1
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Menurut Tobacco Control Support Center Indonesia (2012), prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1995 prevalensi perokok di Indonesia adalah 27%, kemudian meningkat menjadi 31,5% pada tahun 2001, 34,3% di tahun 2004 (TCSCI, 2012), terus meningkat hingga 38,5% di tahun 2013 (WHO, 2015). Berdasarkan data WHO, pada tahun 2004, 52,4% penduduk laki-laki di Indonesia adalah perokok aktif, kemudian meningkat menjadi 65,9% di tahun 2008 (WHO, 2008), dan terus meningkat hingga mencapai 67% di tahun 2011 (GATS et al., 2012). Dilain pihak, untuk jenis kelamin wanita, pada tahun 2004 terdapat 3,3% dari penduduk wanita yang merupakan perokok aktif, dan meningkat menjadi 4,5% pada tahun 2008 (WHO, 2008), kemudian menurun menjadi 2,7% di tahun 2011 (GATS et al., 2012). Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, 59,1% balita di Indonesia merupakan perokok pasif (TCSCI, 2012). Rokok merupakan salah satu penyebab utama kejadian kecacatan dan kematian di dunia (Valavanidis et al., 2009). Kematian tersebut terutama disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan kanker (Ezzati & Lopez, 2003). Menurut Fletcher & Peto (1977), 95% PPOK di negara berkembang disebabkan oleh rokok. Penyakit paru obstruktif kronis merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga di Amerika (Goldklang et al., 2013).
2
Penyakit paru obstruktif kronis adalah “suatu penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak dapat kembali normal sepenuhnya” (GOLD, 2010). Penyakit paru obstruktif kronis terdiri dari bronkitis kronis dan emfisema. Bronkitis kronis ditandai dengan hipersekresi kelenjar yang mengakibatkan batuk kronis, sedangkan emfisema ditandai dengan adanya destruksi jaringan paru. Umumnya penderita PPOK mengalami keduanya, namun dengan proporsi yang berbeda-beda (Barnes et al., 2003). Efek buruk rokok yang mengakibatkan PPOK ini disebabkan oleh berbagai zat kimia toksik seperti aseton, asam asetat, amonia, arsen, benzen, karbon monooksida, nikotin dan tar (Patel et al., 2008; ALA, 2013). Efek buruk yang ditimbulkan pada sistem pernafasan berbanding lurus dengan jumlah rokok yang dikonsumsi dalam sehari, frekuensi merokok dan lamanya merokok, namun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada perbedaan jenis rokok yang dikonsumsi (Uramanda, 2007; Isabel et al., 2005). Asap rokok merupakan campuran kompleks berbagai zat kimia yang bersifat karsinogenik dan toksik (Valavanidis et al., 2009). Asap rokok dibagi menjadi 2, yaitu asap aliran utama/ mainstream smoke dan asap aliran sampingan/ sidestream smoke. Menurut Guerin (1980) (cit. Church & Pryor, 1985), disebut mainstream smoke jika asap yang dihasilkan dilepaskan dari bagian pangkal rokok saat rokok tersebut dihisap, sedangkan yang disebut sebagai sidestream smoke adalah asap yang mengepul dari bagian ujung rokok yang terbakar. Baik mainstream maupun sidestream smoke dibagi menjadi dua fase, yaitu fase solid (tar) dan gas (Valavanidis et al., 2009). Berdasarkan penelitian tehadap
3
data milik Philip Morris (1981 dan 1989), komponen yang terkandung di dalam sidestream smoke memiliki kadar yang lebih tinggi dan lebih toksik dibanding mainstream smoke (Schick & Glantz, 2006). Baik perokok aktif maupun pasif akan menghirup sidestream smoke, mainstream smoke yang diekshalasi (secondhand smoke) dan asap yang menembus pori-pori kertas pembungkus rokok. Namun sebagian besar asap yang dihirup oleh perokok pasif merupakan sidestream smoke, yaitu sekitar 85% (Rockville, 2010). Pada saat asap rokok mengepul, berbagai oksidan dan radikal bebas termasuk reactive oxygen species (ROS) yang terkandung di dalamnya akan terhirup bersama dengan sidestream dan mainstream smoke (Zhang et al., 1999). Jumlah radikal bebas dalam setiap kepulan asap rokok dapat mencapai 1017 molekul, dan 1014 diantaranya merupakan ROS (MacNee et al., 1997). Pada
keadaan
fisiologis,
sebenarnya
tubuh
kita
terus-menerus
menghasilkan ROS dari hasil metabolisme, namun tubuh memiliki antioksidan endogen yang akan menjaga keseimbangannya (Zweier & Talukder, 2006). Paparan terhadap asap rokok akan meningkatkan jumlah oksidan dalam tubuh. Ketika antioksidan di dalam tubuh sudah tidak mampu menangani oksidan yang ada, maka terjadilah ketidakseimbangan oksidan-anti oksidan, atau yang disebut dengan stress oksidatif (Zweier & Talukder, 2006). Radikal bebas dipercaya menjadi pemeran utama dalam patogenesis PPOK akibat rokok. Proses terjadinya PPOK dimulai dari aktivasi sel makrofag alveolar (MA) oleh ROS yang terkandung di dalam asap rokok. Sel MA yang aktif akan melepaskan berbagai sitokin yang akan memanggil dan mengaktifkan sel-sel
4
inflamasi lain, terutama netrofil dan monosit. Netrofil dan makrofag yang aktif juga dapat menghasilkan ROS, sehingga kadar ROS dalam tubuh akan semakin meningkat (Tetley, 1993; MacNee, 2005; Barnes, 2003a). Selain meningkatkan jumlah ROS, paparan asap rokok juga terbukti menurunkan berbagai antioksidan dalam tubuh, seperti vitamin E, vitamin C, Superoksida Dismutase (SOD), Catalase (CAT) dan Glutathion peroksidase (Gpx) semakin memperparah stress oksidatif yang ada (Shah et al., 2014; Arora et al., 2011). Peningkatan oksidan disertai penurunan antioksidan menyebabkan ketidakseimbangan oksidan-antioksidan atau yang disebut dengan stress oksidatif (MacNee, 2006). Salah satu cara untuk mengukur tingkat stress oksidatif adalah dengan mengukur kadar malondialdehid (MDA) ( Owen, 2005). Malondialdehid dapat digunakan sebagai indikator stress oksidatif karena MDA adalah produk akhir dari proses peroksidasi lipid (Halliwell & Chirico, 1993). Kandungan lipid pada membran sel merupakan molekul yang paling rentan terhadap paparan ROS (Sayyed et al., 2008; van der Toorn et al., 2009). Penelitian menunjukkan, baik perokok “sehat” (healty smoker) maupun perokok dengan PPOK memiliki kadar MDA sistemik yang lebih tinggi secara signifikan dibanding dengan bukan perokok (Lykkesfeldt et al., 2004). Reactive oxygen species (ROS) dari asap rokok yang terhirup maupun hasil dari pelepasan oleh netrofil
dapat meningkatkan inflamasi yang sudah
terjadi dengan cara meningkatkan aktivasi faktor
transkripsi protein-protein
proinflamasi (MacNee, 2006; Nishikawa et al., 1999). Sel netrofil dan makrofag yang aktif dapat memproduksi protease, yaitu suatu enzim yang dapat
5
mendestruksi jaringan ikat paru (Barnes, 2003a; MacNee, 2006; Vlahos & Bozinovski,
2014).
Contoh-contoh
protease
diantaranya
adalah
matriksmetalloproteinase (MMP), netrofil elastase (NE), dan cathepsin. Terdapat beberapa varian MMP yang dihasilkan oleh makrofag, yaitu MMP-2, MMP-9 dan MMP-12. Varian MMP lainnya, yaitu MMP-8 dihasilkan oleh netrofil. Protease lain yang dapat dihasilkan oleh netrofil adalah NE, cathepsin G dan proteinase-3 (Abboud & Vimalanathan, 2008; Barnes et al., 2003). Selain meningkatkan proses inflamasi, ROS juga dapat menyebabkan penurunan fungsi alpha 1-antitripsin (α1-AT) yang merupakan suatu antiprotease (MacNee, 2006; Hubbard et al., 1987; Carp et al., 1982). Kenaikan produksi protease dan penurunan aktifitas anti-protease, akan menyebabkan peningkatan destruksi jaringan ikat paru sehingga terjadi PPOK (MacNee, 2005). Penyusun jaringan ikat paru yang utama adalah elastin (MacNee, 2005). Elastin terdiri dari monomer-monomer yang disatukan oleh cross-link yang terbentuk dari desmosin (Ofulue et al., 1998). Ketika elastin terdestruksi, maka desmosin sebagai salah satu penyusun elastin matur akan terlepas. Desmosin yang terlepas tidak dapat diabsorbsi, digunakan kembali atau dikatabolisme oleh tubuh, sehingga peningkatan kadar desmosin dapat menunjukkan peningkatan destruksi elastin (Tenholder et al., 1991). Peningkatan kadar desmosin pada subjek PPOK dibuktikan oleh Lindberg et al (2012) dalam penelitiannya terhadap pasien PPOK. Penelitian lain yang dilakukan pada 26 pasien PPOK dan 8 individu normal menunjukkan bahwa kadar desmosin berkorelasi negatif dengan rasio Forced expiratory volume in 1
6
second/ Forced vital capacity (FEV1/FVC) dan berkorelasi positif dengan volume residu (Boschetto et al., 2006). Forced expiratory volume in 1 second adalah volume udara yang dapat diekspirasikan secara paksa pada detik pertama setelah inspirasi maksimal (GOLD, 2010). Nilai FEV1 dapat menunjukkan ada tidaknya obstruksi saluran nafas dan derajat keparahan obstruksi yang terjadi. Forced vital capacity adalah kapasitas paru paksa, yaitu volume udara yang dapat diekspirasikan secara maksimal setelah inspirasi maksimal (GOLD, 2010). Rasio FEV1/FVC yang rendah menunjukkan adanya obstruksi saluran nafas. Volume residu adalah volume udara yang tetap berada di dalam paru-paru setelah ekspirasi maksimal. Volume residu yang meningkat menunjukkan penurunan elastisitas paru, yang dapat normal terjadi pada lansia. Hingga saat ini, belum ada terapi yang dapat menyembuhkan PPOK (Coronini-Cronberg et al., 2011). Sehingga ketika seseorang tealh menderita PPOK, maka penyakit tersebut akan terus ada sepanjang hidupnya. Satu-satunya upaya yang diketahui dapat menghambat progresifitas PPOK adalah smoking cessation atau berhenti merokok (Willemse et al., 2005; Barnes, 2003). Berhenti merokok adalah tidak lagi merokok selama paling tidak 1 hari, dengan maksud untuk tidak melanjutkan merokok untuk seterusnya (ALA, 2013). Sedangkan definisi mantan perokok menurut GATS 2010 adalah perokok yang sudah tidak lagi mengkonsumsi rokok selama minimal 12 bulan. Berhenti merokok terbukti dapat memperlambat kecepatan penurunan FEV1 (Anthonisen et al., 2002). Pengukuran FEV1 pada penelitian tersebut dilakukan setiap 6 bulan selama 11 tahun. Pada penelitian tersebut, partisipan
7
laki-laki yang berhenti merokok mengalami penurunan FEV1 sebanyak 30.2 mL/tahun, sedangkan yang terus merokok mengalami penurunan FEV1 sebanyak 60.1 mL/tahun. Akan tetapi, meskipun telah berhenti merokok, jika inflamasi yang terjadi sudah menetap, maka inflamasi tersebut akan terus ada bahkan hingga beberapa dekade setelahnya (Vlahos & Bozinovski, 2014). Karena hal tersebut, maka perlu dipikirkan terapi tambahan selain berhenti merokok. Pada PPOK, radikal bebas dikatakan menjadi pemeran utama karena radikal bebas menyebabkan terjadinya 3 proses yang akan membawa ke penyakit PPOK, yaitu inflamasi kronis, ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease, serta ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan (MacNee, 2006; Rockville, 2010). Usaha untuk melawan radikal bebas salah satunya adalah dengan memberikan antioksidan dari luar. Beberapa peneliti telah mencoba memberikan antioksidan ekternal sebagai upaya pencegahan PPOK. Antioksidan yang pernah diteliti diantaranya adalah Vitamin C dan Vitamin E (Koike et al., 2014; Zhang et al., 1999). Pilihan antioksidan lain adalah obat golongan statin (Lehr et al., 1994; Neukamm et al., 2015; Wu et al., 2014). Statin merupakan obat pengendali kolesterol yang akhir-akhir ini diketahui memeliki efek lain selain menjaga kadar kolesterol. Meta-analisis yang dilakukan oleh Horita et al (2014) menyimpulkan bahwa terdapat penurunan angka mortalitas pada pasien PPOK yang mendapat terapi statin. Statin dikatakan memiliki efek antioksidan dan antiiflamasi (Lee et al., 2005; Braganza et al., 2011). Efek antioksidan dari statin dibuktikan dengan penurunan kadar ROS pada penderita dislipidemia yang mendapat terapi simvastatin (Guasti et al., 2008) dan
8
penurunan kadar MDA jaringan paru pada tikus wistar yang dipapar dengan asap pembakaran kapas (Belli et al., 2011). Sedangkan efek antiinflamasi, salah satunya dibuktikan dengan penurunan produksi interleukin-8 (IL-8) oleh netrofil pasien dislipidemia yang diterapi simvastatin selama 4 minggu (Guasti et al., 2008; Marino et al., 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yildiz et al (2009), pemberian atorvastatin sebanyak 0,5 mg/ kgBB pada tikus yang dipapar rokok berkaitan dengan penurunan cedera paru secara histologis. Obat golongan statin yang lain adalah rosuvastatin (RSV). Serupa dengan obat statin lainnya, rosuvastatin juga memiliki efek antioksidan dan anti-inflamasi (Ferreira et al., 2014). Dibanding obat golongan statin yang lain, rosuvastatin memiliki waktu paruh paling panjang, yaitu 19 jam (Barth et al., 2012). Menurut Cheng (2004), rosuvastatin merupakan obat golongan statin yang jarang menyebabkan miopati, abnormalitas tes fungsi hati dan interaksi dengan obatobatan lain. Saat ini belum banyak penelitian yang mengkaji efek pemberian rosuvastatin pada PPOK. Pemberian rosuvastatin diharapkan dapat melawan peningkatan ROS yang terbentuk, sehingga tingkat stress oksidatif dan destruksi elastin akan berkurang. Tingkat stress oksidatif menurun ditandai dengan kadar MDA yang lebih rendah, sedangkan penurunan tingkat destruksi elastin ditandai dengan kadar desmosin serum yang lebih rendah setelah pemberian rosuvastatin. Untuk dapat mempelajari efek terapi menggunakan komponen baru diperlukan hewan model. Karena pada manusia, penelitian tersebut hanya terbatas secara in vitro menggunakan jaringan paru yang didapatkan dari tindakan operasi subjek penelitian, dan hanya dipelajari pada satu waktu saja. Dengan
9
menggunakan hewan model, kita bisa meniru kejadian PPOK yang terjadi pada manusia dan mempelajarinya. Hewan yang sudah pernah dijadikan model PPOK diantaranya adalah domba (van der Worp et al., 2010), monyet, anjing, kelinci
( Vlahos &
Bozinovski, 2014a), hamster, tikus dan marmut (Leberl et al., 2013). Domba memiliki anatomi dan fisiologi sistem penafasan yang mirip dengan manusia. Namun penelitian meggunakan kambing memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dan membutuhkan biaya yang besar (van der Worp et al., 2010). Menurut Groneberg & Chung (2004), hamster merupakan hewan yang paling mudah untuk diamati morfologi parunya, bila dibandingkan dengan tikus dan mencit. Akan tetapi, antibodi yang tersedia untuk penelitian menggunakan hamster masih sangat terbatas. Pada mencit, hanya galur-galur tertentu saja yang mudah diinduksi untuk menjadi PPOK. Galur yang paling mudah untuk dinduksi PPOK adalah C57BL/6J (Yao et al., 2008). Tikus merupakan pilihan hewan model yang baik karena genomenya telah diteliti dan diketahui mirip dengan manusia. Tikus juga memiliki waktu hidup yang pendek, sehingga penelitian dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat. Selain itu enzim dan reagen yang diperlukan untuk penelitian juga telah tersedia (Dawkins & Stockley, 2001). Salah satu kelemahan penggunaan hewan model berukuran kecil seperti mencit dan tikus adalah sulitnya melihat gambaran patologis pada jalan nafas kecil. Induksi PPOK pada penelitian ini dilakukan dengan memberikan paparan asap rokok, karena asap rokok merupakan penyebab utama PPOK (Groneberg &
10
Chung, 2004). Dalam menentukan dosis paparan asap rokok, penulis mengacu pada peneltian yang tealh dilakukan oleh Zhang et al (2011). Zhang et al (2011) memberikan paparan 20 batang rokok Huang Goushu dengan kandungan 1,1 mg nikotin/ batang dan 12 mg tar/batang rokok pada tikus Sprague Dawley. Pada penelitian tersebut, Zhang et al memberikan paparan asap rokok selama 1 jam per hari, selama 74 hari. Oleh karena tidak tersedia rokok yang sama di Indonesia, maka pada penelitian ini digunakan rokok lain dengan total kandungan nikotin yang mendekati kadar total nikotin pada penelitian oleh Zhang et al. Metode pemberian paparan asap rokok pada hewan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu pemberian paparan melalui hidung saja (nose only) dan paparan seluruh tubuh (whole body exposure). Keuntungan penggunaan metode paparan melalui hidung saja adalah pemberian dosis yang lebih akurat untuk setiap hewan model. Namun metode ini akan membuat hewan coba menjadi stress. Dengan memberikan paparan menggunakan metode paparan seluruh tubuh, tikus dapat terus melakukan aktifitas seperti makan, minum dan berjalan selama pemberian paparan. Metode ini juga lebih sederhana dan tidak memerlukan pengawasan intensif (Goldklang et al., 2013), sehingga pada penelitian ini dipilih metode paparan seluruh tubuh. Waktu yang diperlukan untuk menginduksi terjadinya PPOK pada tikus bervariasi. Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, Kratzer et al (2012) memberikan paparan asap rokok selama waktu 2 bulan untuk membuat tikus Sprague Dawley menderita PPOK. Penelitian yang lain oleh Zhang et al (2011) memberikan paparan asap rokok selama 74 hari untuk menginduksi tikus SD
11
menderita PPOK. Waktu yang lebih lama dibutuhkan oleh Roh et al (2010) dalam menginduksi tikus SD menjadi PPOK, yaitu 20 minggu. Pada penelitian ini, pemberian paparan asap rokok dilakukan selama 70 hari, karena pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh penulis (data tidak dipublikasi) menunjukkan, pemberian paparan asap rokok selama 70 hari telah terbukti dapat menginduksi PPOK pada tikus Sprague-Dawley jantan usia 10 minggu yang dibeli dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) UGM. Hal ini tampak dari ukuran diamater alveolus rata-rata tikus yang mendapat paparan asap rokok lebih besar bermakna dibanding tikus kontrol normal.
I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan masalah upaya terapi tambahan PPOK menggunakan rosuvastatin, dengan pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: 1. Apakah kadar MDA serum tikus PPOK menurun setelah pemberian terapi penghentian asap rokok dan rosuvastatin? 2. Apakah kadar desmosin serum tikus PPOK menurun setelah pemberian terapi penghentian asap rokok dan rosuvastatin? 3. Adakah hubungan antara kadar MDA serum dengan kadar desmosin serum?
12
I.3. Tujuan Penelitian 1. Membandingkan kadar MDA serum tikus PPOK sebelum dengan setelah pemberian terapi penghentian paparan asap rokok dan rosuvastatin. 2. Membandingkan kadar desmosin serum tikus PPOK sebelum dengan setelah pemberian terapi penghentian paparan asap rokok dan rosuvastatin. 3. Mempelajari hubungan antara kadar MDA serum dengan kadar desmosin serum.
I.4. Keaslian penelitian Efek berhenti merokok pada PPOK telah diteliti. Berhenti merokok dapat menurunkan kecepatan progresifitas PPOK, menurunkan morbiditas dan memperpanjang waktu hidup (Tonnesen, 2013). Meskipun dengan berhenti merokok selama 1 tahun belum dapat menghilangkan tanda-tanda inflamasi pada paru, namun sudah dapat menurunkan hipersensitifitas saluran nafas (Willemse et al., 2005). Berhenti merokok juga dapat mengurangi kecepatan penurunan fungsi paru (Anthonisen et al., 2002; Scanlon et al., 2001). Penelitian pada murine menunjukkan penghentian paparan asap rokok dapat mengembalikan kadar sel inflamasi dan rasio ventilasi-perfusi menjadi normal kembali, meskipun pembesaran ruang udara masih tetap ada (Jobse et al., 2014). Penelitian mengenai efek pemberian antioksidan terhadap hewan model yang dipapar oleh asap rokok, juga telah dilakukan, misalnya penelitian oleh (Lehr et al., 1994) yang menyebutkan bahwa pemberian vitamin C pada hamster dapat mencegah agregasi dan adhesi leukosit. Penelitian lain oleh Zhang et al
13
(1999) menunjukkan adanya penurunan kerusakan oksidatif mitokondria pada tikus yang dipapar rokok disertai pemberian vitamin E. Penelitian menggunakan obat golongan statin telah dilakukan oleh Lee et al (2005). Pada penelitian tersebut, pemberian simvastatin dapat menghambat infiltrasi sel polimorfonuklear di bronchial dan darah, serta menurunkan skor inflamasi histologis secara signifikan. Sedangkan pemberian atorvastatin pada tikus berkaitan dengan penurunan kerusakan histologi sel epitelial akibat rokok (Yildiz et al., 2009). Pemberian rosuvastatin 5 mg/kgBB pada tikus C57BL/6 yang diberi paparan asap rokok akut dapat menurunkan tingkat inflamasi dan kadar ROS (Ferreira et al., 2014). Hingga saat ini belum ada penelitian yang mengkaji efek berhenti merokok disertai pemberian rosuvastatin pada subjek PPOK. Pada penelitianpenelitian sebelumnya, pemberian antioksidan dan paparan asap rokok dilakukan pada hari yang sama, sehingga efek pemberian antioksidan yang dilihat adalah efek pencegahan terhadap PPOK. Pada penelitian ini antioksidan digunakan sebagai terapi pendamping penghentian paparan asap rokok.
I.5. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis: a. Menambah wawasan mengenai efek penghentian paparan asap rokok terhadap kadar MDA serum dan desmosin serum tikus PPOK.
14
b. Menambah wawasan mengenai efek pemberian rosuvasatatin terhadap kadar MDA serum dan desmosin serum tikus PPOK. c. Menjadi dasar penelitian untuk pengembangan terapi tambahan pada PPOK.
2. Manfaat praktis: a. Menambah wawasan mengenai efek penghentian paparan asap rokok pada PPOK. b. Menambah wawasan mengenai efek pemberian terapi tambahan, khususnya rosuvastatin pada PPOK.