BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum (Rechstaat) berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri rechtstaat yaitu, adanya perlindungan hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa dikenal sebagai Trias Politika, pemerintahan berdasarkan peraturan, adanya peradilan administrasi dalam perselisihan. Sebagai negara hukum maka untuk menjalankan suatu negara dan perlindungan hak asasi harus berdasarkan hukum. Kondisi ini menyebabkan peraturan perundang-undangan memegang peranan yang sangat strategis sebagai landasan dan strategi negara untuk mencapai tujuan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Alinea ke IV UUD NRI Tahun 1945. 1 Untuk mencapai kesejahteraan umum sebagaimana yang termuat dalam Alinea ke-IV UUD NRI Tahun 1945, maka Pemerintah Indonesia harus melakukan segala upaya untuk mencapai hal tersebut termasuk dalam menyelesaikan dan menanggulangi masalah kejahatan yang terjadi di tengahtengah kehidupan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kejahatan merupakan penyakit masyarakat. 2 Kejahatan atau tindak
1
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Cetakan Kedua, Nusa Media, Ujungberung, 2011), hlm 1. 2 Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Penerbit Alumni, 1998), hlm 148.
1 Universitas Sumatera Utara
kriminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Menurut Saparinah Sadli, perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian, kejahatan di samping merupakan masalah kemanusiaan, kejahatan juga merupakan masalah sosial. Menurut Benedict S. Alper merupakan “the oldest social problem” 3 Kebutuhan manusia untuk hidup teratur, serasi, selaras, tenteram dan damai tetap dijaga sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Untuk memberikan kemanan kepada setiap warga negara diperlukan tindakan aparat penegak hukum dengan melaksanakan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana. Pelaksanaan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana berada dalam satu sistem yang terdiri dari subsistem yang saling berhubungan yang disebut dengan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System). 4 Sistem peradilan pidana atau Criminal Justice System merupakan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar kejahatan yang terjadi di lingkungan masyarakat berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selain itu, sistem peradilan pidana mempunyai tugas, yaitu mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan pelaku 3
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm 20. Soerjono Soekanto, Suatu Sosiologi Hukum Terhadap Masalah Sosial, (Bandung : Citra Aditya Bakhti, 1989), hlm 7. 4
2 Universitas Sumatera Utara
kejahatan telah dipidana dan berusaha agar masyarakat yang pernah melakukan kejahatan itu tidak mengulangi perbuatannya lagi. 5 Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana mempunyai komponenkomponen penyelenggara, diantaranya kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang kesemuanya akan saling terkait dan diharapkan adanya suatu kerjasama yang terintegrasi. Sistem peradilan pidana dapat dilihat dari berbagai perspektif, antara lain Polisi, Jaksa, Hakim, Tersangka/Terdakwa atau Narapidana dan korban kejahatan. 6 Lembaga pemasyarakatan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana terpadu ikut berperan dalam proses penanggulangan kejahatan yang terjadi di masyarakat, dengan cara memberikan pembinaan terhadap narapidana, melakukan pengayoman, dan membimbing narapidana. Supaya narapidana tersebut menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulangi lagi kejahatan yang pernah dilakukannya, dapat berperan lebih aktif dan kreatif dalam lingkungan masyarakat, bangsa dan negara, mampu mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat dan taat kepada hukum yang berlaku di masyarakat. Narapidana dalam menjalani proses pembinaan juga merupakan manusia yang harus dilindungi dan dihormati hak-hak kemanusiaannya dan narapidana tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Berdasarkan hal tersebut, JE. Sahetapy mengemukakan pendapatnya bahwa “Pemidanaan tidak boleh
5
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm 116. 6 Ibid, hlm 117
3 Universitas Sumatera Utara
mencederai hak-hak asasinya yang paling dasar serta tidak boleh merendahkan martabatnya dengan alasan apapun.” Kedudukan setiap manusia dalam hukum Indonesia dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 27 UUD NRI Tahun 1945 telah ditentukan bahwa semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28 D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal 28 I Ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Frase setiap orang disini menegaskan bahwa narapidana juga merupakan manusia yang memiliki hak-hak yang sama dihadapan hukum. Kesetaraan kedudukan setiap manusia dipertegas lagi dalam Pasal 2 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan dan Pasal 3 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan sebagai berikut :
4 Universitas Sumatera Utara
1) Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikarunia akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan 2) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapatkan kepastian hukum dalam semangat di depan hukum 3) Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi. Berdasarkan Pasal 12 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, berhak untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia. Berdasarkan pada aturan normatif mengenai perlindungan hak asasi manusia yang diberikan kepada setiap manusia termasuk narapidana, hal ini merupakan gambaran bahwa narapidana juga merupakan manusia atau individu yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia yang lainnya. Dengan kata lain, hak-hak asasi yang melekat pada diri narapidana harus dilindungi dan dihormati atau tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Bahkan negara melalui aparatur pemerintah bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan dan pengayoman atas hak-hak asasi manusia
termasuk
narapidana.
Memberikan
perlindungan
atas
hak-hak
narapidana, maka narapidana yang dijatuhi pidana penjara di lembaga pemasyarakatan diberikan pembinaan atau bimbingan yang sesuai dengan nilainilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5 Universitas Sumatera Utara
Pembinaan atau bimbingan merupakan sarana yang mendukung keberhasilan negara menjadikan narapidana menjadi anggota masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan berperan dalam
pembinaan narapidana,
yang
memperlakukan narapidana agar menjadi lebih baik, yang perlu dibina adalah pribadi narapidana, membangkitkan rasa harga diri dan mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, sehingga potensial menjadi manusia yang berpribadi dan bermoral tinggi. Ketentuan
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
1995
Tentang
Pemasyarakatan, mengamanatkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang merupakan institusi dari sub sistem peradilan pidana mempunyai fungsi strategis sebagai pelaksanaan pidana penjara sekaligus sebagai tempat bagi pembinaan narapidana. Fungsi lapas yang demikian ini sesungguhnya sudah berbeda jauh serta lebih baik dibandingkan dengan fungsi penjara dengan zaman dahulu dengan dasar hukum peraturan penjara (Gestichten Reglement S. 1917 No. 708). C.I. Harsono HS menyebutkan, bahwa sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama pemasyarakatan, mulai dikenal ketika dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang tanggal 27 April 1964, Sahardjo melontarkan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Sebelumnya Sahardjo telah terlebih dahulu mengemukakan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana itu, dalam pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa di istana negara
6 Universitas Sumatera Utara
tanggal 15 Juli 1963. Menurut Sahardjo untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan sistem pemasyarakatan, Beliau menyatakan sebagai berikut : “Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayom itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat.” 7 Sistem pemasyarakatan dan peraturan standar minimum bagi perlakuan terhadap narapidana menganut filosofi penghukuman yang diwarnai pendekatan rehabilitatif, yaitu pendekatan yang mengangap pelaku pelanggar hukum sebagai pesakitan dan karenanya harus disembuhkan. Berdasarkan hal ini, hakikat pemasyarakatan sesuai dengan falsafah pemidanaan modern yaitu “treatment”. Treatment lebih menguntungkan bagi penyembuhan penjahat, sehingga tujuan dari sanksi bukanlah menghukum, melainkan memperlakukan atau membina pelaku kejahatan. Melalui sistem pemasyarakatan ini pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana lebih bersifat manusiawi dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia. Perlakuan ini dimaksudkan untuk menempatkan narapidana sebagai subjek di dalam proses pembinaan dengan sasaran akhir mengembalikan narapidana ke tengah-tengah masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna (resosialisasi). 8
7
Mohammad Eka Putra, Abul Khair, Sistem Pidana di Dalam KUHP dan Pengaturannya menurut Konsep KUHP Baru,(Medan, USU Press, 2010), hlm 46. 8 Suwarto, Individualisasi Pemidanaan, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2013), hlm 86 87.
7 Universitas Sumatera Utara
Melaksanakan pemasyarakatan, ada tiga hal penting yang harus terlebih dahulu dipahami yaitu, bahwa proses pemasyarakatan diatur dan dikelola dengan semangat pengayoman dan pembinaan bukan pembalasan dan penjaraan, bahwa proses pemasyarakatan mencakup pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga (intramural dan extramural), proses pemasyarakatan memerlukan partisipasi, keterpaduan dari para petugas pemasyarakatan pada narapidana serta anggota masyarakat umum. Menurut Bahroedin Suerjobroto, seorang pemikir dan pelopor ilmu pemasyarakatan di Indonesia yang berkecimpung di bidang pemasyarakatan sejak zaman Hindia Belanda, mengemukakan bahwa prinsip pemasyarakatan itu adalah “pemulihan kembali kesatuan hubungan hidup kehidupan dalam penghidupan, yang terjalin antara manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan masyarakatnya, manusia sebagai keseluruhan, manusia dengan alamnya (dalam keseluruhan ini) manusia sebagai makhluk, manusia dengan khaliknya. 9 Sistem pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali warga binaan pemasyarakatan di setiap unit pelaksana teknis dan berbagai sarana penunjang lainnya.
9
Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung : Cetakan Pertama, Refika Aditama, 2011),
hlm 101.
8 Universitas Sumatera Utara
Proses pembinaan terhadap narapidana yang berdasarkan pada sistem pemasyarakatan harus dilaksanakan berdasarkan asas-asas sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1995, yaitu asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Berdasarkan pada asas-asas tersebut, maka narapidana yang menjalani proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan juga memiliki seperangkat hak yang melekat atas dirinya, sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 14 UU No. 12 Tahun 1995, yaitu melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan, mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani, mendapatkan pendidikan dan pengajaran, mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, menyampaikan keluhan, mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak terlarang, mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan, menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya, mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga, mendapatkan pembebasan bersyarat, mendapatkan cuti menjelang bebas, mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa : “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk
9 Universitas Sumatera Utara
warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.” Ini berarti bahwa tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan adalah bersatunya kembali warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan warga binaan pemasyarakatan nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan. Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu (integrated criminal justice system). Berdasarkan hal tersebut, pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan hukum. Posisi lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan di dalam sistem peradilan pidana sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penanggulangan kejahatan (supression of crime). 10 Kedudukan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa yang merupakan salah satu unit pelaksanaan dalam mengayomi serta memasyarakatkan warga binaan pemasyarakatan yang berkedudukan di Kota Langsa dalam wilayah
10
Suwarto, Op.Cit, hlm 84.
10 Universitas Sumatera Utara
hukum Pengadilan Negeri Langsa yang sangat diharapkan peran sertanya di dalam mengayomi serta memasyarakatkan warga binaan yang merupakan salah satu sumber daya manusia sesuai dengan program pemerintah. Selaras dengan perkembangan
sistem
pembinaan
narapidana
tersebut
bahwa
lembaga
pemasyarakatan kelas II B Kota Langsa masih menggunakan pola “Top Down Approch”, dimana pelaksanaan pembinaan sepenuhnya masih sesuai dengan kebijakan yang ditentukan oleh pembuat kebijakan tanpa memperhatikan apa yang menjadi tuntutan isi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan harus diperlakukan secara baik dan manusiawi atau tidak diperkenankan terhadap warga binaan diperlakukan secara sewenang-wenang yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan. Gambaran mengenai Lembaga pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana terpadu yang berperan dalam proses pembinaan terhadap narapidana tidak sesuai atau tidak sejalan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Secara umum jumlah penghuni di lembaga pemasyarakatan kelas II B Kota Langsa telah melebihi daya tampung atau overcapacity, tidak adanya pengkhususan lembaga pemasyarakatan seperti lembaga pemasyarakatan khusus wanita, lembaga pemasyarakatan khusus anak atau lembaga pemasyarakatan khsusus narkotika hal ini sangat berpengaruh sekali dalam pelaksanaan proses pembinaan yang di dalamnya sangat berkaitan erat dengan perlindungan terhadap hak-hak narapidana, hak-hak dari narapidana yang belum dapat diberikan sesuai dengan hak narapidana di lembaga pemasyarakatan,
11 Universitas Sumatera Utara
bangunan lembaga pemasyarakatan yang tidak sebanding dengan jumlah atau kapasitas penghuninya, yang mana dalam lembaga pemasyarakatan tersebut juga masih kekurangan sarana dan prasarana pendukung dalam proses pembinaan narapidana, jumlah petugas atau pegawai pemasyarakatan yang tidak sebanding dengan jumlah atau kapasitas penghuni narapidana, jumlah petugas keamanan yang masih sangat minim dibanding dengan jumlah atau kapasitas penghuni narapidana, masih adanya terjadinya praktek penyuapan antara narapidana dan petugas kemanan dan Tamping di Lembaga Pemasyarakatan, dan berdasarkan hasil penelitian di Lapas tersebut setiap tahunnya ada narapidana yang berhasil melarikan diri dari lembaga pemasyarakatan tersebut. 11 Gambaran mengenai lembaga pemasyarakatan sebagai subsistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System) tidak sesuai atau tidak sejalan dengan ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Secara umum jumlah penghuni di Lembaga Pemasyarakatan telah melebihi daya tampung yang semestinya. Seperti misalnya kamar yang diperuntukkan maksimal 4 (empat) orang, tetapi diisi sampai 10 (sepuluh) orang. Akibat penghuni yang melebihi daya tampung ini, terdapat Lembaga Pemasyarakatan anak yang kemudian separuh lokasinya digunakan untuk menampung narapidana dewasa. Bahkan ada lembaga pemasyarakatan yang sekaligus menampung narapidana dewasa laki-laki, dewasa perempuan, dan narapidana anak-anak. Keadaan minimnya dana untuk kesehatan dijumpai di beberapa lembaga pemasyarakatan. Antara lain tidak terdapatnya poliklinik dan dokter, kurangnya fasilitas kesehatan ini juga tercermin dari adanya seorang narapidana yang seluruh tubuhnya sampai wajahnya penuh dengan bercak-bercak (koreng). Terdapat warung-warung untuk memenuhi kebutuhan narapidana di beberapa lembaga pemasyarakatan, juga tampak penjaga keliling yang menjual makanan untuk menambah kebutuhan lauk pauk narapidana. Penjaga warung dan penjaga keliling ini sebenarnya juga narapidana, yang bekerja sama dengan petugas dan hasilnya untuk menambah pemasukan baik petugas dan narapidana. Beberapa Kalapas mengakui terpaksa mencari dana untuk memenuhi kebutuhan dana bagi keberlangsungan lembaga, termasuk dengan “memungut biaya” pada 11
Penelitian Pendahuluan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa pada tanggal 28 Februari 2014.
12 Universitas Sumatera Utara
pengunjung (pembesuk) narapidana. Bahkan ada Kalapas yang mengatakan bahwa sukar dipungkiri adanya pungutan-pungutan biaya pada napi untuk bertemu lebih lama dengan keluarganya atau cuti mengunjungi keluarga, atau untuk mengurus hal-hal lain misalnya, pengurangan hukuman dan pelepasan bersyarat, seperti diungkapkan seorang narapidana untuk mengajukan cuti menjelang bebas, narapidana yang bersangkutan dimintai uang sekitar Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Pungutan-pungutan juga terjadi pada narapidana dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya, seperti menyewakan kamar untuk bertemu dengan istri. 12 Lembaga pemasyarakatan yang secara khusus merupakan institusi menampung pelanggar hukum tidak terlepas dari konflik-konflik, baik di antara para narapidana dan petugas, maupun antara petugas dengan petugas, dan antara narapidana dengan narapidana. 13 Lembaga pemasyarakatan kekurangan sumber daya manusia, pelayanan yang kurang mencukupi, sanitasi yang kurang higienis, sarana dan prasarana yang kurang memadai dan kekurangan dana dalam menunjang proses pembinaan dan pengayoman kepada narapidana di lembaga pemasyarakatan. Gambaran situasi kondisi lembaga pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa dengan kondisi yang terjadi dewasa ini, apakah lembaga pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa dapat berjalan secara efektif dalam memberikan pembinaan, pembimbingan dan pengayoman kepada narapidana di lembaga pemasyarakatan. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan kajian terhadap masalah : “Pembinaan Terhadap Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa”
12
Josias Simon & Thomas Sunaryo, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, (Bandung : Lubuk Agung, 2011), halm 129-131. 13 Ibid, hlm 133.
13 Universitas Sumatera Utara
B. Permasalahan Penelitian ilmiah yang dilakukan ini, memerlukan rumusan masalah yang spesifik dan dapat dijadikan fokus masalah untuk kemudian dikaji dan diteliti secara mendalam menurut metode penelitian yang ada. Permasalah merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan apa yang senyatanya, antara apa yang diperlukan dengan apa yang tersedia, antara harapan dengan capaian atau singkatnya antara das sollen dengan das sein. 14 Permasalahan hukum yang dimaksud pada bagian penelitian ini adalah uraian mengenai persoalan-persoalan atau pertanyaan-pertanyaan dari kasus yang akan dijawab secara berurutan dan sistematis. 15 Berdasarkan penjelasan di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini ditegaskan antara lain sebagai berikut : 1) Bagaimana pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa ? 2) Bagaimana hambatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana di Lembaga pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa ? 3) Bagaimana upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa dalam mengatasi hambatan pembinaan narapidana ? C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian dapat merupakan penelitian yang bertujuan untuk menemukan fakta belaka (fact finding). 16 Dalam setiap penelitian ilmiah perlu
14
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 105. 15 H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm 117. 16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm 10.
14 Universitas Sumatera Utara
ditegaskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, agar penelitian dapat berjalan secara benar dan mencapai tujuan yang dirumuskan. Seperti yang dilakukan dalam penelitian ini, dengan mengajukan masalah yang diteliti seperti telah dikemukakan pada sub bab permasalahan terdahulu. Karena itu dapat dirumuskan tujuan penelitian ini yaitu : 1. Untuk mengetahui, mendeskripsikan proses pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa 2. Untuk mengetahui, mendeskripsikan hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa dalam memberikan pembinaan terhadap narapidana 3. Untuk mengetahui, mendeskripsikan upaya-upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa dalam mengatasi hambatan pembinaan terhadap narapidana. D.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah
mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu : 1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini dilakukan untuk pengembangan pengetahuan ilmu hukum
pada umumnya dan pada khususnya ilmu penologi yang berkaitan dengan peran lembaga pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan terhadap narapidana yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam kaitannya dengan penanggulangan kejahatan yang terjadi di masyarakat.
15 Universitas Sumatera Utara
2.
Manfaat Praktis a. Bagi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa 1) Agar lebih optimal dalam memberikan pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa supaya kejahatan yang terjadi di masyarakat dapat berkurang 2) Agar petugas pembinaan dapat mengetahui usaha-usaha apa yang harus ditempuh demi berhasilnya pengayoman bagi warga binaan agar terjadinya kejahatan di masyarakat semakin berkurang. b.
Bagi narapidana 1) Agar dapat memamfaatkan pembinaan yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Kota Langsa, sehingga kelak narapida yang telah selesai menjalani masa pidananya telah memiliki bekal dan supaya narapidana dapat berbaur kembali dengan lingkungan masyarakatnya.
c.
Bagi masyarakat 1) Agar masyarakat mengetahui bahwa lembaga pemasyarakatan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana (Integrated Criminal Justice System) yang berperan dalam penanggulangan kejahatan yang terjadi di masyarakat. 2) Sebagai bahan pertimbangan supaya masyarakat dapat menerima kehadiran narapidana yang sudah selesai menjalani masa pidananya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan masyarakat tidak memberikan stigma negatif terhadap narapidana tersebut
16 Universitas Sumatera Utara
E.
Keaslian Penulisan Keaslian penelitian Pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II B Kota Langsa, sepanjang pengetahuan peneliti belum ada yang membahasnya, begitu juga setelah diteliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara di Medan belum ada yang meneliti tentang judul ini, jadi baru peneliti yang melaksanakan penelitian. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuwan. F.
Tinjauan Kepustakaan
1.
Pengertian pidana Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat
dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. 17Dalam kepustakaan hukum pidana, menurut alam pemikiran yang normatif murni, maka pembicaraan tentang pidana akan selalu terbentur pada suatu titik pertentangan yang paradoxal, yaitu bahwa pidana di satu pihak diadakan untuk melindungi kepentingan seseorang, akan tetapi di pihak lain ternyata memperkosa kepentingan seseorang yang lain dengan memberikan hukuman berupa penderitaan kepada narapidana. Sehubungan dengan pengertian pidana Soedarto mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut pendapat Roeslan Saleh menyatakan bahwa pidana merupakan reaksi atas delik
17
Mohammad EkaPutra & Abul Khair, Op.Cit, hlm 11
17 Universitas Sumatera Utara
dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpalkan negara pada pembuat delik itu. Selanjutnya Roeslan Saleh menyatakan bahwa memang nestapa ini bukanlah suatu tujuan yang terakhir dicita-citakan masyarakat. 18 Beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut : Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibatakibat lain yang tidak menyenangkan, pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang), Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau badan hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 19 Menurut Van Hamel mengemukakan bahwa arti pidana atau straf menurut hukum positif dewasa kini, ialah “suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggarnya, yaitu sematamata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.” 20 Berdasarkan berbagai pandangan para ahli tentang arti pidana, tidak dapat dipungkiri bahwa nestapa atau penderitaan itu merupakan suatu unsur yang memang ada dalam suatu pidana. 2.
Pengertian Tindak Pidana Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok
yang menjadi titik perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan, dan pidana serta 18
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Refika Aditama : Bandung, 2006), hlm 6. 19 Ibid, hlm 7. 20 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Cetakan Pertama, Prandya Paramita, 1996), hlm 57.
18 Universitas Sumatera Utara
korban. 21 Dalam Kepustakaan hukum pidana, istilah tindak pidana merupakan istilah yang dipakai sebagai terjemahan dari istilah bahasa belanda strafbaarfeit. Tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) dan juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum). 22 3.
Teori-teori pemidanaan Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam
tiga golongan besar, yaitu : a) Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) Teori absolut atau teori retributif memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampau, yaitu memusatkan argumen pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan. Menurut Sahetapy, teori absolut merupakan teori tertua, setua sejarah manusia. Teori ini memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan. 23 Menurut Karl O. Cristiansen, mengidentifikasi ciri-ciri pokok dari teori retributif, yakni : tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan, pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, 21
Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang : Universitas Muhammadiyah Malang Press, 2004), hlm 32. 22 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), hlm 50. 23 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 34.
19 Universitas Sumatera Utara
misalnya kesejahteraan rakyat. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana, pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat, pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali pelanggar. 24 Berdasarkan hal tersebut, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berdasarkan Pancasila, teori pembalasan tidak mendapat tempat dalam sistem pemidanaan di indonesia. Ajaran hukum pidana modern, teori pembalasan sudah ditinggalkan sejak abad ke 18. b) Teori relatif atau teori tujuan Teori relatif atau teori tujuan berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu preventif, deterrence dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Berdasarkan kepustakaan pemidanaan, hal ini disebut incapacitation. Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan adalah menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan. Tujuan ini dibedakan dalam tiga bagian, yaitu tujuan yang bersifat individual, tujuan yang bersifat publik dan tujuan yang bersifat jangka jangka panjang. Tujuan deterrence yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku menjadi jera untuk melakukan kejahatan, sedangkan tujuan deterrence yang bersifat publik, agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan deterrence yang bersifat jangka panjang atau long term deterrence adalah agar dapat memelihara keajegan sikap
24
Ibid, hlm 35.
20 Universitas Sumatera Utara
masyarakat terhadap pidana. Teori ini sering disebut sebagai educative theory atau denunciation theory. Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. dari teori ini muncullah tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusu khusus yang ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. 25 c)
Teori Gabungan Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut : Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat, dan teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana. 26 4.
Pengertian Narapidana Saat seseorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh
pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai dengan
25
Ibid, hlm 40-41. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), halm 166. 26
21 Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Narapidana merupakan terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan (Lapas), walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial, dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai 27 5.
Pengertian Pembinaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pembinaan dan Bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan pada Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling
27
Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm 103.
22 Universitas Sumatera Utara
berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Ada empat belas komponen yaitu, falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem, klasifikasi, pendekatan klasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi,
bentuk
bangunan,
narapidana,
keluarga
narapidana
dan
pembina/Pemerintah. 28 Pembinaan narapidana dikenal dengan nama pemasyarakatan, mulai dari Sahardjo melontarkan gagasan merubah tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Menurutnya, memperlakukan narapidana memerlukan landasan sistem pemasyarakatan. Gagasan Sahardjo dirumuskan dalam 10 prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana, sebagai berikut : a. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat ; b. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara ; c. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan ; d. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga ; e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat ; f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu semata hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara g. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas pancasila ; h. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat ; i. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan ; j. Sarana fisik lembaga ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan ; 29 Sehubungan dengan hal ini dikenal 10 wajib petugas pemasyarakatan yaitu : menjunjung tinggi hak-hak warga binaan pemasyarakatan, 28 29
C. I Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta, Djambatan, 1995), hlm 5. Josias Simon dan Thomas Sunaryo, Op.Cit, hlm 12.
23 Universitas Sumatera Utara
bersikap welas asih dan tidak sekali-kali menyakiti warga binaan pemasyarakatan, berlaku adil terhadap warga binaan pemasyarakatan, menjaga rahasia pribadi warga binaan, memperhatikan keluhan warga binaan, menjaga rasa keadilan masyarakat, menjaga kehormatan diri dan menjadi teladan dalam sikap dan perilaku, waspada dan peka terhadap kemungkinan adanya ancaman dan gangguan kemanan, bersikap sopan tetapi tegas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan menjaga keseimbangan kepentingan pembinaan dan keamanan. 30 Persoalan lebih jauh muncul bila pembinaan diberikan dengan cara perkiraan saja, tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik dari warga binaan. Pembinaan seperti ini menggunakan pendekatan top-down. Menurut Harsono pendekatan ini adalah pembinaan yang sudah ditetapkan, narapidana harus ikut serta dalam program tersebut, sehingga pendekatan keamanan jauh lebih menonjol dari pembinaan, padahal bentuk pembinaan yang bottom-up adalah bentuk pembinaan yang ideal. Pembinaan yang seperti ini sangat memperhatikan karakteristik individu, namun implementasinya memerlukan upaya yang tidak sederhana. Pendekatan bottom-up adalah pembinaan narapidana yang berdasarkan kebutuhan belajar narapidana oleh karena itu, perlu diadakan pre-test sebelum dilakukan pembinaan, untuk mengetahui tingkat pengetahuan, keahlian, dan hasrat belajar serta minatnya sekaligus harapan yang bersangkutan ketika diputuskan untuk dibina di lapas. Pre-test ini dapat dilakuakan oleh petugas Bapas, yang selama ini lebih banyak menangani anak didik, dari pada napi dewasa. Ini harus dilakukan pada masa admisi orientasi, selanjutnya dilakukan mid-test, untuk mengetahui sejauh mana proses pembinaan bisa berjalan dengan baik, kemudian
30
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung : Refika Aditama, 2012), hlm 143-144.
24 Universitas Sumatera Utara
diakhiri masa pembinaan atau post-test untuk mengetahui keberhasilan proses pembinaan. 31 6.
Pengertian Pemasyarakatan Berdasarkan Pasal 1 Angka (1) UU No. 12 Tahun 1995 Pemasyarakatan
merupakan kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidaan dalam tata peradilan pidana. Pemasyarakatan merupakan sistem perlakuan terhadap narapidana yang didasari oleh falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar NRI 1945, yakni setiap narapidana diperlakukan sebagaimana martabatnya secara wajar dan tidak merupakan orang yang hidup di luar masyarakat, narapidana harus kembali ke masyarakat sebagai warga yang berguna Sasaran pemasyarakatan dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu sasaran khusus dan sasaran umum. Sasaran khusus dalam hal ini meliputi pembinaan terhadap individu warga binaan pemasyarakatan adalah meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan yang meliputi : kualitas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, kualitas intelektual, kualitas sikap dan perilaku, kualitas profesionalisme dan keterampilan, kualitas kesehatan jasmani dan rohani. Sasaran umum pada dasarnya juga merupakan indikator yang secara umum digunakan untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Indikator tersebut antara lain : menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka dan gangguan keamanan lainnya, isi lembaga pemasyarakatan lebih rendah dari pada kapasitas, meningkatnya secara bertahap dari tahun ke tahun jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya, melalui proses asimilasi dan integrasi, semakin menurunya dari tahun ke tahun angka residivis, semakin banyaknya jenis institusi (pemasyarakatan), yang sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis atau golongan warga binaan pemasyarakatan, secara bertahap perbandingan banyaknya narapidana yang bekerja di bidang industri, lembaga pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara (RUTAN) adalah instansi terbersih di lingkungannya masing-masing, 31
Josias Simon dan Thomas Sunaryo, Op.Cit, hlm 7.
25 Universitas Sumatera Utara
semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam lembaga pemasyarakatan dan sebaliknya semakin berkurangnya nilai-nilai subkultur penjara dan lembaga pemasyarakatan. 32 7.
Pengertian sistem pemasyarakatan Sistem pemasyarakatan memandang pidana sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang bermamfaat dengan mengadakan pembinaan terhadap narapidana dan mengembalikan kesatuan hidup dari narapidana, jadi lebih dititikberatkan pada prevensi spesial. Oleh karena merupakan kenyataan, bahwa gagasan pemasyarakatan itu telah menjadi dasar pembinaan para narapidana yang dijatuhi pidana pencabutan kemerdekaan.
33
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) UU NO. 12 Tahun 1995 Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
warga
binaan
pemasyarakatan
berdasarkan
pancasila
yang
dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Di dalam sistem pemasyarakatan, terdapat proses pemasyarakatan yang diartikan sebagai suatu proses sejak seseorang narapidana/anak didik masuk ke lembaga pemasyarakatan sampai lepas kembali ke tengah-tengah masyarakat. 32
Maidin Gultom, Op.Cit, hlm 155. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, (Bandung : Penerbit Alumni, 1981), hlm 111. 33
26 Universitas Sumatera Utara
Pembinaan narapidana menurut sistem pemasyarakatan terdiri dari pembinaan di dalam lembaga yang meliputi pendidikan agama, pendidikan umum, kursus keterampilan, rekreasi, olahraga, kesenian, kepramukaan, latihan kerja, asimilasi. Sedangkan, pembinaan di luar lembaga antara lain bimbingan selama terpidana mendapat pidana bersyarat, penelitian kemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Harus diakui, narapidana sewaktu menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan dalam berbagai hal kurang mendapat perhatian, khususnya perlindungan hak-hak asasinya sebagai manusia. Dengan pidana yang dijalani narapidana itu, bukan berarti hak-haknya dicabut. Pemidanaan pada hakikatnya mengasingkannya dari lingkungan masyarakat serta sebagai pembebasan rasa bersalah dan sebagai penjeraan. Penghukuman bukan bertujuan mencabut hak-hak asasi yang melekat pada diri narapidana sebagai manusia. Untuk itu, sistem pemasyarakatan secara tegas menyatakan, narapidana mempunyai hak-hak seperti hak untuk surat menyurat, hak untuk dikunjungi atau mengunjungi, remisi, cuti, asmilasi, serta lepas bersyarat, melakukan ibadah
27 Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan agamanya, menyampaikan keluhan, mendapatkan pelayanan kesehatan, mendapat upah atas pekerjaan, memperoleh bebas bersyarat. 34 8.
Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Lembaga pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas merupakan
tempat
untuk
melaksanakan
pembinaan
narapidana
dan
anak
didik
pemasyarakatan. 35 Lembaga pemasyarakatan merupakan sebuah institusi korektif, sebagai bagian akhir dari sistem peradilan pidana. Lembaga pemasyarakatan sebagai tempat
memproses
(memperbaiki)
seseorang
(people
processing
organization/PPO), dimana input maupun outputnya adalah manusia yang dilabelkan sebagai “penjahat”. Lembaga pemasyarakatan sebagai PPO tidak mempunyai hak menyeleksi individu yang akan masuk ke dalamnya, ini yang membedakan lembaga pemasyarakatan dengan institusi-institusi lain, seperti perusahaan, universitas atau organisasi kemasyarakatan, yang dapat melakukan seleksi input terlebih dahulu. Lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan, posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penanggulangan kejahatan (supression of crime). Keberhasian dan kegagalan pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan akan memberikan kemungkinan-kemungkinan penilaian yang dapat bersifat positif maupun negatif. Penilaian itu dapat positif manakala pembinaan narapidana mencapai hasil 34 35
Petrus Irwan Panjaitan & Pandapotan Simorangkir, Op.Cit, hlm73. Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
28 Universitas Sumatera Utara
maksimal, yaitu bekas narapidana itu menjadi warga masyarakat yang taat pada hukum. Penilaian itu dapat negatif, kalau bekas narapidana yang pernah dibina itu menjadi penjahat kembali. 36 Lembaga Pemasyarakatan berperan dalam menerima terpidana yang telah diputus bersalah oleh pengadilan dengan pidana penjara, melakukan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan, melakukan berbagai upaya agar proses pembinaan dapat terlaksana dengan baik, memproses pemberian remisi kepada yang layak menerima, melakukan koordinasi dengan subsistem kepolisian atau kejaksaan manakala terjadi peserta didik pemasyarakatan tengah menjalani proses peradilan pidana, menerima dan meneruskan permintaan grasi, menyiapkan pembebasan apabila waktu menjalankan pidana penjara telah selesai, menyiapkan pembebasan bersyarat, menjaga dan memenuhi hak-hak narapidana yang diatur berdasarkan aturan perundang-undangan. 37 G.
Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian Penelitian merupakan usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang
dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya. 38 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika,dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu
atau
beberapa
gejala
hukum
tertentu
dengan
jalan
menganalisnya kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
36
Petrus Irwan Panjaitan & Pandapotan Simorangkir, Op.Cit, hlm 65. Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji, Pergesaran Paradigma Pemidanaan, (Bandung, Lubuk Agung, 2011), hlm 25. 38 Joko P. Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), hlm 2. 37
29 Universitas Sumatera Utara
atau
permasalahan-permasalahan
yang
timbul
di
dalam
gejala
yang
bersangkutan. 39 Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian deskriptif (Deskriptif research) yaitu penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). 40 Penemuan gejala-gejala ini tidak sekedar menunjukkan distribusinya tetapi termasuk usaha mengemukakan hubungan satu sama lain dalam aspekaspek yang sedang diteliti. Hubungan-hubungan yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan proses pembinaan narapidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa. Dalam melakukan langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. a.
Pendekatan yuridis normatif adalah membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum. 41 Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau normanorma dalam hukum positif mengenai pengaturan proses pembinaan
39
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 38. 40 Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, (Bandung : Tarsito,1978), hlm 132. 41 H. Zainuddin Ali, Op.Cit, hlm 24.
30 Universitas Sumatera Utara
narapidana di lembaga pemasyarakatan. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yang berhubungan dengan proses pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. b.
Pendekatan Empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum.42 Pendekatan empiris, dilakukan dengan cara berhadapan dengan warga masyarakat yang menjadi objek penelitian untuk mengetahui efektivitas hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi lapangan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa.
2.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Langsa, dan objek penelitian ini adalah
pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa, dengan pertimbangan bahwa lembaga ini memenuhi kriteria untuk mendapatkan gambaran tentang pembinaan terhadap narapidana berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa yang masih berada dalam Lingkungan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berkenaan dengan bidang penegakan hukum sub bidang pemasyarakatan atau sesuai dengan Pasal 5 Huruf b dan c Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 2004
42
Ibid, hlm 30.
31 Universitas Sumatera Utara
Tentang Kedudukan, Fungsi, dan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya Keppres No. 64 Tahun 2004 mengatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Kantor wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi pembinaan dalam Hukum dan Hak Asasi Manusia serta penegakan hukum di bidang pemasyarakatan. 3.
Sumber Data Berdasarkan sudut pandang penelitian hukum, peneliti pada umumnya
mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui wawancara dan/atau survey di lapangan yang berkaitan dengan perilaku masyarakat. data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan pustaka. 43 Berkaitan dengan data primer yang dimaksud di atas, dalam hal ini dilakukan
dengan
mengadakan
wawancara
kepada
Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa, Pegawai lembaga pemasyarakatan, Narapidana, Hakim Pengawas dan Pengamat di Pengadilan Negeri Kota Langsa, Mantan Narapidana dan masyarakat. Selain wawancara (interview) juga dilakukan penarikan sampel (sampling). Sampling merupakan salah satu langkah yang penting dalam penelitian karena sampling menentukan validitas eksternal dari suatu hasil penelitian, dalam arti menentukan seberapa besar atau sejauh mana
43
Zainuddin Ali, Op.Cit, hlm 23.
32 Universitas Sumatera Utara
keberlakuan generalisasi hasil penelitian tersebut. 44 Penarikan sampel (sampling) yang dilakukan dalam penulisan ini ialah populasi atau seluruh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa yang berjumlah 271 narapidana yang terdiri dari laki-laki sebanyak 251 orang, perempuan 14 orang, dan narapidana anak 6 orang. Penarikan sampel yang digunakan adalah Simple Random Sampling, yaitu intinya bahwa setiap orang atau unit dalam populasi mendapatkan kesempatan
yang
sama
untuk
terpilih
dalam
sampel. 45
Di
lembaga
pemasyarakatan kelas II B Kota Langsa terdapat 271 Narapidana, dan peneliti akan mengadakan penelitian terhadap 6 masing-masing narapidana. Data sekunder diperoleh dengan melakukan penelitian terhadap bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat khususnya UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Hukum dan HAM dan lain-lain. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, misalnya : buku-buku tentang hukum, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari pakar hukum, artikel, surat kabar, dan media massa lainnya, serta berbagai berita yang diperoleh dari internet. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberi petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yakni kamus hukum, ensiklopedia, dan sebagainya. 44 45
Bambang Sunggono, Op.Cit, hlm 118. Ibid, hlm 29.
33 Universitas Sumatera Utara
4.
Metode Pengumpulan Data Ada 3 (tiga) alat pengumpulan data yang lazim digunakan yakni studi
dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara (interview). 46 Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan dua cara yaitu studi kepustakaan dan wawancara. a.
Studi Kepustakaan (Library Research) Studi dokumen ini merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum
(baik normatif maupun sosiologis). Hal ini dikarenakan penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 47 1) Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat, baik peraturan yang ada dalam KUHP maupun peraturan perundangundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan Peraturanperaturan yang lain yang berkaitan dengan Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, 46
Ibid, hlm 21. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2004), hlm 68. 47
34 Universitas Sumatera Utara
majalah, hasil penelitian, makalah dalam seminar dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian. 3) Bahan hukum tertier Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa indonesia, kamus bahasa inggris, artikel-artikel atau laporan dari media massa (surat kabar, jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya). b.
Wawancara Studi lapangan yang dilakukan dalam skripsi ini berupa wawancara.
Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang, yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada seseorang responden dimana pertanyaan itu dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian. 48 Tipe wawancara yang dilakukan dalam penulisan ini melalui wawancara berencana (standardized interview) yaitu suatu wawancara yang disertai dengan suatu daftar pertanyaan yang disusun sebelumnya. Pedoman wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari pihak yang mengetahui tentang pola pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa yang dilakukan kepada para pihak, antara lain : Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa, Pegawai pemasyarakatan, Narapidana,
48
Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavourial, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1996), hlm 770.
35 Universitas Sumatera Utara
Hakim Pengawas dan Pengamat di Pengadilan Negeri Kota Langsa, Mantan Narapidana dan masyarakat. 5.
Analis Data Terhadap suatu penelitian sangat diperlukan suatu analis data yang
berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Penulisan skripsi ini analis data yang dilakukan adalah menggunakan metode analis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan secara lengkap kualitas dari data-data yang telah dikumpulkan dan telah diolah, selanjutnya dibuat kesimpulan. Data yang telah diperoleh melalui studi lapangan (wawancara) dan studi pustaka dikualifikasikan dan diurutkan ke dalam pola, kategori dan suatu uraian dasar. Keseluruhan data akan diuraikan secara deskriptif yang kemudian akan dianalisa secara kualitatif. Berdasarkan hal tersebut dapatlah dikatakan, bahwa apa yang dimaksudkan dengan metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden/informan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh. Metode kualitatif tidak hanya bertujuan mengungkapkan kebenaran, tetapi juga untuk memahami kebenaran tersebut dan latar belakang terjadinya suatu peristiwa. Dengan menggambarkan suatu gejala di masyarakat melalui pengamatan yang dilakukan untuk menentukan isi dan makna aturan hukum yang dijadikan pedoman dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian. H. Sistematika Penulisan
36 Universitas Sumatera Utara
Untuk memberikan gambaran secara keseluruhan dari skripsi ini penulis akan menguraikan sistematikanya. Skripsi ini terdiri dari V (Lima) Bab, yaitu : Bab I
: Pendahuluan Dalam bab ini penulis membuat latar belakang, yang menguraikan latar belakang dari penulisan skripsi ini. pokok permasalahan, menguraikan permasalahan dari skripsi ini. Tujuan penelitian, menguraikan tujuan penulis melakukan penelitian dari penulisan skripsi ini. manfaat penelitian, menguraikan manfaat dari penelitian dari penulisan skripsi ini. keaslian penulisan, yaitu suatu pernyataan bahwa penelitian dan penulisan skripsi ini hanya penulis
yang mengungkapkannya. Tinjauan
kepustakaan menguraikan pengertian pidana, pengertian tindak
pidana,
narapidana,
teori-teori
pengertian
pemidanaan, pembinaan
pengertian narapidana,
pengertian sistem pemasyarakatan, dan pengertian lembaga pemasyarakatan. Metode penelitian, yakni cara yang penulis lakukan untuk dapat menyusun skripsi ini. BAB II
:Pelaksanaan
pembinaan
narapidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa Dalam Bab ini penulis membuat tahap-tahap pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan, gambaran umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa yang
37 Universitas Sumatera Utara
terdiri atas lokasi dan keadaan fisik wilayah Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa, struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa, tugas dan fungsi petugas atau pegawai lembaga pemasyarakatan kelas II B Kkota Langsa, Latar Belakang
pendidikan
petugas/Petugas
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa (Tahun 20112013), sistem pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa yang terdiri atas jumlah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa (Tahun 2011-2013),
tahap-tahap
pembinaan di lembaga pemasyarakatan kelas II B Kota Langsa, aktivitas pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II B Kota Langsa, sarana dan prasarana dalam menunjang pelaksanaan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan kelas II B Kota Langsa, dan peraturan disiplin yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa. BAB III
:Hambatan dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa Dalam Bab ini penulis membuat hambatan dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kota
38 Universitas Sumatera Utara
BAB IV
:Upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam mengatasi pembinaan
hambatan-hambatan terhadap
dalam
narapidana
memberikan di
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa BAB V
:Penutup Dalam Bab ini penulis membuat kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan materi penulisan skripsi.
39 Universitas Sumatera Utara