1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Sejumlah gangguan estetik dan fisik pada kulit akibat abnormalitas dalam penyembuhan luka secara umum dikenal dengan istilah cutaneous fibrosis (CF). Cutaneous fibrosis merupakan bentuk fibrosis kulit yang ringan, tetapi pada beberapa kasus berat dapat menyebabkan gangguan serius pada kulit, seperti keloid, jaringan parut atau skar hipertrofi, dan penyakit sklerosis sistemik (Shaw et al., 2013). Skar hipertrofi (SH) secara umum merupakan komplikasi dari penanganan tindakan bedah dan luka bakar. Insiden terjadinya SH sangat bervariasi antara 40% sampai 70% dari tindakan bedah dan hampir mencapai 91% akibat luka bakar (Gauglitz et al., 2011). Diperkirakan lebih dari 6 juta orang per tahun di dunia mengalami luka bakar (Penn et al., 2012). Disisi lain terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya SH, diantaranya adalah luka yang mengenai dermis bagian dalam dan inflamasi yang berkepanjangan (Mohammadi et al., 2013; Van Den Veer et al., 2009). Skar hipertrofi bisa terjadi di seluruh bagian tubuh, namun predileksinya meningkat di bagian sternum, pundak, lengan atas, daun telinga, dan pipi. Kelainan ini bisa diderita oleh lakilaki maupun perempuan (Gregory& Holly, 2009; Xi-Qiao et al., 2008). Perkembangan pemahaman yang lebih terhadap estetik ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah pasien yang merasa terganggu dengan adanya SH pada tubuhnya dan meningkatnya frekuensi untuk mendapatkan perbaikan secara
1
2
estetik maupun fungsional (Gauglitz, 2013). Skar hipertrofi dan keloid berbeda pada tingkat makroskopik maupun mikroskopik, namun etiologi dan pengobatan keduanya seringkali sama (Shridharani et al., 2010). Manajemen terapi terkini dari SH dan keloid termasuk occlusive dressing, terapi penekanan, injeksi kortikosteroid intralesi, bedah beku (cryosurgery), eksisi, terapi radiasi, terapi laser, dan obat topikal (Chen et al., 2012). Terapi topikal menjadi popular karena mudah dalam penggunaan, nyaman, tidak invasif, dan biayanya relatif lebih murah. Namun belum ada satupun terapi yang memberikan hasil optimal untuk mengeleminasi atau mencegah pembentukan SH (Zurada et al., 2006). Saat ini, belum ada pengobatan yang menjadi standar emas (gold standart) untuk kedua gangguan tersebut (Shridharani et al., 2010). Pada SH maupun keloid, mekanisme perbaikan jaringan dan kontrol pengaturan regenerasi telah hilang. Perkembangan jaringan fibrous yang abnormal ini menjadi dilema utama dalam terapi dan bedah plastik karena gangguan penyembuhan pada keduanya (Wolfram et al. 2009). Banyak ahli bedah plastik berusaha untuk menyembuhkan SH dan keloid karena seringnya terjadi rekurensi (Ogawa, 2010). Keduanya sering tidak mendapatkan terapi yang efektif (McCarty et al., 2010). Efek psikologis setelah terjadinya SH menyebabkan depresi, sindrom stres post trauma, kelelahan (anxiety), menurunnya kepercayaan diri, dan gangguan kualitas hidup (Rahmani et al., 2013). Kelainan ini dapat menyebabkan morbiditas psikologis, dan biaya kesehatan yang mahal dalam jangka panjang (Penn et al., 2012).
2
3
Banyak penelitian dilakukan untuk berusaha memahami mekanisme SH dan pada gilirannya berusaha untuk mencegahnya. Secara klinis SH dikarakteristikkan sebagai deposisi kolagen berlebihan pada dermis dan jaringan subkutan sekunder pada trauma. Skar hipertrofi tampak sebagai tonjolan kulit berwarna merah, keras, menyebabkan sensasi abnormal dan gangguan fungsional (Penn et al., 2012; Shi et al., 2013). Proses ini diatur oleh sitokin dan faktor pertumbuhan seperti transforming growth factor β (TGF-β), epidermal growth factor (EGF), fibroblast growth factor (FGF) dan platelet-derived growth factor (PDGF) (Grieb et al., 2011). Wilgus et al. (2008) menambahkan vasculare endothelial growth factor (VEGF) memiliki pengaruh yang kuat pada pembentukan jaringan skar. Produksi VEGF berlebih merupakan salah satu mekanisme yang mendasari terbentuknya SH (Penn et al., 2012). VEGF dapat mendorong deposisi jaringan skar secara tidak langsung berdasarkan dampaknya pada angiogenesis. Pada saat menjalani angiogenesis, sel endotel dermal menghasilkan sejumlah besar TGF-β, connective tissue growth factor (CTGF), dan faktor profibrotik lainnya. Peran VEGF sebagai penghubung antara angiogenesis dan pembentukan skar dengan menstimulasi langsung sel endotel dan fibroblast dermis. Remodeling matriks yang menyertai angiogensis secara tidak langsung menstimulasi produksi jaringan skar. (Wilgus et al, 2008). Wang et al. (2007) menyebutkan terjadi peningkatan angiogenesis dan ekspresi VEGF pada SH dibandingkan kulit normal. Bao-qiang et al. (2008) menambahkan hambatan ekspresi VEGF selama fase awal pembentukan skar
3
4
merupakan salah satu metode untuk mencegah atau mengurangi SH. Hal ini diperkuat oleh Berman (2012) dan Sai (2010) yang mengatakan bahwa pemberian awal penghambat VEGF, antiangiogenik dan penghambat reseptor tirosin kinase VEGF dapat menghambat pembentukan SH. Salah satu obat penghambat angiogenesis adalah statin (Elewa et al., 2010). Statin menghambat enzim hydroxymethyl glutaryl-coenzyme A (HMGCoA) reductase pada jalur sintesis kolesterol (Pushp et al., 2013). Statin merupakan obat lini pertama sebagai penurun kolesterol (Elewa et al., 2010). Belakangan ini, statin telah terbukti memiliki beberapa efek lain, yang disebut sebagai efek pleiotropik (Pushp et al., 2013). Salah satu efek pleiotropik statin adalah antiangiogenik (Elewa et al., 2010). Efek antiangiogenik ini independen dari efek utamanya sebagai penurun kolesterol (Pushp et al., 2013). Ren
et
al. (2013) dalam penelitiannya
menyebutkan hambatan
angiogenesis oleh endostatin sistemik potensial digunakan untuk mencegah dan mengobati SH lokal pada manusia. Liu et al. (2012) menjelaskan tumstatin menghambat angiogenesis pada SH dengan memblok proliferasi sel endotel dan merangsang apoptosis. Hal ini menjanjikan bahwa tumstatin bisa untuk mencegah pembentukan SH pada manusia. Diantara anggota statin yang bersifat lipofilik yaitu atorvastatin (Komatsu et al., 2011). Penelitian oleh Baharara et al. (2012) menunjukkan atorvastatin menghambat angiogenesis inovo pada chorioallantoic membrane (CAM). Dulak dan Jozkowicz (2005) menjelaskan aktivitas anti-angiogenik statin, diamati pada konsentrasi mikromolar. Efek tersebut disebabkan oleh penghambatan proliferasi
4
5
dan migrasi serta induksi apoptosis sel endotel. Selain itu, hambatan sintesis VEGF, berkontribusi pada pelemahan angiogenesis. Van Den-Broek et al., (2012) menjelaskan lebih jauh lagi, ditunjukkan bahwa atorvastatin memungkinkan untuk menjadi alternatif dalam terapi skar. Skar hipertrofi dan keloid bagian dari jaringan parut patologis yang insiden kejadiannya masih tinggi. Keduanya mengganggu secara estetik, fisiologik, psikologik, dan sering tumbuh kembali setelah pengobatan. Belum ada terapi standar baku emas untuk SH dan keloid. Efek pleiotropik statin berpotensi sebagai anti skar baru. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang efek atorvastatin terhadap SH berdasarkan parameter morfologi klinis ketinggian jaringan skar, scar elevation index (SEI), kepadatan kolagen, dan ekspresi VEGF pada model luka skar di telinga kelinci.
I.2. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah pemberian salep atorvastatin dapat menghambat pembentukan skar hipertrofi pada model luka skar di telinga kelinci New Zealand? 2. Apakah pemberian salep atorvastatin dapat menurunkan morfologi klinis ketinggian jaringan skar pada model luka skar di telinga kelinci New Zealand? 3. Apakah pemberian salep atorvastatin dapat menurunkan scar elevation index pada model luka skar di telinga kelinci New Zealand?
5
6
4. Apakah pemberian salep atorvastatin dapat menurunkan kepadatan kolagen pada model luka skar di telinga kelinci New Zealand? 5. Apakah pemberian salep atorvastatin dapat menurunkan ekspresi VEGF pada model luka skar di telinga kelinci New Zealand?
I.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui efek hambatan salep atorvastatin terhadap pembentukan skar hipertrofi pada model luka skar di telinga kelinci New Zealand. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui efek pemberian salep atorvastatin terhadap penurunan morfologi klinis ketinggian jaringan skar pada model luka skar di telinga kelinci New Zealand. b. Untuk mengetahui efek pemberian salep atorvastatin terhadap penurunan SEI pada model luka skar di telinga kelinci New Zealand. c. Untuk mengetahui efek pemberian salep atorvastatin terhadap penurunan kepadatan kolagen pada model luka skar di telinga kelinci New Zealand. d. Untuk mengetahui efek pemberian salep atorvastatin terhadap penurunan ekspresi VEGF pada model luka skar di telinga kelinci New Zealand.
1.4. Keaslian Penelitian 1. Ko et al. (2012) dalam penelitiannya menyebutkan terapi luka dengan
pemberian injeksi intradermal simvastatin, lovastatin, atau pravastatin pada
6
7
dosis rendah (40 μM), medium (120 μM) dan tinggi (400 μM) pada hari ke 15, 20, dan 25, dimana sebagai kontrol luka diinjeksi dengan pelarut statin. Luka dipanen setelah 35 hari untuk analisis histomorfometrik SEI, dan analisis mRNA ekspresi CTGF. Hasilnya, pada dosis rendah simvastatin, lovastatin, dan pravastatin masing-masing secara signifikan mengurangi scar elevation index dan signifikan mengurangi ekspresi CTGF dibandingkan dengan kontrol. 2. Shi et al. (2013), melakukan penelitian efek terapi basic fibroblast growth
factor (bFGF) dengan model hewan skar hipertrofi pada telinga kelinci, dan skar fibroblast pada manusia. Hasilnya menunjukkan bFGF menginduksi penyembuhan luka dan mengurangi area rata dari skar non patologis luka pada kulit tikus dan skar hipertrofi pada model telinga kelinci. Terjadi pengurangan secara signifikan Scar Elevation Index (SEI) dan Epidermal Thickness Index (ETI). Kesimpulannya bFGF memiliki efek terapi pada skar hipertrofi secara in vitro dan in vivo, serta memungkinkan sebagai terapi skar hipertrofi pada manusia. 3. Toker et al. (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pemberian lokal
atorvastatin memungkinkan untuk digunakan sebagai terapi terhadap luka pada tikus diabetik yang diinduksi streptozotocin. Dua luka berukuran 15 x 15 mm dibuat pada 28 ekor tikus yang diinduksi streptozotocin. Kelompok ketiga dan keempat (perlakuan) terdiri dari tikus diabetes yang diberikan konsentrasi 1% dan 5% atorvastatin ditambah 1:1 campuran lanolin dan vaseline, dengan kontrol 1:1 campuran lanolin dan terapi vaselin. Semua
7
8
perlakuan dan kontrol diberikan selama masing-masing 7 dan 14 hari. Pada hari ke-7 dan ke-14, keadaan penyembuhan luka diamati, dan persen penyembuhan luka ditentukan dengan ukuran luka dan studi histopatologi. Hasilnya tingkat penyembuhan luka yang ditemukan signifikan lebih tinggi pada kelompok tikus diabetes yang diberikan 1% dan 5% atorvastatin dibandingkan dengan kelompok yang diberikan campuran lanolin-vaselin dan kelompok yang tidak diobati. 4. Ren et al., 2013, menggunakan injeksi intraperitoneal endostatin mulai hari
ke 15 setelah pembuatan luka pada model luka skar di telinga kelinci. Luka dipanen pada hari ke 35, dan dilakukan pemeriksaan SEI, microvessel density (MVD), kepadatan kolagen, dan western blot ekspresi kolagen tipe I dan Bcl2. Hasilnya SEI, MVD, ekspresi kolagen I&Bcl2 turun pada kelompok perlakuan. Distribusi kolagen lebih reguler dibandingkan kontrol yang tampak lebih tebal dan tidak teratur. 5. Liu et al., 2012, menggunakaan injeksi intrajaringan dengan 4 ml of
tumstatin, endostatin, triamcinolone acetonide dan normal saline dengan konsentrasi 200 ug/ ml pada hari ke 5 setelah epitelisasi. Setelah 30 hari injeksi dilihat aliran darah pada skar hiperplastik dengan laser Doppler flowmetry, pemeriksaan histologist kepadatan pembuluh darah, dan ketebalan skar. Hasilnya aliran darah, kepadatan pembuluh darah dan ketebalan skar pada pemberian tumstatin lebih rendah secara signifikan.
8
9
I.5. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Menambah ilmu pengetahuan tentang manfaat lain dari statin selain sebagai penurun kadar kolesterol darah, statin juga memungkinkan digunakan sebagai terapi penghambat pembentukan skar hipertrofi.
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan uji preklinik lebih lanjut sebagai tahapan dalam penemuan obat baru terutama obat-obatan anti skar hipertrofi.
9