BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan persoalan yang sangat penting bagi semua kalangan, pendidikan selalu menjadi tumpuan, harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Dengan pendidikan kita akan memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat dan menciptakan generasi yang mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka atau dengan kata lain pendidikan sebenarnya dapat dipahami sebagai rangkaian usaha pembaharuan. Pendidikan pada hakikatnya tidak mengenal perbedaan. Agama Islam mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, salah satu ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut Islam, pendidikan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab dengan pendidikan, manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal dalam kehidupannya.1 Oleh karena itu, Islam dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut bersifat organis-fungsional di mana pendidikan difungsikan sebagai alat untuk mencapai tujuan ke-Islaman, dan Islam menjadi
1
1 (Ponorogo: STAIN Ponorogo PRESS, 2007), 61. Basuki, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam
kerangka dasar serta pondasi pengembangan pendidikan Islam.2 Islam telah menetapkan bahwa perempuan sama dengan laki-laki. Al-Qur’an juga menetapkan bahwa yang paling mulia di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa.3 Beradasarkan hak-hak asasi, tidak ada diskriminasi di antara mereka. Hal ini tercantum dalam QS. Al-Hujurat: 13
$pκš‰r'‾≈tƒ â¨$¨Ζ9$# $‾ΡÎ) /ä3≈oΨø)n=yz ÏiΒ 9x.sŒ 4s\Ρé&uρ öΝä3≈oΨù=yèy_uρ $\/θãèä© Ÿ≅Í←!$t7s%uρ (#þθèùu‘$yètGÏ9 4 ¨βÎ) ö/ä3tΒtò2r& y‰ΨÏã «!$# öΝä39s)ø?r& 4 ¨βÎ) ©!$# îΛÎ=tã ×Î7yz ∩⊇⊂∪ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. 4 Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam pada hakikatnya memiliki kedudukan terhormat. Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereka berdua di anugerahi Allah potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan mereka dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Ajaran Islam menunjukkan bahwa seluruh umat manusia yang terdiri atas berbagai bangsa, ras, dan warna kulit adalah sama, tidak ada beda dari segi kemanusiaan. Semua manusia diciptakan dari asal kejadian yang sama, baik lakilaki maupun perempuan, sehingga tidak terdapat perbedaan jenis kelamin, ras dan
2
Ahmad Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Mimbar, 2004), v. Hujjatul Islam Hashmi Rafsanjani,Kemerdekaan Wanita Dalam Keadilan Islam,Terj.Satrio Pinandito (Jakarta: CV. Firdaus, 1992), 7. 4 Al-Qur’an, 49:13. 3
Sosial
kedudukan manusia. Pendidikan Islam menempatkan posisi manusia secara proporsional. Islam menyerukan adanya persamaan dan peluang yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah kesadaran untuk belajar bagi semua orang, tanpa adanya perbedaan antara si kaya, si miskin dan status sosial ekonomi, serta tidak pula perbedaan jenis kelamin.5 Semua kewajiban, apakah berkaitan dengan politik, ekonomi atau sosial umumnya adalah kewajiban-kewajiban agama, tidak ada bedanya dengan shalat dan puasa. Laki-laki dan perempuan harus dipandang sama dalam bidang pendidikan. Nabi bukan hanya bisa mengucapkan doktrin umum persamaan Jender6 yang melibatkan kesempatan pendidikan perempuan ini, tetapi juga sudah melaksanakannya.7 Muhammad SAW adalah pembela wanita dan pembebas seluruh wanita serta seluruh umat tertindas. Muhammad SAW tidak pernah membodohkan dan membungkam wanita agar tetap patuh padanya. Bahkan kedudukannya saling melengkapi, ibarat pakaian yang saling melindungi.8 Bila setiap muslim diseru untuk mengajar dan mendidik hamba perempuannya dengan baik, maka mengajar dan mendidik anak perempuan sendiri lebih utama dan lebih wajib. Sebaik-baiknya bekal yang diberikannya adalah akhlak yang lurus dan ilmu yang bermanfaat, itu bermacam-macam dan kadarnya pun beragam dari masa ke masa.
5
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), 336. Jender dipahami sebagai karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan, di sosialisasikan, dan dikonstruksikan oleh masyarakat secara sosial melalui pendidikan, agama, keluarga, dan sebagainya. (Lihat Arimbi Heroepoetri, Percakapan Tentang Feminisme VS Neo Liberalisme (Jakarta: debtWATCH dan Institut Perempuan, 2004), 7. 7 Mai Yamani, Feminisme dan Islam Perspektif Hukum dan Sastra, ter. Purwanto (Bandung: Nuansa, 2000), 136-137. 8 Dadang Anshori, Membincangkan Feminisme (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 49. 6
Ketika kita melihat kehidupan wanita di tanah air pada zaman dahulu, dimana kultur dan budaya daerah masih memiliki pengaruh yang sangat memprihatinkan. Hal tersebut merupakan dampak tidak langsung dari berbagai budaya yang mengikat dan membatasi kehidupan seorang wanita, bahkan ketika itu sangat sulit bagi seorang wanita untuk memperoleh pendidikan dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri.9 R.A. Kartini telah menjadi icon pembebasan perempuan Indonesia. Pembebasan yang memungkinkan perempuan Indonesia memperoleh pendidikan seperti laki-laki.10 Ada banyak sebab terjadinya diskriminasi terhadap perempuan, baik bersifat teologis, filosofis, maupun kultural seperti masih kentalnya budaya patriarki.11 Budaya patriarki terjadi karena adanya dominasi sekelompok tertentu terhadap kelompok yang lain. Kelompok pertama (laki-laki) tidak saja berkuasa secara fisik terhadap kelompok kedua (perempuan), tetapi juga menentukan ideologi budaya yang melanggengkan kekuasaannya. Kondisi dominan budaya patriarki kiranya merupakan sebab utama terjadi diskriminasi, baik di dalam sektor domestik maupun sosial-politik. Sekalipun masih banyak juga kaum perempuan dengan sengaja merasa nyaman dengan budaya patriarki. Seperti kegelisahan Kartini yang merupakan perempuan Jawa yang senantiasa gelisah berada di dalam ‘kerangkeng’ budaya patriarki kaum
9
http: // dwinanto. blogsome. com/2008/04/15/p85/ http://kewanitaande.multiply.com/journal 11 Dominasi kekuasaan laki-laki dewasa (Patriach) (Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 10-11. 10
priyayi. Lewat surat-suratnya, Kartini mencoba mendiskusikan segenap gejolak batin yang lahir dari denyut feminisme kepada sahabat-sahabatnya di luar negeri.12 Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar suratsuratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.13 Pada zaman dulu orang berpandangan untuk apa para perempuan sekolah? Akhirnya perempuan menjadi ibu rumah tangga. Paling jauh hanyalah mengurusi rumah tangga dan keluarga. Jadi hanya tiga perkara, yaitu urusan rumah tangga, urusan dapur, dan urusan mendidik anak, tidak lebih.14 Semangat untuk menghembuskan angin emansipasi di kalangan perempuan Jawa tak pernah pupus darinya. Melalui dunia pendidikan Kartini menaruh harapan untuk kemajuan kaum perempuan. Untuk merombak kultur feodal-patriarkal yang selama berabad-abad membelenggu kaum perempuan, dimana kaum hawa hanya dibatasi pada sektor domestik, antara dapur, sumur dan kasur. Kartini berusaha ’menyuntik’nya dengan pendidikan, bahwa kaum perempuan berhak memperoleh pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Kartini percaya bahwa dengan pendidikan kaum perempuan bisa dengan cepat dapat tercerahkan dan jendela masa depan yang lebih baik akan terbuka.
12
Imam Tholkhah, Membuka Jendela 144. http: //id.wikipedia.org/wiki/Kartini 14 Umar Hasyim, RA.Kartini Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 1984), 17. 13
R.A. Kartini adalah perempuan kritis yang selalu ingin tahu tentang sesuatu, dalam pencariannya yang panjang dan belum selesai ia ingin menjadi muslimah sejati, ingin kembali kepada Islam dengan mempelajari ajaran Islam, tapi ia bergelut dengan tradisi yang kolot sekaligus ia harus menghadapi serangan halus dari temannya yang dari Barat itu.15 Kartini merupakan salah satu figur yang mengambil peran aktif dalam perjuangan penuh pertentangan pemikiran dengan budaya Jawa terhadap pendidikan perempuan. Pada waktu itu, masyarakat Jawa pincang dalam memberikan pendidikan kepada perempuan yang sangat haus ilmu pengetahuan. Pada saat itu mereka tidak meyakini esensi juang emansipasi, kaum pria harus diistimewakan dan perempuan harus tinggal dalam pingitan sesudah tamat Sekolah Dasar.16 Pengalaman R.A. Kartini menjadi penting untuk diperhatikan. Dia adalah saksi munculnya sebuah kesadaran baru di kalangan perempuan Indonesia dan masyarakat Indonesia secara umum. Kartini memilih pendidikan sebagai jalur yang harus ditempuh perempuan untuk memperoleh pengakuan sejajar dengan kaum laki-laki.17 Feminisme mulai banyak dibicarakan di kalangan akademisi Indonesia, baik dalam tinjauan yang bersifat umum, terutama menyangkut hak-hak dan pemberdayaan perempuan. Banyaknya pembicaraan tentang feminisme ini didorong oleh keprihatinan terhadap realitas kecilnya peran perempuan dalam
15
Mansour Fakih, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 259. 16 Suryanto Sastroatmodjo, Tragedi Kartini (Yogyakarta: NARASI, 2005), 29. 17 Jajat Burhanudin, Tentang Perempuan Islam Wacana dan Gerakan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), 4.
kehidupan sosial, ekonomi, dan pendidikan.18 Nilai feminisme yang diperjuangkan oleh kaum hawa adalah memposisikan perempuan pada proporsinya. Hal ini didasarkan pada ajaran Al-Qur’an yang diturunkan ke dunia sebagai instruksi teologis bagi pembebasan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, baik seksual, etnis maupun ikatan-ikatan primordial lainnya.19 Feminisme Kartini, yang dikemas dengan bungkus budaya Jawa, lebih ditujukan untuk menuntut kemitraan antara perempuan dan laki-laki, bukan persamaan dalam berperilaku, yang mengandalkan kekuatan fisik. Feminisme Kartini dengan demikian adalah relasi sosial yang merdeka dan memerdekakan perempuan, yang dalam kemerdekaan itu muncul kemitraan (konsep gender yang saling melengkapi). Seperti yang tertulis dalam surat Kartini kepada Nyonya RM. Abendanon pada tanggal 1 Agustus 1903 sebagai berikut: Allah menciptakan perempuan untuk jadi teman laki-laki. Betul, tidak dapat disangkal bahwa tujuan hidupnya adalah bersuami. Dengan senang hati kami mengakui bahwa kebahagiaan perempuan yang paling utama, juga berabad-abad kemudian dari sekarang adalah hidup selaras bersama laki-laki !
Dalam kaitannya dengan kehidupan manusia Allah sang pencipta manusia telah menyampaikan di dalam firman Allah QS. AR-Rum:21 sebagai berikut:
ôÏΒuρ ÿϵÏG≈tƒ#u ÷βr& t,n=y{ /ä3s9 ôÏiΒ öΝä3Å¡àΡr& %[`≡uρø—r& (#þθãΖä3ó¡tFÏj9 $yγøŠs9Î) Ÿ≅yèy_uρ Νà6uΖ÷t/ Zο¨Šuθ¨Β ºπyϑômu‘uρ 4 ¨βÎ) ’Îû y7Ï9≡sŒ ;M≈tƒUψ 5Θöθs)Ïj9 tβρã©3xtGtƒ ∩⊄⊇∪ “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan istri-istri dari jenis kamu sendiri supaya kamu tenang kepadanya dan dijadikann-Nya di antaramu mawaddah dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir20
18
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an Studi Pemikiran Para Mufassir (Yogyakarta: LABDA Press, 2006), 1. 19 Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 143. 20 Al-Qur’an, 30:21.
Allah menghendaki penciptaan manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan adalah supaya keduanya cenderung dan saling menentramkan, sehingga tercipta kelangsungan jenis manusia tersebut. Pada era reformasi, kaum feminisme menemukakan momentumnya untuk mengadakan perubahan di segala bidang, termasuk dalam bidang relasi jender. Istilah ketimpangan jender sudah menjadi bahasa baku yang artinya pasti dikaitkan dengan perempuan yang terpuruk, tertinggal, tersubordinasi, dan istilah lain yang sejenis. Ide-ide feminisme tampaknya cukup berpotensi menggugah semangat kaum muslimah untuk berjuang, yakni mereka yang mempunyai semangat dan idealisme yang tinggi untuk mengubah kenyataan yang ada menjadi lebih baik. Realitas masyarakat yang berbicara terkadang memang menampilkan sosok perempuan yang
memilukan
terpuruk
dibidang
kesehatan,
pendidikan,
pekerjaan,
kesejahteraan, politik, sosial dan lain-lain. Hasilnya, tidak diingkari gerakangerakan perempuan itu berpotensi menarik simpati para muslimah.21 Berangkat dari latar belakang di atas, hal ini mendorong penulis melakukan penelitian untuk mencari hubungan antara pemikiran Kartini tentang pendidikan perempuan dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam, untuk mengetahui kesamaan ide keduanya, sehingga menjadi jelas adanya dukungan/ saling melengkapi. Ini menjadi penting untuk diteliti dan dikembangkan sehingga menghasilkan pembahasan yang benar.
21
Siti Muslihati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan Dalam Timbangan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2004), 10-14.
Maka
penelitian
ini
diberi
judul
“RELEVANSI
PEMIKIRAN
PENDIDIKAN R.A. KARTINI DENGAN KONSEP FEMINISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM”.
B.
Rumusan Masalah 1.
Bagaimana konsep feminisme dan pendidikan Islam ?
2.
Bagaimana pemikiran R.A. Kartini mengenai pendidikan perempuan ?
3.
Bagaimana relevansi pemikiran pendidikan perempuan R. A. Kartini dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam ?
C.
Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui bagaimana konsep feminisme dalam pendidikan Islam.
2.
Untuk mengetahui bagaimana pemikiran R.A. Kartini mengenai pendidikan perempuan.
3.
Untuk mengetahui bagaimana relevansi pemikiran pendidikan perempuan R.A. Kartini dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam.
D.
Manfaat Penelitian 1.
Secara Teoritis Ikut memberikan kontribusi dalam mengurai benang kusut dalam permasalahan pendidikan selama ini, memperkaya khasanah pendidikan serta dijadikan usaha untuk meningkatkan dan memperbaiki pendidikan di Indonesia agar lebih relevan dengan tuntutan perkembangan zaman yang tidak lagi mendeskriditkan kebutuhan perempuan akan pendidikan yang setara.
2.
Secara Praktis Sebagai bahan pertimbangan bagi para pendidik, perencana, dan praktisi pendidikan bagi terciptanya fungsi dan peran setiap usaha pendidikan dalam menumbuh kembangkan potensi tanpa harus melihat perbedaan jenis kelamin serta untuk memajukan pendidikan di Indonesia.
E.
Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah kajian kepustakaan (library research), yakni proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari pustaka, baik sumber primer maupun sekunder, sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.22
2.
Sumber Data a.
Sumber Data Primer Penelitian ini menggunakan sumber data primer yang terdiri dari buku-buku, majalah, artikel, catatan dan sebagainya yang ada kaitannya dengan pemikiran pendidikan RA. Kartini, Feminisme dan Pendidikan Islam.
b. 22
Sumber Data Sekunder
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Ponorogo (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), 67-68.
Penelitian ini juga menggunakan sumber data sekunder meliputi buku-buku, majalah, artikel, catatan dan sebagainya yang bisa membantu memecahkan permasalahan dalam penelitian ini. 3.
Tehnik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik membaca yaitu mengumpulkan data dengan cara membaca literatur (buku-buku) dan dari artikel yang ada relevansinya dengan permasalahan yang ditetapkan, kemudian data tersebut dicatat untuk mempermudah analisisnya. Maka dalam skripsi ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi kepustakaan yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya.23 Untuk melengkapi data yang dibutuhkan, peeliti juga mengambil dari browsing internet.
4.
Analisa Data Dari data yang telah terkumpul, maka selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode content analysis yaitu menganalisa data-data kepustakaan yang bersifat deskriptif atau analisis ilmiah tentang pesan suatu komunikasi.24 Metode ini digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan tentang masalah yang dibahas dengan menggunakan proses berfikir induktif dan
23 24
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Yogyakarta: Rinneka Cipta, 1992), 200. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Bayu Indra Grafia, 1998, 49.
menarik kesimpulan.25 Berfikir induktif adalah pendekatan yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang khusus, konkrit, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus, konkret itu ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat-sifat umum.
F.
Sistematika Pembahasan Bab satu, berisi pendahuluan untuk memberikan gambaran secara umum dan komprehensif tentang berbagai hal yang berhubungan dengan tulisan ini. Dari sini pembaca dapat memahami latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan kajian, manfaat kajian, landasan teori, metode kajian dan sistematika pembahasan. Bab dua, membahas mengenai Pendidikan Islam dan feminisme meliputi konsep pendidikan perempuan dalam Islam serta Konsep Feminisme dalam Islam. Bab tiga, memaparkan tentang pemikiran pendidikan R.A. Kartini meliputi riwayat hidup dan pemikiran R.A. Kartini tentang pendidikan perempuan. Pada Bab empat, memberikan analisa tentang Relevansi Pemikiran pendidikan R. A. Kartini dengan Konsep Feminisme Dalam Pendidikan Islam Akhirnya, dalam Bab lima ditutup dengan kesimpulan dari analisis tentang relevansi pemikiran pendidikan RA. Kartini dengan konsep Feminisme dalam pendidikan Islam dan saran.
25
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabert, 2005), 91.
BAB II FEMINISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pendidikan Perempuan dalam Pendidikan Islam 1.
Konsep Pendidikan Perempuan dalam Islam Pengetahuan dan pendidikan merupakan dua hal yang sangat ditekankan dalam Islam. Keduanya adalah bagian integral dari agama ini. Islam mendorong para pengikutnya untuk menerangi dirinya dengan pengetahuan agama, juga cabang-cabang pengetahuan yang lain. Islam memberikan
penghargaan yang tinggi kepada orang yang mencari ilmu pengetahuan dan memuliakan posisinya. Dalam kenyataan, seluruh tujuan wahyu Allah dan diutusnya para nabi kepada umat manusia telah ditekankan di dalam al-Qur’an sebagai bentuk komunikasi pengetahuan. Allah SWT menghendaki agar setiap orang mukmin memiliki pengetahuan dalam hal agama, serta memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan intelektual yang luas. Karena itu, tujuan mengangkat seorang Nabi pada sebuah bangsa adalah untuk mengajar dan menanamkan pengetahuan. Sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan perintah kenabian, seorang muslim diwajibkan memulai aktifitas mencari ilmu sejak awal usia. Pendidikan dianggap sebagai persoalan kewajiban agama, sebuah manifestasi kepatuhan seorang muslim terhadap kehendak Allah dan suatu perbuatan yang mengarah kepada pengetahuan yang lebih mendalam mengenai Sang Pencipta Yang Maha Esa. Karena itu, kita melihat bahwa semua anggota masyarakat berpartisipasi dalam proses tersebut.26 Di dalam Islam, pendidikan adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan secara umum sangat dijunjung tinggi dan dihormati dalam Islam. Penghormatan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan mereka yang memilikinya tampak jelas dalam al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11, sebagai berikut:
26
Haifaa Jawad, Perlawanan Wanita: Sebuah Pendekatan Otentik Religius, terj. Moh.Sidik (Malang: Cendekia Paramulya, 2002), 47.
Æìsùötƒ ª!$# tÏ%©!$# (#θãΖtΒ#u öΝä3ΖÏΒ tÏ%©!$#uρ (#θè?ρé& zΟù=Ïèø9$# ;M≈y_u‘yŠ 4 ª "......Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat".27
Ayat-ayat pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw juga menekankan pentingnya ilmu pengetahuan seperti yang tertuang dalam alQur’an surat Al-‘Alaq ayat 1-5:
ù&tø%$# ÉΟó™$$Î/ y7În/u‘ “Ï%©!$# t,n=y{ ∩⊇∪ t,n=y{ z≈|¡ΣM}$# ôÏΒ @,n=tã ∩⊄∪ ù&tø%$# y7š/u‘uρ ãΠtø.F{$# ∩⊂∪ “Ï%©!$# zΟ‾=tæ ÉΟn=s)ø9$$Î/ ∩⊆∪ zΟ‾=tæ z≈|¡ΣM}$# $tΒ óΟs9 ÷Λs>÷ètƒ ∩∈∪ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.28
Ayat-ayat ini diwahyukan untuk menetapkan pokok-pokok agama berdasarkan ilmu pengetahuan, dan juga menegaskan pentingnya pengetahuan agama. Karena itu, kata pertama yang diwahyukan dan diucapkan oleh Malaikat Jibril adalah “Bacalah!”, sedangkan membaca adalah kunci menuju ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan
dalam
pandangan
Islam
mempunyai
nilai
kemanusiaan yang universal, dan menjadi tolok ukur keutamaan di antara manusia. Atas dasar gambaran inilah, al-Qur’an mengemukakannya dalam surat az-Zumar ayat 9:
27 28
Al-Qur’an, 58:11. Al-Qur’an, :1-5.
ô¨Βr& uθèδ ìMÏΖ≈s% u!$tΡ#u È≅ø‹©9$# #Y‰É`$y™ $VϑÍ←!$s%uρ â‘x‹øts† nοtÅzFψ$# (#θã_ötƒuρ sπuΗ÷qu‘ ϵÎn/u‘ 3 ö≅è% ö≅yδ “ÈθtGó¡o„ tÏ%©!$# tβθçΗs>ôètƒ tÏ%©!$#uρ Ÿω tβθßϑn=ôètƒ 3 $yϑ‾ΡÎ) ã©.x‹tGtƒ (#θä9'ρé& É=≈t7ø9F{$# ∩∪ "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.29
Dalam bidang pendidikan, Islam juga memberikan perhatian dan harapan yang besar kepada kaum perempuan, karena mereka adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Bahkan lebih dari itu, perempuan adalah pembentuk masyarakat. Oleh karenanya, kaum perempuan selayaknya mendapatkan perhatian agar dapat menjalankan perannya mencetak putraputra bangsa dengan sempurna. Islam menganjurkan untuk memberikan perhatian terhadap pendidikan perempuan serta mencurahkan segala tenaga dan harta untuk memenuhinya, agar tertanam pada jiwa-jiwa kaum perempuan sikap kelembutan, murah hati, dan belas kasih.30 Ilmu pengetahuan merupakan parameter nilai yang sama bagi laki-laki dan perempuan, sehingga tidak ada perbedaan tentang pentingnya pencapaian ilmu antara laki-laki dan perempuan. Allah Swt menyeru keduanya untuk menambah ilmu, sebagaimana pesan surat Thaha ayat 114:
βr& È≅ö6s% ÏΒ Èβ#uöà)ø9$$Î/ ö≅yf÷ès? Ÿωuρ 3 ‘,ysø9$# à7Î=yϑø9$# ª!$# n?≈yètGsù ∩⊇⊇⊆∪ $Vϑù=Ïã ’ÎΤ÷ŠÎ— Éb>§‘ ≅è%uρ ( …çµã‹ômuρ šø‹s9Î) #|Óø)ム29
Al-Qur’an, 59:9. Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tuntunan Islam, terj.Burhan Wirasubrata (Jakarta: CV. Cenderkia Sentra Muslim, 1999). 30
Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesagesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."31
Islam memandang setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan bertanggung jawab terhadap nilai keimanannya kepada Allah SWT dan hari kemudian, secara independen dan tidak bergantung kepada orang lain. Karena pencapaian nilai keimanan membutuhkan proses pemikiran dan perolehan ilmu untuk memperluas cakrawala pemikiran dan pengetahuan, maka baik laki-laki dan perempuan memerlukan pengembangan potensi rasionalitasnya dengan ilmu. Islam memandang bahwa laki-laki dan perempuan melakukan peranan kemanusiaan dalam kehidupan, dan massing-masing dari mereka bertanggung jawab dalam hal ini. Maka, tidak dibenarkan adanya usaha membandingkan ilmu antar keduanya, baik dari segi ilmiah yang mereka berdua dapat raih, atau dari sisi proses pencapaian ilmu yang mereka lalui. Pernyataan bahwa wanita bertanggung jawab di hadapan Allah sebagaimana laki-laki bertanggung jawab di hadapan-Nya merupakan pengakuan akan independensinya dan kebebasannya dalam berpikir dan berkemauan, dan kebutuhannya kepada pengembangan unsur-unsur kekuatan di
dalamnya,
dan
kemenangan
atas
titik-titik
kelemahannya,
serta
perlindungannya dirinya dari penyimpangan dan ancaman-ancaman dunia luar. Ini merupakan hal-hal yang memberikan sumbangan kepada ilmu sampai pada batas maksimal dalam perwujudannya kepada manusia, baik pria maupun wanita. 31
Al-Qur’an, 20:114.
Sesungguhnya, penegasan tentang peranan perempuan sebagai ibu tidak berarti membatasi kehidupannya dan ilmunya dalam peranan ini, sehingga ia tidak dapat belajar hal-hal yang tidak masuk dalam ruang lingkupnya, sebagaimana diklaim oleh sebagian orang. Perempuan adalah manusia yang membutuhkan seluruh sumbangan ilmu. Pernyataan yang menyatakan bahwa potensi perempuan terbatas, baik dalam fisik maupun rasio, adalah pernyataan yang tidak adil dan tidak manusiawi. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan laki- laki dan perempuan agar keduanya menjadi sempurna pada level karakter-karakter keduanya dalam kehidupan secara bersama, tetapi Dia menjadikan masing-masing dari mereka bertanggung jawab di hadapan-Nya dengan bebas dari campur tangan yang lain. Tanggung jawab ini menuntut laki- laki dan perempuan untuk memiliki kekuatan dan kebebasan berkehendak, berpikir, serta bergerak.32 Banyak ayat al-Qur’an dan hadith Nabi Saw yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada laki-laki maupun perempuan. Keduanya diperintah untuk menimba ilmu sebanyak mungkin dan dituntut untuk belajar, karena “menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim”. Para perempuan di zaman Nabi Muhammad SAW menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi SAW agar beliau bersedia menyisihkan waktu khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh beliau SAW. 33
32
Sayyid Muhammad Husain Fadlullah, Dunia Wanita dalam Islam, terj. Muhammad Abdul Qadir Alkaf (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000), 47-48. 33 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996) 277.
Al-Qur’an juga memberi pujian kepada kaum cendekia dengan sebutan Ulul Albab, yang berdzikir dan memikirkan kejadian langit dan bumi, seperti tersurat dalam surat Ali Imran ayat 190-191:
āχÎ) ’Îû È,ù=yz ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#uρ É#≈n=ÏF÷z$#uρ È≅øŠ©9$# Í‘$pκ¨]9$#uρ ;M≈tƒUψ ’Í<'ρT[{ É=≈t6ø9F{$# ∩⊇⊃∪ tÏ%©!$# tβρãä.õ‹tƒ ©!$# $Vϑ≈uŠÏ% #YŠθãèè%uρ 4’n?tãuρ öΝÎγÎ/θãΖã_ tβρã¤6xtGtƒuρ ’Îû È,ù=yz ÏN≡uθ≈uΚ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#uρ $uΖ−/u‘ $tΒ |Mø)n=yz #x‹≈yδ WξÏÜ≈t/ y7oΨ≈ysö6ß™ $oΨÉ)sù z>#x‹tã Í‘$¨Ζ9$# ∩⊇⊇∪ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orangorang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.34
Kecerdasan intelektual seorang perempuan tidaklah lebih rendah daripada kaum laki-laki..Kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah berdzikir kepada Allah SWT serta apa yang mereka ketahui tentang alam raya ini. 35 Kaum perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing. Rasulullah SAW tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap perempuanperempuan merdeka (yang memiliki status sosial lebih tinggi), tetapi juga para budak perempuan dan mereka yang berstatus sosial lebih rendah. Karena itu,
34
Al-Qur’an, 3:190-191. Ali Munhanif, et.al., Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), 34-35. 35
sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang berstatus budak belian tetapi memiliki tingkat pendidikan yang sangat tinggi.36 2.
Pendidikan Tanpa Diskriminasi dalam Pendidikan Islam Secara sederhana, pendidikan memberikan arti sebagai suatu proses perubahan perilaku dari yang tidak tahu menjadi tahu. Proses ini dapat ditempuh melalui pendidikan. Secara umum, pendidikan tidak mengenal diskriminasi. Sehingga dalam hal ini, pendidikan merupakan langkah yang strategis untuk untuk memberdayakan kaum perempuan.37 Islam mempersamakan antara laki-laki dan perempuan dalam hak belajar. Masing-masing memiliki hak untuk memperoleh apa saja yang mereka inginkan berupa berbagai jenis pengetahuan. Al-Qur’an pun mendorong seluruh manusia untuk mencari ilmu tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Prinsip pengajaran perempuan telah diterapkan pada zaman Rasulullah SAW dan dilanjutkan pada masa kekhalifahan Khulafaur Rasyidin.38 Ajaran Islam menempatkan perempuan dalam derajat yang sama dengan kaum lakilaki, baik dalam ibadah maupun hak memperoleh pendidikan.39 Perempuan diijinkan memperoleh pendidikan dalam cabang-cabang ilmu keagamaan dan pengetahuan keduniaan. Pendidikan mereka dianggap sama pentingnya dengan pendidikan bagi kaum laki-laki. Menurut Islam,
36
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 278. Tapi Omas Ihromi, Penghapusan Diskriminasi, 143. 38 Muhammad Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, terj. Ikhwan Fauzi (tt: Amzah, 2002), 17-18. 39 Departemen Penerangan RI, Pejuang Wanita Indonesia:10 Windu Setelah Kartini 1904-1984 (Jakarta: PT Gita Karya, 1984), 73. 37
untuk tujuan pendidikan tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Menurut Islam, jenis pendidikan yang benar bagi perempuan ialah yang mempersiapkannya untuk menjadi istri yang baik, ibu yang baik, serta warga masyarakat yang lebih berguna bagi lingkungannya. Oleh karena itu, kaum perempuan perlu dididik dalam ilmu-ilmu yang membantunya menjalani peran-peran tersebut. Dengan demikian, diwajibkan bagi setiap muslimah untuk memperoleh pengetahuan dan memperluas wawasannya, secara moral maupun kultural. Namun, jika seorang perempuan memiliki kemampuan intelektual dan menginginkan pendidikan yang lebih tinggi, juga dalam cabang-cabang ilmu yang lain, Islam tidak pernah menghalanginya.40 Bagi
perempuan,
meraih
dan
menyebarkan
ilmu
pengetahuan
bermanfaat bagi diri sendiri, sebagai pelindung dari penindasan dan eksploitasi serta sebagai bangunan dasar bagi kehidupannya di masa datang. Ini bermanfaat bagi masyarakat dan generasi masa depannya. Mereka, siapapun yang belum memanfaatkan ide-ide ini karena alasan-alasan tradisional, pada akhirnya akan menyadari bahwa anak-anak mereka sendiri akan merugi apabila ibu-ibu mereka tidak terdidik dan gagap menghadapi dunia yang terus berubah.41 Laki-laki dan perempuan berfungsi saling melengkapi satu sama lain. Seorang perempuan tidak akan lengkap tanpa seorang laki-laki. Begitu pula
40
Syed Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 444. 41 Ali Husein Hakeem, Membela Perempuan: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, terj. Jemala Gembala (Jakarta: Al-Huda, 2005), 104.
sebaliknya, seorang laki-laki tidak akan lengkap tanpa seorang perempuan. Sebagai pendidik keluarga, kaum perempuan memiliki tanggung jawab mendidik anak-anaknya. Jika kurang mendapatkan pendidikan yang benar, seorang perempuan akan menghasilkan anak-anak yang tidak berkualitas. Karena itu, perempuan mempunyai peran penting dalam mengembangkan umat dan memegang kunci peradaban. Dalam hal ini, Islam telah menyumbangkan jasa yang besar, yang tak pernah ada presedennya dalam sejarah. Islam menyelamatkan perempuan dari penindasan dan mengangkat mereka kepada kedudukan yang khusus. Islam tak pernah berupaya menurunkan derajat perempuan, melainkan malah mendukungnya untuk maju dan berupaya menjaga kehormatan dan kemuliaan gendernya.42 Peluang untuk meraih pendidikan, tak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, yang telah ditegaskan seacra khusus dalam surat an-Nahl ayat 97:
ôtΒ Ÿ≅Ïϑtã $[sÎ=≈|¹ ÏiΒ @Ÿ2sŒ ÷ρr& 4s\Ρé& uθèδuρ ÖÏΒ÷σãΒ …絨ΖtÍ‹ósãΖn=sù Zο4θu‹ym Zπt6ÍhŠsÛ ( óΟßγ¨ΨtƒÌ“ôfuΖs9uρ Νèδtô_r& Ç|¡ômr'Î/ $tΒ (#θçΡ$Ÿ2 tβθè=yϑ÷ètƒ ∩∠∪ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.43
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan serta memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik
42 43
Ibid., 141. Al-Qur’an, 16:97.
dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama untuk meraih prestasi optimal. Salah satu obsesi al-Qur’an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik dalam bidang pendidikan maupun sosial. Karena itu, al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, maupun yang berdasarkan jenis kelamin.44 3.
Persamaan dan Kebebasan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam Prinsip persamaan berarti bahwa setiap individu mempunyai hak yang sama, karena manusia dilahirkan. Sama dalam pengertian hak dan kewajiban. Ajaran Islam telah menetapkan prinsip yang tidak membedakan siapapun dalam memperoleh pendidikan. Ajaran Islam menunjukkan bahwa seluruh umat manusia yang terdiri atas berbagai suku bangsa, ras, dan warna kulit adalah sama, tidak ada beda dari segi kemanusiaan. Semua manusia diciptakan dari asal kejadian yang sama, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga tidak terdapat perbedaan jenis kelamin, ras, dan kedudukan sosial. Islam mengajarkan agar setiap manusia berlomba-lomba untuk meraih dan mencapai ketakwaan serta membuktikan kualitas moralnya. Begitu juga dengan pendidikan, terbuka secara transparan bagi setiap individu. Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan sama, kehidupan mereka ditentukan oleh persamaan dan keadilan, bukan oleh
44
1999), 265.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina,
otoritas yang sewenang-wenang. Persamaan dalam pendidikan Islam adalah keadilan Islam yang mempunyai satu-satunya ukuran yang dapat diikuti oleh setiap manusia dalam segala aspek kehidupan, hak pendidikan, hak antara laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. Prinsip persamaan dalam Islam pada dasarnya bertujuan agar setiap orang
atau
sekelompok
orang
menemukan
harkat
dan
martabat
kemanusiaannya dan dapat mengembangkan prestasinya. Untuk itu, Islam memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik untuk mendapatkan pendidikan. Dalam pendidikan Islam tidak dikenal diskriminasi terhadap peserta didik. Setiap peserta didik dibimbing mengembangkan potensinya secara maksimal. Maka seorang pendidik harus mampu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik untuk mendapatkan pendidikan.45 Kebebasan yang diberikan kepada manusia dapat menyelamatkan diri dari segala macam bentuk tekanan, paksaan, dan segala macamnya. Selain itu, kebebasan yang bertanggung jawab akan mampu menjadikan manusia sebagai pemimpin dalam kehidupan, dan di saat yang sama sebagai hamba yang tunduk kepada Allah SWT. Dasar kebebasan dalam Islam adalah keimanan, dalam arti keimanan merupakan nilai dan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada setiap manusia. Ketika Allah menciptakan manusia, manusia diikat dengan janji bahwa Allah Swt adalah satu-satunya dzat yang patut disembah, tidak ada
45
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006),
sekutu bagi-Nya. Konsekuensinya, manusia tidak boleh tunduk selain kepadaNya, juga dilarang menyalahi aturan-Nya dan kaidah yang diatur-Nya.46 Menurut Al-Abrasyi, mendidik berarti harus membiasakan peserta didik untuk berpegang teguh kepada kemampuan dirinya sendiri dan diberi kebebasan dalam berpikir, sehingga peserta didik bisa menentukan secara bebas masa depannya sendiri berdasarkan kemampuan yang ada pada dirinya. Kebebasan seperti ini dapat membiasakan peserta didik menjadi manusia yang berani mengemukakan pendapat dengan penuh tanggung jawab.47 Pengembangan potensi peserta didik dapat dilakukan melalui proses pendidikan yang mampu mengantar peserta didik menjadi hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi denagn tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Ilahiyah. Pendidikan Islam memberikan kebebasan kepada siapapun (baik laki-laki maupun perempuan) untuk memperoleh pendidikan. Ajaran Islam memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengembangkan nilai fitrah yang ada pada dirinya. Dalam proses belajar, peserta didik harus diposisikan sebagai subyek, sehingga mereka bisa mengembangkan potensi yang dimiliki. Kepada para pendidik, Islam menganjurkan agar tidak mengekang kebebasan individu untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan Islam telah menempatkan posisi manusia secara proporsional, sebab Islam sendiri menyerukan adanya prinsip persamaan dan kebebasan yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah kesadaran untuk
46
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terj. Syamsudin Ashrofi, dkk. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), 21. 47 Ibid.,57.
belajar bagi semua orang, tanpa adanya perbedaan antara si kaya dan si miskin, serta tidak pula gender.48
B.
Konsep Feminisme 1.
Gender dan Feminisme Konsep mendasar yang ditawarkan oleh feminisme untuk menganalisis masyarakat adalah jender. Jender dipahami sebagai karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan, dibuat, disosialisasikan, dan dikonstruksikan oleh masyarakat secara sosial melalui pendidikan, agama, keluarga, dan sebagainya. Konsep jender memungkinkan kita melihat bahwa perbedaan jender tidak sama dengan perbedaan jenis kelamin atau kodrat, di mana jenis kelamin atau kodrat adalah karakteristik biologis yang melekat pada perempuan dan laki-laki, yang dating sebagai pemberian Tuhan, tidak dapat dipertukarkan, dan berlaku sama sepanjang masa. Dalam perkembangannya, jender digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami realitas social berkaitan dengan perempuan dan laki-laki. Misalnya, untuk menganalisis bahwa pemahaman yang keliru mengenai jender sebagai kodrat akan merugikan dan menderitakan perempuan, anggapan atau pembebanan perempuan sebagai pihak yang kodratnya dunianya sebatas “sumur, dapur, dan kasur” telah mengakibatkan jutaan perempuan tidak mempunyai pilihan lain selain tidak mengenyam pendidikan, mengurus anak, merapikan rumah, dan memasak.49
48 49
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 336. Arimibi Heroepoetri, Percakapan tentang Feminisme, 3-5.
Pembicaraan mengenai masalah jender biasanya diawali dengan perbedaan secara ketat antara dua istilah ini, yaitu jender dan seks (jenis kelamin). Kedua istilah ini memiliki makna yang sama, yaitu jenis kelamin. Namun
keduanya
berbeda
dalam
konotasinya.
Seks
berkonotasi
natural/alamiah, karena ciri-ciri yang dikandungnya merupakan ciri-ciri biologis dengan segala sifat dan watak yang mengikuti ciri biologis itu, sedangkan jender berkonotasi kebiasaan. Jika yang bertama berarti segala sifat dan cirinya tidak bisa dipertukarkan, sedangkan pada yang kedua dapat dipertukarkan. Hampir segala argumen dalam kajian jender berawal dari suatu asumsi bahwa perbedaan jender, bahkan ketidaksetaraan jender antara laki-laki dan perempuan, terjadi melalui proses sejarah yang panjang dan dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, dan dikonstruksikan secara sosial dan kultural, termasuk melalui tradisi keagamaan. Sebagaimana sifat tradisi dan kebiasaan lainnya, proses panjang pembentukan jender pada umumnya juga sebagai proses yang tidak disadari, sehingga dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya natural, kodrati, dan ketentuan Tuhan.50
50
Muhammad Muslih, Bangunan Wacana Gender (Ponorogo: CIOS, 2007), 2-3.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan skema 1.1 berikut ini:51
Seks (jenis Kelamin
Jender
Biologis
Kultural
Pemberian Tuhan
Diajarkan Melalui Sosialisasi
Tidak Dapat Diubah
Dapat Diubah
Peran Seks
Peran Jender
Laki-laki
Perempuan
Produksi
Reproduksi: Haid, Hamil, melahirkan, menyusui, dan sebagainya
Memasak, Merawat anak , mendidik Anak, bekerja di luar rumah, menjadi tenaga professional, dan sebagainya
Istilah jender harus dibedakan dengan istilah jenis kelamiun (seks). Pentingnya pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan jender adalah dalam rangka melakukan analisis untuk memahami persoalan ketidakadilan sosial, khususnya yang menimpa perempuan. Secara bahasa, kata jender berasal dari bahasa Inggris, gender, yang berarti jenis kelamin. Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat 51
Mufidah, Paradigma Gender (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), 7.
pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat.52 Pengertian lain tentang jender sebagaimana dirumuskan oleh Mansour Fakih53, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Sifat jender yang melekat pada perempuan, misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap lebih kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan antara kaum laki-laki dan perempuan. Sedangkan pengertian jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya bahwa laki-laki mempunyai penis, sperma, dan jakun. Sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, dan alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis yang bersifat permanen dan tidak dipertukarkan, dan itu semua merupakan pemberian Tuhan yang kemudian disebut sebagai kodrat. Perempuan dan laki-laki dipandang sebagai kelompok sosial, bukan dipandang sebagai pribadi manusia. Relasi timpang di antara mereka tetap dilestarikan. Kedudukan perempuan masih tetap subordinat. Usaha-usaha untuk menciptakan kesetaraan perempuan dan laki-laki belum mampu membebaskan perempuan dan laki-laki. Maka tidak mengherankan apabila
52 53
7-8.
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender (Purwokerto: PSG, 2006), 16. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
masih terjadi berbagai ketidakadilan jender, diskriminasi terhadap perempuan, dan yang paling memprihatinkan, kekerasan terhadap perempuan.54 Atas asumsi ini, wacana jender kemudian terlibat dalam dua agenda sekaligus. Pertama, melakukan penelusuran tiada henti terhadap pembentukan tradisi yang disebutkan sebagai patriarkal. Upaya ini dalam rangka menyadarkan bahwa perbedaan dan ketidaksetaraan jender itu benar-benar bersifat sosial dan kultural. Kedua, melakukan perubahan. Awalnya persepsi, lalu pola pikir, dan akhirnya perubahan tradisi dan budaya yang berkeadilan jender.55 Agenda kedua ini, aplikasinya bisa sekadar latihan-latihan keterampilan, upaya pemberdayaan, sampai lahirnya gerakan-gerakan keperempuanan (feminisme). Jender dalam pengertiannya sebagai gerakan keperempuanan (feminisme) melakukan kegiatan-kegiatan yang umumnya mengambil salah satu atau beberapa dari bidang berikut ini: penelitian, penyuluhan, gerakan untuk kesehatan reproduksi, advokasi atas kekerasan terhadap perempuan, pelatihan-pelatihan peningkatan pendidikan perempuan, dan lain-lain.56 Problematika jender atau lebih lazim dikenal dengan gerakan feminisme, sebenarnya merupakan upaya untuk mengangkat posisi perempuan dan menutupi seminimal mungkin kesenjangan antara laki-laki dan perempuan,
54
Nunuk Prasetyo Murniati, Gerakan Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 34. 55 Sasaran utama pada proses ini adalah untuk membangkitkan rasa emosi kaum perempuan agar bangkit untuk mengubah keadaannya, karena banyak juga di antara perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarkhi. Lihat Ratna Megawangi, “Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang”, dalam Mansour Fakih, Membincang Feminisme, 225. 56 Muhammad Muslih, Bangunan Wacana, 5-6.
baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, maupun dalam bidang pendidikan.57 Dalam sejarah feminisme, tidaklah mudah untuk melihat kapan tepatnya gerakan ini dimulai. Namun setidaknya, bahwa feminisme dimulai sejak perempuan mulai secara sadar mengorganisasikan diri mereka dalam skala yang cukup untuk memperbaiki kondisi ketertindasan mereka. Pada abad ke-17, istilah feminisme mulai digunakan, maknanya dipahami dalam konteks waktu itu, berakar pada analisis politik tahun 1970an. Feminisme atau bahasa Inggris-nya feminism, berasal dari bahasa Latin, femina=woman, secara harfiah artinya “having the qualities of females”. Istilah ini awalnya digunakan merujuk pada teori tentang persamaan seksual dan gerakan hak-hak asasi perempuan. Dalam menghadapi tuduhan bahwa feminisme berasal dari Barat, dan oleh karenanya asing bagi para perempuan di dunia Timur, para feminis meyakini bahwa feminisme hadir bersamaan dengan kesadaran yang dimiliki perempuan dalam lingkup personal maupun publik, di mana mereka menyadari ketidakadilan yang dialami dan mengambil langkah untuk mengubahnya. Feminisme di Asia, misalnya, muncul pada abad ke-19 dalam konteks kesadaran tentang hak-hak demokrasi serta ketidakadilan yang menimpa perempuan. Kesadaran ini muncul selama perjuangan melawan kekuasaan asing. Meskipun setidaknya telah disepakati bahwa feminisme sebagai istilah untuk pertama kali digunakan pada abad ke-17 di Inggris, feminisme 57
Imam Tolkhah, Membuka Jendela, 155.
menangkap bahwa dalam dunia saat ini, penindasan, hegemoni, dominasi, semuanya menimpa pihak yang dilemahkan, dalam hal ini perempuan. Kaum feminis meyakini bahwa perempuan memiliki kemerdekaan atas tubuh, diri, dan hidupnya; bahwa perempuan adalah subjek utuh yang memiliki daya dan kedaulatan, sama dengan laki-laki; bahwa tujuan akhir feminisme bukanlah kemenangan suatu kelompok atas kelompok lainnya (dalam hal ini perempuan atas laki-laki), atau pemusatan kekuasaan di satu pihak, melainkan penataan kembali segenap segi masyarakat tanpa penindasan. Ini tentu bukanlah sebuah babak peperangan melawan laki-laki, melainkan melawan sistem yang menindas, utamanya menindas perempuan.58
2.
Ragam Gerakan Feminisme Gerakan feminisme dikontekstualkan dengan kepentingan sejarah dan tempatnya, maka muncul gerakan-gerakan feminisme kontemporer, seperti feminisme liberal, gerakan feminisme radikal, dan gerakan feminisme sosialis. a.
Gerakan Feminisme Liberal Gerakan ini mulai berkembang pada abad ke-18, didasari pada prinsip-prinsip liberalisme, yaitu bahwa semua orang (perempuan dan laki-laki) dengan kemampuan rasionalitasnya, diciptakan dengan hakhak yang sama, dan setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Perempuan didiskriminasikan hak, kesempatan, dan kebebasannya karena ia perempuan. Oleh karena itu untuk menghapuskan diskriminasi
58
Arimbi Heroepoetri, Percakapan tentang Feminisme, 12.
tersebut, perlu diperjuangkan perubahan hukum dan reformasi sosial yang membuka kesempatan yang sebesar-besarnya bagi pendidikan untuk perempuan.59 Gerakan feminisme liberal mendasarkan pahamnya pada prinsipprinsip liberalisme yang percaya bahwa tujuan utama dari kehidupan bermasyarakat
adalah kebebasan individu, kebebasan individu
dipandang sebagai kondisi yang paling ideal, karena dalam kebebasan, seorang individu dapat memilih untuk memuaskan ekspresinya terhadap hal-hal yang diinginkannya.60
b.
Gerakan Feminisme Radikal Gerakan ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada tahun 1960-an.61 Gerakan ini mendasarkan pahamnya pada strukturalisme politik, yang memandang bahwa hubungan antar kelompok manusia pada
dasarnya
merupakan
hubungan
saling
menguasai
dan
mengendalikan. Paham ini percaya bahwa kekuasaanlah satu-satunya penentu dari mampu tidaknya seseorang mendapatkan segala yang diharapkannya. Kekuasanlah yang menirukan kebahagian seseorang.62 c.
59
Gerakan Feminisme Sosialis
Ibid., 36. Dadang Anshori, Membincangkan Feminisme, 47. 61 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan, 34. 62 Dadang Anshori, Membincangkan Feminisme, 48. 60
Gerakan ini melihat persoalan penindasan adalah kelas (sosialekonomi) dan patriarki. Untuk itu, semua bentuk eksploitasi harus diakhiri dan membangun masyarakat yang didak membedakan perempuan dan laki-laki. Gerakan feminisme sosial lebih difokuskan kepada penyadaran kaum perempuan akan posisi mereka yang tertindas. Menurut mereka banyak perempuan yang tak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang tertindas oleh sistem patriarki. Timbulnya kesadaran ini membuat kaum perempuan bangkit emosinya dan diharapkan dapat meruntuhkan system patriarki. Walaupun ada perbedaan pada ketiga aliran tesebut, secara garis besar semua aliran ini berpendapat, gejala pemilikan pribadi dalam hal ini laki- laki memiliki perempuan merupakan sumber penindasan. Keadilan baru akan tercapai apabila system kepemilikan ini diganti dengan system tanpa kelas, yaitu menghilangkan peran domestic perempuan dan system patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih menguntungkan.63 3.
Feminisme di dunia Islam Pengertian feminisme secara ilmu umum berkaitan dengan politik, yaitu sebuah politik
langsung mengubah hubungan kekuatan kehidupan antara
perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Kekuatan ini mencakup semua struktur kehidupan, segi-segi kehidupan, keluarga, pendidikan, kebudayaan, dan kekuasaan. Segi-segi kehidupan itu menetapkan siapa, apa dan untuk 63
Dadang Anshori, Membincangkan Feminisme, 48.
siapa serta akan menjadi apa perempuan itu. Membaca perempuan dalam konteks Islam akan menimbulkan kesadaran untuk membangun ingatan kolektif
kita
mengenai
hal
sebuah
aturan-aturan
yang
harmonis,
keseimbangan, dan kemuliaan agar terus diposisikan setiap saat dalam ingatan kita dan yang lebih penting dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.64 Pemikiran feminisme di dunia Islam, boleh jadi sudah dikenal sejak awal masuknya Islam. Walaupun mereka barangkali tidak menggunakan istilah tesebut. Islam datang untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar terhadap praktek kehidupan jahiliyah yang mendiskriminatif perempuan. Rasulullah sebagai Nabi terakhir secaramakro berupaya mengangkat martabat manusia dengan misi rahmatan li al alamin, secara khusus melakukan pembelaan terhadap hak-hak perempuan yang selama itu tidak pernah diperoleh. Karena itu, oleh beberapa feminis muslim, beliau dipandang sebagai feminis pertama dalam Islam. Secara epistemologis, proses pembentukan kesetaraan gender yang dilakukan oleh Rasulullah tidak hanya pada wilayah domestik, tetapi hampir menyeluruh
seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Apakah perempuan
sebagai ibu, istri, anak, tetangga, dan anggota masyarakat sekaligus memberikan jaminan keamanan untuk perlindungan hak-hak dasar yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Dengan demikian, Rasulullah telah memulai tradisi baru dalam pandangan perempuan karena berikut ini.
64
http://medsastra.multiply.com/Journal/item/21/Indahnya Femin.
Pertama, beliau melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang dunia masyarakat arab yang pada waktu itu masih didominiasi oleh cara pandangan masyarakat era Fir'aun. Di mana latar historis yang menyertai konstruk masyarakat ketika itu bernuansa misoginis (membenci perempuan). Satu kebiasaan yang dipandang
spektakuler, beliau sering menggendong
putrinya (Fatimah) secara demonstratif di depan umum, yang dinilai tabu oleh tradisi masyarakat Arab pada waktu itu. Apa yang beliau lakukan itu merupakan proses pembentukan wacana bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh dibeda-bedakan. Kedua, Rasulullah memberikan teladan perlakuan baik terhadap perempuan di sepanjang hidupnya. Beliau tidak pernah melakukan kekerasan terhadap istri-istrinya.65 Kesadaran akan apa yang kemudian pada akhir abad ke-20 dikenal dengan ketidakadilan gender yang dialami kaum perempuan, telah mulai terlihat dalam karya tulis para penulis muslimah pada akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 baik dalam bentuk puisi, cerita pendek, novel, esai,artikel, buku, maupun dalam bentuk kumpulan surat-surat. Beberapa di antara mereka yang tekrenal adalah Aisyah Taimiruyah, Zainab Fawwaz dari Lebanon, Nabawiyah Musa dan Hifni Nashif dari Mesir, Rokeya Sakhawat Hossair dan Nazar Sajjad Haydar dari India, Raden Adjeng Kartini dari Jawa, Emile Ruete dari Zanzibar, Taj As-Shithanah dari Iran, dan Fatme Aliye dari Turki. Mereka dikenal sebagai para perintis besar dalam menumbuhkan kesadaran atas persoalan gender, termasuk dalam melawan 65
Mufidah, Paradigma Gender, 36-37.
kebudayaan dan ideologi masyarakat yang hendak mengungkung kebebasan perempuan.66 Sejak awal abad ke-20 lahir gerakan feminisme dalam Islam yang bertujuan memperjuangkan perubahan strkuktur masyarakat ke arah yang lebih adil. Bagi laki-laki dan perempuan. Para feminis muslim awal bermaksud menepis tuduhan bahwa Islam adalah agama yang menindas perempuan.
Penindasan
dan
pemerasan
terhadap
perempuan
dalam
masyarakat disebabkan oleh adanya sistem yang tidak adil dan manusiawi. Feminisme Islam mengambil ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi sebagai dasar pijakan teori maupun praktek. Untuk itu, laki-laki dan perempuan Islam didorong agar melakukan perubahan konstruk pemahaman yang keliru terhadap gender dalam pendekatan Islam.67 Kemudian pada paruh kedua abad ke-20 M, tatkala kaum perempuan kelas atas dan menengah telah memiliki aksses sepenuhnya kepada kehidupan publik dan telah berintegrasi dengan masyarakat luas, maka para feminis muslimah mulai menulis tentang peran gender, dan hubungannya dengan keluarga dan masyarakat, dan teman-teman yang menyangkut kekerasan seksual terhadap perempuan, eksploitasi perempuan mitsogini, dan tentang sistem patriarki itu sendiri. Seperti kurun waktu sebelumnya, mereka juga menuliskan pikiran dan pandangan mereka dalam bentuk novel, isai, artikel, memoar dan buku. Beberapa di antara mereka yang terkenal adalah Nawal as-Sa'dawi, Lathifah
66 67
Yunahar Ilyas, Fenomena Dalam Kajian, 53 Mufidah, Paradigma Gender, 43.
az-Zayyat dan Inji Aflatun dari Mesir, Fatima Mernissi dari Maroko, Riffat Hasan dari Pakistan, Assia Djebar dari Aljazair, Furugh Farrukhzad dari Iran, Huda Na'mani, Ghadah Samman dan Hanan Asy-Syaikh dari Lebanon, Fauzziyah Abu Khalid dari Saudi Arabia, Amina Wadud Muhsin dari Malaysia, Wardah Hafizh Nurul Agustina dan Siti Ruhaini Zuhayatin dari Indonesia, dan tidak ketinggalan seorang feminis muslim (laki-laki) dari India yaitu Asghar Ali Enginneer.68 Fatimah Mernissi merupakan guru besar sosiologi pada Universitas Muhamad
V Rabat, Maroko. Dikaitkan dengan feminisme, arah gerakan
pemikiran
Mernissi
adalah
mengupayakan
sistem
masyarakat
yang
memberikan jaminan bagi perempuan untuk memperoleh hak-haknya dalam keluarga dan masyarakat menghendaki peran lebih berarti dalam kehidupan, kemajuan pendidikan, juga kesempatan-kesempatan profesional lainnya. Arah ini sama seperti gerakan feminisme secara umum. Bedanya, gerakan pemikiran feminisme Mernissi berdasar pada pemahaman
ulang
terhadap teks-teks keagamaan. Dalam peta pemikiran Islam secara umum, model pemikiran Fatima Mernisi sejalan dengan Amina Wadud Muhsin (AS), Riffat Hasan (Pakistan) dan lainnya yang mencoba menggali teks-teks suci untuk dipahami ulang sesuai tuntutan feminisme dan konteks zaman.69 Rifat Hassan, kelahiran Pakistan, memfokuskan kajian tafsir al-Qur'an terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan soal teologi perempuan. Menurutnya, akar ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan adalah 68
Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian, 54. Fatima Mernissi, "Menggugat Ketidakadilan Gender," Dalam Pemikiran Islam Kontemporer, ed. Khudori Soleh (Yogyakarta: Jendela, 2003), 111. 69
pandangan teologi tradisional yang menyudutkan perempuan. Karena itu, ia berusaha membongkar tradisi itu dan menggantikannya dengan teologi Feminis, misalnya mengkritisi istilah-istilah khusus dalam al-Qur'an yang sering dimaknai diskriminatif terhadap perempuan.70 Di dalam ajaran Islam, laki-laki dan perempuan tidak dibedakan peranannya dalam beragama. Keduanya memiliki kesempatan yang sama dalam
berusaha
berbuat
yang
terbaik
bagi
dirinya,
keluarga
dan
masyarakatnya. Jelasnya, al-Qur'an tidak membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan.71 Dalam perspektif sejarah, al-Qur'an sebagai revolusioner terhadap norma-norma masyarakat tempat ia diturunkan. Al-Qur'an melahirkan perubahan-perubahan yang radikal yang lebih manusiawi dan menguntungkan kaum perempuan. Secara khusus aspek revolusioner memang berhubungan dengan perempuan. Sebelum zaman Nabi, bayi-bayi perempuan yang baru lahir biasanya dikubur hidup-hidup. Kalaupun dengan jelas dan tanpa raguragu Al-Qur'an menempatkan perempuan sederajat dan setara dengan lakilaki, keduanya harus memenuhi seruan Allah dan memiliki berbagai hak dan tanggung jawab sama.72 Islam diturunkan sebagai pembawa rahmat ke seluruh alam, termasuk kepada kaum perempuan. Nilai-nilai fundamental yang mendasari ajaran Islam seperti perdamaian, pembebasan termasuk persamaan derajat antara 70
Rifat Hasan, Periode Kebangkitan Feminisme Dalam Islam, Dalam Paradigma Gender, ed. Mifidah, 44. 71 Majalah Mutiara Amaly, Ditepi Pantai Keimanan, "Wanita yang Mana" 72 Lynn Wilcox, Wanita dan al-Qur'an Dalam Perspektif Sufi, Terj. Dictia (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), 44.
laki-laki dan perempuan
banyak tercermin dalam ayat-ayat Al-Qur'an.
Namun dalam kenyataan dewasa ini dijumpai kesenangan antara ajaran Islam yang mulia tersebut dengan kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari. Khusus tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, masih banyak tantangan dijumpai dalam merealisasikan ajaran ini, bahkan ditengah masyarakat Islam sekalipun. Perjuangan
untuk
mencapai
kesetaraan
dengan
kaum
laki-laki
sebagaimana diajarkan al-Qur'an masih panjang dan memerlukan dukungan dari semua pihak. Bagaimanapun juga, masalah perempuan adalah masalah kemanusiaan, termasuk di dalamnya kaum laki-laki. Sebagaimana disebut dalam al-Qur'an, laki-laki dan perempuan itu saling menolong, saling memuliakan,dan saling melengkapi. Al-Qur'an
tidak
mengajarkan
diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, laki-laki dan perempuan mempunyai
derajat
yang
sama.
Namun,
masalahnya
terletak
pada
implementasi ajaran tersebut. Banyak faktor seperti lingkungan budaya dan tradisi yang patriarki, serta sikap dan perilaku individual yang menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan gender tersebut. Dalam kondisi seperti ini yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan terhadap kaum perempuan serta penyadaraan akan hak dan status mereka yang Islami.73 Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, dua orang feminisme dari Asia Selatan,tidak mudah untuk merumuskan definisi feminisme yang dapat
73
Wahid Zaini, Memposisikan Kodrat Perempuan Dan Perubahan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Mizan, 1999), 11-12.
diterima oleh atau ditetapkan kepada semua feminis dalam semua waktu dan di semua tempat. Definisi feminisme berubah-ubah sesuai dengan perbedaan realitas sosio-kultural yang melatar belakangi
lahirnya faham ini, dan
perbedaan tingkat kesadaran, persepsi serta tindakan yang dilakukan oleh para feminis itu sendiri. Feminisme harus didefinisikan secara jelas dan luas, supaya tidak lagi terjadi kesalahfahaman. Bahkan ketakutan terhadap feminisme. Media massa sering memberikan gambaran yang keliru terhadap feminis sebagai perempuan pembenci laki-laki dan perusak keluarga. Dengan latar belakang di atas,
dua feminis dari Asia Selatan ini,
mendefinisikan bahwa feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.74 Keyakinan
tentang
adanya
ketidakadilan
masyarakat
dalam
memperlakukan perempuan telah mendorong lahirnya gerakan feminisme. Dalam arti luas, feminisme menunjuk pada setiap orang yang memiliki kesadaran terhadap subordinasi perempuan dan berusaha menyelesaikannya. Beberapa
fenomena
ketidakadilan
Jender tersebut,
sebagaimana
diungkapkan oleh Mansour Fakih, adalah: Pertama, marginalisasi perempuan baik di rumah tangga, di tempat kerja, maupun di dalam bidang kehidupan
74
Kamia Bhasin,Feminisme dan Feminis Muslim, dalam feminisme dalam Kajian Tafsir, ed. Yunahar Ilyas, 40-41.
bermasyarakat lainnya. Proses marginalisasi ini berakibat pada kemiskinan ekonomi, perempuan. Kedua, subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Ketiga, stereotype yang merugikan kaum perempuan, misalnya asumsi bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu
dikaitkan
dengan
label
ini.masyarakat
punya
kecenderungan
menyalahkan perempuan sebagai korban perkosaan akibat stereotype tadi. Keempat, berbagai bentuk kekerasan menimpa perempuan baik fisik maupun psikologis karena anggapan bahwa perempuan lemah dibandingkan dengan laki-laki sehingga laki-laki leluasa melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kelima, pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, oleh sebab itu tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki. Akibatnya perempuan terkurung dalam ruang dan wawasan yang sempit.75 Untuk menempatkan perempuan dalam kedudukan seimbang dengan laki-laki dapat dilakukan pemberdayaan perempuan tersebut melalui pendidikan formal maupun non formal. Adapun maksud pemberdayaan perempuan disini memberikan arti sebagai upaya peningkatan kemampuan perempuan dalam mengembangkan keterampilan perempuan. 75
Mansour Fakih, 13-23.
Proses penyadaran.
pemberdayaan Dengan
perempuan
penyadaran
ini
ini
dapat
diharapkan
dilakukan
melalui
perempuan
mampu
menganalisis secara kritis situasi masyarakat sehingga dapat memahami atau mengetahui praktek-praktek diskriminatif yang merupakan konstruksi sosial serta membedakan peran. Oleh karena itu, terhadap perempuan dalam proses penyadaran perlu dibekali dengan informasi, pendidikan, pelatihan dan motivasi agar mengenal jati diri.76 Kesadaran akan ketidakadilan pada perempuan melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme. Dengan potensi kemanusiaannya sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, perempuan juga mempunyai kemungkinan untuk meraih peluang tersebut. Dengan demikian, feminisme merupakan gerakan untuk mencari peluang guna meraih kebebasan dan kemerdekaan kaum perempuan dari penindasan dan ketidakadilan.77 Hakikat feminisme adalah perlawanan, bebas dari penindasan, ketidakadilan dan kekerasan. Karena melawan penindasan, maka perlawanan ini, harus diawali dengan adanya kesadaran kritis. Feminisme sering digambarkan dengan mata, hati dan tindakan yaitu bahwa dia menyadari, melihat, mengalami adanya diskriminasi dan penindasan yang terjadi pada perempuan, mempertanyakannya, menggugat dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut. Feminisme dengan demikian
76
berpihak
pada
perempuan,
pada
mereka
yang
ditindas,
Tapi Omas Ihromi, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: Alumni, 2002),
142-143. 77
Achmad Muthali'in, Bias Gender Dalam Pendidikan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), 41.
didiskriminasi, diabaikan. Feminisme membongkar pengalaman ketertindasan sebagai
perempuan,
mempertanyakan
relasi-relasi
kekuasaan
yang
berlangsung pada perempuan dan berbuat sesuatu untuk mengubahnya.78 Secara umum, feminisme Islam adalah alat analisis maupun gerakan yang bersifat historis dan kontekstual sesuai dengan kesadaran baru yang berkembang dalam menjawab masalah-masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksejajaran. Para feminis muslim ini menuduh adanya kecenderungan misoginis dan patriarki (dominasi laki-laki) di dalam penafsiran teks-teks keagamaan klasik, sehingga menghasilkan tafsir-tafsir
keagamaan
yang
bisa
kepentingan
laki-laki.
Mereka
mencontohkan tentang hukum kepemimpinan (apakah dalam keluarga maupun dalam politik), penguasaan nafkah, stereotype tentang hijab dan sebagainya yang dianggap menjadikan perempunan tidak mandiri secara ekonomis dan selanjutnya tergantung secara psikologis. Apa yang khas dari feminisme Islam ini adalah dialog yang intensif antara prinsip-prinsip keadilan dan kesederajatan
yang ada dalam teks
keagamaan (al-Qur'an dan hadith) dengan realitas perlakuan terhadap perempuan yang ada atau hidup dalam masyarakat muslim. Perubahan cara pandang dan penafsiran teks keagamaan adalah kata kunci yang paling penting dan merupakan tujuan feminisme Islam.79 Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa Islam meliputi, ibadah, akhlak, politik, sosiologi, pendidikan, ekonomi dan hukum yang
78 79
Arimbi Heroepoetri, Percakapan Tentang Feminisme, 6. Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan, 47.
mengurusi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Semua pengetahuan itu tidak dapat diperoleh secara otomatis, melainkan melalui proses pengkajian, belajar dan mengajar. Kaum perempuan mewakili separuh masyarakat konsekuensinya, mereka bersama-bersama dengan kaum laki-laki memikul beban untuk membangun masyarakat ini.Mereka sama-sama memikul tanggung jawab pribadi dan masyarakat yang membutuhkan pendidikan yang baik dan ilmu pengetahunan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan individu dan bangsa Islam yang sedang tumbuh. Pendidikan perempuan sangat vital bagi masyarakat kita karena perempuan adalah orang yang melahirkan laki-laki dan perempuan masa datang. Perempuan adalah sekolah dasar bagi anak-anak kita. Dari mereka belajar tentang fondasi kemanusiaan dan
pendidikan moral laki-laki dan
perempuan sama saja haknya untuk mempelajari, membaca dan menulis bukubuku agama dan moral, dan juga buku-buku mengenai masalah kesehatan, pendidikan, anak, dan sebagainya.80 Dialah yang melahirkan anggota masyarakat yang baik maupun yang buruk. Islam memberikan hak kepada kaum perempuan untuk mencari penetahuan yang tidak terbatas. Islam memberinya kebebasan untuk memilih, memilah, dan memutuskan. Terserah kepadanya untuk membuat pilihan yang benar sesuai dengan nalurinya yang fitri dan dengan keadaan fisiknya serta peran alamiahnya dalam masyarakat.81
80 81
Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, 102. Ibid., 107.
Al-Qur'an sebagai petunjuk bahwa setiap kaum muslim harus terpelajar, perempuan akhirnya berhasil menyingkirkan banyak penghalang yang diletakan di atas jalan yang menjadikan mereka terdidik.82 Di antara topik terpenting yang dibawa al-Qur'an adalah perintah untuk berlaku adil kepada perempuan, membebaskanya dari kedzoliman Jahiliyah,dan dari tindakan otoriter dari laki-laki yang menentukan kehidupanya. Al-Qur'an memberikan kehormatan kepada kaum perempuan, sebagai seorang anak perempuan, seorang istri, seorang ibu, dan seorang anggota masyarakat.83 Dalam hal ini, Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan. Dalam masyarakat sebelum datangnya Islam, kaum perempuan
diperlakukan
sebagai
barang
yang
hampir-hampir
tidak
mempunyai hak, maka ajaran Islam secara drastis memperlakukan kaum perempuan sebagaiu manusia yang mempunyai hak-hak tertentu sebagai layaknya kaum laki-laki.
BAB III PEMIKIRAN R.A. KARTINI MENGENAI PENDIDIKAN PEREMPUAN
82
Mai Yamani, Feminisme dan Islam Yusuf Al-Qaradhawi, Berrinteraksi dengan al-Qur'an, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 148. 83
A.
Riwayat hidup R.A. Kartini Raden Adjeng Kartini dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879. Beliau adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, Bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan garwa prameswari, saat itu poligami adalah suatu hal yang biasa di kalangan bangsawan. Poligami merupakan hal lazim bagi keluarga di Jawa zaman dulu. Tidak heran bila ayah Kartini memiliki dua istri, yaitu Nyi Ngasirah (ibunda Kartini) dan Nyi Ajeng Moerjam. Ibunda Kartini adalah istri pertama Sosroningrat yang dinikahinya pada tahun 1872 dan posisinya sebagai garwa ampil, yaitu istri sah yang hanya berfungsi sebagai selir, sedangkan Nyi Ajeng Moerjam adalah istri kedua dari Raja Madura, R.A.A Tjitrowikromo dan posisinya sebagai garwa padmi, yaitu garwa prameswari yang mendampingi suami di dalam upacara-upacara resmi.84 Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya R.M. Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang Wedana di Mayong, Ibunya bernama M.A Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan K.H. Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang Bupati beristrikan seorang bangsawan, karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi Bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. 5285 Ayahanda Kartini juga seorang penulis yang Moerjam, R.A.A. Tjitrowikromo. tajam penanya. Tulisan-tulisan beliau kerap diterbitkan oleh majalah “Bijdragen
84 85
Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 147. http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini.
Vool-het Koninklijk Institut Voor de Taal, Land-en Volkenkunde Voor Nederlandsch Indie”. Beliau menulis problem-problem sosial di negeri ini serta usul-usul untuk menanggulanginya. Bahkan beliau menulis di majalah itu, tentang penghapusan diskriminasi pendidikan kepada Bumi Putera pada tanggal 16 Agustus 1882. Corak tulisan-tulisan Sosroningrat simbolik dan berkilau, namun tusukannya senyeri ujung jarum yang mendarahi kulit yang kena. Satu hal yang istimewa bahwa Sosroningrat mengupas materi-materi psikologis yang lekat dalam pendidikan para wanita kita. Lebih daripada kupasan mengenai perbaikan-perbaikan nasib dan emansipasi wanita Indonesia, Sosroningrat pun secara mendetail meneliti berbagai kekurangan alat peraga yang ada di sekolah-sekolah desa di pulau Jawa.86 Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Selain keluarga ningrat juga keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat Bupati dalam usia 25 tahun. Kakek Kartini, Sosrokartono adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Saudara kandung Kartini hanya R.M.P. Sosrokartono, sedangkan yang sembilan saudaranya dari Raden Ayu Sosroningrat, seorang bangsawan keturunan ratu Madura.87 Kartini kecil sudah diberikan pendidikan yang berwawasan masa depan, kesehariannya dengan berbagai kegiatan pendidikan, seperti pagi ia harus masuk sekolah dan sorenya ia harus belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Tradisi demikian merupakan warisan kakeknya Tjondronegoro IV, seorang Bupati Demak, yang senantiasa ‘memecuti’ anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan
86 87
Suryanto Sastroatmodjo, Tragedi Kartibi, 13. Umar Hasyim, R.A. Kartini Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, 7-8
sehingga ayah Kartini pun pernah bersekolah di Europe Lagere School, sebuah sekolah khusus untuk orang Belanda dan anak pribumi yang diberikan kesempatan untuk belajar di sana. Kakek Kartini merupakan salah seorang penggagas gerakan pembebasan di bidang pendidikan, terbukti dengan mendatangkan guru privat dari Negeri Belanda untuk mengajar putra-putrinya. Sebagaimana dilukiskan Kartini di dalam suratnya kepada Stella bahwa kakeknya adalah seorang pembuka pintu masuk peradaban barat, Belanda ke Indonesia. Namun sayang, Kartini harus kecewa dengan menerima kenyataan bahwa pada usia 12 tahun ia harus meninggalkan bangku sekolah dan memasuki masa-masa pingitan ke arah pernikahan. Ayahnya yang cukup berpendidikan maju tidak kuasa melepaskan diri dari budaya Jawa yang mengharuskan orang tua untuk memingit putrinya di rumah pada usia demikian. Sebagaimana rasa kecewa itu ‘diluapkan’ dalam suratnya kepada Nyonya JH. Abendanon, sahabat karibnya dari Belanda, demikian tulisannya: Gadis itu kini berusia 12 tahun. Waktunya telah tiba baginya untuk mengucap selamat tinggal pada masa kanak-kanak. Dan meninggalkan bangku sekolah, tempat di mana ia ingin terus tinggal. Meninggalkan sahabat-sahabat Eropanya, di tengah mana ia selalu ingin terus berada. ….Ia tahu, sangat tahu bahkan, pintu sekolah yang memberinya kesenangan yang tak berkeputusan telah tertutup baginya. Berpisah dengan gurunya yang telah mengucap kata perpisahan yang begitu manis. Berpisah dengan teman-teman yang menjabat tangannya erat-erat dengan air mata berlinangan.88
Kartini menjalani pingitan dengan kakak perempuannya yang bernama Soelastri. Mereka berdua sebenarnya saling menyayangi, tetapi mereka bertolak belakang dalam hal pemikiran dan cita-cita. Soelastri tidak sependapat dengan apa yang dicita-citakan Kartini, dia sangat berpegang teguh dengan adat jawa. Soelastri
88
Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan, 147-149.
pasrah dengan apa yang dia terima, berbeda dengan kartini yang ingin melepaskan diri dari ketertindasan tersebut.89 Selama menjalankan pingitan, komunikasi dengan laki-laki lain hanya berlangsung dengan ayah dan saudara laki-lakinya, terutama kakaknya, R.M. Sosrokartono. Lebih menyedihkan lagi, kakak perempuannya, Soelastri yang lebih dulu dipingit, menolak mendengarkan keluhan Kartini dengan mengatakan “Masa bodoh ! aku ini orang Jawa”. Memahami apa yang diceritakan oleh Kartini, maka atas prakarsa Bupati Sosroningrat dan Sosrokartono, setiap minggu didatangkan kotak bacaan untuk Kartini. Kegiatan membaca ini ternyata membantu Kartini mengembangkan pengetahuannya. Secara resmi, masa pingitan Kartini berlangsung dua tahun, tetapi karena ia menolak dijadikan Raden Ayu, masa pingitannya ditambah dua tahun lagi. Pada masa perpanjangan pingitan inilah telah bergabung pula kedua adik perempuan Kartini yang bernama Roekmini dan Kardinah. Penolakan Kartini untuk dijadikan R.A. agaknya merupakan reaksi jiwa setelah melihat kehidupan kedua ibunya yang dalam suasana perkawinan poligami. Mas Ayu Ngasirah yang tidak lain adalah ibu kandung Kartini pasrah untuk dimadu juga merupakan kepatuhan terhadap tradisi Jawa. Kepatuhan itu pula yang menyebabkan Ngaisarah tahu diri bahwa setelah Sosroningrat menjabat Bupati Jepara tempatnya adalahdi belakang, dan akan disebut bibi oleh anak-anaknya sendiri maupun oleh anak-anak madunya. Ia pun wajib memanggil ndoro kepada anaknya sendiri maupun kepada ketiga putri R.A. Moerjam.
89
Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), 13.
Sementara itu, dipihak lain R.A. Moerjam juga harus menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah satu-satunya istri dalam rumah tangga Bupati Sosroningrat secara adil, sebagai kewajiban yang tidak bisa ditawar. R.A. Moerjam bertugas di depan menerima tamu dan bersosialisasi ke luar, sedangkan Mas Ayu Ngasirah bertugas di belakang sebagai kepala urusan rumah tangga. Tepat pada peralihan ke tahun 1900, Bupati Sosroningrat menghapuskan tradisi pingitan terhadap putri-putrinya. Pada waktu itu Kartini gunakan untuk menulis artikel di majalah dan membaca buku-buku. Berkat ketekunannya itu, Kartini mencapai keterbukaan jiwa, cipta maupun rasa, yang membuat dirinya sadar bahwa sebagian tradisi Jawa telah menghambat kemajuan. Namun di sisi lain Kartini menyadari pula bahwa mengubah semua itu perlu waktu.90 Kegelisahan Kartini menggambarkan kegelisahan seorang gadis kecil yang cerdas, kritis dan berwawasan masa depan. Dalam usia yang relatif muda, Kartini kecil sudah fasih berbahasa, berdialog, dan menulis banyak hal dengan bahasa Belanda kepada sahabat-sahabatnya. Sekalipun berada di bawah pingitan budaya Jawa, karena kecerdasan dan kekritisan yang dimilikinya, Kartini tetap diperkenankan bergaul dan bermain dengan gadis-gadis Belanda. Dari sana ia memperoleh banyak pengalaman dan belajar banyak hal yang menjadikan pemikiran
Kartini
semakin
tajam,
kepribadiannya
semakin
kokoh,
dan
pandangannya ke depan melampaui batas usianya. Seperti
diuraikan
Kartini
dalam
suratnya
kepada Estelle ‘Stella’
Zeehandelaar, bahwa ia ingin seperti gadis-gadis Belanda yang memperoleh
90
Dri Arbaningsih, Kartini dari Sisi Lain Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi Bangsa (Jakarta: Kompas, 2005), 115.
kesempatan pendidikan sama dengan kaum laki-laki. Perempuan Jawa di zaman Kartini sangat memprihatinkan, di mana ia tidak bebas duduk di bangku sekolah, dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dikenal, dan celakanya ia pun harus rela dimadu. Pada zaman Kartini, budaya Jawa memposisikan perempuan sebagai objek seksual dan ‘media’ reproduksi. Kisah Ken Dedes dari Kerajaan Kediri, misalnya, menggambarkan kisah seorang perempuan cantik dan sempurna yang dimitoskan sebagai perempuan yang dari rahimnya lahir putra-putra yang kelak menjadi rajapenguasa di Jawa. Dalam buku Barata Yudha dan Ramayana bisa dilihat betapa perempuan digambarkan sebagai pemuas nafsu nafsu seksual dan reproduksi. Perkawinan yang sejatinya menjadi media ke arah ketentraman dan kebahagiaan (mawaddah wa rahmah), justru pada sebagian perempuan Jawa menjadi penjara dan pemasungan atas nama agama. Sebagimana dikatakan Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Van Kol pada tanggal 19 Agustus tahun 1901, demikian tulisannya; “Satu-satunya jalan bagi gadis Jawa, terutama bagi kalangan ningrat adalah perkawinan. Tetapi apa yang terjadi dengan perkawinan yang mula-mula oleh Tuhan ditentukan sebagai tujuan tertinggi bagi wanita? Perkawinan yang semestinya merupakan panggilan suci telah menjadi semacam jabatan. Jabatan yang harus dikerjakan dengan syarat-syarat yang merendahkan dan mencemarkan bagi wanita-wanita kita. Atas perintah bapak atau paman atau kakaknya, seorang gadis harus siap untuk mengikuti seorang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya, yang tidak jarang telah mempunyai istri dan anak-anak. Pendapatnya tidak ditanya, ia harus menurut saja”.91
Perasaan teriris dan miris yang dirasakan Kartini melihat kenyataan hidup sosial-budaya Jawa seperti di atas, menggugah dirinya untuk membangkitkan kesadaran masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya untuk menyatukan barisan ke arah pembebasan di bidang pendidikan. Kartini berharap
91
Armijen Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang,, 98.
perempuan diposisikan sejajar dengan laki-laki dengan peran partisipatif di dalam menghantarkan manusia Indonesia ke arah pembangunan masa depan yang lebih baik.92
92
Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 149-151.
B.
Pemikiran R.A. Kartini Mengenai Pendidikan Perempuan 1. Aspek Perempuan sebagai Pendidik Pertama Perempuan sebagai pendidik pertama berperan dalam pembentukan watak anaknya. Dalam suratnya kepada N.V.Z., Yang dimuat di Kolonial Weekblad, pada tanggal 25 Desember 1902, ia mengatakan: Bukan tanpa alasan orang mengatakan Kebaikan dan kejahatan dimulai anak bersama air susu Ibu. Alam sendirilah yang menunjuk dia untuk melakukan kewaiban itu. Sebagai ibu dialah pendidik pertama anaknya. Di pangkuannya anak pertama belajar merasa, berpikir, berbicara. Dan dalam kebanyakan hal pendidikan pertama-tama bukan tanpa arti untuk seluruh hidupnya. Tangan ibulah yang meletakkan benih kebaikan dan kejahatan dalam hati manusia, yang tidak jarang dibawa sepanjang hidupnya. Dan bagiamana sekarang ibu-ibu jawa dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak terdidik? Peradaban dan kecerdasan bangsa jawa tidak akan maju dengan pesatnya, kalau perempuan dalam hal itu terbelakang.93
Kartini berpendapat, membesarkan seorang anak adalah tugas besar. Pembentukan kepriabdian manusia pertama-tama harus diperoleh dari rumah. Para calon ibu terus diberi semacam pendidikan dan pembinaan keluarga. Dan sekarang bagiamana keluarga dapat mendidik dengan baik, kalau unsur yang penting dalam keluarga, yakni perempuan, ibu, sama sekali tidak cakap mendidik?94 Karena itu kartini meminta pemerintah otonomi Hindia-Belanda memperhatikan masalah ini dengan serius, teruama menyangkut kebutuhan dana dan tenaga pengajarnya. Dengan menjelaskan peran dan tanggung jawab perempuan dalam masyarakat. Kesadaran ini, dalam pandangan Kartini, lebih efektif daripada suatu pemerintah penguasa yang jarang diketahui manfaatnya.95
93
Dri Arbaningsih, Kartini dari sisi lain, 127. Nota Kartini untuk Idenburg lihat di Dri Arbaningsih, Kartini Dari Sisi Lain, 128. 95 Ibid., 129. 94
Seperti sudah sering dikatakan, R.A. Kartini menganggap pengaruh Biologis Ibu kepada anak yang dilahirkan dan dibesarkan dipangkuannya sangat penting bagi pembentukan watak serta perkebangan jiwa anak itu selanjutnya. Akan tetapi karena pada waktu itu kaum Ibu kita pada umumnya belum mendapat pendidikan, maka perlu diadakan sekolah bagi perempuan dengan guru-guru yang kompeten, yang mampu memberi pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan kebutuhan zaman.96 Bagi Kartini peradaban masyarakat terletak di tangan perempuan, karena itu perempuan harus dididik diberi pelajaran dan turut serta dalam usaha untuk mencerdaskan bangsa. Dalam notanya kepada Roeseboom tersebut Kartini sampai kepada kesimpulan, sepanjang peradaban manusia ditopang oleh jiwa-jiwa yang tidak memiliki keseimbangan antara kecerdasan otak dan budi pekerti, tatanan masyarakat akan tetap pincang dalam memberikan pendidikan kepada perempuan, karena itulah, dalam karya Kartini tertulis sebagai berikut: Sekolah saja tidak cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia, 97 rumahpun harus turut mendidik.
Kartini yakin, pendidikan manusia harus dimulai sedini mungkin, namun bukan pendidikan yang hanya membentuk menjadi keras kepala, yang kelak akan menjadi orang yang mementingkan diri sendiri dan bersikap semena-mena. Perempuan bertanggung jawab terhadap corak kehidupan di masyarakat, apalagi perempuan (ibu) adalah pendidik pertama dan utama. Di tangannya terbentuk generasi yang menjadi harapan umat dan tergenggam masa depan umat, karena 96 97
Siti Sumantri Soeroto, Kartini sebuah Biografi (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1979), 321. Dri Arbaningsih, Kartini Dari Sisi Lain, 133.
ia adalah tiang Negara yang menentukan tegak atau runtuhnya Negara atau masyarakat.98 2. Aspek Pendidikan dan Pengajaran Bagi Perempuan Pendidikan
dan pengajaran bagi Bumiputra hendaknya ditujukan
kepada hal-hal praktis demi meningkatkan kecerdasan dan kualitas hidup rakyat. Pemikiran Kartini mengenai sistem pengajaran untuk zaman itu boleh dikatakan sangat modern, karena menempatkan anak didi sebagai subyek kegiatan belajar mengajar, bukan sebagai obyek pengajaran seperti lazimnya pendidikan pada waktu itu.99 Pendidikan yang dimaksud Kartini bukanlah pendidikan formal saja, tetapi juga pendidikan Budi Pekerti.100 Konsep pendidikan kartini terfokus pada penyempurnaan kecerdasan berpikir (cipto) dan kepekaan budi pekerti (roso) siswa melalui keteladanan sikap dan perilaku guru. Pendidikan harus mampu menanamkan moralitas yang akan membentuk siswa berwatak ksatria, seperti kutipan berikut: Kesadaran anak-anak harus dibangunkan, "bahwa mereka harus memenuhi panggilan budi dalam masyarakat terhadap bangsa yang akan mereka kemudikan. Kewajiban para guru adalah menjadikan anak-anak perempuan yang dipercayakan kepada mereka, menurut pandangan mereka yang sebaikbaiknya dan dengan sekuat tenaganya perempuan-perempuan yang beradab, cerdas, sadar, akan panggilan budinya dalam masyarakat. Menjadi ibu yang penuh kasih sayang, pendidikan yang berbudi dan cakap. Dan selanjutnya agar dengan cara apapun juga berguna dalam masyarakat yang dalam tiap 101 bidang sangat memerlukan pertolongan.
98
http://Wartafeminis.wordpress.com/2007/07/30/ perempuannasionalisme -dan-pendidikan. Dri Arbaningsih, Kartini Dari Sisi Lain, 124. 100 http://wartafeminis.wordpress 101 Sistem pengajaran melalui keteladanan guru ini diterapkan oleh KI Hajar Dewantara, yang melahirkan postulat pendidikan Ing Ngarso Sungtulodho, Ing Madya Mbangun Karta, Tut Wuri Handayani (mengikuti dan mengawasi anak didik, memberi contoh dan teladan, serta membentuk kreativitas anak). System ini tidak menempatkan anak didik sebagai obyek yang sekedar "menampung" pengetahuan, mealinkan sebagai subyek yang harus mampu membentuk dirinya sendiri melalui proses belajar-mengajar dan interaksi guru-murid. Lihat di Dri Arbaningsih, Kartini dari sisi lain, 134. 99
Kartini juga melihat pentingnya menjaga silaturahmi antara siswa yang sudah lulus sekolah dan yang masih berstatus siswa, yang dihubungkan oleh figur guru sebagai sumber pengetahuan sekaligus sebagai pembahas manfaat pelajaran sekolah (teori) di lapangan (praktek).102 Mengenai kurikulum sekolah yang di cita-citakan itu ternyata berbeda sekali dari sistem pendidikan di sekolah-sekolah negeri. Kartini berpendapat bahwa suatu sistem pendidikan yang hanya ditujukan kepada pelajaran intelektualistis itu salah, pendidikan tidak hanya bersifat mengasah otak saja. Pendidikan budi pekerti dan pembinaan watak adalah sangat penting juga dan bahkan harus diutamakan. Memang dalam sekolah kami, kami lebih mementingkan pendidikan budi pekerti dari pada doktrinal. Oleh sebab itu kami juga tidak menginginkan sekolah itu didirikan oleh pemerintah, melainkan oleh swasta, karena kami nanti akan tunduk pada peraturan-peraturan tertentu. Padahal kami ingin membangun sekolah menurut gagasan kami sendiri. Kami ingin mendidik anak-anak seperti seorang ibu mendidik anak-anaknya. Cara mendidik di situ seperti dalam suatu rumah tangga besar, di mana anggota-anggotanya saling mencintai dan saling mengajar, dan di mana ibu tidak hanya namanya saja, melainkan sungguh ibu pendidik jasmani dan rohani anaknya.103
Kartini ingin meletakkan dasar moralitas bagi masyarakat Bumiputra melalui pendidikan budi pekerti sebagai pengimbang pendidikan akal (rasio). Kartini berpandangan bahwa peradaban manusia membutuhkan keseimbangan antara akal dan budi pekerti. Budi pekerti adalah sumber moralitas keadilan dan perikemanusiaan, yang menurut Kartini kurang dipedulikan. Menurut hemat Kartini, hanya dengan memiliki moralitas keadilan dan peri-kemanusiaanlah
102 103
Dri Arbaningsih, Kartini Dari Sisi Lain, 126. Siti Soemandari Soeroto, Kartini Sebuah Biografi, 321.
pemimpin mampu menyelenggarakan kehidupan bersama dengan rakyat tanpa penindasan.104 Pendidikan yang diinginkan Kartini tidak hanya menyangkut penguasan materi kognitif saja, melainkan bagiamana menjadikan manusia-manusia yang berbudi luhur dan berjiwa besar. Yaitu, pendidikan yang mengarahkan manusia menuju kesejatian dirinya secara sempurna, baik aspek kognitif, aspek afektif, maupun aspek psikomotorik. Atau dengan kata lain, pendidikan yang bisa menumbuhkan kekokohan diri secara sempurna baik spiritual, moral dan intelektual. 105 Kartini menginginkan keseimbangan otak dan akhlak, jadi siswa selain pandai dalam hal teori, mereka juga harus mempunyai ketrampilan sehingga pengaplikasian dari teori
104 105
tersebut
Dri Arbaningsih, Kartini Dari Sisi Lain, 117. Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 154.
terlaksana.
3. Pendidikan Tanpa Diskriminasi Pendidikan adalah salah satu yang menjadi kepedulian utama Kartini untuk memajukan perempuan dan bangsa Bumiputra Umumnya. Dialah Kartini, yang mengirimkan Nota Kepada Pemerintah Kolonial, yang dikirimkan kepada penasehat hukum Kementrian Jajahan, Slingenberg tahun 1903 bertepatan dengan masih berlangsungnya politik etis pemeritah kolonial belanda. Nota kartini berjudul "Berilah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa" memuat berbagai hal termasuk kritik terhadap kebijakan, perilaku pejabat pemerintah kolonial dalam bidang kesehatan, budaya dan pendidikan. Terutama pendidikan, Kartini menelankan pentingnya bangsa Bumiputra terdidik. Mengenai pendidikan bagi Bumiputra, Kartini mengingatkan bahwa semua Bumiputra harus memperoleh pendidikan bagi kalangan manapun dan berlaku untuk semua tanpa membedakan jenis kelamin. Karena menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Kartini menyatakan bahwa pengajaran bagi perempuan akan bermanfaat bagi Bumiputra pada umumnya. Pendidikan telah memperluas peluang perempuan pada akses politik. Kemampuan Kartini membaca Buku berbagai bahasa memperluas peluang perempuan pada akses politik. Kemampuan Kartini membaca buku berbagai bahasa, menjadi alat pencapaiannya akses ilmu pengetahuan dan pengalaman berbagai bangsa. Pendidikan juga memberi peluang bagi perempuan untuk mengembangkan potensinya.106
106
http://wartafeminis.wordpress.com
Kartini adalah orang Jawa pertama yang memikirkan tentang pendidikan gadis remaja bangsa Jawa dan menyatakan keyakinannya bahwa perlunya pendidikan. Dalam hal itu ia mendahului pemerintah Hindia Belanda. Pada dasawarsa terakhir dari abad 19 ia sudah merumuskan gagasan-gagasannya mengenai maslaah itu sampai mendetail. Sebetulnya yang diidam-idamkannya ialah sebuah sekolah untuk para perempuan.107 Surat Kartini berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dikenal, dan harus bersedia dimadu.108 Kartini berkeyakinan bahwa laki-laki dan perempuan harus memperoleh pendidikan yang sama. Pendidikan merupakan kata kunci menuju perubahan kehidupan yang lebih baik. Pendidikan merupakan mediator utama pembebasan manusia dari diskriminasi dan penindasan. Khusus kaum perempuan diharapkan Kartini bukan hanya menjadi komoditi domestik, melainkan bagaimana bisa memasuki peran emansipatoris di dalam pergaulan global yang dinamis dan progresif. Karena perempuan merupakan kunci pembuka bagi pendidikan putraputri anak bangsa. Kondisi perempuan pada Era Kartini sangat memprehatinkan, karena sedikit sekali perempuan yang bisa memasuki sekolah. Tercatat bahwa pada
107 108
Siti Soemandari, Kartini Sebuah Biografi, 320. http://wiskipedia.org/wiki/Kartini.
tahun 1879 hanya 713 gadis Jawa dan Madura yang bisa menikmati bangku sekolah. Pada tahun 1898 hanya 11 perempuan Jawa yang berkesempatan dan diberi kesempatan menikmati sekolah GuberMemen Belanda. Atas keprihatinan inilah Kartini memberontak dan bergerak secara revolusioner
untuk
menggelegarkan pembebasan kondisi pendidikan perempuan di Indonesia.109 Dalam kaitan ini, pengalaman Kartini menjadi penting untuk diperhatikan. Dia adalah saksi dari munculnya sebuah kesadaran baru di kalangan perempuan Indonesia, dan masyarakat Indonesia secara umum, tentang kemajuan perempuan, yang tumbuh menyusul kebijakan politik etis. Kartini memang mewarisi semangat pembaharuan pendidikan dari Abendanon. Ini ditandai tidak saja kedekatannya dengan salah seorang tokoh politik etis tersebut, tetapi yang terpenting adalah hasratnya yang besar bagi kemajuan kaum perempuan. Lebih dari itu, sejalan dengan pemikiran Abendanon, Kartini memilih pendidikan sebagai jalur yang harus ditempuh perempuan untuk memperoleh pengakuan sejajar dengan kaum laki-laki. Dalam kaitan inilah, dia diakui sebagai simbol dari awal gerakan emansipasi perempuan di Indonesia, dia menjadi pelopor kebangkitan perempuan Indonesia.110 Hasrat Kartini untuk memajukan kaum perempuan memang harus berhadapan dengan sistem sosial dan budaya Jawa yang tidak berpihak, dia harus tunduk pada ayahnya yang memilih menikahkan dia ketimbang mendukung memperoleh pendidikan lebih tinggi. Namun demikian, hal yang paling penting dalam konteks ini adalah bahwa Kartini mempresentasikan 109
Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 151. Jajat Burhanudin, Tentang Perempuan Islam Wacana dan Gerakan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2004), 4. 110
kebangkitan satu kesadaran baru yang tengah berkembang di kalangan bangsa Indoensia, di mana kemauan menjadi satu wacana sosial dan intelektual yang dominan. Surat-surat Kartini, yang kemudian diterbitkan sebagai penghargaan atas cita-citanya untuk kemajuan kaum perempuan, dengan tegas merefleksikan pemikiran yang berkembang secara umum saat itu, satu pemikiran bangsa Indonesia yang mencitakan kemajuan. Hasrat dan cita kemajuan memang menjadi ciri utama pergerakan Indonesia. Budi utomo, berdiri tahun 1905, merupakan wujud dari keinginan sebagian bangsa Indonesia, lagi-lagi mereka yang terdirik secara barat, untuk memperjuangkan terciptanya kemajuan. Pembentukan organisasi modern, satu bentuk baru perjuangan bangsa Indonesia saat itu, merupakan bukti dari keakraban mereka dengan pranata modernitas yang diperkenalkan pemerintah kolonial, atas dasar makna ideologi kemajuan memperoleh pendasaran historis-sosiologis di Indonesia. Penting ditekankan, perkembangan sebagaimana dijelaskan di atas, di mana gagasan kemajuan menjadi cita-cita bersama bangsa Indonesia saat itu, memang didukung teknologi cetak yang sudah diperkenalkan pihak kolonial. Di samping tentu saja faktor pendidikan, perkembangan teknologi cetak telah memainkan peran sangat penting dalam pembentukan wacana sosial-intelektual di Indonesia. Media cetak telah menyediakan sarana demikian efektif bagi perkembangan dan penyebaran gagasan, dan selanjutnya perubahan sosial, termasuk gerakan kaum perempuan pada awal abad ke-20. Lagi-lagi pengalaman Kartini memberi bukti hal demikian. Kemajuan kaum perempuan yang dicitakan Kartini menjadi milik bersama bangsa Indonesia, khususnya
mereka dari kalangan pergerakaan berbasis di perkotaan. Hal ini tentu saja terjadi karena gagasan-gagasan Kartini disebarkan melalui tulisan-tulisan yang terbit di berbagai surat kabar, yang memang telah berkembang pesat di Indonesia saat itu. Tulisan-tulisan Kartini dibaca tidak saja oleh sahabat-sahabat sebangsa, tetapi juga dari bangsa, lain, khususnya Belanda.111 Tentu saja mereka sangat tertarik dan kagum, bahwa seorang putri Bumiputra dapat menulis tentang hal-hal aktual dalam masyarakat dan dalam bahasa Belanda yang demikian indahnya. Di antara mereka ada beberapa yang memberanikan diri mengirim surat kepada Kartini untuk menyatakan kekaguman serta dukungan mereka atas gagasan dan cita-cita suci Kartini mengenai emansipasi kaum perempuan dan perempuan Indonesia pada umumnya. Mereka juga mengagumi keluhuran budi Kartini yang meskipun berasal dari kalangan ningrat tinggi, bersedia untuk bekerja dikalangan rakyat biasa dan bahkan menamakan diri anak rakyat.
Kartini gembira menerima
surat-surat itu, yang menunjukkan antusiasme muda yang masih murni. Dalam menjawab surat-surat ini Kartini menempatkan diri sebagai mbakyu (Saudara tua) mereka, kepada siapa mereka dapat menceritakan segala suka duka dan juga meminta nasehat jika memerlukannya.112 Perempuan akan lebih dihargai bila ia memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki dan apalagi lebih tinggi. Perempuan berpendidikan yang diangangkan Kartini adalah bagaimana ia bisa memasuki sektor-sektor publik, seperti peneliti, penguasaha, wartawan, arsitek, dan bahkan pemimpin negara.
111 112
Jajat Burhanudin, Tentang Perempuan, 6. Siti Soemandari, Kartini Sebuah Biografi, 320.
Itulah yang ada dalam bidikan lensa-lensa angan-angan Kartini menuju pembebasan dan kebebasan perempuan dalam perspektif pendidikan. Atas jasa Kartini ini, kemudian bermunculan wanita-wanita Indonesia yang berpendidikan modern. Liberalisasi dan emansipasi
pendidikan terus
digalakkan bagi kaum perempuan. Kaum wanita era sesudah Kartini boleh berbangga dan sekaligus berbenah diri kea rah dua beban yang harus dipikul, yaitu sektor domestik dan sektor publik. Wanita dewasa ini harus menyeimbangkan segenap potensi dan kesempatan yang ada, antara rumah tangga dan karirnya. Kemampuan manajerial balancing ini diharapkan supaya apa yang menjadi cita-cita awal gerakan feminisme tidak sia-sia dan tidak menjadi nihil.113 Pandangan Kartini tentang pendidikan barangkali bisa dijelaskan kedalam beberapa hal. Pertama, pendidikan perempuan haruslah ditekankan pertama kali sebagai usaha, mengejawantahkan pembangunan kepribadian anak bangsa secara menyeluruh. Kedua, selain diorientasikan kepada pengetahuan dan keterampilan, pendidikan hendaknya juga diarahkanm kepada pembentukan watak dan kepribadian peserta didik. Ketiga, kunci kemajuan bangsa terletak pada pendidikan, karena itu seluruh rakyat harus dapat menerima pendidikan secara sama. Sistem dan praktek pendidikan tidak mengenal diskriminasi dan siapa saja tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, keturunan, kedudukan sosial dan sebagainya berhak memperoleh pendidikan.114
113 114
Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 155. Ibid., 154.
Kartini berusaha untuk memberikan perubahan terhadap posisi perempuan Jawa pada waktu itu. Karena Kartini berharap kaum perempuan akan memperoleh nasib yang lebih baik daripada apa yang dialaminya. Kartini merupakan sosok pejuang pemikiran modern pertama sekaligus menjadi inspirator bagi perempuan penerusnya. Beliau tidak hanya pejuang perempuan saja, melainkan juga seorang pejuang pembebasan pemikiran untuk bangsanya.
BAB IV ANALISA RELEVANSI PEMIKIRAN KARTINI DENGAN KONSEP FEMINISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A.
Analisa Konsep Feminisme Dalam Pendidikan Islam Ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam mempunyai nilai kemanusiaan yang universal, dan menjadi tolok ukur keutamaan di antara manusia. Setiap manusia mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan, tidak hanya menjadi kewajiban untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dewasa ini, masih banyak manusia yang belum menyadari akan hak yang dimiliki oleh masing-masing individu. Bahkan, banyak manusia satu dengan lainnya masih memandang sebelah mata untuk menerima pendidikan karena perbedaan kepemilikan harta, status, suku, warna kulit, agama, dan perbedaan jenis kelamin. Perlakuan diskriminasi tersebut menyebabkan ketimpangan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, terlebih penyudutan hak akan ilmu pengetahuan yang dimiliki antara kaum laki-laki dan perempuan.
Di dalam Islam, pendidikan adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan secara umum sangat dijunjung tinggi dan dihormati dalam Islam. Penghormatan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan mereka yang memilikinya, merupakan salah satu pegangan bagi setiap muslim. Maka Islam menjadi agama yang juga mengutamakan kesetaraan akan kepemilikan ilmu pengetahuan bagi laki-laki dan perempuan. Maka dari itu, ilmu pengetahuan 71 merupakan parameter nilai yang sama bagi lakilaki dan perempuan, sehingga tidak ada perbedaan tentang pentingnya pencapaian ilmu antara laki-laki dan perempuan. Sama halnya dalam konsep feminisme di dunia Islam, feminisme sudah dikenal sejak awal masuknya Islam. Walaupun para muslim barangkali tidak menggunakan istilah tesebut. Bahwa pendidikan merupakan hak bagi manusia baik laki-laki maupun perempuan. Keyakinan tentang adanya ketidakadilan masyarakat dalam memperlakukan perempuan telah mendorong lahirnya gerakan feminisme. Dalam arti luas, feminisme menunjuk pada setiap orang yang memiliki
kesadaran
terhadap
subordinasi
perempuan
dan
berusaha
menyelesaikannya. Terlebih dalam masalah pendidikan, menjadi sangat urgen untuk segera ada penyadaran pada masyarakat. Persamaan dalam pendidikan Islam adalah keadilan Islam yang mempunyai satu-satunya ukuran yang dapat diikuti oleh setiap manusia dalam segala aspek kehidupan, hak pendidikan, hak antara laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. Jadi, kesinambungan antara konsep dasar feminisme dengan Pendidikan Islam menjadi salah satu daya tawar untuk memajukan pemikiran, peradaban dan
pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Kesetaraan yang terjadi antara lakilaki dan perempuan merupakan posisi yang integral-holistik dalam Pendidikan Islam. Penghapusan dari kelima diskriminasi yang telah di petakan sebagai berikut, pertama, marginalisasi perempuan, bahwa perempuan dianggap kaum yang tidak pantas mendapatkan pendidikan tinggi karena perempuan hanya akan menjadi ibu rumah tangga, maka dalam pendidikan Islam pun, marginalisasi harus dihapuskan, karena pendidikan berhak dimiliki oleh semua orang baik laki-laki maupun perempuan. Kedua, subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting; tapi dalam pendidikan Islam kecerdasan intelektual seorang perempuan tidaklah lebih rendah daripada kaum laki-laki, ini berarti bahwa kaum perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing, sehingga diharapkan dengan pendidikan yang tinggi perempuan bisa menjadi pemimpin. Ketiga, stereotype yang merugikan kaum perempuan, dalam pendidikan Islam stereotip itu menimbulkan asumsi bahwa perempuan bersekolah tinggi hanya untuk mencari jodoh, maka dalam pendidikan Islam stereotipe itu dihapuskan dengan asumsi positif bahwa perempuan memang membutuhkan pendidikan tinggi untuk menggapai cita-citanya. Keempat, berbagai bentuk kekerasan (violence) menimpa perempuan baik fisik maupun psikologis karena anggapan bahwa perempuan lemah dibandingkan
dengan laki-laki sehingga laki-laki leluasa melakukan kekerasan terhadap perempuan. Jika ditarik di dunia pendidikan juga muncul kekerasan terhadap peserta didik perempuan, mereka lebih sering mendapat pelecehan dari gurunya. Dalam pendidikan Islam dilarang adanya kekerasan dalam mendidik peserta didik tanpa harus melihat jenis kelaminnya, maka semua harus diperlakukan secara baik. Kelima, pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, oleh sebab itu tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki. Dalam pendidikan Islam perempuan pun berhak mencari jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Sehingga perkembangan ilmu yang diperoleh akan membawa pada pekerjaan yang diinginkan, tanpa ada pembatasan karir dan jurusan yang dipilih dalam pendidikan yang diikuti.
B.
Analisa Pemikiran Kartini Mengenai Pendidikan Perempuan Kartini adalah salah satu sosok yang menjadi ikon pembebasan perempuan Indonesia. Pembebasan yang memberi perubahan kepada kaum perempuan dalam hak memperoleh pendidikan yang sama seperti laki-laki. Kartini adalah anak kelima dari sebelas saudara kandung dan saudara tiri. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah masuk usia pingitan. Melihat adat yang sudah mengental ini, bisa
kita perhatikan betapa minimnya kesadaran dari masyarakat kita pada waktu itu dalam masalah pendidikan bagi perempuan. Pada usia 24 tahun, oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan Bupati Rembang, tepatnya pada tanggal 12 Nopember 1903. dengan demikian Kartini meraih kebebasannya dari putri pingitan menjadi istri Bupati yang memperoleh fasilitas yang lebih leluasa dalam penggunaannya, akhirnya keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah untuk perempuan.tercapai. Pada surat-surat Kartini yang kesemuanya berisi tentang harapanharapannya untuk memajukan perempuan di Jawa bahkan nusantara. Di dalamnya karya-karyanya Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tak bisa duduk di bangku sekolah karena harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal. Sosok Kartini memang telah memberikan sebuah warna baru dalam kehidupan perempuan. Bagi Kartini, peradaban masyarakat terletak pada baik tidaknya perempuan dalam dalam tempat tersebut. Karena itu, perempuan harus dididik agar bisa mencetak generasi-generasi baru yang berkualitas. Pendidikan yang diharapkan Kartini adalah pendidikan yang bisa menyeimbangkan antara kecerdasan otak dan budi pekerti. Kecerdasan otak bisa diperoleh
dengan
memberi
kebebasan
kepada
peserta
didik
dalam
mengembangkan potensi yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan pendidikan Islam, yang bisa disebut dengan pendidikan humanis. Pendidikan humanis yaitu pendidikan yang memposisikan peserta didik sebagai subjek. Jadi mereka berperan aktif dalam proses belajar mengajar. Selain
itu, budi pekerti sangat ditekankan dalam pembelajaran di sekolah untuk para gadis. Kartini ingin meletakkan dasar moralitas bagi masyarakat melalui pendidikan budi pekerti sebagai pengimbang pendidikan akal. Kartini adalah perempuan Jawa pertama yang pemikirannya bisa memberikan perombakan pada posisi perempuan di Jawa pada saat itu. Sistem pengajaran Kartini juga bisa dikatakan modern. Serta pengikisan dari pernyataan masyarakat tentang posisi perempuan yang terus termarginalkan. Kartini memberikan pendidikan kepada perempuan sebagai modal untuk kemajuan mereka. Pendidikan yang tidak mengenal diskriminasi, laki-laki dan perempuan sama-sama berhak untuk memperoleh pendidikan. Maka dari itu pemikiran Kartini memberikan kebebasan bagi perempuan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka, sehingga hal ini memberikan kesadaran bagi perempuan akan ketertindasan mereka. Pandangan Kartini tentang pendidikan barangkali bisa dijelaskan kedalam beberapa hal. Pertama, pendidikan perempuan haruslah ditekankan pertama kali sebagai usaha mengejawantahkan pembangunan kepribadian anak bangsa secara menyeluruh. Kedua, selain diorientasikan kepada pengetahuan dan keterampilan, pendidikan hendaknya juga diarahkanm kepada pembentukan watak dan kepribadian peserta didik. Ketiga, kunci kemajuan bangsa terletak pada pendidikan, karena itu seluruh rakyat harus dapat menerima pendidikan secara sama. Sistem dan praktek pendidikan tidak mengenal diskriminasi dan siapa saja tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, keturunan, kedudukan sosial dan sebagainya berhak memperoleh pendidikan.
C.
Analisa Relevansi Pemikiran Kartini Dengan Konsep Feminisme Dalam Pendidikan Islam 1.
Analisa Relevansi Pemikiran Kartini tentang Perempuan Sebagai Pendidik Pertama dengan Konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam Kartini berpandangan bahwa perempuan bertanggung jawab terhadap corak kehidupan di masyarakat, karena perempuan (ibu) adalah pendidik pertama dan utama. Di tangan perempuan terbentuk generasi handal harapan umat dan tergenggam masa depan umat, karena ia adalah tiang negara yang menentukan tegak atau runtuhnya negara atau masyarakat. Menurut beliau, peradaban masyarakat terletak di tangan perempuan, karena itu perempuan harus dididik, diberi pelajaran, dan turut serta dalam pekerjaan besar yang disebutnya dengan “pendidikan bangsa yang berjuta-juta”. Menurut penulis, pemikiran semacam itu relevan dengan konsepsi, alummu madrasatun (yakni pemikiran bahwa kaum perempuan mengemban fungsi penting sehingga sekolah pertama bagi anak-anak dan generasi penerus), sebagaimana yang diperkenalkan oleh Islam. Dalam banyak literatur Islam, dapat kita temukan teks-teks (ayat-ayat al-Qur’an, hadits, dan ungkapan dari para sahabat-sahabat Nabi maupun ulama) mengenai peran perempuan sebagai pendidik utama. Dalam konteks pendidikan generasi, perempuan adalah “benteng terakhir” yang di dalamnya Islam melindungi akhlak dan peradaban manusia. Seabad lebih berlalu semenjak Kartini menegaskan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Kartini menganggap, pengaruh psikologis ibu
kepada anak yang dilahirkan dan dibesarkan di pangkuannya sangat penting bagi pembentukan watak serta perkembangan jiwa anak itu selanjutnya. Akan tetapi, karena pada masa itu kaum ibu kita pada umumnya belum mendapat pendidikan, maka Kartini memandang perlu diadakannya sekolah bagi gadis-gadis (calon ibu) dengan guru-guru yang kompeten, yang mampu memberikan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkana dan sesuai dengan keperluan zaman, Kartini paham, kebangkitan manusia diawali dengan cara berfikirnya sehingga ia terus mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi perempuan demi untuk kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih terampil menjalankan kewajibannya sebagai perempuan. Pada konteks psikososial Indonesia saat ini, dan di manapun juga, tingkat pendidikan perempuan memang bisa menjadi jembatan utama kemajuan. Perempuan berpendidikan akan lebih memiliki akses informasi yang lebih baik. Tetapi pendidikan akan memberi arti kepada perempuan sebagai ibu, itulah yang tidak banyak orang pikirkan, karena itu, penulis berpendapat bahwa pandangan Kartini mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan sangat relevan dengan tuntutan Islam agar para orang tua (terutama ibu) memberikan yang terbaik kepada generasi berikutnya, salah satunya melalui peningkatan kualitas perempuan. 2.
Analisa Relevansi Pemikiran Kartini Tentang Pendidikan dan Pengajaran bagi Perempuan dengan Konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam
Pendidikan adalah salah satu yang menjadi kepedulian utama Kartini untuk
memajukan
perempuan
dan
Bangsa
Bumiputera umumnya.
Pendidikan dan pengajaran bagi Bumiputera, menurut Kartini hendaknya ditujukan kepada hal-hal praktis demi meningkatkan kecerdasan dan kualitas hidup rakyat. Pemikiran Kartini mengenai sistem pengajaran untuk zaman itu boleh dikatakan sangat modern, karena menempatkan anak didik sebagai subjek kegiatan belajar mengajar, bukan sebagai objek pengajaran seperti halnya pendidikan pada waktu itu. Konsep pendidikan Kartini terfokus pada penyempurnaan kecerdasan berfikir dan kepekaan budi pekerti siswa melalui keteladanan sikap dan perilaku guru. Pendidikan harus mampu menanamkan moralitas yang akan membentuk siswa berwatak ksatria. Pemikiran Kartini boleh dibilang jauh ke depan membina character building sejak muda. Konsep pendidikan Kartini memerlukan suri teladan guru yang handal dan berbudi pekerti luhur. Kartini juga melihat pentingnya menjaga silaturahmi antara siswa yang sudah meninggalkan bangku sekolah dan masih berstatus murid, yang dihubungkan oleh figur sebagai sumber pengetahuan sekaligus pengajar. Kartini juga berpendapat bahwa sepanjang peradaban manusia ditopang oleh jiwa-jiwa yang tidak memiliki keseimbangan antara kecerdasan otak dan budi pekerti, tatanan masyarakat akan tetap pincang dalam
memberikan
pendidikan
kepada
perempuan.
Kartini
yakin,
pendidikan manusia harus dimulai sedini mungkin, namun bukan
pendidikan yang membentuk anak menjadi keras kepala, yang kelak akan menjadi orang yang mementingkan diri sendiri. Penulis memandang pemikiran yang semacam itu relevan dengan pemikiran dalam pendidikan Islam, yaitu bahwa pengembangan potensi peserta didik dapat dilakukan melalui proses pendidikan yang mampu mengantar peserta didik menjadi hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ilahiyyah pendidikan Islam
memberikan
kebebasan
kepada
siapapun
(laki-laki
maupun
perempuan) untuk memperoleh pendidikan, kebebasan yang diberikan kepada manusia dapat menyelamatkan diri dari segala macam bentuk tekanan, paksaan dan segala macamnya. Menurut penulis, mendidik harus membiasakan peserta didik menggunakan kemampuannya dan bebas dalam berfikir, sehingga mereka akan terbiasa menggunakan pendapat dengan penuh tanggung jawab. Pendidikan memberikan kebebasan mengembangkan potensi yang dimiliki. Peserta didik berperan aktif dalam proses belajar mengajar (diposisikan sebagai subjek). Islam tidak memperbolehkan
membatasi kebebasan
individu untuk memperoleh pendidikan. Dalam kerangka berfikir inilah, maka penulis berpendapat bahwa pemikiran Kartini tentang pendidikan dan pengajaran bagi perempuan relevan dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam. 3.
Analisa Relevansi Pemikiran Kartini tentang Pendidikan Tanpa Diskriminasi dengan Konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam
Kartini
berkeyakinan
bahwa
laki-laki
dan
perempuan
harus
memperoleh pendidikan yang sama. Pendidikan merupakan kata kunci menuju perubahan, juga sebagai penghapus diskriminasi dan penindasan diantara manusia. Khusus kaum perempuan, diharapkan oleh Kartini, mereka bukan hanya menjadi komoditi domestik melainkan bagaimana bisa memasuki peran kunci pembuka bagi pendidikan putra-putri anak bangsa. Di sisi lain, Islam sangat mendorong perempuan untuk selalu tanggap terhadap segala yang ada di sekelilingnya. Kaum perempuan terus didorong untuk membekali diri dengan pemahaman Islam, sehingga mampu menyelesaikan seluruh problem yang ada disekelilingnya dengan benar. Tercatat dalam sejarah bahwa, Rasulullah tidak pernah membedakan perempuan dalam mendapatkan ilmu. Bahkan Rasulullah menyediakan waktu dan tempat tersendiri untuk kajian kaum perempuan. Sangat jelas, Islam mencerdaskan perempuan karena mereka juga bagian dari warga negara sebagaimana laki-laki, keduanya bertanggung jawab membawa umat ke keadaan yang lebih baik. Dalam banyak literatur Islam dinyatakan bahwa ajaran Islam menempatkan perempuan dalam derajat sama dengan laki-laki, baik dalam ibadah maupun dalam urusan sosial, termasuk hak memperoleh pendidikan. Islam mempersamakan antara laki-laki dan perempuan dalam hak belajar dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Perempuan diijinkan memperoleh pendidikan, baik dalam cabang ilmu keagamaan maupun pengetahuan
keduniaan. Menurut Islam, untuk tujuan pendidikan, tidak ada diskriminasi antara laki-laki dengan perempuan. Prinsip persamaan dalam Islam pada dasarnya bertujuan agar setiap orang mampu menemukan harkat dan martabat kemanusiaannya serta dapat mengembangkan prestasinya. Untuk itu, Islam memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik untuk mendapatkan bimbingan dalam rangka pengembangan potensinya secara maksimal. Salah satu amanat ajaran Islam ialah terwujudnya keadilan dalam masyarakat yang mencakup segala segi kehidupan. Karena itu, Islam tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa maupun jenis kelamin. Menimbang pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka penulis, berpendapat bahwa pemikiran Kartini tentang pendidikan tanpa diskriminasi sangat relevan dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam.
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan 1.
Konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam. Penghapusan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut: Marginalisasi harus dihapuskan, karena pendidikan berhak dimiliki oleh semua orang. Subordinasi harus dihapuskan karena kecerdasan intelektual seorang perempuan tidaklah lebih rendah daripada kaum laki-laki. Stereotype harus dihapuskan dengan asumsi positif bahwa perempuan memang membutuhkan pendidikan tinggi. Dalam pendidikan Islam dilarang adanya kekerasan dalam mendidik peserta didik tanpa harus melihat jenis kelaminnya. Pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum perempuan harus dihapuskan karena dalam pendidikan Islam perempuan pun berhak mencari jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
2.
Pemikiran Kartini mengenai pendidikan perempuan Pendidikan perempuan haruslah ditekankan pertama kali sebagai usaha mengejawantahkan menyeluruh.
pembangunan
Pendidikan
kepribadian
diarahkan
kepada
anak
bangsa
secara
pembentukan watak
dan
kepribadian peserta didik. Seluruh rakyat harus dapat menerima pendidikan secara sama. 3.
Relevansi
pemikiran
Pendidikan Islam
Kartini 84
dengan
konsep
Feminisme
dalam
a.
Relevansi pemikiran Kartini tentang perempuan sebagai pendidik pertama dengan konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam Pemikiran tentang peradaban masyarakat terletak di tangan perempuan relevan dengan konsepsi, al-ummu madrasatun
(yakni
pemikiran bahwa kaum perempuan mengemban fungsi penting sebagai sekolah pertama bagi anak-anak dan generasi penerus). b.
Relevansi pemikiran Kartini tentang pendidikan dan pengajaran bagi perempuan dengan konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam Pemikiran Kartini relevan dengan Pendidikan Islam yaitu pengembangan potensi peserta didik dapat dilakukan melalui proses pendidikan yang mampu mengantar peserta didik menjadi hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi.
c.
Relevansi pemikiran Kartini tentang pendidikan tanpa diskriminasi dengan konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam Pemikiran Kartini tentang pendidikan tanpa diskriminasi sangat relevan dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam. Karena sama-sama tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa maupun jenis kelamin.
B.
Saran Diharapkan masyarakat mampu menghilangkan anggapan-anggapan negatif yang merugikan perempuan. Stigma yang muncul dalam masyarakat telah membuat berbagai ketimpangan-ketimpangan terhadap perempuan seperti marginalisasi, subordinasi, stereotype, pembagian kerja, dan berbagai bentuk kekerasan.
Kesemuanya menjadi momok yang menakutkan ketika masyarakat dan perempuan itu sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya. Dengan wacana yang digulirkan dimaksudkan untuk ikut merombak paradigma masyarakat luas. Sehingga kehidupan yang lebih harmonis akan tercipta. Terlebih dalam dunia pendidikan Islam yang sangat mengagungkan sosok perempuan sebagai sekolah pertama bagi anaknya, maka pengembangan potensi dalam diri perempuan itu sendiri juga harus menjadi satu harapan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasi, Muhammad Athiyah. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. terj.Syamsudin Ashrofi.Yogyakarta : Titian Ilahi , 1996. Al- Qaradhawi , Yusuf. Berinteraksi dengan Alquran. Terj. Abdul Hayyi al – Kattani. Jakarta : Gema Insani Press , 1999. Anshori, Dadang. Membincangkan Feminisme. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. Arbaningsih, Dri. Kartini Dari Sisi Lain Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi Bangsa. Jakarta: KOMPAS, 2005. Basuki, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo PRESS, 2007. Burhanudin, Jajat. Tentang Perempuan Islam Wacana dan Gerakan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004. Dzuhayatin, Siti Ruhaini. Rekonstruksi Metodologi Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Fadlulloh, Sayyid Muhammad Husain. Dunia Wanita dalam Islam. Terj. Muhammad Abdul Qodir Alkaf. Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000. Fakih, Mansour. Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2000. Hakeem, Ali Husein. Membela Perempuan : Menakar Feminisme dengan Nalar Agama. terj. Jemala Gembala. Jakarta: Al- Huda, 2005. Hasyim, Umar. RA. Kartini Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia. Solo: Tiga Serangkai, 1984. Heroepoetri, Arimbi. Percakapan Tentang Feminisme Vs Neoliberalisme. Jakarta: debtWATCH, 2004. http: //dwinanto.blogsome.com.2009/04/15/p85. http: //id/wikipedia.org/wiki/Kartini. http: //kewanitaande. Multiply. com /journal http: //medsastra.multiply. com /journal /item / 21 / indahnya femin
Ihromi, Tapi Omas. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: ALUMNI, 2002. Ilyas, Yunahar. Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an Studi Pemikiran Para Mufasir. Yogyakarta. LABDA PRESS, 2006. Ja’far, Muhammad Anis Qasim. Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam. Terj. Ikhwan Fauzi. tt: Amzah, 2002. Jawad, Haifa. Perlawanan Wanita Sebuah Pendekatan Otentik Religius. terj. Moh. Sidiq.Malang: Cendekia Paramulya, 2002. Mahmudunnasir, Syed. Islam: Konsepsi dan Sejarahnya. terj. Adang Afandi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mufidah. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing, 2003. Muhadjir, Noeng. Metotodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu Indra Grafia, 1998. Munhanif, Ali. Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002. Murniati, Nunuk Prasetyo. Gerakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: Kanisius, 1998. Muslih, Muhammad. Bangunan Wacana Gender. Ponorogo: CIOS, 2007. Muslihati, Siti. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani, 2004. Muthali’in, Achmad. Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press., 2001. Pane, Armijn. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka,1992. Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Ponorogo. Jurusan Syari’ah, Jurusan Tarbiyah, Jurusan Usuluddin, 2008. Rafsanjani. Hujjatul Islam Hasemi. Kemerdekaan Wanita dalam Keadilan Sosial Islam. terj. Satrio Pinandito. Jakarta: CV. Firdaus, 1992. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2006. RI, Departemen Penerangan. Pejuang Wanita Indonesia: 10 Windu Setelah Kartini 19041984. Jakarta: PT Gita Karya, 1984.
Ridwan. Kekerasan Gender. Purwokerto: PSG, 2006. Sastroatmodjo, Suryanto. Tragedi Kartini. Yogyakarta: NARASI, 2005 Soeroto, Siti Sumantri. Kartini Sebuah Biografi. Jakarta: PT Gunung Agung, 1979. Soleh, Khudori. Pemikiram Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela, 2003. Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Mimbar, 2004. Tafsir, Ahmad. Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Mimbar, 2004. -----------------. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996. Tholkhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur-an. Jakarta : Paradina, 1999. Wilcox, lynn. Wanita Dan Al-Qur’an dalam Argumen Kesetaraan Gender Perspektif AlQur’an. Jakarta: Paradina, 1999.perspektif sufi. Terj. Dictia. Bandung: Pustaka Hidayah, 2001. Yamani, Mai. Feminisme dan Islam Perspektif Hukum dan Sastra. terj. Purwanto. Bandung: Nuansa, 2000. Zaini, Wahid. Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Mizan, 1999.