1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Entomologi forensik merupakan salah satu cabang ilmu forensik yang dapat memberikan informasi mengenai pengungkapan suatu kasus kriminalitas baik secara pidana maupun perdata melalui pemanfaatan aktivitas serangga yang ditemukan pada tubuh jenazah. Beberapa jenis serangga yang dapat membantu dalam investigasi forensik, meliputi blowflies, fleshflies, cheese skippers, hide and skin beetles, rove beetles, dan clown beetles sehingga ahli entomologi forensik, pihak kepolisian, maupun agen detektif dapat menentukan perkiraan waktu kematian atau Post Mortem Interval (PMI), mengungkap kronologi pembunuhan atau bentuk kejahatan lainnya, dapat menentukan keterkaitan antara korban dan pelaku, serta dapat memberikan kepastian hukum bagi kasus yang sedang ditangani. Aktivitas serangga yang menjadi acuan penentuan waktu kematian melalui adanya populasi dan tahap perkembangan serangga yang terdapat pada tubuh jenazah. (Shepherd, 2003; Gennard, 2007; Hall dan Huntington, 2009; Goff, 2010). Serangga memiliki perkembangan siklus hidup, diantaranya fase juvenile (imatur) dan dewasa. Beberapa familia serangga hanya pada fase juvenile saja sebagai hewan pemakan bangkai (nekrofagus) dan beberapa familia sebagai hewan pemakan bangkai baik pada fase juvenile maupun dewasa. Mereka akan melekat pada bagian tubuh yang telah mati agar mendapat cukup nutrisi untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan (Gennard, 2007).
1
2
Salah satu jenis serangga yang sering dimanfaatkan dalam pengungkapan kasus mediko legal adalah lalat. Lalat tergolong dalam Ordo Diptera dan memiliki beberapa familia didalamnya. Banyaknya familia dalam Ordo Diptera menyebabkan perlu dilakukannya identifikasi sehingga dapat digunakan selanjutnya dalam proses investigasi kasus kriminal (Suwannayod et al., 2013). Beberapa familia dari Ordo Diptera yang sering dimanfaatkan dalam bidang entomologi
forensik,
meliputi
Calliphoridae,
Sarcophagidae,
Muscidae,
Piophilidae, Scatophagidae, Sepsidae, Sphaeroceridae, Stratiomyidae, Phoridae, dan Psychodidae (Byrd dan Castner, 2009). Identifikasi spesies lalat dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan secara mikroskopis spirakel posterior larva lalat maupun pengamatan morfologi lalat dewasa. Mardihusodo (1996) berpendapat bahwa larva lalat yang dapat digunakan untuk menetapkan waktu kematian secara akurat adalah Chrysomya megacephala dan Chrysomya bezziana. Kedua larva tersebut memiliki sifat kemotaktik yang cepat bereaksi terhadap bau darah dan luka terbuka sehingga merangsang lalat betina untuk segera meletakkan telurnya pada bagian tubuh yang terdapat luka terbuka dan banyak mengalami pendarahan. Telur C. megacephala menetas menjadi larva instar satu memerlukan waktu selama 8-15 jam selanjutnya memerlukan waktu selama 1-2 hari untuk berkembang menjadi larva instar dua dan berkembang menjadi larva instar tiga memerlukan waktu selama 1-2 hari sehingga bila ditemukan beberapa ekor larva instar dua dan tiga pada jenazah dengan luka terbuka, maka dapat dipastikan perkiraan kematian jenazah tersebut sekitar tiga hari yang lalu.
3
Spesies
lalat
yang
digunakan
dalam
kasus
forensik
memiliki
keanekaragaman tergantung pada zona geografisnya. Spesies lalat yang ditemukan di Indonesia tentunya sangat berbeda dengan negara lainnya. Faizal et al. (2011) mengungkapkan bahwa spesies lalat yang biasa dijumpai dalam kasus forensik di daerah Malang, antara lain Musca domestica, Chrysomya sp., Lucillia sp., dan Sarcophaga sp. Keempat spesies tersebut juga diketahui sebagai penyebab terjadinya myasis. Mardihusodo (1987) melaporkan hasil penelitian bahwa spesies lalat yang sering ditemukan di wilayah Kotamadya Yogyakarta, antara lain Chrysomya megacephala, Chrysomya bezziana, dan Sarcophaga sp. Spesies tersebut ditemukan pada tubuh jenazah maupun timbunan sampah bersama-sama dengan spesies lain, seperti Musca domestica, Fannia scalaris, dan Ophira nigra. Pertumbuhan dan perkembangan spesies lalat sangat bergantung pada perubahan faktor lingkungan. Guna memudahkan melakukan investigasi, para ahli entomologi forensik memerlukan informasi penunjang berupa data faktor lingkungan, seperti temperatur, perubahan fase bulan, perubahan iklim dan cuaca, azimuth, elevasi, perbedaan intensitas cahaya pada waktu pagi dan sore hari, kecepatan angin, kelembaban udara, curah hujan, insolasi, karakteristik permukaan, vegatasi wilayah, dan proksimitas terhadap air (Scala dan Wallace, 2010; Vitta et al., 2007; Vélez dan Wolff, 2008). Selain
dipengaruhi
adanya
faktor
lingkungan,
pertumbuhan
dan
perkembangan lalat juga dipengaruhi oleh kandungan obat atau senyawa tertentu yang terdapat dalam tubuh jenazah. Pengaruh obat atau suatu senyawa pada pertumbuhan dan perkembangan larva lalat dikenal dengan entomotoksikologi
4
forensik. Verma dan Paul (2013) menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan dari obat atau senyawa terhadap lalat berupa percepatan atau perlambatan siklus hidup. Beberapa jenis obat yang sering diujikan dalam entomotoksikologi forensik meliputi kokain, heroin, morfin, metamfetamin, metilen dioksimetamfetamin, triazolam,
oxazepam,
chloripriamin,
barbiturat,
malathion,
parasetamol,
nortriptylin, dan amitryptilin. Morfin digunakan selama penelitian guna dievaluasi pengaruhnya terhadap ketertarikan spesies dan perkembangan larva lalat dari tubuh bangkai tikus. Morfin dimasukkan ke dalam tubuh bangkai tikus melalui per oral. Variasi dosis morfin yang digunakan dalam penelitian ini berupa 69,15 mg (LD50), dan 138,3 mg (2 LD50). Bangkai tikus yang tidak mendapat pemberian morfin juga disediakan guna membandingkan pertumbuhan dan perkembangan larva lalat antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Carvalho (2010) menyatakan bahwa salah satu alternatif untuk mendeteksi dan pengukuran secara kuantitas efek suatu obat terhadap perkembangan arthropoda yaitu melalui penggunaan hewan percobaan yang diberi obat baik secara oral maupun injeksi. Hewan percobaan selanjutnya dibunuh dalam kurun waktu 30 menit setelah pemberian obat tanpa adanya perlukaan eksternal agar tidak terjadi paparan darah atau cairan lainnya yang dapat mempengaruhi hasil. Morfin tergolong dalam derivat opium alkaloid penanthrene yang diisolasi dari tanaman Opium Poppy (Papaver somniferum), bersifat sintetis, dan berpotensi besar dalam penyalahgunaan obat. Beberapa jenis morfin seperti morfin karbonat, morfin sulfat, morfin hidroklorit, maupun morfin terlarut lainnya
5
sering digunakan sebagai analgesik pasca operasi. Morfin memiliki nama lain, seperti dreamer, emsel, first line, god’s drug, hows, M.S., mister blue, morf, morpho,
dan
unkie (U.S. Department of Justice, 1992; Drug Enforcement
Administration, 2014). Morfin bersifat mudah larut dalam air dan mudah berikatan dengan reseptor µ opioid, seperti bagian posterior amigdala, hypothalamus, thalamus, nucleus caudatus, putamen, dan daerah korteks otak manusia. Kecanduan morfin dapat terjadi ketika komponen aktif morfin berikatan dengan reseptor µ opioid kemudian memacu respon cascade seperti rasa kepuasan atau kenikmatan sehingga otak melepaskan hormon dopamin. Individu yang mengkonsumsi morfin akan terdorong untuk melakukan kebiasaan negatif yang tidak terkontrol sebagai akibat dari rasa ketergantungan (Meridianmeds, 2014; United Nations Office on Drug and Crime, 2014). United Nations Office on Drug and Crime (2014) menyatakan bahwa banyaknya pengguna narkotika golongan opium pada tahun 2012 secara global diperkirakan mencapai 16,37 juta jiwa dengan perkiraan prevalensinya sebesar 0,35%. Perkiraan laju kematian akibat penyalahgunaan opium secara global dengan rentang usia 15-64 tahun sebesar 40 per juta jiwa sedangkan di Asia diperkirakan mencapai 27,7 per juta jiwa. Prevalensi penyalahgunaan narkotika golongan opium pada tahun 2013 paling tinggi di wilayah Asia Barat Daya sebesar 1,2%, khususnya di negara Afghanistan, Iran, dan Pakistan yang merupakan negara penghasil morfin. Asia Tengah dan Eropa Selatan sebesar 0,8%, Amerika Utara sebesar 0,5%, dan Afrika Tengah sebesar 0,4%.
6
Morfin menjadi salah satu narkotika yang pertama kali dikonsumsi oleh pengguna narkoba usia 20-29 tahun dengan persentase sebesar 48%. Prevalensi penyalahgunaan morfin di Indonesia sebesar 0,4 %. Persentase konsumsi morfin di Indonesia tergolong rendah karena penyalahgunaan narkotika di Indonesia lebih banyak berasal dari golongan Amphetamine Tipe Stimulant (ATS) dan narkotika golongan opioid lainnya (Divisi P4GN, 2014). Morfin yang terkandung dalam tubuh jenazah dapat dideteksi melalui pemeriksaan darah dan urin meskipun konsentrasi morfin yang terdeteksi dalam urin jauh lebih kecil bila dibandingkan dalam darah (Drummer, 2004). Barbara et al. (2012) berhasil membuktikan bahwa morfin yang terkandung dalam tubuh jenazah pengguna narkotika memiliki kadar paling tinggi dibandingkan dengan kodein, 6-monoasetilmorfin (6-MAM), citalopram, dan kafein setelah dilakukan pemeriksaan menggunakan teknik Gas Chromatoghraphy- Mass Spectrometry (GC-MS). Kandungan morfin yang masih dapat terdeteksi pada tubuh jenazah memunculkan dugaan bahwa larva lalat yang melekat atau lalat dewasa yang hinggap pada tubuh jenazah memakan substrat mengandung morfin sehingga mempengaruhi siklus hidupnya. Faizal et al. (2011) telah membuktikan bahwa terjadi peningkatan secara signifikan panjang tubuh, berat tubuh, dan percepatan stadium larva Sarcophaga sp. dari kelompok perlakuan pemberian morfin dosis oral 120 mg pada bangkai tikus bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Faizal et al. (2011) selaras dengan hasil penelitian Tekieh et al. (2011) bahwa larva lalat Drosophila melanogaster
7
yang dihasilkan dari fertilisasi antara individu jantan dan betina yang diberi morfin dosis oral 0,2 , 0,02 , dan 0,002 mg/ml secara signifikan memiliki panjang dan ukuran tubuh lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok kontrol sedangkan pada stadium pupa dan imago tidak menimbulkan pengaruh secara signifikan. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan guna mendeteksi keberadaan senyawa obat dalam tubuh lalat dan pengaruhnya terhadap perkembangan siklus hidup lalat, meliputi UPLC-MS/MS (Gosselin et al., 2011), Liquid chromatography- tandem mass spectrometry (LC-MS-MS) (Wood et al., 2003), HPLC (Gunn et al., 2006), gas chromatography-mass spectrometry (GCMS) (Moore et al., 2013), dan Imunohistokimia (Bourel et al., 2001; Souza et al., 2013). Imunohistokimia dipilih sebagai salah satu metode dari beberapa metode deteksi senyawa obat. Imunohistokimia dapat mengevaluasi keberadaan morfin yang terdapat pada larva lalat. Bucheri (1965), Brandztaeg (1989), Eisenman et al. (1981), dan Hopwod (1985) dalam Souza et al. (2013) berpendapat bahwa perlu dilakukan studi histologi yang mengkaji keterkaitan antara perbedaan substansi dengan karakter morfologi dan integumen Diptera nekrofagus karena literatur yang membahas kajian tersebut masih jarang dan belum terdapat data spesifik. Ishiyama et al. (1987) berpendapat bahwa imunohistokimia dapat dijadikan metode alternatif yang spesifik mendeteksi akumulasi obat pada serangga. Informasi yang dapat diberikan berupa distribusi topografi akumulasi obat pada jaringan larva sehingga menghasilkan data farmakodinamik dan farmako kinetik.
8
Pernyataan yang dikemukakan oleh Ishiyama et al. (1987) selaras dengan hasil penelitian Bourel et al. (2001) bahwa terjadi perubahan warna kecoklatan secara spesifik pada daerah hemolimfa dan kutikula pada kelompok positif sedangkan tidak terjadi perubahan warna secara spesifik pada kelompok kontrol dan negatif. Ketertarikan larva lalat yang hinggap pada tubuh bangkai tikus, selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan, geografis, dan senyawa toksik dapat juga dipengaruhi bau yang ditimbulkan dari tubuh bangkai tersebut. Lalat sangat menyukai bau amoniak untuk memicu oviposisi. Bau amoniak yang timbul dari tubuh bangkai tikus serupa dengan feromon dan stimulus taktil (Anderson, 2009). Guna menunjang keberhasilan penelitian, perlu dilakukan pemilihan lokasi. Kebun Biologi UGM dipilih menjadi lokasi selama penelitian berlangsung karena menurut Notohadiprawiro (1981), kebun menjadi niche bagi serangga dan burung sehingga memunculkan adanya keanekaragaman spesies. Kebun merupakan ekosistem buatan dan sumberdaya budaya yang mendukung aktivitas manusia. Kebun sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim sehingga dapat mengendalikan vegetasi wilayah. Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian berjudul “Pengaruh Morfin Terhadap Ketertarikan Spesies dan Perkembangan Larva Lalat Pada Bangkai Tikus di Kebun” penting untuk dilaksanakan guna mengevaluasi pengaruh yang ditimbulkan dari pemberian morfin pada bangkai tikus terhadap perkembangan larva lalat dan mendeteksi keberadaan morfin pada larva lalat melalui teknik imunohistokimia.
9
I.2. Perumusan Masalah Berikut ini beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan berdasarkan uraian diatas. 1. Bagaimanakah ketertarikan spesies lalat antara bangkai tikus kelompok kontrol dengan kelompok pemberian morfin? 2. Bagaimanakah panjang dan berat tubuh larva lalat antara kelompok kontrol dengan kelompok permberian morfin? 3. Apakah morfin terdeteksi pada larva lalat pada kelompok pemberian morfin? Adakah perbedaan akumulasi morfin antara larva lalat kelompok pemberian morfin dosis morfin dosis 138,3 mg (2 LD50) dengan pemberian morfin dosis 69,15 mg (2 LD50)? I.3. Keaslian Penelitian Keaslian penelitian berjudul “Pengaruh Morfin Terhadap Ketertarikan Spesies dan Perkembangan Larva Lalat Pada Bangkai Tikus di Kebun” dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Bourel
et
al.
(2001)
melakukan
penelitian
mengenai
kontribusi
imunohistokimia terhadap metabolisme morfin dalam larva Calliphoridae dan penerapannya di bidang forensik entomotoksikologi. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada penggunaan blok parafin pada instar tiga untuk deteksi keberadaan morfin. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada larva lalat yang dideteksi berasal dari Kebun Biologi UGM bukan pemeliharaan laboratorium. Metode imunohistokimia yang digunakan pada penelitian ini adalah streptavidin biotin peroxidase complex bukan dengan Avidin-Biotin-
10
Complex (ABC complex), antibodi yang digunakan berupa antibodi monoklonal morfin dari tikus bukan antibodi poliklonal morfin dari kelinci. Keberadaan morfin pada penelitian ini dibuat sediaan larval squash terhadap larva instar satu dan dua. 2. Fathy et al. (2008) melakukan penelitian mengenai efek kodein fosfat pada tahap perkembangan Chrysomya albiceps. Persamaan penelitian terletak pada metode pengambilan sampel yang dilakukan sedangkan perbedaan penelitian terletak pada lokasi penelitian tidak dilakukan di laboratorium melainkan di Kebun Biologi UGM dan jenis obat yang digunakan berupa morfin bukan kodein fosfat. 3. Faizal (2011) melakukan penelitian mengenai paparan morfin dosis lethal pada bangkai tikus terhadap pertumbuhan larva Sarcophaga sp. Persamaan penelitian terletak pada jenis rancangan penelitian berupa post test only control group design. Perbedaan penelitian terletak pada perbedaan sampel, perbedaan dosis morfin, dan lokasi penelitian. 4. Souza et al. (2013) melakukan penelitian mengenai standarisasi prosedur histologi untuk mendeteksi substansi toksik melalui imunohistokimia pada larva Diptera. Persamaan penelitian terletak pada metode streptavidin biotin peroxidase complex saat dilakukan imunohistokimia. Perbedaan penelitian terletak pada jenis obat yang diteliti berupa morfin bukan kokain. Deteksi keberadaan morfin dilakukan pada seluruh instar larva lalat yang ditemukan.
11
I.4. Manfaat Penelitian Berikut ini manfaat yang diperoleh dari penelitian berjudul “Pengaruh Morfin Terhadap Ketertarikan Spesies dan Perkembangan Larva Lalat Pada Bangkai Tikus Di Kebun”. I.4.1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Penelitian ini memberikan informasi mengenai spesies lalat yang hinggap pada tubuh bangkai tikus di kebun, mengetahui dampak akibat penggunaan narkotika, menambah khazanah keilmuan, dan diharapkan mampu mendeteksi senyawa obat tertentu dengan berbagai modifikasi metode. I.4.2. Manfaat bagi peneliti Penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan proses identifikasi spesies larva lalat, mampu mendeteksi senyawa morfin pada larva lalat dari bangkai tikus dengan metode imunohistokimia, mampu menganalisa pengaruh morfin terhadap perkembangan larva lalat. I.5. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian berupa tujuan umum dan tujuan khusus yang dapat dijelaskan sebagai berikut. I.5.1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini, antara lain: 1. Mengetahui pengaruh morfin terhadap ketertarikan spesies dan perkembangan larva lalat. 2. Mendeteksi keberadaan morfin pada larva lalat.
12
I.5.2. Tujuan Khusus Beberapa tujuan khusus penelitian ini, antara lain. 1. Mengetahui ketertarikan spesies lalat pada bangkai tikus tanpa pemberian morfin dengan bangkai tikus pemberian morfin. 2. Mengetahui panjang dan berat tubuh larva lalat antara kelompok kontrol dan kelompok pemberian morfin. 3. Mengetahui keberadaan morfin pada larva lalat dari bangkai tikus yang diberi
morfin setelah dilakukan imunohistokimia.