BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kereta api merupakan salah satu jasa angkutan yang selalu mengalami kenaikan jumlah penumpang secara signifikan setiap tahunnya. Tercatat hingga bulan Juli tahun 2015, jumlah pengguna jasa kereta api mencapai 27.612.000 orang (BPS, 2015). Kereta api sesungguhnya diharapkan menjadi sebuah solusi yang tepat sebagai sarana transportasi cepat massal karena mampu mengurangi kemacetan lalu lintas, meminimalisasi angka kecelakaan, ramah lingkungan, hemat energi, dan rendah polusi (PT. Kereta Api Indonesia (Persero), 2014). Oleh karena itu, PT. Kereta Api Indonesia (Persero) sebagai operator pengelola jasa perkeretaapian selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas pelayanannya dengan mengutamakan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan para penumpang kereta api (customer oriented). Peristiwa kecelakaan kereta api masih kerap terjadi di Indonesia. Berdasarkan data PT. Kereta Api Indonesia (Persero) tahun 2014, sepanjang tahun 2014 terdapat 61 PLH (Peristiwa Luar Biasa Hebat). Peristiwa PLH tersebut diantaranya adalah kejadian PLH tabrakan antara kereta api dengan kereta api sebanyak 2 kali, yakni di Daop 3 Cirebon 1 kejadian dan di Divre 3 Sumatera Selatan 1 kejadian. Selain itu, terdapat kejadian anjlogan atau kereta api terguling sebanyak 58 kali, yakni di Daop 1 Jakarta 20 kejadian, di Daop 2 Bandung 5
1
2
kejadian, Daop 3 Cirebon 1 kejadian, Daop 4 Semarang 2 kejadian, Daop 5 Purwokerto 5 kejadian, Daop 6 Yogyakarta 2 kejadian, Daop 8 Surabaya 7 kejadian, Daop 9 Jember 2 kejadian, Divre 1 Sumatera Utara 1 kejadian, Divre 2 Sumatera Barat 1 kejadian dan Divre 3 Sumatera Selatan 12 kejadian, serta terdapat kejadian lain-lain sebanyak 1 kali di Daop 1 Jakarta. Kejadian tersebut mengakibatkan 39 kali rintangan jalan (rinja) dan 22 kali bukan rinja. Melihat angka peristiwa PLH yang tergolong tidak sedikit, maka tingkat keamanan dan keselamatan kereta api di Indonesia sangat perlu untuk diperhatikan. Kecelakaan kereta api di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Berdasarkan data Kementrian Perhubungan Republik Indonesia tahun 2014, faktor penyebab kecelakaan kereta api, yaitu faktor manusia atau operator sebesar 28%, faktor prasarana sebesar 15%, faktor alam sebesar 21%, faktor sarana sebesar 28%, dan faktor eksternal sebesar 8%. Faktor manusia dan faktor sarana memiliki presentase tertinggi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan kereta api. Oleh karena itu, keselamatan dan keamanan kereta api tergantung pada kondisi kereta dan kinerja masinis. Masinis seringkali dianggap sebagai penyebab utama dalam terjadinya PLH. Masinis sebagai orang yang mengendalikan laju dari kereta api sering dikatakan sebagai orang yang paling bertanggung jawab pada terjadinya kecelakaan kereta api. Kelalaian yang terjadi salah satu penyebabnya adalah kelelahan dan rutinitas kerja yang monoton yang dialami masinis kereta api tersebut. Selama perjalanan, masinis mengemudi kereta api melewati kondisi lintasan yang bervariasi serta mengontrol kendali kereta api secara terus menerus
3
(Halim & Heryanto, 2013). Kemungkinan yang terjadi menimbulkan masinis cepat lelah dan kondisi lokomotif yang bising yang berdampak pada kebutuhan aktifitas fisik yang tinggi pada masinis selama perjalanan kereta api (Astuty dkk., 2013). Masinis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengemudi dan menjalankan kereta api, karena masinis berperan sebagai pemimpin selama perjalanan. Selain itu, masinis juga memiliki tanggung jawab besar menyangkut keselamatan nyawa banyak orang. Masinis pada saat bertugas menjalankan, mempercepat, memperlambat kereta api sesuai dengan prosedur, membutuhkan tingkat konsentrasi dan fokus yang tinggi. Selama perjalanan kereta api, masinis harus memperhatikan informasi sinyal dan semboyan yang diberikan oleh pusat dengan baik. Tuntutan tanggung jawab dan kemampuan berkonsentrasi ini yang dapat membuat beban mental pada masinis bertambah (Astuty dkk., 2013). Tanggung jawab dan beban mental tersebut dapat berpengaruh pada kondisi psikologis masinis. Gaillard dan Wientject (1994) dalam Bourne dan Yaroush (2003) mengatakan bahwa apabila seseorang tidak bisa mengontrol kondisi fisik, alam, biologis atau psikologis dan di luar batas kemampuannya maka akan menimbulkan stres kerja. Beehr dan Newman (dalam Wijono, 2010) mendefinisikan stres kerja sebagai suatu keadaan yang timbul dalam interaksi antara manusia dengan pekerjaan. Keadaan yang dimaksudkan adalah individu mulai menunjukkan atau merasakan suatu beban yang dianggap memberatkan bagi individu tersebut
4
dengan beberapa gejala yang menunjukkan bahwa individu tersebut mengalami stres kerja. Aryanto, dkk. (2015) dalam penelitiannya mengenai analisis stres kerja, menyebutkan bahwa beban kerja dan tanggung jawab dapat menjadi faktor pemicu stres kerja pada masinis. Sebagian besar masinis merasakan beban dan tanggung jawab menjadi seorang masinis sangatlah besar. Hal ini dikarenakan masinis memegang peran utama dalam melakukan perjalanan kereta api, dan bertanggung jawab dalam hal keselamatan, keamanan, kepuasan, dan kenyamanan penumpang. Penelitian tersebut juga memaparkan bahwa tuntutan mental juga menjadi penyebab stres kerja pada masinis. Tuntutan mental ini meliputi konsentrasi, daya ingat, dan fokus. Konsentrasi dan fokus sangat dibutuhkan, selama masinis mengendalikan kereta, jika masinis lengah akibatnya bisa fatal, kemungkinan besar kecelakaan dapat terjadi dan dapat membahayakan seluruh awak kereta. Daya ingat masinis juga diperlukan dalam mengingat simbol atau semboyan yang berlaku, hal ini akan membantu masinis dalam mengendalikan kereta sampai dengan tujuan. Selain kedua faktor tersebut terdapat lima faktor lain yang menjadi penyebab stres kerja pada masinis, yaitu lingkungan fisik, peluang kerja, aktivitas di luar pekerjaan, kepuasan terhadap pekerjaan, dan masalah di tempat kerja (Aryanto, dkk., 2015). Stres kerja pada masinis dialami pada tiga kondisi, yaitu sebelum melakukan tugas, saat melakukan tugas dan setelah melakukan tugas (Sugiatmaja dkk., 2014). Penyebab terjadinya stres pada masinis saat kondisi sebelum melakukan tugas umumnya karena keterlambatan dari kereta daerah yang masinis
5
tumpangi. Penyebab stres pada kondisi melakukan tugas adalah faktor lingkungan dan faktor teknis. Penyebab stres pada kondisi setelah melakukan tugas umumnya karena kelelahan yang dialami oleh masinis (Sugiatmaja dkk., 2014). Ketiga kondisi tersebut dapat menjadi sebuah sumber stres bagi masinis. Davis (dalam Wijono, 2010) mengatakan sumber stres (stressor) adalah suatu kondisi, situasi atau peristiwa yang dapat menyebabkan stres. Ada berbagai sumber stres yang dapat menyebabkan stres, diantaranya adalah faktor pekerjaan itu sendiri dan di luar pekerjaan itu. Tosi (dalam Wijono, 2010) menyebutkan ada lima faktor yang dapat menyebabkan stres dan berhubungan dengan pekerjaan individu, tekanan peran, kesempatan perlibatan diri dalam tugas, tanggung jawab individu, dan faktor organisasi. Setiap individu hendaknya mampu mengelola sumber stres tersebut dengan baik dan efektif agar tidak menimbulkan efek yang buruk bagi diri individu itu sendiri dan bagi individu lain. Masinis perlu memiliki kemampuan untuk mengatasi stres kerja yang dialami dengan manajemen stres yang baik agar mampu melaksanakan tugasnya sebagai pengemudi kereta api dalam keadaan sehat baik secara fisik maupun mentalnya. Kobasa, Maddi, dan Kahn (dalam Maddi, 2013) menemukan bahwa hardiness merupakan konstelasi dari karakteristik kepribadian yang mempunyai sumber perlawanan di saat individu menemui suatu kejadian yang menimbulkan stres dan dapat membantu untuk melindungi individu dari pengaruh negatif stres. Setiap individu pasti memiliki kemampuan dalam menghadapi stres kerja, seperti mereduksi atau mengurangi apa yang dirasakan dan menghindari efek buruk yang
6
mungkin terjadi. Hardiness adalah salah satu hal yang dapat menentukan tinggi rendahnya tingkat stres kerja yang dialami oleh individu. Rahardjo (2005) mengungkapkan bahwa individu dengan hardiness yang tinggi percaya bahwa semua masalah yang harus dihadapi, termasuk segala masalah dan beban kerja yang ada adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari sehingga mereka dapat melakukan hal yang dianggap tepat untuk menyelesaikan masalah. Sebaliknya, individu dengan hardiness yang rendah seringkali menganggap banyak hal dalam pekerjaan sebagai ancaman dan sumber stres sehingga ketika dirinya merasakan stres kerja maka konsekuensi negatif yang harus ia hadapi menjadi semakin berat. Menurut Maddi (2013), sikap dan strategi hardiness secara bersama memfasilitasi ketahanan di bawah tekanan. Sikap hardiness terdiri dari 3C yaitu commitment (komitmen), control (kontrol), dan challenge (tantangan). Tidak mempermasalahkan bagaimana hal-hal buruk bisa terjadi, tantangan akan membantu individu menyadari bahwa hidup secara alami membuat stres, komitmen membantu individu tetap terlibat dengan apa yang terjadi di sekitarnya, dan kontrol membantu individu mencoba untuk mengubahnya menjadi hal yang menguntungkan bagi individu tersebut. Kobasa (dalam Fitroh, 2011) menyatakan bahwa komitmen, kontrol, dan tantangan merupakan faktor yang saling berhubungan dan faktor-faktor ini akan terefleksi jika individu berhadapan dengan kejadian-kejadian yang membuat stres. Hardiness memiliki pengaruh yang positif dan berfungsi sebagai sumber perlawanan pada saat individu menemui kejadian yang menimbulkan stres. Hal ini
7
didukung oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Amiruddin dan Ambarini (2014) mengenai pengaruh hardiness dan coping stress terhadap tingkat stres pada Kadet Akademi TNI Angkatan Laut. Hasilnya menunjukkan bahwa hardiness berpengaruh negatif terhadap tingkat stres yang dialami oleh kadet AAL. Hal ini berarti apabila subjek memiliki tingkat hardiness yang tinggi, maka tingkat stresnya akan menurun. Hardiness penting untuk dimiliki oleh setiap individu, termasuk masinis. Karena masinis memiliki beban kerja dan tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaannya. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang masinis, masinis harus memiliki daya tahan yang bagus, baik secara fisik maupun mentalnya agar mampu mengemudi dengan aman dan menjaga keselamatan seluruh awak kereta api. Faktor lain yang diduga berhubungan dengan terjadi atau tidak terjadinya stres kerja adalah kecerdasan adversitas. Seorang masinis agar terhindar dari kegagalan dalam menghadapi stres maka dituntut untuk mempunyai kemampuan dalam memahami, mengenali, sekaligus mengelolah kesulitan atau masalah yang dihadapinya tersebut, sehingga tidak membuat masinis mengalami stres kerja. Kecerdasan adversitas merupakan salah satu konsep psikologis tentang kecerdasan yang dikembangkan oleh Paul G. Stoltz yang berintikan kemampuan untuk menghadapi kesulitan yang menghadang seseorang. Stoltz (2007) menambahkan bahwa kecerdasan adversitas berperan penting dalam memprediksi seberapa jauh seseorang mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan dan seberapa besar kemampuannya untuk mengatasi masalah tersebut.
8
Menurut Gaves (dalam Palupi, 2005), kesuksesan seseorang dalam pekerjaan ditentukan oleh bagaimana ia menghadapi tekanan sehari-hari yang mengancam kesehatan fisik dan mentalnya. Oleh karena itu, kemampuan untuk menghadapi hambatan ataupun kesulitan sangat diperlukan dalam pencapaian kesuksesan seseorang. Shen (2014) mengatakan bahwa stres kerja dapat berpengaruh pada kesehatan fisik, kesehatan psikologis, dan prestasi kerja individu. Kecerdasan adversitas menunjukkan sikap dan kemampuan untuk menangani sumber stres. Oleh karena itu, ada hubungan antara stres kerja dan kecerdasan adversitas. Apabila kemampuan kontrol dari kecerdasan adversitas lebih tinggi, maka persepsi stres kerja harus lebih rendah. Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi, kehidupan individu tersebut tidak akan dipengaruhi oleh rasa frustrasi, mereka akan dengan mudah mengatasi hambatan, dan tidak akan memiliki hubungan negatif dengan kesulitan. Kecerdasan adversitas memiliki hubungan yang signifikan dengan stres kerja. Hal ini didukung oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ismirani (2011) tentang pengaruh religiusitas dan kecerdasan adversitas terhadap stres kerja pada Agen Asuransi Jiwa Bersama BUMIPUTERA 1912. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa variabel kecerdasan adversitas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap stres kerja, jadi semakin tinggi kecerdasan adversitas maka semakin rendah stres kerjanya. Bila dilihat dari hasil presentasi variabel kecerdasan adversitas, sebagian besar Agen Asuransi Jiwa Bersama
9
BUMIPUTERA 1912 memiliki kecerdasan adversitas yang tergolong tinggi dengan presentasi sebesar 7%. Uraian di atas menjelaskan bahwa stres kerja masinis merupakan masalah yang penting. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap penyelia masinis pada bulan Juli 2015, dapat diketahui bahwa stres kerja yang dialami masinis Unit Pelaksana Teknis (UPT) Crew Kereta Api (KA) Surabaya Kota Daop 8 Surabaya yang selanjutnya akan disebut dengan UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya disebabkan oleh beban kerja dan tanggung jawab yang harus diemban oleh masinis. Masinis bertanggung jawab sebagai pemimpin selama perjalanan kereta api dan bertanggung jawab demi keselamatan, keamanan, serta kenyamanan penumpang. Masinis harus datang ke UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya dua jam sebelum melaksanakan tugas, karena harus melaksanakan asesmen dan cek kesehatan terlebih dahulu. Asesmen dilakukan bertujuan untuk melihat kesiapan masinis dalam bertugas. Masinis harus dalam keadaan siap baik dari segi fisik dan mental saat bertugas. Penyelia masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya menjelaskan bahwa masinis harus memiliki konsentrasi yang penuh dalam bertugas, karena menyangkut keselamatan nyawa seluruh penumpang dan awak kereta api. Masinis juga tidak jarang dihadapkan dengan kesulitan yang terjadi selama perjalanan kereta api. Masinis harus mampu mengambil keputusan dengan baik saat terjadi kesulitan, misalnya saat terjadi kerusakan lokomotif di jalan, masinis harus mampu memutuskan apakah akan tetap jalan atau berhenti dan meminta lokomotif penolong. Kesulitan lainnya adalah apabila terjadi
10
keterlambatan kereta api, maka otomatis waktu bertugas masinis akan bertambah. Hal ini menyebabkan masinis harus menunggu di dalam lokomotif dalam waktu yang lama dengan kondisi lokomotif yang bising, suhu yang panas, dan banyak getaran. Masinis juga akan merasa bosan ketika harus menunggu di lokomotif karena masinis sama sekali tidak diperbolehkan membawa telepon genggam selama bertugas. Waktu bertugas masinis yang bertambah tersebut juga akan menimbulkan kelelahan pada masinis setelah melakukan tugas. Penyelia masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya juga mengungkapkan bahwa masinis kerap kali dihadapkan dengan terjadinya PLH. Penyelia masinis mengatakan bahwa masinis terkadang disalahkan oleh pejabat yang lebih tinggi atas terjadinya PLH. Ketika melakukan suatu kesalahan, masinis akan diberi sanksi yang sangat tegas, misalnya dengan diskors dan dalam bentuk pembinaan selama 1 hingga 3 bulan. Masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya juga sering dihadapkan dengan peristiwa kecelakaan kereta api hingga menewaskan beberapa orang. Ada masinis yang hingga mengalami trauma karena telah menabrak istri anggota TNI dan hingga dalam kurun waktu 6 bulan tidak kembali bertugas. Hal ini dapat menimbulkan beban psikis dan stres kerja bagi masinis. Berdasarkan fenomena dan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai ”Hubungan antara Hardiness dan Kecerdasan Adversitas dengan Stres Kerja pada Masinis di UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya”.
11
B. Perumusan Masalah
1.
Apakah ada hubungan antara hardiness dan kecerdasan adversitas dengan stres kerja pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya?
2.
Apakah ada hubungan antara hardiness dengan stres kerja pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya?
3.
Apakah ada hubungan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian a. Mengetahui hubungan antara hardiness dan kecerdasan adversitas dengan stres kerja pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya. b. Mengetahui hubungan antara hardiness dengan stres kerja pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya. c. Mengetahui hubungan antara kecerdasan adversitas dengan stres kerja pada masinis UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
informasi,
pengetahuan, wawasan dalam ilmu psikologi, khususnya psikologi
12
industri dan organisasi, serta landasan bagi penelitian lain yang sejenis tentang hubungan antara hardiness dan kecerdasan adversitas dengan stres kerja pada masinis. b. Manfaat praktis (1) Bagi masinis Dapat memberikan informasi kepada para masinis mengenai pentingnya hardiness dan kecerdasan adversitas untuk mengurangi stres kerja, sehingga masinis lebih siap dalam menghadapi situasi dan tuntutan kerja sebagai seorang masinis. (2) Bagi UPT Crew KA Surabaya Kota Daop 8 Surabaya. Dapat digunakan sebagai salah satu sudut pandang dalam usaha untuk mengatasi stres kerja masinis di tempat kerja dengan cara meningkatkan hardiness dan kecerdasan adversitas. (3) Bagi penelitian selanjutnya Dapat digunakan sebagai referensi yang berhubungan dengan hardiness dan kecerdasan adversitas dengan stres kerja pada masinis