BAB I PENDAHULUAN
1. Judul Penelitian Judul dari penelitian ini adalah: Inovasi Pemerintah Desa Karangrejek dalam Memenuhi Kebutuhan Air Bersih untuk Masyarakat.
2. Alasan Pemilihan Judul Judul merupakan bagian penting yang nantinya memberikan ketertarikan kepada pembaca terhadap isinya. Dasar penentuan judul di atas, latarbelakangnya adalah keresahan peneliti tentang pandangan masyarakat yang sering mendiskreditkan Kabupaten Gunungkidul sebagai kabupaten dengan permasalahan kompleks, salah satu utamanya adalah masalah air. Peneliti juga ingin mengetahui lebih lanjut apa saja cara-cara yang dipergunakan oleh Pemerintah Desa Karangrejek dan masyarakatnya untuk memulai program air bersih ini karena masih banyak warga Gunungkidul di wilayah lain masih terhambat dalam pengelolaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Dasar dari pemilihan judul tersebut juga memperhatikan aspek relevansi dengan program studi, aktualitas dan orisinalitas. Pemilihan judul tersebut berdasarkan dua pertimbangan, yaitu pertimbangan praktis dan teoritis. Pertimbangan pertama, pertimbangan praktis yaitu berkaitan dengan kemudahan dan hambatan yang dialami oleh
1
peneliti dari awal melakukan penelitian hingga selesai. Pertimbangan kedua, pertimbangan teoritis, yaitu sebuah judul penelitian harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Relevansi
dengan
Departemen
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki tiga konsentrasi pembelajaran, yaitu Corporate Sosial Responsibility (CSR), Sosial
Policy
(Kebijakan Sosial)
dan
Community
Empowerment
(Pemberdayaan Masyarakat. Tema penelitian ini merujuk pada konsentrasi Community Empowerment (Pemberdayaan Masyarakat) dan Sosial Policy (Kebijakan Sosial). Masyarakat sebagai objek dari kebijakan merupakan tujuan akhir, dalam artian berhasil atau tidaknya suatu kebijakan tergantung dari bagaimana masyarakat merespon dan memberikan umpan balik yang positif. Pada prosesnya, dalam menanggapi suatu kebijakan, masyarakat hendaknya juga mempunyai standing position yang cukup kuat, yaitu terorganisir. Masyarakat yang sadar dan teroganisir menjadi syarat mutlak bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Karena pada dasarnya masyarakat adalah individu yang berkumpul menjadi satu, dan perlu menjadi sebuah kesatuan yang terorganisasi agar menjadi teratur. Hal ini pula yang menjadi rujukan bahwa pengelolaan air ini dikelola pemerintah desa tetapi segala bentuk operasionalnya dikelola dengan profesional menggunakan dana swadaya masyarakat.
2
b. Aktualitas Permasalahan ketersediaan air bersih memang sangat krusial di Kabupaten
Gunungkidul.
Berbagai
cara
telah dilaksanakan oleh
pemerintah Gunungkidul maupun dari swadaya masyarakat untuk menjaga ketersediaan air bersih bagi masyarakat. Kondisi geografis yang sebagian besar berupa batuan kapur, maka berbagai cara yang dilakukan masyarakat untuk menyuplai kebutuhan air bersih akan selalu ada. Beberapa tahun terakhir muncul beberapa wisata baru di Gunungkidul yang berorientasi pada wisata air, sehingga banyak dari kalangan masyarakat Gunungkidul mulai mencari potensi-potensi sumber daya air. Dampak positifnya mulai banyak ditemukan potensi wisata baru dan berbagai sumber air yang berpotensi untuk dikelola dan dijadikan suplai-suplai air bersih bagi masyarakat di sekitarnya serta dapat dikelola secara profesional.
c. Orisinalitas Penelitian dapat dikatakan orisinal apabila belum ada penelitian sebelumnya, tetapi jika telah ada penelitian sebelumnya maka harus menyertakan penelitian sebelumnya sebagai rujukan penelitian. Penelitian tentang Pengelolaaan Air Bersih Tirta Kencana (PAB TK) telah dilakukan sebelumnya, yaitu "Kajian Pelayanan Air Bersih Berbasis Komunitas (Studi Kasus Desa Karangrejek, Kabupaten Gunungkidul)" yang telah dilaksanakan oleh Herminingrum Andana Warih. Penelitian tersebut mengangkat
sinergitas
masyarakat
dan
pemerintah
desa
dalam
3
membangun PAMDes yang bersifat campuran (top bottom dan bottom up). Selain penelitian tersebut, terdapat pula penelitian sejenis yang menggunakan lokasi di wilayah Gunungkidul, dalm hal ini terdapat kesamaan karakteristikk geografis dan permasalahan ketersediaan air bersih, judul penelitiannya adalah “Kajian Sistem Penyediaan Air Bersih Sub Sistem Bribin Kabupaten Gunungkidul” oleh Irawan Wisnu Wardhana, M. Arief Budiharjo dan Scylla Adhesti P. Penelitian ini menjelaskan tentang sistem penyediaan air bersih dari Sub Sistem Bribin yang berupa sungai bawah tanah. Meskipun sumber air melimpah, tetapi penyaluran air bersih masih terkendala dan belum dapat memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Penelitian lain terkait BUM Desa di Kabupaten Gunungkidul sebelumnya telah dilaksanakan di Desa Ngeposari, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul dengan fokus utama BUM Desa di desa tersebut bidang pertanian. Penelitian yang dilaksanakan oleh Angger Sekar Manikam (2010) berjudul “Implementasi Program Badan Usaha Milik Desa di Desa Ngeposari,
Kecamatan
Semanu,
Kabupaten
Gunungkidul”
tersebut
menjelaskan bahwa pemerintah desa sebagai penanggungjawab BUM Desa gagal memberikan program, yang menarik masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Oleh karena itu BUM Desa di desa Ngeposari cenderung gagal. Perbedaan tiga penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan yaitu pada kebaruan data dan fokus pada latar belakang terbentuknya sebuah inovasi yang diinisiasi pemerintah desa memanfaatkan
4
potensi yang sebelumnya mustahil dan kemudian disambut baik oleh masyarakat. Program yang terlaksana dengan baik dan program yang gagal menjadi tolok ukur orisinalitas, mengingat lokasi penelitian berbeda tetapi masih dalam konteks penelitian yang sama yaitu tentang BUM Desa. Selain itu untuk melihat lebih jauh tentang kemajuan dan konsistensi dari sisi sosialnya setelah berjalan selama beberapa tahun dan beberapa periode jabatan kepala desa.
3. Latar Belakang Air merupakan salah satu komponen penting penunjang kehidupan bagi manusia. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan air, yaitu membuat sumur, mengambil air dari sungai, netralisasi air laut hingga filterisasi air keruh menjadi air yang dapat digunakan untuk mandi, mencuci, minum, dan sebagainya. Air adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dapat dipastikan tanpa pengembangan sumberdaya air secara konsisten, peradaban manusia tidak akan mencapai tingkat dimana air dapat dinikmati sampai saat ini. Oleh karena itu pengembangan dan pengolahan sumber daya air merupakan dasar peradaban manusia (Sunaryo, 2005). Seiring berkembangnya zaman dan peningkatan populasi, maka jumlah kebutuhan air per individu juga meningkat. Berbagai cara seperti yang disampaikan telah dilakukan oleh manusia baik dalam taraf individu, maupun secara kelompok (instansi pemerintah, peneliti, masyarakat, dan sebagainya).
5
Indonesia pada umumnya mengalami permasalahan ketersediaan air bersih sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Bahkan pada tahun 2000-an kita masih mendengar isu-isu tentang kurang tersedianya pasokan air bersih, tentunya masih segar dalam ingatan ketika salah satu iklan di televisi dengan salah satu dialognya “sekarang sumber air su dekat” yang diperagakan anak kecil dengan logat Timor. Hal ini menunjukkan bahwa di beberapa titik daerah di Indonesia saat ini masih terkendala masalah pasokan air bersih. Standar kebutuhan air ada 2 (dua) macam, yaitu (Triatmodjo, 2008):
1. Standar Kebutuhan Air Domestik Standar kebutuhan air domestik yaitu kebutuhan air yang digunakan pada tempat-tempat hunian pribadi untuk memenuhi keperluan sehari-hari seperti: memasak, minum, mencuci dan keperluan rumah tangga lainnya. Satuan yang dipakai adalah liter/orang/hari.
Tabel 1. 1 Tabel Standar Kebutuhan Air Domestik (Berdasarkan Jenis Kota dan Jumlah Penduduk)
Jumlah Penduduk
Jenis Kota
Jumlah Kebutuhan Air (liter/orang/hari) >2.000.000 Metropolitan >210 1.000.000 – 2.000.000 Metropolitan 150-210 500.000 – 1.000.000 Besar 120-150 100.000-500.000 Besar 100-120 20.000-100.000 Sedang 90-100 3.000-20.000 Kecil 60-100 Sumber: Dirjen Cipta Karya (Triatmodjo, 2008). 6
2. Standar Kebutuhan Air Non-Domestik Standar kebutuhan air non-domestik adalah kebutuhan air di luar keperluan rumah tangga. Kebutuhan air non domestik antara lain: -
Penggunaan komersil dan industri yaitu penggunaan air oleh badan-badan komersil dan industri.
-
Penggunaan umum yaitu penggunaan air untuk bangunanbangunan pemerintah, rumah sakit, sekolah-sekolah dan tempat ibadah.
Dalam tataran tingkat nasional pada tahun 1990, Balai Penyelididkan Hidrologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Departemen Kimpraswil menyebutkan bahwa ketersediaan air di Indonesia khususnya air permukaan sebesar 645,09 milyar milyar
, air untuk pertanian sebesar 94,89
dan untuk non pertanian sebesar 53,79 milyar
kebutuhan air di Indonesia sebesar 148,57 milyar
sehingga total
(Anwar, et al., 2008).
Data tersebut menunjukkan kebutuhan air yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan masyarakat akan air semakin meningkat. Pada saat penelitian ini dilaksanakan (tahun 2015-2016) kebutuhan air masyarakat meningkat pesat tentunya. Semakin banyaknya jumlah penduduk, semakin banyaknya pembangunan rumah, hotel, dan sebagainya, juga mengindikasikan peningkatan kebutuhan masyarakat akan air. Sehingga perlu adanya solusi bagi pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air tersebut. 7
Kabupaten
Gunungkidul
adalah
salah
satu
kabupaten
yang
diidentikkan dengan daerah kering dan kekurangan air. Salah satu hal yang sering dijadikan alasan yaitu karena tanah di Gungungkidul adalah tanah kapur (karst) yang tidak bisa mengikat air di dalamnya. Tetapi beberapa tahun terakhir pemerintah telah mengusahakan pasokan air di Gunungkidul dengan pengeboran sungai bawah tanah di Goa Bribin dan Goa Seropan. Debit air di Bribin saat kemarau mencapai satu meter kubik per detiknya, sedangkan saat musim penghujan bisa mencapai 3-4 meter kubik per detik (Litbang Kompas, 2003). Meskipun demikian, belum semua wilayah dapat merasakan manfaatkanya, karena masih ada beberapa wilayah yang belum tercukupi untuk kebutuhan air rumah tangganya. Sejatinya sungai-sungai dengan debit air tinggi di Gunungkidul berada di bawah lapisan tanah, sehingga seolaholah di bawah daratan Gunungkidul terdapat gorong-gorong besar yang berupa sungai-sungai bawah tanah. Secara umum, menurut Statistik Daerah Kabupaten Gunungkidul 2015 yang dikeluarkan oleh BAPPEDA Kabupaten Gunungkidul (BAPPEDA Kabupaten Gunungkidul, 2015). Berdasarkan kondisi geografis tanahnya, Kabupaten Gunungkidul dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: 1. Zona Utara lebih terkenal dengan istilah Zona Batur Agung dengan ketinggian 200-700 meter di atas permukaan air laut (dpl). Keadannya berbukit-bukit dan terdapat sungai di atas permukaan tanah. Arah pengembangan ke bidang pertanian serta sebagai daerah konservasi sumber daya air.
8
2. Zona Tengah yang dikenal dengan Zona Ledoksari dengan ketinggian 150-200 meter dpl. Terdapat sungai di atas tanah meskipun airnya kering di musim kemarau, namun masih terdapat sumber mata air, dan terdapat air tanah yang dapat digali pada kedalaman 60-120 meter dari permukaan tanah. Zona ini diarahkan untuk pengembangan pertanian, ekowisata, industri rumah tangga dan manufaktur, taman hutan rakyat dan wisata prasejarah. 3. Zona Selatan yang dikenal Karst Gunung Sewu dengan ketinggian 100300 mdpl. Keadaannya berbukit-bukit kapur serta banyak telaga genangan air hujan, tidak terdapat sungai di atas tanah tetapi banyak ditemukan sungai di bawah tanah. Arah pengembangan zona ini adalah untuk budidaya pertanian lahan kering, perikanan laut, ekowisata karst serta akomodasi wisata seperti penginapan, hotel dan restoran.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, Desa Karangrejek merupakan salah satu desa yang berada di antara Zona Tengah dan Zona Selatan, karena Desa Karangrejek juga mempunyai sungai-sungai di bawah tanah. Tetapi posisinya dekat dengan Zona Tengah atau Zona Ledoksari. Berdasarkan kondisi geografis tersebut, beberapa instansi pemerintah berusaha untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Selain melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), instansi-instansi di bawahnya juga mengusahakan ketersediaan air bersih bagi masyarakatnya dalam lingkup yang lebih terbatas. Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah
9
Desa Karangrejek, membentuk Unit Pelayanan Air Bersih (UPAB), yaitu salah satu divisi dalam Badan Usaha Millik Desa (BUM Desa) di bawah naungan pemerintah desa secara langsung. Desa Karangrejek merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan Wonosari termasuk pada Zone kedua, tanahnya berupa tanah kapur dan liat/tanah merah dengan ketinggian 150 – 200 meter dpl. Program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Karangrejek pada dasarnya mengacu pada filosofi terbentuknya desa dan diharapkan pemerintahan desa dapat menjalankan tiga peran utama yaitu sebagai struktur perantara, sebagai pelayan masyarakat, dan sebagai agen pembaharuan (Wasistiono, 2001). Hal ini, tengah diupayakan Pemerintah Desa
Karangrejek
sebagai
struktur
perantara,
yaitu
perantara
dari
pemerintahan di tingkat atasnya seperti Pemerintah Daerah dan segala instansi-instansi yang ada di lingkungan Pemerintah Daerah. Pemerintah Desa Karangrejek sebagai pelayan masyarakat, yaitu melayani masyarakat dalam perannya sebagai warga. Menyediakan akses-akses yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat secara langsung. Memberikan kemudahan akses dalam berbagai macam aspek kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya Pemerintah Desa Karangrejek sebagai agen pembaharuan, yaitu menjadi sebuah instansi pemerintah yang senantiasa menggiring masyarakat kepada kemajuan di berbagai aspek. Pemerintah desa harus bisa menggiring masyarakat ke arah yang lebih baik, sebagai salah satu desa yang potensial di Gunungkidul dan telah menjadi Juara 2 (dua) Lomba Desa tingkat nasional pada tahun 2012 hendaknya Desa Karangrejek bisa menjadi
10
pionir dan contoh yang baik bagi desa-desa lainnya di wilayah Kabupaten Gunungkidul dengan cara berinovasi dalam berbagai hal, seperti adanya BUMDes dan PAB Tirta Kencana yang disahkan melalui Perdes agar mempunyai kekuatan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan Sejarah PAB Tirta Kencana dan BUMDes Karangrejek dalam website resmi Pemerintah Desa, Desa Karangrejek merupakan salah satu wilayah di Gunungkidul yang kondisi geografisnya berupa hamparan batu dan tanah. Mayarakat pada zaman dahulu kebanyakan merupakan petani tradisi, yaitu sistem pertanian yang memanfaatkan ketersediaan air untuk menentukan tanaman yang akan ditanamnya. Karena keterbatasan dalam ketersediaan air tanah pada saat itu, masyarakat secara umum membuat belik, yaitu semacam sumur di pinggir sungai berfungsi untuk menahan air dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dapat dibayangkan pada saat itu bahwa masyarakat Desa Karangrejek sudah mulai untuk mengelola keterbatasan air melalui belik, memang sangat sederhana tetapi mempunyai konsep yang hampir sama dengan yang dilakukan PAB Tirta Kencana saat ini, yaitu menyediakan kebutuhan air untuk kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari. Hanya saja pada saat ini masyarakat lebih dipermudah dengan adanya perkembangan teknologi dan sarana prasarana yang menunjang, sehingga hanya tinggal membuka keran air tanpa harus berjalan menuju ke sungai. Sejarah pengelolaan air bersih di Desa Karangrejek bermula pada tahun 2005, dengan izin / rekomendasi dari Bupati Gunungkidul, Pemerintah
11
Desa Karangrejek beserta lembaga desa berupaya untuk mengajukan ke Departemen PU melalui Satker PAM, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diberikan fasilitas program pengeboran sumur dalam. Program ini dimaksudkan sebagai pembelajaran bagi pemerintah desa dan lembaga desa untuk mengetahui prasyarat guna mengelola air bersih dari hasil pengeboran sumur dalam yang sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Pelayanan air bersih yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Karangrejek ini mulai dibentuk pada tanggal 18 Maret 2007, kemudian diberi nama Pelayanan Air Bersih Tirta Kencana (PAB Tirta Kencana). Pelayanan ini dibentuk sebagai tindak lanjut dari sosialisasi pengelolaan sumber daya alam air bersih oleh satuan kerja Perusahaan Air Minum (PAM), Dinas Pekerjaan Umum Yogyakarta. Setahun setelah terbentuk, pada tanggal 8 Maret 2008 proyek mulai diserahkan kepada Pemerintah Desa Karangrejek sehingga mulai saat itu pengelolaan baru benar-benar dilaksanakan proses pengeboran air, penyambungan pipa dan sebagainya. Dasar dari Pendirian BUM Des dilandasi oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Secara rinci tentang kedua landasan hukum BUMDes adalah: 1. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 213 ayat (1) “Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa”.
12
2. PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa: Pasal 78 1) Dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa, Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. 2) Pembentukan Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa berpedoman pada peraturan perundang-undangan. 3) Bentuk Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbadan hukum. Berdasarkan beberapa peraturan tersebut, Pemerintah Desa Karangrejek melakukan sebuah inovasi dalam hal pengelolaan air bersih bagi masyarakat. Kebaruan dalam hal inovasi tidak perlu hanya melibatkan pengetahuan baru. Inovasi dalam program ini yaitu bukan merupakan sesuatu hal yang benarbenar baru secara umum, tetapi membentuk sesuatu hal baru dalam lingkup lebih kecil, dalam hal ini lingkup wilayah desa. Wilayah lain atau mungkin program pemerintah sebelumnya juga sudah ada, tetapi di wilayah Gunungkidul, Desa Karangrejek adalah pelopor bagi pengelolaan air berbasis masyarakat. Keberhasilan PAB Tirta Kencana tidak terlepas dari campur tangan pemerintah desa dalam menyambung dan mengolah asiprasi pihak-pihak terkait. Pemerintah dan masyarakat juga menjadi aktor penting dalam kesuksesan PAB Tirta Kencana salah satunya dalam hal pembiayaan. Adapun
13
perkembangan pendanaan PAB Tirta Kencana dilaporkan secara periodik, yaitu satu tahun seperti yang tergambar dalam tabel yang diposting dalam web resmi Desa Karengrejek berikut: Tabel 1. 2 Perkembangan Pelayanan Air Bersih Sumber Dana Pemerintah Satker. PAM DIY
2008
2009
2010
2011
1.056.065.444 1.056.065.444 1.056.065.444 1.056.065.444
Pengembangan 556.041.127 706.035.702 739.839.555 806.980.155 Swadaya Jumlah Aset 1.612.106.571 1762.101.146 1.795.904.999 1.836.045.599 SHU 78.658.075 103.190.170 123.758.560 155.953.692 Sumber: Laporan Kompilasi PAB Tirta Kencana Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa setiap tahun terdapat kenaikan dengan trend positif. Pengembangan swadaya masyarakat setiap tahun mengalami kenaikan, jumlah aset meningkat dan SHU (Sisa Hasil Usaha) juga meningkat. Instalasi sambungan rumah secara detailnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. 3 Perkembangan Pelayanan Sambungan Rumah Keterangan
Awal
2008
2009
Bantuan Meter 125 125 125 Air Pengembangan 0 465 582 Swadaya Sumber: Laporan Kompilasi PAB Tirta Kencana
2010
2011
125
125
680
799
Dalam kurun waktu lima tahun, pelayanan sambungan rumah meningkat tinggi. Satu tahun berjalan, jumlah peningkatan mencapai 465 instalasi. Hingga tahun 2011 pengguna manfaat air bersih semakin bertambah hingga 14
mencapai 799 instalasi. Total dari 1244 KK yang ada di Desa Karangrejek sebanyak 64,22% rumah tangga sudah memanfaatkan program tersebut pada tahun 2011. BUM Desa biasanya dibentuk untuk memfasilitasi masyarakat agar masyarakat mudah untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan tertentu sesuai dengan potensi desa masing-masing. Tetapi tidak semua desa yang mempunyai BUM Desa merasakan kesuksesan seperti yang telah didapatkan BUM Desa Karangrejek melalui UPAB Tirta Kencana. Desa Ngeposari, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul juga mempunyai BUM Desa, tetapi belum berjalan dengan baik dan cenderung gagal. Penelitian sebelumnya mempunyai kesimpulan bahwa BUM Des di Desa Ngeposari gagal karena program yang berjalan belum sesuai dengan tujuan awal mula didirikannya BUM Desa. Selain itu partisipasi masyarakat yang minim juga mempengaruhi kegagalan BUM Desa tersebut. Partisipasi masyarakat yang minim disinyalir karena BUM Desa Ngeposari dengan fokus utamanya di bidang pertanian mempunyai kelemahan dalam mengakomodir potensi wilayahnya (Manikam, 2010).
4. Rumusan Masalah Bagaimana proses inovasi Pemerintah Desa Karangrejek dalam memenuhi kebutuhan air bersih untuk masyarakat?
15
5. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah: Untuk
mengetahui peran masyarakat
dan
pemerintah dalam
menginisiasi dan berinovasi untuk memenuhi kebutuhan air bersih dalam jangka waktu lama. Mengingat PDAM belum sepenuhnya mengatasi permasalahan kekurangan air bersih dan secara geografis Desa Karangrejek memiliki kontur tanah berbatu.
6. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah:
Penelitian ini diharapkan sebagai bahan informasi dan referensi untuk memperkaya ilmu pengetahuan sebagai suatu disiplin ilmu, serta memberikan kontribusi bagi pengembangan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
Bagi BUMDes, penelitian ini diharpkan menjadi sebuah masukan dan rujukan terkait dengan pengelolaan air bersih yang telah di laksanan di Desa Karangrejek.
Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk turut andil membantu BUMDesa dalam pengelolaan air bersih untuk masyarakat, serta memberikan sebuah hasil tulisan yang nantinya dapat menjadi rujukan bagi masyarakat umum di wilayah sekitar Desa Karangrejek atau lebih luas untuk dijadikan sebuah referensi.
16
7. Tinjauan Pustaka a. Teori Inovasi dalam konteks Kelembagaan Pemenuhan Kebutuhan Air Inovasi menurut UU No.18 tahun 2002 pasal 1 ayat 8 adalah “Kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi”. Everett M. Rogers (1983) juga mendefinisikan “ an innovation is an idea, practice, or object that is preceived as new by an individual or other unit of adoption” (inovasi adalah satu ide/gagasan, praktek atau objek/benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi). Inovasi tidak hanya sesuatu yang benar-benar baru atau pertama kali ditemukan. Pengertian yang lebih sempit, ketika seseorang menemukan atau mengetahui sesuatu hal yang baru dapat dikatakan sebuah inovasi bagi dirinya, terlepas dari sudah ada atau tidaknya inovasi tersebut. Selain itu menurut James, dkk (2008) Inovasi sosial dimaknai sebagai sebuah proses solutif untuk memecahkan masalah sosial dan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Inovasi sosial muncul karena adanya permasalahan yang terjadi di masyarakat, sehingga masyarakat kemudian bergerak untuk menyelesaikan masalah tersebut. Inovasi tersebut muncul dengan berbagai macam cara dan memunculkan sebuah nilai baru yang
17
dianggap efektif dan efisien dalam memecahkan permasalahan masyarakat. Sikap
terhadap
inovasi
juga
beragam
tergantung
dari
penerimaan seseorang atau kelompok tersebut memandang sebuah inovasi atau kebaruan yang ia terima. Penerimaan seseorang dalam inovasi membutuhkan waktu, hal ini didasarkan pada aspek untung rugi dalam menyikapi sebuah inovasi untuk diambil atau tidak. Aspek kebaruan dari suatu inovasi dapat dinyatakan dalam hal pengetahuan, persuasi, atau keputusan untuk mengadopsi (Rogers, et al., 1983). Menurut Stephen Robbins (1994), inovasi merupakan suatu gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk atau proses dan jasa. Inovasi mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu: 1. Memiliki kekhasan / khusus artinya suatu inovasi memiliki ciri yang khas dalam arti ide, program, tatanan, sistem, termasuk kemungkinan hasil yang diharapkan. 2. Memiliki ciri atau unsur kebaruan, dalam arti suatu inovasi harus memiliki karakteristik sebagai sebuah karya dan buah pemikiran yang memilki kadar orisinalitas dan kebaruan. 3. Program inovasi dilaksanakan melalui program yang terencana, dalam arti bahwa suatu inovasi dilakukan melalui suatu proses yang tidak tergesa-gesa, namun inovasi dipersiapkan secara matang dengan program yang jelas dan direncanakan terlebih dahulu. 18
4. Inovasi yang digulirkan memiliki tujuan, program inovasi yang dilakukan harus memiliki arah yang ingin dicapai, termasuk arah dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Baru adalah kesimpulan dari penjelasan tersebut. Sesuatu hal yang dianggap baru oleh masyarakat memerlukan waktu dan beberapa tahapan untuk dapat diterima. Inovasi tidak hanya datang begitu saja tetapi inovasi mempunyai latar belakang dan tujuan yang jelas. Rogers, dkk (1983) juga mengemukakan lima karakteristik inovasi meliputi: 1) Keunggulan relatif (relative advantage) Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari berbagai segi, seperti segi ekonomi, pretise sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi. 2) Kompatibilitas (compatibility) Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai dengan nilai dan norma yang
19
berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible). 3) Kerumitan (complexity) Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi. 4) Kemampuan diujicobakan (trialability) Kemampuan untuk diuji cobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diujicoba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat diujicobakan dalam setting sesungguhnya, umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi
sebaiknya
harus
mampu
menunjukkan
(mendemonstrasikan) keunggulannya. 5) Kemampuan diamati (observability) Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif, kesesuaian (compatibility), kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil
20
kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut diadopsi. Karakteristik-karakteristik
tersebut
merupakan
persyaratan
sebuah inovasi. Penjelasan tersebut menggambarkan bahwa inovasi harus
melalui
berbagai
macam proses.
Proses-proses tersebut
merupakan sebuah validitas untuk menentukan apakah inovasi tersebut mudah diaplikasikan atau tidak. Keputusan sebuah inovasi juga mempunyai beberapa faktor, yaitu: struktur sosial, norma sosial, pemimpin opini dan agen perubahan (Rogers dkk, 1983). Struktur sosial sangat berpengaruh terhadap keputusan inovasi karena struktur sosial membentuk masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pemimpin opini, ketika pemimpin opini tidak mempunyai pengaruh yang kuat maka masyarakat secara umum tidak akan mudah mengaplikasikan inovasi. Tetapi jika pemimpin opini mempunyai posisi tawar yang kuat terhadap masyarakat secara umum, maka inovasi akan mudah teraplikasikan. Homogenitas masyarakat yang dapat menerima sebuah inovasi akan berdampak pada individu lainnya sehingga struktur sosial sangat berpengaruh terhadap keputusan inovasi akan diterima atau tidak. Norma sebuah komunitas juga mempengaruhi keputusan inovasi. Inovasi akan lebih mudah diterima ketika mempunyai batasanbatasan yang beririsan dengan norma yang berlaku di komunitas tersebut. Sebaliknya, jika inovasi tersebut bertentangan dengan norma kepercayaan masyarakat akan sulit untuk diterima. Agen perubahan
21
adalah bentuk lain dari pemimpin opini, bedanya agen perubahan adalah terlatih secara professional untuk mempengaruhi klien. Biasanya terlembaga dan bersifat formal (Rogers dkk, 1983). Dalam proses inovasi melibatkan: 1) inovasi, 2) individu atau kelompok yang memiliki pengetahuan atau pengalaman dengan inovasi tersebut, 3) individu atau kelompok yang tidak mengetahui atau belum mempunyai pengalaman terhadap inovasi dan 4) komunikasi yang terjalin antara dua unit (Rogers, 1983). Pada proses inovasi kelembagaan, dalam hal ini bersifat sosial kemasyarakatan tentunya membutuhkan sebuah inovasi atau kebaruan itu sendiri. Untuk mempermudah proses inovasi perlu adanya kelompok atau individu yang mengetahui atau berpengalaman dalam inovasi tersebut. Individu atau kelompok yang mempunyai pemahaman diperlukan sebagai bagian dari transfer ilmu kepada individu atau kelompok yang tidak mengetahui atau tidak berpengalaman sebelumnya. Komunikasi menjembatani kedua unit tersebut untuk saling bertukar pikiran dan menyebarkan inovasi. Komunikasi yang massif dapat mempengaruhi lebih cepat terhadap inividu atau kelompok yang belum mengetahuinya.
b. Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) Badan Usaha Milik Desa pada awalnya dikenal dengan sebutan BUMDes. Istilah BUMDes muncul melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/2005 dan dirincikan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri
22
(Permendagri) No 39/2010 “BUMDes merupakan wadah usaha desa yang memiliki semangat kemandirian, kebersamaan dan kegotongroyongan
antara
pemerintah
desa
dan
masyarakat
untuk
mengembangkan asset-aset lokal untuk memberikan pelayanan dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat desa”. Kemudian menurut peraturan terbaru, berdasarkan Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 tentang Desa, pada Bab X disebutkan bahwa, “Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut dengan BUM Desa”. Sebelum Undang-undang desa mulai disahkan, dan dalam undang-undang tersebut pemerintah menyebut BUMDes menjadi BUM Desa. Secara tidak langsung, dengan tertulisnya akronim baru tersebut maka penyebutan saat ini menjadi BUM Desa. Peran aktif pemerintah juga sangat penting dalam mendukung terselenggaranya BUM Desa. Hal ini dapat diperhatikan pada Pasal 90 Bab X UU Desa No. 6 Tahun 2014, “Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUM Desa dengan: a.) Memberikan hibah dan/atau akses pemodalan; b.) Melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan c.) Memprioritaskan BUM Desa”. BUM Desa secara tidak langsung sering terlihat seperti koperasi, BMT, atau lembaga lainnya. Tetapi BUM Desa memiliki keunikankeunikan tersendiri dibandingkan lembaga lainnya menurut Yunanto (2014), yaitu:
23
1. BUM Desa Merupakan sebuah usaha desa milik kolektif yang digerakkan oleh aksi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat. BUM Desa merupakan bentuk publik and community partnership atau kemitraan antara pemerintah desa sebagai sektor publik dengan masyarakat setempat. 2. BUM Desa lebih inklusif dibanding dengan koperasi, usaha pribadi maupun usaha kelompok masyarakat yang bekerja di ranah desa. Koperasi memang inklusif bagi anggotanya, baik di tingkat desa maupun tingkat yang lebih luas, namun koperasi tetap eksklusif karena hanya untuk anggota. Selain itu BUM Desa dikenal sebagai salah satu ladang bisnis pemerintah desa setempat. Biasanya bisnis ini bukan berwujud kapitalis murni, tetapi ada ciri seperti koperasi. Beberapa kasus, terdapat BUM Desa yang memberikan embel-embel Koperasi, bahkan sebagian masyarakat awam menyebut dengan istilah Koperasi Desa. Hal ini tidak salah karena dalam UU No. 6 Tahun 2014 pasal 87 ayat 3 menyebutkan bahwa “BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Atas dasar undang-undang tersebut maka BUM Desa mempunyai fungsi di bidang ekonomi. Realisasinya dengan membentuk lembaga bisnis, lembaga keuangan atau lembaga ekonomi lainnya yang ramah masyarakat. Yaitu lembaga ekonomi yang terjangkau secara administrasi dan terjangkau jaraknya oleh masyarakat 24
setempat. Bisnis yang dikembangkan oleh BUM Desa, dalam Eko (2013) ada enam: 1. BUM Desa yang bertipe serving. BUM Desa semacam ini menjalankan bisnis sosial yang melayani, yaitu melakukan pelayanan publik kepada masyarakat sekaligus juga memperoleh keuntungan finansial dari pelayanan itu. Usaha ini memanfaatkan sumber daya lokal dan teknologi tepat guna, seperti usaha air minum desa dan usaha listrik desa. 2. BUM Desa yang bertipe banking. BUM Desa ini menjalankan bisnis uang seperti bank desa atau lembaga perkreditan desa. Modalnya berasal dari ADD, PADes, tabungan masyarakat serta dukungan dari pemerintah. Bisnis uang desa ini mengandung bisnis sosial terhadap warga desa, terutama kelompok warga yang rentan dan perempuan dari jeratan para rentenir. Bisnis ekonomi artinya bank desa berfungsi untuk mendukung permodalan usaha-usaha skala mikro yang dijalankan oleh pelaku ekonomi di desa. 3. BUM Desa bertipe renting. BUM Desa ini menjalankan bisnis penyewaan
barang-barang
(perangkat
pesta,
traktor,
alat
transportasi, ruko, dan lain sebagainya), baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun untuk memperoleh pendapatan desa. 4. BUM Desa bertipe brokering. BUM Desa ini berperan sebagai lembaga perantara, seperti jasa pelayanan kepada warga maupun
25
usaha-usaha masyarakat, misalnya jasa pembayaran listrik, desa mendirikan pasar desa untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan masyarakat. BUM Desa juga membangun jaringan dengan pihak ketiga untuk memasarkan produk-produk lokal secara lebih luas. 5. BUMDes bertipe Trading, yaitu BUMDes menjalankan bisnis yang berproduksi dan/atau berdagang barang-barang tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun pasar pada skala pasar yang lebih luas. 6. BUMDes bertipe Holding, yaitu BUMDes sebagai “usaha bersama”, atau sebagai induk dari unit-unit usaha yang ada di desa, dimana masing-masing unit yang berdiri sendiri-sendiri ini, diatur dan ditata sinerginya oleh BUMDes agar tumbuh usaha bersama. Dengan demikian, sebagai salah satu penunjang dalam bidang ekonomi, maka BUM Desa pada intinya adalah mendekatkan akses kepada masyarakat, menyediakan sesuatu yang masih terbatas di lingkungan masyarakat agar masyarakat tercukupi.
c. Konsep Pengelolaan Air Berbasis Komunitas Dasar sebuah kelembagaan lokal dibentuk karena adanya konsensus bersama masyarakat bersama dengan aktor yang berada di kelembagaan. Konsensus tersebut sebagai upaya untuk mengikat setiap anggota masyarakat
guna
menghimpun aset
komunitas untuk 26
mendapatkan sumber daya berupa air bersih. Tanpa adanya konsensus tersebut di masyarakat, pendistribusian sumber daya air bersih tidak akan berjalan efektif (Wibowo, 2011). Dikaitkan dengan pengelolaan air berbasis komunitas, maka keberadaan anggota masyarakat secara bersama-sama menanggulangi permasalahan melalui kelembagaan lokal memiliki tujuan mengembangkan kemandirian dan pada dasarnya memantapkan rasa kebersamaan sebagai suatu komunitas berdasarkan basis pertetanggan (neighborhood) meskipun bukan secara eksklusif (Adi, 2008). Peraturan dalam pengelolaan air bersih, di Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 07 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bahwa sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Falkenmark dan Lundqvist (1995) dalam Pribadi dan Oktavia (2007) menyatakan bahwa persepsi terhadap penyediaan air bersih sebagai bentuk pelayanan sosial, yaitu sebagai bentuk pelayanan yang wajib disediakan pemerintah dan masyarakat memiliki hak penuh untuk menuntut penyediaan dari pemerintah, hal ini muncul dari pemahaman bahwa air merupakan prasyarat bagi kehidupan. Hak atas air dianggap sebagai hak yang tidak dapat diganggu gugat, dan selanjutnya memberikan dasar bagi masyarakat untuk menuntut bahwa akses terhadap air bersih merupakan bagian dari hak asasi manusia dan karenanya harus dapat diperoleh dengan cuma-cuma atau hampir tanpa biaya. Namun,
27
pemahaman terhadap kewajiban dan tanggungjawab yang menyertai hak atas air belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat. Tanggung jawab atas air selama ini hanya didefinisikan melalui Polluters Pay Principle yaitu prinsip
pembayaran kompensasi atas
pencemaran yang dilakukan, sedangkan kewajiban bagi mereka yang menikmati air bersih jarang didefinisikan dengan jelas (Falkenmark dan Lundqvist, 1995 dalam Pribadi dan Oktavia, 2007). Kesalahan dalam manajemen sumber daya air akan menempatkan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan pembangunan dalam bahaya. Masyarakat mempunyai hak atas penggunaan air dimana ia tinggal di seluruh Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air bersih, air adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Sebagai batasannya, air bersih adalah air yang memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan air minum. Adapun prasyarat yang dimaksud adalah persyaratan dari segi kualitas air yang meliputi kualitas fisik, kimia, biologi, dan radioaktif, sehingga apabila dikonsumsi tidak menimbulkan efek samping. Air minum adalah air minum rumah tangga yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Penyediaan air minum adalah
28
kegiatan menyediakan air minum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat agar mendapatkan kehidupan yang sehat, bersih dan produktif (Joko, 2010). Jenis penyediaan air minum dibagi menjadi 2 (dua):
1.
Sistem perpipaan atau jaringan perpipaan
Adalah suatu sistem penyediaan air minum yang sistem distribusinya melalui perpipaan dan unit pelayanannya menggunakan sambungan rumah/sambungan halaman dan hidran umum. Pelayanan dengan sitem perpipaan merupakan pelayanan distribusi air minum yang sangat ideal, jika hal ini dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi air minum masyarakat pada lokasi program. Umumnya penyediaan air minum dengan sistem perpipaan ini perlu pengelolaan dalam pengoperasiannya. Bagian ini diperlukan SDM yang memadai untuk dapat melakukan pengelolaannya, agar sistem perpipaan ini dapat berfungsi dan beroperasi secara berkesinambungan. Hal lainnya adalah sulit menemukan sumber air baku yang layak secara kualitas dan kuantitas, sehingga dengan mudah menjangkau masyarakat dengan sitem perpipaan.
2.
Sistem non-perpipaan
Sistem non-perpipaan atau bukan jaringan perpipaan adalah suatu sistem penyediaan air minum yang sistem distribusinya tidak melalui
29
jaringan perpipaan dan unit pelayanannya menggunakan hidran umum, terminal air dan tangki. Umumnya sarana air minum non perpipaan merupakan sarana komunal yang dapat dipergunakan secara bersamasama, dan tidak perlu ditangani secara khusus pengelolaannya. Namun demikian jika konstruksi dan pemeliharaan lingkungan di sekitarnya kurang baik, maka kemungkinan pencemarannya akan dapat terjadi.
30