BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memperoleh status kewarganegaraan merupakan hak setiap individu, sebagaimana yang termaktub dalam Universal Declaration of Human Rights 1948.9 Sehingga secara teoritik seyogianya tidak ada satupun individu di dunia ini di negara manapun dia berada tidak memiliki kewarganegaraan. Dalam pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menunjukkan bahwa aspirasi tertinggi dari semua orang adalah kemajuan dunia dimana semua mahkluk akan menikmati kebebasan berbicara dan berkeyakinan serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan. Disepanjang sejarah perkembangan hak asasi manusia, ada tiga aspek dalam keberadaan manusia yang harus dijaga atau diselamatkan: yaitu integritas, kebebasan dan keseteraan. Hukum dasar bagi tercapainya tiga aspek ini adalah penghormatan terhadap martabat setiap manusia.10 Integritas, kebebasaan, dan kesetaraan menjadi suatu yang seringkali tidak dapat diwujudkan oleh suatu negara, banyaknya etnis dalam suatu negara menjadi salah satu faktor yang menjadikan beberapa etnis yang tergolong minoritas menjadi komunitas yang terdiskriminasi dalam negara tersebut. Hal yang juga seringkali dijumpai adalah adanya komunitas dalam suatu negara tidak diakui sebagai warga negara dimana dia berada. Selanjutnya dalam hukum internasional mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan disebut stateless persons. Stateless 9
Lihat article 2 Universal Declaration of Human Rights 1948 Elsam (e.d) Ifdhal kasim dan Johanes da Masenus Arus, 2001, Hak Ekonomi Sosial dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Buku 2, Elsam Press, Jakarta, hlm 10 10
15
persons merupakan individu yang tidak diakui sebagai warga negara oleh satu negara berdasarkan aturan hukum negara tersebut, di mana individu tersebut tinggal. perkembangan
kontemporer
hukum
hak
asasi
manusia
telah
mempengaruhi kedaulatan negara dalam masalah kewarganegaraan dan perlindungan terhadap mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan.
11
perkembangan tersebut semakin meluas ketika stateless persons tersebut terlibat konflik dengan komunitas lokal yang diakui sebagai warga negara suatu negara, dan mendesak mereka untuk meninggalkan suatu negara menuju negara lain. Dalam
hukum
internasional
memperoleh
status
kewarganegaraan
merupakan suatu yang mutlak adanya, beberapa konvensi yang mengatur persoalan tersebut, seperti Universal Declaration of Human Rights 1948, yang kemudian mengilhami konvensi-konvensi berikutnya sehubungan dengan status kewarganegaraan, seperti Convention to the Relating of Stateless persons 1954 dan Convention on the Reduction of Statelessness 1961. Dari dua kovenan yang berkaitan erat dengan Stateless Person, Myanmar bukanlah negara pihak dari kovenan tersebut.12 Fenomena tersebut juga terjadi saat ini, dimana terdapat komunitas dalam satu negara yang tidak diakui sebagai warga negara nya, yaitu Rohingya di Myanmar. Rohingya merupakan minoritas muslim berkisar 725.000 jiwa dan mendiami Utara Arakan (Rakhine) di Burma Myanmar, berdekatan dengan 11
Tang Lay Lee, 2005, Stateless, Human Rights and Gender Irregular Migrant Workers from Burma in Thailand, volume 9, Martinus Nijhof Publisher, Leiden, Boston, hlm 15 12 Diakses melalui http://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=V4&chapter=5&lang=en, pada minggu 13 Oktober 2012.
16
Bangladesh.
13
United Nations High Comissioner for Refugees (UNHCR)
menemukan bahwa pemerintah Myanmar lebih senang menyebut etnis tersebut sebagai “Residents of Rakhine State” daripada “Residents of Myanmar”14 dengan kata lain tidak adanya pengakuan dari pemerintah Myanmar bahwa etnis Rohingya merupakan warga negara Myanmar. Keadaan yang menjadikan Rohingya menjadi Stateless Persons mencakup berbagai macam isu. Salah satu faktor penting adalah bahwa Inggris menjajah Burma dimulai pada tahun 1824, sehingga migrasi ke Burma dianggap sebagai sebuah gerakan. Pemerintah Myanmar masih mempertimbangkan, bagaimanapun, bahwa migrasi yang berlangsung selama pemerintahan Inggris adalah ilegal, dan utamanya mereka menolak kewarganegaraan bagi mayoritas Rohingya. Mereka menganggap bahwa Rohingya tidak menjadi sebuah kelompok etnis Myanmar.15 Permasalahan tersebut telah berlangsung lama, yaitu diawali pada tahun 1920-an dan 1930-an,16 yang kemudian mengharuskan beberapa etnis Rohingya meninggalkan negara tersebut, menuju beberapa negara, yaitu Bangladesh, Thailand, Malaysia, termasuk Indonesia. Di negara-negara tersebut etnis Rohingya mengalami beberapa permasalahan yang berbeda, tak jarang etnis ini mendapat perlakuan yang diskriminatif.
13 Statelessness and the Rohingya (a case study by Darren Middleton) dalam Conventry Peace House, Statelessnes: the Quiet Torture of Belonging Nowhere, 2008, , Stoney Stanton Road, Conventry, United Kingdom, hlm 3 14 Ibid, hlm 4-5 15 Ibid, hlm 7 16 Jurnal Carl Grundy-Warr and Elaine Wong, Sanctuary Under a Plastic Sheet –The Unresolved Problem of Rohingya Refugees, dipublikasikan melalui IBRU Boundary and Security Bulletin Autumn 1997, hlm 81.
17
Bangladesh secara geografis merupakan negara yang paling dekat dengan Myanmar. Menurut Asia Watch, Pemerintah Bangladesh memutuskan untuk menahan makanan untuk para pengungsi dalam rangka mendorong mereka untuk kembali ke tanah air mereka. Sebagai hasilnya tingkat kematian untuk Rohingya yang tinggal di kamp-kamp dengan 10.000 pengungsi meninggal dunia.17 Hingga konflik yang terjadi saat ini perlakuan yang sama juga terjadi, Pemerintah Bangladesh tetap melarang masuknya bantuan internasional bagi pengungsi Rohingya, di Provinsi Bazar Cox, diperketatnya perbatasan Bangladesh dan Myanmar sudah cukup menyulitkan etnis Rohingya yang hendak menyelamatkan diri dari teror pengusiran Pemerintah Myanmar, kondisi itu seharusnya tidak diperparah dengan kebijakan Bangladesh yang melarang bantuan kemanusian di Bazar Cox, implikasinya Setelah didiagnosa banyak yang mengalami gizi buruk, gejala malaria, dan gangguan pencernaan mulai muncul dibeberapa kamp pengungsian, namun akan fatal jika bantuan medis masih dilarang masuk.18 Etnis Rohingya berjumlah sekitar dua juta jiwa. Sekitar 800.000 menetap Burma dan 200.000 di Bangladesh, dengan 30.000 dari mereka di camp pengungsi yang menyedihkan. Diperkirakan setengah juta tinggal di Timur Tengah sebagai migran, dan 50.000 di Malaysia. Beberapa diantaranya mencoba bahkan lebih lama melalui perjalanan laut untuk mencapai Australia.19 Di beberapa negara yang dijadikan tempat untuk mengasingkan diri, seringkali etnis ini mengalami kekerasan, penyiksaan, bahkan dibeberapa negara Rohingya dikembalikan ke 17
Ibid, hlm 83 http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/08/13/m8p8kv-setelahlarangan banglades-kondisi-rohingya-kian-memprihatinkan, pada selasa 14 Oktober 2012 19 Jurnal David Scott Mathieson, Plight of the Damned: Burma’s Rohingya, dipublikasikan di Global Asia Vol 4 No I, hlm 88. 18
18
Myanmar, karena dianggap sebagai imigran gelap di negara-negara tersebut, singkatnya Rohingya mengalami penderitaan dibeberapa negara tempat mereka mengungsi.20 Di Thailand, mereka pun mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan perlakuan yang mereka terima di negara asal, etnis Rohingya dianggap sebagai imigran gelap dan mendapatkan perlakuan kasar dari pemerintah Thailand. Militer Thailand, dengan perlakuan khas militernya, dengan sewenang-wenang melepas mereka. T i d a k a d a p e r l a k u a n d i p l o m a t i s hal ini dikarenakan ketidakjelasan status kewarganegaraan yang dimiliki oleh etnis ini.21 Konflik antara pemerintah Myanmar dan etnis Rohingya kemudian semakin menjadi ketika terjadi konflik antara etnis Rohingya dan Budhis Myanmar selaku warga negara yang diakui oleh pemerintah Myanmar. Konflik kembali terjadi dan semakin menjadi perhatian masyarakat internasional di bulan Juni 2012, beberapa pihak menilai konflik di Myanmar kali ini adalah konflik agama Islam versus Buddha. Sejatinya, konflik di Myanmar tidak ada kaitannya dengan agama. Kebetulan saja etnis Rohingya menganut Islam sementara yang lain Buddha dan Kristen. Pada minggu 21 Oktober 2012, hingga 26 Oktober 2012 konflik masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Semakin hari, jumlah korban tewas semakin meningkat. Kerugian materi pun berlipat. Tidak kurang dari 3.000 rumah hangus terbakar. tercatat 51 laki-laki dan 61 perempuan tewas dalam 20 21
Ibid, hlm 91. Tang Lay Lee, Op.Cit, hlm 151-157
19
serangkaian bentrokan,” kata Win Myaing, salah seorang juru bicara pemerintah Rakhine. Selain menewaskan 112 orang, konflik antar etnis Rohingya dan Buddha Rakhine juga mengakibatkan puluhan ribu warga kehilangan tempat tinggal. Puluhan ribu warga yang sebagian besar adalah kaum Rohingya pun terpaksa mengungsi.22 Dengan demikian, menurut data resmi pemerintah Myanmar, jumlah korban tewas akibat kerusuhan di Rakhine sejak Juni lalu tersebut telah mencapai 180 orang.23 Hal yang menjadi fokus kemudian, saat sejumlah pengungsi Rohingya yang terlunta-lunta mencari suaka, mendaratkan kakinya di beberapa negara, misalnya di Indonesia di ujung pulau Sumatera dan ditampung di Medan. Perjalanan itu bukan hal yang mudah. Beberapa negara sempat menolak para pengungsi yang ketakutan itu, dan menyarankan mereka untuk kembali ke Myanmar. Jelas, hal itu tidak disetujui. Keadaan di kampung halaman mereka sangat menakutkan. Pemerintah Myanmar secara resmi mengusir mereka, karena dianggap bukan penduduk asli. Apalagi, etnis Rohingya berasal dari suku yang berbeda.24 Konflik di Myanmar tersebut membuat organisasi Internasional yang di mana Myanmar menjadi anggota dari organisasi internasional yaitu PBB untuk mengatasi persoalan yang terjadi. Keadaan di Myanmar telah mendapat perhatian dari organisasi tersebut terbukti dikeluarkannya dua Resolusi Majelis Umum PBB
22
http://www.jpnn.com/read/2012/10/27/144828/Konflik-Antaretnis-Myanmar,-112Tewas-; diakses Pada 30 Oktober 2012 23 http://news.detik.com/read/2012/10/29/131205/2075018/1148/kekerasan-sektarian-dimyanmar-tewaskan-88-orang?9922022; diakses pada 30 Oktober 2012. 24 Diakses Melialui http://www.headline-lingkarberita.com/2012/08/rohingya-tragedi kemanusiaan-yang-terus.html pada jumat 20 Oktober 2012
20
yaitu Resolusi Nomor (A/66/462/Add.3)] 66/230 dan
Resolusi Nomor
A/C.3/67/L.49. Secara garis besar, kedua resolusi tersebut berhubungan dengan kondisi Hak Asasi Manusia di Myanmar. Guna mendapatkan perhatian yang lebih dari masyarakat internasional, khususnya pemerintah Myanmar untuk bersamasama dengan semua pihak termasuk rakyat Myanmar, sehubungan dengan eksistensi Hak Asasi Manusia. Human Rights Watch, Amnesty Internasional, UNHCR, Médecins Sans Frontières dan kelompok lain telah melaporkan penderitaan tersebut sejak kampanye 1991 terhadap etnis Rohingya. Penganiayaan mereka telah menjadi sesuatu yang mengerikan. Masyarakat internasional telah menyadari hal tersebut, namun tak berdaya atau tidak mau untuk memperbaiki. Ketidakberdayaan masyarakat internsasional, khususnya menjamin tidak adanya perlakuan kasar kepada etnis ini oleh oknum-oknum tertentu disuatu negara, bisa pula dilihat dari perspektif lain, yaitu belum adanya penetapan status pengungsi terhadap etnis ini. Secara teoritik etnis ini masih di kategorikan sebagai pencari-suaka (asylum-seeker). Menurut Hukum Internasional, pencari suaka dan pengungsi sebenarnya mempunyai perbedaan. Seorang pengungsi adalah sekaligus seorang pencari suaka. Sebelum seseorang diakui statusnya sebagai pengungsi, pertama-tama ia adalah seorang pencari suaka. Seorang pencari suaka belum tentu merupakan seorang pengungsi. Ia baru menjadi pengungsi setelah diakui statusnya oleh
21
instrumen internasional/instrumen nasional.
25
Perlindungan yang diberikan
terhadap pengungsi dalam hukum internasional tidak hanya bersumber dari instrumen hukum atau lebih dikenal dengan konvensi-konvensi yang mengatur persoalan pengungsi, atau konvensi-konvensi lainnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia. Disebabkan dampak yang ditimbulkan dari konflik yang terjadi di Myanmar, menyebabkan tingkat pengungsian ke negara-negara tetangga juga meningkat. Maka bisa dikatakan adanya kewajiban lintas negara yang mengikat negara-negara tersebut. Selain itu kondisi pengungsi yang dibeberapa negara tersebut mengalami penyiksaan sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum pengungsi internasional. Tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan yang salah dalam hukum internasional. Dalam kerangka regional kasus yang dialami oleh Rohingya melibatkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang disebutkan penulis dalam penelitian ini, merupakan anggota dari organisasi regional yaitu Assosiation of South East Nations (ASEAN). Dalam kerangka kerja organisasi ini penegakan HAM yang juga dilindungi dalam Piagam PBB menjadi fokus ASEAN sejak lahirnya Piagam ASEAN 2008. Akan tetapi dari aspek praktek mengenai penegakan HAM tersebut masih memiliki hambatan dikarenakan prinsip noninterfensi yang dipegang oleh negara-negara anggota. Keinginan untuk diakuinya Rohingya sebagai pengungsi juga diharapkan oleh etnis ini, sebagai contoh di Indonesia dibeberapa media etnis ini menyuarakan keinginannya untuk memperoleh status dari UNHCR sebagai 25
Sulaiman Hamid, 2000, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional, PT Raja grafindo Persada, Jakarta, hlm 39.
22
pengungsi. Pengakuan sebagai pengungsi tentunya memberikan keistimewaan tersendiri, dimana mereka menikmati hak-hak serta kewajiban-kewajiban sebagai pengungsi serta perlindungan terhadap dilaksanakannya kedua hal tersebut, sebab mereka yang dikategorikan sebagai pengungsi dijamin hak-hak nya dalam suatu instrumen khusus mengenai hal tersebut yaitu Convention Relating to the Status of Refugees 1951. 26 Melihat kompleksitas dari permasalahan ini, maka etnis Rohingya saat ini dapat dikatakan telah menjadi objek tersendiri dalam kajian dan praktik hukum internasional. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penyusun merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana hukum internasional memberikan perlindungan terhadap Stateless Persons?
2.
Bagaimana prosedur pemberian suaka terhadap Stateless Persons etnis Rohingya oleh pihak ketiga?
C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai “perlindungan terhadap stateless persons etnis Rohingya
Myanmar
dalam
perspektif
hukum
internasional”
sepanjang
pengetahuan penulis melalui penelusuran terhadap beberapa bahan bacaan, berupa hasil karya, jurnal baik internasional maupun internasional, penulis menemukan
26
Misalnya hak untuk menetap, hak-hak lainnya sebagaimana diatur dalam: (Pasal 3 tentang hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama; Pasal 4 tentang kebebasan mereka untuk menjalankan agama masing-masing; Pasal 10 hak untuk keberlangsungan tempat tinggal; Pasal 13 Hak untuk memiliki benda bergerak dan benda tidak bergerak; Pasal 14 Hak atas karya seni dan industri; Pasal 15 hak untuk berserikat; Pasal 16 hak untuk mendapatkan keadilan,dst)
23
beberapa tulisan dengan judul dan pembahasan yang membahas mengenai bagaimana hukum internasional memberikan perlindungan terhadap etnis Rohingya dan seperti apa pemberian suaka terhadap etnis tersebut oleh negaranegara dalam lingkup internasional. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan materi-materi yang dibahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya dengan materi yang disajikan oleh penulis pada tesis ini. Dari hasil penelusuran tersebut, penulis menemukan beberapa bahan bacaan yang menurut hemat penulis memiliki beberapa kesamaan pada perspektif tertentu. Bahan bacaan tersebut, yakni: 1.
Jurnal internasional “Sanctuary Under a Plastic Sheet –The Unresolved Problem of Rohingya Refugees” oleh Carl Grundy-Warr dan Elaine Wong, diterbitkan di IBRU Boundary and Security Bulletin Autumn 1997. Substansi jurnal ini juga dijadikan bahan rujukan dalam penelitian ini. jurnal ini secara substansial membahas tentang keadaan geografis Myanmar, populasi etnis dan pemeluk agama di Myanmar termasuk didalamnya sejara masuk nya etnis Rohingya ke negara tersebut. Dibagian akhir jurnal ini menggambarkan situasi pengungsi Rohingya di beberapa wilayah seperti Dhaka dan Bangladesh. Perbedaan jurnal tersebut dengan penelitian ini adalah dalam jurnal tidak dijelaskan mengenai keadaan etnis Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless persons). Sehingga dalam jurnal tersebut tidak dijelaskan bagaimana hukum internasional melindungi etnis Rohingya.
2.
Jurnal internasional “plight of damned: Burma’s Rohingya” oleh David Scott Mathieson, diterbitkan di Global Asia Vol. 4. Jurnal ini juga
24
dijadikan bahan rujukan dalam penelitian ini. Sama halnya dengan jurnal yang dipaparkan diatas, pada jurnal ini juga menggambarkan bagaimana keadaan etnis Rohingya dibebarapa negara misalnya Thailand tak jarang etnis ini dianggap sebagai imigran gelap karena disebabkan status kewarganegaraan mereka, bahkan tak jarang perlakuan kasar seringkali dialami oleh etnis Rohingya. Di bagian akhir jurnal juga mengomentari peran negara-negara tetangga yang juga berada pada satu organisasi regional yaitu Assosiation Of South East Nation (ASEAN) sekaligus menyarankan negara-negara tersebut untuk lebih apresiasi menangani persoalan etnis Rohingya ketika etnis ini mengungsi ke negara mereka. Perbedaan nya dengan penelitian ini adalah jurnal ini tidak menjelaskan bagaimana mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless persons) bisa mendapatkan kehidupan yang layak sebagai pengungsi di negara-negara tersebut, melalui pemberian suaka oleh negara-negara yang menjadi tempat pengungsian tersebut. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan terhadap individu atau dalam hal ini mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan (Stateless Persons) 2. Mengetahui prosedur pemberian suaka oleh pihak ketiga (masyarakat internasional) kepada Stateless Persons etnis Rohingya yang berada di negara lain.
25
E. Manfaat Penelitian Terdapat beberapa hal yang menjadi manfaat dilakukannya penelitian ini, yaitu: 1.
Dalam lingkup akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan dan pengkajian ilmu hukum, dalam mengumpulkan informasi dan data yang selengkap-lengkapnya guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan, sehingga informasi tersebut dapat dirumuskan suatu kesimpulan yang tepat sesuai dengan hukum yang menjadi dasar dalam menjawab permasalahan.
2.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan penulis dalam bidang Hukum, khususnya dalam bidang hukum Internasional.
26