BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum,1 dimana setiap perilaku dan tindakan masyarakatnya diatur oleh hukum. Salah satu hukum di Indonesia yang telah lama berlaku dan masih berlaku sampai saat ini adalah hukum adat. Hukum adat merupakan keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat yang berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.2 Hukum adat yang berlaku pada masyarakat Indonesia berbeda satu sama lain di setiap daerah. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang dianut oleh setiap masyarakat. Hukum adat mengatur beberapa hal, salah satunya adalah mengenai perkawinan. Setiap orang yang berbeda jenis kelamin sudah kodratnya memiliki
ketertarikan
satu
sama
lain
untuk
hidup
bersama
dan
melangsungkan perkawinan sehingga memiliki keluarga baru.3 Perkawinan yang dilaksanakan bukan hanya sekedar untuk hidup bersama saja, tetapi juga dikarenakan adanya keinginan untuk memiliki keturunan dan untuk melestarikan keturunannya itu.
1
Sesuai dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “negara Indonesia adalah negara hukum”. 2 Iman Sudiyat, 1978, Asas-Asas Hukum Adat (Bekal Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hlm. 9. 3 Wirjono Prodjodikoro, 1974, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, hlm. 7.
Di Indonesia mengenai perkawinan sebenarnya telah diatur tersendiri dalam perundang-undangan nasional. Aturan mengenai perkawinan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berlakunya undang-undang ini tidak membuat masyarakat serta-merta terlepas dari pengaruh hukum adat apabila melangsungkan suatu perkawinan. Sampai saat ini masih ada masyarakat yang mengikuti aturan perkawinan menurut hukum adat. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Perkawinan dirasakan masih mengatur hal-hal yang pokok saja mengenai perkawinan. Selain itu, konsep perkawinan dalam undang-undang tersebut juga berbeda dengan konsep perkawinan dalam hukum adat.4 Perkawinan menurut hukum adat memiliki bentuk yang berbedabeda. Perbedaan bentuk perkawinan adat tersebut dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang dianut oleh tiap masyarakat. Hazairin membedakan prinsip garis keturunan utama yang disebut sistem kekerabatan manusia menjadi tiga macam, yaitu garis keturunan patrilineal (menarik garis keturunan ayah), garis keturunan matrilineal (menarik garis keturunan ibu) dan garis keturunan parental (menarik garis keturunan ayah-ibu).5 Adapun bentuk perkawinan dari masing-masing garis keturunan tersebut adalah perkawinan jujur pada mayarakat dengan garis keturunan patrilineal, perkawinan semenda pada
4
Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan merupakan urusan kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan sedangkan menurut hukum adat perkawinan bukan hanya urusan pribadi yang hendak melangsungkan perkawinan tetapi juga merupakan urusan kerabat, keluarga, martabat dan persekutuan, tergantung pada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. 5 Soerjono Soekanto, 2001, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 49.
masyarakat dengan garis keturunan matrilineal, dan perkawinan mentas pada masyarakat dengan garis keturunan parental/ bilateral. Masyarakat yang menganut garis keturunan bapak (patrilineal) salah satunya adalah masyarakat Batak. Masyarakat Batak merupakan masyarakat yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera bagian timur, Provinsi Sumatera Utara.6 Ada enam suku bangsa yang tergolong masyarakat Batak yakni Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Banyak versi yang menceritakan asalusul masyarakat Batak, salah satunya adalah yang menyatakan bahwa cikal bakal suku bangsa Batak pertama sekali mendarat di muara Sungai Sorkam. Mereka yang mendarat di muara Sungai Sorkam tersebut selanjutnya memasuki pedalaman daerah yang sekarang dikenal dengan Dolok Sanggul menuju kaki Bukit Pusuk Buhit. Di kaki Bukit Pusuk Buhit itulah mereka pertama kali mendirikan kampung yang sekarang dikenal dengan nama Sianjur Sagala Limbong Mulana atau Sianjur Mula-Mula, dan kampung inilah yang dikenal sebagai kampung awal masayarakat Batak.7 Seiring berkembangnya zaman masyarakat Batak tidak lagi hanya tinggal di Sianjur Mula-Mula saja. Mereka menyebar dan bermukim ke daerah-daerah di Sumatera Utara, bahkan juga telah menyebar hampir ke seluruh pelosok tanah air. Adapun penyebaran awal keenam suku bangsa Batak di Sumatera Utara dan sekitarnya adalah sebagai berikut :
6
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak diakses pada tanggal 14 April 2016. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20345/4/Chapter%20II.pdf diakses tanggal 14 April 2016. 7
pada
1. Suku bangsa Batak Toba, bermukim di Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara dan sebagin kecilnya bermukim di Kabupaten Dairi, Kabupaten Tapanuli Tengah, serta Kota Sibolga dan sekitarnya.8 2. Suku bangsa Batak Simalungun, bermukim di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya.9 3. Suku bangsa Batak Karo, bermukim di Kabupaten Karo dan sebagian kecilnya bermukim di Kabupaten Dairi, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Deli Serdang, Kota Medan dan Kota Binjai.10 4. Suku bangsa Batak Mandailing, bermukim di Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara.11 5. Suku bangsa Batak Pakpak, bermukim di beberapa kabupaten/ kota di Sumatera Utara dan Aceh yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Barat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulusalam.12 6. Suku bangsa Batak Angkola, bermukim di Tapanuli Selatan.13 Dari keenam suku Batak tersebut, suku bangsa Batak Toba, Batak Karo dan Batak Simalungun merupakan suku bangsa Batak yang banyak bermukim di Kecamatan Galang dan dapat dikatakan bahwa ketiga suku Batak ini pulalah yang terlihat lebih dikenal di masyarakat.
8
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak_Toba diakses pada tanggal 14 April 2016. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Simalungun diakses pada tanggal 14 April 2016. 10 https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Karo diakses pada tanggal 14 April 2016. 11 https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Mandailing diakses pada tanggal 14 April 2016. 12 https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak_Pakpak diakses pada taggal 14 April 2016. 13 https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Angkola diakses pada taggal 14 April 2016. 9
Agama yang dianut oleh masyarakat Batak terdiri agama Kristen, agama Katolik, dan agama Islam. Selain ketiga agama tersebut, masih ada masyarakat Batak (umumnya yang tinggal di pedalaman Sumatera) yang menganut aliran kepercayaan tradisional seperti parmalim (pada masyarakat Batak Toba) atau pamela (pada masyarakat Batak Karo), serta menganut kepercayaan animisme (sipelebegu). Bagi masyarakat Batak baik yang telah beragama maupun
yang belum beragama (masih menganut aliran
kepercayaan), dalam melaksanakan perkawinan akan berusaha mengikuti aturan hukum adat yang ada, kendati seiring berkembangnya zaman aturan adat perkawinan tersebut mulai luntur terutama bagi masyarakat Batak yang beragama Islam. Masyarakat Batak yang beragam Islam yang berada di Kecamatan Galang, dalam melaksanakan perkawinan akan lebih mengutamakan aturanaturan hukum agama dibandingkan dengan aturan-aturan hukum adat, terutama apabila salah satu dari mempelai yang melangsungkan perkawinan bukanlah suku Batak (perkawinan beda suku). Berbeda halnya dengan masyarakat Batak yang beragama Kristen yang sampai saat ini masih mempertahankan aturan adat dalam melangsungkan perkawinan. Adapun suku bangsa Batak yang mayoritas menganut agama Kristen adalah suku bangsa Batak Toba, Batak Simalungu dan Batak Karo. Ketiga suku bangsa Batak ini pula yang dapat dikatakan masih memegang teguh aturan adat perkawinan di Kecamatan Galang.
Sistem perkawinan dalam masyarakat Batak adalah sistem exogami. Sistem perkawinan yang demikian mengakibatkan perkawinan dalam masyarakat Batak hanya boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang berbeda klan/ marga. Selain itu dalam perkawinan adat masyarakat Batak juga dilarang perkawinan timbal-balik14, dalam arti bila seorang laki-laki X kawin dengan seorang perempuan dari kerabat A maka laki-laki dari kerabat A tersebut tidak boleh kawin dengan perempuan dari kerabat X tersebut. Perkawinan semaraga dalam masyarakat Batak Simalungun disebut dengan mardawan begu dan dalam Batak Toba sendiri disebut dengan kawin sumbang. Pada masyarakat Batak perkawinan semarga memang dilarang tetapi saat ini pada masayarkat Batak Karo dan Batak Toba dalam cabang marga tertentu perkawinan semarga telah dilakukan.15 Perkawinan adat pada masyarakat Batak adalah perkawinan jujur, yakni adanya pemberian jujur dari kerabat mempelai laki-laki terhadap kerabat mempelai perempuan. Penggunaan istilah untuk menyebutkan jujur pada masyarakat Batak berbeda-beda satu sama lain. Pada masyarakat Batak Toba jujur dikenal dengan istilah sinamot, pada masyarakat Batak Simalungun jujur dikenal dengan istilah partadingan, dan pada masyarakat Batak Karo jujur dikenal dengan istilah unjuken. Dulunya jujur yang diberikan
dalam
perkawinan
adat
Batak
berupa
benda.
Seiring
berkembangnya zaman, jujur yang diberikan bukan lagi berupa benda melainkan berupa uang. Besarnya jumlah jujur yang diberikan tergantung 14
Djaren Saragih, dkk., 1980, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba, Karo dan Undang-Undang Perkawinan, Tarsito, Bandung, hlm. 32. 15 Ibid., hlm. 34.
kesepakatan kedua belah pihak dan kerabatnya, tidak ada patokan atau aturan khusus mengenai besarnya jumlah jujur. Jujur (sinamot/ partadingan/ unjuken) kerap kali disalahartikan oleh masyarakat. Masyarakat sering menganggap jujur dan mas kawin adalah sama, padahal jujur dan mas kawin adalah dua hal yang berbeda. Jujur merupakan kewajiban adat yang harus diberikan kerabat mempelai laki-laki kepada kerabat mempelai perempuan sebelum perkawinan berlangsung, sementara mas kawin merupakan kewajiban agama yang harus dipenuhi mempelai laki-laki terhadap mempelai perempuan ketika dilaksanakannya akad nikah.16 Bentuk jujur yang saat ini berupa uang juga menimbulkan tanggapan lain dalam masyarakat Batak. Masyarakat Batak menganggap jujur bukan sebagai suatu pemberian melainkan suatu bentuk pembayaran. Anggapan ini mengakibatkan munculnya istilah lain dari jujur yakni tukur, tuhor atau tuhor ni boru yang artinya uang pembelian mempelai perempuan.17 Pada perkawinan adat Batak yang berbentuk perkawinan jujur, harus ada jujur yang diberikan oleh kerabat mempelai laki-laki kepada kerabat mempelai perempuan dan jujur tersebut diberikan sebelum acara perkawinan berlangsung. Diterimanya jujur oleh kerabat mempelai perempuan, berarti mempelai perempuan mengikatkan diri untuk ikut pihak kerabat suami, baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat
16
Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 184 17 J.C. Vergouwen, 2004, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LKiS, Yogyakarta, hlm. 219.
suami, terutama anak yang lahir dari perkawinan tersebut.18 Terkadang karena ketidakmampuan finansial atau karena hal lainnya, pemberian jujur dalam perkawinan adat masyarakat Batak dapat mengalami penundaan. Penundaan pemberian jujur dalam perkawinan adat Batak ini dianggap sebagai suatu bentuk penyimpangan dalam proses perkawinan adat. Dikatakan demikian karena perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan proses perkawinan adat menurut aturan hukum adat masyarakat Batak. Penundaan pemberian jujur dalam suatu perkawinan adat pernah terjadi dikalangan masyarakat Batak (Batak Toba, Batak Simalungun dan Batak Karo) di Kecamatan Galang. Dikarenakan suatu hal, kerabat mempelai laki-laki tidak dapat memberikan jujur kepada kerabat mempelai perempuan sebelum perkawinan berlangsung. Penundaan pemberian jujur yang merupakan suatu bentuk proses penyimpangan perkawinan adat masyarakat Batak ini memberikan akibat hukum baik itu terhadap istri, anak, maupun kerabat masing-masing mempelai. Akibat hukum ini akan diterima masingmasing pihak sampai kelak jujur diberikan oleh kerabat mempelai laki-laki terhadap kerabat mempelai perempuan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
18
H. Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.
73.
1. Bagaimanakah proses pemberian jujur dalam perkawinan adat masyarakat Batak (Batak Toba, Batak Simalungun dan Batak Karo) di Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang ? 2. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan apabila terjadi penundaan pemberiaan jujur dalam perkawinan adat masyarakat Batak (Batak Toba, Batak Simalungun dan Batak Karo) di Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses pemberian jujur dalam perkawinan adat masyarakat Batak (Batak Toba, Batak Simalungun dan Batak Karo) di Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat yang ditimbulkan dari penundaan pemberian jujur dalam perkawinan adat masyarakat Batak (Batak Toba, Batak Simalungun dan Batak Karo) di Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya pada hukum adat.
2. Secara Praktis a. Sebagai referensi masyarakat terkait dengan pemberian jujur dalam perkawinan adat masyarakat Batak (Batak Toba, Batak Simalungun dan Batak Karo). b. Sebagai masukan yang positif bagi para peneliti berikutnya dalam rangka pengembangan ilmu khususnya pada kajian yang sama.
E. Keaslian Penelitian Berdasarakan penelusuran yang dilakukan pada perpustakaan Universitas Gadjah Mada, penelitian yang mengkaji secara lebih mendalam tentang Pemberian Jujur dalam Perkawinan Adat Batak (Batak Toba, Batak Simalungun dan Batak Karo) di Kecamatan Galang belum pernah dilakukan, hanya saja penelitian mengenai pemberian jujur dalam suatu perkawinan adat sudah pernah dilakukan sebelumnya dan penelitian tersebut memiliki kemiripan dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1.
Yerakh A. B. Pakh (2009) dengan judul “Akibat Hukum Pemberian Belis Menurut Hukum Perkawinan Timor di Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur”.19 Terdapat dua rumusan masalah dalam tesis ini, yaitu:
19
Yerakh A. B. Pakh, 2009, “Akibat Hukum Pemberian Belis Menurut Hukum Perkawinan Timor di Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur”, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada.
a. Apakah alasan-alasan yang menjadi penyebab pentingnya pemberian belis menurut hukum perkawinan adat Timor di Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang ? b. Bagaimanakah kedudukan suami/ istri dan anak dalam perkawinan adat Timor di Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang ? Kesimpulan dalam penelitian ini : a. Alasan-alasan pentingnya pemberian belis dalam perkawinan Adat Timor di Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang adalah merupakan syarat sahnya perkawinan adat Timor, memberikan penghargaan terhadap keluarga istri yang telah melahirkan dan membesarkannya, memberikan hak waris kepada anak-anak terhadap harta dalam keluarga bapaknya, serta untuk merubah marga istri mengikuti marga keluarga suaminya. b. Kedudukan suami/ istri dan anak dalam perkawinan adat Timor di Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang adalah apabila dalam proses perkawinan kerabat laki-laki belum melaksanakan pemberian belis maka suami harus tetap tinggal dalam keluarga istrinya, sang istri belum memakai marga keluarga suaminya melainkan tetap memakai
marga
keluarganya,
serta
tidak
mempunyai
hak
mengelolah harta keluarga suaminya. Anak-anak hasil perkawinan tersebut tetap menggunakan marga bapaknya tetapi tidak mempunyai hak untuk mewarisi harta keluarga bapaknya maupun menjadi ahli waris pengganti menggantikan bapaknya.
2.
Hendrik Hubert Horaloyz (2009) dengan judul “Fungsi dan Tujuan Belis dalam Pelaksanaan Perkawinan Adat Sikka di Kecamatan Nita Kabupaten Sikka”.20 Terdapat dua rumusan masalah dalam tesis ini, yaitu: a. Apakah tujuan dan fungsi pemberian belis (jujur) menurut hukum adat Sikka di Kecamatan Nita Kabupaten Sikka ? b. Bagaimana akibat hukumnya dalam perkawinan adat Sikka di Kecamatan Nita bila belis (jujur) dibayar dengan cara dihutang ? Kesimpulan dari penelitian ini: a. Tujuan dan fungsi belis dalam pelaksanaan perkawinana adat Sikka di Kecamatan Nita sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang perempuan, dengan mempertahankan adat pembelisan maka terhindar pula tindakan penyelewengan dan tindakan yang semenamena terhadap perempuan. b. Akibat hukumnya dalam perkawinan adat Sikka di Kecamatan Nita bila belis (jujur) dibayar dengan cara dihutang adalah kedudukan atau status laki-laki dalam perkawinan secara adat belum jelas walaupun secara hukum nasional telah sah sebagai suami. Status laki-laki dalam perkawinan secara adat Sikka belum jelas karena mendapat posisi yang lemah secara adat, pihak laki-laki tidak dapat membawa keluar istri dari rumahnya dan diharuskan untuk mengambil peran yang besar
20
Hendrik Hubert Horaloyz, 2009, “Fungsi dan Tujuan Belis dalam Pelaksanaan Perkawinan Adat Sikka di Kecamatan Nita Kabupaten Sikka”, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada.
dalam setiap acara ataupun upacara adat dan keagamaan dari pihak perempuan sebagai bentuk pengabdian untuk melunasi pembayaran jujurnya (belis). 3.
Roberta Teyseran (2012) dengan judul “Pembayaran Jujur (Belis) dalam Perkawinan Adat Masyarakat Timor di Kecamatan Insana Tengah Kabupaten Timor Tengah Utara”.21 Terdapat dua rumusan masalah dalam tesis ini, yaitu: a. Aspek-aspek apa sajakah yang mempengaruhi pembayaran jujur (belis) dalam perkawinan adat masyarakat Timor ? b. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dalam aspek kekerabatan jika jujur (belis) dalam proses perkawinan adat masyarakat Timor di Kecamatan Insana Tengah Kabupaten Timor Tengah dihutang ? Kesimpulan dari penelitian ini adalah: a.
Pemberian belis dilakukan dengan cara musyawarah antara kedua belah
pihak.
Besarnya
belis
diberikan
berdasarkan
tingkat
pendidikan, status sosial, kekayaan dan belis ibu dari mempelai perempuan. b.
Akibat hukum yang ditimbulkan dalam aspek kekerabatan jika jujur (belis) dalam proses perkawinan adat masyarakat Timor di Kecamatan Insana Tengah Kabupaten Timor Tengah dihutang
21
Roberta Teyseran, 2012, “Pemberian Jujur (Belis) dalam Perkawinan Adat Masyarakat Timor di Kecamatan Isana Tengah Kabupaten Timor Tengah”, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada.
adalah hal tersebut berdampak bagi aspek kekerabatan suami, istri, harta benda dan anak-anak yang dilahirkan. Suami akan mengabdi bagi keluarga istrinya sampai belis dianggap lunas. Sebelum belis istrinya lunas, istri belum dapat masuk menjadi keluarga kerabat suaminya. Harta bersama yang diperoleh pada waktu perkawinan adat dapat digunakan untuk melunasi belis. Anak-anak yang lahir dari perkawinan dengan belis dihutang, pada umumnya belum dapat mengikuti marga (fam) ayahnya, tetapi berdasarkan kesepakatan keluarga anak-anak dapat menggunakan marga (fam) ayahnya dengan ketentuan belis akan dilunasi kemudian hari. Penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah berbeda walaupun sama-sama mengenai pemberian jujur. Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan ketiga penelitian sebelumnya adalah terkait objek penelitian. Objek dari penelitian sebelumnya adalah masyarakat Timor di Kecamatan Nekamese dan di Kecamatan Insana Tengah serta masyarakat Sikka di Kecamatan Nita, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah masyarakat Batak khususnya masyarakat Batak Toba, Batak Simalungun dan Batak Karo yang berada di Kecamatan Galang. Perbedaan selanjutnya adalah pada rumusan masalah yang dibahas dalam masing-masing penelitian. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pemberian jujur dalam perkawinan adat masyarakat Batak dan bagaimana akibat hukum apabila terjadi penundaan pemberian jujur dalam perkawinan adat masyarakat Batak (Batak Toba, Batak
Simalungun dan Batak Karo). Rumusan masalah yang kedua pada penelitian ini memiliki kemiripan dengan penelitian sebelumnya yakni penelitian yang dilakukan oleh Roberta Teyseran dan Hendrik Hubert Horaloyz. Pada penelitian Hendrik Hubert Horaloyz membahas tentang pemberian jujur dengan cara dihutang dalam perkawinan adat Sikka yang berakibat kepada laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Pada penelitian Roberta Teyseran membahas tentang pemberian jujur dalam perkawinan adat masyarakat Timor dengan cara dihutang yang menimbulkan akibat hukum pada aspek kekerabatan suami, istri, harta benda dan anak-anak yang dilahirkan, sementara dalam penelitian ini membahas penundaan pemberian jujur dalam perkawinan adat Batak yang menimbulkan akibat hukum bagi istri, suami, anak, dan masing-masing kerabat. Penelitian ini juga meneliti akibat hukum yang timbul apabila salah satu pihak (suami atau istri) atau kedua-duanya meninggal dunia sementara jujur belum diberikan oleh kerabat suami kepada kerabat istrinya (jujur masih tertunda pemberiannya).