BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Obesitas telah menarik perhatian masyarakat dunia karena peningkatan prevalensinya yang signifikan dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi overweight dan obesitas meningkat 27,5% dalam rentang waktu 1980 hingga 2013. Individu overweight dan obesitas di dunia pada tahun 1980 berjumlah 857 juta dan pada tahun 2013 mencapai jumlah 2,1 milyar (Ng et al., 2014). Obesitas dulunya identik dengan masyarakat di Amerika dan Eropa karena pola makan sehari-hari masyarakat di kedua benua tersebut sangat kaya karbohidrat dan lemak. Namun, sekarang obesitas mulai banyak terjadi di Indonesia karena adanya perubahan pola makan dan gaya hidup. Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada penduduk Indonesia berusia 18 tahun ke atas sebesar 15,4% (19,7% pada pria dan 32,9% pada wanita). Angka prevalensi yang tinggi menyebabkan obesitas menjadi masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Selain itu, obesitas dapat menjadi faktor risiko bagi penyakit degeneratif lainnya seperti diabetes mellitus (DM) tipe II, aterosklerosis, serangan jantung, stroke, dan berbagai jenis kanker (Nelson dan Cox, 2008). Resistensi insulin merupakan sindrom metabolik yang sering terjadi akibat obesitas. Obesitas juga berkaitan erat dengan sindrom metabolik lainnya seperti dislipidemia, tekanan darah tinggi, dan peningkatan kadar glukosa plasma (Thomas et al., 2004). Obesitas dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Selain gaya hidup dan lingkungan, faktor genetik juga merupakan penyebab utama terjadinya
obesitas
dan
gangguan
metabolik
1
lainnya.
Ectonucleotide
pyrophosphatase
phosphodiesterase
1
(ENPP1)
merupakan
glikoprotein
transmembran tipe II yang diekspresikan oleh gen golongan ENPP. Glikoprotein transmembran ini diekspresikan di jaringan adiposa dan juga ditemukan di jaringan yang terlibat dalam metabolisme glukosa dan lipid (liver, otot skelet, dan sel-beta pankreas) (Pan et al., 2012). Ectonucleotide pyrophosphatase phosphodiesterase 1, atau disebut juga plasma cell membrane glycoprotein 1 (PC1), memiliki aktivitas fosfodiesterase dan pirofosfatase, serta berperan sebagai inhibitor langsung reseptor insulin. Fungsi fisiologis ENPP1 belum diketahui secara pasti, namun protein ini diduga berperan penting dalam pemotongan ikatan fosfodiester pada nukleotida (Bollen et al., 2000), metabolisme tulang dan kartilago, serta fungsi limfosit (Goding et al., 1998). Ectonucleotide pyrophosphatase phosphodiesterase 1 sudah banyak diteliti dan dilaporkan memiliki peran penting dalam terjadinya resistensi insulin. Studi in vitro menggunakan sel hepatoma manusia HuH7 yang dilaporkan oleh Zhou et al., (2009) menunjukkan bahwa supresi ekspresi ENPP1 secara signifikan dapat meningkatkan fosforilasi Akt yang distimulasi insulin. Fungsi penghambatan reseptor insulin oleh ENPP1 terjadi melalui interaksi glikoprotein transmembran tipe II ini dengan subunit-alfa pada reseptor insulin sehingga terjadi penurunan aktivitas fosforilasi tirosin pada subunit-beta reseptor insulin (Maddux dan Goldfine, 2000). Penurunan aktivitas fosforilasi pada subunit-beta reseptor insulin akan mengakibatkan terganggunya mekanisme kaskade dalam proses transduksi sinyal insulin yang kemudian berujung pada resistensi insulin. Keadaan resistensi insulin dapat ditentukan dengan menggunakan homeostasis model assessment-
2
estimated insulin resistance (HOMA-IR). Metode HOMA-IR sudah diaplikasikan untuk menentukan kondisi resistensi insulin di berbagai penelitian yang melibatkan berbagai etnik. Individu dikatakan resistensi insulin jika memiliki nilai HOMA-IR sama dengan atau lebih dari 2,6 (Qu et al., 2011). Selain hubungannya dengan resistensi insulin, hubungan ENPP1 dengan obesitas juga telah banyak diteliti dan dilaporkan. Walaupun beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara ENPP1 dengan obesitas dan kadar ENPP1 dilaporkan meningkat pada individu obes (Youngren dan Goldfine, 1997), namun mekanisme peningkatan kadar ENPP1 pada individu obes belum diketahui secara pasti. Gen ENPP1 dilaporkan memiliki beberapa polimorfisme, namun K121Q (rs1044498) merupakan single nucleotide polymorphism (SNP) yang paling sering dianalisis. Polimorfisme K121Q gen ENPP1 terletak pada ekson 4. Substitusi basa adenin (A) oleh basa sitosin (C) pada kodon 121 menyebabkan perubahan asam amino dari lisin (K) menjadi glutamin (Q). Varian glutamin (alel varian) merupakan inhibitor reseptor insulin yang lebih kuat dibandingkan dengan varian lisin (wild allele) karena varian Q akan berinteraksi lebih kuat dengan reseptor insulin (Pizzuti et al., 1999). Costanzo et al. (2001) juga melaporkan bahwa varian glutamin memiliki aktivitas penghambatan yang lebih kuat pada fungsi reseptor insulin dibandingkan dengan varian lisin karena interaksi ENPP1 dengan varian glutamin lebih kuat dengan reseptor insulin. Penghambatan reseptor insulin oleh varian glutamin tiga kali lebih kuat dibandingkan dengan varian lisin karena karakteristik intrinsik molekul varian glutamin mampu berinteraksi lebih kuat dengan reseptor insulin. Adanya polimorfisme K121Q gen ENPP1 akan
3
menghambat proses transduksi sinyal insulin karena ENPP1 yang dihasilkan akan berinteraksi lebih kuat dengan subunit-alfa pada reseptor insulin. Walaupun studi in vitro menunjukkan hasil yang konsisten mengenai hubungan polimorfisme K121Q gen ENPP1 dengan resistensi insulin, studi polimorfisme gen ini pada manusia di berbagai populasi dan etnik menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Salah satu studi meta-analisis menunjukkan bahwa genotip CC meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2 dan indeks massa tubuh mempengaruhi munculnya risiko ini (McAteer et al., 2008). Wan et al. (2006) melaporkan bahwa genotip CC pada gen ENPP1 meningkatkan risiko terjadinya obesitas pada populasi China di Beijing dan Tanyolac et al. (2008) melaporkan alel C pada gen ENPP1 berhubungan dengan obesitas pada pria di populasi Turki. Prakash et al. (2013) melaporkan bahwa genotip CC pada gen ENPP1 berhubungan dengan peningkatan nilai HOMA-IR, persentase lemak tubuh, dan massa lemak pada populasi di India Utara. Meyre et al., (2007) melaporkan alel C pada gen ENPP1 berhubungan dengan obesitas pada anak-anak dan dewasa, serta meningkatkan risiko intoleransi glukosa dan diabetes tipe 2. Namun beberapa penelitian lain mengenai hubungan polimorfisme K121Q ENPP1 dengan obesitas dan resistensi insulin melaporkan hasil yang berbeda. Rasmussen et al. (2000) melaporkan genotip CC pada gen ENPP1 tidak berhubungan dengan resistensi insulin atau diabetes tipe 2 pada populasi Kaukasia Denmark. Keshavarz et al. (2006) melaporkan genotip CC pada gen ENPP1 tidak berhubungan dengan risiko diabetes tipe 2 pada populasi Jepang. Hasil beberapa studi mengenai efek polimorfisme K121Q gen ENNP1
4
yang masih belum konsisten dan menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada berbagai etnik menyebabkan studi ini menjadi menarik untuk diteliti. Sebagian besar studi mengenai hubungan ENPP1 dengan obesitas dan resistensi insulin telah dilakukan pada populasi dewasa di Eropa, Amerika Selatan, China, Jepang dan India Utara, sedangkan studi di Indonesia belum dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan polimorfisme K121Q gen ENPP1 dengan resistensi insulin pada individu obes populasi Jawa. Studi polimorfisme K121Q gen ENPP1 ini dilakukan terhadap populasi obes etnis Jawa yang berdomisili di Yogyakarta dan sekitarnya. Subjek obes ditentukan berdasarkan nilai cut off indeks massa tubuh (IMT) untuk obesitas di Indonesia, yaitu IMT bernilai lebih dari 25 kg/m2 dan individu tidak obes sebagai kontrol dengan IMT 18-23 kg/m2 (WHO, 2004).
I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yaitu : 1. Apakah terdapat perbedaan genotip dan alel gen ENPP1 antara kelompok kasus dan kelompok kontrol? 2. Apakah individu pembawa genotip AC atau CC dan alel C memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami obesitas dibandingkan dengan genotip AA dan alel A? 3. Apakah individu dengan genotip AC atau CC dan alel C pada gen ENPP1 memiliki nilai HOMA-IR lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan genotip AA dan alel A?
5
4. Apakah individu obes dengan genotip AC atau CC dan alel C memiliki risiko resistensi insulin yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu lainnya?
I.3. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji perbedaan frekuensi genotip dan alel pada gen ENPP1 antara kelompok obes dan non-obes. 2. Mengetahui hubungan polimorfisme K121Q gen ENPP1 dengan obesitas. 3. Mengetahui hubungan antara genotip AC atau CC dan alel C gen ENPP1 dengan peningkatan nilai HOMA-IR. 4. Mengetahui perbedaan tingkat risiko resistensi insulin antara individu obes dengan genotip AC atau CC dan alel C dibandingkan dengan individu obes dengan genotip AA dan alel A.
I.4. Keaslian Penelitian Penelitian hubungan polimorfisme K121Q pada gen ENPP1 dengan obesitas dan resistensi insulin telah dilakukan di beberapa negara dan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Beberapa penelitian tersebut adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Rasmussen et al. (2000) menunjukkan bahwa polimorfisme K121Q gen ENPP1 tidak berhubungan dengan resistensi insulin atau diabetes tipe 2 pada ras Kaukasia di Denmark. 2. Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Ruoqi et al. (2011) menunjukkan bahwa polimorfisme K121Q gen ENPP1 berhubungan dengan obesitas
6
pada populasi dewasa di Eropa. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Wan et al. (2006) melaporkan bahwa polimorfisme K121Q gen ENPP1 meningkatkan risiko terjadinya obesitas pada populasi China di Beijing. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Prakash et al. (2013) menunjukkan bahwa polimorfisme K121Q pada gen ENPP1 berhubungan dengan fenotip terkait obesitas (persentase lemak tubuh, massa lemak, dan HOMA-IR) pada populasi India Utara. 5. Penelitian mengenai polimorfisme K121Q gen ENPP1 sebagai faktor risiko resistensi insulin pada individu obes belum pernah dilaporkan di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
I.5. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis: memberikan informasi mengenai hubungan polimorfisme K121Q gen ENPP1 dengan resistensi insulin pada individu obes populasi Jawa. 2. Manfaat klinis: mengenali faktor risiko genetik resistensi insulin pada individu obes sehingga dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan terapi yang lebih tepat. 3. Manfaat
bagi
peneliti:
untuk
mengembangkan
kemampuan
dan
meningkatkan keterampilan dalam melakukan penelitian.
7