BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampang dalam sejarah politik berbeda dengan Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan. Sampang dapat disebut kota oreng kenek 1 karena tidak seperti tiga Kabupaten lainnya yang merupakan bekas-bekas istana raja, Sampang relatif bebas dari pengaruh bangsawan. 2 Sampang hanya merupakan kota Kawedenan semasa pemerintahan pribumi dan juga bukan kota kolonial karena kehadiran Belanda di Sampang sangat sedikit. Pada perempat terakhir abad ke-19 kota ini dianggap paling makmur di Pantai Selatan karena aktifitas perdagangannya, perdagangan didominasi oleh pedagang pribumi. Faktor ini yang juga menyuburkan gerakan sosial di Sampang. 3 Dinamika politik di Sampang yang berkaitan dengan sosok kyai sehingga melahirkan perlawanan Oreng kenek sangat unik dan menarik untuk diteliti, sejak Pemilu 1992 oreng kenek selalu melakukan perlawanan terhadap pemerintah hingga puncaknya pada Pemilu 1997. Pembangkangan, penghinaan, sabotase, dan bahkan pencurian yang dilakukan sehari-hari dengan ditujukan pada
1
Oreng kenek secara harfiah adalah orang kecil, mereka menduduki stratifikasi sosial paling bawah dalam masyarakat Sampang. 2 Muridan S. Widjoyo dan Diana Fawzia, Resistensi Oreng Kenek Di Sampang, Madura, Jakarta: Yayasan Obor, 1999, hlm. 62. 3 Kontowijoyo, Agama Islam dan Politik: Gerakan-gerakan Sarekat Islam Lokal Madura 1913-1920, dalam Muridan S. Widjoyo dan Diana Fawzia, Ibid., hlm. 62. 1
pemerintah kerap kali dilakukan. Menurut Scoot tindakan seperti itu juga wujud dari perlawanan yang tidak terekam. 4 Kuntowijoyo mengatakan konflik yang sering terjadi dalam masyarakat Madura sejak pemerintahan Kolonial dipicu oleh gesekan dengan pemerintah. 5 Mengenai konflik di Indonesia menurut Cribb genealogi kekerasan dapat dilacak ke belakang. 6 Artinya perlawanan yang dilakukan oleh oreng kenek pada pemilu 1992 dan puncaknya pada pemilu 1997 bisa dilacak kebelakang pada tahun-tahun sebelumnya karena perlawanan oreng kenek sudah terjadi sejak pemerintahan Kolonial Belanda. Dalam rentan waktu tujuh tahun 1992 hingga 1999 ada tiga perlawanan yang mengerahkan massa yaitu pada pemilu 1992, kedua Tragedi Waduk Nipah1993, dan Tragedi Mei 1997. Perlawanan 1992 ketika kali pertama PPP dikalahkan oleh Golkar, dalam perlawanan juga pertama kali oreng kenek melakukan perusakan terhadap bangunan hingga seorang veteran tewas dalam tragedi tersebut. Pada 1993 ketika pemerintah berencana membangun Waduk Nipah sebagai prasarana perairan dalam pertanian mendapat perlawanan keras dari masyarakat setempat. Mereka kuatir waduk menggenangi tempat tinggalnya. Perlawanan tersebut menelan korban jiwa empat orang meninggal dunia, dan beberapa orang cacat seumur hidup. Bagi mereka memertahankan haknya adalah kehormatan yang harus diperjuangkan mereka lebih baik mati dariapada harus
4
James Scott, Perlawanan Kaum Tani, Yogyakarta: 1993, hlm. 270-277 Baca kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, Yogyakarta: 2002, Mata Bangsa 6 Robert Cribb dalam Muridan S. Widjoyo dan Diana Fawzia, Ibid, hlm. 86. 5
2
hidup “secara tidak hormat” ungkapan yang sering didengar ialah “lebbi begus pote tolang ketembeng pote matah”, 7 (Lebih baik mati daripada menanggung malu). Perlawanan selalu menunjukkan pola yang sama, 8 aksi perlawanan oreng kenek yang memunyai pola dan corak yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya terjadi pada Pemilu 1997, ribuan massa yang mengaku pendukung Islam Nahdatul Ulama (NU) dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari berbagai kecamatan, turun ke jalan melakukan arak-arakan dengan membawa senjata tajam seperti celurit, parang, pedang, dan sejenisnya dengan menggelorakan takbir. Massa merusak dan membakar bangunan-bangunan di Kecamatan-Kecamatan dan di Sampang kota. Bangunan yang dirusak dan dibakar yang dianggap berkaitan dengan pemerintah. Seperti kantor Polsek, kantor kecamatan, Kawedenan, rumah Juru Kampanye Golkar, Kantor DPC Golkar, BANK-BANK, rumah-rumah dinas guru (PNS), kotak-kotak suara dan Tempat Pemungutan Suara (TPS), beberapa sepeda motor, serta beberapa mobil. Akibatnya Pemilu diulang di 65 TPS 9 sesuai tuntutan massa untuk mengulang Pemilu di Sampang. Ada kejadian yang juga menarik dalam tragedi tersebut perusakan terhadap toko-toko orang Cina dan Rumah Kebaktian Umat Kristiani sehingga rumah-rumah yang lain ditutup dengan tempelan kertas di pintu bertuliskan “Orang Islam, Allahu Akbar”. Seperti biasa “sejarah berulang kembali” artinya 7
Baca Latief Wiyata, Carok; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LKiS, 2006. 8 Huub De Jonge, Garam, Kekerasan, dan Aduan sapi, Yogyakarta: LKiS, 2012, hlm., 58. 9 “Pencoblosan Ulang di Sampang”, Media Indonesia, 31 Mei 1997, hlm. 1. 3
setiap terjadi kerusuhan yang melibatkan aksi massa, kelompok minoritas ini selalu menjadi korban kemarahan. Seperti korban perusakan, kekerasan, pemerkosaan, dan bahkan pembantaian. Tetapi gerakan di Sampang hanya merusak tempat ibadah dan toko-toko Umat Kristiani tidak terjadi pemerkosaan dan pembantaian terhadap mereka. Oreng kenek memaknai berpolitik adalah jihad dan manifestasi kepatuhan terhadap kyai. Afiliasi mereka terhadap PPP didasarkan pada kedekatan ideologi Islam NU meskipun PPP adalah partai fusi namun hanya PPP satu-satunya partai Islam, dengan perantara kyai seperti kyai yang sangat karismatis dan sangat terkenal pada masanya Kyai Alawy Muhammad. Ia adalah satu-satunya kyai di Madura yang paling berpengaruh, perlawanan oreng kenek tidak bisa dilepaskan dari sosok Kyai Alawi Muhammad. Selain itu, doktrin bahwa Umat Islam wajib mencoblos PPP (saat itu berlambang bintang) dan Golkar adalah orang kafir diamini oleh masyarakat Sampang. Hampir semua kyai yang menjadi Jurkam PPP menghujat Golkar dengan mengatakan “Golkar kafir” dengan menggunakan istilah “mateh odik bintang, Golkar kaper” (hidup mati bela Bintang, Golkar kafir). Tradisi seperti itu tidak dimungkiri lagi sangat menguntungkan kyai dan PPP apalagi dalam momenmomen politik seperti Pemilu. Jika Jonge mengatakan untuk menggerakkan massa dalam masyarakat Madura sangat sulit karena karakter mereka yang keras dan tidak mudah diperintah. Hal itu telah dijawab oleh Kuntowijoyo bahwa untuk menggerakkan masyarakat Madura paling efektif dengan pendekatan kegamaan,
4
seperti tahlilan, sedekah, yasinan. Pendekatan itu memang terbukti sangat efektif apalagi ketika dikait-kaitkan dengan seorang kyai. Tercatat Pemilu 1997 adalah Pemilu yang paling rusuh dan menelan banyak korban. Perlawanan oreng kenek di Sampang terhadap pemerintah otoritarian adalah aksi kongrit untuk melawan ketidakadilan, itulah yang membuktikan bahwa hubungan kyai dan oreng kenek tidak hanya dalam kontek keagamaan, tetapi juga dalam politik. Menjelang lengsernya Soeharto terjadi krisis moneter, tahun 1997 juga masa elnino di Indonesia yaitu terjadi anomali musim yang mengakibatkan kekeringan panjang, kekurangan air bersih, dan kebakaran hutan 10 yang sudah pasti sangat merugikan petani dan secara umum rakyat kecil. Kondisi seperti itu diperparah oleh keserakahan pemerintah yang secara sistematis terus berusaha melanggengkan kekuasaan dengan segala cara tanpa peka terhadap kondisi rakyat. Relevan apabila kondisi tersebut juga dikaitkan atau memengaruhi berbagai kerusuhan yang terjadi di banyak tempat khususnya di Sampang Madura. Namun melihat corak aksi perlawanan oreng kenek bisa dikatakan sebagai gerakan yang sangat didorong oleh keagamaan dengan patronnya yaitu kyai. Kecurigaan, kekecewaan, dan skeptis terhadap pemerintah mendorong oreng kenek untuk melakukan perlawanan. Terlepas adanya aktor-aktor yang secara sengaja memprovokasi untuk mendompleng gerakan tersebut. Berdasarkan saksi-saksi mata Tragedi Mei 1997 di Sampang banyak menelan korban jiwa dari kalangan oreng kenek, tapi berbagai media massa dan penelitian Muridan S. 10
Tajuk Rencana Kompas Hati Nurani rakyat, Selasa 10 Juni 2014, hlm.
6. 5
widjojo dan Diana Fawzia “Resistensi Oreng Kenek Di Sampang Madura” tidak menyebutkan satu pun korban meninggal dunia. Pembantaian yang dilakukan oleh aparat adalah gaya Orde Baru yang masih kelam hingga saat ini tidak pernah terungkap apalagi tuntas. Banyaknya korban dalam sebuah tragedi selalu direduksi jika tidak dihilangkan sama sekali. Tragedi Mei 1997 salah satunya yang hingga kini masih menjadi misteri, meskipun banyak yang tahu tentang banyaknya korban tewas karena diberondong dengan senjata api oleh aparat tetapi mereka juga tidak mampu berbuat apa-apa, selain mengeluh. Hanya sejarah yang obyektif yang menyajikan narasi sesuai dengan fakta di lapangan paling tidak bisa mengungkap kebusukan-kebusukan yang terjadi dan selalu ditutup-tutupi, dengan tujuan tidak akan terulang lagi tragedi yang serupa. Sejarah pada hakikatnya selain menyajikan narasi masa lalu seharusnya memunyai pesan moral dan fungsi sosial untuk mengungkap semua kejadian yang obyektif apalagi berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Akhir-akhir ini setelah Orde Baru tumbang membawa angin segar dalam perkembangan historiografi. Masyarakat (rakyat kecil) yang sebelumnya tidak memunyai tempat dalam sejarah (People without history atau history without people) mulai menjadi bagian dari narasi besar sejarah. Kritikan yang sangat tajam pernah disampaikan oleh Bambang Purwanto dalam karya-karyanya seperti “Gagalnya Historiografi Indonesia sentries dan “Menggugat Historiografi Indonesia”. Oreng kenek di Sampang adalah golongan mayoritas namun menjadi minoritas karena keberadaannya jarang tersentuh.
6
Penellitian ini menyoroti politik lokal, kyai, dan perlawanan oreng kenek di Sampang periode 1992-1999. Aksi perlawanan ini juga yang menandai berakhirnya dominasi Kyai Alawy Muhammad dan perubahan dinamika sosial politik kyai dan oreng kenek. Pascatragedi Mei 1997 Kyai Alawy Muhammad dijauhi oleh masyarakat Sampang dan dipersepsikan negatif, namanya sering menjadi bahan gunjingan, bahkan lebih dari setengah (jumlah sebelumnya 6000) santrinya keluar dari pesantren At-Taroqqi. B. Rumusan Masalah Sepanjang 1992-1999 hubungan oreng kenek dengan pemerintah sangat buruk sehingga mengakibatkan perlawanan yang massif. Umat Islam bergerak karena kesadaran, tidak karena keuntungan-keuntungan material, seperti kekuasaan politik, kepentingan kelas, atau kepentingan golongan. 11 Itulah yang terjadi di Sampang, perlawanan oreng kenek sebagai Umat Islam bukan didasarkan pada kepentingan kekuasaan dan materi bahkan mereka mengalami kerugian harus disiksa oleh aparat. Kesadaran akan nilai-nilai ke-Islaman yang menjadi dorongan kuat, walaupun kemiskinan juga menjadi salah satu penyebab massifnya perlawanan mereka. Oreng kenek sehari-hari bekerja sebagai petani, mereka melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang dianggap dzolim dan merugikan Islam mulai perlawanan sehari-hari seperti sabotase, pencurian, pembangkangan, hingga perlawanan aksi massa yang besar. Pada dasarnya puncak perlawanan pada Mei 1997 merupakan akumulasi perlawanan-perlawanan sebelumnya dan akumulasi 11
Kuntowijoyo, Identitas politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997 hlm.
1. 7
kekecewaan sejak Pemilu 1992 yang dianggap curang untuk memenangkan Golkar. 1. Mengapa terjadi Perlawanan oreng kenek terhadap pemerintah? 2. Apa pola dan corak perlawanannya? 3. Apa dampak secara umum dan dampak terhadap dinamika hubungan antara masyarakat dengan Kyai (Alawy Muhammad)? C. Ruang Lingkup Penelitian Menurut Kartodirdjo, penelitian sejarah harus memiliki lingkup spasial dan temporal, keduanya merupakan faktor yang membatasi gejala sejarah tertentu sebagai kesatuan. 12 Penelitian ini difokuskan di kabupaten Sampang sebagai representasi Madura yang memilki kultur kegamaan konservatif. Sampang juga dikenal dengan kabupaten oreng kenek karena tingkat pendidikannya rendah dan kemiskinan yang akut. Selain itu, tradisi keraton hampir tidak ditemukan di Kabupaten Sampang seperti di Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan. Pada lingkup temporal penelitian ini dibatasi pada 1992-1999, meskipun dalam narasinya tidak kaku, artinya untuk menjelaskan dinamika politik lokal, hubungan kyai dan oreng kenek serta perlawanan oreng kenek 1992-1999, perlu melacak dan menelusuri akar perlawanan pada tahun-tahun sebelumnya karena corak perlawanan di Indonesia selalu saja memunyai akar historis. Secara genealogis perlawanan ini bisa dilacak ke belakang dan dampak dari perlawanan tersebut juga akan dibahas hingga lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
12
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 130. 8
yang secara de fakto mewakili kelompok NU sehingga berimplikasi pada pergeseran pandangan politik massa pada pemilu 1999. Dalam rentan tujuh tahun 1992-1999 adalah periode penting dalam dinamika sosial, politik, dan keagamaan masyarakat Sampang. Pemilu 1992 kali pertama secara formal PPP dikalahkan Golkar dalam pemilu, kekalahan PPP menjadi arus balik dan melanjutkan tradisi perlawanan oreng kenek terhadap pemerintah hingga puncaknya pada pemilu 1997. Pascatragedi ini, dinamika sosial, politik, dan keagamaan semakin menarik karena reformasi yang melahirkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meminggirkan PPP dan dominasi Kyai Alawy Muhammad dengan fenomena hijrahnya para kyai dan oreng kenek ke PKB pada pemilu 1999. D. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan menjelaskan dinamika politik lokal, kyai, dan perlawanan oreng kenek di Sampang terhadap pemerintah. Oreng kenek menjadi penting untuk diteliti mengingat mereka adalah masyarakat kebanyakan di Sampang yang unik. Dalam setiap perlawanan terhadap pemerintah selalu saja dimotivasi oleh semangat keagamaan yang kuat dengan melibatkan kyai. Perlawanan pada puncaknya 1997 sangat heroik, ribuan massa dengan menggelorakan takbir dan memegang senjata tajam secara kompak membakar banyak bangunan dan menuntut Pemilu ulang sehingga Pemilu ulang dilakukan. Menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi, kronologis tragedi, dampakdampaknya secara detil dan konprehensif.
9
E. Tinjaun Pustaka Banyak yang menganggap bahwa Kartodirdjo adalah pelopor historiografi sejarah sosial di Indonesia. Tulisannya “pemberontakan Petani Banten 1888” mengilhami sejarawan Indonesia untuk menulis peran rakyat kecil yang sebelumnya jarang apabila tidak dikatakan belum pernah ditulis. Tulisan itu juga dianggap cikal bakal sejarah sosial, karena pasca-penelitian tersebut banyak bermunculan historiografi yang serupa. Untuk kasus Sampang tulisan yang membahas secara khusus tentang “Politik Lokal, Kyai dan Perlawanan Oreng Kenek di Sampang 1992-1999” belum pernah dilakukan hanya ada satu penelitian (artikel) yang berkaitan yakni “Resistensi Oreng Kenek di Sampang, Madura” karya Muridan S. Widjoyo dan Diana Fawzia (1999). Kajian dalam artikel ini bukan pendekatan historis namun kajian perspektif politik. Meskipun pembahasan menyinggung struktur dan budaya di Sampang, namun secara kronologis artikel ini lebih fokus pada konflik politik dan belum membahas secara konprehensif apalagi melacak ke belakang. Perbedaan yang jelas dan tegas, penelitian ini adalah kajian historis dan memosisikan oreng kenek sebagai subyek dan obyek. Tulisan Dwi Ratna Hajarini, et al., yag berjudul “Kerusuhan Sosial di Madura Kasus Waduk Nipah dan Ladang Garam” secara khusus membahas dua insiden penting di Kabupaten Sampang yang berlokasi di Kecamatan Banyuates Waduk Nipah, dan kerusuhan ladang Garam di Kecamatan Torjun. Karya ini disponsori oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang berhasil mengunkapkan tragedi Nipah dengan sumber surat kabar dan wawancara.
10
Penelitian ini masih mengungkap permukaannya saja dan tidak memerhatikan sumber-sumber dokumen seperti laporan-laporan kejadian yang ditulis berbagai institusi di Sampang serta surat-surat dari berbagai elemen masyarakat yang prihatin terhadap kerusuhan tersebut sehingga tidak berhasil mengunkap peran besar kyai (Alawy Muhammad). Beberapa pakar yang menulis mengenai Madura antara lain: Jonge, Kees van Dijk, dan Kuntowijoyo. “Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam” karya Jonge ini adalah kajian antrhopologisekonomis membahas tentang peranan saudagar dan berbagai persekutuan dagang dalam proses perubahan ekonomis yang terjadi di Pulau Madura pada paruh abad ke-19 setelah berlaku pemerintahan kolonial secara langsung dari pusat. Buku “Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi: Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura” Jonge sebagai editor memuat potret Madura dalam tiga tema yaitu Islam, Kebudayaan, dan Ekonomi. Buku ini membahas perkembangan hubungan politik selama pemerintahan kolonial tidak langsung di Sumenep. Kemudian diikuti tiga tulisan yang membahas arti penting Agama Islam, tentang SI lokal, hubungan Islam dengan ekonomi serta pengaruh Islam dalam orientasi politik masyarakat Madura. Tulisan yang disusun Bouwsma membahas tentang budaya kekerasan di Madura yang muncul dalam bentuk carok. 13 Buku serupa yang membahas tentang budaya carok di Madura adalah karya Latief Wiyata, “Carok; Konflik Kekerasan
13
Dalam Dwi Ratna Nurhajarini et al., Kerusuhan Sosial di Madura Kasus Waduk Nipah dan Ladang Garam, Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, hlm. 2005, 11. 11
dan Harga Diri Orang Madura” terbitan LKiS, buku ini membahas tentang budaya carok di Madura yang dianggap sebuah tindakan terhormat dalam kontek menjaga kehormatannya dan balas dendam. Bouwsma juga menulis “Staat, Islam en Lokale Leiders In West Madura, Indonesia: En Historisch-Anthropologische Studie”. Buku ini merupakan penelitian sejarah anthropologi yang berisi penelitian di desa Beru, Sampang. Ia mendeskripsikan mengenai desa Beru yang dilengkapi dengan peta-peta, ada diagram kekeluargaan petani, aparat desa, dan Kyai, serta ada table-tabel (demografi, pemilikan tanah, pemilikan ternak, dan pembagian status sosial ekonomi penduduk). 14 Bouwsma juga mengulas tentang kekuasaan raja-raja, perubahanperubahan oleh kolonial dan akhirnya kejadian-kejadian sesudah kemerdekaan (sampai 1980) terutama dengan peran NU di pedesaan Madura. Ia juga membahas pemberontakan Pesantren Prajjan Sampang pada 1895. 15 Buku yang lain yang membahas tentang Madura adalah buku yang diedit oleh Kees van Dijk et al., dengan tema “Budaya, Politik, Kepemimpinan, Industrialisasi dan Seni” yang berkaitan dengan Madura. Tulisan Kuntowijoyo yang berjudul “Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940”. Terbitan Matabangsa, Tulisan ini membahas tentang keunikan Madura dalam ekohistori. Madura terbentuk dalam sistem ekologi tegal yang khas, berbeda dengan tempat lain yang berekologi sawah atau ladang.
14
Dalam Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008, hlm. 125. 15 Ibid., hlm. 126. 12
Ekologi tegal menurut Kuntowijoyo membentuk sebuah pola pemukiman berpencar, tingkat migrasi keluar yang cukup tinggi, struktur dan organisasi sosial ekonomi, pola kepribadian yang berpusat pada individu dan kepemimpinan yang dipegang oleh kaum Ulama. Tulisan yang lain tentang Madura, adalah tulisan Andang Subaharianto et al., yang berjudul “Tantangan Industrialisasi di Madura Membentur Kultur Menjunjung Leluhur”. Tulisan ini menjelaskan tentang resistensi petani Madura khususnya di Kabupaten Bangkalan dalam merespon industrialisasi. Buku tersebut banyak membahas tentang karakteristik orang Madura. Kasus yang diambil sebagai pokok bahasan adalah mengenai resistensi petani berkait dengan pembangunan Jembatan Suramadu. Kemudian tulisan yang membahas tentang kekerasan yang terjadi di sejumlah tempat di Indonesia dapat dibaca dari buku “Kekerasan Kolektif Kondisi dan Pemicu” karya Mochtar Masoed et al., yang diterbitkan P3PK UGM 2001. Buku tersebut berisi ulasan beberapa penelitian tentang 20 kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia antara 1995-1997. Di samping berisi kronologi dari sebuah peristiwa kerusuhan, buku itu juga menyajikan kondisi-kondisi dan faktor pemicu munculnya kerusuhan. Dalam satu bab khusus membahas tentang kekerasan yang terjadi di Sampang. Meskipun banyak data yang dihimpun namun tulisan tersebut mengabaikan sumber lisan. 16 Semua penelitian tentang masyarakat Madura belum ada yang meneliti masalah politik lokal, kyai dan perlawanan oreng kenek 1992-1999 . Penelitian ini menjadi satu-satunya yang meneliti kehidupan oreng kenek hubungannya dengan
16
Dalam Dwi Ratna Nurhajarini et al., op. cit., hlm. 12-13. 13
kyai dan perlawanannya pada zaman kontemporer yang masih terus terjadi. Bahkan tidak tertutup kemungkinan aksi massa akan kembali terjadi dewasa ini apabila pemerintah mengabaikan pembangunan (pendidikan), dan komunikasi dengan para kyai untuk membangun Masyarakat Sampang. F. Kerangka Konseptual Kartodirdjo mengatakan gerakan-gerakan sosial secara umum sebagai suatu proses merupakan satu hal yang sangat kompleks. 17 Kondisi-kondisi perlawanan oreng kenek di Sampang mengacu kepada berbagai dimensi atau aspek dari gerakan tersebut. Tidak ada faktor tunggal terjadinya gerakan sosial yang terjadi di Sampang, teori dan metodologi untuk mengonstruksi peristiwa ini harus melihat kondisi pendidikan, ekonomi, politik, budaya, dan agama masyarakat Sampang (politik, sosiologi, anthropologi). Namun tentunya ada faktor kausal tertentu atau suatu determinan dari gerakan sosial politik tersebut. Untuk menganalisis aksi perlawanan oreng kenek di Sampang harus memerhatikan sistem-sistem nilai tradisional dan kegamaan, sebagai suatu kesatuan konservatif yang kurang respek terhadap arus modernisasi. Sebagai suatu contoh, anak yang bersekolah di pendidikan umum Sekolah Dasar (SD), menjadi bahan olok-olok karena menggunakan celana pendek dan selalu di kontradiksikan dengan anak yang bersekolah di madrasah. 18
17
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, hlm. 24. 18 fenomena tersebut benar terjadi, meskipun seiring berjalannya waktu sudah agak memudar namun pandangan dan kebiasaan itu belum hilang secara keseluruhan. Masyarakat Sampang pada umumnya memandang rendah orang yang menempuh pendidikan umum (SD, SMP, SMA), karena menurutnya tidak ada kaitannya dengan Agama Islam, dan sebaliknya menempuh pendidikan Islam 14
Gerakan kemasyarakatan biasanya didefinisakan sebagai seperangkat keyakinan dan tindakan yang tak terlembaga (noninstutitonalised) yang dilakukan oleh sekelompok orang atau untuk memajukan atau menghalangi perubahan dalam sebuah masyarakat. 19 Meskipun definisi ini masih kontroversi di kalangan pakar sosiologi namun bisa dijadikan titik pangkal dalam analisis selanjutnya. Menurut Tarrow, gerakan sosial adalah tantangan kolektif yang diajukan sejumlah orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit, lawan, dan penguasa. 20 Tarrow
melakukan
elaborasi
terhadap
definisi
tersebut
dengan
menekankan bahwa gerakan-gerakan tersebut menyusun aksi mengacau (disruptive) melawan kelompok elit, penguasa, kelompok-kelompok lain, dan aturan-aturan budaya tertentu. Dilakukan atas nama tuntutan yang sama, terhadap lawan, penguasa dan kelompok elit, yang berakar pada rasa solidaritas atau identitas kolektif, dan terus melanjutkan aksi kolektifnya sebagai menjadi sebuah gerakan sosial. Dengan demikian, gerakan sosial diikuti oleh sejumlah individu yang memiliki tujuan dan identitas kolektif yang sama, yang secara bersama-sama terlibat dalam aksi kolektif yang bertujuan mengacau seperti yang dilakukan oleh oreng kenek di Sampang terhadap penguasa atau elit. Studi tentang gerakan sebagai suatu manifestasi dari tingkah laku kolektif juga dilakukan oleh Smelser dan Berkhofer. Smelser menjelaskan bahwa perilaku di madrasah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan hingga mereka mondok di pesantren-pesantren tradisional di Madura. 19 Robert Mirsel, Teori Pergerakan Sosial Kilasan Sejarah dan Catatan Bibliografis, Yogyakarta: Resist Book, 2004, hlm. 6. 20 Bert Klandersmans, Protes Dalam Kajian Psikologi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. xiii. 15
kolektif memunyai sifat tidak tersusun, spontan dan emosional serta dalam suasana organisasi yang berbeda dan bertentangan. Perilaku ini bertujuan menginterpretasikan norma dan merupakan mobilisasi atas dasar kepercayaan dan keyakinan yang berbentuk aksi sosial. 21 Puncak perlawanan oreng kenek di Sampang yang dimanifestasikan dalam sebuah gerakan adalah respons spontan terhadap segala bentuk ketidakadilan dengan dorongan keagamaan yang sangat kuat sebagai simbol perlawanannya. Maka teori Smelser dan Berkhofer sangat membantu memertajam untuk menjelaskan aksi perlawanan tersebut. Orang Madura dikenal sebagai orang yang tenpramental, religius, berani, agresif. Tidak bisa dimungkiri streotipe tersebut melekat terhadap orang Madura yang seringkali merugikan dan juga kadangkala menguntungkan, sesuai dengan konteksnya. Dinamika politik lokal Sampang yang berkaitan erat dengan keberadaan kyai menjadi sebuah budaya, pertentangan PPP dan Golkar kemudian melahirkan sebuah perlawanan oreng kenek, kyai di sini menjadi simbol dari perlawanan tersebut. Perlawanan oreng kenek cenderung selalu ada kaitannya dan memiliki pola yang sama dengan sebelumnya, keberanian yang dimiliki oleh orang Madura secara umum yang juga puncaknya perlawanan terhadap siapapun yang dianggap mengganggu cenderung didistribusikan dari generasi ke generasi baik dalam pola-pola sosialisasi maupun dalam bentuk aktivitas-aktivitas yang bermakna ritual. Oleh karenanya dalam masyarakat perlawanan terhadap ketidakadilan harus dilakukan.
21
Dalam Fadjar Pratikno, 2000, Gerakan Rakyat Kelaparan: Gagalnya Politik Radikalisasi Petani, Yoyakarta: Pressindo, 2000, hlm. 17. 16
Bagi Masyarakat Madura dan bagi Umat Islam di Indonesia Agama Islam adalah agama yang final yang memunyai ajaran dan nilai-nilai absolut. Bahkan tindakan atau gerakan yang didasari oleh dorongan keagamaan terkadang tidak rasional dan obyektif. Menurut Weber, dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu atau kelompok yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. 22 Selanjutnya Weber menyatakan, tindakan religius mungkin merupakan bentuk dasar rasionalitas yang berorientasi nilai. Kehadiran Islam bagi Masyarakat Sampang adalah entitas yang harus dilindungi nilai yang harus dijaga sebagai wujud wahyu Tuhan yang akan membawa kedamaian dalam hati dan kemudian nilai-nilai lain seperti modernisasi tidak penting bagi mereka bahkan dianggap mengancam. Siapapun yang dianggap mengancam keberadaan Islam di daerah tersebut maka harus berhadapan dengan mereka walalupun harus dengan perang (jihad). Sosok kyai memunyai posisi yang sentral dalam kehiduapn sehari-hari, baik segi agama, sosial, politik kyai tetap menjadi panutan bagi mereka. Perlawanan oreng kenek tidak terlepas dari sosok kyai yang karismatis Kyai Alawy Muhammad sebagai pemimpin alternatif. Bahkan sejumlah mitos berkait dengan dirinya melekat dalam masyarakat yang bersifat transedental. Benar atau tidak bahwa kyai memiliki kesaktian-kesaktian tersebut namun kepercayaan 22
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 221. 17
masyarakat adalah realitas yang tak terbantahkan. Maka, untuk menjelaskan fenomena ini perlu menggunakan teori Weber tentang otoritas karismatis. 23 Konsep Karisma diambil Weber dari konsep para ahli sejarah Gereja dan digunakan untuk kajian-kajian politik. Weber mendefinisikan karisma sebagai mutu tertentu yang melekat pada kepribadian seseorang yang menyebabkan ia dianggap sangat luar biasa dan diperlakukan orang sebagai seseorang yang dikaruniai kekuatan supranatural (ghaib), seorang manusia super atau setidaktidaknya memunyai kekuatan atau kualitas istimewa. 24 Dalam persoalan-persoalan politik berupa dominasi dan perlawanan harus melihat aspek-aspek kebudayaan, etos, mentalitas atau ideologi. 25 Sistem patron-klien bergantung pada sistem nilai yang didasarkan pada etos tertentu yang meliputi penghormatan. Penghormatan yang berlebihan terhadap sosok Kyai yang dianggap suci membuat hegemoni kyai bersemai di kalangan masyarakat (oreng kenek). Keterlibatan kyai dalam politik bisa dilihat pada Nahdatul Ulama (NU). Organisasi ini berubah menjadi partai politik sejak 1952 (setelah keluar dari Masyumi) hingga fusinya bersama partai-partai Islam lainnya ke PPP pada 1973. 26 NU sebuah partai politik (sebelum 1984) yang dikontrol para kyai dan memiliki massa riil terbesar di Indonesia dengan akarnya yang menancap kuat dalam masyarakat dan bersifat primordial. 27 Keterlibatan kyai dalam politik ini
23
Ibid., hlm. 229-230. Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2011, hlm. 133. 25 Ibid. 26 Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil Islam dan politik, Yogyakarta: Gading, 2013, hlm. 136. 27 Ibid. 24
18
kemudian ada beberapa kyai tidak bisa lagi membedakan urusan agama dan politik, mereka cenderung mencampur adukkan bahkan melakukan politisasi agama, memanfaatkan kepatuhan masyarakat yang terbetuk melalui kebudayaan. Kualitas adiduniawi merupakan kualitas ekslusif yang hanya dimiliki oleh kyai dalam kontek masyarakat Sampang, yang menarik para pengikut (oreng kenek) yang setia pada pemimpin karismatik secara pribadi dan memiliki komitmen terhadap keteraturan normatif atau moral yang digambarkannya dan berkaitan erat dengan nilai-nilai absolut yang diajarkannya, seperti ajaran-ajaran Islam. Maka, kyai tidak hanya menjadi pemimpin agama, namun dalam urusan politik dan bahkan segala urusan kehidupan oreng kenek selalu mengonsultasikan kepada kyai. 28 G. Metode Penulisan Penelitian ini merupakan kajian sejarah yang bersifat ex post facto artinya kajian peristiwa yang telah terjadi namun subtansinya masih dapat digali atau dikembangkan karena peristiwanya berlangsung belum begitu lama. Karenanya metode yang digunakan meliputi empat tahap yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.29 Selain itu juga mempunyai sifat deskriptif analisis yang menyajikan data-data serta menginformasikan fakta yang ada, dalam konsep
28
Oreng kenek dalam urusan kehidupan baik itu karena persoalan hidupa atau hanya sekadar petuah hidup selalu berkonsultasi dengan kyai yang disebut dengan istilah acabis, tradisi ini terus berlangsung hingga kini, pada umumnya oreng kenek meminta doa-doa kepada kyai untuk dibuat amalan setiap hari, oreng kenek akan merasa damai dan tenang ketika semua sudah dikonsultasikan dengan kyai dan mendapat doa-doa. 29 Louis Gostlack, Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982, hlm. 34.
19
kausalitas serta faktor-faktor kondisional yang cenderung memaparkan peristiwa sejarah secara naratif dengan memaparkan secara kronologis dalam hubungan tempat dan waktu. Pengumpulan sumber dalam penelitian ini menggunakan berbagai sumber. Pencarian sumber menggunakan wawancara terhadap pelaku atau saksi, karena pelaku sejarah seperti korban penganiayaan aparat, Kordinator Lapangan, kyai, masih hidup dan foto-foto bangunan yang terbakar dan rusak. Kemudian data Badan Pusat Statisti (BPS) Arsip Daerah Jawa Timur, Arsip Departemen Sosial Politik Jawa Timur, Arsip Kabupaten Sampang, Arsip Departemen Penerangan Jawa Timur, Arsip Nasional Republik Indonesia, laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU) 1971-1997 Daerah Jawa Timur dan KPU Sampang, Arsip Kota Surabaya dan wawancara dengan berbagai kalangan dari berbagai segmen, profesi, dan latar belakang agar mendapat sumber atau informasi yang benarbenar valid, kredibel, dan konprehensif. Sumber sebagai bahan penunjang seperti buku, Karya Tulis seperti artikel meskipun terbatas penting juga untuk dijadikan perbandingan untuk melengkapi informasi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah surat kabar dan majalah hampir semua surat kabar tingkat nasional dan lokal merekam Tragedi yang terjadi di Sampang. Kemudian tidak lupa melakukan kritik terhadap semua sumber yang didapat, yaitu seperti yang lazim dalam sejarah kritik ekstern dan kritik intern. Dalam pelaksanaanya kritik ekstern lebih menitik berartkan terhadap originalitas yang dipakai membuat dokumen, sedangkan kritik intern lebih memertimbangkan
20
kebenaran isi sumber atau dokumen. 30 Kritik ekstern bertujuan menjawab tiga pertanyaan pokok yang dikaitkan bahan dari sumber sejarah atau dokumen yang telah berhasil dikumpulkan. Pertama, apakah sumber itu relevan dengan kebutuhan sejarawan? Kedua, apakah sumber merupakan sumber turunan atau salinan? Ketiga, apakah sumber itu utuh, atau hanya sebagian, atau bahkan sumber yang telah dirubah? Sedangkan kritik intern lebih fokus berusaha membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber memang dapat dipercaya, jadi inti permasalahan terletak pada pernyataan-pernyataan atau keterangan yang terdapat dalam sumber yang bersangkutan. Kritik intern juga berkaitan dengan faktor-faktor kemampuan, penguasaan ilmu bantu, keyakinan, atau kepercayaan, status atau prasangka si pengarang. 31 Setelah kritik tahap yang terakhir adalah historiografi dengan menggunakan metode historical explanation seperti yang dikatakan oleh Kuntowijoyo. H. Sistematikan Penulisan Penulisan ini akan dibagai menjadi enam bab sebagai berikut: Bab I Pendahuluan: Pada Bab I akan membahas latar belakang masalah yang melatar belakangi penelitian ini, seperti kedudukan oreng kenek yang unik, Agama Islam dan kyai, dan perlawanana oreng kenek, kemudian rumusan masalah yang mendasari pertanyaan penelitian. Setelah itu, menjelaskan tujuan penelitian, tinjauan pustaka untuk meninjau kembali apabila ada tulisan-tulisan yang serupa,
30
Aminuddin Kasdi, Memahami Sejarah, Surabaya: Unesa University Press, 2005, hlm. 27-28. 31 Louis Gotschalk, op. cit., hlm. 81-83. 21
landasan teori atau kerangka konseptual sebagai kerangka penulisan, terakhir metode penulisan agar tetap berada dalam koridor penulisan sejarah. Bab II. Akan membahas Geografi dan sosial budaya masyarakat Sampang yang meliputi geografi, kepadatana penduduk, stratifikasi sosial budaya; oreng kenek, bejingan, kondisi sosio religius, kondisi sosio ekonomi, dan dinamika politik lokal Sampang. Untuk memahami Bab III yang mulai masuk pada perlawanan maka perlu memahami terlebih dahulu geografis dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya seperti tradisi keagamaan masyarakat Sampang. Bab III. Aksi Perlawanan oreng kenek, Bab ini akan menggambarkan tentang Kiai Aalwy Muhammad, teologi perlawanan oreng kenek, jejak-jejak perlawanannya, Perlawanan oreng kenek 1992-1996, Tragedi Waduk Nipah, hingga perlawanan sehari-hari. Sebelum menjelaskan Bab IV yang merupakan puncak perlawanan oreng kenek tulisan ini menelusuri jejak-jejak perlawanan pada tahun-tahun sebelumnya, sebelumnya juga membahas fenomena Kyai Alawy Muhammad yang karismatik dan teologi perlawanan oreng kenek. Perlawanan sehar-hari hingga menjelang puncaknya Bab IV. Pada bagian ini akan menjelaskan secara kronologis aksi perlawanan oreng kenek pada Pemilu Mei 1997, dengan melihat pola dan corak perlawanannya. Bab IV akan menggmabarkan puncak perlawanan oreng kenek sebagai gerakan sosial politik yang sangat dipengaruhi oleh semangat jihad yang dipropagandakan oleh kyai. Kemudian pada Bab V akan menjelaskan pergeseran pandangan politik massa, dampak secara umum dan dampak terhadap dinamika hubungan
22
masyarakat dengan kyai, hingga runtuhnya karismtais Kyai Aalwy Muhammad. Bab V fokus membahas dampak dari puncak perlawanan yang terjadi pada 1997, hingga lahirnya PKB dan pemilu 1999 yang meminggirkan karismatik Kyai Alawy Muhammad bahkan karismatiknya runtuh tak tersisa. Bab VI. Pada bab terakhir ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan. Daftar Pustaka dan Lampiran.
23