1
BAB I PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang. Cerapan risiko (risk perceived) atas status kesehatan setiap individu sangat menentukan probabilitas keyakinan atas terjadinya suatu penyakit (probabilitas subjektif)1. Hal ini dapat mempengaruhi besarnya nilai willingness to pay (WTP) premi asuransi kesehatan dan keputusan individu dalam pembelian asuransi kesehatan, selain pendapatan. Secara umum, individu atau rumah tangga akan membeli barang atau jasa ketika harga barang atau jasa tersebut kurang dari atau sama dengan WTP mereka, di mana nilai WTP mencerminkan benefit atas suatu barang atau jasa tersebut. Semakin besar benefit yang diterima oleh individu dari konsumsi barang atau jasa akan mendorong individu memiliki preferensi membeli barang atau jasa tersebut. Dalam hal berasuransi, benefit dari asuransi kesehatan dipengaruhi oleh tingkat risiko kesehatan individu, sehingga individu akan memiliki preferensi yang mungkin berubah-ubah (fenomena revealed preference)2 dalam hal pembelian asuransi kesehatan sesuai dengan risiko kesehatan yang diyakininya.
1
Probabilitas subjektif adalah persepsi individu atas peluang terjadinya beberapa peristiwa (Varian, 1992: 191). 2 Fenomena revealed preference seperti ini tidak melanggar teori tentang transitivitas preferensi individu, melainkan hanya melanggar aksioma independensi dari Teori Expected Utility von Neuman-Morgensten. Argumentasi atas fenomena ini dalam konteks teori pilihan dalam kondisi berisiko atau di bawah ketidakpastian disebut dengan Expected Utility with RankDependent Probability (EURDP) (Karni and Safra, 1987).
2
Setiap individu mengetahui bahwa sumber daya kesehatan yang mereka miliki menurun sepanjang waktu sehingga sejalan dengan bertambahnya usia maka probabilitas terjangkitnya sakit semakin meningkat (Grossman, 2000). Individu di setiap generasi menghadapi risiko kesehatan selama periode kehidupan mereka, terlebih ketika memasuki usia empat puluh tahun3. Setiap individu memiliki probabilitas tertentu untuk sakit, sedangkan kejadian terjangkitnya berbagai penyakit tersebut, beragam pelayanan kesehatan yang dikonsumsi serta out-of-pocket monetary loss tidak dapat secara penuh diramalkan. Terhadap risiko tersebut, ada individu yang mengabaikannya tetapi ada pula yang mempersiapkan sebuah manajemen risiko untuk mengendalikan tingkat risiko dari segi finansial, misalnya dengan membeli premi asuransi kesehatan. Individu yang risk-averse memiliki kecenderungan untuk membeli asuransi kesehatan4. Mereka mengasuransikan risiko finansial terkait dengan pembelian perawatan kesehatan: mereka membayar suatu premium ex-ante dan menerima pembayaran kembali (reimbursement) ketika terjangkit penyakit. Status kesehatan sangat menentukan indikator kehidupan yang baik. Pada level pendapatan tertentu, seluruh level utilitas lebih besar ketika seorang individu berada dalam keadaan sehat5 dibandingkan dalam keadaan sakit. Untuk menggambarkan WTP individu atas peningkatan kesehatan, diasumsikan bahwa 3
Secara umum, pria berusia 45 tahun dan wanita berusia 55 tahun mulai mengalami peningkatan risiko kolesterol tinggi. Orang yang berusia 40 tahun ke atas memiliki risiko tinggi menderita diabetes mellitus, terlebih bagi yang mengalami obesitas dan kurang gerak. Tekanan darah mulai meningkat ketika seseorang mulai memasuki usia 45 tahun (www.Infosehat.com). 4 Asuransi kesehatan adalah sebuah jenis produk asuransi yang secara khusus menjamin biaya kesehatan atau perawatan kesehatan para anggota asuransi tersebut jika mereka jatuh sakit. 5 Menurut pengertian dari WHO (World Health Organization), sehat didefinisikan sebagai kondisi fisik, mental dan kehidupan sosial yang sempurna dan bukan hanya semata-mata tidak adanya penyakit atau cacat (Henderson, 2009: 143).
3
utilitas tergantung pada pendapatan dan kesehatan. Diasumsikan ada tritmen yang dapat mengubah status kesehatan dari state penyakit tertentu kepada kesehatan yang sempurna, maka WTP individu atas peningkatan kesehatan adalah jumlah uang maksimum yang bersedia dibayarkan untuk tritmen yang dapat memperbaiki kesehatan dan mempertahankan level utilitas yang sama (Bala, Mauskopf dan Wood, 1999). Dalam beberapa analisis, efek kesehatan sering disamakan secara berkebalikan dengan financial losses. Sementara dalam fungsi utilitas, sakit dapat diperlakukan sebagai goncangan langsung terhadap utilitas ataupun sebagai biaya kesehatan (Viscussi, 1990; Ryan, 2003). Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya perilaku hidup sehat dapat menimbulkan risiko terjadinya penyakit-penyakit akut. Meningkatnya prevalensi kanker, jantung dan stroke tidak terlepas dari pola makan dan pola hidup (life style) yang tidak sehat. Menurut Connelly (2004), perilaku sehat
merupakan serangkaian aktivitas
yang dirancang untuk
mempengaruhi konsumsi barang dan jasa, terutama untuk tujuan peningkatan kesehatan atau pencegahan penyakit. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah seorang individu telah berperilaku sehat adalah dengan melihat tekanan darah, kadar kolesterol dan kadar gula dalam darah6. Seringkali individu telah berperilaku sehat, tetapi disebabkan oleh faktor lain, seperti faktor genetik, usia dan lain-lain, individu mungkin saja terjangkit 6
Tekanan darah yang selalu tinggi merupakan cikal bakal terjadinya stroke, serangan jantung dan penyebab utama gagal jantung kronis. Sedangkan kolesterol yang berlebihan menyebabkan aterosklerosis yang merupakan penyebab terjadinya penyakit jantung dan stroke. Adapun kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan terjangkitnya diabetes mellitus (DM), di mana DM ini dapat menyebabkan kerusakan pada mata, ginjal dan syaraf. Di samping itu, gula darah yang tinggi menyebabkan pankreas tidak mampu memproduksi insulin sesuai kebutuhan dan kondisi ini menjadi pintu masuknya penyakit lain seperti hipertensi dan penyakit jantung.
4
suatu penyakit akut (terjadi output bias). Atau bisa juga sebaliknya, individu berperilaku tidak sehat tetapi individu yang bersangkutan justru memiliki status kesehatan yang baik. Kenyataan seperti ini akan mempengaruhi preferensi risiko yang selanjutnya mempengaruhi besarnya nilai WTP premi asuransi dan keputusan individu dalam berasuransi kesehatan. Dapat dikatakan bahwa dalam membangun keyakinan subjektif atas probabilitas terjangkitnya penyakit, individu melakukan pembelajaran dari lingkungannya atau dapat juga dikatakan bahwa individu membangun sebuah anchor dalam pembentukan keyakinan subjektifnya, walaupun seringkali orang yang berbeda perilakunya memiliki keyakinan probabilitas yang sama atas risiko terjangkitnya sakit (Olsen, Donalson dan Pereira, 2004), sehingga seringkali probabilitas yang bersifat subjektif tidak dapat dikalibrasikan serta secara internal tidak konsisten dan bias (Kahneman et.al, 1982; Gilovich et.al, 2002; Fox dan Clemen, 2005). Dalam model EU, fungsi utilitas telah menangkap dan mengkalibrasikan sikap terhadap risiko tetapi dengan menghilangkan preferensi subjek terhadap pilihan (lihat Currim dan Sarin, 1989). Karakteristik studi tentang WTP asuransi kesehatan sering memunculkan pertanyaan pada interpretasi WTP7 yang diestimasi. Nilai WTP ini lebih berdasarkan pada probabilitas subjektif dibanding pada probabilitas objektif.
7
Masalah ini juga muncul pada estimasi WTP dengan pendekatan harga hedonic yang dilakukan terhadap aset dengan mempertimbangkan ketidakpastian terjadinya bencana, di mana sumber risiko berasal dari alam/lingkungan. Menurut pendekatan tradisional, dapat dikatakan bahwa harga hedonic sebagai nilai konsumen yang menempatkan sebuah pengurangan atas risiko kerusakan. Ketika nilai estimasi atas tindakan proteksi diri (self protection), r, positif maka mempunyai implikasi bahwa konsumen memiliki nilai positif untuk barang dalam kondisi aman. Alternatifnya, r = 0 berimplikasi zero value untuk keamanan, yakni zero level atas proteksi diri yang menyamakan benefit marginal ekspektasi dan biaya marginal ekspektasi.
5
Ketidakmampuan individu untuk menstransformasi probabilitas objektif secara benar memungkinkan terjadinya bias pada nilai WTP asuransi kesehatan. Jeleknya transformasi ini disebabkan ketidakmampuan individu untuk menginterpretasikan probabilitas objektif secara akurat (bias transformasi), sebagai contoh, resensi kejadian terakhir atau level dampak atas suatu kejadian, dan informasi yang tidak mencukupi seperti buruknya kualitas atau rendahnya kuantitas informasi yang tersedia, baik informasi tentang probabilitas sakit maupun asuransi kesehatan (lihat Maani dan Kask, 1992). Arrow (1963) mencatat bahwa terdapat ketidakpastian dalam kejadian penyakit dan ketepatan tritmen sehingga sebagian besar permintaan individu atas perawatan kesehatan bersifat tidak teratur dan tidak dapat diprediksi. Implikasinya, biaya perawatan kesehatan bertindak sebagai sebuah goncangan random terhadap pendapatan individu. Sehingga, di bawah ketidakpastian, individu yang risk averse meminta suatu penanggungan risiko, seperti asuransi kesehatan, untuk mengamankan kekayaan terhadap kemungkinan terjadinya goncangan. Dengan asuransi kesehatan individu dapat mengubah pengeluaran untuk perawatan kesehatan yang tidak dapat diprediksi menjadi pembayaran premi yang dapat direncanakan (Machnes, 2006). Tetapi meskipun telah memiliki asuransi kesehatan bukan berarti individu berharap dirinya sakit, sebab utilitas atas sehat tidak sebanding dengan utilitas dari reimbursement atas perawatan kesehatan meskipun tidak dapat disangkal bahwa reimbursement mempengaruhi utilitas pasca sakit yang membutuhkan biaya perawatan kesehatan yang tinggi.
6
Penelitian empiris mengenai kepemilikan asuransi telah banyak dilakukan. Sebagian besar penelitian menemukan bahwa permintaan asuransi dipengaruhi oleh karakteristik demografi, di antaranya tingkat pendapatan dan pendidikan serta status kesehatan responden (Machnes, Y, 2006; Kerssens, dan Groenewegen, 2005; Saver dan Doescher, 2000; Friedman, 1974). Bagi perusahaan asuransi, pengetahuan atas elastisitas pendapatan dan nilai statistik sakit sangat berguna dalam valuasi efek jangka panjang akibat adanya pertumbuhan pendapatan sepanjang waktu yang akan meningkatkan nilai pengurangan risiko atas sakit (Viscussi, 1990). Jadi pendapatan individu sangat menentukan nilai WTP premi asuransi kesehatan, di samping juga dipengaruhi oleh perbedaan probabilitas subjektif, riwayat kesehatan dan variabel tidak terukur lainnya. Seperti halnya pada pendekatan harga hedonic (Kask dan Maani, 1992), pada studi tentang WTP premi asuransi kesehatan juga dapat menggunakan pendekatan Erlich and Becker (1972), yakni probabilitas subjektif individu, p, merupakan fungsi dari probabilitas objektif, pE dan pengeluaran individu atas tindakan proteksi diri, r, dimana ppe = ߲P/߲PE > 0 dan Pr =
డ డ
< 0. Probabilitas
subjektif diduga sangat sensitif terhadap level informasi (Lichtenstein et.al 1973; Fischoff 1975; dan Tversky and Kahneman 1973), sedangkan pengeluaran untuk proteksi diri individu atas kesehatan dapat berupa biaya untuk menjalani pola hidup sehat. Viscussi dan Magat (1978) memberikan petunjuk mengenai tanda hubungan antara probabilitas subjektif dan perubahan informasi. Hasil penelitiannya menemukan bahwa efek dari isi informasi yang cenderung memperkuat upaya
7
kehati-hatian tergantung pada risiko objektif yang berimplikasi relatif pada risiko subjektif inisial individu. Sebagai contoh, peningkatan informasi cenderung akan meningkatkan probabilitas subjektif, ketika risiko objektif individu di atas ratarata. Sebaliknya peningkatan informasi cenderung menurunkan probabilitas subjektif ketika probabilitas objektif konsumen di bawah rata-rata. Teori Prospek (Kahneman dan Tversky, 1979) menduga bahwa sejumlah bias subjektif dalam pertimbangan manusiawi terjadi karena adanya sebuah kecenderungan (seperti framing effect). Teori ini menyediakan prediksi yang memfokuskan pada pengaruh situasional dalam pembuatan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa individu memilih masing-masing alternatif berdasarkan penilaian subjektif mereka atas risiko dan apakah konsekuensi pilihannya direrangka sebagai keuntungan atau kerugian terhadap titik referensi (reference point) subjektifnya. Pilihan atas opsi yang direrangka sebagai keuntungan yang pasti atau kerugian probabilistik lebih disukai dibanding alternatif yang direrangka sebagai keuntungan probabilistik atau kerugian yang pasti (Kellaris, Boyle dan Dahlstrom, 1994). Sikap ini muncul karena pembuatan keputusan individu lebih didasarkan pada fungsi nilai dibandingkan fungsi utilitas. Pada kasus asuransi kesehatan, opsi yang ditawarkan direrangka sebagai keuntungan yang pasti yakni penghindaran atas kerugian berupa goncangan terhadap kekayaan yang mungkin terjadi ketika sakit. Tetapi apakah konsekuensi pembelian asuransi merupakan sebuah keuntungan atau kerugian ditentukan dengan membandingkan nilai WTP individu, sebagai titik referensi, yang dibentuk berdasarkan probabilitas subjektif dengan premi yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi.
8
Metodologi hampir semua penelitian tentang WTP di atas menggunakan kuesioner survey tanpa adanya payoff yang mengikat, sehingga kemungkinan terjadi bias dalam menjawab kuesioner disebabkan responden kurang mencerap risiko yang akan diterima ketika terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan, padahal dalam kehidupan nyata selalu ada dampak dari setiap keputusan yang diambil. Sangat dimungkinkan responden hanya ‘main-main’ dalam menjawab kuesioner. Untuk mengatasi hal tersebut, eksperimen lab8 merupakan salah satu solusinya. Selain itu, untuk variabel status kesehatan dalam semua penelitian di atas diukur dengan frekuensi kunjungan ke dokter atau rumah sakit selama periode waktu terakhir yang ditentukan, misalnya tiga bulan. Artinya terdapat dugaan bahwa ketika telah terjadi risiko, seorang individu atau rumah tangga cenderung akan membeli asuransi kesehatan. Kenyataannya, ketika telah terjadi sakit bisa jadi asuransi kesehatan menjadi sudah sangat terlambat akibat telah terjadinya kerugian (losses) yang mungkin dapat menghabiskan kekayaan sampai nol. Akan lebih tepat ketika status kesehatan didasarkan pada informasi yang lebih akurat seperti tekanan darah, kadar kolesterol dan kadar gula dalam darah sebelum terjadi risiko terjangkit suatu penyakit, sehingga pengambilan keputusan yang tepat dalam berasuransi dapat mencegah terjadinya goncangan terhadap kekayaan. Tekanan darah, kadar kolesterol dan kadar gula dalam darah merupakan salah satu informasi yang relevan untuk mengetahui probabilitas terjadinya sakit secara objektif. Meskipun demikian, kenyataannya hanya sedikit individu yang 8
Metode eksperimen lab pada penelitian ini tidak mampu mengontrol pengendapan informasi awal terkait dengan pengetahuan dan status kesehatan yang membentuk prior belief individu. Diskusi selanjutnya tentang kelemahan dari metodologi eksperimen lab, khususnya untuk penelitian tentang willingness to pay disajikan pada Bab 3.
9
mencari informasi tentang probabilitas terjadinya suatu peristiwa dalam pengambilan keputusannya (Magat, Viscussi dan Huber, 1987; Camerer dan Kunreuther, 1989). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh besarnya biaya untuk mendapatkan informasi atau perasaan cemas yang dirasakan individu ketika mereka harus melakukan belief updating setelah mengetahui bahwa dirinya memiliki probabilitas tinggi untuk sakit. Semakin tinggi probabilitas terjangkit penyakit tentunya akan meningkatkan keinginan individu untuk membeli asuransi kesehatan. Tetapi disebabkan sebagian individu dalam membangun keyakinan subjektif atas probabilitas terjangkitnya penyakit hanya didasarkan pada pertimbangan intuisi,
sehingga seringkali individu mengalami cognitive
dissonance9. Penelitian yang dilakukan oleh Viscussi dan Evans (1993) tentang pemberian kompensasi risiko memasukkan probabilitas terjadinya risiko, tetapi faktor tersebut bersifat eksogen dalam penelitiannya. Padahal pengaruh faktor risiko terhadap nilai WTP sesungguhnya lebih bersifat subjektif, bahkan ketika didasarkan pada kondisi objektif sekalipun. Selain hasil pemeriksaan kesehatan yang merupakan fakta objektif status kesehatan dan besarnya probabilitas terjadinya sakit, informasi tentang ambang batas sehat (threshold) indikator kesehatan juga merupakan faktor penentu dalam pembentukan keyakinan subjektif individu atas status kesehatannya. Bisa jadi seorang individu yang telah menerima informasi objektif atas status kesehatannya, tetapi dikarenakan individu yang bersangkutan tidak mengetahui ambang batas
9
Cognitive dissonance adalah ketidaksesuaian individu atas sikap dan perilaku mereka (Drycott dan Dubb, 1994).
10
sehat untuk indikator-indikator tersebut sehingga terjadi output bias dalam pembentukan keyakinan subjektif atas status kesehatannya. Pengaruh kenaikan pendapatan terhadap WTP premi asuransi bersifat ambigu. Di satu sisi, adanya kenaikan pendapatan memungkinkan individu untuk melakukan self-ensure melalui kekayaan buffer stock mereka terhadap risiko kesehatan yang dapat diobservasi (observable), artinya pendapatan akan menurunkan nilai WTP individu dan peluang pembelian premi asuransi kesehatan. Di sisi lain, adanya kenaikan pendapatan juga akan meningkatkan kemampuan seseorang untuk membayar premi asuransi sehingga nilai WTP dan peluang kepemilikan asuransi kesehatan meningkat sejalan dengan kenaikan pendapatan. Hal ini bertentangan dengan pendapat Gollier (2003) bahwa asuransi hanya diminta oleh individu atau rumah tangga yang mengalami kendala likuiditas. Kenaikan pendapatan bahkan dapat menurunkan peluang seorang individu untuk terjangkit suatu penyakit, diakibatkan pre-treatment kesehatan, serta dapat meningkatkan kesehatan mental dan menurunkan probabilitas kematian (Lindahl, 2005). Jadi dapat dikatakan bahwa kenaikan pendapatan akan menurunkan WTP individu atas premi asuransi kesehatan. Secara umum, efek kenaikan pendapatan pada status kesehatan awalnya adalah positif sampai ambang level pendapatan tertentu yang mempengaruhi pola hidup individu, selanjutnya berbalik menjadi negatif dan memberikan peningkatan pada fungsi berbentuk U terbalik (Nixon, 2006; Barsky, 1997). Penelitian yang dilakukan Sambodo (2010) menemukan bahwa adanya kenaikan pendapatan yang berasal dari program anti kemiskinan di Indonesia, yakni BLT dan Askeskin,
11
justru meningkatkan pengeluaran untuk rokok, di samping pengeluaran untuk protein. Menurut data IFLS 4 (tahun 2007), rerata responden menghisap rokok 11, 15 batang/hari10. Artinya, peningkatan pendapatan ini memiliki dampak yang berlawanan terhadap pola hidup yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan. Peningkatan
konsumsi
protein
memberikan
dampak
positif,
sedangkan
peningkatan konsumsi rokok memberikan dampak negatif terhadap kesehatan. Di sisi lain, pendapatan secara kausal menentukan permintaan peningkatan pelayanan yang baik, dalam rangka meningkatkan status kesehatannya. Penelitian Awad et.al (2004) menunjukkan bahwa peningkatan pelayanan kesehatan akan mempengaruhi nilai WTP individu atas pelayanan kesehatan. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Olsen, et.al (2004) serta Pavlova, Groot dan Merode (2004). Jika nilai WTP ini dibandingkan dengan premi dan coverage asuransi maka hasilnya akan berperan dalam keputusan individu dalam pembelian asuransi. Di Indonesia, pengalaman dalam hal asuransi kesehatan telah dimulai pada tahun 1968 dengan dikeluarkannya Keppres No. 230/1968 yang kemudian menjadi landasan penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan penerima pensiun. Pada tahun 2009, 116, 8 juta dari sekitar 230 juta penduduk Indonesia memiliki asuransi kesehatan baik yang disediakan oleh PT Askes Indonesia, PT Jamsostek, PT Asabri maupun lewat program Jamkesmas atau asuransi lain (PT. Askes, 2010). Tetapi untuk beberapa jenis asuransi kesehatan di atas, individu membelinya lebih disebabkan oleh profesinya bukan disebabkan karena nilai WTP mereka yang lebih besar dari atau sama dengan nilai 10
Data diperoleh berdasarkan Buku IIIB seksi KM pertanyaan KM08. Survey tersebut dilakukan terhadap 9986 responden yang telah berusia 15 tahun ke atas.
12
premi yang ditawarkan PT. Askes. Individu yang bekerja sebagai PNS secara otomatis akan membeli premi asuransi kesehatan PT Askes Indonesia, bahkan mereka tidak mengetahui besarnya premi asuransi yang dibayarkan, mereka tidak memiliki pilihan selain perusahaan asuransi tersebut dan kebebasan untuk tidak membeli asuransi kesehatan. Disebabkan tidak dimilikinya pilihan, maka beberapapun besarnya premi yang harus dibayarkan oleh para PNS kepada PT Askes, misalnya, tidak akan dipengaruhi oleh pendapatan, tingkat pendidikan, keyakinan subjektif atas probabilitas sakit, riwayat kesehatan dan lain-lain. Berdasarkan data IFLS tahun 2007, rata-rata responden memiliki kadar kolesterol rendah, yaitu 186 mg11, dan hanya 0, 08 persen responden yang menderita penyakit akibat tingginya kadar kolesterol dalam darah. Untuk rerata tekanan darah adalah 129/8012, tetapi hanya 0, 77 persen responden yang menderita penyakit akibat hipertensi. Sedangkan untuk gula darah hanya 0, 26 persen responden yang menderita diabetes mellitus13. Berdasarkan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa peluang masyarakat untuk terjangkit penyakit yang diakibatkan tingginya indikator kesehatan seperti tekanan darah dan kadar kolesterol cukup tinggi. Hal ini merupakan peluang bagi pasar asuransi kesehatan privat, didukung dengan peningkatan pendapatan
11
Data diperoleh berdasarkan Buku US seksi US2 pertanyaan no. 10a, dimana survey dilakukan terhadap 11134 responden yang telah menikah. Adapun ambang batas sehat untuk kadar kolesterol dalam darah adalah 160-200 mg. 12 Data diperoleh berdasarkan Buku US seksi US1 pertanyaan US07a, b. Responden yang disurvey sebanyak 29283, berusia di atas 15 tahun. Adapun ambang sehat tekanan darah adalah kurang dari 120/80 mmHg. 13 Responden yang disurvey untuk penyakit akibat kolesterol, hipertensi dan gula darah sebanyak 44325 responden yang berusia 18 tahun ke atas. Data diperoleh berdasarkan Buku US seksi US1 pertanyaan no.18a. Tidak semua responden bersedia diperiksa dan diambil darahnya sehingga sering terjadi ketidaksesuaian antara hasil periksaan medis dan jumlah penderita.
13
perkapita Indonesia14, yang dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan masyarakat untuk membayar premi asuransi kesehatan.
I.2. Permasalahan. Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa hal yang mendasari perumusan masalah penelitian. Pertama, sebagian penelitian terdahulu menemukan bahwa kebanyakan pemilik asuransi kesehatan bersedia membayar premi didasarkan pada anggaran pendapatan yang dimilikinya dan keyakinan subjektif yang dibangun berdasarkan kejadian sakit yang telah terjadi yang biasanya diproksi dengan frekuensi kunjungan ke dokter atau rumah sakit selama periode waktu tertentu, misal tiga bulan (misal penelitian yang dilakukan oleh Pavlova, Groot dan Merode, 2004 serta Binam et.al, 2003). Penelitianpenelitian tersebut belum mempertimbangkan keyakinan subjektif individu yang dibangun berdasarkan data objektif status kesehatan individu berdasarkan pemeriksaan kesehatan yang meliputi tekanan darah, kadar kolesterol, dan kadar gula darah, dimana informasi objektif status kesehatan ini akan lebih akurat mempengaruhi cerapan risiko atas apa yang lebih mungkin terjadi pada kejadian terjangkitnya penyakit yang selanjutnya akan mempengaruhi besarnya nilai WTP dan keputusan individu dalam pembelian premi asuransi kesehatan. Ketidaktahuan atas kondisi objektif status kesehatan yang mungkin menyebabkan seorang individu atau rumah tangga memiliki nilai WTP yang sangat rendah dan memutuskan tidak membeli asuransi kesehatan. Kedua, sering terjadinya cognitive 14
Tahun 2008, pendapatan perkapita atas dasar harga berlaku sebesar Rp 21,7 juta. Sedangkan tahun 2009 dan 2010 masing-masing sebesar Rp 23,9 juta dan Rp 27 juta (BPS, 2011).
14
dissonance pada individu: mereka mengetahui bahwa perilakunya tidak sehat, tetapi cerapan risiko mereka atas status kesehatan rendah diakibatkan ketidaktahuan atas informasi status kesehatan terkini, sehingga individu memiliki keyakinan subjektif bahwa mereka sehat dan mungkin merasa tidak membutuhkan sebuah managemen risiko terkait dengan status kesehatannya. Ketiga, kebanyakan individu enggan melakukan pemeriksaan kesehatan untuk mengetahui tekanan darah, kadar kolesterol dan kadar gula dalam darah, padahal ketiga indikator tersebut merupakan salah satu sumber informasi yang relevan dalam menentukan probabilitas sakit setiap individu, sehingga sering terjadi ketidaksesuaian antara fakta objektif dan keyakinan subjektif atas status kesehatan individu. Berdasarkan data dari PT. Askes Indonesia, diketahui bahwa 50 persen penduduk Indonesia memiliki asuransi kesehatan. Tetapi sebagian besar asuransi tersebut dimiliki dikarenakan profesinya sebagai PNS (Askes) dan TNI/Polri (Asabri) atau disebabkan kondisi ekonominya (Askeskin/Jamkesmas), bukan ditentukan oleh kesesuaian antara besarnya premi yang harus dibayarkan dan nilai WTP mereka. Permasalahannya adalah ketika seorang individu dihadapkan pada keputusan pilihan membeli asuransi kesehatan atau tidak, mereka seringkali hanya memutuskan berdasarkan kendala anggaran, tanpa mempertimbangkan perilaku dan status kesehatannya berdasarkan informasi yang akurat. Fakta ini mendorong dilakukannya penelitian empiris mengenai pengaruh keyakinan subjektif seorang individu atas status kesehatan baik yang sebelum maupun setelah adanya informasi tentang status keshatannya terkini berdasarkan kondisi tekanan darah, kadar kolesterol dan kadar gula dalam darah.
15
I.3. Tujuan Penelitian15 Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Mengetahui apakah terjadi perbedaan yang signifikan atas WTP berdasarkan prior belief dan posterior belief, setelah pemberian informasi tentang status kesehatan terkini berdasarkan pemeriksaan tekanan darah, kadar kolesterol dan kadar gula dalam darah. b. Mengestimasi pengaruh pemberian informasi objektif atas status kesehatan terhadap keyakinan subjektif individu atas status kesehatannya dan selanjutnya pengaruhnya terhadap WTP atas premi asuransi kesehatan. Atau dengan kata lain untuk mengetahui apakah individu melakukan belief updating atas status kesehatannya setelah menerima informasi terkini mengenai status kesehatann. c. Mengetahui apakah individu dalam membangun keyakinan subjektif atas status kesehatannya sesuai dengan kondisi objektifnya, atau dengan kata lain individu tidak mengalami cognitive dissonance dalam pembentukan keyakinan subjektif atas status kesehatannya. Untuk menghindari misspesifikasi pembentukan model estimasi untuk WTP, maka beberapa variabel lain yang sesuai dengan teori dan penelitian sebelumnya digunakan dalam model estimasi. Variabel tersebut adalah variabel pendapatan, pendidikan, usia, pola hidup, jenis pekerjaan dan jenis kelamin.
15
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk melihat respon perilaku subjek terhadap tritmen yang mereka terima.
16
I.4. Keaslian Penelitian. Penelitian-penelitian yang terkait dengan pembelian asuransi kesehatan, perawatan kesehatan, status kesehatan dan WTP atas munculan kesehatan disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 1.1 Ringkasan Penelitian Sebelumnya No. 1.
2.
Peneliti
Metodologi Penelitian Temuan Penelitian tentang Pembelian Asuransi Machnes, Y. Survey Nasional 1. Karakteristik demografi (2006) Konsumsi Rumah berpengaruh signifikan Tangga tahun 1997 dan terhadap kepemilikan asuransi 1998 di Isreal. kesehatan. 2. Individu yang berstatus selfemployed bersedia membayar premi asuransi lebih tinggi dibandingkan wage-earner. Hal ini menunjukkan bahwa selfemployed memiliki peluang lebih tinggi untuk berasuransi. Artinya bahwa terdapat perbedaan preferensi risiko antara pekerjaan dan status kesehatan. Ballinger, T. Eksperimen Lab Dalam hal precautionary saving, Parker, Michael G. terdapat proses social learning Palumbo and dimana individu belajar dari Nathanial T. perilaku generasi sebelumnya. Wilcox Individu generasi ketiga memiliki (2003) perilaku menabung yang paling baik, mereka belajar dari perilaku generasi pertama. Keputusan seorang individu untuk membeli asuransi mungkin juga akan dipengaruhi perilaku berasuransi dari generasi sebelumnya.
17
No. Peneliti 3. Kerssens, Jan J. dan Peter P. Groenewegen (2005)
Metodologi Penelitian Kuesioner
4.
Kuesioner
Lindahl, Mikael (2005)
Temuan 1. Asuransi kesehatan dengan premi murah lebih disukai. 2. Asuransi kesehatan dengan pilihan yang bebas atas rumah sakit dan dokter lebih disukai. 3. Orang yang kurang berpendidikan membedakan asuransi kesehatan berdasarkan besarnya premi, bukan pada benefit yang disediakan. Artinya bahwa pendidikan mempengaruhi pendapatan individu yang selanjutnya akan berpengaruh positif terhadap WTP premi asuransi. 4. Keluarga dengan banyak anak menyukai asuransi kesehatan yang memberikan benefit lebih banyak. 1. Pendapatan berpengaruh negatif signifikan terhadap lemah mental, penyakit kardiovascular dan sakit kepala. Pendapatan justru meningkatkan kesehatan mental, mengurangi obesitas dan menurunkan probabilitas kematian. Sehingga semakin tinggi pendapatan justru menurunkan WTP individu atas premi asuransi. 2. Pendapatan tidak dapat mengurangi risiko bad health untuk orang yang berusia di atas 60 tahun.
18
No. Peneliti Metodologi Penelitian 5. Saver, Barry G. dan Kuesioner Mark P. Doescher (2000)
1.
2.
3.
6.
Cafferata, Gail Lee Survey Pengeluaran (1984) Perawatan Kesehatan Maryland tahun 19771983.
1.
2.
Temuan Individu dengan pendapatan rendah kurang menyukai membeli asuransi kesehatan dibanding individu dengan pendapatan tinggi. Pendapatan berpengaruh terhadap WTP premi asuransi. Kelompok minoritas kurang menyukai membeli asuransi kesehatan. Individu dengan pendidikan tinggi lebih menyukai untuk membeli asuransi dibanding individu dengan pendidikan rendah. Tingkat pendidikan mempengaruhi WTP asuransi kesehatan. Penduduk yang berusia di atas 65 tahun lebih mengetahui coverage asuransi dibanding penduduk yang berusia kurang dari 65 tahun. Hal ini disebabkan mereka memiliki pengalaman masalah kesehatan. Jadi, pengalaman dalam hal masalah yang terkait status kesehatan mempengaruhi WTP premi asuransi kesehatan. Dari seluruh penduduk yang berusia 65 tahun, penduduk kulit berwarna dengan pendidikan rendah serta tidak memiliki asuransi kesehatan, meskipun menghadapi penyakit serius, yang paling sedikit memiliki pengetahuan tentang coverage asuransi kesehatan. Latar belakang rasial dan pendidikan mempengaruhi WTP seseorang atas premi asuransi kesehatan.
19
No 7.
8.
9.
Peneliti Barsky, Robert B, F. Thomas Juster, Miles S. Kimball dan Matthew D. Saphiro (1997)
Metodologi Kuesioner
Temuan 1. Hubungan lama pendidikan dan risk tolerance (merokok, mengkonsumsi alcohol, tidak memiliki asuransi dan memegang aset berisiko) berbentuk U, sedangkan hubungan tingkat pendapatan dan kekayaan terhadap risk tolerance berbentuk U terbalik, sementara individu yang berprofesi wirausaha memiliki risk tolerance lebih tinggi dibanding non-wirausaha. Semakin tinggi risk tolerance, semakin rendah WTP atas premi asuransi. 2. Tidak terdapat hubungan antara elastisitas substitusi intertemporal dangan relative risk tolerance. Friedman, Bernard Kuesioner Preferensi individu atas asuransi (1974) kesehatan dipengaruhi oleh preferensi risiko mereka. 1. Untuk pilihan coverage keluarga, para partisipan dengan jumlah keluarga banyak memiliki tingkat risk aversion yang lebih rendah, sehingga partisipan ini kurang menyukai membeli asuransi kesehatan. 2. Pekerja dengan gaji lebih tinggi memiliki tingkat risk aversion yang lebih rendah dibanding pekerja dengan gaji rendah, sehingga pekerja dengan gaji tinggi memiliki WTP yang rendah atas premi asuransi. Hal ini mungkin disebabkan tingginya ability to pay pekerja dengan gaji yang tinggi. Penelitian tentang WTP atas Pelayanan Kesehatan Pavlova, Milena, Data Survey Rumah Karakteristik demografi Wim Groot dan Tangga Bulgaria tahun signifikan mempengaruhi WTP rumah tangga atas jasa perawatan Grodevridus van 2000, Regresi Tobit. kesehatan/tahun, kunjungan pada Merode dokter spesialis dan pemeriksaan (2004) gigi. Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi WTP mereka atas premi asuransi kesehatan.
20
No 10.
11.
12.
13.
Peneliti Olsen, Jan Abel, Cam Donalson dan João Pereira (2004)
Metodologi CVM: kuesioner
Temuan WTP atas operasi kanker hati dan helikopter ambulan dari orang yang mengikuti dan tidak mengikuti program pengurangan risiko kanker hati tidak berbeda secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa probabilitas subjektif atas risiko suatu penyakit tidak mempengaruhi WTP individu atas perawatan kesehatan dan mungkin juga premi asuransi kesehatan. Awad, Mataria, CVM: kuesioner Semakin pendek waiting time, Cam Donalson, semakin baik perilaku staf rumah Stephane Lucini sakit, dan semakin besar peluang dan Jean-Paul untuk bertemu dokter yang sama Moatti akan meningkatkan WTP atas (2004) pelayanan kesehatan. Selanjutnya semakin baik kualitas pelayanan kesehatan akan meningkatkan WTP premi asuransi kesehatan. Penelitian tentang WTP asuransi/prepayment perawatan kesehatan Binam, Joachim CVM: kuesioner, Model Level pendapatan, gender, Nyemeck, Arsҿne Ordered Probit. kunjungan ke pusat perawatan Nkama dan Robert kesehatan, pengalaman Kendah berorganisasi, status kesehatan (2003) rumah tangga, serta atribut ketersediaan obat-obatan dan kunjungan periodik ke dokter/ rumah sakit memiliki pengaruh signifikan atas nilai WTP premi asuransi kesehatan. Viscussi, W. Kip Kuesioner: Taylor Ketika probabilitas terjadinya dan William N. Series, Nonlinear Utility risiko meningkat, individu juga Evans Function. meningkatkan permintaan (1990) kompensasi atas risiko tersebut. Kemungkinan ketika probabilitas sakit meningkat, individu akan meningkatkan WTP premi asuransi kesehatan yang dapat menurunkan risiko kerugian finansialnya.
Berdasar penelitian sebelumnya terlihat bahwa sebagian besar penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh beberapa variabel, yakni pendapatan,
21
pendidikan, status sosial dan faktor pembelajaran sosial terhadap permintaan akan asuransi kesehatan, bukan pada besarnya WTP premi asuransi kesehatan. Padahal sesungguhnya WTP-lah yang akan menentukan keputusan apakah seseorang atau rumah tangga akan membeli asuransi atau tidak. Semua penelitian tentang permintaan asuransi kesehatan di atas tidak memasukkan unsur risiko, yakni kemungkinan terjadinya sakit baik yang bersifat subjektif maupun objektif. Di samping itu, hampir semua penelitian tentang determinan pembelian asuransi kesehatan menggunakan kuesioner tanpa adanya payoff yang mengikat, sehingga dalam menjawab kuesioner kemungkinan besar para responden kurang mencerap risiko yang akan diterima ketika mereka salah dalam mengambil keputusan, padahal di kehidupan nyata selalu ada dampak dari setiap keputusan yang diambil. Metode eksperimen lab merupakan salah satu solusi untuk mengurangi bias risiko tersebut. Penelitian mengenai WTP juga telah banyak dilakukan. Untuk mengetahui besarnya WTP, metodologi yang sering digunakan adalah dengan menggunakan Contingent
Valuation
Methods
(CVM).
Berdasar
ringkasan
penelitian
sebelumnya, penelitian mengenai WTP yang berkaitan dengan kesehatan ditujukan untuk mengetahui besarnya WTP atas kualitas perawatan kesehatan, bukan pada WTP premi asuransi kesehatan, meskipun besarnya WTP ini jika dikombinasikan dengan probabilitas subjektif atas sakit mungkin juga akan mempengaruhi WTP atas premi asuransi kesehatan. Penelitian mengenai WTP pre-payment perawatan kesehatan dilakukan oleh Binam et.al (2003), sedangkan penelitian WTP atas peningkatan risiko sakit
22
dilakukan oleh Viscussi dan Evans (1993). Metodologi kedua penelitian tersebut menggunakan kuesioner. Penelitian Binam yang dilakukan pada rumah tangga miskin sebenarnya bukan mengukur WTP tetapi lebih tepatnya adalah ability to pay, meskipun dalam kenyataannya seringkali sulit untuk membedakan antara WTP dan maksimum ability to pay. Penelitian Viscussi dan Evans (1993) dilakukan terhadap karyawan perusahaan produk kimia. Penelitian tersebut memasukkan probabilitas terjadinya sakit akibat terkontaminasi zat kimia berbahaya, tetapi probabilitas tersebut bersifat eksogen. Padahal pengaruh faktor probabilitas risiko terhadap WTP sesungguhnya lebih bersifat subjektif, bahkan ketika didasarkan pada kondisi objektif sekalipun. Di samping itu, penelitian ini terkait dengan permintaan jaminan perawatan kesehatan kepada pihak lain, bukan pada bagaimana individu menjamin diri mereka sendiri jika terjadi sakit. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, khususnya pada metodologi yang akan digunakan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana WTP individu atas premi asuransi ketika mereka menerima informasi status kesehatan terkini dan probabilitas terjadinya risiko sakit. Penelitian ini akan menggunakan metode eksperimen lab untuk menghindari adanya bias dalam pengambilan keputusan pada kondisi ketidakpastian. Perlakuan yang diberikan dalam eksperimen ini adalah pemberian informasi status kesehatan terkini yang didasarkan pada hasil pemeriksaan kesehatan, meliputi pemeriksaan tekanan darah dan pengambilan sampel darah untuk melihat kadar kolesterol dan kadar gula dalam darah, yang diharapkan mempengaruhi probabilitas subjektif partisipan atas terjadinya sakit dan selanjutnya akan mempengaruhi besarnya WTP mereka dan
23
keputusan pembelian premi asuransi kesehatan. Pemberian tritmen tersebut juga ditujukan untuk melihat apakah partisipan mengalami cognitive dissonance dalam pembentukan keyakinan subjektif atas probabilitas status kesehatannya.
I.5. Kontribusi Penelitian. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi baik secara akademis, empiris maupun kebijakan sebagai berikut. i) kontribusi pengembangan model pengambilan keputusan dalam kondisi ketidakpastian terkait dengan kesehatan dan asuransi kesehatan dengan memberikan informasi kesehatan terkini berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang meliputi pemeriksaan tekanan darah, kadar kolesterol dan kadar gula dalam darah serta perubahan keyakinan subjektif atas probabilitas terjadinya sakit yang diakibatkan oleh informasi tersebut. ii) kontribusi empiris berupa diperolehnya gambaran mengenai perubahan willingness to pay (WTP) atas premi asuransi kesehatan bila individu memperoleh informasi dan gambaran status kesehatan terkini dan disediakan payoff atas setiap keputusan yang diambil. iii) merupakan sebuah studi awal mengenai willingness to pay (WTP) premi asuransi kesehatan di Indonesia.