1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia semakin bersikap individualis, sebagian besar manusia perilakunya dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi. Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga cenderung melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya yaitu melupakan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan aspek sosialitas dirinya. Seringkali teknologi yang dibuat untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Theo Rianto (http : // www. sfereacarch . org / content / view / 175 / 65/ lamp) menyatakan: Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik. Slamet Iman Santoso dalam Soemarno Soedarsono (2008:23) mengatakan “Pembinaan watak merupakan tugas utama pendidikan”. Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan Herbert Spencer dalam Soemarno Soedarsono (2008:25) yang mengatakan “The great aim of education is
2
not knowledge but action”, bahwa tujuan utama pendidikan bukanlah pengetahuan tapi penampilan atau tindakan. Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Salah satu fungsi pendidikan bagi manusia adalah sebagai upaya strategis melestarikan budaya pada komunitasnya. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Berdasarkan Undang-undang Sisdiknas diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam masyarakat merupakan alat untuk mengembangkan potensi diri masyarakat, mencerdaskan bangsa, serta merubah sikap untuk memperoleh kemajuan. Hal itu sejalan dengan pendapat Winecoff dalam Nitya Wismaningsih (2001:4) yang menyatakan: Pendidikan bertujuan untuk membantu siswa mengeplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis, sehingga kelak membantu siswa dalam bertingkah laku dengan cara yang diterima dalam masyarakatnya dan yang berguna bagi sesamanya. Tugas guru memang berat, guru tidak hanya dituntut untuk melakukan kegiatan fisik dalam bentuk kegiatan mengajar, tetapi juga harus melakukan kegiatan nonfisik, yakni mendidik, mewariskan, dan menyemaikan nilai-nilai luhur hakiki kepada siswanya. Ini jelas tugas dan amanat yang amat berat ketika nilai-nilai yang
3
berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat sudah demikian jauh merasuk dalam dimensi peradaban yang kacau. Nilai-nilai luhur hakiki yang disemaikan disekolah benar-benar harus berhadapan dengan berbagai “penyakit sosial” yang telah hidup dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Peran pendidikan menjadi sangat penting, karena dengan pendidikan kepribadian dan jati diri bangsa bisa dimantapkan. Yoyon Bahtiar Irianto dan Eka Prihatin (2008: 315) mengatakan: Pendidikan dapat menjadi wahana strategis untuk membangun kesadaran kolektif (colective conscience) sebagai warga mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman budaya, ras suku bangsa, dan agama sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan seiring dengan berkembangnya dinamika sosial. Perkembangan dinamika sosial sebagai bentuk aksireaksi masyarakat terhadap keberlangsungan berbagai bidang kehidupan di tengahtengah mereka yang juga turut mempengaruhi dinamika pendidikan, karena berbagai bidang kehidupan tersebut kenyataannya merupakan subsistem yang saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam suasana dinamis tersebut pengembangan dan penggalian nilai-nilai budaya sangat diharapkan dapat memberikan arah bagi sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Betapa pentingnya mengembangkan nilai-nilai budaya sehingga akan mampu menangkal penetrasi budaya asing. Hal ini bertujuan untuk memperkuat jati diri bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan serta mengaktualisasikan nilai-nilai budaya yang sudah melekat pada kultur masyarakat Indonesia selama ini. Soemarno Soedarsono (2008:21) mengatakan bahwa jati diri bangsa tampil dalam tiga fungsi, yaitu :
4
1. Penanda keberadaan atau eksistensinya (bangsa yang tidak mempunyai jati diri tidak akan eksis dalam berbangsa dan bernegara). 2. Pencerminan kondisi bangsa yang menampilkan kematangan jiwa, daya juang, dan kekuatan bangsa (ini akan tercermin dalam kondisi ketahanan bangsa pada khususnya). 3. Pembeda bangsa dengan bangsa lain di dunia (disinilah harus tampak makna Pancasila sebagai yang harus bisa kita banggakan dan unggulkan, yang merupakan pembeda dari bangsa-bangsa lain di dunia). Keberhasilan
pendidikan
akan
tercapai dengan adanya
pelaksana
pendidikan, dalam dunia pendidikan disebut dengan istilah pendidik dan tenaga kependidikan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa: 1. Tenaga
kependidikan
bertugas
melaksanakan
administrasi,
pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. 2. Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi. Guru sebagai pendidik merupakan gerbang awal dalam pembentukan kepribadian siswa. Hal ini mengandung arti bahwa guru memberikan pengaruh yang cukup bermakna bagi terwujudnya manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Guru merupakan orang yang
5
ditangannya terletak masa depan bangsa. Sebab pendidikan generasi yang akan melanjutkan perjuangan kemuliaan bangsa ini berada di tangannya. Pasal 3 Undangundang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan: Fungsi dan tujuan pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis secara bertanggungjawab. Guru harus menyadari profesi dan tanggung jawabnya yang besar. Guru adalah sosok pribadi yang digugu dan ditiru. Sebab yang baik menurut anak didik adalah apa yang guru perbuat dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang guru tinggalkan. Guru mempunyai peranan yang sangat strategis terutama dalam membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Dipandang dari dimensi pembelajaran, peranan guru dalam masyarakat Indonesia tetap dominan sekalipun teknologi yang dimanfaatkan dalam proses pembelajaran berkembang amat cepat. Hal ini disebabkan karena adanya dimensidimensi proses pendidikan, atau lebih khusus lagi proses pembelajaran, yang diperankan oleh guru yang tidak dapat digantikan oleh teknologi. (Mohammad Fakry Gaffar dalam Faisal, 2003:21). Kegiatan pembelajaran dibuat dan dilaksanakan untuk memberikan bantuan kepada siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Kegiatan pembelajaran berisikan tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa secara berurut untuk mencapai kompetensi dasar sesuai dengan urutan materi pembelajaran. Oleh karena itu, dalam kegiatan pembelajaran hendaknya menunjukkan pengelolaan pengalaman
6
belajar siswa berupa kegiatan siswa dan materi pembelajaran. Sumiati (2008:194) mengatakan
“kegiatan
pembelajaran
harus
mengembangkan
pengetahuan,
keterampilan, dan sikap serta memberikan bekal kecakapan hidup (life skill) kepada siswa untuk dikuasainya dalam menghadapi permasalahan di dalam kehidupannya”. Oleh karena itu, sudah seharusnya diterapkan pembelajaran yang berbasis nilai-nilai budaya, yaitu mengintegrasikan kecakapan hidup dalam pembelajaran untuk mengembangkan
keterampilan
pribadi/personal,
keterampilan
sosial,
dan
keterampilan vokasional. Kecakapan hidup merupakan kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, seperti kemampuan berpikir, berkomunikasi secara efektif, bekerja sama, berperan dan bertanggung jawab sebagai warga negara, siap, cakap, berkarakter, dan beretika untuk bekerja. Bagi siswa kecakapan hidup adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan masalah hidup dan kehidupan, baik secara pribadi, warga masyarakat, maupun warga negara. (Depdiknas dalam Sumiati, 2008:181) Sekolah merupakan satu kesatuan sistem pendidikan yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling bergantung satu dengan yang lainnya. Sebagaimana Daman Hermawan dan Cepi Triatna (2008:77) memandang sekolah sebagai sebuah organisasi sosial. Selanjutnya dikatakan: Sebagai organisasi sosial, sekolah bercirikan oleh adanya saling ketergantungan antara satu bagian dengan bagian lainnya, kejelasan anggota, perbedaan dengan lingkungannya, hubungan sosial yang kompleks, dan budaya organisasi yang khas. Peningkatan kualitas pendidikan yang diselenggarakan suatu sekolah juga tidak terlepas dari kinerja tenaga pendidiknya, baik tidaknya kinerja sebuah sekolah sangat tergantung dari baik tidaknya kinerja tenaga pendidiknya. Notomiharjo dalam
7
Sedarmayanti (2008:253) menyatakan “kinerja adalah suatu kemampuan yang diukur berdasarkan pelaksanaan tugasnya”. Adapun Abdul Azis Wahab (2006:231) mengatakan “semua organisasi memiliki identitas yang berkenaan dengan lokasi dan waktu, para pelanggan yang dilayani, tugas-tugas yang harus diselesaikan, dan proses-proses yang harus dimulai dan dipelihara”. Dari pendapat tersebut penulis menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan semua organisasi memiliki identitas yang berkenaan dengan lokasi dan waktu merupakan hal-hal yang berhubungan dengan budaya yang tumbuh serta berkembang pada suatu komunitas tertentu. Sedangkan para pelanggan yang dilayani adalah siswa sebagai input dari sebuah sekolah. Adapun tugas-tugas yang harus diselesaikan dan proses-proses yang harus dimulai dan dipelihara adalah kinerja dari personil sekolah, salah satu diantaranya yang merupakan faktor terpenting adalah kinerja guru. Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru tidak perlu lagi harus berceramah dan menjejalkan banyak teori kepada siswanya. Bukan saatnya lagi anak diperlakukan seperti wadah kosong yang hanya sekadar menjadi penampung ilmu. Peserta didik perlu diperlakukan secara utuh dan holistik sebagai manusia-manusia pembelajar yang akan menyerap pengalaman sebanyak-banyaknya melalui proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu, pembelajaran harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu memberikan gambaran bagaimana peserta didik dapat berinteraksi dengan sesamanya. Pada saat guru berada didalam kelas, di situlah guru akan menjadi pusat perhatian peserta didiknya. Segala aspek yang ada pada guru mulai dari penampilan fisik, cara bicara, kedisiplinan dan kepribadian akan menjadi perhatian murid. Di
8
mata murid, guru seolah-olah diposisikan sebagai pribadi yang tidak punya cacat dan cela. Guru sebagai pendidik diharapkan dapat mendidik siswanya sesuai dengan keragaman
karakteristik
dan
kondisi
objektif
siswa
dengan
lingkungan
kontekstualnya. Dengan demikian seorang guru dapat menyandang tugas profesional, sebagaimana Abin Syamsuddin (1996:124) menjelaskan bahwa guru seyogianya: 1. Memiliki pengetahuan dan pengertian tentang pertumbuhan jiwa manusia dari segala taraf dan perkembangan dari segala segi dan sendinya demikian pula dengan proses belajar mengajar. 2. Memiliki pengetahuan dan pengertian tentang alam dan masyarakat, yaitu faktorfaktor yang mempengaruhi proses belajar mengajar khususnya dan pendidikan umumnya. Hal ini sangat penting bagi pembentukan dasar latar belakang kulturil untuk seorang guru mengingat kedudukan dan fungsinya dalam masyarakat dimana ia mengabdi. 3. Menguasai sepenuhnya pengetahuan dan pemahaman tentang vak (bidang disiplin ilmu/studi) yang ia ajarkan. 4. Memiliki secukupnya pengetahuan dan pengalaman tentang seni mengajar; hal ini hanya dapat diperoleh setelah mempelajari metodik dan dikdaktik teoritis mapun praktis, umum maupun khusus, termasuk praktek mengajar secukupnya. Kemampuan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran merupakan salah satu syarat utama seorang guru dalam mengupayakan hasil yang lebih baik dari pembelajaran yang dilaksanakannya. Pembelajaran yang mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab guru sebagai pendidik yang profesional. Adapun mengenai pembelajaran yang mendidik Sunaryo (2009:3) menyatakan:
9
Pembelajaran yang mendidik adalah proses mentransformasikan pengetahuan dan keterampilan yang sekaligus diiringi pengembangan karakter, kerja keras, kejujuran, dan peduli mutu, disertai dengan sistem evaluasi yang membangun objektivitas dan kejujuran. Pembelajaran yang mendidik membangun hard skills dan soft skills sebagai keutuhan. Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kendali mutu pembelajaran terjadi pada diri guru dalam menguasai kompetensi kependidikan. Soewondo (2004:3) memberikan penjelasan bahwa “kompetensi adalah spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki seseorang serta penerapannya di dalam pekerjaan, sesuai dengan standar kinerja yang dibutuhkan oleh lapangan”. Dengan demikian kompetensi yang dimiliki setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan maupun sikap profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Salah satu tolok ukur keberhasilan mengajar adalah menggunakan hasil yang dicapai siswa dalam belajar yang diperoleh dari kegiatan penilaian. Penilaian merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan pendidikan, Harun Rasyid (2008: 5) mengatakan bahwa “kualitas pembelajaran dapat dilihat dari hasil penilaianya”. Selanjutnya Harun Rasyid (2008:7) mendefinisikan “penilaian sebagai proses pengumpulan informasi tentang kinerja siswa untuk digunakan sebagai dasar dalam membuat keputusan”. Fokus penilaian adalah prestasi belajar yang dicapai oleh individu. Proses penilaian meliputi pengumpulan bukti-bukti tentang pencapaian belajar peserta didik. Bloom dalam Harun Rasyid (2008:13) menyatakan bahwa “hasil belajar mencakup peringkat dan tipe prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif”.
10
Sejalan dengan pendapat tersebut Andersen dalam Harun Rasyid (2008:14) mengatakan bahwa: Karakteristik manusia meliputi tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia dan dalam bidang pendidikan ketiga ranah tersebut merupakan hasil belajar. Kemampuan afektif merupakan bagian dari hasil belajar dan memegang peraanan penting terhadap keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor. Krathwohl dalam Harun Rasyid (2008: 14) menyatakan “jika ditelusuri, hampir semua tujuan kognitif mempunyai komponen afektif”. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal, guru dalam merancang program pembelajaran dan pengalaman belajar siswa harus memperhatikan karakteristik afektif siswa. Berdasar latar belakang pemikiran di ataslah yang
mendorong penulis
memilih judul: Pengaruh Pembelajaran Berbasis Nilai-Nilai Budaya Dan Kinerja Guru Terhadap Hasil Belajar Siswa, dengan sub judul Studi Analisis Deskriptif di SMA Negeri se-Kabupaten Sumedang.
B. Identifikasi Masalah Dari uraian pada latar belakang penelitian, jelaslah bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, diantaranya: kompetensi guru dalam mengelola pembelajaran,
pembelajaran
yang
berbasis
nilai budaya
lokal,
kinerja guru, dan kemampuan afektif siswa. Dari beberapa faktor tersebut, yang paling menarik untuk diteliti adalah pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya dan kinerja guru.
11
C. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang penelitian dan identifikasi masalah, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Seberapa besar pengaruh pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya terhadap hasil belajar siswa? 2. Seberapa besar pengaruh kinerja guru terhadap hasil belajar siswa? 3. Seberapa besar pengaruh pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya terhadap kinerja guru? 4. Seberapa besar pengaruh pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya dan kinerja guru secara bersama-sama terhadap hasil belajar siswa?
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Yang menjadi tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk lebih mengetahui seberapa besar pengaruh pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya dan kinerja guru terhadap hasil belajar siswa. 2. Tujuan Khusus Adapun yang menjadi tujuan khususnya adalah untuk mengetahui dan mengkaji besarnya: 1. Pengaruh pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya terhadap hasil belajar siswa. 2. Pengaruh kinerja guru terhadap hasil belajar siswa. 3. Pengaruh pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya pada kinerja guru.
12
4. Pengaruh pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya dan kinerja guru terhadap hasil belajar siswa
E. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Guru, agar lebih memahami tugas dan fungsinya sebagai tenaga pendidik yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam peningkatan hasil belajar siswa. 2. Pengambil kebijakan pendidikan, sebagai bahan yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan dalam upaya menjadikan sekolah agar mempunyai daya saing yang tinggi dengan berbasis pada keunggulan lokal. 3. Pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan dalam memperkaya kajian ilmu sosial dan memberikan masukan positif bagi bidang ilmu Administrasi Pendidikan.
F. Anggapan Dasar dan Hipotesis 1. Anggapan Dasar Riduan (2009:30) mengatakan “fungsi asumsi dalam sebuah tesis merupakan titik pangkal penelitian dalam penulisan tesis”. Sejalan dengan pendapat tersebut Arikunto (2003:60) menyatakan bahwa “asumsi-asumsi atau anggapan dasar penelitian dipandang sebagai landasan teori atau titik tolak pemikiran yang digunakan dalam suatu penelitian, yang mana kebenaranyya diterima oleh peneliti”.
13
Asumsi yang melandasi penelitian tentang pengaruh pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya dan kinerja guru terhadap hasil belajar siswa adalah: Proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan formal di sekolah, di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai komponen pembelajaran. Komponen-komponen itu dapat dikelompokan ke dalam tiga katagori yaitu guru, isi atau materi, dan siswa (Sumiati, 2008:3). Interaksi antara ketiga komponen utama tersebut melibatkan sarana dan prasarana sehingga tercipta situasi pembelajaran yang memungkinkan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Tujuan pembelajaran pada dasarnya merupakan harapan, yaitu apa yang diharapkan dari siswa sebagai hasil belajar. Robert F. Meager dalam Sumiati (2009: 10) mengatakan bahwa “tujuan pembelajaran adalah maksud yang dikomunikasikan melalui pernyataan yang menggambarkan tentang perubahan yang diharapkan dari siswa”. Dalam rangka menghadapi kehidupan yang terus mengalami perubahan sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pendidikan pada jenjang persekolahan dituntut untuk bisa menyesuaikan dan mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi. Pembelajaran tidak hanya ditujukan untuk semata-mata membentuk intelek tetapi diarahkan agar siswa dapat mempelajari sesuatu yang berhubungan dengan fungsi kehidupan, sehingga diperlukan pembelajaran yang berbasis pada nilai-nilai budaya. Pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya mengintegrasikan kecakapan hidup dalam semua mata pelajaran yang ada di sekolah. Sumiati (2009: 183) membagi kecakapan menjadi empat katagori, yaitu: (1) kecakapan hidup personal, (2) kecakapan hidup sosial, (3) kecakapan hidup akademik, dan (4) kecakapan hidup vokasional.
14
Kinerja guru sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, hasil kerja atau unjuk kerja yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Hoy dan Miskel dalam Riduwan (2009:91) menyatakan bahwa “kinerja (performance) = f (ability x motivation)”. Kinerja ditentukan oleh (a) kemampuan yang diperoleh dari hasil pendidikan, pelatihan, pengalaman, sedangkan (b) motivasi yang merupakan perhatian khusus dari hasrat seorang pegawai dalam melakukan suatu pekerjaan dengan baik. Hasil belajar merupakan bentuk pencapaian atau penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan instruksional (Nana Sudjana, 1995:2). Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar, Ngalim Purwanto (1992:107) mengemukakan faktorfaktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar, yaitu : 1. Fator luar yang terbagi menjadi: a. Faktor lingkungan, yaitu faktor alam dan faktor sosial b. Faktor instrumental, yitu : kurikulum/bahan ajar, guru, sarana dan fasilitas, administrasi/manajemen 2. Faktor dari dalam yang terbagi menjadi: a. Faktor fisiologis, yaitu :kondisi fisik dan kondisi panca indera b. Faktor psikologis, yaitu : bakat, minat, kecerdasan, motivasi, dan kemampuan kognitif.
2. Hipotesis Berdasarkan anggapan dasar penelitian sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
15
1. Pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya (X1) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa (Y). 2. Kinerja guru (X2) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa (Y). 3. Pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya (X1) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru (X2). 4. Pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya (X1) dan kinerja guru (X2) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa (Y).
G. Metode Penelitian Berdasarkan data yang akan dianalisis, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Sebagaimana Sugiono (2008:14) mengatakan: Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif /statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan”. Sedangkan statistik yang digunakan adalah statistik inferensial, hal ini sejalan dengan pendapat Sugiono (2008:209) yang menyatakan “statistik inferensial adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data sampel dan hasilnya diberlakukan untuk populasi”.
16
H. Lokasi dan Sampel Penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah Kabupaten Sumedang dengan populasi penelitian adalah SMA Negeri yang berjumlah 15 sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 12.132 orang. Hal itu sesuai dengan apa yang dikemukakan Sugiyono (2008:117) bahwa: “populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”. Sampel ditentukan dengan menggunakan teknik proportionate stratified random sampling, hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan Akdon (2008:100) bahwa “teknik proportionate stratified random sampling adalah teknik pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara proposional”. Sampel ditentukan dengan menggunakan pertimbangan kualitas pelaksanaan pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya pada masing-masing sekolah.