BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Lembaga kenotariatan telah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda. Hal ini dibuktikan dengan catatan sejarah yang termuat dalam beberapa buku saat ini. Di Indonesia peraturan mengenai notaris dicantumkan dalam “Reglement op het Notarisambt” (Stb. 1860 No.3) dan yang pertama kali diangkat sebagai notaris ialah Melchior Kerchem, sekertaris dari College Van Schepenen pada tanggal 27 Agustus 1620.1 Keberadaan lembaga kenotariatan sendiri tentunya tidak terlepas dari kegiatan yang terjadi sehari-hari di lingkungan masyarakat, sehingga menimbulkan suatu kebutuhan akan jasa notaris, dalam hal untuk mengakomodir kepentingan dari masyarakat itu sendiri. Pada jaman penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia umumnya menggunakan jasa lurah atau perangkat desa lainnya, dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti jual beli tanah, rumah dan sebagainya atau transaksi lain seperti sewa-menyewa tanah, sawah, dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa penting lainnya seperti pembagian warisan, dan pengangkatan anak. “Banyak peristiwa-peristiwa yang bersifat perjanjian (transaksi) yang dimintakan persaksian dan pengesahan dari lurah, dapat dilihat bahwa dalam hal-hal demikian itu, lurah sesungguhnya berfungsi sebagai notaris. Di dalam masyarakat Indonesia yang diliputi oleh adat kebiasaan, peristiwa-peristiwa yang penting dibuktikan 1
Lihat R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan, Rajawali Pers, Yogyakarta, hlm 22.
dengan persaksian dari beberapa orang saksi. Biasanya yang menjadi saksi-saksi hidup untuk peristiwa-peristiwa itu ialah tetangga-tetangga, teman-teman sekampung atau perabot (pegawai) desa. Sesungguhnya di dalam persaksian dengan mempergunakan saksi hidup terdapat kelemahan-kelemahan. Apabila suatu peristiwa harus dibuktikan kebenarannya, karena terjadi sengketa antara pihak yang berkepentingan, maka saksi-saksi hidup itulah yang akan memberikan kebenarannya dengan memberikan kesaksiannya. Selama mereka masih hidup pada waktu sesuatu peristiwa itu harus dibuktikan kebenarannya, maka tidak akan timbul kesukaran, tetapi apabila saksi-saksi ini sudah tidak ada lagi, baik karena meninggal dunia atau sudah pindah ke tempat lain yang jauh dan tidak diketahui alamat tempat tinggalnya, maka akan timbul kesukaran tentang pembuktiannya. Hal yang demikian mulai disadari oleh orang-orang yang berkepentingan dan orang sudah mulai mencari peneguhan dari suatu peristiwa penting dengan mencatatnya dalam suatu surat (dokumen) dan ditandatangani oleh orang-orang yang berkepentingan dan dua orang saksi atau lebih. Apabila yang bersangkutan tidak cakap menulis, sehingga tidak dapat menaruh tanda tangannya, maka biasanya digunakan cap jempol sebagai tanda tangan. Orang sudah mulai menyadari bahwa bukti tertulis merupakan alat pembuktian yang penting dalam lalu lintas hukum”.2 Kebutuhan masyarakat di atas yang mendorong terbentuknya lembaga kenotariatan sebagai awal munculnya profesi notaris itu sendiri. Hal ini tercantum di dalam Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860 No.3) yang merupakan peraturan yang digunakan jauh sebelum diundangkannya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Isi dari Peraturan Jabatan Notaris tersebut adalah sebagai berikut. “Notaris adalah Pejabat Umum (openbaar ambtenaar) khusus (salah satunya yang) berwenang untuk membuat akta-akta tentang segala tindakan, perjanjian dan keputusan-keputusan yang oleh perundang-undangan umum diwajibkan, atau para yang bersangkutan menghendaki supaya dinyatakan dalam surat otentik, menetapkan tanggalnya, menyimpan akta-akta dan mengeluarkan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga diwajibkan kepada penjabat-penjabat lain atau khusus menjadi kewajibannya.”3
2 3
Ibid., hlm. 5 Ibid., hlm. 8
Definisi Notaris pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 disebutkan “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.4 Berdasarkan definisi notaris tersebut, dapat di lihat bahwa, notaris adalah pejabat negara kepanjangan tangan pemerintah. Dalam hal ini, notaris diberikan wewenang dan tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan oleh negara kepadanya. Instruksi mengenai tugas dan wewenang Melchior Kerchem, ketika resmi diangkat sebagai notaris pertama di Indonesia, dicantumkan dalam surat pengangkatannya. Isi surat secara singkat menyebutkan, yang bersangkutan ditugaskan menjabat jabatan notaris Notarius Publicus dalam wilayah kota Jakarta, dan untuk kepentingan publik di wilayah itu membuat akta-akta, suratsurat dan lain-lainnya serta mengeluarkan salinan-salinannya. Lima tahun kemudian sesudah jabatan notarius publicus dipisahkan dari Sekretaris Pengadilan, maka pada tanggal 16 Juni 1625 ditetapkanlah “Instruksi untuk para notaris” yang pertama di Indonesia (Hindia Belanda). Instruksi ini hanya terdiri dari sepuluh pasal, antara lain menetapkan bahwa notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan.5
4
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014, Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2014 dan Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 5491 tentang Jabatan Notaris. 5 R. Soegondo Notodisoerjo, op.cit., hlm. 23
Eksistensi notaris pada waktu pertama dilahirkan saja sudah cukup menjelaskan kewajiban, wewenang, serta tanggung jawab notaris. Hal ini dibuktikan dengan, kewajiban notaris merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya. Merahasiakan segala sesuatu berarti, notaris wajib untuk tidak memberikan komentar maupun keterangan yang berkaitan dengan akta yang telah dibuatnya, karena hal yang demikian diperintahkan oleh undang-undang untuk dipatuhi oleh notaris itu sendiri. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Pasal 16 ayat (1) huruf (f) menyebutkan “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.” Profesi notaris merupakan profesi yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap profesinya, namun bertanggung jawab pula terhadap diri notaris sendiri. Profesional adalah pertanggungjawaban kepada diri sendiri dan kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri berarti, seorang profesional bekerja karena integritas moral, intelektual, dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya, ketika seorang profesional memberikan pelayanan, selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka.6 Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Pasal 16 ayat (1) huruf (f) menjelaskan bahwa, notaris wajib untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai
6
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hlm 28.
akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh, guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. Ketentuan ini juga biasa disebut dengan kewajiban ingkar notaris. Di dalam pelaksanaan kewajban ingkar, masih ditemukan hambatan khususnya bagi notaris untuk menggunakan kewajiban ingkar ini. Hambatan ini tentunya akan sangat mengganggu pelaksanaan tugas dan jabatan notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan pada uraian yang penulis sampaikan dalam latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan pokok masalah yang akan dibahas dan dikembangkan lebih lanjut dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Apakah kewajiban ingkar notaris yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris dapat memberikan perlindungan hukum bagi notaris? 2. Bagaimana akibat hukum di lihat dari aspek hukum perdata apabila kewajiban ingkar itu tidak digunakan?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka secara keseluruhan tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kewajiban ingkar notaris yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris dapat memberikan perlindungan hukum bagi notaris. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dilihat dari aspek hukum perdata apabila kewajiban ingkar itu tidak digunakan.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Segi praktis, khususnya untuk notaris, dalam melaksanakan jabatan dan kewenangannya senantiasa berpegang teguh pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, agar lebih memahami hak dan kewajibannya, terutama yang berhubungan dengan kewajiban ingkar ini. Harapannya, notaris dapat memahami sampai sebatas mana dia dapat berbicara, dengan tidak mengurangi apa yang telah diperintahkan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris, dan umumnya, baik
aparat kepolisan maupun masyarakat, dapat mengetahui sejauh mana notaris dapat bertanggung jawab atas akta yang dibuatnya, agar tidak terjadi kesalahpahaman. 2. Segi teoritis, bagi akademis penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoritis, berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang kajian ilmu kenotariatan.
E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kewajiban ingkar notaris dalam pelaksanaan tugas dan jabatan sebagai pejabat umum, sepanjang pengetahuan penulis melalui bacaan pustaka, belum pernah ada sebelumnya. Penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian dan karya-karya ilmiah telah dilakukan, dan telah ditemukan berbagai hasil penelitian yang membahas permasalahan serupa tetapi tidak ditemukan hasil penelitian lain yang secara spesifik. Dari penelitian kepustakaan, penulis menemukan hasil penelitian yang dianggap memiliki kemiripan yakni: 1. Tesis “Penggunaan Hak Ingkar oleh Notaris sebagai Saksi dalam Perkara Pidana (studi kasus putusan No. 106/PID.B/2009/PN/PLR)” oleh Hadli7, dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana penggunaan hak ingkar atas akta yang dibuat oleh Notaris dalam perkara pidana?
7
Hadli, 2012, Penggunaan Hak Ingkar Oleh Notaris Sebagai Saksi Dalam Perkara Pidana (Studi Kasus Putusan No. 106/Pid.B/2009/PN/PI.R di Palangka Raya), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
b. Bagaimana peran Majelis Pengawas Daerah (MPD) terhadap Notaris dalam perkara pidana? Kesimpulan dari peneliti ini adalah penggunaan hak ingkar notaris dalam perkara ini tidak dibenarkan karena Majelis Pengawas Daerah (MPD) tidak dilibatkan selama pemeriksaan notaris yang bersangkutan, yang dimaksud Pasal 16 ayat (1) huruf f tentang kewajiban merahasiakan akta hanya berlaku pada perkara perdata, tidak untuk perkara pidana. Perbedaan pokok penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah bahwa fokus dari penelitian ini adalah untuk meneliti secara khusus kewajiban ingkar notaris dapat memberikan perlindungan hukum bagi notaris dan akibat hukum
jika
kewajiban ingkar itu tidak digunakan dilihat dari aspek hukum perdata, sedangkan penelitian di atas meneliti tentang penggunaan hak ingkar yang dibuat oleh Notaris dalam perkara pidana dan peran Majelis Pengawas Daerah terhadap Notaris yang bersangkutan dalam perkara pidana. 2. Tesis “Penggunaan Hak Diam dalam Pemeriksaan atas Akta yang dibuat Notaris” oleh M. Sulaeman Ridho8 (2014). dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah pelaksanaan hak diam notaris berdasarkan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris?
8
M. Sulaeman Ridho, 2014, Penggunaan Hak Diam Dalam Pemeriksaan atas Akta yang dibuat Notaris, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
b. Bagaimana akibat hukum bagi notaris dalam menggunakan hak diamnya di depan pengadilan? c. Apakah notaris dapat menggunakan hak ingkarnya terhadap hal-hal yang tidak diatur oleh undang-undang dan apakah sanksinya? Kesimpulan dari peneliti ini adalah notaris mempunyai hak untuk tidak bicara sekalipun di muka pengadilan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain namun dalam penggunaan hak diamnnya notaris harus dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi/memberikan kesaksian di muka pengadilan, apabila ditolak oleh hakim/pengadilan dalam penggunaan hak diamnya maka notaris diwajibkan memberikan kesaksian di muka pengadilan. Notaris sepanjang menyangkut pemeriksaan terhadap akta yang dibuat, masih dimungkinkan untuk menggunakan hak ingkar sepanjang tidak berkaitan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pajak. Perbedaan pokok penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah bahwa fokus dari penelitian ini adalah untuk meneliti secara khusus kewajiban ingkar notaris dalam pelaksanaan tugas dan jabatan sebagai pejabat umum, sedangkan penelitian di atas meneliti tentang penggunaan hak diam dalam pemeriksaan atas akta yang dibuat oleh Notaris.