BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan investasi esensial bangsa yang secara signifikan mempengaruhi kemajuan suatu negeri. Agenda pembangunan di bidang kesehatan menekankan pada pembenahan status kesehatan masyarakat. Peningkatan mutu kesehatan masyarakat menuntut usaha dan perhatian berbagai pihak yaitu masyarakat, pengambil kebijakan, dan tenaga kesehatan. Pelayanan kesehatan biasanya berjalan dengan suatu sumber pendanaan dan sistem operasi, sehingga terdapat perbedaan antara struktur organisasi, kualitas, keamanan serta kenyamanan dalam pemanfaatan suatu pelayanan kesehatan yang satu dengan lainnya (Tsang et al., 2008). Era jaminan kesehatan nasional memberikan masyarakat keleluasaan untuk mengakses pelayanan kesehatan yang berakibat pada meningkatnya kunjungan ke fasilitas kesehatan. Mengacu pada alur jaminan kesehatan nasional, puskesmas sebagai penanggung jawab penyelenggara upaya kesehatan untuk tingkat pertama memiliki peran yang sangat fundamental sebagai garda terdepan akses kesehatan yang dikunjungi masyarakat (Tjiptoherijanto, 2008). Pelayanan rawat inap merupakan salah satu pelayanan medis yang utama di puskesmas dan merupakan tempat untuk interaksi antara pasien dan puskesmas berlangsung dalam waktu yang tak lama (Haryanto dan Suranto, 2012). Pelayanan rawat inap melibatkan
1
2
pasien dan tenaga kesehatan dalam hubungan yang sensitif yang menyangkut kepuasan pasien, mutu pelayanan dan citra puskesmas (Jacobalis, 2000). Hasil ekstrapolasi penyebab kematian 98.000 pasien dari total 33,6 juta rawat inap pada tahun 1997 di Amerika Serikat merupakan kesalahan medis (Kohn et al., 2006:43). Hasil studi dari Harvard University melaporkan bahwa 3,7 persen dari seluruh pasien yang menjalani perawatan dalam pelayanan kesehatan primer dengan cedera medis, 28 persen diantaranya terjadi kasus penelantaran medis, dan 76 persen dari seluruh kasus yang terjadi merupakan kasus yang dapat dicegah (Brennan et al., 2014). Kepala Direktorat Pelayanan Medik Dasar Depkes dan Kesos dalam Seminar Public Private Mix mengatakan bahwa kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh puskesmas cukup tinggi (Pohan, 2007). Indonesia sendiri memiliki kasus kesalahan medis di puskesmas mencapai 80 persen (Dwiprahasto, 2006). Berdasarkan data yang sudsh dijabarkan, fenomena yang saat ini dihadapi puskesmas adalah masih tingginya angka pelanggaran salah satu prinsip pelaksanaan pelayanan kesehatan yaitu zero human error. Human error atau medical error adalah kesalahan di bidang kesehatan yang didefinisikan sebagai suatu kecelakaan yang disebabkan dari pelaksana kesehatan, bukan dikarenakan kondisi pelaksana kesehatan (misal gangguan jiwa), bukan karena motif apapun, tidak disertai niat kriminal atau penyakit dari pasien yang sedang dirawat (Wetterneck dan Karsh, 2011). Puskesmas sebagai garda terdepan untuk pencegahan dan pengobatan pasien tentunya menerima kunjungan paling banyak
3
setiap harinya, dan di sinilah terlihat kualitas sistem kerja tenaga kesehatan serta mampu tidaknya dalam memberi pelayanan maksimal. Hasil observasi menunjukkan bahwa salah satu penyebab terjadinya human error adalah tidak maksimalnya pelaksanaan budaya patient safety di puskesmas. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa keluhan pasien yang berkunjung dan menginap di puskesmas yang mereka tulis pada surat keluhan yang ada di kotak kritik dan saran di tiap puskesmas. Rata-rata pasien mengeluhkan bahwa layanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan baik yang berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan pasien masih belum optimal sehingga pasien merasa tidak nyaman. Hasil wawancara terhadap 7 (tujuh) pasien dan 5 (lima) tenaga kesehatan di puskemas rawat inap di Kota Denpasar dapat dirangkum, diantaranya (1) Sikap tenaga kesehatan dalam menanggapi keluhan dan masalah pasien kurang responsif (2) Beberapa tenaga kesehatan yang sering meninggalkan tempat kerja, dan (3) kesalahan pemberian label pada obat pasien. Memperhatikan permasalahanpermasalahan di atas, kondisi ini tentu menuntut perlunya perubahan yang cepat, yang mengharapkan semua pihak khususnya pimpinan dan tenaga kesehatan agar dapat memahami benar apa sebenarnya makna dan poin-poin penting dari budaya patient safety, sehingga dapat bekerjasama dengan baik dan budaya patient safety dapat terlaksana secara efektif. Keselamatan pasien atau patient safety merupakan komponen penting dari mutu layanan kesehatan, prinsip dasar dari pelayanan pasien dan komponen kritis dari manajemen mutu WHO (Lim, 2004). Patient safety adalah pasien yang bebas
4
dari harm (cedera), termasuk di dalamnya adalah penyakit, cedera fisik, psikologis, sosial, penderitaan, cacat, hingga kematian yang tidak seharusnya terjadi atau cedera yang potensial (KKP–RS, 2008). Budaya patient safety sangat penting artinya untuk mencegah berbagai kesalahan medis yang dapat terjadi baik di puskesmas, rumah sakit maupun tempat pelayanan kesehatan lainnya. Berbagai negara di dunia telah memasukkan elemen patient safety pada peraturan pemerintahnya (Kemenkes, 2011). Sejak tahun 2001, the Joint commission on Accreditation of Healthcare Organization telah memberikan instruksi pada berbagai fasilitas kesehatan guna mengaplikasikan strategi patient safety (Depkes, 2006:11). Di Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam Seminar Nasional VII PERSI dan Hospital Expo XVIII mencanangkan Gerakan Keselamatan Pasien, yang meliputi tujuh program, yaitu dari sosialisasi hingga pengembangan kerja sama dalam mewujudkan patient safety (Depkes RI-PERSI, 2006: 9). Organisasi pada bidang kesehatan tidak dapat bertahan tanpa sumber daya manusia yang berperilaku positif dalam proses penyembuhan pasien. Sumber Daya Manusia (SDM) adalah bagian krusial yang menjadi motor penggerak dan kendali suatu pelayanan kesehatan baik dalam usaha pengembangan maupun keberadaannya seiring dengan tuntutan zaman (Khan et al., 2012). Menurut Jones et al. (2007), elemen budaya keselamatan pasien mengacu pada peningkatan kepercayaan dan perilaku dari staf dalam mengidentifikasi dan belajar dari kesalahan. Condon (2009) menemukan hubungan yang positif antara budaya
5
patient safety dengan pola perilaku aman secara medis yang ditunjukkan oleh para tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri di bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Republik Indonesia, 1996). Tenaga kesehatan tersebut meliputi tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga farmasi, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga terapi fisik dan tenaga teknisi medis. Tenaga kesehatan memegang peranan sebagai garda terdepan dalam pemenuhan kebutuhan akan jasa pelayanan kesehatan masyarakat, sehingga harus mampu memberikan pelayanan yang ramah, menggunakan peralatan yang tersedia secara maksimal dan mampu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu serta terpercaya dalam mewujudkan patient safety sebagai komitmen organisasi (Azwary, 2013). Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan terwujudnya budaya patient safety adalah kepuasan tenaga kerja kesehatan (Andini, 2006). Menurut Kreitner dan Kinicki (2008) terdapat korelasi positif dan signifikan antara kepuasan dengan pengawasan/ supervisi, di mana atasan/ manajer disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka dapat mempengaruhi pekerja secara potensial dan meningkatkan motivasi pekerja melalui berbagai usaha, sehingga kepuasan kerja dapat tercapai optimal. Ada tiga gaya kepemimpinan yang hirarkis terstruktur dari Bass dan Avolio (2006), diantaranya gaya transformasional yang biasanya diterapkan oleh pemimpin yang optimal, gaya transaksional dan gaya pasif-menghindari (avoiding style) yang biasanya
6
diterapkan pada tingkat yang lebih rendah (Mannheim dan Hallamish, 2008). Gaya kepemimpinan transformasional sesuai dengan lingkungan yang dinamis karena kepemimpinan transformasional dianggap efektif dalam situasi atau budaya apapun, karena anggota organisasi dapat merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan serta penghormatan terhadap pemimpin dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang semula diharapkan dari mereka (Muenjohn dan Armstrong, 2007). Omar dan Hussin (2013) melakukan penelitian terhadap kinerja 100 karyawan dari salah satu institusi akademi di Malaysia dengan
hasil
penelitian
yang
mengungkapkan
bahwa
kepemimpinan
transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Tingginya angka kesalahan medis yang masih kerap dilakukan oleh tenaga kesehatan sehingga pencapaian budaya patient safety menjadi tidak optimal tentunya dapat dipengaruhi oleh motif internal lainnya seperti peran seorang pemimpin di dalam organisasi. Kepemimpinan transformasional merupakan salah satu diantara beberapa model kepemimpinan yang dipandang lebih lengkap dan memiliki banyak keunggulan karena tidaklah terbatas pada subjek orang, melainkan kepemimpinan yang lebih menyeluruh karena terkait dengan tujuan yang ingin dicapai bersama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh tidak langsung terhadap menurunnya kejadian kesalahan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (Kim, 2007). Insititute of Medicine (IOM) (2008) merekomendasikan bahwa prinsip utama dalam mendesain sistem keselamatan pasien adalah dengan kepemimpinan, karena keselamatan pasien menjadi tanggung jawab bersama serta
7
menyediakan sumber daya manusia maupun dana untuk analisa kejadian dan merancang ulang sistem. Kualitas pemimpin seringkali dipandang sebagai refleksi keberhasilan maupun kegagalan sebuah organisasi.
Untuk menjadi seorang
pemimpin efektif, seorang pimpinan harus mampu memberi pengaruh pada seluruh elemen pada tempat pelayanan berlangsung guna mencapai tujuan yang telah disematkan sebelumnya (WHO, 2007). Penelitian dilakukan pada puskesmas rawat inap yang ada di Kota Denpasar untuk mengeksplorasi variabel – variabel yang mempengaruhi budaya patient safety di puskesmas. puskesmas rawat inap dipilih sebagai lokasi penelitian mengingat fungsi dan keberadaannya sesuai alur jaminan kesehatan masyarakat, merupakan garda terdepan dalam memberikan pelayanan jasa kesehatan serta pengobatan, baik bersifat pencegahan maupun tindakan perawatan yang dikunjungi masyarakat. Kepuasan kerja para tenaga kesehatan serta gaya kepemimpinan yang ada di puskesmas akan menjadi penilaian kualitas pelayanan yang diberikan puskesmas tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya dapat disusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimana pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja tenaga kesehatan? 2) Bagaimana pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan?
8
3) Bagaimana pengaruh kepuasan kerja terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan? 4) Bagaimana
kepuasan
kerja
memediasi
pengaruh
kepemimpinan
transformasional terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah menjawab semua rumusan masalah penelitian ini, yaitu: 1) Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja tenaga kesehatan. 2) Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan. 3) Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kepuasan kerja terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan. 4) Menganalisis dan menjelaskan peran mediasi kepuasan kerja pada pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap budaya patient safety tenaga kesehatan. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu: 1) Manfaat Teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalam bidang ilmu manajemen sumber daya manusia sebagai referensi tambahan terutama dalam manajemen pelayanan kesehatan dan organisasi
9
layanan jasa lainnya, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan kepuasan transformasional, kepuasan kerja, dan budaya patient safety. 2) Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan bahan pertimbangan untuk digunakan sebagai referensi tambahan bagi organisasi terutama puskesmas dalam pengambilan keputusan dan kebijakan yang berhubungan dengan kepemimpinan transformasional, kepuasan kerja, dan budaya patient safety.