biasa jumlahnya hanya sampai 12 buah. Bahkan ada yang mengharuskan calon mempelai laki-laki membawa dua ekor ayam (jantan dan betina) yang oleh orang Bugis disebut pattampa baja (pengundang siang). Sementara di depan pintu rumah mempelai wanita berjejer sejumlah penjemput laki-laki dan perempuan dengan pakaian adat. Seorang perempuan tua menunggu di pintu sambil menebarkan beras ke arah mempelai laki-laki dituntun menuju lamming (pelaminan) yang telah tersedia dan para pengiringnya disilahkan mengambil tempat untuk duduk. Beberapa saat kemudian, akad nikahpun dimulai dengan tuntunan wali atau pegawai syara' yang ditunjuk sebagai wakil dari orang tua mempelai wanita. Dengan menggenggam tangan imam,
78
pengantin laki-laki mengulangi ikrar-wajib sesuai ketentuan agama Islam, kemudian menandatangani buku nikah. Imam menanyakan apa bentuk mahar dan kadang-kadang seorang imam juga menanyakan uang belanja dan dicatat oleh pegawai KUA. Salah seorang wali pengantin laki-laki menyerahkan uang belanja kepada keluarga mempelai wanita. Setelah mengucapkan ijab qabul (akad nikah) dan proses penyerahan mahar dan uang belanja dari wali pengantin lakilaki kepada keluarga pengantin perempuan, maka mempelai laki-laki dituntun oleh seorang laki-laki yang berpengalaman masuk ke kamar mempelai wanita untuk makkarawa (memegang) bahagian-bahagian tubuh mempelai wanita sebagai tanda bahwa keduanya sudah sah untuk bersentuhan. Tetapi menurut adat kebiasaan, pemegang kunci pintu kamar mempelai wanita tidak akan membuka pintu sebelum diberi uang oleh pengantar mempelai laki-laki yang disebut pattimpa tange' (pembuka pintu). Begitu pula ketika mempelai laki-laki telah berada dalam kamar, tidak akan lagi dibukakan kelambu sebelum mengeluarkan uang yang disebut pattimpa boco' (pembuka kelambu). Setelah semuanya dipenuhi oleh pengantar mempelai laki-laki, barulah mempelai laki-laki diperkenankan duduk dekat pengantin wanita untuk melakukan sentuhan yang dipandu oleh pengantar. Menurut kebiasaan, pengantar mempelai laki-laki berusaha untuk mengarahkan
79
mempelai laki'-laki agar dapat menyentuh bagian tubuh mempelai wanita yang dianggap memiliki makna simbolis. Kemudian mempelai laki-laki memasangkan cincin di jari pengantin wanita dan duduk disampingnya selama beberapa saat sebelum mereka dipandu kembali untuk menyalami orang tua pengantin wanita. Pengantin laki-laki berusaha menyentuh ubun-ubun mempelai wanita atau bagian leher dengan harapan setelah menjadi isteri yang sah akan selalu tunduk kepada suaminya. Ada pula yang maraba perut, dengan harapan bahwa kehidupannya kelah akan mengalami kesulitan. Oleh masyarakat Bugis/Makassar, begitu pula masyarakat Mandar menyakini bahwa sentuhan pertama sang suami akan menentukan berhasil tidaknya membina rumah tangga dikemudian hari. (Mammi’ Fitri) k. Mapparola yaitu acara mempelai perempuan diantar oleh keluarga dan sanak saudaranya ke rumah mempelai laki-laki. Pelaksanaannya biasanya setelah acara akad nikah biasanya dua atau tiga jam setelah kedatangan pengantin laki-laki atau keesokan harinya, dengan pakaian seperti pada hari pernikahan. Acara perkawinan tersebut berpindah dari rumah mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki yang dihadiri oleh para undangan. Sebagai tanda syukur pihak keluarga pengantin laki-laki kembali mappaota (memberi sesuatu) kepada mempelai perempuan. Ketika rombongan pengantin wanita tiba dirumah pengantin laki-laki, pengantin
wanita
belum
boleh
meninggalkan
kendaraan
yang
80
ditumpanginya sampai mertuanya datang menjemputnya. Pihak pengantin wanita akan mengiringi pasangan baru itu sebelum diterima dan dipersilahkan duduk seperti tata cara yang dilakukan pihak perempuan ketika menerima pihak laki-laki. Sesaat sebelum pengantar pengantin wanita pergi maka pengantin perempuan akan membawa pemeberian sarung kepada ibu pengantin laki-laki dan menyerahkan sarung itu kepadanya. Orang tua pengantin wanita dalam masyarakat Bugis Bone tidak pernah ikut kerumah besannya karena dianggap tidak patut bagi mereka untuk mengunjungi menantu barunya sampai pihak lakilaki telah mengunjungi mereka dalam acara Massita baiseng (Andi Immank) l. Resepsi, apabila resepsi dilakukan pada malam itu juga, dan diselenggarakan pihak pengantin wanita di ruang resepsi atau oleh kedua belah pihak di tempat yang disewa. Jika pihak wanita melangsungkan resepsi siang dan resepsi malam, maka pihak pengantin pria akan melaksanakan respsi pada hari berikutnya. m. Menginap tiga malam dan pertemuan antar besan yaitu pada hari ketiga, kedua mempelai kembali ke rumah mempelai perempuan, tetapi tidak lagi berpakaian pengantin. Begitu pula pengantarnya tidak lagi seramai ada saat mappaenre botting dan mapparola. Baik mempelai maupun pengantar yang dalam bahasa Bugis disebut pampawa, semuanya berpakaian biasa.
81
Pada malam harinya orang tua mempelai laki-laki datang ke rumah mempelai perempuan massita baiseng (menemui besan). Kemudian pada hari keempat, kedua mempelai kembali ke rumah mempelai laki-laki untuk mabbenni tellumpenni (bermalam tiga malam). Pengantarnya hanya terdiri dari keluarga dekat pengantin perempuan seperti orang tua atau saudaranya. Tetapi sekarang ini pada umumnya mabbenni tellumpenni itu hanya dilaksanakan satu malam saja. Dengan selesainya prosesi tersebut, maka selesailah sudah rangkaian acara perkawinan dan kedua pasang suami isteri tersebut siap memulai hidup baru. Acaraacara lainnya seperti kunjungan keluarga, ziarah kubur dan lain-lain, dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara keduanya. Berikut tahapan prosesi perkawinan adat Bugis Bone yang ditampilkan dalam bentuk tabel: Tahap perkawinan
Kegiatan yang dilakukan Prosesi Pelamaran
Mammanu-manu
Prosesi mencarikan jodoh dari keluarga laki-laki
Massuro
Setelah mendapatkan pilihannya maka dilakukan pelamaran ke keluarga perempuan
Mappettu ada
Membicarakan kesepakatan mengenai hari pernikahan, sompa, dan doi' balanca
Mappasiarekeng
Menyepakati kembali apa yang telah dibicarakan pada tahap mappettu ada, juga memasangkan cincin kepada pengantin perempuan
Tabel 4.1 Tahapan Prosesi Lamaran Pada Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
82
Tahap perkawinan
Kegiatan yang dilakukan Prosesi sebelum akad nikah
Mappada
Memberi Informasi kepada kerabat dan keluarga tentang akan dilaksanakannya pesta pernikahan
Mappasau
Mandi uap yang dilakukan oleh pengantin perempuan
Cemme passili
Mandi tolak bala yang dilaksanakan kedua mempelai se belum malam mappaci
Mappacci
Sebagai malam renungan bagi calon pengantin juga ber makna sebagai prosesi prosesi penyucian kepada calon pengantin
Tabel 4.2 Tahapan Prosesi Sebelum Akad Nikah Pada Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
Tahap perkawinan
Kegiatan yang dilakukan Tahap akad nikah
Mappaenre botting
Mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perem puan, prosesi ijab kabul, dan juga membawa sompa, leko', dan doi' balanca
Mappasikarawa
Mempertemukan pengantin laki-laki dan pengantin perem puan, pengantin laki-laki menyentuh pengantin perempuan untuk pertama kalinya
Tabel 4.3 Tahapan Akad Nikah pada Prosesi Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
83
Tahap perkawinan
Kegiatan yang dilakukan Prosesi setelah akad nikah
Mapparola
Kunjungan balasan pengantin perempuan ke rumah pengantin laki-laki
Resepsi
Menjamu keluarga dan kerabat dalam sebuah pesta
Menginap tiga malam
Pada malam ketiga kedua mempelai kembali kerumah mempelai perempuan dan bermalam tiga hari selanjutnya pada malam keempat pengantin kembali kerumah laki-laki dan juga bermalam tiga malam
Tabel 4.4 Prosesi Setelah Akad Nikah Pada Prosesi Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012 C. Makna Pesan Simbolik Dalam Upacara Perkawinan Adat Bugis Bone Prosesi perkawinan adat Bugis Bone sarat akan pesan simbolik yang mengandung makna dari setiap prosesinya, baik itu verbal maupun non verbal selaras dalam setiap prosesinya. Berikut hasil eksplorasi penulis mengenai makna prosesi simbolik pada perkawinan Bugis Bone. a. Mappettu ada Beberapa gambar akan membantu penulis dalam mendiskripsikan makna dari prosesi-prosesi yang terangkai dalam acara mappettu ada.
84
Gambar 4.1: Prosesi mappettu ada, kedua keluarga saling berunding mencapai kesepakatan bersama. Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Pada gambar 4.1 pertemuan dari keluarga calon mempelai wanita menyambut pelamaran keluarga calon mempelai laki-laki, dalam situasi diatas pesan verbal yaitu baik tulisan maupun bahasa digunakan. Sedangkan dalam pesan non verbal yaitu kedekatan dan ruang yang mencakup wilayah sosial yaitu kedekatan yang berjarak antara 4 sampai 12 kaki, masih simbol non verbal kedekatan dan ruang dari segi terrritory dari sudut ruang dan posisi pertemuan
ini
mempunyai
posisi
saling
berhadapan
dimana
untuk
menyampaikan lamaran dan berunding diantara dua keluarga dapat berlangsung efektif. Selain dari kedekatan dan ruang pesan non verbal yang ada pada situasi gambar diatas yaitu paralanguage digunakan pada saat masing-masing utusan kedua belah pihak keluarga saling berbalas sajak atau pantun dalam melamar sang calon pengantin wanita.
85
Gambar 4.2: Prosesi pemasangan cincin kepada calon mempelai wanita dari keluarga calon mempelai laki-laki Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Pada gambar 4.2 pesan non verbal yang terdapat pada situasi ini yaitu artifak dan visualisasi dimaksudkan sebagai pemasangan cincin emas dari calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan yang disebut juga sebagai passeo’ pada masyarakat Bugis Bone sebagai tanda ikatan calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita. b.
Mappassau
Gambar 4.3: prosesi mappasau, pengantin perempuan duduk diatas sebuah tungku lalu ditutupi selembar sarung Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
86
Pada prosesi mappassau seperti gambar diatas, peralatan yang digunakan yaitu belanga yang terbuat dari tanah liat, belanga tersebut berisi air yang dicampur dengan ramuan, seperti daun sukun, daun pandan, rampa patappulo (rempah 40 macam) dan akar-akar yang harum. Belanga yang berisi air dan ramuan tersebut ditutup mulutnya dengan daun pisang dan diletakkan di atas tungku. Setelah mendidih, belanga tersebut diangkat dan diletakkan disuatu tempat, kemudian calon mempelai wanita disuruh untuk berdiri diatasnya dengan berselimut sarung. c. Cemme passili
Gambar 4.4: Prosesi cemme passili calon pengantin dimandikan oleh indo’ botting dengan menggunakan rempah-rempah yang mengandung makna simbolis Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Pada saat acara mappasau dan cemme passili makna dari simbol non verbal yang pada prosesi ini adalah bau, dimana perlengkapan dari prosesi mappasau dan cemme pasili yaitu terdiri dari rempah-rempah, akar-akaran, dan bunga-bungaan yang mengeluarkan bau harum, pada masyarakat Bugis Bone dipercaya dapat menolak
87
bala kepada sang calon pengantin. Karena dalam kepercayaan masyarakat Bugis Bone, bahwa calon mempelai itu mudah terkena bahaya yang disebut raporaponna. d.
Mappacci
Gambar 4.5: Keluarga pengantin memberikan daun pacci ditangan pengantin Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Dalam prosesi mappacci, pesan vebal seperti bahasa, yang digunakan protokoler acara untuk membimbing jalannya acara dimalam mappacci. Biasanya dengan menguraikan satu persatu makna simbolik dari berbagai kelengkapan mappacci, juga memanggil orang-orang yang telah dipilih oleh keluarga calon pengantin untuk memberi daun pacar ditangan pengantin pada malam mappacci. Adapun simbol non verbal pada prosesi mappacci yaitu: a. kinesik, yaitu pada saat calon pengantin menengadahkan telapak tangannya keatas yang memberi isyarat bahwa calon pengantin siap diberikan daun pacar, affect displays tidak jarang pada malam mappacci sang calon pengantin meneteskan air matanya karena perasaan haru pada saat orang tua sang calon pengantin memberi daun pacar ketangan calon pengantin,
88
b. Paralanguage pada saat protokol memberi penekanan-penekanan dalam menguraikan makna dari acara malam mappacci. c. Diam, calon pengantin tidak diperbolehkan berbicara selama prosesi ini berjalan diharapkan sang calon pengantin bersikap mallebi’. d. Waktu, mappacci umumnya diadakan pada malam hari yaitu dengan maksud sebagai malam renungan bagi sang calon pengantin untuk menghadapi kehidupan yang baru pada esok harinya setelah upacara akad nikah. e. Bunyi, pada malam mappaci yaitu adanya tabuhan gendang dan tui-tui (alat kesenian tiup dari Sulawesi selatan) pada saat pembawa lilin menjemput orang tua yang akan memberi daun pacar kepada calon pengantin. f. Artifak dan visualisasi, berikut makna dari simbol ini:
Pucuk daun pisang yang diletakkan diatas bantal, melambangkan kehidupan yang berkesinambungan, sebagaimana keadaan pohon pisang yang setiap saat terjadi pergantian daun. Bagi masyarakat Bugis diartikan sebagai kelanjutan keturunan.
Sarung Bugis (lipa sabbe) sebanyak tujuh lembar diletakkan secara berlapis-lapis di atas pucuk daun pisang, melambangkan martabat atau harga diri, karena sarung bagi orang Bugis/Makassar di Sulawesi Selatan dan juga bagi orang Mandar di Sulawesi Barat, merupakan penutup aurat. Tujuh lembar mengandung makna kebenaran, yakni tuju dalam
bahasa
Bugis
berarti
benar,
mattujui
berarti
berguna.
89
Berdasarkan
pengertian
ini,
para
keluarga
calon
mempelai
mengharapkan setelah melangsungkan perkawinan, pada hari-hari mendatang keduanya berguna baik bagi dirinya sendiri, maupun terhadap keluarga dan orang lain.
Bantal yang terbuat dari kain, berisi kapuk atau kapas, sebagai alas kepala pada saat tidur, melambangkan kesuburan.
Daun nangka yang dihubung-hubungkan satu sama lainnya sehingga berbentuk tikar bundar, diletakkan diatas tujuh lembar sarung tadi. Daun panasa oleh orang Bugis menghubungkan dengan kata menasa (cita-cita atau pengharapan). Hal ini mengandung makna agar calon mempelai nantinya setelah menikah memiliki pengharapan untuk membina rumah tangga dalam keadaan sejahtera dan murah rezeki.
Benno (kembang beras) ditaruh dalam sebuah piring dan diletakkan berdekatan dengan tempat.daun pacci. Benno memiliki makna agar calon mempelai nantinya setelah berumah tangga dapat berkembang dan berketurunan yang dilandasi cinta kasih, penuh kedamaian dan kesejahteraan.
Pesse' pelleng yaitu alat penerang masa lalu sebelum orang mengenal minyak bumi dan listrik yang terbuat dari kemiri yang ditumbuk halus dan dicampur dengan kapas agar mudah direkatkan pada lidi. Dewasa ini karena pesse' pelleng sudah sulit untuk ditemukan, maka orang
90
menggantinya dengan lilin. Lilin itu ditetakkan berdekatan dengan tempat benno dan daun pacci, yang mengandung makna agar calon mempelai dalam menempuh masa depannya senantiasa mendapat petunjuk dari Allah SWT. e. Mappaenre Botting
Gambar 4.6: prosesi mappaenre botting, kedatangan pengantin laki-laki disambut dengan tari-tarian dari keluraga pengantin perempuan Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Gambar 4.6 menggambarkan pada saat calon mempelai laki-laki tiba di rumah calon mempelai wanita disambut dengan tarian paddupa diiringi tabuhan gendang dan alat musik tui-tui. Sementara beberapa pampawa botting dari calon pengantin pria terlihat membawa leko’ dan sompa, untuk diberikan kepada calon pengantin wanita. Makna simbolik yang ada pada gambar diatas artifak dan visualisasi, dan bunyi. Makna dari leko’ tersebut adalah segala bentuk pengahargaan dari calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin wanita. sedangkan makna dari bunyi tuitui dan tabuhan gendang yaitu iringan musik tari padduppa yang diartikan sebagai tari tradisional Bugis Makassar yang ditujukan untuk memberikan sambutan kepada tamu atau pejabat yang hadir dalam suatu acara dalam hal ini acara perkawinan.
91
Adapun makna simbolik lainnya yaitu waktu prosesi mappaenre botting harus digelar sebelum matahari berada pada puncaknya. Diharapkan rejeki dan kehidupan rumah tangga si pengantin akan terus meningkat seperti matahari yang terus naik ke puncaknya, maka dari itu biasanya orang Bugis Bone melangsungkan akad nikah pada jam 10 pagi dan dan tidak boleh melewati jam 12 siang. (Mammi Fitri) g. Akad nikah
Gambar 4.7: Prosesi ijab kabul pengantin laki-laki dihadapan penghulu Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Pada gamabar 4.7 yaitu pada prosesi ijab qabul sang calon pria menggenggam tangan penghulu dan disaksikan oleh wali laki-laki dari calon pengantin wanita beserta seluruh keluarga yang menghadiri prosesi akad nikah, simbol verbal yang di ucapkan baik dari penghulu maupun dari mempelai laki-laki yaitu berupa ikrar pernikahan. Ijab qabul merupakan syarat sah dalam sebuah pernikahan, seperti halnya sebuah transaksi, maka
ijab qabul merupakan transaksi suci dan sakral yang
langsung berhubungan dengan Allah SWT. Sebuah pernyataan permintaan dan penerimaan yang menyangkut sepanjang kehidupan pengantin, khusunya pengantin perempuan yang dimintakan oleh pengantin pria kepada ayah sang pengantin
92
perempuan. Dalam prosesi verbal telah diucapkan secara lisan oleh mempelai lakilaki,
maka simbol non verbal pada prosesi ini yaitu paralanguage adanya
penekenan-penekan suara yang disampaikan penghulu kepada mempelai pria pada saat membimbing ijab qabul dan juga touching atau sentuhan, makna non verbal menggenggam tangan antara mempelai penganti laki-laki dan penghulu adalah sebuah simbol dimana pengantin laki-laki memohon restu untuk menikahi calon pengantin wanita dan berikrar baik dihadapan wali calon pengantin wanita dan seluruh keluarga yang menghadiri prosesi tersebut tetapi juga berikrar dihadapan Allah SWT beserta malaikatnya yang turut menyaksikan prosesi tersebut.
Gambar 4.8: Penyerahan doi’ balanca dan sompa dari keluarga pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin prempuan Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Setelah pengantin laki-laki mengucapkan ijab kabul maka keluarga dari mempelai laki-laki menyerahkan doi’ balanca dan sompa kepada keluarga pengantin perempuan. Adapun lise sompa berisi dari sejumlah barang yang memiliki makna simbolis yang dipercaya membawa kebaikan bagi pasangan pengantin dikemudian hari, berikut makna artifak dan visualisasi dari barang-barang lise’ sompa tersebut:
93
Beras, merupakan lambang perbekalan rumah tangga
Keping-kepingan panci goreng, sesuatu yang sudah tua, namun masih kuat, tahan lama, meski terbentur keras
Sepotong kunyit, hadiah obat yang sering digunakan untuk bayi, juga kepada orang tua yang baru melahirkan
Buah pala, simbol kesuksesan
Kayu manis, simbol keharmonisan rumah tangga, satu keluarga dengan anak kesayangan tanpa ada percekcokan
Jarum, simbol kemampuan menambal hal-hal secara adil penuh hormat dan kejujuran
Keranjang kecil dan daun lontar, sebagai simbol persatuan, sebagaimana barang itu disimpan dalam satu keranjang
Secarik kain keset, simbol bahwa pengantin laki-laki menyiapkan segala kebutuhan sehingga kemudian, ketika pasangan pengantin bertengkar maka sang istri tidak bisa mengatakan pada suaminya “bila engkau menikahi saya, kamu bahkan tidak membawakan saya pengeset kaki”
Buah nangka, simbol cinta
Daun penno-penno, simbol banyak uang
Pisau, simbol kelahiran anak
Selembar uang, tidak kekurangan uang
94
Belanga, simbol kemudahan dan kecukupan
h. Mappasikarawa
Gambar 4.9: Prosesi mappasikarawa yang dilakukan sang pengantin, indo’ botting memberi bau-bauan kepada sepasang pengantin Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Setelah akad nikah selesai maka dilanjutkan dengan acara mappasiluka atau mappasikarawa. Acara ini merupakan kegiatan mempertemukan mempelai laki-laki dengan pasangannya. Pengantin laki-laki diantar oleh seseorang yang dituakan oleh keluarganya menuju kamar pengantin perempuan. Setiba di kamar, oleh orang yang mengantar menuntun pengantin laki-laki untuk menyentuh bagian tertentu tubuh pengantin perempuan. Ada beberapa variasi bagian tubuh yang disentuh, antara lain:
Ubun-ubun, memegang bahkan menciumnya agar laki-laki tidak diperintah oleh istrinya.
Bagian atas dada, agar kehidupan keluarga dapat mendatangkan rezeki
yang banyak seperti gunung.
Jabat tangan atau ibu jari, diharapkan nantinya kedua pasangan ini saling mengerti dan saling memaafkan.
95
Ada yang memegang telinganya dengan maksud agar istrinya dapat senantiasa mendengar ajaran suaminya.
Adapula yang langsung mencium aroma harum istrinya seperti tradisi yang dilakukan di Arab Saudi.
Dari penjelasan makna simbolik prosesi mappasiluka atau mappasikarawa pada gambar 4.8 maka jelas pesan non verbal pada prosesi ini yaitu kedekatan dan ruang dari segi territory, sentuhan dan bau. i. Mapparola
Gambar 4.10: Pengantin perempuan membawa sarung yang diserahkan kepada mertuanya Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Makna non verbal artifak dan visualisasi disimbolkan dengan pemberian sarung dari pengantin perempuan kepada mertuanya yang diartikan pengantin perempuan memberikan penghargaan dan kasih sayangnya kepada orang tua suaminya. Dengan kegiatan ini diharapkan kedua pasangan ini mampu mencurahkan kasih sayangnya kepada orang tua tanpa ada perbedaan, sehingga kehidupan rumah
96
tangganya senantiasa dinaungi oleh keridhoan orang tua yang berujung kepada keridhoan Allah SWT. j. Resepsi atau Tudang Botting
Gambar 4.11: Tamu undangan memberi selamat kepada sepasang pengantin pada prosesi tudang botting Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Makna simbolik yang ada pada acara resepsi atau tudang botting yaitu kedekatan dan ruang dari segi wilayah umum yang ditunjukkan dari pasangan pengantin duduk disebuah panggung yang juga disebut pelaminan yang telah dihias oleh beragam perlengkapan perkawinan Bugis. Juga makna simbolik sentuhan dapat dilihat ketika para tamu undangan yang datang akan langsung naik kepelaminan untuk menyalami sepasang pengantin baru, yang juga berati memberi doa dan restunya kepada sepasang pengantin agar kelak nantinya membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah.
97
j. Baju Pengantin
Gambar 4.12: Baju pengantin adat Bugis Bone Sumber: Data Primer, diperoleh pada tahun 2012
Pakaian pengantin adat Bugis terlihat lebih rumit dibandingkan pengantin dari adat lainnya, baik dari pengantin wanita maupun pengantin laki-lakinya. Pakaian adat pengantin Bugis Bone yang mengandung simbol artifak dan visualisasi, juga simbol warna pada baju pengantin Bugis mempunyai makna tersendiri pada masyarakat Bugis Bone, berikut uraian dari setiap detail pakaian pengantin tersebut: 1. Pakaian pengantin pria terdiri atas: a. Baju bella dada b. Tope yaitu sejenis sarung yang modelnya sama dengan rok wanita, pinggirnya dihiasi denga emas atau perak
98
c. Sigara' yaitu hiasan penutup kepala d. Passapu dengan ambara yaitu sapu tangan dengan hiasannya e. Keris pasattimpo atau tatarapeng yaitu hulu dan sarungnya terbuat dari emas atau perak f. Potto naga yaitu gelang tangan yang berbentuk ular naga g. Sembang atau selempang h. Sulara (celana) i. Talibennang yaitu pengikat keris j. Maili yaitu sejenis mainan yang tergantung pada keris 2. Pakaian dan Perhiasan Mempelai Wanita terdiri atas: a. Waju ponco (baju bodo) yang dihiasi rante patimbang toboro b. Tope dengan rantenya c. Passapu: selendang dengan mainannya d. Sulara (celana) e. Salepe (ikat pinggang) f. Bossa atau kalaru: gelang bersusun atau getangan panjang g. Lola: gelang tangan bagian atas atau bawah bossa atau kalaru h. Geno mabbute (katung berantai) i. Rante kote: kalung panjang yang diikatkan bila dipakai
99
j. Geno sibatu: kalung yang mainannya hanya satu k. Sima'taiya: pengikat lengan baju l. Bangkara': anting-anting panjang m. Saloko: mahkota n. Pinang goyang: hiasan sanggul berupa kembang yang goyang o. Bunga eka: sunting rambut p. Bunga simpolong: kembang sanggul, q. Poddo simpolong: pembungkus sangkul Setiap mempelai diiringi pula oleh bali botting atau passeppi yang pakaiannya sama dengan mempelai, baik warna maupun modelnya. Dahulu, pakaian adat dalam suatu upacara tertentu yang melambangkan suatu kehidmatan mempunyai pembatasan dari segi warna utamanya bagi perempuan. Warna baju bodo pada zaman dahulu dibatasi pemakainya, antara lain sebagai berikut:
warna hijau hanya untuk putri bangsawan
warna merah lombok atau merah darah untuk gadis remaja
warna merah tua untuk orang yang sudah kawin
warna ungu untuk janda
warna hitam untuk wanita yang sudah tua
warna putih untuk inang pengasuh Sekarang ini tidak ada lagi pembatasan warna pakaian atau perlengkapan penganntin seperti jaman dahulu, sekarang tergantung dari selera pemakainya. Selain itu dalam masyarakat Bugis Bone dikenal pula lipa' (sarung) yang coraknya lebar
100
(cure'lebba'). Pada umumnya lipa' (sarung) dipakai oleh wanita atau laki-laki dengan tidak ada klasifikasi tentang bangsawan atau orang biasa”. (Mammi Fitri) Demikian makna dari prosesi perkawinan adat Bugis Bone, simbol-simbol yang terkandung dalam prosesi perkawinan adat Bugis Bone, baik yang tersirat lewat tahapan pelaksanaannya, maupun lewat perangkat-perangkat kelengkapannya, menggambarkan betapa tingginya nilai budaya yang diwariskan oleh leluhur kita yang tentunya harus tetap dijunjung tinggi dan tetap dilestarikan. Untuk lebih jelasnya berikut makna pesan simbolik yang disajikan dalam bentuk tabel: Prosesi
Mappettu ada
Simbol
Bentuk Simbolik
Makna
Bahasa
Pantun, Musyawarah
Sebagai pengantar untuk menyampaikan maksud dari kelurga laki-laki kepada keluarga perempuan
Kedekatan dan ruang
Posisi duduk
Berunding untuk mencapai kesepakatan mengenai sompa, doi balanca, dan tanggal pernikahan
Paralanguage
Pantun
Berbalas sajak atau pantun meminang pengantin perempuan
Artifak dan visualisasi
Cincin
Pemasangan cincin sebagai tanda ikatan calon peng ngantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan
bugis
Tabel 4.5 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mappettu Ada Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
untuk
101
Prosesi Mappasau
Simbol
Bentuk Simbolik Rampa patappulo
Bau
Makna Sebagai tolak bala kepada calon pengantin
Tabel 4.6 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mappasau Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
Prosesi Cemme Passili
Simbol Bau
Bentuk Simbolik Daun sirih Daun waru Daun tebu Daun ta'baliang Daun Serikaja Daun cangadori Bunga cabberu
Makna Sebagai simbol harga diri Sebagai simbol kesuburan Sebagai simbol kenikmatan Sebagai simbol penangkis bala Sebagai simbol kekayaan sebagai simbol penojolan Sebagai simbol penonjolan
Tabel 4.7 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Cemme Passili Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
102
Prosesi
Mappacci
Simbol
Bentuk Simbolik
Digunakan protokoler untuk membimbing jalannya acara dimalam mappacci
Bahasa
Kinesik
Makna
Menengadahkan tangan keatas
Perasaan haru yang ditunjukkan dari pengantin ataupun keluarga dari si pengantin
Paralanguage
Penekanan-penekanan makna mappacci
protokoler
dalam
Diam
Diharapkan calon pengantin bersikap malebbi'
menguraikan
Waktu
Malam hari
Sebagai malam renungan terakhir kepada calon pengantin untuk menghadapi kehidupan yang baru
Bunyi
Gendang, Tui-tui
Iringan pembawa lilin untuk menjemput orang tua yang akan memberi daun pacci kepada pengantin
Artifak dan visualisasi
Pucuk daun pisang
Melambangkan kehidupan yang berkesinambungan
Lipa sabbe'
Melambangkan martabat dan harga diri
Bantal
Melambangkan kesuburan
Daun nangka
Melambangkan kesejahteraan dan berlimpah rezeki
Benno'
Melambngkan kasih sayang, kedamaian dan kesejahteraan
Lilin
Diharapkan calon pengantin dalam menempuh masa depannya akan selalu diberkahi oleh Allah SWT
Tabel 4.8 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mappacci Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
103
Prosesi
Mappaenre Botting
Simbol
Bentuk Simbolik
Makna
Artifak dan visualisasi
Leko'
Segala bentuk penghargaan yang diberikan pengantin laki-laki kepada pngantin perempuan berupa leko’
Bunyi
Gendang dan tui-tui
Bunyi dari alat musik sebagai iringan musik tari padu ppa untuk memberi sambutan kepada keluarga pengantin laki-laki
Waktu
Pagi hari
Diharapkan rejeki dan kehidupan rumah tangga pengantin akan terus sejahtera seperti matahari naik kepuncaknya
Bahasa
Ijab kabul
Ikrar pernikahan yang diucapkan oleh pengantin laki- laki dihadapan penghulu, wali nikah, saksi beserta keluarga yang hadir
Paralanguage
Adanya penekanan-penekan yang disampaikan penghulu kepada calon pengantin laki-laki
Sentuhan
Permohonan restu pengantin laki-laki untuk menikahi pengantin perempuan
Artifak dan visualisasi
Beras
Merupakan lambang perbekalan rumah tangga
Keping-kepingan panci
Sesuatu yang sudah tua, namun masih kuat, meski terbentur keras
Sepotong kunyit
Hadiah obat yang digunakan untuk bayi
Buah pala
Simbol kesuksesan
Kayu manis
Simbol keharmonisan rumah tangga
Jarum
Simbol kemampuan menambal hal-hal secara adil
Keranjang lontar
kecil
daun
Sebagai simbol persatuan
Secarik kain keset
Simbol pemenuhan kebutuhan
Buah nangka
Simbol cinta
Daun penno-penno
Simbol banyak uang
Pisau
Simbol kelahiran anak
Selembar uang
Tdak kekurangan uang
104
Belanga
Simbol kemudahan dan kecukupan
Tabel 4.9 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mappaenre Botting Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012 Prosei
Simbol
Mappasikarawa
Bentuk Simbol
Makna
Kedekatan dan ruang
Posisi duduk
Mempertemukan pengantin untuk pertama kalinya dalam ikatan perkawinan
Sentuhan
Ubun-ubun
Bermakna agar laki-laki tidak diperintah oleh istrinya
Bagian atas dada
Agar kehidupan keluarganya mendatangkan rezeki yang banyak
Jabat tangan
Diharapakan sepasang pengantin saling mengerti dan memaafkan
Memegang telinga
Agar istrinya senantiasa mendengar ajaran suaminya
Bau
Diharapkan pengantin akan memiliki rasa senasib sepenanggungan dalam menjalani kehidupan rumah tangganya
Tabel 4.10 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mappasikarawa Dalam Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012
Prosesi Mapparola
Simbol Artifak dan visualisasi
Bentuk Simbolik Pemberian Sarung
Makna Sebagai simbol pengahrgaan dan kasih sayang dari pengantin perempuan kepada orang tua suaminya
Tabel 4.11 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Mapparola Dalam Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012Tabel 4.12 Makna Pesan
105
Prosesi
Simbol
Tudang Botting
Bentuk Simbolik
Makna
Kedekatan dan ruang
Penataan tempat
Penataan posisi tempat pengantin duduk menghadap tamu undangan, sebagai makna menjamu setiap tamu undangan yang datang
Sentuhan
Jabat tangan
Setiap tamu undangan akan menjabat tangan pengantin untuk memberi doa dan selamat kepada sepasang pengantin baru
Tabel 4.12 Makna Pesan Simbolik Pada Prosesi Tudang Botting Dalam Perkawinan Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012 Prsesi
Simbol
Baju Pengantin
Bentuk Simbolik
Artifak dan visualisasi Warna
Makna Sebagai nilai estetika dan juga menunjukkan strata kepada pengantin yang memakainya
Hijau
Hanya untuk putri bangsawan
Merah lombok
Untuk gadis remaja
Merah tua
Untuk perempuan yang sudah menikah
Ungu
Untuk perempuan janda
Hitam
Untuk wanita yang sudah tua
Putih
Untuk pengasuh
Tabel 4.13 Makna Pesan Simbolik Pada Pakaian Pengantin Adat Bugis Bone Sumber : Hasil Olahan Data Primer, Tahun 2012 D. Pembahasan Sejalan dengan pendapat Clifford Geertz dalam (Sobur, 2003:178) yaitu kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi,
106
mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini. Sebagai mahluk sosial dan juga sebagai mahluk komunikasi, manusia menggunakan berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh manusia itu sendiri maupun yang berisfat alami. Pada dasarnya simbol-simbol tersebut terbagi atas dua, yaitu simbol verbal dan non verbal. Pada kebudayaaan Bugis terdapat banyak hal yang diungkapkan melalui simbol-simbol yang memiliki makna tertentu yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat suku Bugis itu sendiri. Pada prosesi perkawinan adat dimana simbol-simbol yang terdapat didalamnya memiliki makna tertentu yang diwariskan melalui sejarah. Pada dasarnya simbol dapat dibedakan atas dua macam yaitu simbol verbal dan non verbal. Simbol verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa, bahasa dapat didefinisikan sebagai separangkat kata yang telah
disusun secara berstruktur
sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti. Maka dalam seluruh rangkaian prosesi perkawinan adat Bugis Bone menggunakan simbol verbal yaitu bahasa, dimulai dari tahap pelamaran,sebelum akad nikah, akad nikah, dan sampai tahap setelah akad nikah. Selanjutnya, selain dengan simbol verbal manusia juga memakai simbol non verbal dalam berkomunikasi, simbol non verbal dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk. Maka simbol-simbol non verbal yang terdapat dalam prosesi perkawinan adat Bugis Bone adalah sebagai berikut:
107
a. Kinesik yaitu simbol nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan, adapun dalam prosesi perkawinan Bugis Bone, makna simbol ini ditemukan dalam prosesi mappacci adapu gerakan kinesik tersebut termasuk dalam affect displays. b. Sentuhan yaitu simbol yang dilambangkan dengan sentuhan badan, menurut bentuknya sentuhan dibagi dalam tiga macam yaitu: kinesthetic, sociofugal, dan thermal. Dalam prosesi perkawinan Bugis Bone makna simbol ini ditemukan dalam prosesi ijab kabul, mappasikarawa dan resepsi. c. Paralanguage adalah simbol yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu dibalik apa yang diucapkan adapun dalam prosesi perkawinan Bugis Bone makna simbol ini ditemukan dalam prosesi mappetu ada, mappacci, dan ijab kabul. d. Diam, sikap diam juga merupakan simbol non verbal yang mempunyai arti. Max picard dalam (Cangara, 1998:110) menyatakan bahwa diam tidak semata-mata mengandung arti bersikap negatif tetapi juga bisa melambangkan sikap positif. Pada prosesi perkawinan Bugis Bone makna simbolis dari sikap diam ini juga ditemukan pada saat prosesi mappacci. e. Kedekatan dan ruang (proximity and spatial), adalah simbol non verbal yang menunjukkan kedekatan dari dua objek yang mengandung arti. Kedekatan dapat dibedakan atas territory dan zone, selain dari kedekatan dari segi territory ada juga beberapa ahli yang melihat dari sudut ruang
108
dan posisi. Pada prosesi perkawinan adat Bugis Bone kedekatan dan ruang dapat ditemukan dari segi territorry pada wilayah sosial pada prosesi mappettu ada, segi wilayah intim pada prosesi mappasikarawa dan segi wilayah umum pada acara resepsi. f. Artifak dan visualisasi, hasil seni juga banyak memberi isyarat yang mengandung arti. Artifak selain dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga menunjukkan status identitas diri seseorang atau suatu bangsa. Dalam prosesi perkawinan adat Bugis Bone makna simbolik artifak dan visualisasi ditemukan dalam prosesi mappettu ada, mappacci, mappaenre botting, sompa dan lise’ sompa, mapparola, serta baju pengantin juga sarat akan makna simbolis yang juga termasuk dalam simbol artifak dan visualisasi. g. Warna, juga memberi arti terhadap objek. Hal ini dapat dilihat pada upacara-upacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warnawarni termasuk dalam adat perkawinan Bugis Bone, warna baju bodo atau pakaian yang digunakan pengantin mempunyai makna simbolis yaitu untuk menunjukkan strata sosial si pemakainya. h. Kronemik, waktu mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan sering kali melihat waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi, melaksanakan perkawinan , membeli sesuatu dan sebagainya. Pada upacara perkawinan adat Bugis Bone prosesi mappacci dilaksanakan pada waktu malam hari
109
sedang prosesi aka d nikah dilaksanakan sebelum matahari berada pada posisi puncaknya. i.
Bunyi, banyak bunyi-bunyian yang dilakukan sebagai tanda isyarat yang tidak dapat digolongkan sebagai paralanguage. Bunyi-bunyian dalam prosesi perkawinan adat Bugis Bone dimaksudkan sebagai iring-iringan calon pengantin khususnya pada prosesi mappacci dan mappaenre botting.
j.
Bau (smell), bau juga merupakan simbol non verbal, selain digunakan untuk melambangkan status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan sebagai petunjuk arah. Dalam prosesi perkawinan adat Bugis Bone baubauan
terdapat
dalam
prosesi
cemme
pasili,
mappasau
dan
mappasikarawa. Simbol non verbal yang tidak ditemukan dalam prosesi perkawinan adat Bugis Bone yaitu gerakan mata dan postur tubuh. Sedang simbol non verbal yang lainnya bisa ditemukan dalam setiap prosesi perkawninan adat Bugis Bone yang sarat akan makna yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita untuk terus dipertahankan dan tetap dijaga keasliannya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian penulis mengenai makna simbolik dalam prosesi perkawinan adat Bugis Bone di Kabupaten Bone, maka penulis menarik kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan Banyak makna kehidupan yang dapat dipetik dari prosesi perkawinan adat dalam masyarakat Bugis Bone yang sampai hari ini masih tetap dilaksanakan. Tahap demi tahap pelaksanaannya mengandung nilai-nilai yang sakral sebagai warisan budaya leluhur dari masa ke masa. Maka tahap- tahap tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap lamaran, sebelum akad nikah, akad nikah
dan
setelah akad nikah. 1. Berikut penulis menarik kesimpulan dari setiap tahap-tahap perkawinan adat Bugis Bone: Pada tahap lamaran ada beberapa acara yang biasanya dilangsungkan oleh masyarat Bugis Bone adapun dalam tahap ini yaitu mammanu’ manu yaitu tahap dimana pihak mempelai laki-laki mencarikan jodoh anaknya yang akan berlanjut ke jenjang perkawinan, massuro atau meminang sang calon mempelai wanita namun pihak mempelai laki-laki hanya mengutus beberapa orang dari pihak keluarganya untuk melamara calon mempelai wanita selanjutnya, pada acara mappettu ada dimaksudkan telah terjadinya kesepakatan antara dua
110
111
keluarga baik keluarga laki-laki maupun dari keluarga perempuan . Adapun kegiatan yang pada jaman dahulu yaitu mappasierekeng dan mappaenre balanca dipisahkan dengan acara mappettu ada, tetapi dijaman sekarang masyarakat Bugis Bone menggabungkan dua acara tersebut dengan pertimbangan menghemat waktu dan biaya. Tahap selanjutnya yaitu tahap menjelang akad
nikah dimana segala
sesuatu yang berhubungan dengan kedua mempelai telah dibicarakan pada tahap lamaran, prosesi pertama yaitu
mappada atau mengundang kegiatan ini
merupakan memberi informasi kepada seluruh keluarga dan kerabat mengenai akan dilaksanakannya pesta pernikahan tersebut, menjelang beberapa hari pernikahan maka calon mempelai wanita dirawat dengan cara mappasau, selanjutnya sebelum malam mappaci maka dilakukan cemme passili. malam harinya akan dilaksanakan acara
Pada
mappacci yang begitu banyak
memiliki makna simbolis dan diyakini oleh masyarakat Bugis Bone salah satunya yaitu sebagai kegiatan mensucikan diri dari berbagai hal yang buruk sebelum memasuki hari perkawinan. Pada hari akad nikah pada masyarakat Bugis Bone disebut mappaenre botting sebagai puncak prosesi perkawinan, mempelai laki-laki kerumah calon mempelai wanita untuk melakukan ijab kabul, setelah ijab kabul pengantin lakilaki dituntun menuju kamar istrinya untuk makkarawa prosesi ini juga biasa disebut mappasikarawa oleh masyarakat Bugis Bone.
112
Setelah seluruh tahap akad nikah berlangsung dan sepasang pengantin telah sah menjadi suami dan istri maka berlanjut pada tahap acara setelah akad nikah yaitu mapparola, setelah acara mapparola biasanya kedua pihak pengantin menggelar resepsi pernikahan Setelah resepsi di gelar biasanya ada acara-acara lainnya seperti ziarah kubur, kunjungan keluarga dan lain-lain berdasarkan kesepakatan dua keluarga. Maka berakhirlah seluruh tahap-tahap perkawinan dalam adat Bugis Bone. 2. Perkawinan adat Bugis Bone sarat akan makna simbolik yang terkandung didalamnya baik dari prosesi perkawinannya maupun perlengkapannya, adapun pesan simbolik baik verbal maupun non verbal pada prosesi mappetu ada yaitu simbol verbal baik itu bahasa maupun tulisan sedang dalam simbol non verbal meliputi kedekatan dan ruang dari segi wilayah sosial dan juga pada segi terrotorinya yaitu ruang dan posisi, simbol non vebal lainnya pada prosesi ini yaitu artifak dan visualisasi. Pada acara mappasau dan cemme passili simbol non verbal pada prosesi yaitu bau. Dalam prosesi mappaci, simbol verbal seperti bahasa, dan simbol non verbal yaitu kinesik, diam, waktu, bunyi, dan juga artifak dan visualisasi yang terkandung dalam prosesi ini. Selanjutnya pada tahap akad nikah atau prosesi mappaenre botting simbol non verbal yang terkandung didalamnya yaitu dari simbol verbal seperti bahasa dan tulisan sedang dalam simbol non verbal yaitu paralanguage, sentuhan, bunyi, dan juga artifak dan visualisasi. Adapula dalam prosesi mappasikarawa setelah prosesi akad nikah simbol non verbal yang
113
terkandung didalamnya yaitu kedekatan dan ruang dari segi territory, sentuhan dan juga bau. Prosesi setelah akad nikah seperti mapparola tidak luput dari simbol, seperti simbol non verbal artifak dan visualisasi juga sentuhan. Pada resepsi pernikahan atau tudang botting adanya simbol kedekatan dan ruang juga sentuhan. Tidak hanya pada prosesinya pakaian pengantin adat Bugis Bone yang terkesan rumit juga mempunyai simbol non verbal yang terkandung didalamnya seperti warna, dan juga artifak dan visualisasi. B. Saran-saran 1.
Prosesi perkawinan adat dalam masyarakat Bugis Bone cenderung mengalami pergeseran yang dapat berakibat kaburnya nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya, oleh karenanya diharapkan pada masa ini dan akan datang prosesi perkawinan adat terus dipertahankan dan mengalami penyempurnaan.
2.
Dalam pembinaan rumah tangga yang bahagia lahir batin, maka pemahaman tentang tata krama berumah tangga seperti yang telah disimbolkan pada perangkat dan tata cara perkawinan adat Bugis Bone, diharapkan sebagai cikal bakal terbentuknya suatu pola pikir kerukunan bermasyarakat dan berbangsa.