BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebelum krisis finansial yang melanda Indonesia pertengahan tahun 1997, Indonesia telah sukses membangun dan meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi ini ditandai dengan berbagai prestasi dan indikasi makro antara lain High Performance Asia Economic (HPAE) dan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan angka GNP yang cukup tinggi, mengantar Indonesia dari negara agraris menjadi New Industrial Countries (NICs). Keberhasilan yang lain pada tahun 1997 adalah menurunnya jumlah angka kemiskinan dari 27 juta jiwa menjadi 22 juta jiwa (Sumodinigrat, 1998). Krisis moneter dan bencana alam, serta gejolak politik telah menimbulkan dampak yang begitu luas dalam masyarakat. Krisis telah menyebabkan inflasi meningkat tajam, pertumbuhan ekonomi menurun drastis, peningkatan jumlah pengangguran, defisit perdagangan, menurunnya cadangan perdagangan dan produktivitas kegiatan ekonomi riil terutama sektor industri dan perdagangan besar serta perbankan. Krisis yang berkepanjangan tersebut mengimbas pada kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang ditandai dengan daya beli dan tingkat
konsumsi
masyarakat
yang
terus
menurun,
dan
yang
paling
memprihatinkan adalah jumlah penduduk miskin menjadi 79,4 juta jiwa (BPS, Juli l998). Sejak krisis melanda Indonesia, berbagai masalah yang komplek semakin banyak terjadi. Baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik maupun pertahanan 1
dan keamanan. Dari sisi ekonomi ketenagakerjaan dan pengangguran merupakan masalah turunan dari krisis ini. Dampak krisis ekonomi terhadap besarnya angka pengangguran semakin besar. Pada tahun 2003 di Indonesia angka pengangguran melonjak dari 8,6 juta jiwa menjadi 10,3 juta jiwa (Wahyudi, 2004) Sampai berakhirnya kekuasaan Orde Baru telah terjadi beberapa kali strategi pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pergeseran itu mulai dari strategi pertumbuhan (growth paradigm) sampai pada Inpres Desa Tertinggal (IDT/ Inpres No.5/1993). Diakui kombinasi kinerja tersebut secara kuantitatif dapat menurunkan jumlah kemiskinan absolute secara signifikan, tetapi karena pendekatan yang bersifat charity dan pola top-down masih mendominasi strategi tersebut, maka kemandiri kelompok miskin belum mampu tumbuh berarti (Musiyam, 1998). Mengingat jumlah penduduk miskin di Perdesaan yang terus bertambah, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah meluncur Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan (PNPM Mandiri) untuk memberdayakan komunitas miskin perdesaan. Salah tujuan dari proyek ini adalah untuk mengenalkan dan membangun
upaya-upaya
peningkatan
pendapatan
secara
mandiri
dan
berkelanjutan untuk masyarakat miskin Perdesaan melalui Kredit Mikro SPP (Simpan Pinjam untuk Perempuan), terciptanya organisasi masyarakat warga yang memiliki pola kepemimpinan yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin Perdesaan dan memperkuat suara masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik dan
2
memperkuat agen-agen lokal (pemerintah, dunia usaha dan kelompok peduli) untuk membantu masyarakat miskin. 1.2 Perumusan Masalah Menurut dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Tahun 2003) yang mengutip angka BPS, pada tahun 2002 persentase orang miskin di Indonesia adalah 18,2 % (38.5 juta jiwa) dari total penduduk 211 juta jiwa, dengan rincian di Perkotaan 14,5 % (13.5 juta jiwa) dan di perdesaan 21,1 % (25 juta jiwa)(Suharyo, 2003). Tingginya angka kemiskinan ini, jika tidak ada usaha yang terpadu secara lintas sektoral untuk mengatasinya, maka diperkirakan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan akan terus meningkat secara tajam sehingga dampak yang ditimbulkan yaitu meningkatnya kerawanan sosial akan semakin luas. Dari data diatas jumlah angka kemiskinan di perdesaan jauh lebih besar dari pada di perkotaan, dampak dari krisis ekonomi masyarakat miskin Perdesaan yang paling merasakan karena harga-harga kebutuhan pokok di Perdesaan lebih mahal daripada di perkotaan dikarenakan akses dari industri lebih jauh dan karena adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan perusahaan yang sebagian besar adalah penduduk Perdesaan. Dengan
diluncurkannya
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
di
Perdesaan diharapkan bisa dipergunakan sebagai salah satu upaya untuk mengentaskan kemiskinan melalui pengembangan usaha ekonomi produktif kelompok keluarga miskin dengan bekerjasama dengan Usaha Kecil, Menenggah, dan Koperasi dalam rangka menyiapkan mereka untuk menjadi pengusaha kecil, 3
dalam hal ini skald prioritas yang ingin dicapai adalah mengentaskan kemiskinan bagi keluarga yang berpenghasilan rendah dan prasejahtera masyarakat miskin Perdesaan. Program PNPM-MP merupakan salah satu program pengentasan kemiskinan
dalam
rangka
pemberdayaan
masyarakat
lokal.
Sebagai
pemberdayaan masyarakat dengan strategi dan orientasi desentralisasi dan otonomi, maka proyek ini dalam operasionalnya diserahkan pada masyarakat sebagai
subyek
pengelola
dan
menentukan
sendiri
kegiatan
ekonomi
produktifnya, pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator dan mengkatalisasi dalam pelaksanaan, sehingga diharapkan tujuan terwujudnya sebuah kegiatan ekonomi produktif dari masyarakat golongan miskin untuk meningkatkan kesejahteraannya dapat terwujud. 1.2.1
Visi dan Misi PNPM Mandiri Perdesaan
Proyek PNPM Mandiri dilaksanakan mulai tahun 1999. Visi nya adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Misi : - peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; - pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; - pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; - peningkatan kualitas dan kuantitas pras/sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; - pengembangan jaringan kemitrausahaan.
4
1.2.2
Program dalam PNPM Mandiri Perdesaan
Program yang dilaksanakan dalam PNPM-MP antara lain : 1. Pendampingan Dalam PNPM mandiri Perdesaan tahap pertama yang dilakukan adalah
pendampingan.
Pendampingan
ini
dilakukan
oleh
fasilitator
(pendamping program) kecamatan yang terdiri dari FK (Fasilitator Kegiatan ) dan FT ( Fasilitator Tekhnik) dan di dampingi oleh Fasilitator Desa, masingmasing Desa memiliki Fasilitator Desa 2 orang yang di namakan KPMD. Tugas dari semua fasilitator adalah melakukan pendampingan kepada masyarakat mulai dari perencanaan, persiapan, sampai penyusunan proposal pengajuan bantuan. Dan ada setelah pengajuan proposal selesai di sahkan oleh camat, ada UPK Aau Unit Pengelola Kegiatan yang bertugas mendampingi pada waktu pelaksanaan Pencairan Program sampai pendampingan Laporan Kegiatan LPJ masing-masing desa. 2. Pemberian bantuan Pemberian bantuan berupa dana sosial kepada masyarakat individu seperti beasiswa, rehab rumah, rehab jamban, kambing bergulir, dan bantuan langsung lainnya yang bersifat hibah yang telah melalui proses verifikasi oleh Tim verifikasi PNPM Mandiri Perdesaan. 3. Kemitrausahaan PNPM mandiri perdesaan dikelola oleh BKAD ( Badan Koordinator Antar Desa) dan UPK ( Unit Pengelola kegiatan) yang seiring perkembangannya dapat melakukan jalinan usaha bersama perusahaan-
5
perusahaan setempat, atas persetujuan masyarakat sekecamatan setempat. Adapun usaha yang dimaksud adalah seperti mendirikan Koperasi bersama, melakukan persilangan modal, dan usaha lainnya yang ada di wilayah sekecamatan. Selain itu, bekerjasama dengan PKK Desa juga merupakan salah satu kemitrausahaan antara UPK dengan pengurus-pengurus PKK sekecamatan. 4. Pembangunan Prasarana Pembangunan Sarana/Prasarana ditujukan kepada bangunan pelayanan \fisik di seluruh Desa setempat, yang dalam prosesnya melalui tahapan-tahapan dan aturan-aturan PNPM mandiri perdesaan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sekecamatan. 5. Pengembangan kelembagaan Ekonomi Lokal Pengembangan kelembagaan Ekonomi Lokal merupakan program PNPM Mandiri Perdesaan yang bersifat diwujudkan dalam bentuk Program SPP (Simpan Pinjam untuk Perempuan). Program ini berupa pengelolaan dana bergulir, yang asetnya merupakan milik masyarakat, dan digulirkan kepada masyarakat perempuan setempat yang aturannya sesuai dengan peraturan yang berlaku di kecamatan setempat. 1.2.3
Prinsip dalam PNPM Mandiri Perdesaan
1. Transparansi. Seluruh laporan kegiatan bersifat transparan, artinya dapat dilihat oleh seluruh lapisan masyarakat luas baik laporan kegiatannya maupun laporan keuangannya. Bahkan laporan keuangan kecamatan setempat boleh dipaparkan di papar Informasi Desa agar di ketahui oleh masyarakat luas.
6
2. Keberpihakan kepada orang miskin. Program ini hanya diperuntukkan bagi RTM ( Rumah Tangga Miskin), sehingga keberadaan program rata-rata berada di daerah perdesaan, bukan daerah perkotaan. 3. Open Menu. Segala usulan boleh di ajukan, baik dari kalangan penduduk perempuan maupun laki-laki, namun usulannya ditampung untuk diambil yang paling prioritas dari segi kemendesakan usulan program. 4. Partisipatif dan Akuntabilitas Program ini membutuhkan partisipatif dari masyarakat, artinya bagi masyarakat yang pasif tidak akan mendapat prioritas usulan karena selain membutuhkan swadaya biaya juga membutuhkan partisipatif usulan-usulan yang mendesak dari desa, usulan tersebut dan usulan tersebut di rangkum dalam bentuk proposal usulan yang rinci, sistematis dan akuntable, ada Rencana Anggaran Biaya yang dibuat oleh Desa sendiri melalui Tim Penulis Usulan. Jadi bagi desa yang tidak aktif, walaupun desa tersebut tergolong masyarakatnya miskin tidak akan tersentuh program tanpa adanya partisipasi masyarakatnya sendiri. 5. Keberlanjutan Program ini bersifat sustainable, berlanjut. Usulan yang belum bias direalisasikan pada saat turunnya dana program, dapat ditampung di tahun berikurtnya, sehingga program pembangunan desa tetap berlanjut.
7
PNPM-MP merupakan program pembangunan yang dikelola pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, pendekatan PNPM-MP merupakan pengembangan lebih lanjut dari program PPK (Program pengembangan Kecamatan). Dalam kurun waktu perjalanan PNPM MP ini, terjadi dinamika dan perkembangan yang pesat, khususnya terkait pertambahan lokasi dan alokasi program. Saat ini, sebagian besar lokasi kecamatan di Indonesia ditetapkan sebagai lokasi PNPM. Dan salah satu kecamatan yang mendapat program PNPM Mandiri perdesaan adalah Kecamatan Miri, kabupaten Sragen. Desa Girimargo adalah salah satu desa di kecamatan miri yang aksesnya paling dekat dengan kecamatan. Berada di tengah-tengah kecamatan, sehingga dalam pelaksanaannya tidak banyak mengalami hambatan untuk menuju ke pusat pemerintahan kecamatan. Maka dipilihlah lokasi desa Girimargo kecamatan Miri ini sebagai daerah penelitian. Pelaksana PNPM Mandiri Departemen Dalam Negeri, bekerjasama dengan satker Propinsi dan Satker Kabupaten Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (KBPMD ) yang kemudian dikelola oleh Kecamatan. Program ini menggunakan asas pemberdayaan yaitu peserta program diberikan penyuluhan, bimbingan, dan pembinaan dalam membuka peluang usaha. Salah satu kegiatan pemberdayaan itu yang bersifat berkelanjutan adalah Program Kredit Mikro / Simpan Pinjam untuk Perempuan (SPP), karena modal yang diberikan tidak bersifat hibah tetapi merupakan pinjamansehingga dapat berkelanjutan .
8
Berdasarkan ilustrasi dan Latar belakang permasalahan maka penelitian ini mengambil judul "Evaluasi Pelaksanaan Program Kredit Mikro SPP PNPM MP Di Desa Girimargo Kecamatan Miri kabupaten Sragen" yang mengambil Studi Kasus di Desa Girimargo Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah keberhasilan program Kredit Mikro SPP PNPM Mandiri di Desa Girimargo kecamatan Miri kabupaten sragen dalam meningkatkan pendapatan peserta program dan menurunkan tingkat kemiskinan penerima program yang dilaksanakan di Desa Girimargo Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen" 5.1 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah pelaksanaan program mikro SPP PNPM Mandiri di desa
Girimargo Kecamatan Miri kabupaten Sragen? 2. Apakah penyaluran dana Program Kredit mikro SPP PNPM mandiri sudah
merata keseluruh wilayah Desa Girimargo kecamatan Miri? 3.
Bagaimanakah pengaruh program kredit mikro SPP PNPM Mandiri terhadap pendapatan peserta kredit SPP di desa Girimargo Kecamatan Miri Kabupaten Sragen?
5.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian diatas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui evaluasi pelaksanaan program SPP PNPM Mandiri di Desa Girimargo Kecamatan Miri Kabupaten Sragen.
9
2. Mengetahui proses penyaluran dana Program Kredit mikro SPP PNPM mandiri keseluruh wilayah Desa Girimargo kecamatan Miri. 3. Mengetahui pengaruh Program SPP PNPM Mandiri terhadap peningkatan pendapatan pemanfaat program di desa Girimargo Kecamatan Miri Kabupaten Sragen. 5.3 Kegunaan Penelitian 1.
Sebagai bahan penulisan skripsi untuk memenuhi persyaratan akademik dalam menyelesaikan sarjana S-1 Jurusan Perencanaan Pengembangan Wilayah pada Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
2.
Bagi perkembangan ilmu geografi, khususnya terapannya yang mengkaji Perencanaan Pengembangan Wilayah
3.
Hasil penelitian dapat menjadi bahan masukan dalam pembuatan laporan akhir proyek PNPM Mandiri di Desa Girimargo Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen.
1.5 Telaah Kepustakaan dan Penelitian sebelumnya 1.5.1 Strategi Pembangunan Modernisasi Lebih dari 3 dekade pembangunan di Indonesia didasarkan pada nilai pembangunan yang dikenal dengan nama Trilogi Pembangunan yaitu, Pertumbuhan Ekonomi, Stabilitas Nasional dan Distribusi Pendapatan. Distribusi pendapatan atau pemerataan secara eksplisit mengandung arti pengentasan kemiskinan. Keadilan sosial selalu menjadi tujuan utama dalam Pemerintahan Orde Baru, dalam pelaksanaannya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas nasional lebih dominan dari pada pemerataan hasil pembangunan.
10
Diyakini dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi kemiskinan akan dapat berkurang melalui tetesan ke bawah (trickle-down effect). Setelah beberapa tahun strategi ini diterapkan strategi ini mulai dirasakan belum mencapai hasil yang diharapkan, jumlah peduduk miskin secara absolut belum menurun secara berarti, bahkan kantong-kantong kemiskinan mulai muncul di Perdesaan. Peningkatan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir orang utamanya para pemilik modal (konglomerat) dan kelompok elit nasional, tanpa disadari kesenjangan ekonomi dan sektoral semakin lebar, dengan kata lain penerapan strategi ini disatu pihak telah membangun terbentuknya konsentrasi kapital, dan disisi lain melahirkan marginalisasi warga masyarakat. Strategi pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi, kapitalisme dan industrialisasi dengan pola sentralistik dan kontrol terhadap distribusi sumberdaya, banyak dipraktekkan di negara-negara dunia ketiga termasuk di Indonesia, tidak menghasilkan keberdayaan (empowered), dan kemandirian dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya pola konvensional ini menghasilkan dependensi, dominasi dan ketidakberdayaan (powerlessness). Pola pembangunan model ini lebih dikenal dengan istilah modernisasi dengan tekanan pada injeksi (suntikan) kapital dari luar yang diharapkan memberi dampak pada take off untuk selanjutnya akan memberi benefit atau keuntungan pada keseluruhan sistem dengan memberikan fasilitas-fasilitas infrastruktur dan kelembagaan dalam, mengatasi berbagai kendala-kendala (obstades) yang dihadapai dalam proses pembangunan (P. Oakley & D. Masrden, 1990).
11
Strategi pembangunan dengan pola modernisasi ini tidak menganggap kaum marginal dan penduduk miskin yang tidak berdaya yang sering diberi label target groups sebagai sumberdaya dalam proses pembangunan, mereka lebih dilihat sebagai obstade atau kendala dalam proses pembangunan sehingga butuh perhatian dan pertolongan melalui berbagai mass education, mobilisasi massa dan berbagai comunity development yang lain untuk mencapai parameter dan kriteria take off kearah pertumbuhan yang berkelanjutan. Model pembangunan ini tidak menghargai potensi lokal, kepeminpinan lokal, pengetahuan-pengetahuan lokal, inisiatif dan kreativitas lokal, dan berbagai nilai-nilai lokal lainnya, dengan kata lain melihat masyarakat pada satu sisi dengan anggapan bahwa warga masyarakat harus hidup harmonis untuk kepentingan
bangsa.
Dalam
perspektif
yang
sentralistik
ini
menganut
keseragaman dalam pelaksanaan proses pembangunan, selain itu adanya perpecahan
dalam
masyarakat
akibat
benefit
dari
moderenisasi
yang
menimbulkan dampak positif berupa pertumbuhan pada satu sisi dan efek negatif pada sisi lain berupa urbanisasi dan meningkatnya kesenjangan sosial antar sektor, antar wilayah dan antar kelompok dalam masyarakat banyak diabaikan. Publik di tempatkan pada proses pembangunan yang tidak demokratis dan mendorong terciptanya sistem sosial yang integalitarian. Masyarakat miskin diposisikan sebagai penerima secara pasif, partisipasi masyarakat tidak dipahami sebagai peran serta dalam keseluruhan dari tingkat perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi, tetapi partisipasi masyarakat dipahami sebagai dukungan terhadap pelaksanaan yang telah dipaketkan dari atas. Dengan kata, lain
12
partisipasi dipahami sebagai bentuk mobilisasi massa untuk mendukung pelaksanan pembangunan. 1.5.2 Kemiskinan Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia, walaupun seringkali tidak disadari kehadirannya sebagai masalah oleh manusia yang bersangkutan. Menurut Suhardjo (1999), Kemiskinan memiliki dimensi yang kompleks, baik karena sebab alamiah maupun sebagai dampak dari pembangunan. Pakar ekonomi melihat kemiskinan sebagai deficit antara pendapatan dan pengeluaran seseorang atau dalam sebuah keluarga. Menurut Baiquni (2003), Kemiskinan merupakan problem sumberdaya manusia dan ketenagakerjaan. Sumberdaya manusia yang belum berkembang (under development) dicirikan oleh pendidikan rendah, konsumsi gizi rendah, penyediaan fasilitas-fasilitas kehidupan yang belum memadai. Dengan demikian kemampuan untik memproduksi barang dan jasa masih rendah. Kedua dicirikan dengan keterampilan dan kemampuan sumberdaya manusia yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal (under utilization). Sayogyo (1982) membuat criteria garis kemiskinan di perdesaan yang didasarkan atas pendapatan perkapita pertahun setara beras dalam jumlah tertentu. Kemiskinan tersebut dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu miskin, paling miskin dan miskin sekali. Golongan miskin apabila pendapatan perkapita
13
pertahun lebih dari 360 kg beras tetapi kurang dari 480 kg. Golongan paling miskin apabila pendapatan perkapita pertahun setara beras 240 kg atau kurang. Sedangkan golongan miskin sekali apabila pendapatan perkapita pertahun lebih dari 240 kg tetapi kurang dari 360 kg beras. Bank Dunia membuat criteria kemiskinan dengan mengukur pendapatan perkapita pertahun $ 50 untuk penduduk perdesaan dan $ 75 untuk penduduk Perdesaan. Sementara itu World Health Organization (WTO) menentukan criteria kemiskinan dengan jumlah konsumsi pangan pada tingkat 2100 kalori/orang/hari. Indikator nasional dalam menghitung jumlah penduduk miskin ditentukan oleh standar garis kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut BPS (1999) menggambarkan bahwa apabila penduduk dalam pengeluaran tidak mampu memenuhi kecukupan konsumsi makanan setara 2100 kalori/kapita/hari ditambah pemenuhan kebutuhan pokok minimum non makanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan dasar, pendidikan dasar, transportasi dan aneka barang/jasa lainnya maka dapat dikategorikan miskin. Secara singkat kemiskinan dapat didefinisikan sebagai standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
14
Karakteristik dan kriteria yang digunakan untuk mengenali penduduk miskin bervariasi, tetapi umumnya yang dijadikan acuan adalah penguasaan tanah, jenis pekerjaan atau tingkat pendapatan, kondisi kehidupan sehari-hari, dan hubungan dengan anggota masyarakat lainnya. Tabel 1 menunjukkan urutan karakteristik keluarga miskin berdasarkan Kajian Kemiskinan Partisipatoris yang dilakukan oleh Lembaga penelitian SMERU.( Sukarno, et.al, 2004) Pada awalnya faktor penyebab kemiskinan dipandang sebagai persoalan independent yang lebih banyak dipengaruhi oleh sikap individu, aspek budaya, dan pads batas tertentu juga dianggap sebagai ketidakberuntungan seseorang. Sejalan dengan perkembangan pemahaman atas sifat multi dimensi kemiskinan, para ahli ilmu sosial telah mengkaji kompleksitas kemiskinan dan menghasilkan berbagai teori untuk menerangkan mengapa kemiskinan terus terjadi. Hasilnya antara lain menunjukkan bahwa kemiskinan adalah masalah kolektif dan struktural akibat dari kontruksi ekonomi, sosial dan politik yang berkembang atau sengaja dikembangkan pada komunitas masyarakat yang bersangkutan. Akar penyebab kemiskinan tidak bersifat tunggal, melainkan bersifat niultifaktor. Rangkaian hubungan sebab akibat berbagai faktor itu akhirnya berujung pada konsi rendahnya tingkat pendapatan kelompok masyarakat tertentu sehingga menyebabkan mereka menjadi miskin. Secara garis besar, faktor penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh orang miskin sendiri dapat dikelompokkan menjadi, enam kategori, yaitu: ketidakberdayaan, keterkucilan, kekurangan materi, kelemahan fisik, kerentanan, dan sikap atau perilaku.
15
Faktor utama penyebab kemiskinan yang terjadi di perdesaan dan perkotaan tidak sama . Di perdesaan faktor utama yang menyebabkan kemiskinan adalah keterkucilan yang meliputi aspek lokasi, prasarana transportasi, pendidikan dan ketrampilan, kesehatan, dan air bersih. Sedangkan faktor utama penyebab kemiskinan di Perkotaan adalah ketidakberdayaan yang meliputi lapangan pekerjaan, kebijakaan pemerintah, sistem adat, lilitan hutang, tingkat biaya hidup yang tinggi dan keamanan. a.
Ketidakberdayaan Kategori faktor ketidakberdayaan meliputi faktor yang keberadaannya
diluar kendali masyarakat miskin. Antara lain mencakup ketersediaan lapangan kerja, tingkat biaya/harga (baik barang konsumsi sarana produksi, maupun harga jual produksi), kebijakan pemerintah, sistem adat, lilitan hutang, keamanan, dan takdir atau kodrat. Munculnya aspek takdir mungkin mengindikasikan bahwa tingkat kemiskinan yang mereka alami sudah sedemikian rupa sehingga pada akhirnya memunculkan sikap apatis. a.
Kekurangan Materi Aspek penyebab kemiskinan yang termasuk dalam kelompok ini adaiah
kepemilikan atau tidak mempunyai berbagai macam asset, seperti rumah, tanah, modal kerja, warisan, serta rendahnya penghasilan karena upah atau hasil panen rendah. Selain ketidakberdayaan, kelompok faktor ini merupakan penyebab kemiskinan yang dominant. b.
Kelemahan Fisik Kondisi kesehatan, kemampuan bekerja kurang makan dan gizi, dan
16
masalah sanitasi merupakan elemen kelompok faktor kelemahan fisik. Pada umumnya kondisi kesehatan yang buruk dianggap lebih penting sebagai penyebab kemiskinan dibandingkan faktor ketidakmampuan (dalam arti ketrampilan) bekerja. Hal ini mungkin berkaitan dengan jenis pekerjaan masyarakat miskin umumnya yang cenderung termasuk pekerja kasar sehingga membutuhkan kondisi fisik yang prima. c.
Kerentanan Kelompok
faktor
kerentanan
mencerminkan
ketidakstabilan
atau
guncangan yang dapat inenyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan. Di dalamnya. mencakup aspek Fehiutusan Hubungan Kerja (PHK), pekerjaan tidak tetap, masalah dalam produksi, bencana alam, dan musibah keluarga. d.
Sikap atau Perilaku Faktor yang digolongkan dalam kelompok ini berupa kebiasaan buruk atau
sikap yang cenderung menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan atau menghambat kemajuan: Antara lain kurangnya upaya untuk bekerja, tidak bisa mengatur uang atau boros, masalah ketidakharmonisan keluarga, serta kebiasaan berjudi dan mabuk-mabukan. Antara masing-masing faktor penyebab kemiskinan tersebut tidak berdiri sendiri. Satu sama lain saling terkait dan merupakan rangkaian sebab akibat. Oleh karena, itu upaya penanggulangan kemiskinan tidak boleh bersifat parsial, melainkan harus terpadu menurut kondisi spesifik kemiskinan di masing-masing daerah/komunitas.
Meskipun
demikian,
mengingat
adanya
keterbatasan
kemampuan finansial, kapasitas kelembagan pemerintah dan non pemerintah, 17
maka tampaknya tidak memungkinkan untuk menanggulanginya secara bersamaan. Kuncinya adalah pemecahan persoalan menurut Skala prioritas, dan dilakukan secara bertahap namun terarah dan konsisten. 1.5.3. Partisipasi Dan Pemberdayaan Masyarakat a.
Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangat penting secara
substansial. Partisipasi masyarakat akan merangsang masyarakat untuk lebih aktif dan kreatif melaksanakan berbagai pembagunan yang terencana dan terarah terutama untuk meningkatkan pendapatan (income-generating), penciptaan lapangan pekerjaan (employment-generating) dan. peningkatan kesejahteraan hidup. Pendekatan partisipatoris dinilai esensial minimal dengan dua alasan: 1. Menguatkan civil society dan ekonomi melalui pemberdayaan kelompok,
komunitas, organisasi untuk bernegosiasi dengan institusi dan birokrasi dalam memperingati kebijakan publik dan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah. 2. Meningkatkan
efisiensi,
efektifitas
dan
menjaga
kesinambungan
pembangunan (OFCD, 1995). Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dianggap penting tidak saja secara substansial, karena secara empiris dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu proyek pembangunan. Karena itu membicarakan tentang partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan menjadi esensial. Seperti yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyatakan: "Berhasilnya pelaksanaan penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-
18
cita bangsa, tergantung pada peran aktif masyarakat serta pada sikap mental, tekad, semangat serta ketaatan dan disiplin para penyelenggara kemasyarakatan dan lembaga kemasyarakatan lainnya perlu menyusun menurut fungsi dan kemampuan masingmasing dalam GBHN (GBDN, 1999: Bab VI). " Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan sebagai wujud dari pendekatan demokratisasi memiliki fungsi yang vital karena secara substansial menentukan keberhasilan atau gagalnya proyek pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Banyak literatur yang melihat partisipasi sebagai missing ingredient (sesuatu yang terlupakan) dalam proses pembangunan dalam usaha pemberdayaan masyarakat
meskipun
memiliki
peran
substansial
dalam
implementasi
pembangunan. Hal inilah yang menyebabkan berbagai pembangunan dalam usaha pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat miskin tidak signifikan dan belum mencapai hasil optimal. b.
Arti Penting Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Jargon tentang partisipasi aktif dari segenap lapisan masyarakat dalam
proses pembangunan meluas dan merata, baik dalam memikul beban pembangunan dan menikmati hasil yang dicapai, mensyaratkan adanya kemauan politik (political will) pemerintah untuk melaksanakan perencanaan dari masyarakat bawah atau partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan masyarakat khususnya kaum marginal (masyarakat miskin). Untuk itu perlu diciptakan kondisi yang kondusif ditengah-tengah kehidupan masyarakat sehingga terwujud kreativitas di kalangan masyarakat lugs.
19
Berbagai pembangunan dalam usaha pemberdayaan masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa adanya partisipasi masyarakat secara aktif dalam setiap pembangunan. Keith Davis (Sastroputro, 1998) menyatakan Partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional dalam situasi kelompok yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta, turut berusaha bertanggung jawab terhadap usaha bersangkutan. Asumsi yang terkandung dalam pengertian partisipasi masyarakat adalah perhatian tentang perlunya masyarakat marginal (masyarakat miskin) dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang kebijakan pembangunan, memberikan akses pada aset-aset produktif dan vital dalam menikmati hasil-hasil pembangunan. Partisipasi merupakan proses multidimensi yang berbeda antar wilayah yang satu dengan yang lain dalam merespon kebutuhan yang ada, sehingga bukan hanya satu cara dalam melihat dan menginterpretasi dalam pelaksanaannya. Ada beberapa cara untuk melihat dan menginterpretasikan partisipasi masyarakat. Partisipasi kadang diartikan sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam pembangunan (top-down intervention), perspektif ini melihat partisipasi sebagai bentuk mobilisasi massa, intervensi pemerintah dalam segala hal mulai dari proses perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi sehingga partisipasi lebih merupakan coercion dalam pembangunan atau pendekatan blue print pembangunan yang menghasilkan dampak yang kurang optimal.
20
Konversinya adalah partisipasi sebagai hasil dari pendekatan bottom-up intervention yang memiliki karakter orisinil yang berfokus pada distribusi wewenang dan kekuasaan, sehingga partisipasi masyarakat dilihat sebagai disrtibusi atau sharing atas kesempatan dan peluang untuk turut campur dalam membuat kebijakan sebagai kontribusi dalam rangka menikmati hasil-hasil pembagunan. Partisipasi ttvasyarakat dalam pembangunan sebagai sebuah proses empowering (pemberdayaan masyarakat) mengandung interpretasi "achieving power" dalam kontek access to, control of, terhadap sumber–sumber vital kehidupan, pengertian ini mengandung tiga unsur utama, yaitu: kekuasaan pada sumber-sumber penting, kebebasan mengatur hidup dan meningkatkan taraf hidup dan membuat peluang dari bawah/partisipasi masyarakat kecil (Oakley. P & Marsden. D., 1984). Kesimpulan yang dapat diambil dari partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan sebagai suatu upaya pemberdayaan masyarakat adalah partisipasi masyarakat memiliki arti yang penting dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu pembangunan karena partisipasi yang aktif dari warga masyarakat memiliki peran esensial paling tidak dengan alasan menguatkan masyarakat sipil dan perekonomian dengan memberdayakan kelompok atau komunitas miskin dan organisasi-organisasi masyarakat, untuk melakukan negosiasi dengan institusi dan birokrasi pemerintah yang menentukan kebijakan publik, koreksi atas kekuasaan pemerintah.
21
Partisipasi masyarakat dapat juga meningkatkan efisiensi, efektifitas dan keberlangsungan (sustainability) pembangunan dalam usaha untuk memberdayaan masyarakat miskin. c.
Pendekatan Partisipatoris Dalam Pembangunan Strategi pembangunan kedepan harus bertumpu pada people centred
development (pembangunan manusia) dengan pendekatan partisipasi masyarakat yang bertujuan untuk usaha pemberdayaan masyarakat atau liberasi (pembebasan masyarakat dari kendala struktural politik untuk mendapat akses pada aset produktif). Masyarakat terbebas dari kendala-kendala struktural untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan yang lebih demokratis dengan diberikannya, kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pembangunan. Partisipasi masyarakat tidak lagi dipahami sebagai keikutsertaan warga masyarakat dalam implementasi pembangunan semata (mobilisasi massa), partisipasi harus dipahami sebagai suatu proses pemberdayaan (empowerment) dan pembebasan (liberasi), subordinasi serta koordinasi penguasa dengan memberikan ruang politik yang lebih luas dengan keterlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan sejak dari perencanaan, implementasi, pengendalian dan evaluasi serta pemeliharaan hasil pembangunan. Masyarakat tidak hanya obyek tetapi sebagai subyek dalam proses pemberdayaan dan pembebasan atau liberasi diri mereka sendiri, melalui organisasi-organisasi massa, non govermental organisation (NGO), sebagai sarana akses pada ruang politik dan sumberdaya material untuk membangun kemandirian (self-help).
22
D.Curris menyatatan partisipasi dalam arti pemberdayaan masyarakat sebagai proses distribusi kekuasaan yang akan dijadikan kelompok masyarakat untuk menentukan kebutuhan yang mereka perlukan, distribusi kekuasaan itu dalam arti akses pada sumberdaya pembangunan Strategi sentralistik dengan asumsi trikele-down effect sudah waktunya ditinggalkan dan diganti dengan pola desentralisasi dengan pendekatan pembangunan yang berbasis partisipasi masyarakat dalam usaha pemberdayaan masyarakat menuju terciptanya cita-cita masyarakat mandiri dan berdaya (empowered). Hal ini membawa implikasi pada distribusi kekuasaan dan sumberdaya dari penguasa kepada masyarakat. d. Partisipasi Masyarakat Berbasis Pembangunan Manusia (People Centred Development) Dengan hanya mereformasi bidang ekonomi atau sekedar meluncurkan berbagai program pembangunan dalam rangka pengentasan kemiskinan untuk menciptakan masyarakat yang berdaya (empowered), mandiri (self reliance) sangat jauh dari harapan terbentuknya masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial. Pemerintah memerlukan reformasi kebijakan ekonomi politik yang lebih memihak pada kepentingan masyarakat luas. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak disertai dengan pemerataan hanya akan menciptakan kesenjangan dan ketimpangan sosial yang akan menciptakan gap dan dikotomis kaya-miskin, the ruler-the ruled, konglomerat-kaum melarat. Selain itu pertumbuhan yang tidak merata menyebabkan kesenjangan sektoral dan regional, hal ini bila tidak segera dicari solusi yang komprehensif akan dapat menciptakan kecemburuan sosial dan keresahan dalam masyarakat akibat
23
terganggunya rasa keadilan sosial yang dapat menimbulkan aksi-aksi destruktif berupa tindak kriminal, kerusuhan, chaos atau tuntutan pergantian rezim penguasa (suksesi kepemimpinan) serta dampak yang paling buruk adalah revolusi sosial. Karena itu diperlukan pendekatan pembangunan yang lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, redistribusi pendapatan yang lebih merata, partisipasi masyarakat, untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain perlunya re-orientasi strategi pembangunan yang berpusat pada manusia pembangunan (people centred development), yang mensyaratkan adanya pemihakan dan upaya pemberdayaan pada masyarakat luas. Mahbub UI Haq (Cumia, 1998), menyatakan tujuan dasar pembangunan adalah memperbesar spektrum pilihan manusia. Manusia pada dasarnya punya pilihan-pilihan tidak terbatas dan terns berubah. Manusia wring menghargai raihan-raihan
yang
tidak
tampak
dalam
angka-angka
pendapatan
dan
pertumbuhan ekonomi, akses yang lebih besar pada pengetahuan, nutrisi, jasa kesehatan, kehidupan yang terjamin, jaminan keamanan, pemanfaatan waktu senggang, kebebasan politik dan budaya serta kegiatan kemasyarakatan yang lain. Selanjutnya UI haq (Curnia, 1998) melihat ada empat komponen utama dalam People centred development yaitu pemerataan (equity), pembangunan berkelanjutan (sustainability), produktifitas (productivity) dan pemberdayaan (empowerment). Keempat komponen itu membedakan dengan model-model pertumbuhan ekonomi konvensional.
24
(i)
Pemerataan (Equity) Pemerataan atau kesetaraan diperlukan untuk memungkinkan semua
anggota masyarakat mempunyai akses yang sama ke berbagai kesempatan untuk memperoleh pilihan-pilihan mereka, ketiadaan pemerataan akan mengurangi hakhak bagi warga umuk membuat dan menentukan pilihan. Pemerataan harus dilihat sebagai hal wajar dalam pemanfaatan kesempatan, sesuai kehendak dan permasalahan masing masing, tidak mesti menjurus pads pilihan yang sama. (ii)
Keberlanjutan (Sustainability) Prinsip utama pembangunan berkelanjutan adalah generasi sekarang harus
memenuhi kebutuhan hidup tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Pembangunan merupakan suatu proses, dalam proses itu tedadi eksploitasi sumberdaya alam, tujuan investasi, perubahan institusional dan pengembangan teknologi yang harus berkembang secara serasi dan memperbesar potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Dengan kata lain esensi pembangunan berkelanjutan adalah memberikan akses yang sama terhadap pembangunan untuk masa kini dan masa depan. (iii)
Produktifitas (Productivity) Suatu bagian penting dalam paradigms pembangunan manusia (people
centred dervelopement) adalah produktifitas yang optimal melalui investasi pada manusia (human investment) dan pengembangan makro ekonomi yang memungkinkan manusia meraih potensi optimalnya. Oleh karena itu pertumbuhan
25
ekonomi tetap penting dalam pembangunan manusia, tapi harus diperlakukan sebagai bagian dari pembangunan manusia disamping pemerataan, keberlanjutan, produktifitas dan pemberdayaan. (iv) Pemberdayaan (Empowerment) Pembangunan manusia (people centred development) bertujuan untuk membangun dan memberdayakan manusia seutuhnya. Sebagai suatu konsep yang konprehensif. Pemberdayaan (empowerment) mengandung arti manusia bebas menentukan pilihan-pilihannya sendiri. Secara social politik pemberdayaan berarti Negara memungkinkan warganya menentukan putusan-putusan tentang hidupnya secara demokratis tanpa paksaan dari luar. Secara ekonomis pemberdayaan berarti system ekonomi yang terbuka yang memungkinkan masyarakat membuat pilihanpilihan yang bebas dengan pengendalian dan peraturan yang seperlunya (demokrasi ekonomi). Pemberdayaan berarti desentralisasi kekuasaan sehingga governance (wewenang) yang sebenarnya dimiliki oleh setiap warga dalam kadar yang sama. Dalam
rangka
peningkatan
partisipasi
masyarakat
dalam
proses
pembangunan untuk menciptakan masyarakat yang berdaya (empowere). Ross (Tampubolon, 2001) mengemukakan tiga pola pendekatan pemberdayaan masyarakat yaitu: (a) The Single Function Approach Pola pendekatan pemberdayaan masyarakat model the single function approach yaitu suatu teknik pembangunan keseluruhannya ditanamkan oleh agen
26
pembangunan dari luar masyarakat. Kelemahan pola ini bersifat sentralistik selain menyebabkan masyarakat tergantung pada pihak luar sehingga prakarsa masyarakat menjadi tidak berkembang. (b) The Multiple Approach Pendekatan pembangunan dengan model the multiple approach dengan sebuah tim ahli dari luar melaksanakan berbagai pelayanan untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, pola ini juga tidak mendidik masyarakat untuk mengambil prakarsa dalam memberdayakan diri mereka sendiri sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimum, hal ini disebabkan karena ketergantungan tim ahli yang datang dari luar (c) The Inner Resource Approach Pendekatan ini dinilai paling efektif untuk memberdayakan masyarakat, pola ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu mengidentifikasi kebutuhan mereka dan bekerja secara kooperatif dengan pemerintah serta badan-badan lain untuk mencapai tujuan mereka. Pola ini mendidik masyarakat untuk concern dengan pemenuhan dan pemecahan masalah dengan menggunakan potensi mereka. Pendekatan yang dipakai dalam penanggulangan kemiskinan harus dilandasi suatu premis bahwa orang miskin merupakan aktor utama dalam perang, upaya penaggulangan kemiskinan harus dimulai dengan kemiskinan karena mendorong kaum miskin untuk memperbaiki nasibnya sendiri (self-help), sehingga berbagai upaya dalam penaggulangan kemiskinan bersifat suplemen dan
27
komplementer. Mubyarto (1994), mengemukakan bahwa orang miskin harus diberdayakan, dibangun dari ketidakberdayaannya dan kata kunci dari mereka adalah: keberdayaan, keswadayaan dan. kemandirian. Oleh karena itu setiap pembangunan harus memperhatikan unsur-unsur pemberdayaan. M.
Musiyam
(1998),
menyatakan
pokok-pokok
pikiran
dalam
pemberdayaan adalah sebagai berikut: 1. Fokus utama pembangunan adalah memperkuat kemampuan rakyat
miskin dalam mengarahkan dan mengatasi aset-aset yang ada pada masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 2. Mengakui adanya toleransi yang besar terhadap adanya variasi, baik
antara aktor yang terlibat maupun variasi potensi dan permasalahan lokal. 3. Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan melalui teknik pembelajaran
sosial (sosial learning) yaitu, proses interaksi sosial antara anggota masyarakat dengan lembaga-lembaga yang ada dengan tujuan mengembangkan
kemampuan
mereka
melalui
kegiatan-kegiatan
pemecahan masalah (problem solving) secara langsung. Pemberdayaan masyarakat (empowerment) adalah persoalan esensial dalam pembangunan. Pemberdayaan dapat dicapai apabila organisasi-organisasi sebagai wadah partisipasi masyarakat didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis. Adanya penguatan inisiatif untuk dapat bernegosiasi dengan pihak yang lebih berkuasa dan kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan pembangunan pada berbagai level dan kemampuan mengakses terhadap sumber daya dan institusi oleh
28
kelompok marginalized dan low-income population (masyarakat miskin) yang berada di pedesaan atau masyarakat kota yang kumuh (slum), adalah pertanda menguatnya keberdayaan masyarakat miskin. 1.5.4 Evaluasi Program Pengertian evaluasi dalam perencanaan sangat bervariasi, Rakadi (1980) dalam Konyers dan Hills (1984) menyebutkan beberapa pengertian evaluasi, seperti tersebut dibawah % ini : 1.
Evaluasi adalah suatu penilaian dari suatu rencana/pelaksanaan program pada suatu periode selama tahap pelaksanaan, ini disebutkan sebagai On-going evaluation.
2.
Evaluasi adalah penilaian dari suatu rencana/pelaksanaan program, setelah dilaksinakan untuk beberapa waktu, ini disebutkan sebagai Expost evaluation.
3.
Evaluasi merupakan kegiatan untuk mendefinisikan seberapa besar obyek yang telah dan akan dijangkau, unpack pada target group dan beberapa konsekuensinya pada masing-masing yang akan datang.
Bank Dunia dalam Gittinger (1990) mengenalkan adanya enam analisa aspek untuk kelayakan proyek yaitu : 1. Aspek teknis dari suatu proyek berhubungan dengan masalah input dan output barang-barang dan jasa. Pada hakekatnya analisa ini merupakan analisa mekanis walaupun semua aspek dari teknologi yang digunakan pads proyek yang bersangkutan juga harus diperhitungkan.
29
2. Aspek manajerial dan administrasi menyangkut kemampuan staf
proyek untuk menjalankan administrasi aktifitas dalam ukuran besar, keahlian manajemen hanya dapat dievaluasi secara subyektif. 3. Aspek organisasi, perhatiannya terutama ditujukan pada hubungan
antara administrasi proyek dengan bagian administrasi pemerintah lainnya dan untuk melihat apakah hubungan antara masing-masing wewenang dan tanggung jawab dapat diketahui dengan jelas. 4. Aspek komersial menyangkut penawaran input yang diperlukan
proyek, baik waktu membangun proyek maupun pada waktu proyek sudah berproduksi, dan menganalisa pemasaran output yang akan diproduksi oleh proyek. 5. Aspek finansial menyangkut terutama perbandingan antara pengeluaran
uang dengan atau revenue earning (keuntungan pendapatan) dari proyek, apakah proyek itu akan terjamin dananya yang diperlukan, apakah proyek akan mampu membayar kembali dana tersebut dan apakah proyek itu akan berkembang sedemikian rupa sehingga secara finansial dapat berdiri sendiri. 6. Aspek ekonomis diperhatikan dalam rangka menentukan apakah
proyek itu akan memberi sumbangan atau mempunyai peranan yang positif
dalam pembangunan
ekonomi
seluruhnya
dan
apakah
peranannya itu cukup besar untuk meratakan penggunan sumbersumber langka yag dibutuhkan.
30
Sementara itu Curtis dan Watson (1982) dalam Conyers dan Hills (1984) menyatakan: evaluasi digunakan untuk mengetahui dari suatu pelaksanaan, sehingga apa yang direncanakan untuk masa yang akan datang lebih baik daripada yang telah berjalan sekarang. Dari pengertian diatas, maka dapat diketahui bahwa evaluasi merupakan pekerjaan yang komplek. Dalam pelaksanaannya evaluasi dapat dikerjakan oleh dua pihak yang berbeda yaitu: 1. Secara internal, evaluasi cara ini dilakukn sendiri oleh pihak pengelola,
keuntungan dari evaluasi ini adalah lebih murah, karena dilaksanakan oleh pihak pengelola, dan dapat sesuai dengan perencanaan yang sebenarnya, karena pihak pengelola memiliki pengetahuan tentang pekedaan secara nyata dan baik. Tetapi kelemahannya adalah ada kemungkinan pihak pengelola menyembunyikan kesalahan pelaksanaan dan kemungkinan mereka tidak memiliki perbedaan pengalaman. 2. Secara Asternal, evaluasi cara ini dilakukan oleh pihak luar.
Keuntungan dari evaluasi ini adalah lebih obyektif dan memungkinkan mendapat ide barn, karena dengan adanya perbedaan pandangan, namun
demikian
kelemahannya
lebih
mahal,
lambat
dan
memungkinkan terdapat kesalahan karena pihak pengelola mungkin tidak memberikan semua informasi secara lengkap pada si evaluator, hal ini disebabkan si evaluator tidak berkaitan secara langsung dengan program, rencana/proyek maka memungkinkan terjadinya kesalahan dalam memterjemahkan masalah. 31
Sterkenburg mendefinisikan evaluasi sebagai kegiatan yang berkenaan dengan prosedur dan kegiatan yang ditujukan pada pengontrolan proses perencanaan dan menilai apakah proses tersebut berjalan sesuai dengan rencana dan apakah tujuan telah tercapai. Curtis dan Watson (1983) dalam Konyers dan Hills mengusulkan 4 macam studi yang masuk dalam pekerjaan evaluasi, yaitu: 1. Menilai suatu pelaksanaan, disini memberikan secara formal pada
besarnya pelaksanaan dari suatu program /proyek. 2. Analisa dampak, untuk mengetahui seberapa besar kesuksesan
program dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan. 3. Mengadakan penaksiran, untuk mengetahui bagaimana sebaiknya
komponen program agar sesuai dengan kebutuhan dan unit yang menjadi target group. 4. Evaluasi institusional, meliputi penilaian kebaikan institusi yang
terkait dalam proyek ini. Dengan berdasar teori diatas maka menurut pihak yang melakukan evaluasi dalam penelitian ini dilakukan oleh pihak luar atau evaluasi ekternal yang mana dapat bersifat obyektif. Menurut waktunya maka penelitian ini termasuk On-going evaluation karena proyek yang di evaluasi saat ini masih berlangsung. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Awan Santosa, Dadit G. Hidayat dan puthut Indroyono yang berjudul Penanggulangan Kemiskinan Berorientasi di Yogyakarta dengan menggunakan metode survey diperoleh hasil bahwa dengan adanya program-program tersebut berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat 32
yang terkena program, mampu menurunkan jumlah masyarakat miskin, menunjukkan nilai efektifitas program yang tinggi, dan kelangsungan dana yang cukup baik. Tabel 1.1. Telaah pustaka penelitian sebelumnya No
Judul
Tujuan
1
Raffli Noor
1.Statistik 1. Mengidentifikasi deskriptif karakteristik sosial ekonomi penduduk di 2.Tabulasi Silang. Desa mekarmukti 3. Korelasi 2. Mengetahui persepsi masyarakat Desa 4.T‐Test Mekarmukti terhadap ampak pembangunan Kota Jababeka.
Evaluasi pemenuhan harapan masyarakat Desa Mekarmukti terhadap pembangunan Kota Baru Jababeka
Metode
Variabel 1.Karakteristik penduduk ( umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekeraan okok, pendapata, pekerjaan sampingan) 2.Dampak Pembangunan Kota Jababeka
Lingkungan fisik
Lingkunan sosial
Skor pesepsi
Skor harapan
3.Harapan Masyarakat 2
Alfiah Rahmawati Evaluasi Pelaksanaan Program Kredit Mikro SPP PNPM MP Di Desa Girimargo Kecamatan Miri kabupaten Sragen
1. Mengetahui pelaksanaan program SPP PNPM Mandiri di Desa Girimargo Kecamatan Miri Kabupaten Sragen. 2. Mengetahui proses penyaluran dana Program Kredit mikro SPP PNPM mandiri keseluruh wilayah Desa Girimargo kecamatan Miri.
Hasil 1. Karakteristik sosial ekonomi pendudukDesa Mekarmukti 2. Deskripsi pengetauan dan persepsi masyarakat Desa Mekamukti tehadap pembangunan Kota Jababeka 3. Evaluasi pemenuhan harapan masyarakat Desa Mekarmukti terhadap pembangunan Kota Jababeka
1. Uji Beda
1. Pelaksanaan 1.Komposisi program SPP PNPM responden menurut 2. Tabulasi silang Mandiri di Desa umur, jenis 3. Statistik pekerjaan Girimargo Deskriptif Kecamatan Miri responden, Kabupaten Sragen pendapatan sebelum program, 2. Proses penyaluran pendapatan pasca dana Program Kredit program, tinkat mikro SPP PNPM pinjaman. mandiri keseluruh 2.Proses penyaluran wilayah Desa dana program Girimargo
33
3. Mengetahui pengaruh Program SPP PNPM Mandiri terhadap peningkatan pendapatan pemanfaat program di desa Girimargo Kecamatan Miri Kabupaten Sragen.
kecamatan Miri. Jangkauan 3. Pengaruh Program wilayah SPP PNPM Mandiri program terhadap per alamat peningkatan responden pendapatan Besaran pemanfaat program dana program
3. Pengaruh program
Besar peningkatan pendapatan
1.6
Kerangka Pemikiran Berawal dari permasalahan yang ada di daerah penelitian, kemiskinan,
ketidakberdayaan, kekurangan materi, kerentanan fisik kemudian sikap dan perilaku masyarakat yang buruk yang berakibat menurunnya kesejahteraan masyarakat,
sehingga
pemerintah
mencanangkan
lahirnya
program
penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan yang disebut dengan PNPM Maniri Perdesaan. Telah banyak upaya penanggulangan kemiskinan di Perdesaan yang dilakukan oleh pemerintah. Tetapi keberdayaan, kesejahteraan, dan kemandirian masyarakat miskin belum tercipta. Hal ini dimungkinkan terjadi selain karena jerat kemiskinan yang meliputi ketidakberdayaan, keterkucilan, kekurangan materi, kelemahan fisik, kerentanan,sikap dan perilaku juga karena pemerintah menganggap masyarakat hanya sebagai penerima berbagai program pembangunan, pemerintah melupakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan
34
kunci sukses berbagai program pembangunan dalam pengentasan kemiskinan. Untuk itu perlu diciptakan kondisi yang kondusif ditengah-tengah kehidupan masyarakat sehingga terwujud kreativitas di kalangan masyarakat luas. Berbagai pembangunan dalam usaha pemberdayaan masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa adanya partisipasi masyarakat secara aktif dalam setiap pembangunan. Pembangunan ke depan harus menempatkan masyarakat selain sebagai obyek juga harus menempatkan mereka sebagai subyek pembangunan. Begitu juga PNPM Mandiri Perdesaan tersebut, selain sebagai pelaku, masyarakat khususnya RTM ke bwah merupakan subyek. Sehingga dengan proses pembangunan tersebut pemberdayaan masyarakat dapat terbentuk. Pendekatan yang dipakai dalam penanggulangan kemiskinan harus dilandasi suatu premis bahwa orang miskin merupakan aktor utama dalam perang kemiskinan, karenanya upaya penaggulangan kemiskinan harus dimulai dengan mendorong kaum miskin untuk memperbaiki nasibnya sendiri (self-help). Salah satu dari program PNPM Mandiri adalah Kredit Mikro SPP, (dana bergulir ), dimana sumber dana proyek ini adalah dari Bank Dunia yang diwakatkan
pemerintah
untuk
masyarakat.
Sehingga
pengelolaannya
dipercayakan ke organisasi masyarakat yang dibentuk secara demokratis, transparan dan tanggunggugat ke masyarakat yang secara generik disebut UPK (Unit Pengelola Kegatan), di mana dalam pengelolaannya dibawah naungan BKAD ( Badan Koordinator Antar Desa) yang dipilih bersama dalam Forum yang dinamakan Musyawarah Antar Desa (MAD).
35
Maka dari ilustrasi tersebut dapat digambarkan dalam kerangka diagram pemikiran peneilitian sebagai berikut :
Kemiskinan
Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulanga Kemiskinan
PNPM Mandiri
Kredit Mikro SPP
BKAD
UPK
Kelompok SPP
Pemanfaat Kredit
Evaluasi Pemanfaatan Kredit
-
On Going Evaluation
Peningkatan pendapatan Efisiensi penyaluran program Kelangsungan dana
Kerangka Pemikiran
36
Kegiatan dari evaluasi terdiri dari input peserta program Kredit Mikro SPP, proses dari output. Prosesnya meliputi peminjaman, pemanfaatan dan pengembalian Kredit Mikro. Sedangkan outputnya merupakan hasil yang dicapai dalam kegiatan input dan proses yang meliputi pendapatan, kemandirian dan keberlanjutan.
37