BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan aktivitas yang paling banyak menyita waktu seseorang (Baron & Byrne, 2005). Beberapa orang menganggap bekerja sebagai sebuah identitas diri dan status sosial (Setyarini & Atamimi, 2011). Di samping persepsi tersebut, bekerja merupakan kebutuhan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Seseorang yang bekerja tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai (Noviani, 2007). Usaha mencapai tujuan tersebut dilakukan salah satunya dengan memilih jenis pekerjaan. Di masa sekarang ini, variasi jenis pekerjaan sangat beragam. Banyaknya jenis pekerjaan ini memungkinkan seseorang untuk memilih pekerjaan sesuai dengan keinginan mereka. Noviani (2007) menyatakan bahwa ada beberapa jenis pekerjaan yang dapat dipilih seseorang, antara lain pegawai negeri, pegawai swasta, dan wirausaha. Pekerjaan lain yang juga banyak diminati masyarakat diantaranya dokter, hakim, tentara, polisi, dan lain-lain. Berbagai jenis pekerjaan ini juga diikuti dengan berbagai persepsi tentang pekerjaan tersebut. Menurut Cejka & Eagly (dalam Baron & Byrne, 2005) jenis pekerjaan dipersepsikan sebagai feminin atau maskulin disertai dengan atributatributnya. Pekerjaan yang dipersepsikan sebagai maskulin memiliki atribut seperti berani, kompetitif, dan matematis. Di sisi lain, pekerjaan yang dipersepsikan sebagai feminin memiliki atribut cantik, bekerja sama, dan intuitif. Berkaitan dengan hal tersebut, mayoritas pekerja dalam pekerjaan seperti guru PAUD/TK, guru SD, guru SLB, perawat, dan pegawai administrasi kantor merupakan seorang wanita. Di lain pihak, pekerjaan seperti pemadam kebakaran atau polisi, insinyur, 1
2 programmer komputer, bidang transportasi, konstruksi, dan sumber daya alam didominasi oleh laki-laki (Newman & Newman, 2012). Salah satu pekerjaan yang ada di Indonesia dan banyak diminati adalah polisi. Dalam pandangan masyarakat, dunia polisi dikenal dengan dunia kerja lakilaki. Polisi dianggap sebagai dunia kerja laki-laki karena dua sebab. Sebab pertama yaitu karena kebudayaan polisi menjunjung kebudayaan patriarkial, kebudayaan yang selalu mengedepankan patriarki (ayah/laki-laki) karena selama berabadabad, kepolisian adalah organisasi yang hanya beranggotakan laki-laki. Sebab yang kedua yaitu adanya pandangan dari masyarakat sendiri bahwa dunia polisi adalah dunia kerja laki-laki. Polisi sering digambarkan sebagai laki-laki bersenjata yang bertugas untuk memberantas kejahatan dan melawan penjahat. Hal inilah yang membentuk pandangan masyarakat bahwa polisi adalah pekerjaan kaum lakilaki (Harsono, 2009). Bukan hanya pandangan sebagai pekerjaan kaum laki-laki saja yang melekat pada polisi akan tetapi banyak pandangan masyarakat tentang profesi ini, salah satunya tentang kinerja polisi. Penelitian yang dilakukan oleh Tyas & Armawi (1999) menunjukkan bahwa masyarakat memiliki persepsi yang tidak baik terhadap kinerja polisi. Hasil penelitian menyatakan bahwa sikap polisi dalam penegakkan hukum dan penanganan perkara dianggap tidak baik. Tidak baik di sini memiliki arti bahwa polisi tidak berwibawa, tidak mendidik, pilih kasih, tidak mandiri (ada intervensi dari pihak lain) dan tidak menghargai hak-hak tersangka. Di sisi lain, ada persepsi bahwa kedisiplinan polisi dalam melayani masyarakat, sikap meminta imbalan dalam memberikan pelayanan, dan pengurusan perizinan di kantor polisi dinilai belum baik oleh masyarakat. Terkait kinerja polisi, survei yang dilakukan oleh lembaga survei Poltracking Indonesia tentang evaluasi publik
3 mengenai kinerja institusi demokrasi menunjukkan bahwa Polri menempati urutan ketiga sebagai lembaga yang paling tidak memuaskan. Polri memperoleh 55,9% sedangkan DPR RI dengan 66,5% menempati urutan pertama, disusul partai politik 63,5% di urutan ke dua (www.tribunnews.com). Dalam dunia kepolisian sendiri kita mengenal ada polisi laki-laki (polki) dan polisi wanita, yang selanjutnya disebut polwan. Masuknya polwan ke dalam tubuh Polri memang merupakan pengalaman baru dan memberikan warna baru pada pekerjaan dan gaya pemolisian (Rahardjo, 2002). Polwan adalah profesi yang unik dan penuh tantangan karena terkandung dua makna berlawanan secara sosial dan budaya di dalam dua kata tersebut. Sebagai polisi, polwan sebagian besar memiliki tugas untuk menghadapi kekerasan, yang dalam hal ini bermakna maskulin. Sebagai wanita, polwan diharapkan memiliki sifat feminin dan tindak tanduk yang baik di dalam maupun di luar pekerjaan mereka (Astuti, 2014). Berkaitan dengan profesi ini, polwan akhir-akhir ini menjadi semakin ramai diperbincangkan di masyarakat. Hal tersebut terjadi seiring makin maraknya polwan yang muncul di televisi dan media lainnya. Di samping karena kemunculan polwan di media masa, perbincangan tentang polwan ramai dengan bahasan negatif tentang profesi ini. Polwan cenderung dilihat sebatas sebagai bagian dari pencitraan Kepolisian, keberadaan polwan dianggap sebagai pelengkap, seperti di bagian staf, ajudan, dan tukang antar faks (www.tempo.co). Pandangan serupa bukan hanya berasal dari masyarakat umum, namun juga dari internal polisi. Ada beberapa polwan yang menyatakan keluhannya tentang posisi mereka. Para polwan ini mengaku sering diajak petinggi Polri untuk mengikuti acara dalam rangka dinas maupun di luar kedinasan. Ada yang diminta menemani acara jamuan makan, karaoke, atau menemani komandannya bertemu
4 dengan sumber. Dari acara pertemuan begini ada yang sekadar ngobrol, makan bersama, menyanyi bersama. Keluhan lain yang sering muncul yakni adanya oknum pejabat kepolisian yang meminta polwan bawahannya siaga 24 jam di sampingnya, dimana pun dia berada (www.tempo.co). Di kalangan polisi laki-laki sendiri masih sering terdengar komentar dan kritik mengenai kehadiran polwan, khususnya ketika mereka diberikan pekerjaan reserse secara penuh. Beberapa kali ditemukan ada polwan yang menangis ketika menghadapi situasi sulit seperti meratapi rekannya yang tewas dalam tugas dan saat menangani kemacetan lalu lintas (Rahardjo, 2002). Berdasarkan pernyataanpernyataan tersebut terlihat bahwa menjadi seorang polwan bukan pekerjaan yang mudah karena berada di lingkungan kerja yang syarat dengan kekerasan dan budaya maskulin. Di tengah berbagai pandangan miring tentang institusi Polri dan polwan khususnya yang dianggap sebagai pencitraan dan kurang kompeten, sosok polisi masih memiliki posisi tersendiri di masyarakat. Salah satu bukti dari hal tersebut yakni semakin banyak orang yang menjadi anggota polisi serta wanita yang menjadi seorang polisi wanita (polwan). Data menunjukkan dari tahun ke tahun jumlah anggota polwan dan polki semakin meningkat. Tabel 1. Prosentase Jumlah Kenaikan Polwan dan Polki Tahun 2003-2007 2003
2004
2005
2006
2007
8.189
8.989
9.879
10.589
11.389
264.666
289.666
314.666
339.666 364.666
jumlah 3,094%
3,103%
3,110%
3,117%
Polwan Jumlah anggota Polri Prosentase
3,123%
Polwan
(Sumber : Pengarusutamaan Gender dalam Tugas-Tugas Kepolisian, 2009)
5 Peningkatan minat menjadi polisi khususnya polwan dapat juga dilihat dari jumlah pendaftar saat seleksi penerimaan polisi. Dari data yang diperoleh, pada tahun 2014 jumlah pendaftar brigadir polisi tercatat ada 204.440 orang. Dari jumlah tersebut, tercatat sebanyak 139.030 pria dan 65.410 wanita yang mendaftar (www.nasional.kompas.com). Data tahun 2011 menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan anggota Polri sebanyak 387.470 orang dengan jumlah polwan sebanyak 14.012 orang atau sekitar 3,26% dari total jumlah polisi di Indonesia (www.kepolisian.wordpress.com). Data terbaru menyebutkan bahwa pada tahun 2014 jumlah polwan yang ada di institusi Polri baru mencapai 15.000 personil dari keseluruhan
jumlah
anggota
polisi
yaitu
400.000
personil
(www.nasional.kompas.com). Hal tersebut menunjukkan bahwa prosentase jumlah polwan baru mencapai 3,6 % dari total jumlah personil polisi (www.tempo.co). Data tersebut dapat dituliskan dalam tabel sebagai berikut. Tabel 2. Prosentase Jumlah Kenaikan Polwan dan Polki Tahun 2007-2014 2007
2011
2014
Polwan
11.389
14.012
15.000
Jumlah anggota Polri
364.666
387.470
400.000
Prosentase jumlah Polwan
3,123%
3,26%
3,6 %
Minat menjadi polwan juga ditemukan di lingkungan sekitar peneliti. Peneliti menemukan ada beberapa orang di sekitar peneliti yang semula berstatus sebagai mahasiswa kemudian menjadi seorang polwan, mulai dari teman, tetangga, adik tingkat ketika SMA, dan adik dari teman peneliti. Berawal dari fenomena ini, peneliti kemudian tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang pilihan yang diambil oleh orang-orang yang ada di sekitar peneliti tersebut. Terkait dengan hal
6 itu, Glasser (2000) menyatakan bahwa individu memilih suatu tindakan atau perilaku dan bebas bertingkahlaku berdasarkan motivasi, pilihan yang sifatnya fleksibel, dan kreatif. Berdasarkan temuan dan pendapat tersebut, peneliti mulai mencari informasi dengan melakukan studi pendahuluan baik studi literatur maupun wawancara. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan April 2015, peneliti menemukan bahwa ada persepsi positif dari setiap subjek tentang profesi polwan. Hal tersebut terbukti dari potongan percakapan dengan subjek MH sebagai berikut. “Yo ndisik ki.. opo? Ndelokne polwan ki yo gagah sih..” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “Ya dulu tu apa ya? Lihat polwan itu ya gagah sih ..” Subjek RT juga memiliki persepsi yang positif terhadap sosok polwan. Subjek RT mengatakan bahwa polwan itu menarik. “Menarik. Polri itu menarik ngono lho. Pertama ki cuma, masyarakat kan mandange mesti, oh Polwan yo? Apik yo? Gagah yo? Wong cah wedok gagah yo? Maksute dari pakaian, dari apapun tingkahlakune Polwan ki mesti ngono kui to? Menarik.. Lha bagiku ki dan aku dinasehati karo mbak Vera kui…” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “Menarik. Polri itu menarik gitu lho. Pertama itu cuma masyarakat kan pasti memandang, oh polwan ya? Bagus ya? Orang anak perempuan kok gagah ya? Maksutnya dari pakaian, dari apapun tingkahlakunya polwan itu pasti gitu kan? Menarik bagiku itu dan aku dinasehati mbak Vera…” Selain terdapat persepsi positif, peneliti menemukan bahwa MH memiliki usaha-usaha terkait dengan keiginannya menjadi seorang polwan. Usaha-usaha tersebut sudah dilakukan semenjak subjek masih duduk di bangku SMA. Hal tersebut terbukti dari potongan percakapan berikut.
7 “Yoo wes suwe. Yoo.. opo? Ndisik kan kelas satu kelas dua ngono kae, wah aku kepengen daftar polwan kepiye carane kudune aku iso duwur. Yo terus, yo renang-renang terus ngono kae. Yoo.. mundake mung setitik .. aku rakyo le ngenes to? Ya Allah aku ngene ki.. Yoo.. ndisik ki mung usaha usaha usaha.” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “Yaa udah lama. Yaa apa ya? Dulu kan kelas satu kelas dua gitu, wah aku kepingin daftar polwan gimana caranya aku harus bisa tinggi. Ya terus, ya renang-renang terus gitu. Yaa naiknya cuma sedikit.. aku kan ya ngenes ya? Ya Allah aku kok gini.. Ya dulu tu cuma usaha-usaha” Usaha-usaha terkait keinginan menjadi polwan juga dilakukan oleh subjek RT. Usaha-usaha yang dilakukan sudah berlangsung lama. Usaha yang dilakukan subjek juga beberapa kali menemui kendala. Hal tersebut terbukti dari potongan percakapan sebagai berikut. “… Kui, tapi pas daftar-daftar kui ki Polri malah rung tau aku. Polri malah rung tau, tau ne malah TNI terus. Opo ikatan dinas-ikatan terus. Ngono kui, tapi ra ono sek nyantol. Terus aku memilih untuk kuliah. Lha kuliah kui ki batu loncatan nggo aku. Daripada aku nganggur selama satu tahun, aku kuliah neng hukum. Lha aku yo jupuk hukum kui tujuan ku nggo neng Polri.” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “… itu, tapi pas daftar-daftar itu Polri itu belum pernah aku. Polri belum pernah, yang pernah malah TNI terus. Apa kalau nggak dinas-ikatan terus. Gitu, tapi nggak ada yang nyantol. Terus aku memilih untuk kuliah. Lha kuliah itu batu loncatan buat aku. Daripada aku nganggur selama satu tahun, aku kuliah di hukum. Lha aku ambil hukum itu tujuannya buat di Polri.” Selain usaha-usaha tersebut, subjek RT juga melakukan usaha lain seperti beribadah dan berdoa kepada Allah SWT. Hal tersebut terbukti dari pernyataan subjek sebagai berikut. “…Aku sholat istikharah ngantian. Sakdurunge aku ngerti gagal neng pantukhir pusat, aku sholat istikharah. Ya Allah, nek iki gagal, nek WARA ne udu apik nggo aku yo gagalno (plak, subjek menepuk tangannya), lancarke Polrine.” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “… aku sampai sholat istikharah. Sebelum aku tahu kalau gagal di panthukir pusat, aku sholat istikharah. Ya Allah, kalau ini gagal, kalau
8 WARA bukan yang baik bagiku ya gagalkan (plak, subjek menepuk tangannya), lancarkan Polrinya.” Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan, terlihat bahwa subjek memiliki motivasi dalam memilih pekerjaan sebagai polwan. Hal tersebut dapat dilihat dari usaha-usaha yang dilakukan untuk menjadi polwan. Selain itu, subjek juga menunjukkan perilaku-perilaku yang arahnya menuju pada pemenuhan keinginannya menjadi polwan. Motivasi adalah mengapa individu bertingkahlaku, berpikir, dan memiliki perasaan dengan cara yang mereka lakukan, dengan penekanan pada aktivasi dan arah dari tingkah lakunya (Santrock, 2003). Perilaku ditentukan oleh beberapa faktor penyebab, termasuk biologis, lingkungan dan pengalaman belajar masa lalu kita (nurture), serta faktor psikologis yang mencakup pikiran dan motif kita (Passer & Smith, 2008), termasuk perilaku dalam memilih pekerjaan sebagai polwan. Penelitian di New York menunjukkan bahwa ada beberapa alasan utama mengapa seorang wanita memilih untuk menjadi polisi. Beberapa alasan tersebut diantaranya profesi sebagai polisi dianggap memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menolong orang lain (Charles, 1982; Milton, 1972; Ermers; 1978; Perlstein, 1972; Krimmel & Tartaro, 1999; dalam Raganella & White, 2004), job security, dan gaji. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa ada pergeseran pada wanita dalam memilih posisi pada polisi wanita, yakni mereka cenderung untuk memilih peran yang terintegrasi secara penuh termasuk posisi yang istimewa seperti investigator dan marine patrol (Raganella & White, 2004). Berangkat dari fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi dan memahami motivasi dalam memilih pekerjaan sebagai polwan. Peneliti memfokuskan penelitian pada motivasi yang mendasari subjek memilih pekerjaan sebagai polwan serta faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Ranah ini
9 dipilih berdasarkan hasil studi pendahuluan yang menemukan bahwa ada sebagian orang yang memilih bergabung dengan institusi Polri dan meninggalkan status sebelumnya sebagai mahasiswa di tengah banyaknya anggapan bahwa profesi polisi merupakan profesi kaum laki-laki dan pandangan miring terhadap Institusi Polri serta profesi polwan sendiri. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana motivasi seseorang dalam memilih pekerjaan sebagai polwan? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi seseorang sehingga termotivasi memilih pekerjaan sebagai polwan? C. Tujuan Penelitian Di
dalam
penelitian
ini,
motivasi
menjadi
polwan didefinisikan
sebagai suatu penyebab, penggerak, dan pengarah manusia dalam memutuskan untuk menjadi polwan. Penelitian bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami alasan-alasan yang mendasari sebagian orang yang memutuskan untuk bekerja sebagai polwan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya khasanah psikologi terutama dalam bidang psikologi industri dan oraganisasi. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak antara lain: a. Bagi Subjek Penelitian ini diharapkan dapat membantu subjek untuk lebih memahami dirinya. Subjek diharapkan memiliki pemahaman tentang motivasi yang
10 mendasari dirinya sehingga akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang polwan. b. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk melakukan penelitian berikutnya. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melihat aspek psikologis lain yang kiranya mempengaruhi motivasi seseorang dalam memilih suatu pekerjaan, khususnya profesi sebagai polwan. c. Bagi Polri Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada institusi Polri mengenai motivasi yang mendasari anggota polwan memilih profesi ini. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi institusi Polri dengan menjadikan penelitian ini sebagai salah satu masukan dalam pengelolaan SDM di institusi Polri.