BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Peningkatan kejahatan di Indonesia menghiasi berbagai media cetak maupun elektronik setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2012 terjadi kejahatan setiap 91 detik,terhitung hingga November 2012 sebanyak 316.500 kasus (Rastika, 2012). Kasus kejahatan di DIY pada tahun 2012 tercatat sebanyak 5846 kasus dan pada tahun 2013 menjadi 5994 kasus. Berdasarkan informasi dari Kapolda DIY didapatkan data kasus kejahatan di DIY dari tahun 2012 hingga akhir tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 2,3 % (Pranyoto, 2013). Pada bulan April 2013 juga dilaporkan terdapat berita kejahatan berupa kasus pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran siswi SMK di Kalasan, Sleman (Parwito, 2013).Para tersangka dari kasus kejahatan tersebut berjumlah tujuh orang dan mendapatkan hukuman yang berbeda – beda. Hukuman yang diberikan mulai dari lima tahun hingga hukuman mati. Motif di balik terjadinya kasus tersebut karena terdapat ancaman dari salah satu oknum polisi. Oknum polisi menjadi otak atas kasus kejahatan yang tidak berperikemanusiaan dan telah melanggar HAM. Kasus kejahatan yang terjadi merupakan kejadian yang unik dan belum pernah terjadi sebelumnya karena terdapat dua orang sebagai bapak dan anak yang terlibat. Keterlibatan bapak dan anak dalam kasus kejahatan ini karena sebagai eksekutor atas perintah dari oknum polisi. Kasus kejahatan ini bermula dari perintah dari sms oknum polisi ke tersangka dan juga sebagai anak meminta untuk dicarikan perempuan dan dibawa ke sebuah rumah kosong. Perempuan yang di datangkan merupakan seorang mantan pacar dari tersangka yang juga sebagai anak. Setelah sudah sampai di rumah kosong beserta 1
2
kehadiran seorang perempuan, oknum polisi memerintahkan untuk dibelikan minuman keras jenis ciu serta menyuruh untuk mengundang teman – temannya untuk bergabung. Ciu dan teman – teman dari anak atas perintah dari oknum polisi telah berada di dalam ruangan sebuah rumah kosong. Kemudian terjadi pesta minuman kerasdan semua dalam keadaan dalam kondisi setengah sadar. Oknum polisi menyetubuhi perempuan tersebut dan menyuruh yang lainnya untuk menyetubuhi secara bergantian di dalam sebuah kamar. Setelah itu, oknum polisi mengancam kepada tersangka sebagai bapak dan anak untuk menghilangkan perempuan tersebut dengan cara dibunuh dan dibakar. Tersangka yang sebagai bapak dan anak kemudian memerintahkan teman-teman dari tersangka sebagai anak untuk membunuh dan membakarnya. Ketika perempuan tersebut sudah terbunuh, oknum polisi menyetubuhinya kembali. Setelah selesai, perempuan tersebut dibakar sebanyak dua kali. Pembakaran yang kedua kalinya terjadi setelah dua hari berikutnya karena masih tercium bau bangkai. Sebelum terjadi pembakaran yang kedua kalinya, para tersangka menjual perhiasan dan barang – barang elektronik milik perempuan tersebut kemudian hasilnya dibagi rata. Terjadinya kasus tersebut menunjukan bahwa kejahatan semakin penting untuk diteliti agar dapat mengetahui cara menanggulanginya dengan tepat. Salah satu menanggulangi warga negara sebagai pelaku kejahatan melalui pembinaan. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan sarana untuk membina pelaku kejahatan yang selanjutnya akan disebut sebagai narapidana. Fungsi dari Lapas ini adalah membantu narapidana untuk menyadari kesalahannya dan memperbaiki diri sehingga tidak mengulangi kembali kesalahannya. Selepas dari pembinaan di Lapas, narapidana diharapkan dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Selain itu, narapidana dapat hidup secara wajar kembali sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, serta menjadi warga negara yang aktif dalam membangun negara. Dalam pengaturan atau
3
spesifikasi kasus pidana tidak diatur dalam perundang-undangan mengenai pelaksanaan pidana penjara di Lapas. Pelaksanaan hukuman terhadap narapidana di Indonesia mengarah pada pelayanan pembinaan terhadap pelaku kejahatan, bukan ke arah pembalasan dendam. Hal tersebut mengartikan bahwa pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana memiliki tujuan untuk mendidik para narapidana. Namun demikian, di dalam Lapas sendiri terdapat permasalahan yang menganggu regulasi proses pembinaan. Informasi yang dikutip dari Warta Pemasyarakatan tahun 2011 menyatakan bahwa kondisi Lapas di
Indonesia mengalami kelebihan kapasitas. Narapidana merupakan anggota dari masyarakat umum yang memiliki hak dan kewajiban seperti warga negara lainnya, namun ditetapkan telah melanggar hukum yang berlaku sehingga perlu dibina di Lapas. Selama menjalani pembinaan, narapidana akan kehilangan kebebasannya dalam jangka waktu tertentu (Sudirohusodo, 2002). Dalam hal ini stres menjadi bagian kehidupan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan seseorangyang tinggal di Lembaga Pemasyarakatan. Seorang individu yang menjalani kehidupan di Lapas mengalami suatu perubahan dalam hidupnya. Ruang gerak kehidupannya pun dibatasi dan terisolasi dari kehidupan masyarakat di luar Lapas. Keadaan tersebut menjadi sumber stres (stressor) yang menyebabkan stres pada narapidana. Bahkan label sebagai narapidana pun sebagai sanksi sosial yang juga menjadi stressorterberat dalam kehidupan pelaku. Banyak perasaan negatif muncul pada narapidana setelah menerima hukuman serta berbagai hal lainnya.Rasa bersalah, hilangnya kebebasan, perasaan malu, sanksi ekonomi dan sosial serta kehidupan dalam penjara yang penuh dengan tekanan psikologis dapat memperburuk kondisi narapidana dan meningkatkan stressor sebelumnya. Level stres yang dialami pun berbeda antara satu narapidana dengan narapidana lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi stres adalah lamanya masa hukuman yang dijalani dan cara pandang terhadap masa hukuman.
4
Stres yang dialami narapidana perlu mendapatkan penanganan khusus. Penanganan narapidana diharapkan dapat menciptakan kesejahteraannya yang sering dilupakan. Narapidana juga manusia yang memiliki hak asasi manusia, seberat apapun kejahatan yang telah di perbuat (Margiyono, 2007).Hak asasi narapidana yang dapat dirampas hanyalah kebebasan fisik serta pembatasan hak berkumpul dengan keluarga dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan. Namun dalam kenyataannya, para narapidana tidak hanya kehilangan kebebasan fisik, tapi juga kehilangan segala kebebasannya.Kehilangan kebebasan dalam hidup seorang narapidana dapat menyebabkan timbulnya stres karena penurunan martabat serta harga diri (Partyka, 2001).Stres yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat dapat menyebabkan dampak negatif bagi narapidana maupun lembaga pemasyarakatan. Lazarus (1984) mengungkapkan bahwajika stres tidak ditangani dan dikelola dengan baik, maka akan memberikan efek jangka lama yang berdampak terhadap timbulnya penyakit, depresi, gangguan somatik, gangguan kesehatan, dan gangguan fungsi sosial. Hasil penelitian Bronseen, Buccafusco dan Masur (2009) menemukan hubungan antara kebahagiaan dengan hukuman yang dialami narapidana. Hukuman yang di berikan narapidana akan mengambil kebahagiaan dalam dirinya dan menjadi stres.Stres yang muncul dapat disebabkan
oleh
pengaruh
lingkungan
sekitar
ketika
menjalani
proses
awal
adaptasi.Narapidana mendapatkan status baru yang di anggap negatif melekat dalam dirinya untuk pertama kalinya. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan dan peningkatan reaksi psikologis dan fisiologis yang memunculkan stress. Cara narapidana dalam merespon stressor yang dialami tergantung pada proses kognitifnya. Jika pikiran dan persepsi positif maka tindakannya pun cenderung positif. Hal ini dikarenakan proses kognitifnya merupakan penyaringan terhadap stressor sebelum individu melakukan reaksi yang tidak membahayakan atau membahayakan bagi diri sendiri maupun orang lain. Pikiran dan persepsi yang positif mempengaruhi narapidana dapat
5
beradaptasi lebih baik terhadap hukuman yang di berikan.Fazel (2001) menyatakan bahwa narapidana yang stres semakin mudah mengalami depresi. Hal ini disebabkan oleh lamanya masa hukuman menghabiskan waktu di penjara dan kehilangan pekerjaan untuk mendapatkan sumber pendapatan dalam bertahan hidup. Henderson dan Milstein (2003) menganggap stres, depresi, dan tekanan emosional dalam permasalahan sehari – hari menjadi penyebab baru dalam suatu penderitaan sehingga
membutuhkan
keterampilan
supaya
mampu
untuk
bangkit
dari
penderitaan.Siswati dan Abdurohim (2007) menambahkan bahwa kasus kejahatan pada narapidana yang dapat menimbulkan stres tinggi yaitu kasus kecelakaan lalu lintas, narkoba, pencurian, korupsi danpembunuhan.Manusia memiliki kemampuan untuk bangkit dan
menjadi
lebih
kuat
saatmenangani
penderitaannyaatau
yang
disebut
resiliensi.Kenyataannya peneliti menemukan tidak semua narapidana menjadi stres dan depresi. Peneliti melakukan studi pendahuluan pertama pada tanggal 22 Oktober 2014 melalui wawancara informal terhadap dua peneliti yang pernah melakukan penelitian eksperimen di Lapas Wirogunan pada bulan September - Okober 2014. Hasil yang didapatkan adalah adanya narapidana yang mengalami gangguan psikologis karena tekanan, gangguan orientasi seksual karena keterbatasan berhubungan seksual. Narapidana yang mengalami gangguan psikologis tidak dapat menjalankan kehidupan di Lapas dengan baik.Peneliti melakukan studi pendahuluan tahap kedua melalui wawancara informal terhadap staf di Lapas Wirogunan. Menurut keterangan dari salah satu staf dari Lapas Wirogunan,peneliti menemui banyak narapidana mengalami stres seperti masih mengamuk dan teriak – teriak dalam kamar penahanan. Peneliti selanjutnya melakukan studi pendahuluan ketiga melalui wawancara informal kepada beberapa narapidana yang direkomendasikan oleh salah satu staf dari Lapas Wirogunan.Terdapat beberapa
6
narapidana menunjukkan kemampuan untuk bertahan dan bangkit kembali dalam menghadapi masa hukumannya.Melalui hasil studi pendahuluan ketiga, ditemukan bahwa narapidana hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana memiliki karakteristik resiliensi menurut Block dan Kreman (dalam Tugade dan Fredrickson, 2004). Narapidana hukuman mati dinyatakan memiliki karakteristik resiliensi karena memiliki semangat dalam menjalani hidup, emosi positif, dan terbuka terhadap pengalamannya. Resiliensi merupakan pandangan baru yang dikenalkan oleh Martin Seligman sebagai character strength yang membahas dari sisi positif manusia, sehingga mengubah pandangan dari deficit model menuju strength model (Patterson dan Kelleher, 2005). Dalam hal ini peneliti akan melihat mengenai kemampuan dan kapasitas adaptasi positif narapidana dalam menghadapi tekanan. Disamping mengurangi kesulitan atau stres dalam kehidupan di Lapas, dinamika resiliensi yang didapatkan akan memberikan kontribusi dalam pengembangan kompetensi. Pengembangan kompetensi dapat terwujud melalui model – model positif dalam intervensi dan perubahan. Turner (1995) mengidentifikasimodel resiliensi terhadap seseorang yang sedang frustasi dalam tahap menuju resilien. Tahap menuju resilien tersebut memiliki faktor risiko yang dapat dijadikan gaya hidup orang lain. Pendekatan seperti ini bersifat menyeluruh dalam proses terjadinya resiliensi (Rutter, 1993). Telah terjadi pergeseran paradigma dalam seseorang yang frustasi memiliki faktor risiko dalam resiliensi. Pergeseran paradigma dalam faktor risiko tersebut terlihat dalam meningkatnya optimisme saat melewati keputusasaan dari kejadian yang membuat frustrasi. Zimmerman dan Arunkumar (1994) mengamati bahwa reseiliensi bukan merupakan konsep yang dapat diterapkan ke semua kehidupan manusia. Seorang anak sekalipun mungkin sudah memiliki faktor risiko resiliensi tetapi sangat rentan juga berlaku ke orang lain. Resiliensi termasuk suatu fenomena multidimensional yang memiliki hubungan dalam setiap perkembangan.
7
Pencapaian resiliensi termasuk hal yang tidak mudah karena ada beban berat yang dihadapi. Permasalahan narapidana hukuman mati memiliki penderitaan yang bersifat sosial, psikologis, dan fisiologis. Peneliti memilih resiliensi sebagai fokus yang diteliti karena narapidana yang resilien dapat dibina sesuai tujuan didirikannya Lapas.Peneliti ingin mengetahui proses pencapaian resiliensi pada narapidana hukuman mati. Hal ini menyebabkan peneliti ingin mengetahui dinamika resiliensi pada narapidana hukuman mati di Lembaga Pemasyarakatan kelas II/A, Wirogunan, Yogyakarta, yang selanjutnya dapat memberikan gambaran dinamika resilensi pada narapidana tersebut.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana pengalaman yang terjadi pada narapidana hukuman mati sehingga dapat memiliki karakteristik resiliensi?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut dinamikaproses terjadinya resiliensi narapidana hukuman mati yang sudah berserah diriterhadap hukuman yang didapatkanhingga menunggu eksekusi. Diharapkan dengan memahami hal tersebut narapidana hukuman mati terhadap hukumannya, individu yang memiliki perhatian
8
terhadap kesehatan jiwa dapat meningkatkan resiliensi pada narapidana hukuman mati dan narapidana lainnya. Narapidana dengan resiliensi yang baik akan dapat menjalankan kehidupan dengan bermanfaatdi dalam Lembaga Pemasyarakatan.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan tambahan pengetahuan bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis, psikologi sosial dan psikologi forensik. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dinamika resiliensi pada narapidana serta menjadi salah satu kontribusi atau masukan yang dapat dikembangkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan II A, Yogyakarta ataupun Lembaga yang berkaitan dengan kesehatan, agama, psikologi maupun hukum. Membantu narapidana menyadari pentingnya penerimaan atas vonis yang didapatkan agar mampu memandang hukuman sebagai pembelajaran hidup yang positif. Selain itu, peneliti mengharapkan responden dalam penelitian ini dapat menjadi inspirator bagi narapidana yang belum mengalami resilien yang berada di Lembaga Pemasyarakatan WirogunanKelas II A, Yogyakarta.
E. Keaslian Penelitian
9
Penelitian-penelitian yang peneliti temui berkaitan dengan psikologis narapidana, yaitu : Lambert, Clarke, dan Lambert (2004) meneliti mengenai alasan memberikan dukungan dan tidak memberikan dukungan terhadap narapidana hukuman mati di Toledo, Ohio; Wilson (2000) menghasilkan penelitian mengenai program intervensi dan pencegahan untuk narapidana hukuman mati sejak dini di Texas, US; Warden (2009) meneliti mengenai refleksi narapidana hukuman mati di Northwestern; Cunningham & Vigen (2002) meneliti mengenai karakteristik dan penyesuaian diri narapidana hukuman mati di USA; Partyka (2001) meneliti mengenai stres dan gaya koping pada narapidana wanita di Toledo; Jones & Wessely (2010) meneliti mengenai dampak psikologis ke resiliensi pada narapidana perang Britania : realita atau persepsi; Petersilia (2002) meneliti mengenai narapidana di US kembali ke komunitas dan konsekuensi politik, ekonomi, dan sosial yang diterima; Lord (2008) meneliti mengenai tantangan narapidana yang mengalami gangguan mental di penjara New York; Kinman & Wray (2013) meneliti mengenai stres dan kesejahteraan pendidik narapidana di UK. Penelitian yang dilakukan peneliti memiliki perbedaan dengan penelitian penelitian sebelumnya yang telah disebutkan di atas. Sebagian besar dari penelitian sebelumnya berada di Amerika dan Eropa. Di samping itu, terdapat pula penelitian terdahulu yang menghasilkan program intervensi dan pencegahan narapidana hukuman mati sejak dini. Penelitian yang peneliti lakukan saat ini berfokus pada dinamika resiliensi narapidana hukuman mati. Penelitian ini dapat memberikan informasi yang lebih mendalam mengenai pengalaman hidup narapidana hukuman mati untuk mencapai keadaan yang resilien.