BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pers merupakan salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan
pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Sebab pers merupakan lembaga yang tidak memihak kepada salah satu pihak dan bersifat netral. Berbicara mengenai pers maka tidak lepas berbicara tentang kebebasan pers. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis. Pers dengan masyarakat saling membutuhkan karena tanpa masyarakat, fungsi dan peranan pers tidak dapat berjalan dengan lancar. Sebaliknya, masyarakat tanpa pers akan tertinggal dalam informasi atau berita yang sedang berkembang. Secara etimologi, pers berasal dari Bahasa Belanda yang mempunyai arti yang sama dengan Bahasa Inggris “press” namun jika ditelusuri lebih dalam maka kata pers berasal dari istilah Latin pressare dari kata premere artinya "tekan" atau "cetak".1 Sehingga secara harafiah pengertian pers adalah media komunikasi cetak seperti surat kabar ataupun majalah. Namun, pada saat ini seiring dengan perkembangan zaman, pers tidak hanya diartikan sebagai media cetak saja tetapi juga di dalamnya media elektronik seperti radio ataupun televisi yang berfungsi menyebarkan informasi, berita, gagasan ataupun pikiran seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Di samping fungsinya sebagai media
1
Masduki, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm.7
11 Universitas Sumatera Utara
informasi dan komunikasi, pers juga merupakan refleksi diri masyarakat karena apa yang dituangkan dalam sajian pers hakekatnya adalah denyut kehidupan masyarakat di mana pers berada. Satu bagian penting dari keberadaan pers itu adalah pencermatannya dari sisi hukum. Ketika pers berada di tengah masyarakat, terjadilah
interaksi
antara
pers
(sebagai
lembaga)
dengan
masyarakat
konsumennya. Dalam melaksanakan tugas dan peranannya, pers sebagai komunikasi massa dalam mencari dan memberikan informasi juga harus menghormati hak asasi setiap orang.2 Selain informasi ataupun berita sebagai komponen yang paling utama dari tugas dan peranan pers, keterangan narasumber juga merupakan hal yang penting sebagai orang (human sources) yang memberikan informasi ataupun keterangan mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Karena itu, pers diharapkan dapat menghormati segala kesepakatan dan hak-hak narasumber. Seperti hal “Cerita di Balik Pelarian Nazaruddin” yang menjadi salah satu judul item berita Laporan Utama majalah Tempo edisi 22-28 Agustus 2011. Narasumber berita itu muncul sebagai, “seorang anggota tim”, “sumber Tempo”, “seorang penjemput (mendengar dari polisi Kolombia)”, “sumber yang lain”, “sumber itu‟, “seorang sumber”, “sumber-sumber Tempo yang lain”, dan “seorang advokat‟. Informasi yang didapat Tempo dari beraneka narasumber anonim itu termuat baik dalam kalimat langsung maupun tidak langsung. Apabila dihitung, persentase frekuensi kemunculan narasumber anonim (yang identitas namanya tidak disebutkan) melebihi narasumber beridentitas jelas.
2
Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers
12 Universitas Sumatera Utara
Dua hal yang memancing pertanyaan. Pertama, identitas sang “sumber Tempo” : siapakah dia, sedekat apakah dia dengan kasus itu, motivasi apa yang mendorongnya membeberkan informasi tersebut kepada media, dan alasan apa yang menyebabkan Tempo tidak memuat identitasnya. Kedua, kutipan langsung Tempo itu masih mengandung penafsiran dari sang, “sumber Tempo” sendiri. Kedua hal itu dapat menyulitkan pembaca untuk menimbang kredibilitas narasumber dan kadar kebenaran dari penafsiran seseorang yang tidak ia ketahui identitasnya. Selanjutnya, dalam sebuah berita warta kota Tebet, Jakarta Selatan dimana terdapat makanan dan minuman yang mengandung formalin dan boraks yang telah diuji di laboratorium oleh BBPOM (Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan), salah satu bahan berbahaya tersebut terdapat di dalam soto mie yang dijual oleh pedagang PKL di sekitar daerah tersebut.3 Namun, pedagang itu tidak bersedia menyebutkan namanya ataupun identitasnya dalam memberikan informasi yang terkait dengan hal tersebut. Kemudian untuk menghargai dan menghormati hak dari pedagang tersebut maka pers hanya mencantumkan ; “….yang tidak ingin disebutkan namanya…”. Salah satu cara insan pers dalam mencari dan memberikan informasi ataupun berita yang transparan kepada masyarakat adalah dengan melalui liputan investigasi sebagai upaya pencarian dan pengumpulan data maupun informasi untuk mengetahui kebenaran atau bahkan kesalahan dari sebuah fakta. Informasi yang kerap menarik banyak khalayak adalah mengenai liputan investigasi 3
http://wartakota.tribunnews.com/2016/03/18/celaka-bahan-makanan-di-pkl-mal-kotakasablanka-dipastikan-mengandung-bahan-berbahaya, diakses pada tanggal 21 Maret 2016
13 Universitas Sumatera Utara
kriminal untuk mengetahui kejahatan apa yang banyak terjadi dan mengantisipasi kejahatan tersebut. Sebagai media informasi, selain surat kabar, televisi juga memberikan kekuatan tersendiri dalam menyampaikan pesan atau informasi tersebut dalam bentuk tayangan-tayangan investigasi kriminal semisal mengenai pembuatan makanan yang dicampur dengan bahan berbahaya, pembuatan kosmetik palsu dan sebagainya. Namun, yang membedakan setiap liputan investigasi dengan liputan lainnya adalah dimana identitas pelaku dari kejahatan tersebut dirahasiakan. Dalam hasil liputan investigasinya, insan pers menyamarkan wajah, nama ataupun suara dari pelaku kejahatan tersebut. Tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber didasarkan pada Pasal 4 ayat 4 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 5 serta Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik. Pasal 4 ayat 4 UU Pers sebagai peraturan yang lex specialis menyatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. 4 Pers sebagai lembaga sosial dan wahana dan komunikasi massa diharapkan dapat mengolah dan menyampaikan informasi secara profesional sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Pedoman insan pers dalam melaksanakan profesinya yakni UndangUndang Pers dan Kode Etik Jurnalistik diharapkan dapat memberikan pedoman yang cukup kuat bagi insan pers untuk melaksanakan tugasnya secara
4
Pasal 1 Angka 10 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers
14 Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab serta untuk ditaati dan dijunjung tinggi dengan tujuan agar insan pers mencapai mutu yang tinggi dan bertanggung jawab. Tetapi, akan menjadi sebuah masalah apabila tindakan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan seperti pada berita kriminal dalam surat kabar ataupun pada tayangan televisi yang dilakukan oleh insan pers tidak ditindaklanjuti dengan pemberitahuan kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan yang diatur dalam KUHP. 5 Dengan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan oleh insan pers, maka insan pers memberikan kesan bahwa mereka lebih mengutamakan kepentingan sendiri atau kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan umum. Karena dengan mengetahui adanya suatu kejahatan atau tindak pidana, namun tidak ditindaklanjuti dengan melaporkannya kepada pihak yang berwenang, tentunya hal ini dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang menjadi pedoman bagi insan pers dalam melaksanakan tugasnya belum dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi insan pers sendiri maupun bagi masyarakat. Salah satu celah yang sering dilakukan oleh insan pers adalah mengenai hak tolak atau tindakan merahasiakan identitas narasumber dalam hal ini pelaku kejahatan yang terdapat dalam Undang-Undang Pers namun tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHP dimana merupakan suatu kewajiban bagi setiap warga negara untuk melaporkan kejahatan tersebut kepada pihak yang
5
Pasal 165 KUHP dan Pasal 221 ayat (1) KUHP
15 Universitas Sumatera Utara
berwenang. Sehingga hal tersebut menimbulkan adanya dualisme penegakan hukum. Dimana di satu sisi, berdasarkan Undang-Undang Pers sebagai peraturan yang lex specialis tindakan insan pers yang merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan bukanlah merupakan suatu kesalahan tetapi disisi lain apabila dilihat dari ketentuan KUHP tindakan insan pers tersebut dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka penulis terinspirasi untuk mengangkat masalah ini dalam tulinsan skripsi dengan judul “PERANAN KEPOLISIAN TERHADAP INSAN PERS DALAM MERAHASIAKAN IDENTITAS
NARASUMBER
SEBAGAI
PELAKU
KEJAHATAN
MELALUI LIPUTAN INVESTIGASI BERDASARKAN KUHP DAN UNDANG-UNDANG NO.40 TAHUN 1999 TENTANG PERS”
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan hukum tentang tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan melalui liputan investigasi? 2. Bagaimana bentuk-bentuk, pelaksanaan dan faktor-faktor penyebab tindakan merahasiakan identitas narasumber oleh insan pers?
16 Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimana peranan aparat penegak hukum (kepolisian) terhadap insan pers dalam menindaklanjuti tindakan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan?
C.
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulinsan Adapun yang menjadi tujuan dari penulinsan skripsi ini adalah : 1. Mengetahui
dan
memahami
tindakan
merahasiakan
identitas
narasumber sebagai pelaku kejahatan melalui liputan investigasi yang ditinjau dari KUHP dan Undang-Undang Pers. 2. Mengetahui bentuk-bentuk dan pelaksanaan serta faktor-faktor penyebab dari tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber. 3. Mengetahui peranan aparat penegak hukum (kepolisian) terhadap insan pers
dalam
menindaklanjuti
tindakan
merahasiakan
identitas
narasumber sebagai pelaku kejahatan. Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan
diperoleh dari
penulinsan ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Penulis berharap karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya tentang pemahaman mengenai tindakan merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan yang dilakukan oleh insan pers. 2. Manfaat Praktis 17 Universitas Sumatera Utara
Memberikan masukan kepada pihat terkait, diantaranya pers dalam menjalankan tugas dan profesinya sesuai dengan peraturan, kepada aparat penegak hukum (kepolisian) dan lembaga legislative dalam membentuk Undang-Undang.
D.
Keaslian Penulinsan Skripsi yang berjudul “Tindakan Insan Pers Dalam Merahasiakan Identitas
Narasumber Sebagai Pelaku Kejahatan Melalui Liputan Investigasi Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers” sepengetahuan penulis bahwa di lingkungan Universitas Sumatera Utara penulinsan tentang judul tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan oleh Departemen Hukum Pidana mengenai tidak ada judul yang sama. Sekalipun ada, hal tersebut merupakan diluar sepengetahuan penulis dan substansinya pasti berbeda karena murni merupakan hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada penelusuran dari referensi media cetak maupun elektronik. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulinsan ini, maka dapaat penulis katakan bahwa skripsi ini merupakan karya penulis yang asli.
E.
Tinjauan Kepustakaan
1. Tinjauan Umum Mengenai Pers a. Pengertian Pers Istilah pers berasal dari kata persen bahasa Belanda atau press bahasa Inggris, yang berarti menekan yang merujuk pada mesin cetak kuno yang harus
18 Universitas Sumatera Utara
ditekan dengan keras untuk menghasilkan karya cetak pada lembaran kertas. 6 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pers diartikan: a. Usaha percetakan dan penerbitan b. Usaha pengumpulan dan penyiaran berita c. Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio d. Orang yang bergerak dalam penyiaran berita e. Medium penyiaran berita seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan film. Pers di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pengertian pers terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Pers, yaitu: “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulinsan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”. Kata pers merupakan padanan dari kata press dalam bahasa Inggris yang juga berarti menekan atau mengepres. Jadi, secara harfiah kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantara barang cetakan. Tetapi sekarang, kata pers atau press ini digunakan untuk merujuk semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita, baik oleh wartawan media cetak maupun oleh wartawan media elektronik. Menyimak perkembangannya, istilah pers di Indonesia tidak diartikan secara mandiri akan tetapi senantiasa dikaitkan dengan pengertian lain seperti : 7
6 7
Edy Susanto, Hukum Pers di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 19. Samsul Wahidin, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 48
19 Universitas Sumatera Utara
1. Pers Nasional adalah pers pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. 2. Pers pancasila adalah pers pembangunan dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam membangun berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk pembangunan pers itu sendiri. 3. Pers Asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing. 8 Berdasarkan uraian tersebut, ada dua pengertian mengenai pers, yaitu pers dalam arti kata sempit dan pers dalam kata luas. Pers dalam arti kata sempit yaitu yang menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Sedangkan pers dalam arti kata luas ialah yang menyangkut kegiatan komunikasi, baik yang dilakukan dengan media cetak maupun media elektronik seperti radio, televisi maupun internet.9 Berdasarkan pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menyatakan bahwa: “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”. Dalam arti luas, profesi dalam bidang pers itu tidak hanya dilapangan media cetak tetapi juga meliputi usaha yang sah untuk perusahaan pers, radio, televisi dan film. Mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar dan lain sebagainya untuk perusahaan pers, radio, televisi dan film disebut sebagai
8 9
Pasal 1 angka 7 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Edy Susanto, op.cit, hlm. 20
20 Universitas Sumatera Utara
wartawan.10 Di sini tampak, kendati pun yang dimaksud dengan pers secara khusus adalah penertiban media cetak, tetapi pekerja pers di antaranya adalah wartawan tidak hanya orang-orang yang bekerja dalam bidang pers cetak semata tetapi juga para pekerja pers dalam media audio seperti radio dan media audiovisual seperti siaran televisi.11 Dengan demikian jka akan diberikan arti terhadap istilah pers harus dipertegas terlebih dahulu pers dalam arti organisasi/lembaga ataukan dalam arti pekerjaannya yang dimaksud dengan wartawan. Jika yang dimaksud adalah pers dalam arti organisasi maka hal itu berarti media cetak sebagaimana dimaksud di atas. Sedangkan apabila dikaitkan dengan pekerjaannya mempunyai pengertian lebih luaus dalam arti bahwa yang tergabung di dalamnya bukan semata-mata pekerja dalam bidang media cetak tetapi juga di media elektronik yang melaksanakan tugasnya secara profesional. b. Pengertian Narasumber Sumber memang penting untuk mengembangkan suatu cerita dalam memberikan makna dan kedalaman suatu peristiwa atau keadaan. Mutu tulinsan wartawan tergantung dari mutu sumbernya. Semua sumber, baik itu orang (human sources) maupun informasi seperti catatan, dokumen, referensi, buu, kliping, dan sebagainya (phsycal sources), yang akan digunakan oleh wartawan haruslah
10
Berdasarkan Peraturan Menteri Penerangan RI No. 02/Pers/Menpen/1969 KetentuanKetentuan Mengenai Wartawan, yang dimaksukan dengan wartawan adalah karyawan yang melakukan pekerjaan kewartawanan secara kontinu. 11 Berdasarkan keputusan Menpen, anggota PWI diperluas meliputi pula wartawan elektronik. Hal ini berarti bahwa profesi jurnalistik itu juga meliputi para pekerja yang memuhi syarat dalam media elektronik yaitu wartawan radio dan televisi.
21 Universitas Sumatera Utara
disebutkan asalnya (attributed). Karena bila tidak maka itu merupakan suatu tindakan plagiat.12 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengenai pengertian narasumber adalah orang yang mengetahui dan memberikan secara jelas atau menjadi sumber informasi atau informan (orang yang memberikan sebuah informasi). Namun, dalam menggunakan sumber ini wartawan harus tetap skeptis.13 Melvin Mencher dalam bukunya News Reporting and Writing, mengatakan bahwa sumber manusia ini terkadang kurang bisa dipercaya bila dibandingkan dengan sumber-sumber seperti dokumen, referensi, bukku, dan sebagainya. Orang ataupun pejabat yang terlibat dalam suatu peristiwa bisa mempunyai kepentingan untuk melindungi.14 Mereka
biasanya
bukan pengamat
yang terlatih dan terkadang
menceritakan apa yang mereka pikir inginkan oleh wartawan. Bila ingin menggunakan orang sebagai narasumber, wartawan harus mencari sumber yang layak atau memenuhi syarat untuk bicara mengenai suatu peristiwa atau fakta tertentu. Sebaliknya, dalam menggunakan catatan atau kliping pun wartawan harus hati-hati karena mungkin saja sudah ada perkembangan baru, sementara berita kelanjutannya (follow up news) itu tidak pernah disiarkan. Misalnya dalam proses perkara kriminal, seseorang yang semula diduga bersalah terbukti di sidang pengadilan tidak bersalah. Berita awalnya disiarkan tetapi berita kelanjutannya tidak ada. 12
Luwi Ishwara, Jurnalisme Dasar, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2011, hlm.102 Ibid., hlm. 1 menekankan skeptis merupakan ciri khas wartawan. Bahwa skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuuatu, meragukan apa yang diterima dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu. 14 Luwi Ishwara, op,cit, hlm.102 13
22 Universitas Sumatera Utara
2. Kejahatan c. Pengertian Kejahatan dan Pelaku Kejahatan Tidak
dapat
terdapat manusia
dipungkiri
yang
bahwa
mempunyai
kejahatan
pasti
terjadi
kepentingan berbeda-beda.
dimana
Pengertian
kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada defenisi baku yang didalamnya mencakup semua aspek kejahatan secra komprehensif. Ada yang memberikan pengertian kejahatan dari aspek yuridis, sosiologis, maupun kriminologis. Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan dikarenakan perspektif orang dalam memandang kejahatan sangatlah beragam, disamping tentunya perumusan kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang akan dirumuskan. Departemen Pendidikan Nasional, memberikan batasan pengertian kejahatan sebagai perbuatan yang jahat yang melanggar hukum, perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang telah disahkan oleh hukum tertulis.15 Definisi – definisi kejahatan yang dikemukakan oleh ahli hukum ialah16: a. D. Laft, kejahatan ialah pelanggaran terhadap hukum pidana. Pelanggaran hukum pidana berarti melanggar ketentuan – ketentuan pidana yang telah dirumuskan. b. W.A Bonger, kejahatan ialah perbuatan yang anti sosial yang oleh Negara ditentang dengan sadar melalui penjatuhan hukuman. Kejahatan hanyalah yang melanggar hukum pidana. c. Van Bernmelen, menyatakan kejahatan ialah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila
dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak
15
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 557 16 B.Simandjuntak, Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1984, hlm.72-74
23 Universitas Sumatera Utara
ketidaktenangan dalam uatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan kepada kelakuan tersebut. d. Kempe, merumuskan definisi kejahatan ialah semua perbuatan yang oleh sebagian masyarakat menilai mengenai apa yang merugikan, tidak pantas dan tidak dibiarkan tertulis dalam hukum pidana. Baik kiranya menjadi objek kajian kriminologi. Berdasarkan defenisi tentang kejahatan diatas, maka dapat digolongkan dalam 2 (dua) jenis pengertian yaitu17 : 1. Pengertian kejahatan secara yuridis yaitu dilihat dari hukum pidana maka kejahatan adalah setiap perbuatan atau pelalaian yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi pidana oleh negara. Sesuatu perbuatan diberi pidana diatur dalam KUHP dan perbuatan hukum yang mengacam pidana. Peraturan hukum yang mengancam pidana ini disebut pidana khusus seperti hukum pidana ekonomi, suversi. Tidak semua pasal-pasal KUHP mengatur tindak pidana, hanyalah pasal-pasal yang termuat dalam buku kedua saja. Dalam KUHP dibedakan antara Pelanggaran (buku ketiga) dan kejahatan (buku kedua). Perbedaan antara pelanggaran dan kejahatan merupakan perbedaan antara delik undangundang dengan delik hukum. Kejahatan merupakan delik hukum sedangkan pelanggaran merupakan delik undang – undang.
17
Ibid, hlm. 75
24 Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian kejahatan secara praktis adalah pelanggaran atas norma-norma agama, kebiasaan, dan kesusilaan, yang hidup dalam masyarakat. Jika dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perumusan kejahatan dalam hal ini adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Pidana, yang biasa disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit). Pengertian tindak pidana (strafbaar feit), menurut para ahli hukum adalah: 1. Simons Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab.18 2. Van Hammel Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.19 3. Schaffmeister Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.20 4. Pompe Suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan
18
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2013, hlm..73 Loc.cit 20 Ibid, hlm. 26 19
25 Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 21 5. Indriyanto Seno Adji Tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).22 Sedangkan pengertian pelaku tindak pidana terdiri atas : 1. Pelaku menurut doktrin Pelaku tindak pidana (Dader) adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP. Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaanatau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh UndangUndang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh UndangUndang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena digerakan oleh pihak ketiga.23 2. Pelaku menurut KUHP Pelaku tindak pidana menurut KUHP adalah sebagai berikut :24
21
Mohammad Ekaputra, Op. Cit., hlm. 81 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 50 23 Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1984, hlm. 37 24 Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm. 94 22
26 Universitas Sumatera Utara
a) Orang yang melakukan (plegen) Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang secara langsung melakukan semua unsur-unsur dari suatu tindak pidana, artinya orang tersebutlah yang melakukan tindak pidana sebenarnya. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana terbagi dua, yaitu pelaku dalam arti sempit (hanya orang yang melakukan tindak pidana) dan pelaku dalam arti luas (orang yang melakukan, orang yang menyuruh melakukan, orang yang turut serta melakukan, dan orang yang membujuk melakukan tindak pidana tersebut).25 b) Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini, orang tersebut tidak melaksanakan sendiri. Paling sedikit harus ada dua orang, yaitu orang yang menyuruh melakukan dan orang yang disuruh melakukan. Orang yang menyuruh melakukan tindak pidana itu tidak melakukan secara langsung unsur-unsur dari suatu tindak pidana, tetapi orang yang disuruhlah yang melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana tersebut. Dan orang yang disuruh itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (orang yang dikecualikan dari hukuman). Dengan demikian, meskipun orang yang menyuruh ini tidak secara langsung melakukan tindak pidana, akan tetapi dialah yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruhnya tersebut.26
25 26
Ibid, hlm.95 Ibid, hlm. 96
27 Universitas Sumatera Utara
c) Orang yang turut serta melakukan (medeplegen) Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang bersama-sama dengan orang lain melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini juga paling sedikit ada dua orang yang secara sadar bersama-sama melakukan tindak pidana tertentu. Dengan demikian, mereka juga secara bersama-sama dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan.27 d) Orang yang membujuk melakukan (uitlokking) Pelaku tindak pidana ini adalah orang yang membujuk, menggerakkan orang lain untuk melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini juga paling sedikit ada dua orang pelaku tindak pidana, yaitu orang yang membujuk dan orang yang dibujuk untuk melakuan tindak pidana tertentu. Orang yang membujuk memberikan sarana atau cara-cara yang telah ditentukan secara limitatif di dalam undang-undang (lihat Pasal 55 ayat (1) sub (2) KUHP) kepada orang yang dibujuk agar mau melakukan tindak pidana tersebut. Dan orang yang dibujuk tersebut adalah orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, orang yang dibujuklah yang secara langsung melakukan tindak pidana tersebut dan pertanggungjawaban orang yang membujuk/menggerakkan adalah pada apa yang digerakkannya, artinya apabila perbuatan tersebut melebihi apa
27
Ibid, hlm. 98
28 Universitas Sumatera Utara
yang digerakkan oleh orang yang membujuk, maka perbuatan tersebut dipertanggungjawabkan oleh orang yang dibujuk.28
d. Unsur-Unsur Kejahatan Menurut Moeljatno, unsur atau elemen perbuatan pidana (tindak pidana) adalah:29 a. Kelakuan dan akibat (perbuatan) b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif e. Unsur melawan hukum yang subjektif Unsur (a) kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula adanya (b) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, dimana hal ikhwal dibagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pelaku. Kemudian menurut Yulies Tiena, unsur-unsur tindak pidana dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi subjektif dan segi objektif:30 1. Dari segi objektif berkaitan dengan tindakan, peristiwa pidana adalah perbuatan yang melawan hukum yang sedang berlaku, akibat perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman. 2. Dari segi subjektif, peristiwa pidana adalah perbuatan pidana yang dilakukan seseorang secara salah. Unsur-unsur kesalahan si pelaku itulah yang mengakibatkan terjadinya peristiwa pidana. Unsur kesalahan itu timbul dari niat atau kehendak si pelaku. Jadi, akibat dari perbuatan itu telah diketahui bahwa dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan hukuman. Jadi memang ada unsur kesengajaan. 28
Ibid, hlm. 102 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. PT.Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 69 30 Yulies Tena, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.62-63 29
29 Universitas Sumatera Utara
Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suata kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. 2. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undangundang. Pelakunya harus telah melakukan suatau kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. 3. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum. 4. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya. Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian tindak pidana (dari unsurunsur tindak pidana) merupakan suatu tindakan pada tempat, waktu, dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab). 3. Liputan Investigasi e. Pengertian Liputan Investigasi Investigasi berasal dari kata vestigium, di mana kata vestigium dalam bahasa latin berarti jejak kaki.31 Pada sisi ini hal itu menyiratkan berbagai bukti yang telah menjadi suatu fakta, berbentuk data dan keterangan dari suatu peristiwa sehingga disebut sebagai liputan penyelidikan. Dalam kamus bahasa Indonesia : Investigasi adalah penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta-fakta, melakukan peninjauan, percobaan dan sebagainya dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Maka liputan inestigasi (liputan penyelidikan) adalah informasi yang diperoleh dengan cara wartawan melakukan investigasi ke lapangan menemui 31
Septiawan Santana K, Jurnalisme Investigasi, Yayasan Obor Indonesia, Ed.1, Jakarta, 2003, hlm. 135
30 Universitas Sumatera Utara
narasumber yang merupakan pihak yang terlibat untuk mendapatkan fakta dan data akurat sekaligus. Dalam kaitannya dengan kegiatan pers, hal ini mengkonotasikan berbagai bukti, yang dijadikan fakta, bagi upaya menjelaskan adanya kesalahan atau pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukan seseorang atau pihak-pihak tertentu. Liputan investigasi memang merupakan sebuah kegiatan peliputan yang mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta adanya pelanggaran, kesalahan atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum atau masyarakat. Secara ringkas, liputan investigasi, yang oleh Atmakusumah diistilahkan dengan Laporan Penyidikan, dapat dipahami melalui lima tujuan dan sifat pelaporannya32 : 1. Mengungkapkan kepada masyarakat, informasi yang perlu mereka ketahui karena menyangkut kepentingan atau nasib mereka. Dengan mengetahui informasi itu, masyarakat dapat ikut berpatisipasi dalam mengambil keputusan. Tanpa bantuan laporan penyidikan, informasi itu mungkin tidak dapat mereka ketahui, karena: a. “pemilik” atau “penyimpan” informasi tidak menyadari pentingnya informasi itu; b. Informasi itu sengaja disembunyikan. 2. Laporan penyidikan tidak hanya mengungkapkan hal-hal secara operasional tidak sukses, tetapi dapat juga sampai kepada konsep yang keliru. 3. Laporan penyidikan itu beresiko tinggi, karena bisa menimbulkan kontroversi atau bahkan kontradiksi dan konflik. Untuk menghasilkan laporan yang seperti ini, seringkali harus menggali bahan-bahan informasi yang dirahasiakan. 4. Karena itu harus jauh-jauh hari dipikirkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkannya terhadap: a. Subjek laporannya (dengan menimbang-nimbang akibat negatif yang diderita subjek laporan dibandingkan dengan manfaat bagi umum); b. Penerbitan pers itu sendiri (baik reaksi dari lembaga resmi maupun dari pemasang iklan dan public pembaca). 32
Ibid, hlm. 139-140
31 Universitas Sumatera Utara
5. Untuk menghadapi dilemma ini diperlukan kecintaan dan semangat pengabdian kepada kepentingan masyarakat luas. Pada pokoknya, harus ada idealism, baik di dalam diri wartawan penyidikan (investigative reporter) itu sendiri maupun di sektor-sektor lain dalam struktur organisasi pemberitaan pers, sampai kepada anggota direksi dan pemegang sahamnya. Mereka semua perlu memiliki integritas pribadi, dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, serta bersikap tenang dan tidak emosional dalam menghadapi kemungkinan guncangan-guncangan akibat reaksi dari luar. f. Wartawan Investigasi Pekerjaan wartawan investigasi adalah untuk mengumpulkan informasi untuk membantu masyarakat memahami kejadian yang mempengaruhi kehidupan mereka. Pada titik tertentu, wartawan investigasi berbeda dibandingkan wartawan harian. Perbedaan-perbedaan itu adalah sebagai berikut33: 1. Inisiatif investigatif tidak menunggu masalah atau peristiwa diberitakan, tapi justru memunculkan masalah, sesuatu, atau berita baru. Wartawan harian mencari dan menghasilkan beberapa berita dalam sehari, mengejar informasi agar disiarkan lebih cepat daripada saingan. 2. Wartawan
investigatif
membutuhkan
waktu
lebih
lama
untuk
mengungkapkan suatu isu. Wartawan harian menjalin hubungan ke sebanyak mungkin “pejabat sumber berita”. 3. Wartawan investigatif cenderung selektif, skeptis, dan kritis pada berita resmi, mengkritisi setiap pendapat, catatan, dan bocoran informasi resmi, tidak segera percaya. Reporter harian melaporkan apa yang terjadi. Sedangkan wartawan investigatif mengungkap alas an sesuatu yang terjadi, diumumkan, atau mengapa terjadi lagi.
33
Ibid, hlm. 13
32 Universitas Sumatera Utara
4. Pada tiap langkah liputannya, wartawan investigatif memiliki kecermatan yang begitu tinggi terhadap berbagai hal yang ditemuinya. Setiap informasi diperiksa dan diperiksa kembali (checked and rechecked) melalui berbagai sumber yang dapat dipercaya, dan mendapatkan keyakinan bahwa sumber informasi tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam kesediaan atau keterbukaannya memberikan keterangan, bahkan siap melindungi kerahasiaan sumber informasi jika dikehendaki. 5. Manakala reporter investigasi mengerjakan sebuah liputan investigatif, mereka melakukan penyamaran dan tidak mengungkapkan pada sumbersumber kisah bahwa mereka adalah reporter. Liputan beritanya bukan lagi berdasar agenda pemberitaan harian yang sudah terjadwal di ruang redaksi. Para wartawan investigasi tidak bekerja berdasarkan pengagendaan berita seperti dalam pemberitaan reguler. Mereka memasuki subjek pemberitaan tatkala mereka tertarik untuk mengetahui sesuatu. Di sisi lain, liputan investigasi menjadi sebuah kegiatan bagi pers yang hendak “membongkar kejahatan”. Nilai kemendalaman reportase investigasi terletak pada signifikasi kegunaan informasinya bagi kesejahtraan public (public welfare).Investigasi menjadi sarana penting bagi pertanggungjawaban media dan pembuat berita (responsible newsmen), bahkan mutu jurnalisme kepada masyarakat.
F.
Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
33 Universitas Sumatera Utara
Penelitian skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan data primer, yang diperoleh dari: Data sekunder yaitu: a. Bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan meliputi KUHP, KUHAP, Undang-Undang Pers, dan Kode Etik sebagai landasan profesi serta Undang-Undang Kepolisian. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat menganalisa bahan hukum primer, antara lain berupa buku, hasil-hasil penelitian, karya tulis ilmiah, koran, dan lain sebagainya. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan atau bahan rujukan di bidang hukum. Data primer diperoleh dengan cara mengumpulkan data secara langsung pada Polda Sumut melalui teknik wawancara. Dimana data primer dalam penelitian skripsi ini diperlukan untuk memberikan pemahaman yang jelas,
34 Universitas Sumatera Utara
lengkap dan komprehensif terhadap data sekunder yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni informan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian lapangan ini adalah wawancara tersktruktur secara selektif dengan informan yaitu: Wawancara dengan Bapak AKBP MP Nainggolan selaku Kasubbid Penmas Humas Polda Sumut. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman, dengan maksud untuk memperoleh penjelasan dan klarifikasi dari informan. 3. Metode Pengumpulan Data Metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data untuk penyusunan skripsi ini adalah melalui studi kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
mengadakan studi
penelahaan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporanlaporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dipecahkan.34 4. Analisis Data Metode analisis yang akan digunakan untuk penelitian hukum normatif ini adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Perolehan data dari analisis kualitatif ini ialah diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi).35 Data kualitatif adalah data yang non angka, yaitu berupa kata, kalimat, pernyataan dan dokumen. Dalam penelitian kualitatif, analisa data lebih difokuskan selama proses di
34 35
M. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 27 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2012, hlm.87
35 Universitas Sumatera Utara
lapangan bersamaan dengan pengumpulan data.36
G.
Sistematika Penulinsan Untuk memberikan gambaran yang merupakan isi dari pembahasan skripsi
ini dan untuk mempermudah penguraiannya, maka penulis membagi skripsi ini kedalam 5 (lima) Bab. BAB I, berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, keaslian penulinsan, metode penelitian, dan sistematika penulinsan. BAB II, berisi tentang sejarah pers di Indonesia, fungsi serta peranan pers dan pengaturan hukum mengenai tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber melalui liputan investigasi baik berdasarkan ketentuan KUHP maupun Undang-Undang Pers. BAB III, berisi tentang bentuk-bentuk, pelaksanaan serta faktor-faktor penyebab dari tindakan insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelau kejahatan serta akibat hukum dari penerapan tindakan merahasiakan identitas pelaku kejahatan tersebut. BAB IV, berisi tentang peranan aparat penegak hukum (kepolisian) dalam menindaklanjuti tindakan yang dilakukan oleh insan pers dalam merahasiakan identitas narasumber sebagai pelaku kejahatan melalui liputan investigasi. BAB V, berisi tentang kesimpulan dari pembahasan skripsi ini dan saransaran yang berguna bagi siapa saja yang membaca skripsi ini.
36
Ibid, hlm. 90
36 Universitas Sumatera Utara