BAB I Salafi: Loyalitas Identitas Sosial dan Keperluan Hidup Eksklusif
A. LATAR BELAKANG Perumahan eksklusif belakangan menjadi fenomena jamak di Yogyakarta. Fenomena ini menggelitik karena ada sekelompok orang yang merasa perlu untuk tinggal di dalam perumahan yang tertutup untuk mereka yang berada di luar komunitas penghuninya. Di satu sisi, perumahan sendiri merupakan lingkungan tempat tinggal yang terpisah dari lingkungan sekitarnya. Perumahan umumnya dipilih karena adanya jaminan atas keamanan penghuninya sekaligus menegaskan kelas sosial yang berbeda (Obeng-Odoom et. al, 2013; Widhyharto, 2009). Apalagi, ada penambahan
kata “eksklusif” di
belakangnya yang kian membatasi penghuni di dalamnya. Salah satu bentuk eksklusifitas perumahan di Yogyakarta adalah adanya perumahan muslim. Fenomena yang menarik di kota berjuluk City of Tolerance ini, ada sebuah agama yang berhasil memiliki rung hidup eksklusif. Sebelumnya, ruang hidup eksklusif, atau tinggal homogen dalam suatu area umumnya dilakukan oleh komunitas yang (di)marjinal(kan), seperti komunitas etnik Tionghoa dan Arab, hingga kita mengenal kampung Arab atau pecinan. Menjadi aneh jika ini dilakukan oleh komunitas Islam. Pasalnya, secara statistik, Islam merupakan agama mayoritas penduduk di Yogyakarta. Menurut data BPS (2010), hasil survei penduduk 2010, jumlah pemeluk agama Islam di Provinsi DI Yogyakarta adalah 91,95%. Selain itu, identitas keislaman mendapatkan kebebasan sekaligus pengakuan, baik secara internal maupun eksternal, yang berarti secara politik, Islam bukanlah identitas marjinal. Hal ini menjadikannya unik, sebuah identitas yang mayoritas secara jumlah sekaligus berdaya secara politis merasa perlu bermukim homogen dalam sebuah area.
1
Untuk keperluan penelitian ini kiranya kajian perlu difokuskan pada salah satu dari sekian banyak perumahan muslim di Yogyakarta. Perumahan Muslim KCVRI (Perumahan Veteran) yang terletak di Jalan Kaliurang, Yogyakarta dipilih karena objek, pertama perumahan ini hanya dihuni oleh kelompok Islam-Salafi. Salafi merupakan salah satu kelompok dalam Islam. Kelompok ini pada intinya ingin mengembalikan pengamalan Islam seperti pada zaman Muhammad SAW serta sahabat dan salafus salih (orang-orang saleh terdahulu) (muslim.or.id, 2015). Pandangan ini sedikit banyak berbeda dari sebagain besar umat Islam Indonesia pada umumnya, yang pada umumnya menerima akulturasi Islam-Indonesia. Oleh sebab itu, komunitas ini sering salah dipahami sebagai kelompok radikal dan ekstrim. Kelompok ini merupakan minoritas dalam mayoritas di Indonesia. Alasan
kedua adalah alasan pragmatis, akses informan diharapkan lebih
mudah didapatkan melalui seorang kenalan yang tinggal di dalamnya. Kajian ini melihat bagaimana sebuah identitas (dalam hal ini agama) menunjukkan eksistensinya dalam kerangka ruang. Identitas adalah segala hal yang bisa membedakan „saya‟ (selfness) dan „dia‟ (otherness) (Widayanti, 2009). Kesadaran terdapatnya perbedaan dengan identitas lain diwujudkan dengan „menduduki‟ ruang tertentu dengan label identitas. Dalam hal ini, identitas dimaknai sebagai alat untuk melakukan politik ruang. Kelompok Salafi yang memiliki pandangan keagamaan yang meyatukan individuindividu di dalamnya sehingga memiliki solidaritas sosial. Salafi bukan hanya sebuah penanda praktik keagamaan namun juga menjelma sebagai sebuah identitas sosial. Ikatan identitas sosial ini memerlukan ekspresi eksistensi. Kelompok Salafi memiliki berbagai ekspresi untuk menunjukan keberadaannya
yang menonjolkan perbedaan dengan
identitas lain, mulai dari cara berpakaian, pemisahan fasilitas publik, hingga pemenuhan 2
kebutuhan tempat tinggal. Kajian ini berfokus pada yang terakhir, melacak motivasi komunitas ini memilih memenuhi kebutuhan tempat tinggal secara eksklusif dalam Perumahan Veteran. Sebelumnya, kajian mengenai politik identitas khususnya agama sudah sering dilakukan. Dalam beberapa kajian sebelumnya, ada banyak media bagi identitas agama untuk menunjukkan eksistensinya mulai dari perjuangan bawah tanah hingga menuntut representasi formal (Febriyan, 2009; Maliki, 2009) namun kajian itu belum menyentuh ekspresi keruangan sebagai manifestasi politik identitas. Sementara itu, penelitian lain yang berusaha menggali eksklusisfitas ruang dan Islam, masih berbicara tentang relasi dengan pihak eksternal (Salim, Azekiyah, dan Kailani, 2011). Di mana eksklusivitas ruang dalam sekolah yang dilakukan oleh kelompok Islam memicu reaksi yang beragam, ada resistensi dan negosiasi yang dilakukan oleh kelompok lain. Kajian ini berusaha menutup lubang kajian itu dengan melihat sisi internal dari kelompok yang memilih ruang hidup eksklusif. Melihat watak keislaman komunitas yang tinggal di Perumahan Veteran dan kecenderungan untuk membangun imaji berbeda dengan lingkungannya, tentu menarik untuk mengetahui alasan di baliknya. Perumahan Veteran menjadi ruang (space) yang dibangun bukan saja atas batas-batas fisik namun juga oleh interaksi sosial antar penghuni dan penghuni-non penghuni. Hal ini menunjukkan bagaimana ideologi keagamaan menjadi sebuah identitas sosial yang demikian kuat pada para pemeluknya, bahkan hingga mereka merasa perlu untuk tinggal secara eksklusif. B. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah:
3
Mengapa komunitas salafi merasa perlu tinggal eksklusif dalam Perumahan Veteran? Dengan rumusan masalah tersebut dapat diturunkan menjadi: -
Bagaimana salafi sebagai identitas sosial?
-
Mengapa komunitas salafi memilih mengekspresikan identitasnya dengan tinggal secara eksklusif?
C. TUJUAN Perumahan eksklusif, salah satunya perumahan muslim, belakangan menjadi fenomena jamak di Yogyakarta. Namun demikian, hingga kini penulis belum menemukan karya ilmiah yang bertujuan untuk menemukan alasan didirikannya perumahan muslim, atau dalam lingkup yang lebih luas, mengapa perumahan muslim menjadi jamak. Penelitian ini bertujuan untuk melacak motivasi kelompok salafi memilih untuk tinggal secara eksklusif di lingkungan yang homogen. Pemahaman akan alasan mengapa perumahan muslim didirikan ini akan menjadi pintu gerbang pertama studi terkait teritorialisasi atas nama identitas semacam ini di Yogyakarta. Hal ini dikarenakan teritorialisasi bisa jadi merupakan wajah ganda Islam, di satu sisi merupakan kelompok mayoritas namun di sisi yang lain seakan ada rasa inferior sebagai minoritas. Selain itu, kajian ini diharapkan bisa melengkapi penelitian dengan tema identitas yang telah dilakukan sebelumnya. Pembentukan area tinggal yang eksklusif selama ini belum banyak mendapat sorotan dalam kerangka politik identitas, apalagi dalam lokus lokal di Yogyakarta. penelitian ini semoga bisa menjadi rintisan bagi penelitian sejenis di kemudian hari.
D. TINJAUAN PUSTAKA
4
Topik politik identitas telah dikupas oleh banyak peneliti. Sedari awal, topik ini banyak menyinggung bagaimana sebuah identitas mampu bertahan dan menunjukkan keberadaannya. Ada banyak cara yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk menjaga eksistensinya, mulai dari mengusahakan pengakuan hak warga negara bagi identitas subaltern seperti gay, lesbian, dan waria, perjuangan agama (kepercayaan) yang tidak diakui hingga soal representasi. 1. Politik Sub Altern: Pergulatan Identitas Waria, buku oleh Titik Widayanti (2009). Penelitian ini melihat bagaimana waria sebagai identitas sub altern bergulat untuk memperjuangkan
identitasnya.
Sarana
perjuangan
yang
dipilih
adalah
menggunakan sumber daya ekonomi dan jaringan sosial untuk mendapatkan akses pada layanan publik. Lebih jauh, terdapat pembilahan dalam tubuh waria itu sendiri. Kelompok elite broker, yang memiliki posisi strategis berusaha memoles perwajahan waria di mata publik. Kelompok ini yang menghubungakan waria dengan kelompok lain di luar misalnya dalam akses kesehatan. Kelompok ini memiliki pengaruh baik ke dalam maupun ke luar dari identitas waria. Sementara kelompok yang lain, elite waria yang bisa bertahan dari diskriminasi di lingkungan kerja formal. 2. Agama dan Perjuangan: Formasi dan Artikulasi dalam Politik Identitas Sapta Dharma, skripsi yang ditulis oleh Febriyan (2009). Penelitian ini memfokuskan pada agama yang tidak diakui sebagai agama di Indonesia. Kepercayaan Sapta Dharma berusaha memperjuangkan identitasnya berhadapan dengan relasi kuasa di internal mereka sendiri. Pada penelitian ini, perjuangan demi eksistensi kelompok dilakukan melalui beberapa cara. Kelompok Sapta Dharma tradisional memilih melakukan perjuangan dengan melakukan laku semar yang ada dalam ketiadaan, perlawanan moral dan simbolik serta kembali pada tuntunan Sapta 5
Dharma yang melandasi konsesus sekaligus aksi mereka. Sementara, kelompok Sapta Dharma modern menunjukkan perjuangan yang lebih eksplisit. Variasi perjuangan
yang
mereka
lakukan
dengan
membentuk
jaringan
untuk
3. Representasi Kelompok Minoritas dalam Tubuh Mayoritas-Dominan:
Studi
memperjuangkan hak sipil mereka.
Kasus tentang Perlawanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia Cabang Yogyakarta terhadap Klaim-klaim Hegemonik Kelompok Mainstream Islam dalam Upaya Mendapatkan Hak Hidup Legal (Kembali), skripsi oleh Dewi Nurrul Maliki (2009). Penelitian ini menyoroti keberadaan jemaat Ahmadiyah sebagai sebuah sekte keagamaan yang dianggap sesat oleh umat Islam. Oleh karena itu, posisinya yang minoritas dalam mayoritas memiliki kerentanan. Skema minoritas dalam mayoritas ini yang juga terjadi pada komunitas salafi yang menjadi subyek kajian yang penulis lakukan ini. Ahmadiyah di Yogyakarta melakukan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan atas identitasnya dengan membentuk jaringan dengan masyarakat sipil yang fokus pada isu keberagaman, kalangan akademisi dan juga media massa. 4. Politik Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan Resistensi di SMUN di Yogyakarta, buku oleh Hairus Salim, Najib Kailani, dan Nikmal Azekiyah (2011). Penelitian dalam buku ini melihat fenomena adanya upaya dari kelompok Islam untuk menduduki ruang-ruang publik di sekolah negeri. Dari fenomena tersebut lalu dilacak bagaimana respon kelompok lain di sekolah negeri itu. Penelitian ini menunjukkan dua hal yang berguna bagi penelitian yang hendak saya lakukan nanti dalam dua hal. Pertama, penelitian ini menunjukkan bahwa memang ada gejala Islam mulai melakukan „pendudukan‟ ruang atas nama identitas keagamaan. Kedua, penelitian ini baru membahas respon kelompok lain atas 6
eksklusi ruang oleh Islam atau berorientasi eksternal. Sementara yang akan penulis lakukan, melacak motivasi mengeksklusi diri, lebih berorientasi internal. Dari pembacaan beberapa referansi di atas, menunjukkan perjuangan politik identitas dilakukan dengan berbagai cara. Pembentukan ruang tinggal yang eksklusif nampaknya masih luput dari ketertarikan peneliti terdahulu. Oleh karena itu, penelitian ini akan berusaha mengisi kekosongan itu. Lalu kedua, penelitian ini akan meihat ke dalam, yaitu motivasi kelompok salafi memilih perjuangan politik identitas mereka melalui eklusifitas ruang. Pilihan cara pandang ini agak berbeda dengan peneliti-peneliti terdahulu yang cenderung melihatnya dalam kerangka relasi dengan aktor atau kelompok lain. E. KERANGKA KONSEPTUAL 1. Salafi sebagai sumber nilai Kajian tentang agama dalam ilmu sosial merupakan pembahasan yang amat luas namun tidak dapat dilepaskan dari empat aspek, aspek keyakinan (the religious belief), aspek upacara (the religious ritual), aspek pengalaman hidup beragama (the religious experience) dan aspek komunitas pemeluk agama (the religious community) (Mc Guire dalam Sujuthi, 2001 h. 17). Tulisan ini akan melihat bagaimana nilai agama diimplementasikan ke dalam laku kehidupan sehari-hari pemeluknya. Salafi sebagai salah satu komunitas keagaam di dalam Islam yang dapat diidentifikasi melalui beberapa nilai-nilai kunci yang kemudian tercermin dalam laku pemeluknya. Nilai-nilai salafi bukan semata membentuk moralitas salafiyyin namun juga menjadi basis utama identitas sosial mereka. Dengan keberadaan sebuah komunitas yang memili nilai dan norma khusus maka kemudian mereka memerlukan ruang secara fisik untuk mengekspresikan nilai yang mereka percaya yang ini diwujudkan dalam perumahan eksklusif.
7
Pada aspek keyakinan, di dalamnya terdapat nilai-nilai yang menjadi standar moralitas berdasarkan keyakinan pada Tuhan. Di level ini agama menjadi sesuatu yang suci (profane). Selain itu, nilai-nilai ini juga menjadi merupakan kebenaran mutlak karena sumbernya merupakan wahyu dari Tuhan. Dari nilai-nilai yang bersifat abstrak ini kemudian diturunkan menjadi pengamalan nilai dalam laku kehidupan sehari-hari di masyarakat. Pengamalan nilainilai ini menjadi hal-hal yang tampak kasat mata, yang menunjukkan perbedaan antar satu pemeluk agama dengan yang lain. Pengamalan nilai-nilai ini mewujud sebagai pengalaman beragama di masyarakat (Sujuthi, 2001). Dalam kajian ini, pengamalan nilai dilihat dalam bagaimana politik identitas dilakukan oleh kelompok salafi yang memerlukan ruang ekspresi bagi nilai-nilai yang mereka pegang. 2. Agama sebagai basis identitas kolektif Identitas menjadi elemen penting bagi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari komunitas. Identitas memberikan batas „aku‟ (selfness) dan „dia‟ (otherness) (Widayanti, 2009). Hal ini bukan semata sesuatu yang terberi (given) namun seringkali dibentuk, baik oleh aturan formal yang sengaja atau secara tidak sengaja. Bhiku Parekh (2008) membagi dimensi identitas pada manusia menjadi tiga bagian, identitas personal, identitas sosial, dan identitas individual. Ketiganya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Identitas personal mengacu pada profil biografis seseorang, mulai dari penampakan fisik hingga pengalaman personal. Meski memang identitas ini pembentukannya terkait erat dengan identitas sosial dan individual. Sementara itu, identitas sosial merupakan identitas yang terbentuk akibat adanya keterikatan pada suatu kelompok sosial tertentu. Keterikatan ini bisa jadi merupakan ikatan formal seperti kewarganegaraan atau bisa juga ikatan informal seperti teman 8
sebaya. Mau tidak mau, ikatan-ikatan ini mempengaruhi sesorang dalam mendefinisikan dirinya. Politik identitas umumnya bergerak di tataran ini, di mana seseorang dan atau kelompok berusaha mendapatkan pengakuan dari kelompok yang lebih besar atas identitas yang melekat dalam dirinya. Masih menurut Bhikhu Parekh, di tataran identitas sosial terdapat struktur kuasa dalam masyarakat yang turut menentukan bagaimana antar identitas ini berinteraksi. Seperangkat
pranata
dijaga
dengan
norma
sekaligus
sanksi
untuk
terus
mempertahankan hierarki kuasa dalam masyarakat. Di sini kemudian pergolakan atas nama identitas itu terjadi, terutama dilakukan oleh mereka yang memiliki identitas marjinal dan tidak mendapatkan pengakuan dari komunitas yang lebih luas. Demi mendapatkan pengakuan, kelompok ini berusaha menggunakan berbagai cara untuk dapat mendesak hierarki sehingga diakui. Identitas personal dan identitas sosial, dalam taraf yang lebih universal membentuk identitas individual. Di sini, manusia mengidentifikasi dirinya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Nilai-nilai kemanusiaan ini yang menuntun langkahnya. Oleh karena itu, identitas ini disebut juga identitas paripurna (overall identity). Politik identitas secara umum dimaknai sebagai upaya kelompok marjinal dan inferior untuk mendapatkan pengakuan yang legal. Kelompok marjinal ini merasa dirinya diperas dan tersingkir dalam arus besar dominasi kelompok lain atau justru negara. Dalam posisi yang demikian, kelompok ini merasa perlu untuk memperjuangkan keadilan untuk kelompoknya (Maarif, 2012). Pengakuan atas sebuah identitas menjadi sangat penting karena di dalam masyarakat terdapat pembagian peran, yang sering kali berdasarkan identitas yang menempel
9
Agama menjadi salah satu elemen dalam individu yang memiliki peran dominan untuk membentuk identitas. Agama didefinisikan sebagai kepercayaan manusia pada kekuatan di luar dirinya yang bisa turut membantu dalam berbagai pemecahan masalah dalam kehidupan yang kini dijalani maupun setelahnya (Hendropuspito, 1983). Di sini, agama diposisikan bukan sebagai wahyu sakral yang tak terbantahkan namun sebagai sebuah fenomena empirik yang layak untuk dikaji. Dalam tulisan ini agama (salafi) akan dilihat sebagai basis dari identitas kolektif. Menurut Emile Durkheim (Sutrisno dan Putranto (ed), 2005), agama sebagai kepercayaan yang sakral disimbolkan melalui simbol, nilai, kepercayaan yang menjadi inti masyarakat beragama itu. Hal ini berarti agama membentuk moralitas dalam arti luas, yang di dalamnya terdapat berbagai nilai yang disepakati komunitas beragama ini untuk menjaga ikatan sosial di antara mereka. Dengan kata lain, nilainilai ini membangun aturan-aturan untuk hidup bermasyarakat. Nilai-nilai ini juga memiliki fungsi sebagai pembeda satu komunitas keagamaan satu dengan yang lain. Hendropuspito (1983) juga menyepakati bahwa agama menjadi salah satu sumber identitas kolektif yang paling kuat di masyarakat. “Lebih lanjut teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial (social caution) yang dominan dalam terbentuknya lapisan (strata) sosial dalam tubuh masyarakat, yang masing-masing mempunyai perasaan tersendiri yang sanggup mengumpulkan orang-orangnya dalam suatau wadah persatuan yang amat kompak (jika mereka menganut agama yang sama) tetapi perasaan religius dari agama yang berlainan dapat (dan memang itu terjadi) memisahkan kelompok satu dengan yang lain secara tajam (konflik yang bermotif keagaman).”(Hendropuspito 1983, hal. 27)
Masih menurut Durkheim (Sutrisno dan Putranto (ed), 2005), aspek normatif dan relijius dalam agama bekerja dalam sistem kesadaran atas nilai dan norma di masyarakat. Kesadaran ini ditunjukkan baik secara material maupun non material.
10
Agama yang dilihat sebagai pemersatu sekaligus menjadi faktor dominan yang menyebabkan adanya strata sosial dalam penelitian ini adalah salafi, sebagai salah satu kelompok di dalam Islam. Salafi merupakan sebuah kelompok keagamaan yang sering gagal dipahami bahkan oleh umat Islam pada umumnya. Sering kali disamakan dengan kelompok Wahabi yang dianggap ektrim dan sesat membuat komunitas ini terasing dalam lingkup Islam. Pada posisi inilah komunitas salafi menggunakan politik identitas. Salafi sebagai bagian dari agama Islam, menjadi identitas sosial bagi masingmasing individu dalam komunitas ini. kesamaan ini mendorong fungsi agama terhadap persatuan dan solidaritas sosial yang mengikat antar individu ini sana. Namun, identitas ini juga membuat mereka mengidentifikasi batas dengan individuindividu di luar komunitas. Ada banyak cara yang digunakan oleh kelompok minoritas atau marjinal sebagai sarana untuk melakukan politik identitas ini. Beberapa identitas memilih untuk mulai dari memperjuangkan hak kewarganegaraannya, memperjuangkan representasi formal maupun informal dari komunitasnya, dan sebagainya. Sementara itu, komunitas salafi ini memilih untuk menunjukkan eksistensinya dengan menghuni sebuah ruang secara eksklusif. Ruang menjadi elemen yang sangat penting untuk melihat aktifitas politik. Di dalamnya, manusia berinteraksi hingga terbentuklah identitas dan juga aksi-aksi politis. Ruang termasuk salah satu variabel yang menentukan gerak politis. Hal ini terjadi karena ruang dan imaji keruangan bukan sesuatu yang terberi (given). Imaji keruangan merupakan hasil konstruksi (dan seringkali kontestasi) sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Hasil interaksi yang unik ini menjadikan ruang tidaklah netral. 11
Simmel (Zieleniec, 2007), melihat ada lima aspek pembentuk ruang, eksklusifitas, batas, ketetapan sosial dalam ruang, representasi dan jarak, serta mobilitas secara keruangan. Eksklusifitas berarti tidak ada dua ruang dengan karakter yang sama persis. Di mana, masing-masing ruang memiliki ciri khas, baik sari sisi material maupun karakter sosial. Kedua adalah batas yang bisa berupa bentuk fisik maupun konstruksi sosial. Batas menjadi marka penting untuk mengidentifikasi “kami” dan “mereka”. Struktur sosial dan ruang memang menjadi dua variabel yang sangat dinamis, oleh karena itu, menjadi penting untuk mengetahui bagaimana struktur sosial dipertahankan. Faktor kelima adalah keterjangkauan suatu ruang, makin mudah dijangkau suatu tempat akan makin terbuka tempat itu. Untuk memudahkan dalam melihat hubungan ruang dan interaksi sosial, terdapat dua cara yang ditawarkan dalam An Introduction to Political Geography (Jones, Jones dan Woods, 2004). Pertama, melihat ukuran dan juga batas bukan sebagai hal yang kaku dan hanya menunggu ditemukan. Ukuran setidaknya dapat dibedakan antara yang adminstratif dan yang terbangun dari interaksi sosial. Kedua, ukuran keruangan itu memiliki konsekuensi riil terhadap kehidupan sehari-hari penghuninya. Ketiga, bingkai ruang itu kadang terus dikontestasikan dan bisa saja berubah. Di titik ini praktik politik terjadi yang bisa dilakukan baik oleh aktor negara maupun non negara. Hubungan antara politik, kekuasaan dan ruang setidaknya bisa dijelaskan dalam dapat dijelaskan dalam empat hal. Pertama, komunitas menjadi sumber identitas bagi anggotanya bahkan ini bisa sangat mempengaruhi pilihan politik. Misalnya, memilih anggota dewan berdasar ikatan pertetanggaan karena adanya perasaan kesatuan identitas. Kedua, komunitas menjadi filter atas isu dan cara pandang anggotanya. Ketiga, kesatuan sosial, komunitas memiliki struktur kekuaaan internal. Dan keempat, 12
karena komunitas berangkat dari ide identitas kolektif, dalam derajat tertentu ia bisa menjadi kekuatan yang sangat eksklusif dan mendorong eksklusifitas. Hal ini dilakukan dengan mempertegas perbedaan antara kita dan mereka. Keempat hal ini menjadi ukuran dalam melihat perumahan muslim. Dalam tulisan ini, ruang yang dimaksud adalah ruang secara fisik, di mana komunitas salafi tinggal yaitu Perumahan KCVRI. Seperti yang sebutkan oleh Jones, Jones dan Wood (2004), ruang membentuk ikatan dengan komunitas yang tinggal di dalamnya, membentuk identitas kolektif, dan menegaskan eksklusiftas sebuah komunitas. 3. Pembentukan enclave sebagai ruang eksklusif Eksklusif, secara kebahasaan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bersifat mengasingkan diri (orang);
tidak bersedia menerima atau mengizinkan
masuknya anggota baru (kelompok atau perkumpulan). Dalam kasus Perumahan Veteran yang dihuni oleh mayoritas kelompok Salafi ini mereka mengasingkan diri dari komunitas lain dengan menetap dalam sebuah hunian yang homogen. Perumahan KCVRI telah menjelma menjadi enclave komunitas salafi di Yogyakarta. Enclave ini terbentuk karena adanya sikap eksklusif yang ditunjukkan komunitas salafi yang tinggal di dalamnya. Di awal kehadiran mereka ke perumahan, serentetan konflik mewarnai masa perkenalan mereka tinggal di Perumahan KCVRI karena mereka menunjukkan sikap non kompromistis terhadap aturan-aturan bertetangga. Dalam hal ini, kelompok salafi cenderung memaksakan nilai dan norma menerapkan nilai dan norma yanng mereka pahami, yang sangat berbeda dengan nilai dan norma masyarakat sekitar, tanpa adanya penjelasan dan perkenalan. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Hedropuspito (1983), salah satu fungsi agama adalah memupuk persaudaraan namun sayangnya persaudaraan yang dimaksud 13
di sini cenderung bersifat ke dalam (eksklusif). Mereka yang sesama pemeluk agama, atau lebih khusus, mereka yang sealiran agama memiliki ikatan persaudaraan yang kuat namun ikatan tidak menjamin ikatan persaudaraan dengan mereka yang berbeda. Dalam banyak kasus, agama justru sering dijadikan alasan konflik horizontal. Hal ini dikarenakan ikatan persaudaraan yang dibentuk oleh agama bersifat eksklusif (Hamdi, 2012). Kuntowijoyo (dalam Sujuthi, 2001) menulis bahwa banyak orang yang tidak menyadari hal itu, termasuk umat Islam sendiri. Islam telah menjelma bukan hanya sebagai agama namun juga komunitas yang memiliki pemahaman kepentingan dan tujuan politik sendiri. Awal dari kolektivitas itu dari kitab suci, Al-Quran dan tentu saja As-Sunnah yang kemudian terinternalisasi kepada seluruh umat lalu diekspresikan keluar yang disebut eksternalisasi. Namun, pada beberapa orang atau komunitas prosesnya hanya sampai internalisasi. Dalam komunitas salafi, ikatan loyalitas ini disebut wala‟ dan bara‟. Ikatan loyalitas ini menjadi konsekuensi dari aqidah yang mereka pegang. Wala‟ berasal dari al-walayah yang berarti pertolongan, kecintaan, pemuliaan, penghormatan, kesamaan dengan orang-orang yang dicintai baik secara lahir maupun batin. Sementara bara‟ berarti pemisahan, peringatan, atau lepas (Al-Qahthany, 1993). Oleh karena itu keduanya menjadi tuntutan dalam iman, orang yang beriman didefiniskan mereka yang mencintai para nabi dan pengikutnya karena Allah serta membenci musuhmusuh Allah serta rasul-nya karena Allah. Iman sebagai sebuah janji yang menuntut pembuktian, salah satu pembuktian adalah melalui hijrah dari darul kufr ke darul Islam. Perintah juga pemahaman ini sangat mungkin menjadi motivasi komunitas salafi memilih tinggal di sebuah area permukiman eksklusif.
14
ika digambarkan dalam diagram kerangka berpikir yang digunakan oleh penulis adalah
Agama sebagai keyakinan
Identitas kolektif
Ruang ekspresi
Pengamalan agama
Gambar 1.1 Kerangka pikir F. DEFINISI KONSEPTUAL Definisi konsep disusun untuk membatasi konsep-konsep yang telah diambil sehingga tidak menimbulkan multi tafsir. Ada pun definisi konsep untuk masingmasing variabel yang hendak diteliti adalah: 1. Politik identitas salafi Salafi adalah salah satu friksi dalam agama Islam. Kelompok ini menginginkan pemurnian Islam seperti zaman Rasul dan generasi awal Islam lahir (salafus salih). Ulama yang menjadi rujukan salafi utamanya berasal dari Arab Saudi dan Yaman, seperti Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Muhammad Nashirudin al-Albani, dan Muqbil bin hadi al-Wadi‟i al-Yamani. Pemahaman agama cenderung dilakukan sangat literer dan menafikan konteks.
15
Salafi merupakan identitas sosial karena memenuhi kriteria sebagai hubungan yang mengikat anggotanya dengan seperangkat nilai dan kuasa. Identitas sosial merupakan percampuran antara normatifitas dan kuasa yang sudah terlegitimasi melalui seperangkat nilai yang terus-menerus dilestarikan melalui relasi kuasa. Dengan begitu, salafi memiliki seperangkat standar normatifitas terlegitimasi dalam nilai-nilai yang dipercaya dan diamalkan, untuk menjaga pengamalannya diperlukan relasi kuasa. 2. Ruang sebagai manifestasi politik identitas Sebagaimana yang diketahui, ruang bukanlah sesuatu yang terberi. Terdapat lima aspek yang membentuk ruang yaitu eksklusifitas, batas, ketetapan sosial dalam ruang, representasi dan jarak, serta mobilitas. Lima aspek pembentuk ruang ini bisa dibentuk secara fisik maupun interaksi sosial. Baik fisik maupun interaksi sosial sangat berpengaruh pada ruang itu, anatomi fisik ruang mempengaruhi interaksi sosial yang terjadi begitu juga sebaliknya. Hubungan antara politik, kekuasaan, dan ruang dijelaskan dalam dua hal yaitu keragaman karakter ruang menjadi salah satu faktor pembentuk identitas,kepentingan, dan persepsi. Kedua, memberi petunjuk tentang struktur kuasa di aras komunitas (lokal). Komunitas menjadi sumber identitas anggotanya. Kedua, komunitas menjadi filter bagi isu dan cara pandang. Ketiga, sebagai kesatuan sosial komunitas memiliki struktur kuasa internal. Keempat, ide kolektifitas yang diusung oleh komunitas mendorong eksklusifitas. 3. Eksklusif Konsep eksklusif yanng dimaksud dalam tulisan ini adalah sebentuk pengasingan diri dengan tidak mengizinkan atau tidak menerima anggota baru di luar
16
kelompoknya. Seleksi kelompok ini didasarkan pada pembilahan kelompok salafi dan non salafi. G. DEFINISI OPERASIONAL 1. Operasionalisasi Politik identitas salafi Identifikasi politik identitas kelompok salafi ini dilihat dari beberapa karakteristik di bawah ini: a. Nilai yang dipelihara b. Manifestasi nilai dalam kehidupan sehari-hari c. Upaya internalisasi dan koservasi nilai-nilai d. Struktur kuasa yang melakukan upaya internalisasi dan konservasi nilai 2. Operasionalisasi Ruang hidup eksklusif sebagai manifestasi politik identitas salafi Ruang hidup eksklusif sebagai manifestasi politik identitas salafi bisa dilihat melalui beberapa hal di bawah ini: a. Bagaimana salafi membentuk ruang, memenuhi eksklusifitas, batas, ketetapan sosial dalam ruang, representasi dan jarak, serta mobilitas? b. Bagaimana komunitas ini terbentuk dalam ruang Perumahan Veteran? c. Bagaimana komunitas yang terbentuk menjadi sumber identitas, filter isu dan cara pandang, identitas sosial hingga menjadi eksklusif? d. Bagaimana hubungan antara penampakan fisik dan interaksi sosial terjadi? H. METODE PENELITIAN H.1 Jenis penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif bersifat interpretif, dengan menggunakan perspektif post-positivistik (Soemantri, 2005). Lebih jauh Soemantri melihat penelitian kualitatif berusaha untuk mengkonstruksi peristiwa
17
dan mengkaji maknanya. Tak heran, penelitian kualitatif sangat memperhatikan proses, peristiwa, dan otentisitas. Paradigma ini memunculkan sikap peneliti yang menyatu dengan subjek penelitiannya. Karena ia menyadari betul bahwa realitas sosial merupakan hasil rekonstruksi oleh individu dalam situasi sosial tertentu. Dengan cara menyatu dengan subyek penelitiannya, peneliti dapat memahami realitas sosial yang dihadapinya. Penelitian umumnya menghasilkan data yang sangat terikat dengan konteks yang digiring sampai pada teori sosial. Penelitian yang ini diharapkan dapat memotret nilai-nilai, hal-hal kultural, serta pemikiran yang membentuk identitas. Kebutuhan data seperti itu yang memang tidak dapat dikuantifikasi sehingga metode penelitian kualitatif dirasa cocok. Di mana, peneliti masuk tidak berjarak dengan subjek penelitiannya, untuk memahami realitas sosial yang dinamis itu. Lebih lanjut, pisau analisis yang digunakan untuk membedah fenomena Perumahan Veteran ini adalah metode studi kasus. Menurut Creswell (2007), studi kasus masuk dalam pendekatan kualitatif, di mana peneliti mengeksplorasi satu atau beberapa kasus dalam kurun waktu tertentu secara mendalam dan detail. Kelebihan dari studi kasus adalah dapat menggunakan sumber informasi yang beragam seperti observasi, arsip, wawancara, bahkan materi audiovisual. Menurut Yin (2006), secara teknis studi kasus memiliki tiga ciri utama. Pertama, menyelidiki fenomena dalam kehidupan nyata yang kekinian atau kontemporer. Kedua, tak ada batas tegas yang membedakan fenomena dan konteks. Dalam penelitian studi kasus, konteks justru dapat menjadi data yang memperkaya temuan pada fenomena. Dan terakhir, untuk membuktikan analisis yang dibuat dapat menggunakan berbagai sumber. 18
H.2 Jenis Data Data primer diperoleh dari in depth interview yang dilakukan dengan beberapa orang informan. Data primer juga melingkupi bagaimana konstruksi “kami” dan “mereka”. Batas-batas yang direkonstruksi secara sosial menjadi fakta-fakta penting untuk dicatat. Oleh karena itu, data dari hasil observasi menjadi data primer yang sangat penting. Data sekunder kiranya diperlukan untuk mengelaborasi lebih jauh dari temuan data primer. Sebagai sumber sekunder bisa digunakan berbagai dokumen, baik itu dasar ideologis kelompok salafi yang tinggal di KCVRI maupun dokumen teoritis lain. Tidak menutup kemungkinan, jenis data sekunder akan bertambah. H.3 Teknik Pengumpulan Data Menurut Creswell (2007) terdapat enam sumber pengambilan data untuk studi kasus yaitu dokumen, arsip, wawancara, observasi langsung, observasi partisipatif, dan artefak fisik. Dalam penelitian ini, pengambilan data dilakukan dengan observasi partisipatif, wawancara, dan pengumpulan sumber sekunder. Pertama, observasi partisipatif, peneliti bergabung bersama subjek yang ditelitinya sehingga dapat memahami konstruksi sosial dan konteksnya secara bersamaan. Observasi partisipatif dilakukan selama 27 Juli 2015 hingga 14 Agustus 2015, peneliti tinggal bersama seorang warga salafi yang bernama Arika Zaizafun Najwa. Melalui observasi langsung, peneliti bisa melihat bagaimana nilai-nilai dioperasionalisasikan dalam kehidupan warga sehari-hari. Kedua, wawancara mendalam, hal ini guna menangkap informasi dari tokohtokoh kunci. Terdapat lima orang informan dalam penelitian ini, Arika Zaizafun Najwa, Surati, Esti Marganingsri (Ummu Yahya Nailah), Yusuf Susanto, dan Sri. Arika bekerja sebagai guru (PNS) di SD Sukoharjo. Sehari-hari, ia tinggal bersama 19
putranya sementara suaminya bekerja di luar kota. Arika, mewakili hubungan antara warga salafi dan non salafi, dari pihak salafi. Surati, merupakan warga non salafi, ia tinggal di Perumahan Veteran mulai tahun 1993. Ia merupakan istri dari ketua RW sebelum Yusuf Susanto. Perannya dalam penelitian ini adalah menjelaskan kronologis hubungan salafi dan non salafi di Perumahan Veteran dari pihak non salafi. Esti Marganingsri (Ummu Yahya Nailah) merupakan warga salafi yang termasuk generasi awal yang pindah ke Perumahan Veteran, sekitar tahun 2000 ia mulai tinggal di Perumahan Veteran, sehingga memiliki kapabilitas untuk memberikan keterangan kronologis hubungan salafi dan non salafi dari pihak salafi. Selain itu, ia juga menjelaskan banyak nilai-nilai kunci yang dipegang oleh komunitas salafi di Perumahan Veteran. Yusuf Susanto, warga non salafi, merupakan ketua RW yang kini menjabat. Perannya, menjelaskan konteks kuasa di Perumahan Veteran, menceritakan kronologi hubungan salafi dan non salafi, serta memberikan sudut pandang pemerintah. Sri, merupakan istri Yusuf Susanto, ia banyak berinteraksi dengan warga Perumahan Veteran karena memiliki jasa cuci baju (laundry kiloan) dan warung makan. Oleh karena itu, ia dapat menceritakan hubungan salafi-non salafi sehari-hari. Dari pengumpulan informasi ini diharapkan pertanyaan penelitian dapat menemukan jawabannya, Sumber sekunder merupakan data yang dikumpukan dari sumber-sumber tertulis yang telah ada sebelumnya. Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, mulai dari skripsi, jurnal, dan buku yang terkait,baik yang memuat sejarah salafi, nilai-nilai yang dipegang salafiyyin, sumber-sumber terkait politik identitas, dan lain sebagainya. H.4 Teknik Analisis Data
20
Dalam penelitian ini, analisis data bukan menjadi tahap akhir dari penelitian, beberapa data yang diperoleh selama awal penelitian, pola-pola interaksi yang terlihat selama awal penelitian menjadi bahan analisis untuk mengembangkan penelitian ke tahap berikutnya, kepada informan berikutnya. Dalam penelitian ini, sebagaian data dianalisis bersamaan dengan pengumpulan data. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar dalam penelitian kualitatif sebagaimana disebutkan Neuman (2007) “Qualitative researchers can look for patterns or relationships but they begin analysis early in a research project while they are still collecting data”. Setelah semua data terkumpul mulai dilakukan pengelompokkan data sesuai dengan instrumen penelitian yang telah dibuat sebelumnya. Proses ini oleh Neuman (2007) disebut sebagai coding, di mana data mentah dikelompokkan berdasarkan kategori dan tema. Coding data merupakan upaya untuk mengabstraksi data agar mampu menjawab pertanyaan penelitian. Setelah coding selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah menuliskan hasil analisis ke dalam susunan bab yang telah direncanakan. Dengan begitu dapt ditarik kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian. I. SISTEMATIKA BAB Penulisan kajian ini akan dibagi dalam empat bab. Pembagian ini ditujukan untuk mendisiplinkan alur pikir penulis. Selain itu, juga akan membantu pembaca untuk memahami rangkaian argumen yang dipaparkan. Pada bab pertama, berisi perkenalan tentang penelitian yang akan dilakukan kepada pembaca. Di bagian latar belakang dikemukakan, kegelisahan penulis yang pada jamaknya perumahan muslim di Yogyakarta. Selanjutnya, dipaparkan rumusan masalah yang akan menjadi kunci dari penelitian ini. Sebagai alat bantu untuk menjawab pertanyaan tersebut tak lupa disertakan penggunaan teori yang melandasi 21
juga metode penelitian yang digunakan. Bab pertama diharapkan bisa menjadi etalase sekaligus peta bagi pembaca untuk dapat memahami hingga kesimpulan. Selanjutnya pada bab kedua, akan dipaparkan apa itu salafi secara lebih rinci. Hal ini penting untuk melihat bagaimana aqidah, nilai dan prinsip yang mereka pegang mempengaruhi interaksi yang mereka lakukan secara sosial. Salafi telah menjadi sumber nilai yang menjadi basis identitas kolektif mereka yang kemudian mendorong untuk hidup secara eksklusif. Selanjutnya, dalam bab ketiga, akan diperkenalkan lebih lanjut tentang Perumahan KCVRI sebagai kasus yang dikemukakan. Perkenalan kasus penelitian ini di dalamnya termasuk sejarah dan konteks sosial dan politik yang ada di dalamnya. hal ini penting sebagai latar sekaligus konteks eksklusifitas komunitas salafi di Perumahan Veteran. Berikutnya, di bab empat, pertanyaan utama penelitian ini akan dijawab yaitu alasan kemunitas salafi memilih tinggal eksklusif dalam Perumahan Veteran. Dimulai dari penjelasan bagaimana salafi telah menjadi identitas sosial yang mengikat mereka menjadi komunitas yang solid, bagaimana Pondok Pesantren Al-Anshor menjadi magnet bagi kedatangan komunitas salafi dan juga adanya loyalitas yang mengikat mereka. Keberadaan identitas itu memunculkan kesadaran adanya batas antara “kita” dan “mereka”, batas ini terlihat baik secara fisik maupun non fisik. Batas-batas ini kemudian menjadi pagar bagi komunitas salafi untuk hidup secara eksklusif bersama komunitasnya di dalam Perumahan Veteran. Terakhir pada bab kelima, akan menjadi bab penutup. Pada bab ini, akan disampaikan benang merah dari bab kedua dan ketiga dan keempat. Bab lima ini akan memberikan simpulan alasan kelompok salafi mendefinisikan dirinya dan kaitannya dengan pilihan mereka tinggal dalam perumahan eksklusif. 22