BAB I PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG Perilaku manusia tidak dapat terlepas dari usaha untuk memenuhi kebutuhan
karena menurut Maslow (dalam Schultz & Schultz,1994) sebenarnya kebutuhan itulah yang mengarahkan perilaku manusia. Maslow (dalam Schultz & Schultz, 1994) menyatakan kebutuhan dalam Hierarchy of Needs tersusun dari kebutuhan paling kuat hingga yang paling lemah. Kebutuhan-kebutuhan tersebut terdiri dari kebutuhan fisiologis (makanan, air, udara, sex), keamanan (pakaian, tempat tinggal,dll), rasa memiliki & kasih sayang, harga diri, serta kebutuhan akan aktualisasi diri. Setiap orang akan berbeda-beda tingkatan kebutuhannya dan tidak semua kebutuhan tersebut dimiliki oleh setiap individu. Kebutuhan akan rasa aman merupakan kebutuhan pada tingkatan kedua terpenting bagi manusia (Maslow dalam Schultz & Schultz, 1994). Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, manusia akan berusaha memenuhi kebutuhan dirinya akan rasa aman. Bentuk pemenuhan rasa aman yang paling utama adalah melalui pakaian. Pakaian merupakan pelindung utama yang memberikan rasa aman bagi tubuh manusia seperti dari rasa dingin, panas, maupun hal-hal lain agar tidak secara langsung menyentuh tubuh. Namun seiring perkembangan zaman dan pergerakan rentang hidup manusia, fungsi dari pakaian terus berkembang. Pakaian tidak hanya
Universitas Sumatera Utara
sebagai pelindung tubuh, tetapi juga dapat membantu individu memenuhi kebutuhan pada tingkatan yang lebih tinggi (Solomon & Rabolt,2009). Jones (1995) menyatakan bahwa pakaian membuat manusia. Makna dari kalimat tersebut adalah pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup dan pelindung tubuh tapi juga membentuk seseorang menjadi manusia. Pakaian diyakini mampu menunjukkan identitas si pemakainya sebagai bagian dari proses penerimaan secara sosial. Pakaian juga mampu memberikan kepuasan tersendiri bagi si pemakai berdasarkan aspek yang berbeda-beda pada setiap individu. Pemuasan kebutuhan tersebut dapat terpenuhi melalui berbagai bentuk dan tampilan dalam berpakaian atau yang biasa disebut sebagai fashion (Solomon & Rabolt,2009). Menurut Troxell & Stone (1981) dalam bukunya Fashion Merchandising, fashion didefenisikan sebagai gaya yang diterima dan digunakan oleh mayoritas anggota sebuah kelompok dalam satu waktu tertentu. Savitrie (2008) menyatakan bahwa aspek fashion semakin menyentuh kehidupan sehari-hari setiap orang. Fashion mempengaruhi apa yang dikenakan, dimakan, bagaimana seseorang hidup, dan bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri. Fashion merefleksikan masyarakat dan kebudayaannya, sebagai simbol inovasi serta merefleksikan bagaimana individu mendefenisikan dirinya (Solomon & Rabolt,2009). Fashion juga memicu pasar dunia untuk terus berkembang, produsen untuk berproduksi, pemasar untuk menjual, dan konsumen untuk membeli. Cara berpakaian yang mengikuti tren fashion juga memperlihatkan kepribadian dan idealisme individu tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Fashion sekarang ini adalah bisnis yang cukup besar dan menarik perhatian banyak orang. Seperti dikatakan Jacky Musary, Partner / Kepala Divisi Consulting & Research MarkPlus&Co, bahwa gejala berbagai froduk secara besar-besaran mengarah ke fashion muncul ketika konsumen semakin ingin jati diri mereka diakui sebagai suatu pribadi. Oleh karena itu mereka sengaja membentuk identitasnya sendiri dan kemudian bersatu dengan kelompok yang selaras dengannya. Inilah kebanggaan individu jika bisa masuk ke dalam apa yang sedang menjadi kecenderungan umum karena berarti individu tersebut termasuk golongan fashionable alias modern karena selalu mengikuti mode (Menangkap Dinamika Sukses Bisnis Fashion, www.swa.co.id, 2004). Sebagai negara berkembang, masyarakat Indonesia kini mulai menaruh perhatian besar terhadap perkembangan dunia fashion. Hal ini dapat dilihat dengan diadakannya berbagai pergelaran busana yang diikuti oleh banyak desainer muda, salah satunya Jakarta Fashion Week 2012 yang baru-baru ini diadakan di Jakarta (Kompas.com, tanggal 15 November 2011). Hasil karya yang dipamerkan sangat beraneka ragam, mulai dari gaya busana kasual, urban, etnik, tradisional.termasuk busana muslim yang semua tampilannya sudah sangat inovatif dan menarik. Hasil karya para desainer ini bahkan telah menarik perhatian pemerhati fashion internasional. Saat ini para pecinta fashion mengenal Paris, Milan, New York, dan London dengan western fashion, serta Jepang dengan harajuku style sebagai „kiblat‟ fashion internasional. Namun beberapa waktu ke depan. Indonesia memiliki prospek untuk masuk dalam daftar „kiblat‟ fashion internasional. Hal ini dibuktikan dengan akan
Universitas Sumatera Utara
diadakannya Indonesia Fashion Week 2012 pada bulan Februari mendatang di Jakarta dan ini masuk dalam kalender fashion dunia. Bahkan Indonesia di kabarkan saat ini sedang melangkah menjadi „kiblat‟ fashion muslimah dunia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Direktur Eksekutif IIFC, Eka Shanty mewacanakan Indonesia sebagai kiblat fashion muslim dunia pada 2020
dalam ajang busana muslim
internasional, bertajuk Indonesia Islamic Fashion Fair 2011 (IIFF) yang dipersembahkan Indonesia Islamic Fashion Consortium (IIFC) pada 11 Agustus sampai 11 September kemarin (Kompasiana, tanggal 1 November 2011). Nashori (1998) melihat bahwa di perguruan tinggi negeri non-muslim, jumlah mahasiswi muslim berjilbab lebih banyak dibanding mahasiswi muslim tidak berjilbab ketika mereka mengikuti proses perkuliahan di perguruan tinggi. Jilbab pun selanjutnya berubah menjadi pakaian yang biasa dikenakan wanita muslim. Jilbab berkembang menjadi mode. Sebagai sebuah mode, jilbab dikenakan karena sedang menjadi trend umum di kalangan wanita muslim. Secara sosio-kultural dapat dikatakan bahwa jilbab telah berkembang menjadi kebudayaan popular di kalangan wanita muslim. Penggunaan hijab kini jelas tidak hanya terbatas pada kewajiban secara religi. Hijab kini dipergunakan dengan lebih inovatif dan menarik, bahkan menjadi inspirasi fashion bagi kaum non-muslim. Di Indonesia, jumlah desainer khusus busana muslim juga semakin meningkat sepanjang waktu. Target pasar mereka juga tidak terbatas di pasar lokal, namun juga ke pasar dunia khususnya wilayah Timur Tengah seperti Dubai, Kairo, dan Abu Dhabi seperti yang dinyatakan oleh Dian
Universitas Sumatera Utara
Pelangi, salah satu desainer pakaian muslim Indonesia (Vivanews.com, 2 November 2011). Berkembangnya trend busana muslim dengan pesat di Indonesia mendapat perhatian yang cukup besar dari pemerhati fashion di pusat fashion dunia, Paris. Hal ini dilihat dengan terus bertambahnya permintaan pengadaan pergelaran busana muslim dari desainer Indonesia di berbagai acara fashion besar di Paris (Kompasiana, 2 November 2011). Beberapa dari desainer busana muslim yang saat ini mulai sukses di dunia fashion internasional adalah Dian Pelangi dan Hannie Hananto. Sebagai Negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia dengan sekitar 88% dari total penduduk Indonesia atau sekitar 182 juta orang beragama Islam (sumber : portal nasional RI) semakin mendukung langkah Indonesia menuju posisi sebagai „kiblat‟ fashion muslim dunia di tahun 2020. Perkembangan fashion muslimah di Indonesia sendiri kini sangat dipengaruhi oleh munculnya komunitas Hijabers sebagai pemerhati fashion muslimah. Dian Pelangi selaku pendiri komunitas Hijabers manyatakan komunitas ini awalnya dibentuk karena adanya rasa prihatin terhadap anggapan kaum awam yang memandang busana muslim atau penggunaan hijab sebagai sesuatu yang bersifat kuno dan kurang stylish sehingga banyak muslimah yang enggan memakai hijab meskipun itu merupakan sebuah kewajiban di dalam Islam. Kini dengan adanya trend hijab yang lebih stylish dan trendi, diharapkan dapat mendorong kaum muslimah untuk menunaikan kewajibannya menggunakan hijab sesuai dengan hukum Islam yang berlaku (analisis.vivanews.com, tanggal 2 Agustus 2011).
Universitas Sumatera Utara
Sejauh ini, hampir keseluruhan anggota komunitas telah merasakan manfaat tersebut. Hal ini sejalan dengan visi utama komunitas Hijabers yaitu menaikkan citra pemakai jilbab melalui fashion muslimah. Hampir semua anggota Hijabers menerapkan prinsip fashion dalam penggunaan hijab khususnya ketika berkumpul dalam acara di komunitas. Berbagai model penggunaan hijab yang up to date lengkap dengan aksesoris hijab dan padanan busana yang juga fashionable selalu terlihat menonjol ketika anggota komunitas ini berkumpul. Cara seperti ini dianggap mampu menambah rasa nyaman ketika menggunakan hijab. Berikut salah satu pernyataan dari anggota komunitas hijabers Medan yang juga merupakan salah satu mahasiswi Universitas Negeri di kota yang sama: “Dengan gabung di HM (red: HIjabers Medan), saya sering ikut acara pengajian yang diadakan HM. Di situ saya juga bisa dapat info-info menarik dan bermanfaat seputar hijab. Selain itu, karena ngumpul dengan sesama pemakai jilbab, saya jadi lebih nyaman buat terus make’ jilbab.” (Komunikasi personal, 28 November 2011) Kehadiran komunitas hijabers sangat berpengaruh terhadap perkembangan fashion muslimah di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa komunitas inilah yang mendongkrak trend fashion busana muslim menjadi sangat „booming‟ seperti saat ini. Munculnya komunitas hijabers dan muslimah lainnya membuat tren berbusana tersendiri yang akhirnya menjadi “happening”. Alhasil, era berbusana para muslimah pun kini makin modis dan gaya. (lifestyle.okezone.com, 11 Agustus 2011) Lihatlah beberapa tahun ke belakang, keberadaan para pemakai kerudung atau hijab mungkin masih sangat minim, sehingga model busana muslim pun masih sangat konservatif dan tidak sevariatif sekarang. Hal ini diungkapkan desainer
Universitas Sumatera Utara
busana muslim, Merry Pramono bahwa dengan adanya komunitas hijabers dan komunitas remaja lainnya para muslimah semakin berani bergaya. Dilanjutkan Merry, dengan adanya kondisi tersebut, para remaja-remaja pun semakin „melek fesyen‟ sehingga membuat tren jadi semarak. Tidak hanya itu, hal ini juga menjadi penanda bahwa busana muslim makin berkembang. Menariknya, tren berhijab ala hijabers yang diminati para remaja pun turut memengaruhi komunitas ibu-ibu muda yang juga ingin tampil gaya. (lifestyle.okezone.com, 11 Agustus 2011). Sebagai salah satu bentuk reference group, Hijabers baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi anggotanya, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian maupun fashion tersebut, manusia dapat melakukan berbagai upaya, mulai dari membeli, menyewa, meminjam, atau bahkan mencuri. Namun di antara semua alternatif tersebut, sebagai pengguna barang atau biasa disebut konsumen, membeli merupakan perilaku yang paling umum dilakukan individu untuk memenuhi kebutuhannya tersebut (Hawkins, Mothersbaugh, & Roger,2007). Hawkins, Mothersbaugh, & Roger (2007) menyatakan terdapat tiga bentuk pengaruh reference group, yaitu informational, normatif, dan identifikasi. Dengan adanya tren hijab ala hijabers, setiap anggota akan menerima informasi tentang tren hijab terkini dan berusaha menampilkan gaya hijab sesuai dengan model yang sedang tren baik dengan tujuan diterima di komunitas maupun sebagai identitas bahwa individu merupakan bagian dari komunitas. Pembelian berbagai jenis kerudung sesuai dengan tren kemudian tidak dapat dihindari. Hal ini juga diikuti dengan pembelian produk pakaian yang sesuai dengan model hijab yang dipakai.
Universitas Sumatera Utara
Perilaku membeli sebenarnya saat ini tidak hanya terbatas pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan melainkan untuk memenuhi hasrat dan sebagai konsep diri serta gaya hidup (Hawkins, Mothersbaugh, & Roger,2007). Kondisi ini muncul dapat
disebabkan
oleh
stimulus
lingkungan
yang
membangkitkan
dan
mengoptimalkan fungsi hasrat tersebut. Para anggota hijabers akan cenderung menampilkan gaya sesuai dengan kelompoknya umumnya sebagai bentuk identifikasi diri. Namun terkadang untuk pembelian yang didasarkan pada hasrat, seseorang justru akan kehilangan kontrol dan melakukan pembelian yang tidak terencana atau bahkan tidak seharusnya dilakukan atau yang disebut dengan perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif juga dapat didefinisikan sebagai perilaku membeli barang atau jasa yang berlebihan, walaupun tidak dibutuhkan (Moningka, 2006). Sumartono (2002) memberikan contoh bentuk perilaku konsumtif yaitu individu yang mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya sehingga individu tersebut akan selalu berusaha menjaga penampilan yang dapat menarik perhatian orang lain dengan membelanjakan uangnya lebih banyak untuk menunjang penampilannya tersebut. Aspek-aspek dari perilaku konsumtif yaitu pembelian yang tidak rasional, pembelian yang sia-sia,dan yang terakhir pembelian secara spontan atau biasa disebut impulse buying (Rosyid,1997). Aspek perilaku konsumtif yang ketiga ini merupakan perilaku yang paling rawan terjadi untuk pembelian produk fashion. Impulse buying secara umum dikenal sebagai pembelian yang terjadi karena munculnya hasrat (desire) secara tiba-tiba tanpa diikuti dengan proses berpikir mengenai konsekuensi yang kemungkinan akan muncul setelah pembelian.
Universitas Sumatera Utara
Hawkins,
Mothersbaugh,
&
Roger
(2007)
menyatakan
bahwa
impulse
buying/impulse purchase adalah pembelian tidak terencana yang terjadi ketika konsumen melakukan pembelian dengan sedikit pertimbangan atau bahkan tidak ada sama sekali dikarenakan adanya perasaan mendesak secara tiba-tiba untuk memiliki benda tersebut. Dari sudut pandang konsumen, kondisi ini sering membawa dampak negatif, antara lain membuat konsumen cenderung membelanjakan uang secara berlebihan serta melakukan pembelian yang tidak bermanfaat. Pada anggota hijabers, hal ini kemungkinan besar dapat terjadi, selain karena proses jual beli produk fashion yang terjadi di dalamnya, bisa juga karena unsur fashion yang terlalu kuat pada diri individu tersebut. Impulse buying merupakan sebuah fenomena umum yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini biasanya sangat dipengaruhi oleh situasi ketika pembelian itu terjadi, seperti atmosfir toko, promosi, dan yang paling penting adalah kategori produk yang dibeli. Di dalam hijabers, pengaruh trend hijab dan hijab class serta bazar juga dapat memicu terjadinya pembelian produk fashion yang merupakan salah satu produk yang paling sering menggunakan hasrat saat proses pembelian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Savitrie (2008) yang menyatakan bahwa pembelian produk fashion mengarah pada impulse buying yang terjadi secara spontan ketika konsumen sangat menyukai suatu produk. Pernyataan ini juga diperkuat dengan pernyataan dari salah seorang anggota komunitas Hijabers. Berikut kutipan pernyataannya : “Sejak gabung di HM, aku jadi lebih banyak belajar tentang model hijab yang modis. Seru deh matching-ing berbagai model hijab n aksesorisnya, ya
Universitas Sumatera Utara
walaupun mau gk mau juga terpaksa harus beli berbagai model hijab n inner.” (Komunikasi Personal, 20 Januari 2012) Hal serupa juga terjadi pada individu pengguna hijab modern yang bukan anggota komunitas Hijabers. Berikut pernyataan yang menunjukkan fakta tersebut: “Model hijab modern sekarang variatif banget. Gk hanya model hijab yang banyak, bahkan daleman dan aksesorisnya juga bervariasi sekali. Karena penasaran sama model-model jilbab yang up todate, saya pun jadi rajin membeli.” (Komunikasi Personal, 19 Januari 2012) Penelitian Tsai Chen (2008) juga menemukan bahwa kecenderungan impulse buying & involvement untuk produk pakaian berasosiasi positif dengan perilaku impulse buying di pasar tradisional. Artinya konsumen biasanya memiliki keterlibatan yang tinggi saat melakukan pembelian produk fashion. Hal ini juga didukung hasil penelitian Han et al (dalam Solomon 2009) bahwa student fashion memiliki kecenderungan impulse buying yang lebih tinggi dibanding nonfashion student dan nonstudent consumers. Di dalam hijabers keterlibatan dengan produk sangat jelas terlihat karena orientasi komunitas tersebut memang fokus pada pakaian serta fashion. Hal ini juga berlaku untuk para pengguna hijab yang peduli terhadap perkembangan fashion meskipun mereka bukan anggota komunitas. Untuk produk fashion sendiri, secara umum wanita adalah individu yang paling sering mengalami impulse buying. Astuti & Maria (2008) menemukan bahwa wanita memiliki tingkat kecenderungan yang lebih tinggi daripada pria untuk melakukan pembelian secara impulsif. Hal ini disebabkan oleh orientasi wanita
Universitas Sumatera Utara
ketika melakukan pembelian lebih mengarah pada desire (hasrat,emosi dan perasaan) dibandingkan actual (logika mengenai kebutuhan). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hatane Samuel pada tahun 2006 yang menunjukan bahwa respon emosi mempunyai dampak positif secara langsung terhadap kecenderungan perilaku pembelian impulsif. Komunitas hijabers yang terdiri dari para wanita merupakan sasaran yang paling rentan terhadap kondisi tersebut. Dari segi keanggotaan, komunitas Hijabers terdiri dari para wanita dengan rentang usia 20-30 tahun yang rata-rata mahasiswi dan ibu rumah tangga. Usia ini dianggap sebagai usia rentan mengalami impulse buying. Gutierrez pada tahun 2004 menemukan bahwa usia memiliki pengaruh terhadap impulse buying. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Usman Ghani (2011) terhadap masyarakat urban bahwa umur berkorelasi negatif dengan impulse buying. Pernyataan ini bermakna bahwa seseorang dengan usia yang relatif lebih muda seperti remaja akan cenderung lebih rentan terhadap impulse buying dibanding individu dengan usia yang lebih tua (seperti dewasa dengan remaja) khususnya kaum wanita. Selain itu, para ibu rumah tangga muda juga rentan terhadap perilaku konsumtif karena mereka berperan sebagai agen pembelian (Swastha dan Handoko, 1987). Hadipranata (Nashori,1991) juga mengatakan bahwa wanita sering menggunakan emosi dalam berbelanja. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah terdapat perbedaan impulse buying antara anggota Hijabers dengan yang bukan anggota Hijabers. Pertanyaan tersebut mendorong peneliti untuk menemukan perbedaan mengenai impulse buying pada anggota komunitas
Hijabers dan non-Hijabers , khususnya mahasiswi di kota
Medan.
Universitas Sumatera Utara
B.
RUMUSAN MASALAH Adakah perbedaan impulse buying produk fashion muslimah pada anggota
komunitas Hijabers dan non-Hijabers di kota Medan?
C.
TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan impulse buying produk
fashion muslimah pada anggota komunitas Hijabers dan non-Hijabers di kota Medan.
D.
MANFAAT PENELITIAN Manfaat Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
sehingga
memperkaya secara teoritis untuk topik Perilaku Konsumen khususnya mengenai Impulse Buying. Selain itu, peneliti berharap hasil penelitian ini nantinya mampu digunakan dalam pengembangan ilmu Psikologi khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi. Bagi akademisi hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa kerangka teoritis tentang perilaku impulse buying yang dilakukan konsumen serta faktor-faktor penyebabnya dan nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian selanjutnya. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan bagi komunitas Hijabers untuk mengevaluasi komunitas khususnya dalam menghindari impulse
Universitas Sumatera Utara
buying yang memberikan dampak negatif bagi individu. Bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi mengenai impulse buying, khususnya bagi para pengguna hijab.
E.
SISTEMATIKA PENULISAN Untuk mempermudah pemahaman isi ini maka penulis memberikan gambaran
secara garis besar masing-masing bab secara keseluruhan ini akan terbagi dalam lima bab yang terdiri: Bab 1 : Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2 : Tinjauan Pustaka Bab ini berisi landasan teori, hipotesis, serta kerangka pemikiran. Bab 3 : Metode Penelitian Bab ini berisi identifikasi variabel penelitian dan definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengambilan data, validitas dan reliabilitas, serta metode analisis data. Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan pembahasan. Bab V : Kesimpulan dan Saran
Universitas Sumatera Utara