BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah utama yang terjadi dalam kesehatan global. TB menjadi peringkat kedua penyebab kematian didunia setelah HIV. Angka kematian TB tahun 2014 mencapai 1.500.000 jiwa dan 140.000 diantaranya adalah anak-anak. WHO (2014) mengestimasi sebanyak 9.600.000 kasus TB baru yang 5.400.000 diantaranya adalah pria, 3.200.000 adalah wanita dan 1.000.000 adalah anak-anak. Berdasarkan estimasi tersebut hanya sekitar 6.000.000 kasus TB baru yang dilaporkan. Jika dibandingkan dengan estimasi angka 9,6 juta kasus TB baru, laporan kasus tersebut hanya sebesar 63%. Dengan demikian di dunia terdapat 37% dari kasus TB baru yang tidak terdiagnosis atau tidak terlaporkan. Indonesia merupakan negara kedua dari lima negara dengan jumlah insidensi kasus TB terbesar di tahun 2014, yaitu India (2.0-2.3 juta), Indonesia (0.7-1.4), China (0.8-1.0), Nigeria (0.34-0.87) dan Pakistan (0.37-0.65). Estimasi Insidensi TB di Indonesia adalah 1 juta per tahun (WHO, 2015). Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ dan jaringan lain, namun organ yang lebih sering terserang adalah paruparu (Steingart et al, 2014; Kemkes, 2015). TB memiliki karakteristik cara penularan yang mudah melalui udara yaitu percikan dahak atau droplet. Pengendalian penularan TB ini dilakukan dengan strategi Directly Observed
1
2
Treatment Short-course (DOTS) sesuai dengan rekomendasi dari WHO pada tahun 1994. Strategi ini tediri atas lima pilar yaitu: 1) Komitmen politis dari pengambil keputusan, 2) Diagnosis dan pemeriksaan mikroskopis dahak penderita, 3) Jaminan ketersediaan obat dan jalur distribusinya, 4) Pengawas langsung minum obat (PMO) dan 5) Menggunakan pencatatan pelaporan dalam mempermudah pemantauan dan pembinaan (Kemkes, 2013; Maryun, 2007). Penemuan suspek penderita TB pada strategi DOTS menggunakan passive case finding yaitu penjaringan yang hanya dilakukan pada penderita yang datang berkunjung pada pusat pelayanan kesehatan yang dalam hal ini adalah puskesmas. Penjaringan dengan cara demikian tidak dapat menjaring suspek TB yang tidak berkunjung pada pusat pelayanan kesehatan, sehingga beberapa sumber penularan tidak dapat dicegah secara dini (Wahyudi, 2010). World Health Assembly (WHA) mendeklarasikan pencapaian keberhasilan strategi DOTS dalam deteksi kasus baru BTA positif sebesar 70%, dan penyembuhan sebesar 85% dari kasus pada tahun 2000 (WHO, 2009). Strategi lain yang diperkenalkan WHO di tahun 2006 adalah stop TB partnership yang bertujuan untuk mengintensifkan penanggulangan TB dan menjangkau semua pasien. Strategi stop TB partnership mempunyai enam komponen yaitu: 1) perluasan dan peningkatan DOTS berkualitas tinggi, 2) mengatasi TB/HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya, 3) penguatan sistem kesehatan, 4) keterlibatan semua pemberi pelayanan kesehatan, 5) pemberdayaan pasien dan komunitas, 6) mendorong dan meningkatkan penelitian (WHO, 2006). Kedua strategi yang dijalankan tersebut baik DOTS maupun stop TB partnership tidak dapat merealisasikan target MDGs dalam
3
menurunkan prevalensi dan mortatiltas TB secara cepat hingga separo di tahun 2015 (Dye et al cit Murti, 2005). Indikator yang dilihat dalam keberhasilan pengendalian TB meliputi capaian Case Detection Rate (CDR), Case Notification Rate (CNR), proporsi pasien TB anak, angka keberhasilan pengobatan TB dan proporsi pengobatan pasien TB RR/TB MDR. Indikator CDR digunakan untuk menggambarkan cakupan penemuan pasien TB baru dengan BTA positif. Kecenderungan atau trend CDR yang terjadi di Indonesia mengalami penurunan dari 60% di tahun 2013 menjadi 46% di tahun 2014. Penurunan capaian CDR terjadi pula di Kabupaten Sukoharjo yaitu dari 33% di tahun 2013 menjadi 30% di tahun 2014. Demikian halnya pada salah satu puskesmas di wilayah kerja Kabupaten Sukoharjo yaitu Puskesmas Baki, capaian CDR tahun 2014 menurun dibanding 2013 yaitu dari 25,6% menjadi 23,78%. Hal ini mengartikan bahwa di tingkat nasional maupun daerah capaian CDR masih jauh dari target 70% yang dideklarasikan oleh WHO (Kemkes, 2015; DKK Sukoharjo, 2014). Penelitian yang dilakukan Murti et al (2015) di Sukoharjo diketahui bahwa faktor kegagalan capaian CDR antara lain: 1) penemuan CDR lebih mengandalkan passive case finding (PCF) dan belum mengoptimalkan active case finding (ACF), 2) belum optimalnya partisipasi masyarakat dan modal sosial, 3) penjaringan suspek penderita TB terlalu longgar (terlalu sensitif) karena banyak suspek yang terjaring meskipun tidak memenuhi kriteria, 4) kualitas dahak yang kurang baik. Serupa dengan penelitian yang dilakukn oleh Awusi et al (2009) yang mengidentifikasi bahwa penjaringan suspek,
4
pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) dan pelatihan DOTS petugas puskesmas berpengaruh positif pada penemuan kasus TB dan dapat meningkatkan CDR. Rendahnya penemuan kasus TB yang terjadi akan berakibat pada meningkatknya morbiditas, disabilitas, mortalitas dan transmisi TB di lingkungan masyarakat. Upaya untuk meningkatkan angka temuan kasus TB dengan BTA positif dapat dilakukan melalui kerjasama masyarakat dengan petugas kesehatan. Anggota masyarakat yang dapat dilibatkan dalam hal ini adalah kader kesehatan. Kader kesehatan adalah anggota masyarakat yang bekerja secara sukarela dalam membantu program pengendalian TB dan sudah dilatih (Depkes, 2009). Upaya dalam penjaringan suspek TB di masyarakat merupakan salah satu peran kader yang perlu diperkuat melalui edukasi dan komunikasi. Peran kader yang demikian dinilai sesuai dengan salah satu komponen dalam strategi stop TB partnership yaitu pemberdayaan pasien dan komunitas dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada petugas kesehatan dalam penyelesaian suatu masalah kesehatan. Peran kader kesehatan yang aktif akan mempengaruhi terlaksananya kinerja dalam pengendalian kasus TB. Kinerja kader dalam pengendalian kasus ini sangat berhubungan dengan perilaku sehat kader tersebut mengenai TB. Teori Health Belief Model (HBM) menguraikan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh berbagai konstruk diantaranya: 1) kerentanan terhadap penyakit (perceived susceptibility), 2) keseriusan penyakit (perceived seriousness), 3) manfaat yang dirasakan (perceived benefit), 4) hambatan yang dirasakan (perceived barriers), 5) efikasi diri (self efficacy) dan 6)
5
dorongan untuk bertindak (cues to action)(Glanz, 2002). Beberapa penelitian dengan teori Health Belief Model telah ada dengan subjek penelitian yaitu pasien TB dan petugas kesehatan. Berdasarkan hal tersebut diatas peneliti menyadari perlunya dilakukan penelitian dengan subjek berbeda yaitu dari kader kesehatan yang perannya penting dalam keberhasilan pengendalian kasus tuberkulosis. Keterbaruan dalam sebuah penelitian juga mendorong peneliti untuk menggunakan model analisis jalur (Path Analysis) untuk mengetahui besarnya hubungan suatu variabel baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan paparan tersebut diatas peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “hubungan pendidikan dan konstruk health belief model dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan hal tersebut di atas dapat di rumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1.
Apakah ada hubungan antara pendidikan dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis?
2.
Apakah ada hubungan persepsi kerentanan terhadap penyakit (perceived susceptibility)
dengan
kinerja
kader
pada
pengendalian
kasus
tuberkulosis? 3.
Apakah ada hubungan persepsi keseriusan penyakit (perceived seriousness) dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis?
4.
Apakah ada hubungan persepsi manfaat yang dirasakan (perceived benefit) dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis?
6
5.
Apakah ada hubungan persepsi hambatan yang dirasakan (perceived barriers) dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis?
6.
Apakah ada hubungan efikasi diri (self efficacy) dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis?
7.
Apakah ada hubungan dorongan untuk bertindak (cues to action) dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis?
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Menganalisis hubungan pendidikan dan konstruk health belief model dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis
2.
Tujuan Khusus a.
Menganalisis hubungan antara pendidikan dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis.
b.
Menganalisis hubungan persepsi kerentanan terhadap penyakit dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis.
c.
Menganalisis hubungan persepsi keseriusan penyakit dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis.
d.
Menganalisis hubungan persepsi manfaat yang dirasakan dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis.
e.
Menganalisis hubungan persepsi hambatan dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis.
f.
Menganalisis hubungan efikasi diri dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis
7
g.
Menganalisis hubungan dorongan untuk bertindak dengan kinerja kader pada pengendalian kasus tuberkulosis.
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat akademis, sebagai pengembangkan teori dan menambah wawasan tentang pengendalian tuberkulosis sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian yang akan datang.
2.
Manfaat praktis bagi instansi pelaksana program, hasil penelitian dapat memberikan masukan dalam program berkaitan
dengan
peran
serta
pengendalian kasus TB yang
kader
dalam
pencegahan
dan
pemberantasan penyakit. 3.
Untuk masyarakat umum, hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman
berbagai
hal
mengenai
penyakit
tuberkulosis
dan
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berperan serta pada pencegahan dan pemberantasan penyakit.