BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Pembangunan di bidang hukum merupakan salah satu bidang yang sangat menentukan bagi terlaksananya pembangunan bidang lainnya. Salah satu bidang yang berdampak luas adalah tindak pidana ekonomi karena berdampak luas bagi upaya pembangunan ekonomi oleh pemerintah. Berbagai persoalan dalam tindak pidana sebenarnya bukan merupakan persoalan baru, karena aktivitas perekonomian sangat sarat dengan berbagai terjadinya pelanggaran. Oleh sebab itu negara sebenarnya telah berupaya untuk melakukan tindakan atau kebijakan dalam upaya penanggulangannya, khususnya melalui sarana hukum pidana. 1 Selanjutnya pembangunan di bidang hukum harus ditujukan kepada penegakan hukum atau rule of law dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia serta peningkatan harkat dan martabat manusia. Salah satu bidang penegakan hukum adalah bidang penegakan hukum pidana untuk memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia yang sudah dilanggar dalam suatu tindak pidana, serta untuk menciptakan rasa ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.2 Penegakan hukum pidana seperti juga penegakan hukum pada umumnya harus mencakup tiga komponen seperti yang dikemukakan oleh W Friedmann yakni substansi hukum, struktur hukum 1
Kebijakan Hukum Pidana, http://yoserwanhamzah.blogspot.com/2010/06/kebijakan-hukumpidana-dalam upaya.html, diakses pada tanggal 3 Juni 2011, pada pukul 09.03 WIB. 2 Purnadi Purbacaraka dan Halim A. Ridwan, Filsafat Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
dan budaya hukum.3 Ketiga komponen itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Substansi hukum atau materi hukum merupakan cikal bakal dari negara hukum dan penegakan hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, pembentukan substansi hukum sangat menentukan dalam pembentukan negara hukum dan pelaksanaan aturan hukum itu sendiri. Kebijakan hukum pidana di bidang ekonomi itu sebenarnya sudah dimulai dengan
dikeluarkannya
Undang-Undang
Nomor
7/Drt/Tahun
1955
tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. 4 Oleh sebab itu, berbagai peraturan pidana di bidang ekonomi kemudian dikeluarkan lagi dalam berbagai sektor perekonomian. Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi sudah dibuat, namun dalam banyak hal terdapat berbagai permasalahan dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang selanjutnya berdampak kepada penegakan hukumnya. Permasalahan tersebut adalah 5: 1. Terkait dengan fungsi hukum pidana ekonomi sebagai fungsi primer atau sekunder; 2. Kebijakan dalam pidana dan pemidanaan; 3. Kebijakan dalam penyidikan dan koordinasi penyidikan; dan 4. Kebijakan dalam upaya pengembalian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut.
Perkembangan aktivitas perekonomian telah pula melahirkan bentuk kejahatan yang merugikan dan membahayakan kehidupan. Kalau sebelumnya orang 3
Purnadi Purbacaraka dan Halim A. Ridwan, Filsafat Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hal. 1. 4 Ibid. 5 Kebijakan Hukum Pidana, http://yoserwanhamzah.blogspot.com/2010/06/kebijakan-hukumpidana-dalamupaya.html, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
tidak mengenal cyber crime, sekarang orang sangat akrab dengan dengan istilah itu dan sudah banyak yang menjadi korban. Kalau dalam dekade delapan puluhan orang tidak begitu risau dengan kejahatan perbankan, pasar modal, lingkungan hidup, dan berbagai kejahatan di bidang perekonomian lainnya, sekarang kejahatan itu sudah sangat merisaukan, bahkan secara kuantitas ataupun kualitas jauh lebih tinggi dari pada kejahatan konvensional. 6 Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi sudah ditetapkan, namun diasumsikan dalam banyak hal terdapat berbagai permasalahan dalam pembentukan dan dalam substansi peraturan tersebut yang selanjutnya berdampak kepada penegakan hukumnya. Permasalahan pertama adalah kebijakan perundang-undangan dalam mengatur tindak pidana di bidang ekonomi. Lahirnya hukum pidana ekonomi diawali dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7/Drt/Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Undang-Undang ini lahir untuk mengatasi masalah ekonomi setelah penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Undang-undang ini pada dasarnya hanya merupakan saduran dari Undang-Unang Pidana Ekonomi di Belanda yakni Wet op de Economische Delicten. 7 Undang-undang ini sebenarnya menjadi wadah hukum pidana di bidang ekonomi dengan mengakomodasi perkembangan yang terjadi. Di Belanda, semua
6
John E Conklin, Criminology, Fourth Edition, (New York: Macmillian Publishing Company, 1994), hal. 29. 7 Kebijakan Hukum Pidana, http://yoserwanhamzah.blogspot.com/2010/06/kebijakan-hukumpidana-dalamupaya.html, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana di bidang ekonomi diakomodasikan ke dalam Wet op de Economische Delicten. 8 Namun di Indonesia hal itu tidak ditempuh, karena tindak pidana ekonomi yang lahir berikutnya dimuat dalam berbagai undang-undang, sehingga pengaturan tersebar dan tidak tertata dengan cermat. Akibatnya berbagai kebijakan hukum pidana yang diambil tidak konsisten. 9 Permasalahan berikutnya berkaitan dengan kebijakan dalam peraturan di bidang pidana ekonomi dalam kaitannya dengan fungsi hukum pidana. Secara umum hukum pidana dalam sistem hukum mempunyai fungsi sekunder artinya hukum pidana merupakan upaya hukum terakhir dalam penanggulangan terhadap berbagai permasalahan dalam masyarakat, termasuk dalam kejahatan di bidang ekonomi. Dengan fungsi ini berarti bahwa sepanjang ada upaya lain atau mekanisme lain baik melalui mekanisme keperdataan, mekanisme administratif atau mekanisme lainnya, maka hukum pidana tidak perlu campur tangan. Fungsi ini disebut juga dengan Ultimum Remedium.10 Namun dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, khususnya yang memuat aturan kepidanaan, tidak begitu jelas dan konsisten apakah fungsi subsider dari hukum pidana ini menjadi kebijakan yang utama dalam pembentukan dan penegakan hukum pidana di bidang ekonomi. Hal ini dalam penegakan hukum juga menimbulkan konsekuensi yakni tidak begitu jelasnya apakah penerapan sanksi administratif dan sanksi perdata dalam pelanggaran hukum di bidang ekonomi
8
A.Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hal. 1. 9 Ibid. 10 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
akan menghapuskan hukum pidana. Sehubungan dengan permasalahan ini dalam penegakan hukum sering terjadi kontroversi bilamana aparat hukum terkait menggunakan pendekatan hukum pidana dalam fungsi primer akan menimbulkan kritikan dari sebagaian anggota masyarakat. Sedangkan di pihak lain khususnya pelaku ekonomi menghendaki penyelesaian keperdataan atau administratif lebih baik.11 Kemudian kecenderungan globalisasi membawa dampak bagi kondisi Negara Republik Indonesia. Pembangunan yang dilaksanakan mau tidak mau harus memperhitungkan kecenderungan global tersebut. Dalam hal ini termasuk dalam pengembangan hukum, instrumen-instrumen hukum internasional dan pandanganpandangan yang bersifat mendunia perlu memperoleh tempat dalam khasanah pemikiran hukum nasional. Ekspansi perdagangan dunia dan juga dilakukannya rasionalisasi tarif tercakup dalam GATT (the General Agreement on Tarif and Trade). GATT sebenarnya merupakan kontrak antar partner dagang untuk tidak memperlakukan secara diskriminatif, dalam perdagangan dunia. Kesepakatan-kesepakatan dilaksanakan pada kegiatan putaran-putaran, sejak 1947 hingga putaran Uruguay (1986) yang menarik karena berhasilnya dibentuk WTO (World Trade Organization) yang mulai 1 Januari 1995. WTO mencakup pula Persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods) atau Persetujuan Perdagangan berkaitan dengan Aspek Hak Atas Kekayaan Intelektual termasuk Perdagangan Barang Palsu, dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994), yang sudah berlaku sejak 1 Januari 2000. 11
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 165.
Universitas Sumatera Utara
TRIPs menentukan adanya asas kesesuaian penuh (full compliance) tersebut, yang berarti negara-negara anggota harus membuat hukum nasionalnya mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual sesuai dengan ketentuan persetujuan TRIPs. Indonesia telah membuat dan menyempurnakan ketentuan undang-undang mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual pada tahun 1997, yaitu 12: 1.
2. 3.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Paten; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek.
Di samping itu, Indonesia juga telah meratifikasi 5 Konvensi Internasional tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual, yaitu 13: 1. 2. 3. 4. 5.
Konvensi Paris ( Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997); Traktat Kerjasama Paten (Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997); Traktat Merek (Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997); Konvensi Bern (Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997); dan Traktat WIPO Mengenai Hak Cipta (Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997).
Dalam memasuki pasar internasional, maka perlindungan di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebab perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini sebenarnya bagaikan keping mata uang yang memiliki dua sisi. Sisi pertama sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional, sedangkan 12
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Hak Kekayaan Intelektual, http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/2010/01/08/kebijakan-hukum-pidana-dalam-rangkapenanggulangan-tindak-pidana-hak-kekayaan-intelektual/, diakses pada tanggal 3 Juni 2011, pada pukul 10.30 WIB. 13 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sisi yang lain akan memberikan kepercayaan internasional, khususnya kepercayaan para investor terhadap iklim di Indonesia yang mampu melindungi bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual. Sebab jika law enforcement di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual tidak mendapat prioritas tentunya barang-barang berkualitas akan enggan masuk pasar dalam negeri, apabila United State Trade Representative menempatkan Indonesia pada posisi “priority watch list”. 14 Selanjutnya merek merupakan bagian cakupan dari Hak Atas Kekayaan Intelektual, oleh karena terhadap merek harus dilekatkan pada suatu perlindungan hukum sebagai objek yang terkait dengan hak-hak perorangan atau badan hukum. Diperolehnya perlindungan hukum atas merek yang telah terdaftar merupakan salah satu fungsi dari pendaftaran merek. Asumsi ini didasarkan pada pandangan bahwa merek merupakan salah satu hak intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan penanaman modal. Selain itu merek juga memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. 15 Merek dikonstruksikan sebagai salah satu bagian Hak Milik Industri (Industrial Property Rights) merupakan bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) yang pengaturannya terdapat dalam 14
Irwan Muslim Amin, Masalah Sekitar Klaim Dalam Perdagangan Internasional yang Berhubungan Dengan HAKI, Makalah Seminar Peranan HAKI Dalam Era Persaingan Bebas, (Semarang : Fakultas Hukum UNDIP dan KADINDA Jawa Tengah, 16 September 1999). 15 Lihat Konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek bagian Menimbang butir b yang berbunyi: “bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat”.
Universitas Sumatera Utara
ilmu hukum dan dinamakan hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual.16 World Intellectual Property (WIPO) sebagai organisasi internasional yang mengurus bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual memakai istilah intellectual property yang mempunyai pengertian luas dan mencakup, antara lain karya kesusasteraan, artistik maupun ilmu pengetahuan (scientific), pertunjukan oleh para artis, kaset, dan penyiaran audio visual, penemuan dalam segala bidang usaha manusia, penemuan ilmiah, desain industri, merek dagang, nama usaha, dan penentuan komersial (commercial names and designation), dan perlindungan terhadap persaingan curang.17 Merek merupakan alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dengan maksud untuk menunjukkan ciri dan asal usulnya (Indication of Origin) suatu barang atau jasa yang sekaligus juga menjadi pembeda dari barang-barang dan jasa-jasa yang lain. 18 Pemberian merek terhadap barang dan jasa akan mempengaruhi citra perusahaan di mata konsumen atau dapat dikatakan akan menaikkan citra perusahaan. Pemberian merek ini juga akan menunjukkan jaminan kualitas (quality quarantee) dari barang dan jasa tersebut dan juga berusaha
16
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2003), hal. 1. 17 M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003) hlm. 20. Dahulu secara resmi sebutan Intellectual Property Rights (IPR) diterjemahkan dengan Hak Milik Intelektual atau Hak atas Kekayaan Intelektual dan di negeri Belanda istilah tersebut diintrodusir dengan sebutan Intellectuele Eigendomsrecht. GBHN 1993 maupun GBHN 1998 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights tersebut dengan Hak Milik Intelektual. Namun, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari GBHN 1999-2004 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights ini dengan Hak atas Kekayaan Intelektual, yang disingkat HaKI. Istilah Intellectual Property Rights ini berasal dari kepustakaan sistem hukum Anglo Saxon. 18 Budi Agus Riswandi dan Syamsudin M, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 84
Universitas Sumatera Utara
mencegah terjadinya peniruan. Merek juga berfungsi sebagai sarana promosi (means of trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha-pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa yang bersangkutan. 19 Pelanggaran di bidang hak merek dapat dijadikan sebagai perbuatan yang dilarang atau sebagai tindak pidana. Penentuan sebagai tindak pidana ini berarti merupakan kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto adalah sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan. 20 Di dalam kebijakan kriminal ini mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, karena di samping dengan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dapat dengan sarana non-hukum pidana. Fungsi
hukum
pidana
sebagai
pengendalian
sosial
dimanfaatkan
untuk
menanggulangi kejahatan yang berupa pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual. Ini berarti norma-norma di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual ditegakkan dengan hukum pidana yang bersanksi negatif khususnya dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi. Undang-undang Merek di Indonesia dalam pelaksanaannya masih relatif baru dibandingkan dengan pelaksanaan Undang-undang Merek pada negara-negara maju. Undang-undang Merek mulai sejak tahun 1961 yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek, kemudian pada tahun 1992 Undang-undang ini diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Pada tahun 1997
19 20
Ibid. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana….., hal. 158.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang ini diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek. Kemudian pada tahun 2001 Undang-undang Merek diganti menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Selanjutnya, Merek sebelum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 telah mengalami tiga (3) kali perubahan, yang pertama diatur di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, yang kedua diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, dan yang ketiga diatur dalam Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997. Oleh karena perkembangan zaman maka Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 dinyatakan dan dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan. Alasan lainnya juga dapat dilihat di dalam Penjelasan UndangUndang Merek Nomor 19 Tahun 1992 yang antara lain mengatakan : 1. Materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 bertolak dari konsepsi merek yang tumbuh pada masa sekitar Perang Dunia II. Sebagai akibat perkembangan keadaan dan kebutuhan serta semakin majunya norma dan tatanan niaga, menjadikan konsepsi merek yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 jauh tertinggal. Hal ini semakin terasa pada saat komunikasi semakin maju dan pola perdagangan antarbangsa sudah tidak lagi terikat pada batas-batas Negara. Keadaan ini menimbulkan saling ketergantungan antar bangsa baik dalam kebutuhan, kemampuan maupun kemajuan teknologi dan lain-lainnya yang mendorong pertumbuhan dunia sebagai pasar bagi produk-produk merdeka. 2. Perkembangan norma dan tatanan niaga itu sendiri telah menimbulkan persoalan baru yang memerlukan antisipasi yang harus diatur dalam ini.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997 perbuatanperbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup merek itu ada diatur di dalam Pasal 81Pasal 84. Dalam hal ini perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup tindak pidana merek yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 itu sama dengan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, hanya saja perbedaannya terdapat di dalam Pasal 82 dimana di dalam undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 pada Pasal 82 telah disisipkan Pasal 82A dan Pasal 82B. Adapun perbuatan-perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek, antara lain : 1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar. 2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar. 3. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam ruang lingkup merek terdapat perbedaan pengaturannya dimana di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 perbuatanperbuatan yang dilarang di dalam ruang lingkup merek ada di atur di dalam Pasal 81Pasal 84 maka di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam ruang lingkup merek ada diatur didalam Pasal 90-Pasal 94. Adapun perbuatan-perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek, antara lain: 1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. 2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. 3. Di dalam Pasal 92 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ada terdapat 3 (tiga) ayat. Dimana pada ayat (1) perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar. Pada ayat
Universitas Sumatera Utara
(2) perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar. Dan pada ayat (3) perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan barang tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis. 4. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersebut. 5. Pada Pasal 94 ada terdapat 2 (dua) ayat, dimana pada ayat (1) mengenai perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana merek yaitu: Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga dalam hal ini memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana yang dimaksud pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93. Dan pada ayat (2) mengenai perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam tindak pidana merek disebutkan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian, dalam Acara Peringatan Hak Atas Kekayaan Intelektual sedunia di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya menyampaikan bahwa istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual yang selama ini dikenal sebaiknya dirubah dari Hak Atas Kekayaan Intelektual menjadi Hak Atas Kepemilikan Intelektual.21 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa jika namanya hak kekayaan tidak begitu tepat dari konsep hukumnya, tetapi kalau hak kepemilikan intelektual, mempertegas hak milik seseorang sehingga jangan dicuri, dibajak dan disalahgunakan.22 Selanjutnya Presiden juga menghimbau agar bagi pelanggar Hak Atas Kekayaan Intelektual memberikan hukuman yang berkepastian dan menimbulkan efek jera sehingga iklim usaha dan investasi tumbuh dengan baik di negara kita.23 Dalam prakteknya, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 belum memberikan efek jera terhadap para pelanggar merek. Ini terbukti dari semakin meningkatnya kasus-kasus yang timbul akibat pelanggaran merek di Indonesia. Kerugian yang ditimbulkannya bukan hanya pada perorangan saja tetapi masyarakat atau konsumen juga turut dirugikan. Salah satu perubahan penting yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 yang menimbulkan banyaknya pelanggaran merek sekarang ini adalah berubahnya delik biasa menjadi delik aduan. Sehingga untuk menindak terjadinya pelanggaran merek pihak Kepolisian maupun Penyidik Pegawai Negeri 21
SBY Tidak Sepakat Dengan Istilah Kekayaan Intelektual, http://www.detiknews.com/read/2011/04/26/134737/1625819/10/sby-tak-sepakat-dengan-istilahkekayaan-intelektual, diakses Pada Tanggal 9 Juli 2011 Pada Pukul 09.34 WIB. 22 Ibid. 23 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Sipil (PPNS) Hak Atas Kekayaan Intelektual harus menunggu adanya pengaduan dari pihak yang memiliki merek walaupun sudah mengetahui bahwa merek tersebut telah memenuhi unsur pelanggaran merek. Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas formula kebijakan hukum pidana terhadap pelanggaran hak merek sebagai kejahatan ekonomi sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Pelanggaran Hak Merek Sebagai Kejahatan Di Bidang Ekonomi.
b. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kebijakan pidana (penal policy) di Indonesia mengenai tindak pidana dalam bidang merek? 2. Bagaimanakah pengaturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelanggaran pidana hak merek di Indonesia? 3. Bagaimanakah perkembangan penerapan kebijakan penanganan kejahatan merek?
c. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kebijakan pidana (penal policy) di Indonesia mengenai tindak pidana dalam bidang merek.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelanggaran pidana hak merek di Indonesia. 3. Untuk mengetahui perkembangan penerapan kebijakan penanganan kejahatan merek.
d. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu: 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran di bidang hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) khususnya mengenai hukum merek di Indonesia. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dalam pemahaman dan penyelesaian pelanggaran hak merek sebagai kejahatan ekonomi dalam perkembangan era globalisasi.
e. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
f. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa “untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis”. 24 Selanjutnya tugas terpokok hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Oleh karena itu pengertian manusia, masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisah-pisahkan. 25 Agar tercapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret, segi kedua adalah adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan. 26
24
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghali, 1982), hal. 37. Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Binacipta, 1983), hal. 42. 26 Ibid. 25
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, inti kepastian hukum bukanlah terletak pada batas daya berlakunya menurut wilayah atau golongan masyarakat tertentu. Hakekatnya adalah suatu kepastian, tentang bagaimana para warga masyarakat menyelesaikan masalah hukum, bagaimana peranan dan kegunaan lembaga hukum bagi masyarakat, apakah hak dan kewajiban para warga masyarakat, dan seterusnya. 27 Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid),
kemanfaatan
(rechtsutiliteit)
dan
kepastian
hukum
(rechtszekerheid). 28 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750, 29 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice). Smith mengatakan bahwa : ‘Tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian’ (the end of justice is to secure from injury). 30 Menurut Satjipto Rahardjo : “Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasaan dan kedalamanya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang. 31
27
Ibid. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85. 29 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith on Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244. 30 Ibid, sebagaimana dikutip dari R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lecture of jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund, 1982, hal. 9. 31 Satjipto Rajardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke – V, 2000), hal. 53. 28
Universitas Sumatera Utara
Kemudian Van Apeldoorn dalam bukunya Inleding tot de Studies van het Nederlands Recht, mengatakan: Tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongangolongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain. Kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian. Dan hukum pertahankan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, dimana setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya. 32 Sejalan dengan itu, Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Masalah Penegakan Hukum”, menyatakan bahwa penegakkan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. 33 Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang menginginkan dapat ditegakkannya hukum terhadap peristiwa kongkret yang terjadi. Dengan adanya kepastian hukum, ketertiban dalam masyarakat tercapai. 34 Tesis ini didasarkan pada teori tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, dalam penanggulangan pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi.
32
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Inleding tot de Studies van het Nederlands Recht , cetakan IV oleh M. Oetarid Sadino), (Jakarta: Noordhoff-Kolff NV, 1958), hal. 20. 33 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 181-182. 34 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu upaya untuk mewujudkan peraturan hukum pidana dirumuskan lebih baik untuk memberi pedoman tidak hanya bagi masyarakat/warga negara melainkan juga penegak hukum untuk menerapkan aturan hukum pidana. 35 Menurut Soedarto, 36 politik hukum pidana mencakup: a. Kebijakan negara melalui badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam mencapai apa yang dicita-citakan. b. Usaha untuk mewujudkan peraturan yang baik sesaui dengan keadaan dan situasi pada waktu tertentu. Kemudian kebijakan hukum pidana merupakan garis kebijakan untuk menentukan 37: a. Sejauh mana ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu diubah dan diperbarui. b. Apa yang diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa kebijakan hukum pidana merupakan upaya untuk memilih norma (law choosing) hukum/substansi hukum pidana, menetapkan (law-making) dan melaksanakan norma (law enforcing) hukum pidana. Semua upaya tersebut tentu saja dilaksanakan oleh aparat dan institusi yang berwenang untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam suatu negara tentu saja harus sesuai dengan dasar filosifi, sosial dan
35
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali, 1997), hal. 19. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana….., Op.Cit., hal. 151. 37 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana..….., Op.Cit., hal. 20. 36
Universitas Sumatera Utara
yuridis suatu masyarakat. Khusus dalam hukum pidana ekonomi kebijakan hukum pidana ekonomi tentu harus mendukung upaya-upaya pembangunan ekonomi negara. Walaupun kebijakan hukum pidana sangat memegang penting dalam mendukung upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi negara, namun upaya pendekatan lain (non-penal policy) harus tetap dilakukan. Dengan demikian Masalah utamanya adalah bagaimana mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kegiatan atau kebijakan non-penal dan penal kearah penegakkan dan pengurangan faktorfaktor yang potensial tumbuh suburkan kejahatan. 38 Selanjutnya agar suatu kebijakan yang ditempuh benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi suatu masyarakat, maka semua upaya itu harus dimulai melalui pemilihan norma hukum dan penetapan norma hukum oleh lembaga negara khusunya lembaga legislatif. Oleh sebab itu, harus memperhatikan landasan filsafat, sosial dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Dalam pembentukannya, selanjutnya suatu peraturan perundang-undangan harus memuat asas-asas seperti demokratis, partisipatif, sustainability. Kesemuanya itu sangat menentukan dalam efektivitas dari segi pencapaian tujuan
(doeltreffendheid),
keterlaksanaan
(uitvoerbaarheid)
dan
ketertegakkan
(handhaafbaarheid) dari semua aturan tersebut.39 Upaya penanggulangan tindak pidana khususnya tindak pidana di bidang ekonomi tentu saja sangat membutuhkan suatu kebijakan yang tepat mengingat tindak 38
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 161. 39 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Dalam Rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjutan, Ringkasan Disertasi, (Surabaya: Airlangga, 2007), hal. 62.
Universitas Sumatera Utara
pidana ekonomi mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan kejahatan konvensional. Tindak Pidana ekonomi sebagai sebuah tidak pidana sangat erat kaitannya dengan motif dan kebijakan ekonomi. Bagitu pula akibat yang ditimbulkannya jauh lebih luas dampaknya di banding kejahatan konvensional. Kalau tindak pidana pencurian, misalnya kerugian ekonomis yang ditimbulkan sangat terbatas sekali. Sedangkan kejahatan ekonomi mempunyai dampak yang sangat luas bagi masyarakat. Tindak pidana ekonomi sebagai suatu bentuk tindak pidana yang melanggar berbagai aturan di bidang ekonomi jelas mempunyai kerakter sendiri. Pada dasarnya, hukum pidana ekonomi mempunyai kekhususan yakni 40: a. Sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan atau pasar; b. Bersifat elastis dan tidak ditepatkan di bawah stricta interpretation; dan c. Sanksi dapat diperhitungkan oleh mereka yang bersangkutan. Walaupun tindak pidana ekonomi seperti yang dikemukakan di atas, bersifat elastis dan tergantung pasar dan adanya kemungkinanan para pihak yang bersangkutan menetukan sanksinya, namun dari aspek makro, tindak pidana di bidang ekonomi berdampak sangat luas yakni dapat merusak bahkan menghancurkan stabilitas dan pembangunan ekonomi itu sendiri . Berbagai bentuk tindak pidana ekonomi yang terjadi menunjukkan bahwa dampak dari tindak pidana tersebut sungguh memberikan jangkauan yang sangat luas. Berbagai kasus perbankan baik yang terjadi di Indonesia, dan di luar negeri menimbulkan 40
A.Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus….Op.Cit., hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
hilangnya kepercayaan kepada perbankan, padahal bank merupkan salah saktu sektor penting dalam perekonomian. Begitu pula halnya dengan tindak pidana lain yang sangat terkait dengan aktivitas ekonmi seperti di bidang kehutanan, lingkungan hidup, perikanan dan lainnya juga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Oleh sebab itu upaya pengkajian dan guna pengambilan kebijakan yang tetap sangat penting dalam menunjang pembangunan itu sendiri.41 Pengaturan tindak pidana ekonomi dalam sistem hukum pidana Indonesia merupakan salah satu bentuk dari hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht). Pada awalnya persoalan ekonomi hanya merupakan persoalan administratif dan keperdataan. Namun mengingat pemerintah membutuhkan adanya suatu upaya pelaksanaan untuk pemberlakuan hukum ekonomi, maka diperkuat dengan sanksi pidana sehingga melahirkan aturan hukum pidana ekonomi. Walaupun demikian penggunaan hukum pidana sebagai sarana utama harus dipertimbangkan. Pengendalian ekonomi yang semata-mata menggunakan hukum pidana dapat mengakibat overcriminnalization dan sekaligus dapat menimbulkan dampak negatif juga bagi perekonomian.42 Adanya sanksi pidana dalam berbagai undang-undang di bidang ekonomi mestinya hanya berfungsi sebagai pengawal agar aturan yang ada ditaati.43 Selanjutnya walaupun secara hukum fungsi hukum pidana sebagi ultimum remidium (upaya terakhir) namun ada kecendrungan untuk menggunakan pidana 41
Adhi Wibowo, Analisis Kejahatan Perbakan Perspektif Hukum Pidana, dalam Jurnal Hukum Respublika Vol. 7 Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, 2007, hal. 25. 42 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana….., Op.Cit., hal. 23. 43 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Rajagrafindo, 2007), hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
sebagai upaya yang pertama (premium remedium). Dalam hal tertentu memang dimungkinkan, yakni dengan alasan: korban yang sangat besar, terdakwa residivis dan kerugian tidak dapat dipulihkan(irreperable). 44 Secara umum pandangan tersebut dapat dibenarkan, namun dalam bidang perekonomian hal itu perlu dipertimbangkan secara khusus. Di samping itu, penggunaan sarana penal atau sanksi pidana yang merupakan ciri dominan dalam sistem hukum pidana konvesional dirasakan kurang tepat. Sanksi pidana sebagai upaya pencegahan (prevensi) dan penjeraan (detterance) tidak sepenuhnya didukung oleh suatu fakta empiris. Malahan terdapat kajian empiris yang membuktikan sebaliknya yaitu 45: “An altrnative hypothesis holds that variation in the certainty and sevirity of punishment do not significantly deter the criminal. Rather crime is a result of a complex set of socioeconomic factors or possibility biological factor. The appropriate way ti minimize the social cost of the crime is to attct the root causes of crime, and programs designed to alleviate sociual, economi, and biological causes of crime”. Keseluruhan upaya penanggulangan kejahatan termasuk tindak pidana ekonomi yang melalui jalur represif atau penegakan hukum pada dasarnya berada dalam satu sistem atau satu kesatuan yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Di samping melalui jalur repressif, penanggulangan kejahatan juga dapat dilakukan melalui jalur preventif yang merupakan setiap usaha untuk mencegah
44 45
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 79. Robertt Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, (Boston: Pearson, 2004), hal. 484.
Universitas Sumatera Utara
terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan. 46 Dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat, upaya represif merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari, karena bagaimanapun akan selalu terjadi suatu tindak pidana yang melahirkan konsekuensi harus dilakukan upaya penegakkan hukum (law enforcement). Penegakkan hukum pidana membutuhkan aturan prosedural yang mempunyai cakupan yang luas dan berada dalam suatu kerangka Sistem Peradilan Pidana. Sebagai suatu sistem, Sistem Peradilan Pidana pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang terdiri dari sub-sistem yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yakni untuk melakukan penegakan hukum pidana (Criminal Law Enforcement). Walaupun masing-masing sub sistem merupakan suatu institusi yang mandiri dan mempunyai tugas dan kewenangan sendiri, semua sub sistem itu dihubungkan oleh suatu mata rantai yang menyatukan gerak langkah operasional masing-masingnya. Dari kesemua mata rantai tersebut akhirnya akan bermuara pada penegakan hukum secara konkrit dalam suatu kasus tertentu. Conklin47 menggambarkan: “The Criminal justice system has been descired as a funnel or sieve that sorts out cases”. Upaya pencegahan tindak pidana di bidang ekonomi membutuhkan integrasi dari berbagai sub sistem peradilan pidana terdiri dari berbagai sub sistem yang idealnya harus merupakan satu kesatuan (integrated). 48 Dengan demikian, persoalan penegakkan hukum seperti penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan 46
Andi Hamzah, Reformasi Penegakan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 1998, hal. 2. 47 John E. Conklin, Criminology, Fouth Edition, (New York: Macmillian Publishing Company, 1994), hal. 391. 48 Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1994), hal. 85.
Universitas Sumatera Utara
hukuman harus berada dalam suatu sinkronisasi dan koordinasi yang baik. Kalau tidak, sistem tersebut tidak akan berjalan dengan baik dan upaya penegakkan hukum tidak akan berjalan secara maksimal. 49 Kemudian tindak pidana di bidang merek disebut juga sebagai economic crime, juga dapat disebut sebagai kejahatan berdimensi baru. Kejahatan ini untuk menunjuk pada suatu kejahatan yang berhubungan dengan perkembangan masyarakat di bidang perekonomian dalam masyarakat industri, yang pelakunya terdiri dari golongan mampu, intelek dan terorganisir (termasuk dalam white collar crime). Mobilitas kejahatan tinggi dilakukan tidak hanya di satu wilayah melainkan antar wilayah, bahkan menerobos batas regional, trans-nasional. Modus operandinya menggunakan peralatan canggih, memanfaatkan kelemahan sistem hukum, sistem manajemen. Korbannya tidak lagi bersifat individual melainkan sudah bersifat kompleks menyerang kelompok masyarakat, negara, dan kemungkinan korban tidak segera menyadari kalau dirugikan.
2. Konsepsi Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh penulis. Konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini antara lain :
49
Ronald Jay Allen, Comprehensive Criminal Procedure, (New York: Aspen Law & Business, 2001), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
a.
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. 50
b.
Kebijakan adalah prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah khususnya aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidangbidang penyusunan pengaturan perundang-undangan dan pengaplikasikan hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga Negara). 51
c.
Kebijakan pidana adalah merupakan suatu kebijakan atau usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan pidana memiliki tiga arti, yaitu 52: 1.
Keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana (dalam arti sempit);
2.
Keseluruhan fungsi dari aparat penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi (dalam arti luas); dan
3.
Keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan atau badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
50
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 1 butir 1. Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 23-24 52 Ibid., hal. 2. 51
Universitas Sumatera Utara
d.
Kebijakan hukum pidana (penal policy/criminal law policy/strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. 53 Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung makna baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 54
e.
Kejahatan ekonomi adalah perbuatan melawan hukum yang diancam sanksi pidana, dilakukan oleh seseorang atau koorporasi dalam pekerjaannya secara sah dalam usahanya di bidang industri atau perdagangan, serta bertujuan untuk memperoleh kekayaan, penghindaran pembayaran utang, serta memperoleh keuntungan bisnis ataupun pribadi. 55
g. Metode Penelitian Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip pendapat Soeryono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut 56: Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang
53
Ibid., hal. 28. Ibid. 55 Steven Box, Power, Crime, and Mystification, (London: Tovistock Publication Ltd, 1983), 54
hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan. 1. Spesifikasi Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis, deskriptif maksudnya menggambarkan atau menelaah permasalahan hukum terhadap sengketa merek terdaftar yang mempunyai persamaan dan pengaturan penyelesaiannya. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat mengenai penyelesaian sengketa merek terdaftar yang mempunyai persamaan berdasarkan ketentuan hukum merek dan yang dilakukan dalam praktek. Seperti dikemukakan oleh Soeryono Soekanto, “penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki”. 57 Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal 58 (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial 57
Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3. Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 10. 58
Universitas Sumatera Utara
process). 59 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.
2. Sumber Data Penelitian Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder 60, yang meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum Merek, antara lain Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan dengan Merek baik
pidana maupun perdata. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan Merek. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelesan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini. 61
3. Teknik Pengumpulan Data 59
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. 60 Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 14. 61 Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985), hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan
dengan
permasalahan
dalam
penelitian
ini
maka
pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, yakni dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang Merek dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian. Untuk mengumpulkan data pendukung mengenai kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi, peneliti mengambil beberapa contoh putusan Pengadilan pada Kantor Pengadilan Niaga yang menangani masalah hukum dari sengketa merek dalam penerapan hukum dan sanksinya. Di samping itu data pendukung juga diperoleh dengan melakukan wawancara dengan : a. Bapak Amir Hamzah, SH, Kepala Sub Direktorat Pidana Khusus Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. b. Bapak Salmon Pardede, SH, M.Si dan Bapak Ignatius Silalahi, SH, MH Penyidik Pegawai Negeri Sipil HAKI pada Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dan Bapak Jawasmer Saragih, SH, M.Kn dan Bapak Kurniaman Telaumbanua, SH, M.Hum Penyidik Pegawai Negeri Sipil HAKI pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara.
4. Analisis Data Setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) serta data pendukung yang diperoleh dari penelitian lapangan
Universitas Sumatera Utara
(field research), maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui validitasnya, kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif. Metode induktif maksudnya menarik dari generalisasi yang berkembang dalam praktek kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi. Metode deduktif maksudnya melihat suatu peraturan-peraturan yang berlaku secara umum walaupun tidak pasti mutlak, namun dijadikan dasar hukum dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi Dengan menggunakan metode induktif dan deduktif ini, maka akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana sebenarnya kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi pelanggaran hak merek sebagai kejahatan di bidang ekonomi. Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara