BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Infrastruktur wilayah merupakan komponen
yang penting bagi
perkembangan wilayah. Hal ini disebabkan keberadaannya yang digunakan untuk distribusi dan kebermanfaatannya pada masyarakat. Ketersediaan infrastruktur di Indonesia dipengaruhi oleh besar kecilnya anggaran untuk investasi pembangunan. Investasi pembangunan infrastruktur di Indonesia berkisar antara 5,0 hingga 7,0% dari total PDB pada paruh pertama tahun 1990-an, namun prosentase ini berkurang secara tajam setelah krisis moneter Asia sejak 1997, menjadi 2 hingga 3% saja dalam tahun-tahun belakangan ini (Kemendagri, 2010). Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menjadi sangat menjanjikan (diatas 6,0%) apabila investasi infrastruktur dapat dinaikkan hingga sekurang-kurangnya 5,0% dari PDB, seperti halnya negara-negara Asia lainnya seperti Filipina (3,6%), Vietnam (9,9%), bahkan India dan China berada di atas 10%, yang membuat keduanya sebagai kontributor utama pertumbuhan Asia yang mengesankan (Kementerian Pekerjaan Umum, 2009) Pembangunan infrastruktur di Indonesia memiliki berbagai macam kendala. Selain penyerapan anggaran yang kurang dari APBN, kendala pembangunan juga disebabkan oleh letak Indonesia yang memiliki potensi tingkat kerawanan bencana yang tinggi (BNPB, 2010). Selain itu, pembangunan infrastruktur yang timpang menyebabkan wilayah kota lebih mendapatkan serapan dari dana pembangunan daripada wilayah desa.
1
Pertumbuhan yang timpang antara desa dan kota tersebut menyebabkan adanya kesenjangan antara desa dan kota, dan tingkat kemiskinan di desa lebih besar dibandingkan di kota. Keseimbangan pembangunan dapat dilakukan apabila desa mendapatkan jumlah fasilitas yang tepat (Kemendagri, 2010). Rendahnya pembangunan infrastruktur di perdesaan menyebabkan terhambatnya distribusi yang berasal atau menuju desa. Hal ini tentu dapat menghambat perekonomian warga desa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rendahnya pembangunan infrastruktur desa dapat diperparah dengan status desa yang berada pada kawasan rawan bencana. Pada kawasan rawan bencana, infrastruktur yang minim akan semakin rusak jika terjadi bencana. Meskipun pembangunan di Indonesia telah dirancang dan didesain sedemikian rupa dengan dampak lingkungan
yang minimal, proses pembangunan tetap
menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem. Oleh sebab itu, diperlukan adanya perencanaan yang baik pada fase setelah terjadinya bencana. Terjadinya bencana berefek pada kehilangan nyawa dan kerugian (Djalante, 2012). Dampak terjadinya bencana alam adalah hilangnya kehidupan ekonomi dan penghidupan dari masyarakat (Van Den Berg, 2010). Pada skala kecil, masyarakat yang terkena dampak adalah masyarakat miskin yang memiliki kerentanan yang besar sehingga memiliki akses yang minim (Masozera, et al., 2007). Sedangkan untuk bencana yang memiliki skala besar berefek pada terjadinya pola migrasi penduduk (Saldana-Zorrilla, 2008). Pola ini terjadi akibat rasa traumatik yang mendalam. Selain itu, dampak yang paling dirasakan adalah rusaknya infrastruktur sementara waktu.
2
Rusaknya sektor infrastruktur jalanlah yang paling merugikan (Hayat, et al., 2014). Kerusakan infrastruktur ini berimplikasi pada penghidupan masyarakat. Implikasi yang ditimbulkan adalah rendahnya akses distribusi barang dari dan menuju desa dan terganggunya aktivitas masyarakat. Hal ini disebabkan sebagian penduduk miskin perdesaan menggantungkan hidupnya pada pertanian skala luas yaitu dengan bercocok tanam dan berladang. Efek dari terjadinya bencana alam tidak hanya menyebabkan hilangnya sumber pendapatan tetapi juga kehilangan aset yang dimiliki (Hallegatte, et al., 2007). Salah satu jenis bencana terjadi di Indonesia adalah tanah longsor. Faktor alam yang menjadi penyebab terjadi gerakan tanah antara lain tingginya curah hujan, kondisi tanah, batuan, vegetasi, dan faktor kegempaan sebagai pemicunya (Kinasti, 2014). Salah satu daerah rawan bencana longsor dengan zona merah adalah Kabupaten Banjarnegara (BNPB, 2010). Bencana tanah longsor hampir terjadi setiap tahun dan melanda hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Banjarnegara (Anggraini, 2015). Hal ini disebabkan karena Kabupaten Banjarnegara berada pada lokasi topografi yang curam dari Pegunungan Serayu. Kabupaten Banjarnegara berada pada Pegunungan Serayu bagian utara yang memiliki ketidak stabilan tanah yang dipengaruhi perbedaan jenis batuan pada struktur geologi yang kompleks (Wardani, 2014). Sejak tahun 2010 hingga tahun 2014, jumlah curah hujan cukup tinggi sehingga menimbulkan tanah longsor pada sebagian besar desa di Kabupaten Banjarnegara. Berdasarkan Tabel 1.1, pada tahun 2014 terjadi kenaikan jumlah curah hujan yang cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
3
Tabel 1.1. Intensitas Curah hujan penyebab longsor tahun 2010-2014 Hujan Durasi hari Akumulasi (mm) 2010 255 6408 2011 241 6018 2012 132 4429 2013 186 5549 2014 273 6962 Sumber : BMKG Kabupaten Banjarnegara, 2014 Tahun
Tingginya curah hujan dengan intensitas yang tinggi dan adanya kerentanan pada batuan menyebabkan terjadinya bencana tanah longsor. Bencana tanah longsor ini menimbulkan kerugian baik jiwa maupun material. Sehingga setelah terjadinya bencana perlu dilakukan upaya pemulihan. Hal ini dilakukan agar aktivitas penduduk dapat segera pulih. Pemulihan yang dilakukan dalam mengatasi kejadian luar biasa seperti bencana dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan terhadap infrstruktur yang mengalami kerusakan akibat bencana. Pembangunan infrastruktur baik infrastruktur fisik, sosial, dan ekonomi sangat di perlukan guna menjamin penghidupan yang layak. Keberadaan infrastruktur juga dapat mempercepat pemulihan pascabencana (Bolleyer, et al., 2010). Pemulihan pascabencana yang dilakukan tidak dapat dilakukan oleh satu pihak. Pada pasal 2 UU No.24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, harus ada koordinasi, kemitraan, dan keterpaduan antar institusi yang terlibat dalam pemulihan. Kebencanaan merupakan pembahasan yang komprehensif dan multidimensi. Institusi yang terlibat dalam pemulihan pascabencana tentu saja tidak hanya pemerintah. Hal ini dapat menjadi tantangan dalam penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi (Baker, et al., 2007). Terlebih lagi jika penanganan
4
dilakukan pada bencana massif. Oleh sebab itu, diperlukan koordinasi antar institusi seperti pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk penanggulangan bencana
1.2
Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Desa merupakan tempat tinggal dari orang-orang yang hidup dari cocok
tanam (Suhardjo, 2008). Minimnya pengembangan infrastruktur di daerah perdesaan menyebabkan kurang berkembangnya desa. Prasarana menjadi penting bagi terlaksananya aktivitas sosial dan ekonomi. Di wilayah Kabupaten Banjarnegara masih banyak terdapat jalan yang rusak dan membutuhkan penanganan (Bappeda, 2011). Terlebih lagi, jika wilayah desa terlanda bencana maka akses masyarakat memperoleh penghidupan akan terganggu. Seperti yang terlihat pada Gambar 1.1 berupa peta yang dikeluarkan oleh BNPB yang menyatakan bahwa lokasi Kabupaten Banjarnegara berada pada zona merah. Pada wilayah ini terjadi hampir setiap tahun dengan intensitas yang berbeda-beda.
5
Gambar 1.1. Peta Indeks Rawan Bencana Provinsi Jawa Tengah Sumber : BNPB, 2010
6
6
Berdasarkan Tabel 1.2 Kabupaten Banjarnegara berada pada wilayah dengan intensitas terjadinya bencana yang sering dengan kerugian yang besar. Intensitas bencana yang menimbulkan dampak terbesar adalah bencana tanah longsor (BNPB, 2010). Potensi terjadinya bencana tanah longsor mengancam setiap wilayah (Kinasti, 2014). Ancaman pertamanya berasal dari aktivitas sungai. Saat terjadi hujan, debit air meningkat dan membawa material ke arah selatan dan menghancurkan apa yang dilewati, selain itu debit air yang meningkat akan mendorong massa tanah (Anggraini, 2015). Selain itu, terdapat tiga faktor yang memperparah kejadian longsor di Kabupaten Banjarnegara. Faktor pertama adalah kondisi geologi, faktor kedua adalah tingginya curah hujan, dan faktor ketiga adalah drainase aliran permukaan (Kinasti, 2014). Hal ini dapat terlihat dari jumlah kejadian dan kerugian yang ditimbulkan. Kerugian ini dihitung dari total kerusakan yang dihasilkan oleh bencana. Berdasarkan data yang dimiliki oleh BPBD Kabupaten Banjarnegara, pada tahun 2014 terjadinya bencana tanah longsor merusakan beberapa infrastruktur. Kerusakan infrastruktur di 23 titik meliputi jalan, jembatan, sekolah, dan irigasi. Kerusakan ini mencapai total Rp 1,4 milyar. Upaya yang dilakukan BPBD bersama TNI, Polri, relawan dan masyarakat adalah evakuasi, pendirian posko, pengiriman logistik, pembersihan material longsor (BNPB, 2010). Melihat besarnya dampak yang ditimbulkan akibat bencana, maka diperlukan penanganan dan perencanaan yang lebih baik dalam hal infrastruktur pada kawasan rawan bencana.
7
Tabel 1.2. Kejadian bencana di Kabupaten Banjarnegara tahun 2011
NAMA KECAMATAN
BANYAK KEJADIAN TANAH ANGIN BANJIR LONSOR RIBUT 17 9 5
KERUGIAN (JUTA)
SUSUKAN 662 PURWOREJO KLAMPOK 1 1 1 3 MANDIRAJA 11 2 3 277 PURWANEGARA 2 0 1 20 BAWANG 31 4 11 1260 BANJARNEGARA 2 0 3 30 SIGALUH 19 0 0 384 MADUKARA 16 0 0 929 BANJARMANGU 26 2 0 990 RAKIT 1 0 4 6 PUNGGELAN 19 0 7 1557 KARANGKOBAR 7 0 0 77 PAGENTAN 25 0 1 1125 PEJAWARAN 26 0 0 279 BATUR 2 0 22 41 WANAYASA 16 0 2 1680 KALIBENING 16 9 2 505 PANDANARUM 54 0 1 906 Sumber : Hasil Olahan Data Potensi Desa Kab. Banjarnegara tahun 2011 Menurut UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang dilakukan pada penanganan pascabencana dengan rekonstruksi dan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dapat dilakukan dengan perbaikan infrastruktur dan pembangunan kembali prasarana. Pembangunan yang dilakukan pascabencana tentu saja melibatkan berbagai pihak. Pihak yang terlibat tidak hanya pemerintah, namun juga masyarakat dan pihak swasta. Kesuksesan dari integrasi dan koordinasi yang dilakukan dapat dilihat dari adanya cara merencanakan. Hal ini merupakan tantangan terbesar bagi pemerintah untuk dapat menyamakan persepsi dalam mengurangi dampak
8
terjadinya bencana (Rivera, et al., 2015). Oleh sebab itu, perlu untuk diketahui peran dari parapihak yang terlibat agar tidak adanya tumpang tindih dalam kepentingan. Selain itu, dapat terbentuk adanya koordinasi, kemitraan, dan keterpaduan antar pihak sesuai dengan amanat undang-undang. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1.
Siapa
saja
parapihak
yang
terlibat
dalam
pengembangan
infrastruktur pascabencana? 2.
Bagaimana peran yang dilakukan oleh parapihak dalam melakukan pengembangan infrastruktur pascabencana?
3.
Apa saja permasalahan yang dimiliki oleh parapihak dalam mengembangkan infrastruktur pascabencana?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang
tersusun, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Mengidentifikasi parapihak yang terlibat dalam pengembangan infrastruktur pascabencana.
2.
Menganalisis peran parapihak dalam mengembangkan infrastruktur pascabencana.
3.
Mengidentifikasi
permasalahan
pengembangkan
infrastruktur
pascabencana.
9
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan: 1.
sebagai karya penelitian ilmiah (skripsi) untuk memenuhi persyaratan ujian akhir jenjang studi S1 pada Program Studi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada,
2.
memberikan manfaat dalam bidang praktis empiris, yaitu sebagai informasi yang dapat digunakan bagi pengambil kebijakan dalam bidang infrastruktur pasca terjadinya bencana,
3.
memberikan manfaat dalam bidang teoritis, yaitu sebagai tambahan informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Pengembangan Infrastruktur wilayah.
1.5
Tinjauan Pustaka
1.5.1. Pengertian Peran Analisis peran digunakan untuk mengetahui peranan yang dilakukan oleh suatu pihak untuk mengambil posisi sesuai dengan kapasitasnya. Terdapat berbagai macam peran yang dapat diambil oleh pemangku kepentingan. Akan tetapi, beberapa peran dapat dibatasi menurut bagiannya (Cohen, 1992), yaitu 1.
Peran nyata adalah peran yang memang dilakukan secara nyata dan sebagaimana seharusnya.
2.
Peran yang dianjurkan adalah peran yang diinginkan oleh pihak lain.
3.
Lingkup peran adalah hubungan antar tokoh peran saat menjalankan tugasnya.
10
4.
Ketegangan peran adalah kondisi peran tersebut mengalami kesulitan dalam memenuhi harapan atau tujuan peranan yang dijalankan dikarenakan adanya ketidakserasiaan yang bertentangan satu sama lain. Ketegangan peran juga dapat terjadi akbiat adanya permasalahan seperti pengorganisasian, finansial, dan politikal.
Pembagian peran dalam mengembangkan infrastruktur tidak dapat dilakukan dengan mudah. Setiap pelaku harus melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya (Soekanto, 1990). Pengembangan infrastruktur yang dilakukan setelah terjadinya bencana akan sangat mudah menimbulkan konflik kepentingan. Sehingga dengan adanya role yang sudah dibuat mendasarkan pada kewajiban pada pihak-pihak tertentu. Selain itu, perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu juga dapat digunakan untuk melakukan perbaikan (Cohen, 1992). 1.5.2.
Stakeholders Stakeholders merupakan salah satu pendekatan yang tepat untuk lebih
memahami kepentingan pihak-pihak utama (Lienert, et al., 2013). Keterlibatan pemangku kepentingan diharapkan pada proses pengambilan kebijakan. Hal ini disebabkan stakeholders dapat memberikan adanya pandangan yang realistis sesuai dengan kapasitas dan keterlibatannya (Loschner, 2015). Pentingnya analisis stakeholders yang dilakukan pada penanganan bencana adalah untuk memperhitungkan adanya pertimbangan pada kelompok tertentu sesuai dengan kapasitasnya (Crosby, 1991). Sebagai contoh pemerintah dalam menyediakan prasarana lingkungan. Akan tetapi, penyediaan prasarana 11
tersebut mungkin tidak hanya dilakukan oleh pemerintah. Sehingga perlu dilakukan analisis terhadap parapihak yang terlibat. Stakeholders dapat dibedakan menjadi perencanaan publik dan kebijakan publik (Iqbal, 2007). Selain itu dalam menentukan stakeholders juga didasarkan pada beberapa kriteria seperti power, legitimasi, urgensi, dan proksimitas. Analisis stakeholders untuk pengembangan infrastruktur lebih menekankan pada power dan urgensi. Hal ini karena terjadinya bencana merupakan kejadian yang tidak terduga sehingga perlu adanya dukungan dari lembaga yang berpengaruh dan juga dari pentingnya kebutuhan yang harus didapatkan setelah terjadinya bencana. Berdasarkan aspek semantik, pelaku kepentingan didefinisikan sebagai perorangan, organisasi, dan sejenisnya yang memiliki andil atau perhatian dalam bisnis atau industri (Iqbal, 2007). Sedangkan Gonsalves et al. (2005) mendeskripsikan pemangku kepentingan atas siapa yang memberi dampak dan/atau siapa yang terkena dampak kebijakan, program, dan aktivitas pembangunan. Pembangunan ini mencakup banyak hal, termasuk untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang rusak terhadap bencana. Pemangku kepentingan terdiri dari berbagai dimensi dan kelompok yang memiliki sumber daya dan kebutuhan masing-masing yang harus terwakili dalam proses pengambilan keputusan dalam kegiatan pembangunan (Iqbal, 2007). Secara garis besar, pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok (Crosby, 1992) yaitu: 1.
Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan.
12
2.
Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Kegiatan pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal.
3.
Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian
1.5.3. Infrastruktur Infrastruktur secara tidak langsung akan mendorong adanya produktivitas dan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hal ini dikarenakan infrastruktur adalah katalisator diantara proses produksi, pasar, dan konsumsi akhir. Pengembangan infrastruktur wilayah pascabencana sangat penting dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatan pertumbuhan ekonomi pascabencana. Hudson, et al. (1997) mendefinisikan infrastruktur sebagai : ”A system of public facilities, both publicy or privately funded, which provide for delivery of essential services and a sustained standard of living”. Pengertian lain mengenai infrastruktur didefinisikan oleh Kelompok Bidang Keahlian Manajemen Rekayasa Konstruksi ITB (2001) yaitu infrastruktur (prasarana) adalah bangunan atau fasilitas fisik yang dikembangkan untuk mendukung pencapaian tujuan sosial dan ekonomi suatu masyarakat atau komunitas.
13
Selain itu, infrastruktur dapat dikategorikan kedalam tiga jenis (KPPOD, 2012) yaitu : 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi final, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public work (jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi dan drainase) serta sektor transportasi (jalan, rel kereta api, angkutan pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat, meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit dan pusat kesehatan), perumahan dan rekreasi (taman, museum dan lainlain). 3. Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi serta kebudayaan. Pembagian kelompok infrastruktur juga dilakukan oleh Grigg (1988) yang membagi jenis infrastruktur menjadi : 1. Kelompok jalan (jalan, jalan raya, jembatan); 2. Kelompok pelayanan transportasi (transit, jalan rel, pelabuhan, bandar udara); 3. Kelompok air (air bersih, air kotor, semua sistem air, termasuk jalan air); 4. Kelompok manajemen limbah (sistem manajemen limbah padat); 5. Kelompok bangunan dan fasilitas olahraga luar; 6. Kelompok produksi dan distribusi energi (listrik dan gas). Pengembangan infrastruktur dapat pula dikaitkan dengan pembangunan dan perbaikan infrastruktur (Kementerian Pekerjaan Umum, 2009). Pengembangan
14
infrastruktur mempunyai peran vital dalam mewujudkan pemenuhan Hak Dasar Rakyat seperti pangan, sandang, papan, rasa aman, pendidikan, kesehatan dan lainlain. Infrastruktur dalam sebuah sistem adalah bagian-bagian berupa sarana dan prasarana (jaringan) yang tidak terpisahkan satu sama lain. Pengembangan infrastruktur merupakan salah satu prasyarat utama tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Ketersediaan infrastruktur mencerminkan adanya investasi dan investasi yang merata mencerminkan adanya pembangunan infrastruktur yang memadai dan mampu melayani pergerakan ekonomi (Kementerian Pekerjaan Umum, 2009). Pengembangan infrastruktur dilakukan pada jenis infrastruktur pokok jalan, air bersih, listrik dan persampahan. Pengelompokkan jenis infrastruktur angkutan desa (Riverson., et al. 1991), yang terdiri dari feeder roads, trail, path, dan track. Feeder roads (jalan penghubung) merupakan penghubung akses dari zona ke jaringan jalan utama. Jalan ini dapat dipakai sampai lalu lintas jalan motor, tetapi biasanya tidak melayani lalu lintas menerus. Trail merupakan trek yang sempit yang hanya cocok untuk kendaraan roda dua, pejalan kaki, dan binatang penarik. Path (jalan setapak) merupakan sebuah jalan sempit yang bersih untuk lalu lintas pejalan kaki, sepeda, dan sepeda motor. Tracks merupakan jalan satu jalur dan jalan musiman yang tidak diperbaiki yang menghubungkan ke kelas jalan yang lebih tinggi. Jalan ini dapat ditempuh atau dilalui pada waktu-waktu tertentu dengan kendaraan mobil beroda empat yang bermuatan ringan (light 4-wheel drive vehicles), truck pickup, gerobak dorong binatang atau binatang penarik (pack animal). Menurut Pedoman Perencanaan Pengadaan Air Bersih tahun 2010,
15
pengadaan air bersih harus memperhatikan aspek sumber air baku, kuantitas air, kualitas air, kriteria desain, dan sistem penyediaan air bersih. Selain itu, penyediaan air bersih juga harus memberikan jaminan terhadap pelayanan air bersih, jaringan air bersih dan tarif yang layak. Selain air bersih, sistem persampahan juga tidak dapat ditinggalkan dalam pengembangan infrastruktur. UU No.18 Tahun 2008 tentang pengelolaan persampahan dilakukan dengan pengurangan sampah semaksimal mungkin, peningkatan peran masyarakat, pelayanan sistem pengelolaan, dan pengurangan dampak lingkungan. 1.5.4.
Bencana Secara umum menurut UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana dapat diartikan sebagai “peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam
dan/atau faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis”. UNISDR Termonology on Disaster Risk Reduction (2009) mendefinisikan bencana sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri Definisi lain tentang bencana dalam buku Disaster Management-A Disaster Managers Handbook adalah suatu kejadian, alam atau buatan manusia,
16
tiba-tiba atau progressive, yang menimbulkan dampak yang hebat sehingga masyarakat yang terpengaruh harus merespon dengan tindakan yang luar biasa (Kodoatie, et al., 2006). Jenis-jenis bencana dapat dibedakan menjadi tiga yaitu bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Bencana nonalam dapat dibedakan menjadi gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial berkaitan dengan bencana sosial (konflik sosial) (Anggono, 2010). Pembagian jenis bencana juga dikemukaan Verstappen (Sutikno, 1995) yaitu: 1.
Bencana alam akibat proses eksogen, yang menyebabkan banjir, kekeringan dan gerakan massa tanah/batuan, termasuk tanah longsor.
2.
Bencana alam akibat proses endogen, yang menyebabkan gempa bumi dan aktivitas gunung api; dan
3.
Bencana alam akibat proses antropogenik. Kejadian bencana yang terjadi merupakan siklus yang tidak dapat
dipisahkan.satu dengan lain. Aktivitas dari kebencanaan di Indonesia terjadi pada dua musim yaitu saat kemarau dan penghujan yang saling berkait. Katerkaitan ini dapat diketahui dari fase-fase yang dilakukan secara menyeluruh. Terlihat pada gambar 1.2. terdapat adanya fase pada bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Fase dimulai dari bulan oktober dan berakhir pada bulan April untuk bencana tanah longsor dan banjir. Sedangkan bulan Maret sampai dengan bulan September merupakan fase terjadinya bencana kekeringan.
17
Musim Penghujan
Musim Kemarau Puncak
Puncak
Akhir Mulai
Banjir dan Longsor
Kekeringan
Mulai May
Jun
4
4
1
2
Oct
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
1
1
2
2
3
3
6
1
4
5
5
6
Akhir Sept
Jul
Agst
5
5
6
6
2
3
3
4
Diagram Proses Bencana 1. Persiapan
4. Penelitian, Studi, dan Pembangunan
2. Kejadian Bencana/Respon
5. Tindakan Perencaan
3. Pemulihan
6. Preventif dan Mitigasi
Gambar 1.2. Diagram siklus bencana tanah longsor, banjir, dan kekeringan Sumber : (Kodoatie, et al., 2006) Siklus bencana yang terjadi sepanjang tahun menyebabkan pentingnya dilakukan manajemen bencana (Wardani, et al., 2008). Merujuk pada Gambar 1.3. penanganan terjadinya bencana tidak hanya langsung saat itu juga. Manajemen ini dimulai dari prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana (BNPB, 2010).
Gambar 1.3. Sistem Penanggulangan Bencana Sumber : BNPB, 2007
18
Bencana alam memiliki dampak besar pada manusia dan kerugian ekonomi sejak zaman dahulu, namun selama beberapa dekade terakhir ini memiliki kerugian meningkat pesat. Pada skala global, kerugian ekonomi lebih dari tujuh kali lebih besar antara tahun 1992 dan 2002 dibandingkan selama 1960-an. Akibat perubahan iklim, kerusakan cenderung meningkat bahkan lebih dalam waktu dekat (Van Den Berg, 2010). Efek dari bencana alam dapat terus-menerus bagi masyarakat miskin, terutama ketika mereka menyebabkan tidak hanya kerugian pendapatan,tetapi juga dari aset (Van Den Berg, 2010). Oleh sebab itu, perlu adanya penanganan bencana berupa penggantian atas kerugian tersebut. Penanganan pascabencana dapat dibedakan menjadi dua yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut Peraturan Kepala BNPB Nomor 11 Tahun 2008, rekonstruksi dan rehabilitasi oleh BNPB di bedakan menjadi: A. Rehabilitasi
merupakan
proses
perbaikan
dan
pemulihan.
Rehabilitasi dilakukan melalui sejumlah kegiatan, meliputi: 1)
perbaikan lingkungan daerah bencana,
2)
perbaikan prasarana dan sarana umum,
3)
pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat,
4)
pemulihan sosial psikologis,
5)
pelayanan kesehatan,
6)
rekonsiliasi dan resolusi konflik,
7)
pemulihan sosial ekonomi budaya,
8)
pemulihan keamanan dan ketertiban,
19
9)
B.
pemulihan fungsi pemerintahan.
Rekonstruksi merupakan proses pembangunan kembali. Rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi: 1)
pembangunan kembali prasarana dan sarana,
2)
pembangunan kembali sarana sosial masyarakat,
3)
pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat
4)
penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana,
5)
partisipasi
dan
peran
serta
lembaga
dan
organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat, 6)
peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya,
7)
peningkatan fungsi pelayanan publik,
8)
peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
1.5.5. Peraturan Perundang-undangan Kebencanaan Dasar hukum pelaksanaan kegiatan pascabencana didasarkan pada : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
20
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4829); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4830); 7. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
21
1.5.6. Bencana Tanah Longsor Tanah longsor merupakan perpindahan massa batuan, debris, dan jatuhan dari lereng (Anggraini, 2015). Definisi lain dari tanah longsor merupakan salah satu peristiwa alam yang sering menimbulkan bencana dan kerugian material, atau biasa diartikan dengan perpindahan material pembentuk lereng, berupa batuan, tanah, bahan timbunan dan material campuran yang bergerak kearah bawah dan keluar dari lereng (Kinasti, 2014). Gerakan tanah adalah suatu massa tanah yang bergerak dari atas ke bawah di sepanjang lereng. Gerakan tanah terjadi apabila gaya yang menahan (resisting forces) massa tanah di lereng tersebut lebih kecil dari pada gaya yang mendorong/meluncurkan tanah di sepanjang lereng (Ishak, 2011). Berdasarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2006 terdapat beberapa ciri gerakan tanah. Menurut jenisnya gerakan tanah dibagi menjadi 6 tipe gerakan tanah, yaitu seperti yang tergambar dalam Gambar 1.4
22
Gambar 1.4. Jenis Gerakan Tanah Sumber: (Ishak, 2011) 1.6.
Kerangka Pemikiran Kepala Pelaksana Harian BPBD Kabupaten Banjarnegara dalam
wawancaranya mengatakan bahwa Kabupaten Banjarnegara merupakan daerah
23
yang memiliki intensitas terjadinya bencana yang tinggi setiap tahunnya. Ancaman terbesar dalam kurun waktu tahun 2010 sampai 2015 yang dimiliki oleh Kabupaten Banjarnegara adalah tanah longsor. Tanah longsor terjadi akibat tingginya intensitas akumulasi hujan (Anggraini, 2015). Hal ini dapat terlihat pada Tabel 1.3. dimana terdapat beberapa kecamatan yang terjadi bencana. Tergambar pada Gambar 1.5. keberadaan infrastruktur di kawasan rawan bencana menyebabkan infrastruktur lebih mudah terjadi kerusakan sehingga menyebabkan sulitnya akses masyarakat untuk memenuhi kebutuhan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya penanganan setelah terjadinya bencana salah satunya dengan melakukan perbaikan dan atau pembangunan infrastruktur. Terjadinya bencana tanah longsor yang melanda Kabupaten Banjarnegara menyebabkan permasalahan seperti hilangnya tempat tinggal, mata pencaharian, terputusnya jalur transportasi, dan hilangnya korban jiwa. Penanganan setelah terjadinya bencana tidak dapat dilakukan dengan waktu yang cepat. Dibutuhkan perencanaan, eksekusi sampai dengan evaluasi yang baik untuk pemulihan mengingat banyak aspek yang diperhatikan untuk dapat mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadinya bencana. Kegiatan penanganan pascabencana dibedakan atas rehabilitasi yakni berupa perbaikan infrastruktur dan kegiatan rekonstruksi
yang berupa
pembangunan kembali infrastruktur. Permasalahan seperti keterbatasan anggaran, tumpang tindih kepentingan, dan koordinasi antar parapihak menyebabkan kurang cepatnya pemulihan. Pembangunan memerlukan keterlibatan pihak pemerintah, swasta/pelaku usaha, maupun masyarakat. Oleh sebab itu, dilakukan adanya
24
identifikasi aktor yang terlibat dalam pengembangan infrastruktur, bagaimana perannya, dan permasalahan apa yang ada pada setiap pengembangan yang dilakukan. Hal ini dilakukan agar pengembangan infrastruktur pada daerah perdesaan dengan status kerawanan bencana yang tinggi dapat dilakukan dengan baik.
25
Kabupaten Banjarnegara ditetapkan sebagai Kawasan Rawan Bencana
KETERANGAN : Bukan Lingkup Kajian Lingkup Kajian
Terjadinya bencana tanah longsor tahun 2011-2015
Rusaknya Infrastruktur akibat bencana Penanganan Bencana
Pra
Pasca
Saat
Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Perbaikan infrastruktur
Aktor-aktor yang terlibat dalam pengembangan infrastruktur
Pembangunan infrastruktur
Peran yang dilakukan masing-masing stakeholders Gambar 1.5. Bagan Kerangka Berpikir Sumber : Konstruksi Penulis
26
26
Permasalahan pada pengembangan infrastruktur
1.7.
Keaslian Penelitian Merujuk pada tabel 1.3., penelitian sebelumnya dengan tema serupa telah
dilakukan oleh Hendarto (2013), Apriyani (2014), Kadir (2013), Hakim (2010). Berdasarkan tabel 1.3, perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Hendarto (2013) lingkup kajian yang dilakukan adalah melakukan analisis parapihak dalam mitigasi bahaya kebakaran gedung. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan parapihak terkait dalam pengembangan mitigasi bencana dan bagaimana kontribusi yang dilakukan oleh parapihak. Metode yang dilakukan adalah dengan menggunakan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan analisa crosstab. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah mengenai lingkup kajian berupa pengembangan infrastruktur pasca terjadinya bencana. Selanjutnya, merujuk pada Tabel 1.3, Apriyani (2014) mengkaji mengenai interaksi dari peran parapihak dalam mengembangkan desa wisata Desa Karang Tengah Kabupaten Bantul. Hasil dari penelitian adalah diperlukan adanya interaksi pada setiap pengembangan. Hal ini disesuaikan dengan kapasitas masing-masing dari parapihak yang terlibat. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Apriyani (2014) dan penelitian ini adalah pada metode yang digunakan yaitu menggunakan kualitatif deskriptif berupa wawancara. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada lingkup kajian yang dilakukan.
27
Tabel 1.3. Telaah Penelitian NO
Nama, Tahun, Jurnal/Skripsi/tesis
1
Hendarto, Bagus. 2013. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XIX Program Studi MMTITS, Surabaya 2 November 2013
2
Apriyani, 2014 Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada
28
28
Judul
Tujuan
Metode
Hasil Penelitian
Analisa Peran Stakeholders Dalam Mitigasi Bahaya Kebakaran Gedung
Peranan stakeholders terkait pengembangan mitigasi bahaya kebakaran gedung, yang dilakukan dengan mengidentifikasi stakeholders yang terlibat didalam mitigasi bahaya kebakaran gedung, dan menganalisa kontribusi stakeholders dalam mitigasi bahaya kebakaran gedung.
Menggunakan pengumpulan data survey kuesioner untuk kemudian data yang didapatkan dikaji menggunakan analisa crosstabulation untuk mengetahui hubungan antara masing-masing respon pertanyaan yang diberikan dengan peran masing-masing stakeholders.
Analisis Peran Stakeholders Kunci Dalam Pengembangan Desa Wisata Karang Tengah Kabupaten Bantul
1) Mengidentifikasi stakeholders kunci dalam pengembangan desa wisata Karang Tengah. 2) Menjelaskan peran yang dijalankan oleh masingmasing stakeholders. 3) Mendeskripsikan interaksi antar stakeholders.
Kualitatif deskriptif, peneliti melakukan pengamatan langsung ke lapangan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara.
Pelaksanaanya penerapan pemeliharaan bangunan gedung disurabaya didapatkan bahwa masing-masing stakeholders memiliki peranan yang berbeda dan memiliki kontribusi spesifik dalam beberapa aktivitas tertentu tentunya hal ini perlu mendapatkan perhatian yang baik dan selanjutnya diperlukan penelitian lanjutan dengan cakupan seluruh stakeholders yang terlibat sehingga bisa mendapatkan penilaian sejauh mana peranan masing-masing stakeholde dapat memberikan impact didalam meningkatkan kinerja mitigasi kebakaran gedung. Pemerintah (Kemenparekraf), pemerintah daerah Bantul, Yayasan Royal Silk, Maskapai penerbangan Garuda Indonesia, Bank BNI, dan masyarakat lokal desa Karang Tengah. stakeholders ini terlibat dalam 4 variasi peran yaitu sebagai regulator, fasilitator, perencana, dan pelaksana kegiatan pengembangan desa wisata dengan batas-batas tertentu sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Interaksi stakeholders berpola sederhana, dimana pihak pemerintah daerah dan pihak swasta melakukan interaksi langsung dengan masyarakat sebagai penerima manfaat kegiatan. Belum ditemukan adanya kerjasama yang sinergis antar stakeholders dalam suatu program/kegiatan tertentu.
Lanjutan Tabel 1.3 Telaah Penelitian 3
Abd. Kadir W., San Afri Awang. 2013. Jurnal manusia dan lingkungan, vol.20, No.1, Maret. 2013:11-21
l) Mengidentifikasi para pihak terkait (Stakeholders) dalam pengelolaan TN Babul; 2) Mendapatkan penjelasan mengenai kepentingan (interest) dan pengaruh (power) setiap (Stakeholders) dalam pengelolaan TN Babul; 3) Merumuskan peran para pihak terkait (Stakeholders) dalam mengakomodir kepentingan masyarakat terkait peremajaan kemiri dalam kawasan TN Babul Andi Hakim R, Analisa Peran Menganalisis Stakeholders 2010 Stakeholders yang lebih berperan Skripsi, Fakultas Terhadap penting diantara Teknik, Jurusan Manajemen Stakeholders lainnya, Sipil, Universitas Lingkungan dalam meminimalisir Indonesia. Pada Proyek dampak negatif proyek. Pertambangan Bauksit (Studi Kasus Pt.X Di Desa Tembeling Kabupaten
4
29
29
ANALISIS Stakholder Pengelolaan Taman Nasional Bantimurug Bulusaraugo Provinsi Sulawesi Selatan
Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan observasi dan wawancara (interview).
1. Stakeholders primer dalam pengelolaan TN Babul terdiri dari Balai TN Babul, Masyarakat sekitar TN Babul, PDAM Maros, Disparbud Maros, dan Lernbaga Pengelola Air Desa 2. Kepentingan Stakeholders dalam Data yang pengelolaan TN Babul terdiri dari dikumpulkan kepentingan untuk menjaga kelestarian dianalisis kawasan, dan kepentingan untuk dengan teknik memperoleh manfaat atas keberadaan analisis deskriptif Taman Nasional. kualitatif. 3. Peran-peran yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini dapat berupa fungsi kontrol, bantuan fisik (bibit tanaman), bantuan teknis (teknik pengolahan lahan, penyuluhan, pelatihan dan pendampingan), serta dukungan penelitian kebijakan pengelolaan TN Babul. Studi Kasus Pengkordinir seluruh instansi dan dinas menggunakan pada tim penilai AMDAL Stakeholders analisis data metode yang memiliki peranan paling signifikan AHP. adalah Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
Sumber : Analisis Penulis, 2016 ,
30
30
1.8
Batasan Operasional 1. Infrastruktur dalam penelitian ini meliputi adalah kelompok jalan, pelayanan transportasi, air, limbah, bangunan, dan listrik (Grigg, 1988) 2. Pengembangan infrastruktur yang dimaksud adalah berkaitan dengan pembangunan dan perbaikan infrastruktur (Kementerian Pekerjaan Umum, 2009). 3. Parapihak dideskripsikan sebagai pemangku kepentingan atas siapa yang memberi dampak dan/atau siapa yang terkena dampak kebijakan, program, dan aktivitas pembangunan (Iqbal, 2007). 4. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana) 5. Pascabencana adalah fase setelah terjadinya bencana diawali pada masa transisi (BNPB, 2010)
31