1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi setiap individu sepanjang daur kehidupan di dunia sejak berada dalam kandungan dan terlahir melalui rahim ibu sampai dengan masa kanak-kanak, remaja, muda dan usia tua dan akhirnya ia meninggal secara wajar. Upaya menuju derajat sehat yang optimal merupakan tanggung jawab bersama setiap insan yang merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat yang hendak melakukan berbagai partisipasi terhadap aktivitas kehidupannya sehari-hari dalam keadaan sehat dan mandiri. Setiap upaya menuju derajat kesehatan yang optimal bagi mereka yang sedang sakit bertujuan agar setiap individu dapat kembali melakukan aktifitas sehari-hari dengan baik dan berpartisipasi kembali dalam pekerjaan di lingkungan kehidupannya. Pasien yang telah didiagnosis menderita gangguan saraf pusat seperti stroke dan penyakit brain damage lainnya akan mengalami salah satu atau secara bersamaan gejala yang mungkin timbul yaitu gangguan fungsi organ tubuh dan ekstremitas, struktur tubuh, emosional dan kognitif. Tentunya sangat diperlukan penanganan dan intervensi khusus yang optimal dan tepat sasaran oleh para dokter dan tenaga medis lainnya termasuk fisioterapis yang berperan untuk melakukan penanganan fisioterapi bagi pasien stroke untuk memulihkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional berdasarkan potensi pasien yang masih dimilliki sepanjang daur kehidupan mereka.
1
2
Pasien yang menderita penyakit stroke tentunya akan mengalami berbagai problematika, keterbatasan dan hambatan pada semua tingkat termasuk struktur tubuh, fungsi tubuh, aktifitas dan partisipasi dalam lingkungan dan kehidupan seharihari sehingga sangat banyak penderita stroke akan selalu membutuhkan peran keluarga atau orang lain diluar dirinya sendiri sebagai pendamping dalam menyelesaikan aktifitas kerja dan tugas sehari-hari demi memenuhi semua kebutuhan dasar dan kebutuhan tambahan bagi dirinya yang mengalami gangguan akibat sakit sehingga dalam hal ini akan terjadi masalah ketidakmandirian individu yang merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh mereka sebagai pasien itu sendiri maupun bagi keluarga sebagai orang terdekatnya. Banyak faktor yang menyebabkan pasien stroke menjadi tergantung dengan orang lain dan menjadi tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhannya dan dalam melakukan aktifitas sehari-hari, diantaranya adalah adanya keterbatasan fungsional anggota gerak atas (AGA) yang mengalami kelemahan akibat stroke. Berbagai pelatihan, pendekatan, metode dan tehnik dalam bidang fisioterapi telah banyak dikembangkan guna melengkapi dan memperkaya khazanah keilmuan dalam mengatasi masalah fisik dan fungsional bagi pasien penderita stroke, diantaranya adalah pelatihan Mirror Neuron System (MNS) dan Pelatihan Constraint Induced Movement Therapy (CIMT). Keduanya memiliki dasar ilmiah yang sampai saat ini masih terus dikembangkan dan diteliti oleh para dokter maupun fisioterapis yang berkonsentrasi pada penanganan klinis bagi penderita stroke untuk memulihkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional termasuk tentunya fungsi AGA yang
3
mengalami kelemahan (weakness) akibat lesi neurologis saraf pusat yang mereka alami. Pelatihan MNS merupakan pelatihan yang masih dianggap baru dan belum memiliki banyak bukti uji klinisnya, dimana pada pelatihan MNS memandang bahwa gerakan motorik secara fungsional dapat dihasilkan secara lebih baik yang diawali dari suatu proses imitasi gerakan dan imajinasi gerakan yang dilakukan sebelumnya dan hal ini akan menimbulkan rangsangan pada bagian atau pusat motorik pada kortek terstimulasi atau terangsang untuk menghasilkan suatu gerakan fungsional yang diinginkan (Iacoboni dan Galesse, 2009; Rizzolatti, 2011) Sebuah penelitian tentang MNS yang dilakukan oleh Marijnissen (2011), dilakukan terhadap 171 sampel yang dibagi beberapa kelompok dalam merespon suatu gerakan yang diobservasi terlebih dahulu (imitasi) sebelum melakukan kembali eksekusi aksi gerakan tersebut memberikan sebuah hasil yang baik. Kelompok yang melakukan proses observasi penuh hasilnya lebih dari 97% dapat menunjukkan aktivitas yang sesuai dengan apa yang telah diobservasi tersebut. Kelompok yang melakukan eksekusi gerakan disaat sedang mengobservasi hasilnya sejumlah 60,75% dapat menunjukkan aktivitas yang sesuai. Kelompok yang hanya melakukan sedikit observasi hasilnya hanya 38,6% dapat menunjukkan aktivitas gerakan yang sesuai. Kelompok kontrol tanpa observasi hanya 4,6% dapat melakukan aktivitas gerakan yang sesuai dengan tujuan. Namun penelitian tersebut tidak spesifik menjelaskan kondisi sampel yang diteliti dan aktivitas apa yang diteliti.
4
Penelitian lain tentang pelatihan MNS yang dilakukan oleh Salama (2011), menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap dua puluh lima sampel dan penilaian dilakukan dengan menggunakan The Functional Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan bahwa terjadi aktivitas otak sejumlah 50% dibagian otak tertentu disaat mereka melakukan observasi gerakan sebelum eksekusi gerakan tersebut. Namun sayangnya penelitian ini pun masih dirasa kurang dapat mengukur kemampuan fungsional AGA bagi subjek yang diteliti. Pelatihan CIMT merupakan salah satu pelatihan dalam penatalaksanaan pasien pasca stroke dimana pada CIMT pasien diharuskan menggunakan sisi tangan yang sakit atau yang mengalami kelemahan saat melakukan program terapi dan aktivitas sehari-hari sementara sisi tangan lain yang sehat atau yang tidak mengalami kelemahan sengaja ditahan atau dipaksa agar tidak digunakan untuk bergerak melakukan aktifitas sehari-hari tersebut. Termasuk dalam melakukan stabilisasi objek kecuali saat beristirahat (Hayner dkk., 2010). Sebuah penelitian tentang pelatihan CIMT yang dilakukan oleh Tariah dkk. (2010), menjelaskan bahwa penelitian dilakukan terhadap delapan belas sampel pasien dengan riwayat stroke, dibagi menjadi dua kelompok yaitu sepuluh sampel perlakuan pelatihan CIMT dan delapan lainnya sebagai kelompok kontrol perlakuan pelatihan lain, setelah dilakukan intervensi pelatihan CIMT selama dua bulan menunjukkan hasil peningkatan kemampuan fungsional AGA yang diukur dengan Wolf Motor Function Test (WMFT) sebesar 39%, sedangkan pada kelompok kontrol hanya sebesar 34% peningkatan selama empat bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa
5
pelatihan CIMT dinilai lebih baik dari pelatihan lainnya pada kelompok kontrol yang diteliti. Penelitian lainnya tentang pelatihan CIMT yang dilakukan oleh Hayner dkk. (2010), menjelaskan bahwa penelitian dilakukan terhadap dua belas sampel pasien stroke, dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, enam sampel perlakuan pelatihan CIMT dan enam lainnya sebagai kelompok kontrol, setelah dilakukan intervensi selama sepuluh hari dan diukur dengan tes WMFT, menunjukkan hasil bahwa adanya peningkatan skor sebesar 3,35 dan hanya skor 1,92 untuk kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan CIMT lebih baik sebesar skor 1,43 dari pelatihan lainnya dari kelompok kontrol. Kedua pelatihan atau pendekatan (approach) tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dasar ilmiah (evidence based) yang berbeda. Pelatihan MNS merupakan pelatihan yang lebih baru dari pada pelatihan CIMT. Pada pelatihan MNS masih sedikit sekali bukti ilmiah yang melakukan uji coba pada manusia dan pasien pasca stroke, sehingga masih banyak dan perlu dikembangkan penggunaannya dalam pemulihan fisik pasien pasca stroke (Iacoboni dan Mazziotta, 2007). Pada pelatihan CIMT telah banyak dilakukan uji klinis dan penelitian yang dicobakan pada manusia dan pasien dalam rangka pemulihan fisik dan peningkakan kemampuan fungsional pasca stroke dan telah banyak memberikan hasil yang signifikan pada kemampuan fungsional AGA (Hayner dkk., 2010; Tariah dkk., 2010; Lin dkk., 2010). Pelatihan MNS relatif lebih mudah, murah, cepat, praktis dan nyaman bagi pasien dibandingkan dengan pelatihan CIMT yang cenderung membuat pasien tidak nyaman pada sisi ekstremitas atas yang sedang dihambat (constraint)
6
gerakannya dengan alat bantu tertentu sehingga terkesan ada unsur paksaan bagi pasien untuk menggerakkan AGA yang sedang mengalami kelemahan akibat stroke. Namun hal ini masih perlu pembuktian lebih lanjut sebagai dasar ilmiah yang mendukung dan memperkuat pandangan teoritik bagi kedua pelatihan tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian tersendiri yang diharapkan akan lebih melengkapi dasar ilmiah (evidence based) bagi kedua pelatihan atau pendekatan tersebut. Serta hendak membuktikan bagaimana perbedaan peningkatan kemampuan fungsional AGA yang terjadi sebelum dan sesudah pelatihan MNS dan pelatihan CIMT. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwa pelatihan diterapkan pada pasien dengan kondisi yang sama yaitu pasien pasca stroke dan akan menilai bagaimana perbandingan peningkatan kemampuan fungsional AGA yang mengalami kelemahan atau keterbatasan fungsional dari kedua kelompok pelatihan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah pelatihan MNS dapat meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke? 2. Apakah pelatihan CIMT dapat meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke? 3. Apakah pelatihan MNS tidak berbeda dibandingkan dengan pelatihan CIMT dalam meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke?
7
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan umum Tujuan umum penelitian yang hendak dicapai adalah menambah dan memperkaya khazanah keilmuan dan dasar ilmiah pada pelatihan MNS dan pelatihan CIMT dalam meningkatkan kemampuan fungsional AGA pasien stroke. 1.3.2
Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian yang hendak dicapai adalah: 1. Mengetahui peningkatan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke pada pelatihan MNS. 2. Mengetahui peningkatan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke pada pelatihan CIMT. 3. Mengetahui perbedaan pelatihan MNS dibandingkan dengan pelatihan CIMT terhadap peningkatan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang hendak didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi peneliti, menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian dan mendapatkan data empirik dari hasil penelitian
8
yang didapat tentang pelatihan MNS dan pelatihan CIMT dalam meningkatkan kemampuan fungsional AGA pasien stroke, berupaya menemukan cara baru yang lebih efisien dan sebagai bagian dari proses menyelesaikan program pendidikan magister, serta bekal keilmuan dimasa yang akan datang. 2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kedokteran dan kesehatan akan semakin melengkapi khazanah keilmuan dan kepustakaan terutama bidang fisiologi olah raga dan fisioterapi tentang pelatihan MNS dan pelatihan CIMT dalam meningkatkan kemampuan fungsional AGA pasien stroke. 3. Bagi para sejawat fisioterapi sebagai tambahan dasar ilmiah (evidence based) dalam melakukan program penatalaksanaan dan proses fisioterapi bagi penderita stroke dalam kegiatan pelayanan klinis maupun bidang akademis dan penelitian fisioterapi berikutnya. 4. Bagi masyarakat sebagai salah satu upaya dalam memperluas dan mengembangkan berbagai pendekatan dan metode untuk mempercepat proses peningkatan kemampuan fungsional pasien penderita stroke di berbagai layanan fisioterapi klinis dan rumah sakit.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Stroke 2.1.1 Etiologi dan klasifikasi stroke Stroke dapat menyebabkan kehilangan fungsi neurologis secara tiba-tiba akibat gangguan suplai darah ke otak. Sebagian besar stroke datang tanpa peringatan. Sehingga tujuan manajemen pemulihan adalah untuk membatasi kerusakan otak, mengoptimalkan pemulihan dan mecegah stroke berulang. Umumnya konsentrasi pengobatan adalah mengatasi faktor resiko vaskular yang menjadi predisposisi stroke seperti tekanan darah tinggi, hiperlipidemia, diabetes dan merokok (Wilkinson dan Lennox, 2005)
Gambar 2.1 Suplai Arteri pada Otak (Wilkinson dan Lennox, 2005)
9
10
Stroke merupakan istilah umum yang berarti adanya kerusakan jaringan otak akibat dari kelainan suplai darah. Dalam istilah yang sederhana, kekurangan suplai darah untuk otak disebut iskemik atau infark, kelebihan suplai darah normal disebut haemoragik serebral dan drainase vena tidak memadai disebut stroke vena (Davis dkk., 2005). Stroke adalah penyebab paling umum ketiga kematian di negara maju setelah kanker dan penyakit jantung iskemik, dan merupakan penyebab paling umum dari kecacatan fisik yang parah. Hal ini merupakan manisfestasi klinis yang paling sering dari penyakit pembuluh darah otak, meskipun dapat pula disebabkan oleh penyakit serebrovaskular terutama pada orang tua seperti demensia. Secara konvensional istilah stroke telah digunakan sebagai suatu episode disfungsi otak oleh karena iskemik fokal atau perdarahan serta perdarahan sub-arachnoid. Namun karena perdarahan sub-arachnoid memiliki manifestasi klinis yang berbeda dengan dasar patologinya maka sering dibahas secara terpisah. Stroke merupakan keadaan darurat medis umum yang insidennya meningkat tajam sesuai peningkatan usia dan di banyak negara berkembang, insiden meningkat karena penerapan gaya hidup yang kurang sehat. Sekitar seperlima dari pasien dengan stroke akut akan meninggal dalam waktu satu bulan sejak serangan awal dan setidaknya setengah dari mereka yang bertahan hidup akan menyisakan gejala sisa kecacatan fisik (Boon dkk., 2007). Stroke dapat terjadi ketika suplai aliran darah ke daerah otak terhambat atau apabila suplai darah terganggu akibat pecahnya arteri pada otak. Sekarang sebagian besar disertai dengan peningkatan denyut jantung, tekanan darah tinggi, rendahnya volume darah yang dikeluarkan oleh jantung selama setiap kontraksi dan
11
peningkatan resistensi terhadap aliran yang kurang mengaliri ke seluruh organ didalam tubuh. Aliran darah di otot rangka menurun saat istirahat dan mengalami peningkatan selama kontraksi otot (Hudlicka, 2008) Stroke merupakan serangan yang terjadi secara tiba-tiba dengan perkembangan gejala dan tanda-tanda neurologis secara cepat, yang memuncak dalam hitungan menit atau jam sekitar 24-48 jam. Perubahan mendadak terjadi akibat konsentrasi aliran darah yang terjadi di arteri serebral. Perubahan tersebut terjadi pada salah satu dari dua cara yaitu penurunan aliran darah serebral yang menyebabkan iskemik dan akhirnya infark dan perdarahan ke dalam parenkim otak atau ke dalam ruang subarachmoid yang menyebabkan hematoma intraserebral yang besar atau subarachnoid haemoragik. Dengan demikian baik iskemik atau haemoragik merupakan gangguan subtrat patologis yang mengakibatkan infark atau haemoragik (Haberland, 2007). Stroke didefinisikan sebagai suatu gejala klinis atau tanda-tanda fokal yang berkembang pesat, dan secara umum (diterapkan pada pasien koma yang mendalam dan bagi mereka yang mengalami perdarahan subarachnoid), hilangnya fungsi otak, dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam atau yang dapat menyebabkan kematian, tanpa penyebab yang jelas selain dari gangguan vaskularisasi (Pendlebury dkk., 2009). Faktor resiko penderita stroke terdiri dari dua tipe yaitu faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors). Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia (age), jenis kelamin (sex) dan hormon seksual (sex hormones). Faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah tekanan darah (blood pressure), merokok
12
(cigarette smoking), diabetes melitus (diabetes mellitus), lipid darah (blood lipids), fibrilasi atrial (atrial fibrilation), emboli jantung (cardioembolism), obesitas dan sindroma metabolik (obesity and the metabolic syndrome), pola makan (diet), latihan fisik (exercise), alkohol (alcohol), variabel hemostatik (hemostatic variables), hematokrit (hematocrit), infeksi dan inflamasi (infections and inflammation), homosistenemia (homocystenemia), gangguan vaskular non-stroke (non-stroke vascular disease) dan kemungkinan lainnya seperti penyakit jantung koroner (coronary heart disease) dan lain-lain (Pendlebury dkk., 2009). Faktor resiko keturunan penderita stroke terdiri dari: arteriopati dominan autosom serebral dengan infark subcortical dan leukoensepalopati (Cerebral autosomal
dominant
arteriopathy
with
subcortical
infarcts
and
leukoencephalopathy), dislipidemia herediter (hereditary dyslipidemias), penyakit jaringan ikat (connective tissue disease), penyakit fabri (fabry’s disease), kelainan jantung (cardiac disorders), kelainan mitokondria (mitochondrial disordera) dan kelainan hematologi (hematological disorders) (Pendlebury dkk., 2009). Komplikasi non neurologi akibat stroke antara lain: radang paru-paru (pneumonia), tromboemboli vena (venous thromboembolism), inkontinesia urin (urinary incontinence), tekanan luka atau dekubitus (pressure sores), komplikasi jantung (cardiac complications), ketidakseimbangan cairan (fluid imbalance), masalah gerak mekanik (mechanical problems), tukak lambung akut (acute gastric ulceration), gangguan suasana hati (mood disorders), nyeri terpusat pasca stroke (central post-stroke pain) (Pendlebury dkk., 2009).
13
Salah satu dari sekian banyak defisit neurologis adalah disebabkan oleh stroke. Stroke disebabkan oleh adanya gangguan supply darah yang mengalir ke otak dan tentunya selalu akan menyebabkan kehilangan atau gangguan yang bersifat permanen pada fungsi otak dan prilaku. Pada kasus lesi area unilateral parietal atau area motorik, akan menyebabkan partial paresis atau kelemahan sebagian yang sering disebut sebagai hemiparese. Dan hal ini dapat menurunkan mobilitas fisik dan sering mengakibatkan deterioration pada fungsi otot di satu atau lebih tungkai pada sebagian tubuh (Salama, 2011). Menurut Robinson (2006), menyatakan bahwa klasifikasi stroke atau penyakit pembuluh darah otak (cerebrovascular disease/CVD) terdiri dari: 1. Gangguan penyumbatan atau iskemik (ischemic disorders) a. infark i. aterosklerotik trombosis ii. emboli serebral iii. lacunae iv. penyebab lain: arteritis (penyakit jaringan ikat atau infeksi), tromboplebitis otak, fibromuskular displasia, oklusi vena b. transient ischemic attacks (TIAs) 2. Gangguan perdarahan atau hemoragik (hemorrhagic disorders) a. perdarahan intraparenchymal i. primer (hipertensi) perdarahan intraserebral ii. penyebab lain: gangguan perdarahan (trombositopenia dan pembekuan darah) dan trauma
14
b. perdarahan subarachnoid atau intraventrikular i. ruptur aneurisma atau malformasi arterivena (AVM) ii. penyebab lain c. subdural atau epidural hematoma 2.1.2 Gangguan fisik dan fungsi akibat stroke Menurut Greenberg dkk. (2002), tentang input kortikal menjelaskan bahwa gerakan mata cepat menerima masukan dari lobus korteks frontal kontralateral, gerakan mata lambat menerima masukan dari lobus parietooccipital ipsilateral. Oleh karena itu, lesi destruktif mempengaruhi korteks frontal dan menggangu mekanisme pandangan untuk sisi kontralateral horisontal dan dapat mengakibatkan preferensi tatapan kesisilesi dan jauh dari sisi hemiparesis terkait, sebaliknya sebuah iritasi fokus dalam lobus frontal dapat menyebabkan tatapan jauh dari sisi fokus.
A
B
C
Gambar 2.2 Gangguan Pandangan dan Kelemahan Ektremitas Atas Akibat Lesi Hemisper Otak (Greenberg dkk., 2002)
15
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa gangguan pandangan dan kelemahan ektremitas atas yang terjadi akibat belahan otak dan batang otak yang lesi (akibat stroke). Gambar A lesi terjadi di lobus frontal belahan otak kanan, gambar B lesi terjadi pada lobus frontal dari belahan otak kanan dan gambar C lesi terjadi yang tepat pada pons. Arah panah menunjukkan arah preferensi tatapan yang menjauh dari sisi hemiparese. Manifestasi stroke bertahan selama lebih dari 24 jam dan sering permanen, terjadi pemulihan pada sebagian umum. Durasi gejala dan tanda-tanda tampaknya tidak berkorelasi dengan etiologi stroke. Pada iskemik gejala dan tanda-tandanya dapat terselesaikan dalam waktu 24 jam. Pada haemoragik terjadi perdarahan intraserebral non traumatik biasanya menyebabkan defisit neuruolgis akut yang menetap setelahnya. Jika defisit memburuk setelah perdarahan awal penyebabnya adalah karena perdarahan berulang atau komplikasi dari perdarahan awal. Beberapa tipe defisit neurologis yang terjadi adalah kelemahan ektremitas, kehilangan sensorik, gangguan okulomotor dan visual, sakit kepala, penuruan kesadaran, perubahan prilaku, disartria dan disfagia, pusing, epilepsi kejang dan gangguan pernafasan (Rohkamm, 2004) Menurut Duncan dkk. (2009), menyatakan bahwa stroke dapat menyebabkan beberapa efek berikut ini: 1. Kelemahan: hemiparese atau hemiplegia, ganngguan koordinasi dan keseimbangan, spastisitas, gangguan sensorik (propriosepsi dan sentuhan atau raba), gangguan penglihatan (hemianopsia), nyeri (sindrom bahu dan tangan),
16
hemineglesi atau kurangnya perhatian sebagian sisi, apraksia, gangguan menelan (disphagia), gangguan bahasa (aphasia), gangguan artikulasi (disartria), masalah belajar, perhatian dan mengingat serta gangguan fungsi eksekusi tindakan, emosi labil, depresi, disfungsi buang air besar dan kecil (bab dan bak), kelelahan dan keterbatasan ketahanan kardiovaskular. 2. Keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari: keterbatasan perawatan diri (mandi, berpakaian, dan makan), gangguan mobilitas (berpindah posisi atau transfer, berjalan), instrumen aktifitas sehari-hari (masak, mencuci, mengatur keuangan, mengatur pengobatann dan perawatan diri), berkendaraan. 3. Kualitas hidup (partisipasi): fungsi peran fisik dan sosial, berkerja dan bekerja secara nyaman. 4. Komplikasi umum: aspirasi pneumonia, vena trombosis, jatuh, gangguan pada kulit, malnutrisi, nyeri bahu, dan kontraktur. Menurut Desvigne-Nickens (2009), tentang tanda-tanda stroke menjelaskan bahwa stroke dapat diketahui dengan adanya tanda-tanda seperti kelemahan tiba-tiba pada otot wajah, lengan dan kaki yang umumnya hanya dialami oleh sebagian tubuh kanan ataupun kiri, gangguan pandangan pada salah satu mata atau keduanya, sulit berjalan, hilangnya kekuatan dan gangguan keseimbangan, bingung dan sulit bicara atau memahami pembicaraan, sakit kepala tanpa sebab dan lain-lain.
17
Gambar 2.3 Tanda-tanda awal stroke (Desvigne-Nickens, 2009) Akibat atau efek dari stroke menurut Desvigne-Nickens (2009), menjelaskan bahwa stroke dapat mengakibatkan beberapa gangguan tergantung dari letak atau area stroke yang terjadi di otak. Stroke yang terjadi pada otak bagian kanan umumnya akan mengakibatkan masalah atau gangguan dalam mengukur jarak yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mengarahkan tangan untuk mengambil suatu benda, gangguan dalam pengambilan keputusan dan prilaku yang menyebabkan ketidakmampuan dalam mencoba melakukan sesuatu seperti menyetir kendaraan, dan gangguan dalam memori jangka pendek yang meyebabkan pasien bisa mengingat ingatan yang sudah lebih dari tiga puluh tahun tapi lupa dan tidak bisa mengingat apa yang dilakukan tadi pagi misalnya. Stroke yang terjadi pada otak
18
bagian kiri umumnya akan mengakibatkan masalah bicara dan bahasa yang menyebabkan ketidakmampuan bicara dan memahami bahasa orang lain, masalah gerakan yang lambat dan prilaku hati-hati yang menyebabkan pasien membutuhkan banyak bantuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, gangguan memori yang menyebabkan pasien tidak mampu mengingat kejadian beberapa menit yang lalu dan kesulitan belajar hal yang baru. Stroke yang terjadi pada cerebellum atau bagian otak yang mengontrol kesimbangan dan koordinasi akan mengakibatkan gangguan refleks abnormal pada kepala dan tubuh bagian atas, gangguan keseimbangan, kebingungan, mual dan vomitus. Stroke yang terjadi pada batang otak (brain stem) adalah sangat berbahaya karena batang otak berfungsi dalam mengontrol seluruh fungsi tubuh secara otonom seperti gerakan mata, pernafasan, pendengaran, bicara, dan menelan. Disaat impuls bermula dari otak maka ia harus melalui batang otak sebagai jalan atau jalur menuju ke lengan dan kaki, pasien dengan stroke pada batang otak akan mengalami kelemahan untuk mobilisasi atau tidak mampu untuk bergerak atau merasakan satu atau kedua bagian dari tubuh. Menurut Wittenberg dan Schaechter (2009), menyatakan bahwa suatu stroke yang telah merusak jaringan motorik pada otak dapat menyebabkan hemiparesis. Setidaknya pemulihan dari hilangnya fungsi motorik ini berlangsung spontan beberapa hari bahkan beberapa bulan setelah stroke. Proses pemulihan dapat ditingkatkan sccara lebih cepat dengan menggunakan beberapa metode pelatihan tertentu. Namun, mayoritas pasien stroke akut hemiparerik dapat kembali fungsi motoriknya secara penuh.
19
2.2 Sistem Neuromuskuler 2.2.1 Sistem saraf pusat Menurut Despopoulus dan Silbernagl (2003), menjelaskan bahwa otak (brain) dan sumsum tulang belakang (spinal cord) membentuk suatu sistem saraf pusat (central nervous system/CNS). Sumsum tulang belakang dibagi menjadi segmensegmen yang sama, tetapi 30% lebih pendek dari kolom tulang belakang (spinal column). Bagian utama dari otak (brain) terdiri dari medulla oblongata, pons, mesencephalon,
cerebellum,
diencephalon
dan
telencephalon.
Otak
kecil
(cerebellum) merupakan pusat kendali yang penting untuk fungsi motorik dan telencephalon yang merupakan bagian dari korteks yang juga penting untuk fungsi motorik.
Gambar 2.4 Sistem saraf pusat (Despopoulus dan Silbernagl, 2003)
20
Gambar 2.5 Area atau bagian otak (Despopoulus dan Silbernagl, 2003) Menurut Guyton dan Hall (2006), mengenai organisasi sistem saraf pusat menjelaskan bahwa sistem saraf merupakan suatu yang unik dalam kompleksitas yang luas dari proses berpikir dan kontrol tindakan agar bisa dilakukan. Ia menerima jutaan bit informasi setiap menit dari saraf sensoris dan organ sensoris yang berbeda dan kemudian mengintegrasikan semua ini untuk menentukan respon yang dilakukan oleh tubuh. Mengenai unit fungsional sistem saraf pusat Guyton dan Hall (2006) juga menjelaskan bahwa sistem saraf pusat mengandung lebih dari 100 miliar neuron.
21
Gambar 2.6 Struktur neuron besar di otak (Guyton dan Hall, 2006) Gambar 2.6 menunjukkan bahwa neuron khas dari jenis yang ditemukan di korteks motorik pada otak bahwa kedatangan sinyal masuk pada neuron ini melalui sinapsis yang terletak pada sebagian besar dendrit saraf, tetapi juga pada sel tubuh. Untuk berbagai jenis neuron, mungkin hanya ada beberapa ratus atau sebanyak 200.000 sambungan sinaptik tersebut dari masukan serat. Sebaliknya, perjalanan sinyal output dengan cara akson tunggal meninggalkan neuron. Kemudian, akson ini memiliki cabang yang terpisah ke bagian lain dari sistem saraf perifer atau badan. Sebuah fitur khusus dari sinapsis yang paling banyak adalah bahwa sinyal
22
mengirimkan hanya dalam arah maju (dari akson neuron sebelumnya menuju ke dendrit sel membran neuron berikutnya). Hal ini akan memaksa sinyal untuk bepergian ke arah yang diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi saraf tertentu (Guyton dan Hall, 2006). 2.2.2 Sistem sensorik dan kontrol motorik Menurut Despopoulus dan Silbernagl (2003), tentang sistem kontrol sensorik menjelaskan bahwa dengan indera yang kita miliki, kita mampu menerima sejumlah besar informasi dari lingkungan. Rangsangan mencapai tubuh dalam berbagai bentuk energi seperti elektromagnetik (rangsangan visual) atau energi mekanik (rangsangan taktil). Berbagai reseptor sensorik atau sensor untuk rangsangan ini secara klasik terdapat pada organ mata, telinga, kulit, lidah, dan hidung sedangkan pada permukaan tubuh maupun didalam tubuh terdapat pada propriosensor dan organ vestibular (keseimbangan). Jalur sistem sensorik ini memiliki empat elemen stimulasi yaitu modalitas, intensitas, durasi dan lokalisasi. Setiap jenis sensor adalah memiliki stimulus unik yang spesifik atau mampu membangkitkan modalitas sensorik tertentu seperti penglihatan, suara, sentuhan, getaran, suhu, nyeri, rasa, bau, juga posisi tubuh dan gerakan dan lain-lain. Masing-masing modalitas memiliki submodalitas seperti rasa yang bisa manis atau pun pahit dan lain-lain.
23
Gambar 2.7 Resepsi, persepsi dan transmisi informasi (Despopoulus dan Silbernagl, 2003) Despopoulus dan Silbernagl (2003), juga menjelaskan bahwa pada stimulasi yang konstan, kebanyakan sensor beradapatasi yaitu proses penurunan potensi meraka. Dimana potensi sensor itu perlahan-lahan beradaptasi menjadi sebanding dengan intensitas stimulus (P sensor atau tonik sensor). Sensor merespon dengan beradaptasi secara cepat hanya pada awal dan akhir dari stimulus. Pada proses sentral pada fase pertama impuls inhibisi dan stimulasi berkonduksi ke saraf pusat yang terintegrasi untuk meningkatkan kontras rangsangan. Dalam hal ini impuls stimulasi yang berasal dari sensor yang berdekatan dilemahkan pada prosesnya (lateral inhibition). Pada fase kedua sebuah kesan rangsangan sensorik mengambil bentuk dalam tingkat yang rendah dari korteks sensoris dan hal ini merupakan langkah pertama fisiologi sensorik secara subjektif. Kesadaran adalah sarat utama dalam proses ini. Kesan sensorik akan diikuti dengan interpretasi dan hasil tersebut disebut sebagai sebuah persepsi. Yang didasarkan pada pengalaman dan alasan dan tunduk pada interpretasi individu.
24
A
B
Gambar 2.8 A. Stimulus, sensor, and action potential relationship B. Contrasting (Despopoulus dan Silbernagl, 2003) Menurut Despopoulus dan Silbernagl (2003), tentang sistem kontrol motorik atau gerak menjelaskan bahwa koordinasi gerakan muskular (otot) seperti berjalan, menggenggam, melempar, dll secara fungsional tergantung pada sistem gerak postural (the postural motor system), yang bertanggung jawab dalam rangka mempertahankan postur agar tegak, seimbang, dan integrasi spasial dari gerakan tubuh. Disaat kontrol fungsi gerak postural dan koordinasi otot membutuhkan suatu kerja yang simultan dan tanpa interupsi pada jalur impuls sensorik dari area perifer atau tepi, maka hal ini dapat disebut sebagai fungsi sensorimotor (sensorimotor function).
25
Gambar 2.9 Peristiwa dari keputusan bergerak sampai dengan eksekusi gerakan (Despopoulus dan Silbernagl, 2003)
26
Berdasarkan gambar 2.9 Despopoulus dan Silbernagl (2003), juga menjelaskan bahwa gerakan yang disadari atau terencana membutuhkan beberapa tahapan aksi yaitu keputusan untuk bergerak kemudian proses pemrograman (pemanggilan sub program yang tersimpan) kemudian perintah untuk gerakan kemudian eksekusi gerakan. Umpan balik dari aferen (re-aferen) dari gerakan subsistem dan informasi dari perifer berintegrasi secara konstan dalam prosesnya. Hal ini akan menyebabkan suatu penyesuaian sebelumnya dan disaat eksekusi gerakan yang disadari atau terencana. Menurut Guyton dan Hall (2006), mengenai bagian reseptor sensorik dari sistem saraf menjelaskan bahwa sebagian besar kegiatan dari sistem saraf yang diprakarsai oleh pengalaman indrawi akan menarik reseptor sensorik, termasuk reseptor visual di mata, reseptor pendengaran di telinga, reseptor sentuhan pada permukaan tubuh, atau jenis pengalaman reseptor indrawi yang lainnya. Pengalaman sensorik ini dapat menyebabkan reaksi langsung dari otak, atau memori pengalaman dapat disimpan di otak untuk reaksi dalam menit, minggu, atau tahun dan akan menentukan reaksi tubuh dimasa yang akan datang.
27
Gambar 2.10 Axis somatosensoris dari sistem saraf (Guyton dan Hall, 2006) Gambar 2.10 menunjukkan bahwa bagian somatik dari sistem sensorik, yang mentransmisikan sensorik informasi dari reseptor dari permukaan seluruh tubuh dan dari beberapa struktur yang mendalam. Informasi ini memasuki sistem saraf pusat melalui saraf perifer dan dilakukan segera untuk beberapa sensorik didaerah sumsum tulang belakang pada semua tingkatan, substansi reticular dari medula, pons, dan mesenchepalon dari otak, otak kecil, thalamus dan daerah dari korteks serebral (Guyton dan Hall, 2006).
28
Menurut Guyton dan Hall (2006), tentang bagian motorik dari sistem saraf (efektor) menjelaskan bahwa peran terakhir yang paling penting dari sistem saraf adalah untuk mengontrol berbagai kegiatan tubuh. Hal ini dicapai dengan mengendalikan kontraksi yang tepat dari kerangka otot-otot pada seluruh tubuh, kontraksi dari otot polos dalam organ internal, dan sekresi zat kimia aktif oleh kedua kelenjar eksokrin dan endokrin di banyak bagian tubuh. Kegiatan ini secara kolektif disebut fungsi motorik dari sistem saraf, otot dan kelenjar yang disebut sebagai efektor karena mereka merupakan struktur anatomi yang sebenarnya melakukan fungsi yang didikte oleh sinyal saraf.
Gambar 2.11 Axis saraf motorik skeletal dari sistem saraf (Guyton dan Hall, 2006)
29
Gambar 2.11 menunjukkan bahwa axis saraf motorik kerangka dari sistem saraf untuk mengontrol kontraksi otot rangka. Operasi sejajar dengan sumbu ini merupakan sistem lain yang berbeda, yang disebut sistem saraf otonom untuk mengendalikan otot halus, kelenjar, dan sistem internal tubuh lainnya. Pada gambar tersebut pula dijelaskan bahwa otot rangka dapat dikendalikan dari banyak tingkatan pada sistem saraf pusat termasuk sumsung tulang belakang, subtansi reticular pada medula, batang otak, dan mesenchepalon, basal ganglia, serebellum, dan korteks motorik. Masing-masing area tersebut memainkan peran sendiri secara spesifik, area yang lebih rendah terutama berkaitan dengan sistem otonom, respon otot seketika untuk rangsangan sensorik, dan pada area yang lebih tinggi untuk gerakan otot kompleks yang sengaja dikendalikan oleh proses berpikir otak (Guyton dan Hall, 2006). Masih menurut Guyton dan Hall (2006), tentang otak bagian bawah atau tingkat subkortikal menjelaskan bahwa banyak dari apa yang disebut kegiatan bawah sadar tubuh dikendalikan di daerah yang lebih rendah dari otak medula, pons, mesencephalon, hipotalamus, thalamus, otak kecil dan basal ganglia. Misalnya pada kontrol bawa sadar tekanan arteri dan respirasi dicapai terumata di medula dan pons. Pengendalian ekuilibrium adalah fungsi gabungan dari bagian-bagian yang lebih tua dari otak kecil dan substansi reticular medula, pons, dan mesencephalon. Refleks makan, seperti air liur dan menjilati bibir dalam merspons rasa makanan, dikendalikan oleh area di medula, pons, mesencephalon, amigdala dan hipotalamus. Dan banyal pola emosional, seperti kemarahan, kegembiraan, respon seksual, reaksi
30
terhadap rasa sakit dan reaksi terhadap kesenangan, masih dapat terjadi setelah kerusakan dari korteks serebral. Masih menurut Guyton dan Hall (2006), tentang otak bagian yang lebih tinggi atau tingkat kortikal menjelaskan bahwa setelah penjelasan sebelumnya pada banyak fungsi sistem syaraf yang terjadi pada kabel dan tingkat otak yang lebih rendah, kita bisa bertanya, apa fungsi yang tersisa untuk korteks serebral yang dilakukan. Jawabannya adalah kompleks tapi dimulai dengan fakta bahwa korteks serebral merupakan gudang memori yang sangat besar. Bagian dari korteks bisa berfungsi sendirian tapi selalu berhubungan dengan pusat-pusat yang lebih rendah dari sistem syaraf. Tanpa korteks serebral, fungsi pusat-pusat otak yang lebih rendah sering tidak tepat. Gudang besar informasi kortikal biasanya mengkonversi fungsi-fungsi untuk operasi yang menentukan dan tepat. Akhirnya, korteks serebral sangat penting untuk sebagian besar proses berfikir kita, tetapi tidak dapat berfungsi dengan sendirinya. Bahkan itu adalah pusat otak yang lebih rendah, bukan korteks, yang memulai terjaga di korteks serebral, sehingga membukan simpanan ingatan untuk mesin berpikir otak. Dengan demikian, setiap bagian dari sistem syaraf melakukan fungsi tertentu. Tapi itu adalah korteks yang membuka dunia informasi yang disimpan untuk digunakan oleh pikiran. 2.3 Neurorestorasi dan fisioterapi pasca stroke Menurut World Health Organiation (WHO, 2001), dalam konsep International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF-DH) yang merupakan panduan dan acuan bagi segenap profesional fisioterapis di seluruh dunia untuk
31
menerapkan pola pelayanan bagi pasien dan masyarakat dalam proses fisioterapi mencakup aspek assesmen, diagnosis, perencanaan, intervensi, evaluasi maupun target sasaran hasil terapi yang diharapkan pada setiap individu pasien. Sebagaimana yang telah diterangkan pada gambar dibawah ini:
Health Condition (disorder or disease)
Body Functions and Structures
Participation
Activities
Enviromental Factors
Personal Factors
Gambar 2.12 Interactions between the component of ICF-DH (WHO, 2001) Gambar 2.12 menjelaskan bahwa kondisi kesehatan individu itu terdiri dari problematika atau gangguan yang terjadi pada tingkat fungsi tubuh dan struktur tubuh individu yaitu fungsi fisiologis dari sistem tubuh manusia dan bagian anatomis dari tubuh manusia tersebut dan akan mengakibatkan timbulnya keterbatasan pada tingkat aktifitas kehidupan sehari-hari yaitu keterbatasan dalam mengeksekusi atau menyelesaikan
sebuah
tugas
atau
aktifitas
sehari-hari.
Kemudian
akan
mengakibatkan restriksi atau hambatan pada tingkat partisipasi yang lebih tinggi
32
yaitu masalah dalam melakukan aktifitas keterlibatan terhadap situasi kehidupannya sehari-hari. Dimana semua problematika, keterbatasan dan hambatan yang ada selalu akan dipengaruhi oleh faktor internal atau personal individu dan faktor eksternal atau lingkungan sekitar individu tersebut. Menurut Partridge (2002), menjelaskan bahwa prinsip umum dan tujuan keseluruhan dari pengobatan pasien stroke adalah melatih kembali kontrol motorik pasien sehingga kinerja motoriknya menjadi sedekat mungkin dengan kondisi normal, karena kinerja motorik normal adalah kinerja yang paling efisien. Pada tahap selanjutnya mungkin perlu untuk mengubah tujuan ini kearah bagaimana mengadopsi pendekatan yang lebih fungsional. Sementara kontrol motorik sedang pemulihan, sehingga menjadi penting untuk melestarikan panjang otot dan integritas bersama, yang keduanya beresiko saat pasien tidak dapat bergerak normal. Menurut Vuadens (2005), menjelaskan bahwa hasil (pemulihan pasca stroke) yang berbeda dapat dijumpai ketika pengukuran dilakukan secara bervariasi. Bahkan dalam hal neurorehabilitasi, dapat dievaluasi apakah pasien dapat pulang ke rumah atau kembali bekerja. Biasanya, orang yang menderita stroke harus beradaptasi terhadap kondisi kecacatannya (disability), dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari, karena tujuan utama pemulihan stroke adalah dapat kembali melakukan aktifitas sehari-hari. Tujuan ini membutuhkan skala khusus untuk menilai efektifitas terapeutik.Pengukuran hasil lainnya termasuk mengukur kemampuan berjalan (ambulasi), kemampuan gerak, dan kualitas hidup secara keseluruhan.
33
Menurut Sullivan (2007), terapi latihan adalah metode yang paling umum digunakan untuk mengatasi masalah mobilitas fisik setelah kerusakan otak. Terapi latihan menggabungkan prinsip-prinsip latihan ke dalam desain intervensi terapeutik dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan kinerja fungsional dan mengurangi disfungsi spesifik pada gerakan-gerakan terkait. Secara tradisional, program terapi latihan telah dirancang untuk memulihkan penurunan masalah mobilitas tertentu secara spesifik. Kemudian tren baru dalam terapi latihan adalah untuk menggabungkan prinsip pelatihan secara fisiologis dalam desain program terapi latihan yang meningkatkan kapasitas aerobik dan kekuatan pada indivisu dengan kerusakan otak. Sehingga pentingnya latihan berulang berorientasi pada praktik dalam tugas untuk pemulihan fungsi ektremitas atas dan berjalan telah ditunjukkan secara konsisten dalam uji klinis kerusakan otak pada pasien stroke. Beberapa level kesembuhan dalam peningkatan kemampuan fungsional dapat terjadi pada sebagian besar pasien pasca sroke dan kesembuhan total memungkinkan dapat terjadi walaupun prognosisnya sulit untuk diprediksi pada setiap individu. Program rehabilitasi dapat membantu proses peningkatan kemampuan fungsional dan memungkinkan pasien dalam mengembangkan strategi untuk mengatasi kecacatan dan menjadi proses pengobatan yang dapat diandalkan setelah periode stroke pasca akut (Pendlebury dkk., 2009). Upaya rehabilitasi stroke dilakukan untuk memulihkan pasien pada kondisi fisik, mental dan kemampuan sosial seperti sebelumnya. Pendekatan dilakukan termasuk pada peningkatan kemampuan fungsional seperti sebelumnya, mengkompensasi peningkatan akibat penurunan fungsi, modifikasi lingkungan, mencegah komplikasi
34
seperti stroke berulang, nyeri bahu, pemeliharaan dan pencegahan kerusakan fungsi. Mencapai kualitas hidup yang optimal merupakan tujuan akhir. Meskipun ada bukti kuat (evidence based) bahwa penambahan waktu untuk menjalani terapi dapat bermanfaat. Namun secara umum, hanya sekitar 5% pasien store yang menjalani terapu secara rutin (Pendlebury dkk., 2009). Penatalaksanaan fisioterapi dapat memberikan hasil peningkatan fungsi, walaupun belum begitu jelas jenis pendekatan yang terbaik. Fisioterapi melatih pasien dalam mencapai kemampuan duduk, dari duduk ke berdiri, berdiri dan berjalan. Fisioterapi juga membantu dalam penggunaan alat sanggahan kaki (splint dropfoot), alat batu tongkat dan kursi roda, dan mereka memberikan instruksi kepada penjaga pasien dalam melakukan transfer, mengangkat, berjalan dan latihan. Fisioterapi juga mampu mempertahankan lingkup gerak sendi dan fungsi AGA. Namun suntikan kortikosteroid atau ultrasound untuk nyeri bahu belum terbukti bermanfaat dan katrol (pulleys) di atas kepala dan peregangan pasif posisi bahu statis merupakan berbahaya dan tidak boleh digunakan (Pendlebury dkk., 2009). Tujuan utama pemulihan pasien pasca stroke adalah untuk mencegah komplikasi,
meminimalkan
gangguan,
dan
untuk
memaksimalkan
fungsi.
Pencegahan sekunder yang mendasar adalah untuk mencegah stroke berulang. Standar evaluasi dan alat ukur yang valid sangat penting untuk mengembangkan rencana pengobatan yang komprehensif. Berdasarkan bukti kuat (evidence based) program intervensi harus menuju pada kemampuan fungsional (Duncan, 2009).
35
2.4 Neuroplastisitas pada otak Menurut Edward (2002), tentang plastisitas otak menjelaskan bahwa plastisitas otak mendasari semua keterampilan belajar dan merupakan bagian sistem saraf pusat dalam keadaan sehat dan kerusakan otak individu dalam berbagai usia. Plastisitas dari korteks sensoris juga telah diinduksi melalui pelatihan prilaku. Hal ini menunjukkan bahwa sensorik stimulasi, jika diberikan secara efektif dan cukup sering dapat memperluas daerah sensorik dari korteks dan dimungkinkan memiliki implikasi untuk terapi. Perubahan plastisitas juga telah dibuktikan dalam sistem motorik sebagai hasil dari pelatihan motorik. Menurut Cohen dan Hallet (2003), tentang plastistas saraf dan pemulihan fungsi menjelaskan bahwa perhatian terhadap rehabilitasi neurologis dan perkembangan istilah seperti neuroplastisitas dan neurorehabilitation adalah ekspresi minat yang relatif baru dalam pemulihan fungsi. Namum saat ini telah terjadi kemajuan dalam pemahaman tentang fisiologi sinaptik. Pengaruh dasar pemikiran termasuk temuan bahwa faktor pertumbuhan saraf adalah dinyatakan berada dalam otak orang dewasa yang mengarah pada hipotesis bahwa mungkin akan terus mengarah pada efek tropik di kemudian, demonstrasi tubuh di sistem saraf pusat dan temuan bahwa potensi jangka panjang yang diinduksi oleh stimulasi berulang di hipokampus meningkatkan transmisi sinaptik. Masih menurut Cohen dan Hallet (2003), tentang plastisitas otak manusia pasca stroke menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan tantangan besar bagi banyak ahli saraf dan dokter. Banyak faktor yang menjadikan hal yang satu ini menjadi sulit
36
bagaimana terjadi dalam proses belajar. Disatu sisi gangguan umum stroke merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang pada banyak orang dewasa dengan berbagai tingkat gangguan neurologis residual. Disisi lain pasien stroke setiap pasien stroke berbeda dari yang lain dan sedikit perbedaan dalam lokasi lesi dan setiap kondisi pasien berpotensi besar masih menghasilkan perubahan yang diketahui dalam plastisitas dan rehabilitasi. Dalam kebanyakan kasu, kesembuhan spontan terjadi ke berbagai derajat pada bulan-bulan awal setelah episode kritis. Kecepatan peningkatan fungsi motorik semakin lambat selama tahun pertama tergantung pada tingkat keparahan defisit neurologis awal
dan perbedaan
mekanisme yang mungkin berperan dalam berbagai tahap pemulihan motorik. Pemulihan pada hari-hari awal setelah episode serangan awal difokuskan pada resolusi edema atau reperfusi dari penumdra iskemik. Tetapi mungkin juga bahwa daerah lain di otak akan mengambil alih fungsi dareah yang lesi dan memberikan kontribusi untuk pemulihan. Efek dasar neuroanatomi ini dalam sistem motorik bisa menjadi atau membuat koneksi kortikomotoneuronal dari berbagai daerah di korteks motorik. Pada tahap selanjutnya dapat dibayangkan bahwa serat tumbuh dari bertahan untuk menjalin kontak sinaptik baru yang berkontribusi membangun dasar pemulihan secara neuroanatomis. Menurut Byl (2003), menjelaskan bahwa dekade terakhir ini telah banyak penelitian di bidang ilmu syaraf dan neuroplastisitas. Secara jelas telah menunjukkan bagaimana sistem syaraf tersebut beradaptasi. Meskipun masih dalam periode pengembangan, namun telah diketahui bahwa plastisitas syaraf terjadi di semua tingkat syaraf di seluruh rentang kehidupan. Skala plastisitas dalam proses
37
pembelajaran keterampilan berkembang cepat secara progresif. Selama perubahan plastisitas kortikal tampak dijelaskan oleh adanya perubahan lokal dalam anatomi syaraf. Proses plastisitas kortikal pada anak berkembang lebih progresif yang ditunjukkan saat belajar berbagai keterampilan. Sedangkan pada orang yang lebih tua, pengolahan plastisitas kortikal merupakan integrasi proses neurologis yang lebih efisien dan efektif. Menurut Ganong (2003), tentang plastisitas pada otak manusia dan primata, dalam sebuah penemuan yang dilakukan pada hewan percobaan dan manusia menunjukkan kesamaan plastisitas pada korteks sensorik. Daerah kontralateral korteks motorik membesar membentuk pola sesuai dengan pergerakan yang dipelajari dengan satu jari tangan, perubahan ini dapat dideteksi pada minggu pertama dan maksimal pada minggu ke empat. Daerah output kortikal ke otot lain juga bertambah besar ketika proses pembelajaran motorik melibatkan otot-otot ini. Ketika lesi iskemik kecil pada focal dibuat di daerah tangan pada korteks motorik primata, daerah tangan akan muncul kembali dengan kembalinya fungsi motorik dibagian yang rusak yang berdekatan dengan korteks. Dengan demikian, peta dari korteks motorik tidak berubah dan mereka berubah berdasarkan pengalaman. Menurut Nikonenko dkk. (2005), tentang plastisitas bahwa rangsangan sinapsis plastisitas diyakini merupakan aspek yang penting dalam integrasi sinyal jaringan saraf. Sampai saat ini plastisitas pada dasarnya dipertimbangkan dalam hal perubahan fungsional dalam keberhasilan transmisi dan fokus utamanya pada potensialisasi peningkatan sinaptik jangka panjang. Peningkatan kekuatan terjadi oleh karena adanya periode singkat stimulasi dengan frekuensi tinggi. Pada
38
penelitian terkini secara intensif dilakukan pada mekanisme molekuler yang berkontribusi terhadap bentuk plastisitas telah terungkap bagaimana peran sentral yang dimainkan reseptor polisinaptik dalam proses ini. Menurut Hallett (2006), menjelaskan bahwa bagian korteks motorik berfungsi lebih dari sekedar pelaksana perintah motorik melainkan ia juga dimungkinkan dapat terlibat dengan aspek yang berbeda dari pembelajaran motorik. Korteks motorik dapat menunjukkan plastisitas yang cukup, dan kedua rangsangan yang ditujukan kepada otot di sejumlah wilayah atau kepada tugas tertentu yang dapat meluas pemetaannya atau menyusut tergantung pada jumlah penggunaannya. Namun ada juga peningkatan jangka pendek aktifitas korteks motorik ketika mempelajari tugastugas baru. Menurut Frolov dan Dufosse (2006), menjelaskan bahwa proses belajar menghasilkan plastisitas sinaptik yang terjadi diberbagai situs otak. Untuk gerakan pencapaian atau meraih lengan, terdapat tiga lokasi yang telah dipelajari yaitu sinapsis kortiko kortikal dari korteks serebral, sinapsis pararel sel serat purkinje dari korteks serebelum dan jalur serebelo-talamo-kortikal. Maksudnya adalah untuk memahami bagaimana ketiga lokasi tersebut secara proses adaptif berkerja sama untuk kinerja yang optimal. Dalam rumusannya menunjukkan bahwa setiap kombinasi linear perintah motorik otak dapat menghasilkan sinyal olivary yang mampu mendorong proses pembelajaran serebelum dan setiap aktifitas serat yang naik mengawasi pembelajaran serebelum dapat berasal dari generasi perintah otak timbul cukup awal untuk meningkatkan bahkan untuk menggantikan perintah ini sebelum kesalahan kinerja yang akan terjadi.
39
Sedangkan menurut Sullivan (2007), menjelaskan bahwa proses pembelajaran motorik merupakan proses yang berhubungan dengan praktek atau pengalaman yang mengarah pada perubahan yang relatif permanen dalam menghasilkan kemampuan gerakan-gerakan yang terampil dan tentang prinsip latihan fungsional dan akuisisi keterampilan motorik sebagaimana dijelaskan pada gambar dibawah ini.
Neuroplastisitas
Akuisisi Keterampilan Motorik
Prinsip Pembelajaran Motorik
Prinsip Latihan
Analisis Aktifitas Fungsional
Kelemahan Primer dan Sekunder
Gambar 2.13 Neuroplastisitas dan Akuisisi Keterampilan Motorik (Sullivan, 2007)
40
Menurut Nudo dan Dancause (2007), tentang korelasi saraf dan keterampilan motor kontrol menjelaskan bahwa karena banyak dasar yang sama menjelaskan bahwa proses adaptif neurologis diperkirakan terjadi pada kedua kondisi normal dan kerusakan otak. Agar membentuk proses anatomis dan plastisitas secara fisiologis yang mengarah pada pemulihan motorik secara fungsional setelah kerusakan otak terjadi maka diperlukan proses pelatihan yang dilakukan berulang-ulang dan akuisisi keterampilan motorik untuk memodulasi struktur dan fungsi normal otak yang tidak terluka atau rusak. Menurut
Lederman
(2010),
mejelaskan
bahwa
program
rehabilitasi
neuromuskular bukan hanya tentang berolahraga. Melainkan adalah tentang bagaimana menyediakan kognisi sensori-motor yang memfasilitasi pembelajaran motorik dalam sebuah adaptasi. Dengan menjadi bagian dari proses kontinum neuromuskuler, otot dapat menunjukkan adaptasi dramatis secara pararel ke pusat plastisitas di otak. Perubahan otot dapat dalam bentuk adaptasi yang panjang, hipertrofi dan perubahan dalam jenis serat dari otot tersebut. Adaptasi dari otot cenderung bersifat spesifik untuk jenis kegiatan yang dipraktekkan. 2.5 Pelatihan Mirror Neuron System Menurut Buccino (2006), menjelaskan bahwa tangan merupakan bagian yang sangat penting digunakan oleh manusia. Imitasi gerakan sering dianggap sebagai dasar dalam menuntaskan tugas kognitif. Terdapat evidence yang jelas bahwa imitasi merupakan bagian yang dikembangkan pada manusia. Imitasi gerakan menyiratkan observasi motorik, citra motorik dan aktualisasi pelaksanaan gerakan. Pada saat jeda
41
selama imitasi gerakan maka terjadi hubungan dengan pembentukan dan konsolidasi pola motorik baru. Terdapat juga evidence yang berkembang bahwa pengalaman dari stimulasi sehari-hari untuk berlatih intensif dapat menyebabkan neuron yang ada merubah konektifitas sinaptik dan membentuk organisasi reseptif yang baru. Yang telah diamati dalam sistem somatosensori dengan stimulasi saraf perifer, sehingga proses penyembuhan pada pasien stroke tergantung pada pendekatan yang dilakukan dan pengaruh lingkungan dan rangsangan pelatihan khusus yang dilakukan. Pilihan waktu intervensi juga penting, sehingga apakah waktu yang berbeda memberikan pengalaman tersendiri dalam proses pemulihan. Pada kondisi stroke, lingkungan homeostatik pada area infark terjadi proses trofik pertumbuhan pemancar reseptor dan hal ini dapat mendukung pembentukan sinapsis atau peningkatan arborization dendritik dan proses ini berperan dalam proses awal peningkatan kemampuan fungsional secara proporsional. Masih menurut Buccino (2006), juga menjelaskan bahwa imitasi motorik berperan pada proses pembelajaran motorik dan gerakan tangan pada pasien pasca stroke. Imitasi motorik merupakan suatu fungsi kognitif yang kompleks termasuk didalamnya observasi gerakan, imajinasi gerakan, dan eksekusi gerakan. Secara individual, observasi gerakan dan imajinasi gerakan dapat meningkatkan rangsangan pada jalur kortikospinal dan pola ini berintegrasi dengan input sensorik yang akan disimpan sebagai pola motorik untuk menghasilkan gerakan yang diperlukan. Maka proses imajinasi gerakan merupakan hal yang penting dalam proses peningkatan kemampuan fungsional motorik pada pasien stroke dan untuk mengarahkan pada proses peningkatan kemampuan fungsional secara alamiah dan berhubungan dengan
42
proses remediasi dan kompensasi tindakan pada pemulihannya. Karena dianggap lebih efisien dalam mencapai hasil secara fungsional. Menurut Iacoboni dan Mazziotta (2007), menjelaskan bahwa aktivasi neuron premotor selama pengamatan sederhana terhadap suatu tindakan adalah bagian fitur yang menarik dalam pemulihan fungsi motorik. Adanya gangguan motorik kronis dapat dilihat dalam sebagian besar pasien yang mengalami stroke. Secara umum observasi terhadap suatu gerakan menjadi suatu bentuk latihan yang digunakan sebagai dasar. Dalam sebuah penelitian dilakukan perbandingan antara dua kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen dilakukan observasi terhadap gerakan dengan mengamati video sehari-hari terhadap aktifitas lengan tangan sedangkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen terjadi perbaikan fungsi motorik yang signifikan. Pada kelompok kontrol tidak menunjukkan perubahan yang subtansial. Penelitian tersebut merupakan satu-satunya studi empiris yang pernah dilakukan tentang pengaruh observasi gerakan dalam suatu program peningkatan kemampuan fungsional. Tentang pelatihan MNS Iacoboni (2009), menjelaskan bahwa imitasi merupakan hal yang sudah melekat dan terjadi otomatis pada manusia, model psikologis dari imitasi mengasumsikan suatu yang tumpang tindih atau adanya link asosiasi yang kuat antara persepsi dan tindakan yang didukung oleh mirror neuron, sirkuit inti neuron dari imitasi terdiri dari area visual yang lebih tinggi (bagian posterior dari sulkus temporal superior) dan oleh frontoparietal MNS, empati diimplementasikan oleh simulasi dari keadaan mental orang lain, jaringan yang berskala besar untuk
43
empati terdiri dari MNS, insula dan sistem limbik, mirror neuron dipilih karena memberikan keuntungan adaptif intersubjektifitas.
Gambar 2.14 Skema representasi proses imitasi (Asten, 2009) Menurut Gallese (2009), menjelaskan bahwa mirror neurons merupakan neuron premotor yang dapat aktif apabila sebuah aksi tindakan dijalankan dan apabila mengobservasi apa yang dilakukan oleh orang lain. Neuron dengan sifat yang serupa juga ditemukan dalam sektor korteks parietal posterior. Seperti pada primata, motor neuron yang sama yang terjadi ketika ia menggenggam kacang juga diaktifkan ketika primata tersebut mengamati individu lain melakukan tindakan yang sama. Aksi pengamatan menyebabkan pada si pengamat mengaktifkan mekanisme saraf yang sama secara otomomatis yang dipicu oleh pelaksanaan tindakan tersebut. Yang baru dari temuan ini adalah fakta bahwa untuk pertama kalinya mekanisme saraf memungkinkan pemetaan langsung antara deskripsi visual dari aksi tindakan dan
44
pelaksanaannya yang telah diidentifikasi. Sistem pemetaan ini memberikan solusi yang ketat untuk masalah menerjemahkan hasil analisis visual dari gerakan yang diamati. MNS pada manusia secara langsung terlibat pada proses imitasi gerakan yang simpel, imitasi pembelajaran pada keterampilan yang kompleks, pada persepsi dari komunikasi tindakan, dan deteksi pada niat atau rencana tindakan. Arsitektur neurofunctional dari pelaksanaan struktur tindakan sistem premotor dan tindakan persepsi, imitasi dan imajinasi dengan hubungan saraf efektor motorik dan atau daerah korteks sensori. Ketika suatu aksi dijalankan atau diimitasi, jalur kortikospinal diaktifkan, dan menyebabkan eksitasi otot dan gerakan berikutnya. Ketika suatu tindakan diamati dan dibayangkan, maka eksekusi yang sebenarnya sedang dihambat. Jaringan motorik kortikal diaktifkan meskipun tidak semua komponen, kemungkinan besar, tidak dengan intensitas yang sama tetapi tindakan tidak diproduksi, itu hanya sebuah simulasi. Menurut Heyes (2009), menerangkan bahwa secara empiris mirror neurons dan kontra mirror neurons berkontribusi pada fungsi sosial kognisi, termasuk pemahaman aksi, prediksi aksi, imitasi, pengolahan bahasa dan pembentukan mental. Tantangannya menemukan apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya, sebagai ciri yang diperankan oleh mirror neurons di sistem pendukung sosialitas manusia yang kompleks. Mengenai gangguan pada MNS Cattaneo dan Rizzolatti (2009), menjelaskan bahwa sindrom atau disfungsi dari MNS secara klinis didasarkan pada gangguan perkembangan dari sistem saraf. Memang, disfungsi dari MNS dewasa ini dihipotesiskan pada gangguan spektrum autisme. Gangguan spektrum autisme adalah
45
yang paling mungkin karena merupakan gangguan polygenetic yang dinyatakan sebagai penurunan arsitektur materi abu-abu dan koneksi kortikokortikal intrahemisper. Secara klinis, beberapa defisit fungsional yang khas dengan gangguan spektrum autisme seperti defisit imitasi, empati emosional, dan kehendak berhubungan dengan orang lain, memiliki kedekatan yang jelas dengan fungsi MNS. Aspek lain yang relevan secara klinis dengan mirror system adalah rehabilitasi pada ektremitas atas pada pasien pasca stroke. Dewasa ini, beberapa pendekatan untuk pemulihan stroke telah dirancang dengan menggunakan teknik yang menginduksi plastisitas kortikal secara jangka panjang. Data plastisitas disebabkan oleh karena observasi gerakan atau timdakan menberikan dasar konseptual untuk aplikasi tindakan protokol observasi pada pemulihan stroke. Data awal menunjukkan bahwa pendekatan ini mungkin menghasilkan hasil klinis yang signifikan. Dalam makalahnya Keyser dan Gazzola (2010), menjelaskan bahwa mirror neurons didefinisikan sebagai suatu properti yang mana ia akan aktif bergejolak sepanjang suatu eksekusi dan observasi terhadap suatu aksi yang spesifik. Meskipun dalam sepuluh tahun belakangan ini baru ada bukti dasar atas percobaan yang dilakukan pada monyet, sampai saat ini ia menjadi dasar (evidence) secara tidak langsung bagi manusia dan akhirnya memberikan bukti kritis elektrofisiologi secara langsung bahwa manusia memiliki “mirror neurons”. Penelitian tambahan menunjukkan bahwa MNS pada manusia melampaui korteks premotor ventral dan lobus parietal inferior yang secara tradisional terkait dengan sistem ini. Menariknya, penelitian lain juga melaporkan bukti bahwa adanya eksistensi keberadaan “anti” mirror neurons, yang mungkin akan membantu kita memahami bagaimana otak kita
46
dapat melakukan simulasi motorik tanpa menggerakkan tubuh kita, dan bagaimana kita bisa membedakan tindakan kita sendiri dari yang kita amati. Kesimpulannya, setelah periode dimana ada modus yang mengklaim bahwa sebenarnya tidak ada bukti mirror neurons pada manusia, membawa kita dua lompatan lebih lanjut dalam kita memahami sistem ini, kita sekarang tahu bahwa manusia memiliki mirror neurons, dan kita juga tahu bahwa mirror neurons tidak terbatas pada premotor dan korteks parietal inferior saja. Kita juga melihat bahwa neuron tertentu tampaknya memiliki properti “anti mirror”. Dalam kombinasi dengan mirror neurons, ia bisa membantu otak melakukan simulasi batin terhadap tindakan orang lainnya sementara pada saat yang sama memblokir output motorik terbuka secara selektif dan disambigu melakukan tindakan. Tentang pelatihan mirror neurons, seorang profesor fisiologi manusia, Rizzolatti (2011), menjelaskan bahwa mirror neurons seperti setiap kali kita melakukan tindakan dengan tujuan. Misalnya mengambil sebuah gelas untuk minum. Bahkan lebih luar biasa, ketika kita menonton orang lain melakukan tindakan yang sama, maka “neuron” kita akan menyala atau bergejolak, kita akan memiliki “salinan dari tindakan kita” dan hal ini memungkinkan anda untuk memahami apa yang orang lain lakukan secara implisit, dimana otak kita mencerminkan prilaku mereka. Fungsi mirror neurons berbeda dengan neuron motorik, yang akan aktif setiap kali kita menggerakkan otot, terlepas dari tindakan yang dilakukan. Mirror neurons aktif bukan karena adanya gerakan, akan tetapi karena tujuan dari gerakan-gerakan secara keseluruhan. Namun masih banyak yang harus ditemukan tentang peran mirror neurons dalam memungkinkan manusia untuk memahami satu sama lain dan mirror
47
neurons dimungkinkan telah mendorong pembentukan bahasa manusia, karena ia memungkinkan dua orang berbagi pemahaman dari satu kegiatan. Sebagai contoh, kita masih akan tahu secara implisit apa yang orang lain lakukan ketika mereka minum air, bahkan jika kita tidak punya kata untuk menggambarkan prilaku mereka. Menemukan kata-kata sederhana bagi mereka merupakan langkah awal terhadap komunikasi verbal. 2.6 Pelatihan Constraint Induced Movement Therapy Pelatihan CIMT merupakan salah satu pendekatan yang menggabungkan pelatihan imtensif pada AGA yang terkena sakit atau kelemahan dengan cara memberi tahanan pada sisi bagian lengan yang tidak sakit atau kelemahan. Alasannya adalah dengan menggabungkan kedua unsur tersebut diharapkan akan terwujud peningkatan potesi secara penuh pada sisi lengan yang sakit atau kelemahan dengan program pemulihan AGA secara fungsional berkelanjutan (Nadler, 2007). Menurut Sullivan (2007), tentang inovasi dalam pemulihan fisik bahwa pelatihan CIMT dan penggunaan latihan treadmill dengan dukungan berat badan merupakan contoh inovasi dalam pemulihan fisik yang berasal dari dasar ilmu pengetahuan tentang neuroplastisitas dan neurorecovery dan memasukkan prinsipprinsip pembelajaran motorik dan latihan ke dalam intervensi terapeutik dan tujuan dari masing program pemulihan tersebut adalah untuk meningkatkan keterampilan dalam melakukan tugas-tugas secara fungsional. Pelatihan CIMT merupakan intervensi latihan dimana penggunaan perangkat tahanan dan praktik penggunaan
48
atau pemberian tugas secara intensif dalam rangka pemulihan AGA pada individu dengan kondisi hemiparese.
Gambar 2.15 Pelatihan CIMT (Sullivan, 2007) Pelatihan CIMT merupakan salah satu teknik dalam neurorehabilitasi yang bertujuan meningkatkan fungsi motorik dan meningkatkan penggunaan ekstremitas atas hemiparetik dalam kegiatan sehari-hari (Wittenberg dan Schaechter, 2009). Pada CIMT pasien diharuskan menggunakan sisi tangan yang sakit atau yang mengalami kelemahan saat melakukan program terapi dan aktivitas sehari-hari sementara sisi tangan lain yang sehat atau yang tidak mengalami kelemahan sengaja ditahan atau dipaksa agar tidak digunakan untuk bergerak melakukan aktifitas sehari-hari tersebut. Termasuk dalam melakukan stabilisasi objek kecuali saat beristirahat (Hayner dkk., 2010).
49
Masih menurut Hayner dkk. (2010), dalam hasil penelitiannya menerangkan bahwa terjadi peningkatan skor yang signifikan yang ditemukan dalam pengukuran WMFT dan Canadian Occupational Performance Measure (COPM) pada semua waktu di kedua group yang diteliti dan tidak dijumpai perbedaan yang signifikan diantara group yang dijumpai pada tes tersebut dan memberi kesimpulan bahwa terapi aktifitas dengan intensitas tinggi menggunakan pelatihan CIMT atau pendekatan bilateral dapat meningkatkan fungsi AGA atau ekstremitas atas bagi pasien yang menderita disfungsi ekstremitas atas setelah kecelakaan serebrovaskular (cerebrovascular accident/CVA). Penelitian tersebut dilakukan dengan desain menghubungkan dua group, percobaan acak dengan stratifikasi terhadap tingkat keparahan disfungsi ekstremitas atas. Singkatnya, ada dua kemungkinan melalui mekanisme mana fungsi motorik bisa diperbaiki. Pertama, efek langsung pada jalur langsung (direct pathway) yaitu meningkatkan rangsangan kortikal pada hemisper yang tidak dominan melalui peningkatan penggunaan tangan yang tidak dominan akan menghasilkan peningkatan fungsi motorik. Kedua, efek tidak langsung (indirect pathway) yaitu meningkatkan rangsangan tersebut dari penurunan rangsangan pada hemisper yang dominan. Studi menunjukkan bahwa prosedur modifikasi CIMT hanya dikaitkan dengan mekanisme pertama, sebaliknya, bahwa prosedur modifikasi CIMT aktif dikaitkan dengan mekanisme langsung maupun tidak langsung (Williams dkk., 2010).
50
Gambar 2.16 Mekanisme Rangsangan Kortikal Direct Pathway (Williams dkk., 2010)
Gambar 2.17 Mekanisme Rangsangan Kortikal Indirect Pathway (Williams dkk., 2010)
51
Peningkatan fungsi motorik pada kelompok yang menerima prosedur latihan motorik unilateral merupakan intervensi yang efektif untuk meningkatkan performa motorik di tangan yang tidak dominan. Sebuah analisis melaporkan bahwa pada uji klinis yang dilakukan secara acak melihat penggunaan pelatihan CIMT untuk meningkatkan fungsi ekstremitas atas. Pada analisis ini menyimpulkan bahwa CIMT dapat meningkatkan fungsi ekstremitas atas secara lebih baik dari pada pengobatan alternatif. Selain itu penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa peningkatan fungsi motorik yang berhubungan dengan peningkatkan rangsangan kortikal pada hemisper yang terkena (stroke). Dengan demikian, tujuannya adalah untuk meningkatkan aktifitas pada hemisper yang tidak dominan dan menurunkan aktifitas pada hemisper yang dominan. Hal ini mungkin dapat dilihat sebagai bentuk “CIMT yang terpusat” yaitu memaksa kenaikan rangsangan dalam hemisper yang kurang digunakan (dalam kasus ini, dalam hemisper yang tidak dominan) dimana terjadi induksi perubahan rangsangan kortikal melalui modulasi perifer (Williams dkk., 2010). Elemen-elemen dari CIMT termasuk didalamnya upaya membatasi sisi tangan yang sehat atau tidak terpengaruh akibat stroke untuk mendorong atau membantu penggunaan pada sisi tangan yang sakit atau terpengaruh akibat stroke, kumpulan praktik dari sisi tangan yang terpengaruh tersebut untuk belajar fasilitasi gerakan dan fungsi, menggunakan tehnik secara intensif untuk melatih sisi tangan yang terpengaruh tersebut (Tariah dkk., 2010) Masih menurut Tariah dkk. (2010), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa para pasien stroke dalam kelompok CIMT menunjukkan hasil peningkatan yang
52
signifikan secara statistik pada semua umpan balik fungsi motorik lengan atas. Namun, meskipun pada kelompok CIMT menunjukkan hasil yang signifikan secara nemerik, ia tidaklah lebih signifikan jika dibandingkan dengan yang dilihat pada kelompok Neurodevelopmental Treatment (NDT). Pelaksanaan CIMT sangat berhubungan antara pengasuh dengan dukungan para terapis (fisioterapis) yang menjanjikan pendekatan untuk meningkatkan fungsi pada sisi ekstremitas atas yang terpengaruh akibat stroke. Namun, studi lanjutan masih perlu memberikan konfirmasi atas penemuan ini. Metode penelitian yang dilakukan dengan studi pada pre-tes dan post-tes secara acak, dengan sepuluh orang pasien stroke menerima perlakuan modifikasi CIMT di rumah sementara delapan orang pasien stroke menerima perlakuan NDT secara konvensional. Fokus dari CIMT pada tangan hemiplegi dimana pada sisi tangan yang kurang terpengaruh diberi tahanan terkendali sedangkan pada sisi tangan yang lebih terpengaruh diberikan latihan secara terstruktur. Intervensi dilakukan selama dua jam perhari, tujuh hari selama seminggu sampai dengan dua bulan dan umpan balik pengukuran fungsi motorik tangan dievaluasi dengan menggunakan WMFT sebagai alat ukur primer sedangkan Motor Activity Log (MAL) dan Fugl-Meyer Assessment (FMA) digunakan sebagai alat ukur sekunder. Bagi penderita pasca stroke, mengembalikan kekuatan dan fungsi pada bagian tangan yang lemah adalah sebuah harapan dan tantangan. Pada CIMT dilakukan latihan secara intensif pada bagian tangan yang lemah disaat yang bersamaan memberi tahanan untuk tidak menggunakan sisi tangan yang kuat. Sisi tangan yang kuat biasanya dapat dibungkus atau diselimuti oleh kain lunak atau menggunakan
53
gendongan lengan (arm-sling) selama sebagian atau sepanjang hari, guna mendorong agar penderita tersebut menggunakan sisi tangan yang lemah dalam menyelesaikan aktifitas sehari-hari dan suatu tugas pekerjaan menyiapkan makan dan minum, aktifitas bermain seperti melempar bola, menulis, dan berjalan. Umumnya CIMT ini pula perlu dilakukan secara intensif, latihan yang dilakukan secara berulang-ulang pada bagian sisi tangan yang lemah dan biasanya diberikan selama 90% waktu bangun dalam sehari (sekitar tiga belas jam sehari) periode selama dua minggu, hal ini dapat dilakukan di klinik, di rumah, dan dimanapun saja ia ingin berada. Modifikasi CIMT dapat dilakukan dengan mengurangi jam dalam sehari namun periodenya ditingkatkan lebih dari dua minggu dan latihan ini memerlukan kesepakatan, disiplin diri dan komitmen yang tinggi (Menon, 2010).
A
B
Gambar 2.18 Aplikasi CIMT A.Saat Duduk, B.Saat Berjalan (Menon, 2010) Setelah stroke, sekitar 30-60% pasien dilaporkan mengalami keterbatasan yang cenderung menetap pada ekstremitas atas dan ketidakmampuan menggunakan sisi
54
lengan yang sakit untuk aktifitas sehari-hari secara normal. Sebagian besar mereka hanya menggunakan sisi lengan yang sehat saja dalam melakukan pekerjaan. Prilaku ini bisa mengakibatkan fenomena “belajar tidak menggunakan (learned non-use)”, satu mekanisme yang telah diusulkan untuk menjelaskan sebagian penurunan penggunaan ekstremitas atas pasca stroke dan yang menghambat proses pemulihan gerakan dan fungsi dari anggota tubuh yang terkena sakit. CIMT dan variannya, telah dianjurkan untuk menjadi sarana untuk memfasilitasi pemulihan motorik bagi pasien stroke. Aturan khusus pada teknik CIMT adalah melibatkan tahanan penggunaan dari tungkai atau ekstremitas yang sehat dan dengan memberikan kinerja latihan yang intensif dari anggota tubuh yang terkena sakit melalui penggunaan dalam bentuk gerakan. Dimana hal tersebut akan menunjukkan adanya perubahan plastisitas saraf di motor korteks dari hemisper ipsilesional selain manfaat fungsional gerakan ekstremitas atas setelah intervensi rehabilitasi pada pasien dengan stroke kronis (Lin dkk., 2010). Masih menurut Lin dkk. (2010), dalam penelitian yang dilakukan menjelaskan bahwa format distribusi kelompok CIMT menunjukkan bahwa adanya perbaikan yang signifikan dalam pengukuran FMA dan MAL dibandingkan dengan kelompok intervensi kontrol dan pada data MRI juga menunjukkan bahwa bentuk distribusi dari kelompok CIMT mengalami aktivasi peningkatan secara signifikan pada bagian hemisper kontralesional selama gerakan tangan yang terpengaruh dan yang tidak terpengaruh sedangkan pada kelompok intervensi kontrol menunjukkan suatu penurunan aktivasi pada sensorimotor korteks dari bagian hemisper ipsilesional selama gerakan tangan yang terpengaruh. Sasaran dan desain penelitiannya adalah
55
studi perbandingan terhadap efek perlakuan CIMT dengan kelompok intervensi kontrol pada perbaikan motorik dan reorganisasi otak pasca stroke yang diteliti terhadap dua kelompok yang diacak dengan pengukuran pre-tes dan post-tes. Tigabelas pasien dengan stroke secara acak sebagian diberikan perlakuan CIMT (n=5) dan sebagian yang lainnya menjadi kelompok intervensi kontrol (n=8). Pengukuran hasilnya menggunakan FMA, MAL dan dengan pemeriksaan The Functional MRI. 2.7 Pengukuran Fungsional Anggota Gerak Atas Ada banyak instrumen atau alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur fungsional AGA diantaranya adalah tes WMFT. Menurut Derenzo dan Fritz (2010), menjelaskan bahwa WMFT adalah pengukuran berbasis laboratorium yang digunakan untuk menilai fungsi motorik AGA. Tes ini melakukan kuantitatifikasi kemampuan gerakan ekstremitas atas berdasarkan ukuran waktu terhadap satu atau group lingkup gerakan sendi dan tugas fungsional. Gerakan progresif dari proksimal ke distal, tes ini terdiri dari limabelas item, dua item merupakan pengukuran kekuatan dan kualitas skala fungsi motorik untuk masing-masing item waktunya. Kualitas skala fungsi motorik terdiri dari enam poin skala kemampuan fungsional dimana “nol” berarti tidak terlihat upaya keterlibatan lengan sama sekali sedangkan “lima” berarti terlihat pasrtisipasi gerakan dan terlihat normal. Tugas satu sampai dengan enam dari WMFT berisi ukuran waktu untuk segmen gerakan sedangkan pada tugas tujuh sampai dengan ke limabelas berisi ukuran waktu untuk intergrasi gerakan fungsional. Kecepatan diukur dimana tugas-tugas fungsional dapat diselesaikan dengan tuntas dan kualitas gerakan saat menyelesaikan tugas diukur
56
dengan kemampuan fungsional. Satuan waktu maksimum dalam menuntaskan suatu tugas item yang diperbolehkan adalah seratus dua puluh detik. WMFT dimulai dengan item yang sederhana seperti menempatkan tangan di atas meja dan diteruskan ke tugas yang lebih menantang tugas motorik halus seperti menyusun catur atau mengambil klip kertas. Menurut Derenzo dan Fritz (2010), penjelasan instruksi tugas dalam tes WMFT adalah: 1. Lengan ke meja (samping): subjek berupaya untuk meletakkan lengan ke atas meja sambil abduksi pada bahu 2. Lengan ke kotak (samping): subjek berupaya untuk meletakkan lengan ke atas kotak sambil abduksi pada bahu 3. Memperpanjang siku (samping): subjek berupaya untuk mencapai seluruh meja dengan memperpanjang siku (ke samping) 4. Memperpanjang siku (ke samping), dengan beban: subjek berupaya untuk mendorong sanbag (karung pasir) terhadap luar sendi pergelangan tangan melewati meja sambil memperpanjang siku 5. Tangan ke meja (depan): subjek berupaya untuk meletakkan tangan ke atas meja 6. Tangan ke box (depan): subjek berupaya untuk meletakkan tangan ke atas box 7. Meraih dan mengambil (depan): subjek berupaya untuk menarik benda beban 1 kg diseluruh meja dengan menggunakan elbow fleksi dan pergelangan tangan dilengkungkan
57
8. Mengangkat kaleng (depan): subjek berupaya untuk mengangkat kaleng dan membawanya mendekat ke bibir dengan pegangan silinder 9. Mengangkat pensil (depan): subjek berupaya untuk mengambil pensil dengan menggunakan pegangan mengusap rahang 10. Mengambil klip kertas (depan): subjek berupaya mengambil klip kertas dengan menggunakan pegangan menjepit 11. Menumpuk papan main dam (depan): subjek berupaya menumpuk papan main dam ke arah tengah papan 12. Membalik kartu (depan): menggunakan pegangan menjepit, subjek berupaya membalik masing-masing kartu keatas 13. Memutar kunci dalam gembok (depan): menggunakan pegangan menjepit, sambil mempertahankan kontak, subjek memutar kunci secara penuh ke kiri dan ke kanan 14. Melipat handuk (depan): subjek memegang handuk, lipat memanjang, dan gunakan tangan yang sedang di tes untuk melipat handuk separuh lagi 15. Mengangkat basket (berdiri): subjek mengambil bola basket dengan pegangan menggenggam dan meletakkannya ke atas meja disisi samping Masih menurut Derenzo dan Fritz (2010), skala pengukuran kemampuan fungsional dalam tes WMFT adalah: 1. Nilai 0, jika tidak ada upaya sama sekali dari AGA yang di tes. 2. Nilai 1, jika AGA yang di tes tidak bisa berpartisipasi secara fungsional, namun, ia mencoba untuk menggunakan AGA, pada sisi AGA unilateral
58
yang tidak di tes boleh digunakan untuk membantu gerakan AGA yang sedang di tes. 3. Nilai 2, jika bisa melakukan, tapi membutuhkan bantuan dari AGA yang tidak di tes untuk sedikit menyesuaikan diri atau merubah posisi, atau membutuhkan lebih dari dua kali percobaan untuk menyelesaikan tugas, atau diselesaikan dengan sangat lambat. Pada tugas bilateral AGA yang di tes akan dipakai hanya sebagai penolong. 4. Nilai 3, jika bisa melakukan, tapi gerakan dipengaruhi beberapa derajat oleh sinergi atau dilakukan secara perlahan atau adanya usaha dorongan. 5. Nilai 4, jika bisa melakukan, gerakan dilakukan secara normal, tapi masih sedikit lambat; kurang teliti, koordinasi halus atau kurang stabil. 6. Nilai 5, bisa melakukan, gerakan dilakukan atau diselesaikan secara normal.
59
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Penelitian Berdasarkan dari uraian latar belakang dan kajian pustaka maka peneliti akan melakukan upaya penelitian yang akan membandingkan penggunaan atau penerapan dari pelatihan MNS dan pelatihan CIMT yang sama-sama diaplikasikan pada proses pemulihan fisik dan peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien pasca stoke dengan kerangka berpikir bahwa sebenarnya dengan adanya dukungan dari teori plastisitas otak maka pasien stroke yang telah mengalami disfungsi atau kelemahan pada bagian ektremitas atas nya dapat berpotensi pulih kembali secara fungsional berdasarkan tingkat intensifitas latihan dan jenis metode pendekatan program latihan yang pilih untuk diterapkan. Pada pelatihan MNS pasien akan dirangsang untuk melakukan gerakan fungsional tertentu sesuai dengan apa yang telah diobservasi sebelumnya oleh pasien. Observasi gerakan dilakukan oleh pasien dalam rangka proses imitasi yang kemudian pasien akan menjadikannya sebagai suatu memori gerakan yang tersimpan di kortek yang akan mengaktifkan saraf pada jalur kortikospinal dan gerakan fungsional yang akan dilakukan tersebut terlebih dahulu diimajinasikan oleh pasien agar dapat merangsang proses plastisitas otak pada pusat motorik dan merangsang timbulnya gerakan yang lebih tepat dan sesuai dengan gerakan yang sudah di observasi sebelumnya dan hal ini dianggap dapat membantu proses pembelajaran sensorik dan motorik pasien pasca stroke dalam rangka melakukan upaya neurorehabilitasi atau 59
60
neurorestorasi untuk pemulihan fisik dan meningkatkan kemampuan fungsional AGA yang mengalami kelemahan dan keterbatasan gerak akibat stroke yang dialaminya. Pada pelatihan CIMT pasien akan dirangsang untuk menggerakkan ekstremitas atas yang mengalami kelemahan dengan cara memberi tahanan agar sisi ektremitas atas yang berlawanan tidak bergerak, adapun bentuk tahanan yang dilakukan dapat berupa pembalutan pada bagian lengan dan tangan yang kuat dengan menggunakan kain halus atau gendongan tangan untuk ektremitas yang lebih kuat tersebut, sehingga dengan demikian pasien akan mau tidak mau terpaksa menggerakan atau menggunakan lengan dan tangan yang lemah dalam melakukan aktifitas sehari-hari sesuai arahan dan bimbingan dari fisioterapisnya. Kedua pelatihan ini memiliki perbedaan dalam hal pemberian input rangsangan pada saat proses awal sebelum timbulnya suatu eksekusi gerak yang dilakukan oleh AGA
yang lemah
akibat
stroke,
dan
memiliki
kesamaan
tujuan
yaitu
mengembangkan kemungkinan adanya potensi plastisitas otak pada sekitar area yang mengalami lesi akibat stroke. Dalam penelitian ini, peneliti berpikir bahwa potensi pemulihan kemampuan fungsional AGA pasien stroke tersebut akan dapat lebih ditingkatkan dengan menerapkan kedua pelatihan tersebut. Namun masih perlu pembuktian lebih lanjut dengan mencoba menerapkan pelatihan keduanya pada masing-masing kelompok perlakuan yang akan diteliti. Adapun pengukuran atau penilaian pre-tes dan post-tes kemampuan fungsional AGA pasien akan menggunakan instrumen WMFT sebagai alat ukur yang dianggap paling sesuai oleh penulis dalam konteks kedua pelatihan tersebut.
61
3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir maka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut: Faktor Internal:
Faktor Eksternal:
1. 2. 3. 4. 5.
1. 2. 3. 4. 5.
Usia Jenis kelamin Kemampuan kognisi Dosis latihan Riwayat sakit : Tipe stroke, Topis lesi, Jenis lateralisasi,dll
Motivasi keluarga Kondisi lingkungan rumah Faktor resiko Pola makan dan gizi Faktor emosi : depresi, stress, dll
Pasien Penderita Stroke
Penerapan Intervensi Fisioterapi dengan konsep Pelatihan Mirror Neuron System (MNS)
Penerapan Intervensi Fisioterapi dengan konsep Pelatihan Constraint Induced Movement Therapy (CIMT)
Peningkatan Kemampuan Fungsional AGA: Wolf Motor Function Test (WMFT)
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
62
3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian pustaka, kerangka berpikir dan konsep penelitian maka hipotesis penelitian yang dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Pelatihan MNS dapat meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke. 2. Pelatihan CIMT dapat meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke. 3. Pelatihan
MNS
tidak
berbeda
dengan
pelatihan
CIMT
dalam
meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke.
63
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimental (experimental research). Dengan rancangan penelitian membandingkan dua kelompok yang samasama mengalami kondisi stroke fase pemulihan fisik dan masing-masing diberikan penanganan program latihan fisioterapi dengan pelatihan yang berbeda. Pada kelompok pertama diberikan perlakuan pelatihan MNS sedangkan kelompok kedua diberikan perlakuan pelatihan CIMT. Pengukuran atau tes dilakukan pada saat sebelum dan sesudah perlakuan dengan rancangan pre test and post test control group design. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.1 dibawah ini.
P1 O1
O2
.
P
R
S
RA
P2 O3
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
63
O4
64
Keterangan gambar: P : Populasi S : Sampel R : Randomisasi RA : Random Alokasi P1 : Perlakuan terhadap kelompok observasi 1 dengan pelatihan MNS P2 : Perlakuan terhadap kelompok observasi 3 dengan pelatihan CIMT O1 : Kelompok observasi 1 sebelum perlakuan pelatihan MNS, kemampuan fungsional AGA diukur dengan instrumen WMFT O2 : Kelompok observasi 2 setelah perlakuan pelatihan MNS, kemampuan fungsional AGA diukur dengan instrumen WMFT O3 : Kelompok observasi 3 sebelum perlakuan pelatihan CIMT, kemampuan fungsional AGA diukur dengan instrumen WMFT O4 : Kelompok observasi 4 setelah perlakuan pelatihan CIMT, kemampuan fungsional AGA diukur dengan instrumen WMFT 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Poliklinik Fisioterapi Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng dan Klinik Stroke Carmel di Jakarta Barat. Waktu penelitian dilakukan pada jam pelayanan fisioterapi sesuai dengan jam layanan di masing-masing lokasi sekitar pukul 08.00 – 12.00 WIB. Penelitian dilakukan selama dua sampai dengan tiga bulan yang dimulai pada tanggal 01 maret 2013 sampai dengan tanggal 01 juni 2013. 4.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam ruang lingkup program latihan fisioterapi, stimulasi dan fasilitasi fisioterapi terhadap pasien stroke pada fase pemulihan fisik setelah fase akut mereka sudah terlewati dan sedang menjalani program fisioterapi
65
rawat jalan di klinik maupun rumah sakit sesuai lokasi yang telah ditentukan. Secara lebih spesifik penilaian dan pengukurannya fokus pada peningkatan kemampuan fungsional AGA sedangkan populasi dan sampel nya dibatasi dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang dibahas di bagian berikutnya pada penelitian ini. 4.4 Penentuan Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian yang dilakukan terdiri dari proses pemilihan populasi yang dipilih kemudian ditentukan sejumlah sampel yang diteliti dan dianalisis. Sebagaimana dijelaskan berikut ini: 4.4.1 Variabilitas populasi Populasi yang diteliti adalah pasien atau klien yang datang berobat dalam rangka meningkatkan kemampuan fungsional AGA atau restorasi fisik (physical restoration) fisioterapi dengan kondisi pasca stroke fase pasca akut di klinik fisioterapi yang telah ditentukan. Pada jam pelayanan masing-masing klinik. Sejumlah 26 orang pasien. 4.4.2 Kriteria subjek Subjek penelitian yang dilakukan yaitu sampel dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut: 1. Kriteria inklusi adalah: a. Bersedia diteliti sebagai subjek b. Laki-laki dan wanita usia 32 – 73 tahun c. Menderita stroke fase pasca akut dan teridentifikasi mengalami gangguan kemampuan fungsional pada AGA
66
d. Hasil pengukuran kognisi mini mental state exam (MMSE) adalah normal atau skor antara 24 – 30 e. Hipertensi terkontrol 2. Kriteria eksklusi adalah: a. Menderita komplikasi salah satu atau kedua dari komplikasi pada ekstremitas atas yang diteliti: i. shoulder pain syndrom pasca stroke ii. subluksasi shoulder joint b. Menderita komplikasi akibat stroke lainnya seperti : i. bronchopneumonia ii. gangguan kesadaran iii. penyakit jantung koroner iv. gangguan psikososial 3. Kriteria pengguguran (drop out) adalah: a. Bersedia diteliti sebagai subjek namun tidak bisa berkerja sama dalam penelitian b. Subjek tidak mampu menyelesaikan program penelitian sesuai dengan rencana dan program latihan yang telah ditentukan c. Subjek tidak melakukan prosedur penelitian dengan baik sesuai arahan peneliti 4.4.3 Besaran sampel Sampel penelitian yang diteliti adalah dengan menggunakan rumus Pocock (2008) sebagai berikut:
67
n
2 2 xf , 2 1 2
(1)
Gambar 4.2 Rumus Pocock (2008) Dimana : n
: besar sampel
: standar deviasi
: batas kemaknaan dipilih 5% atau 0,05
: kekuatan (power) penelitian 0,95 ( = 0,05)
f(,)
: konstanta berdasarkan tabel : 13,0 (dari tabel Value of f(,))
1
: rerata sebelum perlakuan (sebelum pelatihan pendahuluan)
2
: rerata penurunan yang diestimasi (setelah pelatihan pendahuluan) Berdasarkan rumus (1) dan penelitian pendahulan atau hasil penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya oleh Tariah dkk. (2010) tentang CIMT dengan alat ukur WMFT maka diketahui bahwa nilai (standar deviasi) = 0,43 dan nilai 1 = 2,96 sedangkan nilai 2 = 3,62 sehingga data tersebut dapat disubstitusikan ke rumus Pocock (2008) sebagai berikut : 2(0,43)2 𝑛= 3,62 − 2,96
𝑛=
2
13
0,37 13 0,44
𝑛 = 11,04 Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah sampel pada penelitian ini setelah dibulatkan maka awalnya ditetapkan sejumlah 12 pasien dan ditambah 20% sebagai
68
prakiraan terhadap sampel yang gugur (drop out) menjadi 14 sampel untuk setiap kelompok perlakuan pelatihan sehingga total rencana keseluruhan sampel pada kedua kelompok perlakuan pelatihan MNS dan CIMT adalah sejumlah 28 responden (subjek penelitian). Namum setelah pelaksanaan penelitian dilakukan hanya didapatkan 26 responden dengan jumlah 13 orang pasien pada masing-masing kelompok. 4.4.4 Teknik penentuan sampel Sampel yang telah diambil dari populasi telah ditargetkan dan dapat dijangkau oleh peneliti adalah dengan menggunakan teknik sampling sebagai berikut : 1. Melakukan pemilihan sejumlah sampel dari seluruh populasi yang didapat di tempat yang ditargetkan yang terindikasi menderita stroke fase pasca akut sesuai kriteria inklusi yang telah ditentukan. 2. Sejumlah sampel yang terpilih diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi yang telah ditentukan. 3. Melakukan penentuan sampel berdasarkan pasien yang berkunjung dan dijumpai pada saat penelitian selama periode penelitian sejumlah yang didapat sesuai besaran sampel dari rumus tersebut dan melakukan pre-tes untuk mengetahui hasil pengukuran atau penilaian awal. 4. Kemudian melakukan pembagian kelompok menjadi dua kelompok perlakuan intervensi dengan penentuan secara acak sederhana terhadap semua sampel tersebut untuk di alokasi kan sebagai subjek perlakuan untuk masingmasing pelatihan yang diterapkan dalam penelitian.
69
4.5 Variabel Penelitian Variabel penelitian yang telah diteliti dijelaskan pada indentifikasi, klasifikasi dan definisi operasional variabel sebagai berikut: 4.5.1 Indentifikasi dan klasifikasi variabel Variabel yang teridentifikasi dan diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Variabel bebas a. Pelatihan MNS b. Pelatihan CIMT 2. Variabel tergantung Kemampuan fungsional AGA yang dinilai atau diukur dengan hasil tes instrumen WMFT 3. Variabel kontrol a. Usia b. Jenis kelamin c. Kemampuan kognisi d. Dosis latihan e. Riwayat sakit : Tipe stroke, Topis lesi, Jenis lateralisasi,dll 4.5.2 Definisi operasional variabel Definisi operasional variabel adalah sebagai berikut : 1.
Pelatihan MNS yaitu penerapan pendekatan latihan fungsional AGA pasien stroke untuk AGA yang mengalami kelemahan dengan memberikan observasi
70
gerakan fungsional yang diinginkan agar diimitasi oleh pasien, diimajinasikan oleh pasien dan disimpan dalam memorinya untuk kemudian ditimbulkan dalam eksekusi gerakan pada AGA yang lemah tersebut secara fungsional. Pada penilitan ini akan dilakukan pelatihan MNS untuk subjek yang diteliti selama dua bulan dengan frekuensi kedatangan satu atau tiga kali dalam seminggu dan selama tiga puluh sampai dengan enam puluh menit per sesi latihan dalam sehari. Peneliti melakukan sendiri observasi pelatihan yang diberikan selama periode penelitian tersebut. 2.
Pelatihan CIMT yaitu penerapan pendekatan latihan fungsional AGA pasien stroke untuk AGA yang mengalami kelemahan dengan memberikan tahanan ringan atau gantungan lengan pada AGA yang berlawanan atau yang lebih kuat supaya tidak bergerak untuk menimbulkan rangsangan gerakan pada AGA yang lemah tersebut secara fungsional. Pada penilitan ini akan dilakukan pelatihan CIMT untuk subjek yang diteliti selama dua bulan dengan frekuensi kedatangan dua atau tiga kali dalam seminggu dan selama tiga puluh sampai dengan enam puluh menit per sesi latihan dalam sehari. Peneliti melakukan sendiri observasi pelatihan yang diberikan selama periode penelitian tersebut.
3.
Kemampuan fungsional AGA dengan pengukuran tes WMFT yaitu pengukuran berbasis laboratorium yang digunakan untuk menilai fungsi motorik AGA. Terdiri dari 15 item tugas penilaian. Tes ini melakukan kuantitatifikasi kemampuan gerakan ekstremitas atas berdasarkan skala
71
kemampuan terhadap satu atau group lingkup gerakan sendi dan tugas fungsional. Menurut Derenzo dan Fritz (2010), 15 item instruksi tugas dalam tes WMFT adalah: a. Lengan ke meja (samping) b. Lengan ke kotak (samping) c. Memperpanjang siku (samping) d. Memperpanjang siku (ke samping), dengan beban e. Tangan ke meja (depan) f. Tangan ke box (depan) g. Meraih dan mengambil (depan) h. Mengangkat kaleng (depan) i. Mengangkat pensil (depan) j. Mengambil klip kertas (depan) k. Menumpuk papan main dam (depan) l. Membalik kartu (depan) m. Memutar kunci dalam gembok (depan) n. Melipat handuk (depan) o. Mengangkat basket (berdiri) Skala pengukuran kemampuan fungsional dalam tes WMFT adalah: a.
Nilai 0, jika tidak ada upaya sama sekali dari AGA yang di tes.
72
b.
Nilai 1, jika AGA yang di tes tidak bisa berpartisipasi secara fungsional, namun, ia mencoba untuk menggunakan AGA, pada sisi AGA unilateral yang tidak di tes boleh digunakan untuk membantu gerakan AGA yang sedang di tes.
c.
Nilai 2, jika bisa melakukan, tapi membutuhkan bantuan dari AGA yang tidak di tes untuk sedikit menyesuaikan diri atau merubah posisi, atau membutuhkan lebih dari dua kali percobaan untuk menyelesaikan tugas, atau diselesaikan dengan sangat lambat. Pada tugas bilateral AGA yang di tes akan dipakai hanya sebagai penolong.
d.
Nilai 3, jika bisa melakukan, tapi gerakan dipengaruhi beberapa derajat oleh sinergi atau dilakukan secara perlahan atau adanya usaha dorongan.
e.
Nilai 4, jika bisa melakukan, gerakan dilakukan secara normal, tapi masih sedikit lambat; kurang teliti, koordinasi halus atau kurang stabil.
f.
Nilai 5, bisa melakukan, gerakan dilakukan atau diselesaikan secara normal.
4.
Usia yaitu umur yang ditentukan atas dasar tanggal, bulan, dan tahun kelahiran pada akta kelahiran sampel penelitian. Usia sampel dalam penelitian ini adalah berkisar antara 32–73 tahun.
5.
Jenis kelamin yaitu jenis kelamin berdasarkan akta kelahiran sampel penelitian. Dalam penelitian ini digunakan jenis kelamin laki-laki dan wanita.
6.
Kemampuan kognisi yaitu skor kemampuan proses berpikir pasien yang diukur dengan alat bantu MMSE.
73
7.
Dosis latihan yaitu tingkat frekuensi aktifitas latihan fisik, tingkat intensitas latihan pasien menjalani fisioterapi yang diprogramkan di rumah maupun di klinik fisioterapi, serta durasi selama latihan dilakukan.
8.
Riwayat sakit yaitu terdiri dari : a.
Jenis atau tipe stroke yaitu kategori penyakit stroke secara patologis yang diderita oleh pasien. Dalam penelitian ini melakukan uji tes dan perlakuan untuk semua jenis stroke penyumbatan (ischemic) dan perdarahan (haemorragic).
b.
Topis lesi yaitu area atau lokasi lesi pada otak pasien yang mengalami stroke yang dibagi menjadi area kortikal, subkortikal, brainstem, dan cerebellar.
c.
Stroke ke yaitu jumlah repitisi serangan stroke yang terjadi pada pasien terdiri dari stroke yang pertama, kedua dan seterusnya
d.
Jenis lateralisasi yaitu jenis kelemahan ekstremitas yang terjadi akibat lesi pada sebagian hemisper otak pasie yang terkena stroke terdiri dari monoparese kanan dan kiri serta hemiparese kanan dan kiri.
e.
Riwayat stroke yaitu riwayat lamanya waktu sejak terjadi atau mengalami stroke yang lalu sampai dengan waktu saat mengikuti pelatihan dan penelitian.
4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian Pada penelitian ini menggunakan beberapa bahan dan instrumen sebagai berikut:
74
1. Pada saat pengukuran pertama atau tes awal (pre test) dan pengukuran kedua atau tes akhir (post test) a. Form assesment data diri dan riwayat sakit pasien beserta alat tulisnya (lampiran 1) b. Form tes fungsi kognisi MMSE dan alat tulisnya (lampiran 2) c. Form tes WMFT (lampiran 3) dan perangkatnya yang terdiri dari : Form tes dan alat tulis, stopwatch, meja, kotak box, kantong pasir, beban satu kilogram, kaleng, pensil, klip kertas, papan main dam atau halma, kartu, kunci, handuk, dan bola basket (Amster, 2007). 2. Pada saat perlakuan atau penerapan latihan fisioterapi dengan pelatihan MNS: Handuk, meja, kursi, sendok, gelas,kaleng kecil, bola, tisu, kertas dan alat tulis, mainan kayu dan balok kecil, kartu, botol kecil dan alat peraga tambahan lainnya yang digunakan untuk aktifitas tangan. 3. Pada saat perlakuan atau penerapan latihan fisioterapi dengan pelatihan CIMT: Handuk, kain halus, armsling (gendongan lengan), meja, kursi, sendok, gelas,kaleng kecil, bola, tisu, kertas dan alat tulis, mainan kayu dan balok kecil, kartu, botol kecil dan alat peraga tambahan lainnya yang digunakan untuk aktifitas tangan. 4.7 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian terdiri dari beberapa tahapan penelitian sebagai berikut: 4.7.1 Tahap persiapan dan administrasi Pada tahap persiapan dan administrasi prosedur yang dilakukan adalah :
75
1. Melakukan studi kepustakaan dari buku, jurnal, internet file, dan berbagai topik lain yang relevan 2. Mengurus surat-surat terkait persetujuan penelitian diberbagai tempat dan lokasi yang ditargetkan 3. Membuat jadwal pelaksanaan penelitian 4. Mengadakan penjelasan dan pelatihan terhadap rekan sejawat fisioterapi yang membantu proses pelaksanaan penelitian 5. Mempersiapkan bahan, alat ukur dan instrumen yang diperlukan selama penelitian 6. Mempersiapkan surat persetujuan penelitian kepada subjek sampel penelitian 4.7.2 Tahap penentuan populasi dan pemilihan sampel Pada tahap penentuan populasi dan pemilihan sampel prosedur yang dilakukan adalah : 1. Melakukan seleksi terhadap sampel sesuai kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan dan memberikan nomor urut untuk setiap sampel yang terpilih 2. Melakukan tes MMSE untuk mendapatkan skor fungsi kognisi pasien 3. Pengukuran dan penilaian dapat dilanjutkan terhadap subjek jika skor hasil tes MMSE nya adalah normal (>24) 4. Melakukan pembagian sampel menjadi dua kelompok perlakuan secara acak sederhana untuk di alokasikan ke masing-masing kelompok perlakuan
76
5. Memberikan kembali no urut sampel yang telah dialokasikan pada masingmasing kelompok perlakuan 4.7.3 Tahap pengukuran pertama atau tes awal Pada tahap pengukuran pertama atau tes awal prosedur yang dilakukan adalah: 1. Memberikan penjelasan dan meminta persetujuan kepada subjek atau pasien perihal tentang rencana tes atau pengukuran yang dilakukan 2. Melakukan assesment data diri dan riwayat penyakit pasien sesuai format yang telah disiapkan 3. Melakukan tes WMFT sesuai dengan format yang telah disiapkan 4. Melakukan rekapitulasi dan dokumentasi hasil tes pada form dan tabel data yang telah disiapkan 4.7.4 Tahap pelatihan Pada tahap pelatihan prosedur yang dilakukan adalah : 1. Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital bagi pasien untuk mengetahui kondisi umum subjek yang diteliti 2. Memberikan penjelasan pada subjek atau pasien perihal tentang tata cara atau prosedur latihan yang dilakukan 3. Mempersiapkan semua alat, bahan dan istrumen yang digunakan saat latihan 4. Pada pelatihan MNS a. posisi fisioterapis berada didepan berhadapan langsung dengan pasien
77
b. pasien diminta untuk mengobservasi gerakan (proses imitasi) dan memperhatikan aktifitas fungsional AGA yang dilakukan oleh fisioterapi yang berada persis di depan pasien c. pasien diminta untuk melakukan imaginasi visual dan menjelaskan apa dan bagaimana gerakan dan aktifitas fungsional yang dilihat atau yang diobservasi d. pasien diminta untuk meniru (imitasi) dan melakukan pengulangan gerakan dan aktifitas fungsional tersebut secara seksama dan perlahan e. pasien dikoreksi dan diedukasi oleh fisioterapis jika ada gerakan yang salah dan tidak sesuai dengan apa yang diobservasi dan dijelaskan sebelumnya f. dosis pelatihan diberikan dengan frekuensi latihan 1-3 kali kunjungan dalam seminggu, intensitas latihan 5-10 kali pengulangan gerakan, selama durasi latihan 30-60 menit g. pasien diminta untuk datang kembali untuk latihan dengan fisioterapis pada jadwal yang telah ditentukan berikutnya 5. Pada pelatihan CIMT a. pasien diminta untuk menahan AGA yang dominan atau yang lebih kuat dengan kain halus atau gendongan lengan yang telah disiapkan b. posisi fisioterapis berada disamping pasien yang melakukan latihan c. pasien dipandu dan diajarkan tentang berbagai aktifitas fungsional AGA yang lemah sesuai dengan level lesi dan tingkat kelemahan masing-masing subjek
78
d. pasien diminta untuk melakukan pengulangan berbagai aktifitas fungsional AGA yang lemah secara mandiri sesuai dengan kemampuan dan toleransi pada masing-masing pasien e. dosis pelatihan dilberikan dengan frekuensi latihan 1-3 kali kunjungan dalam seminggu, intensitas latihan 5-10 kali pengulangan gerakan, selama durasi latihan 30-60 menit f. setelah selesai latihan tersebut pasien diminta untuk melepas tahanan kain halus atau gendongan lengan yang terpasang g. pasien diminta untuk melakukan pengulangan sebisa mungkin di rumah terhadap bentuk latihan fungsional AGA yang telah diajarkan h. pasien diminta untuk datang kembali untuk latihan dengan fisioterapis pada jadwal yang telah ditentukan berikutnya 4.7.5 Tahap pengukuran kedua atau tes akhir Pada tahap pengukuran kedua atau tes akhir prosedur yang dilakukan adalah : 1. Memberikan penjelasan dan meminta persetujuan kepada subjek atau pasien perihal tentang rencana tes atau pengukuran yang dilakukan 2. Melakukan tes WMFT sesuai dengan format yang telah disiapkan 3. Melakukan rekapitulasi dan dokumentasi hasil tes pada form dan tabel data yang telah disiapkan 4.8 Analisis Data Penelitian Setelah semua data penelitian terkumpul dan lengkap maka dilakukan langkahlangkah analisis data dengan menggunakan aplikasi SPSS versi 21sebagai berikut:
79
1.
Statistik deskriptif untuk menganalisis karakteristik subjek penelitian terkait dengan usia, jenis kelamin, frekuensi latihan, skor MMSE, riwayat sakit, pendidikan, pekerjaan dan hobi yang datanya diambil pada saat assesmen dan pengukuran pertama atau tes awal. Analisa statistik frekuensi yang dihitung adalah: a. Rata-rata (mean) b. Jumlah (sum) c. Selisih data terbesar dengan data terkecil (range) d. Nilai deviasi suatu data terhadap rerata nya (varians) e. Ukuran simpangan baku (standart deviasi) f. Nilai minimun (min) g. Nilai maksimum (max)
2. Uji validitas instrumen WMFT untuk mengetahui objektifitas dan akurasi hasil pengukuran dengan menggunakan rumus statistik korelasi pearson product moment dan uji reliabilitas untuk mengetahui konsistensi hasil pengukuran dengan menggunakan rumus statistik cronbach’s alpha. 3. Uji normalitas data untuk menganalisis distribusi data dari masing-masing kelompok perlakuan. Karena sampel yang diteliti berjumlah < 30 sampel dan agar lebih sensitif dengan nilai kemaknaan (p) > 0,05 maka rumus statistik yang digunakan adalah shapiro wilk test 4. Uji homogenitas untuk menganalisis variasi data dari masing-masing kelompok perlakuan. Dengan nilai kemaknaan (p) > 0,05 maka rumus statistik yang digunakan adalah levene’s test of varians
80
5. Uji hipotesis pertama atau uji komparasi data terhadap hasil pre-tes dan posttes kelompok perlakuan pelatihan MNS bertujuan untuk membandingkan rerata tes awal dan tes akhir kemampuan fungsional AGA pasien. Karena data berdistribusi normal maka merupakan jenis data parametrik sehingga rumus statistik parametrik yang digunakan adalah paired t-test. 6. Uji hipotesis kedua atau uji komparasi data terhadap hasil pre-test dan posttest kelompok perlakuan pelatihan CIMT bertujuan untuk membandingkan rerata tes awal dan tes akhir kemampuan fungsional AGA pasien. Karena data berdistribusi normal maka merupakan jenis data parametrik sehingga rumus statistik parametrik yang digunakan adalah paired t-test. 7. Uji hipotesis ketiga atau uji komparasi data terhadap selisih antara hasil sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan dari kedua kelompok perlakuan pelatihan MNS dan pelatihan CIMT bertujuan untuk membandingkan rerata hasil efek peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien setelah intervensi atau perlakuan pada masing-masing kelompok tersebut. Karena data berdistribusi normal maka merupakan jenis data parametrik sehingga rumus statistik parametrik yang digunakan adalah independent t-test.
81
4.9 Alur Penelitian Alur penelitian yang dilakukan adalah seperti yang digambarkan dibawah ini: Populasi Ramdomisasi
Kriteria inklusi dan eksklusi : termasuk tes MMSE
Sampel
Tes awal kemampuan fungsional AGA dengan WMFT
Alokasi acak sederhana
Kelompok 1
Kelompok 2
Pelatihan MNS
Pelatihan CIMT
Tes akhir kemampuan fungsional AGA dengan WMFT
Tes akhir kemampuan fungsional AGA dengan WMFT
Analisis Data
Penyusunan Tesis
Gambar 4.3 Alur Penelitian
82
BAB V HASIL PENELITIAN Setelah dilakukan penelitian yang memberikan intervensi pelatihan MNS dan pelatihan CIMT pada masing-masing kelompok perlakuan yang telah ditentukan sesuai kriteria subjek penelitian sejumlah 26 orang, secara acak ditentukan masingmasing kelompok perlakuan berjumlah 13 subjek penelitian, maka didapatkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama dua bulan tersebut sebagai berikut: 5.1 Deskripsi karakteristik subjek penelitian Karakteristik subjek penelitian yang termasuk data numerik yaitu variabel usia, skor MMSE dan jumlah kunjungan. Disajikan pada tabel 5.1 sebagai berikut: Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Variabel Data Numerik
Kelompok 1 (n=13)
Kelompok 2 (n=13) Min Rerata ± SB Maks 43 54,85 ± 8,35 73
Selisih Rerata
Usia (tahun)
Min Maks 32 73
MMSE (skor)
25 30
27,08 ± 1,89
25 30
28,15 ± 1,46
1,07
Kunjungan (frekuensi)
1 10
4,46 ± 3,28
1 14
5,52 ± 3,51
1,06
Keterangan: n Min Maks SB Kelompok 1 Kelompok 2
Rerata ± SB 55,15 ± 12,89
= Jumlah Sampel = Minimal = Maksimal = Simpangan Baku = Kelompok perlakuan pelatihan MNS = Kelompok perlakuan pelatihan CIMT 82
0,3
83
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa pada variabel usia rata-rata usia kelompok perlakuan pelatihan MNS lebih tua 0,3 tahun dari pada kelompok perlakuan pelatihan CIMT dengan selisih usia termuda adalah 11 tahun dan terdapat kesamaan usia maksimal pada kedua kelompok. Pada variabel skor MMSE rata-rata skor kelompok perlakuan pelatihan CIMT lebih besar dari pada kelompok perlakuan pelatihan MNS dengan selisih rata-rata skor 1.07 dan terdapat kesamaan pada skor MMSE minimal dan maksimal. Pada variabel frekuensi jumlah kunjungan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan pelatihan CIMT lebih sering 1,06 dari pada kelompok perlakuan pelatihan MNS. Uji normalitas, uji homogenitas dan uji beda data numerik karakteristik subjek penelitian disajikan pada tabel 5.2 sebagai berikut: Tabel 5.2 Uji Normalitas, Uji Homogenitas dan Uji Beda Data Numerik Karakteristik Subjek Penelitian Variabel Usia MMSE Kunjungan
p. Uji Normalitas (Shapiro-Wilk Test) Kelompok 1 Kelompok 2 0,818 0,353 0,032 0,222 0,059 0,019
p. Uji Homogenitas p Levene’s Test 0,090 0,340 0,602
0,943 0,101 0,479
Keterangan: p = nilai probabilitas uji kemaknaan Tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebaran data yang berdistribusi normal merupakan jenis data parametrik sehingga uji komparasi yang digunakan untuk membedakan variabel usia kedua kelompok adalah dengan uji parametrik independent t-test sedangkan sebaran data yang berdistribusi tidak normal merupakan jenis data non parametrik sehingga uji komparasi yang digunakan untuk membedakan variabel
84
MMSE dan variabel kunjungan kedua kelompok adalah dengan uji non parametrik mann whitney u test. Pada variabel usia kelompok 1 dan 2 sebaran data usia berdistribusi normal dan varian data usia homogen (p>0,05) dengan hasil uji beda rerata usia kedua kelompok tidak berbeda secara signifikan (p>0,05), pada variabel skor MMSE kelompok 1 sebaran data skor MMSE tidak berdistribusi normal (p<0,05) sedangkan kelompok 2 sebaran data skor MMSE berdistribusi normal (p>0,05) dan varian data skor MMSE homogen (p>0,05) dengan hasil uji beda rerata skor MMSE kedua kelompok tidak berbeda secara signifikan (p>0,05), pada variabel frekuensi kunjungan kelompok 1 sebaran data berdistribusi normal (p>0,05) sedangkan kelompok 2 sebaran data tidak berdistribusi normal (p<0,05) dan varian data frekuensi kunjungan homogen (p>0,05) dengan hasil uji beda rerata usia kedua kelompok tidak berbeda secara signifikan (p>0,05). Karakteristik subjek penelitian yang termasuk data katagorik umum yaitu jenis kelamin, hobi, pendidikan dan riwayat pekerjaan. Disajikan pada tabel 5.3 sebagai berikut:
85
Tabel 5.3 Data Katagorik Umum Karakteristik Subjek Penelitian Variabel Jenis Kelamin Hobi
Pendidikan
Riwayat Pekerjaan
Kategori Laki-laki Perempuan Olah Raga Hiburan Masak Baca Lain-lain SD SLTP SMU Sarjana Magister PNS/Pensiunan Ibu Rumah Tangga Karyawan/Swasta Guru/Konsultan Lain-lain
Kelompok 1 (MNS) % 46,2 53,8 23,1 30,8 23,1 7,7 15,4 23,1 7,7 30,8 30,8 7,7 15,4 30,8 30,8 23,1 -
Kelompok 2 (CIMT) % 76,9 23,1 23,1 15,4 23,1 38,5 38,5 23,1 23,1 7,7 7,7 7,7 30,8 23,1 15,4 23,1
Keterangan: SD = Sekolah Dasar SLTP = Sekolah Lanjut Tingkat Pertama SMU = Sekolah Menengah Umum PNS = Pegawai Negri Sipil Pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa pada variabel jenis kelamin kategori lakilaki lebih banyak terdapat pada kelompok 2 sedangkan kategori perempuan lebih banyak terdapat pada kelompok 1, pada variabel hobi hiburan merupakan kategori yang paling banyak pada kelompok 1 sedangkan hobi lain-lain merupakan kategori yang paling banyak pada kelompok 2, pada variabel pendidikan SMU dan Sarjana merupakan kategori yang paling banyak pada kelompok 1 sedangkan SD merupakan kategori yang paling banyak pada kelompok 2, pada variabel riwayat pekerjaan ibu
86
rumah tangga dan karyawan/swasta merupakan kategori yang paling banyak pada kelompok 1 sedangkan ibu rumah tangga merupakan kategori yang paling banyak pada kelompok 2. Karakteristik subjek penelitian yang termasuk data katagorik riwayat sakit yaitu tipe stroke, topis lesi, stroke yang ke, jenis lateralisasi, dan riwayat stroke. Disajikan pada tabel 5.4 sebagai berikut: Tabel 5.4 Data Katagorik Riwayat Sakit Karakteristik Subjek Penelitian Variabel Tipe Stroke
Topis Lesi
Sroke ke Jenis Lateralisasi
Riwayat Stroke
Kategori Iskemik Hemoragik Lain-lain Kortikal Subkortikal Lain-lain Pertama Kedua Monoparese Kiri Hemiparese Kanan Hemiparese Kiri < 3 bulan 3 - 6 bulan 6 -12 bulan 1 -2 tahun 2 - 4 tahun > 4 tahun
Kelompok 1 (MNS) % 76,9 15,4 7,7 69,2 7,7 23,1 84,6 15,4 46,2 53,8 23,1 7,7 38,5 23,1 7,7 -
Kelompok 2 (CIMT) % 69,2 23,1 7,7 61,5 38,5 100 7,7 38,5 53,8 15,4 15,4 7,7 23,1 15,4 23,1
Pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa pada variabel tipe stroke kategori iskemik lebih banyak tedapat pada kelompok 1 sedangkan kategori haemoragik lebih banyak lebih banyak terdapat pada kelompok 2, pada variabel topis lesi kortikal merupakan
87
kategori yang lebih banyak terdapat pada kelompok 1 sedangkan kortikal juga merupakan kategori yang lebih banyak terdapat pada kelompok 2, pada variabel stroke pertama merupakan kategori yang paling banyak terdapat pada kelompok 1 sedangkan pada kelompok 2 semua subjek merupakan stroke yang pertama, pada variabel jenis lateralisasi hamiparese kiri merupakan kategori yang paling banyak terdapat di kelompok 1 sedangkan hemiparese kiri juga merupakan kategori yang paling banyak terdapat pada kelompok 2, pada variabel riwayat stroke 6–12 bulan merupakan kategori yang paling banyak terdapat pada kelompok 1 sedangkan 1-2 tahun dan lebih dari 4 tahun merupakan kategori yang paling banyak terdapat pada kelompok 2. 5.2 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian Instrumen penelitian digunakan pada waktu yang sama yaitu sesaat sebelum dan sesudah pelatihan dilakukan pada setiap kunjungan pasien dan data yang diambil untuk analisis adalah data yang paling awal didapatkan dan data yang paling akhir didapatkan dari setiap pasien yang dilatih dan diukur. Kemudian uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah instrumen WMFT akurat dapat dipercaya dan objektif dalam mengukur peningkatan kemampuan AGA pasien stroke dan dilakukan uji reliabilitas instrumen agar dapat diketahui apakah instrumen tersebut tetap konsisten bila dilakukan pengukuran berulangkali agar dapat dilanjutkan proses pengolahan data berikutnya. Hasil uji validitas dan uji reliabilitas instrumen WMFT disajikan pada tabel 5.5 sebagai berikut:
88
Tabel 5.5 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Data Hasil Instrumen WMFT Perlakuan
Variabel
r hitung
Cronbach’s alpha (r alpha)
Kelompok 1 (n=13) Kelompok 2 (n=13)
Pre Test Post Test Pre Test Post Test
0,713 0,766 0,768 0,739
0,883
Keterangan: n = jumlah sampel r = nilai korelasi pearson product moment Diketahui : Jumlah sampel kelompok 1 (MNS) = n1 = 13 Jumlah sampel kelompok 2 (CIMT) = n2 = 13 Degree of freedom (df) kelompok 1 = n1 – 1 = 13 – 2 = 11 Degree of freedom (df) kelompok 2 = n2 – 1 = 13 – 2 = 11 α = 5% = 0,05 r tabel = 0,558 Tabel 5.5 menunjukkan bahwa semua nilai r hitung pre test dan post test kedua kelompok lebih besar dari pada nilai r tabel (r hitung > r tabel), maka dapat disimpulkan bahwa semua instrumen WMFT yang digunakan adalah valid. Berdasarkan ketentuan bila r alpha ≥ 0,6 maka semua pertanyaan dalam instrumen dinyatakan reliabel (Hastono, 2011). Sedangkan nilai r alpha (cronbach’s alpha) instrumen WMFT yang dihasilkan adalah lebih besar dari 0,6 (r alpha > 0,6) maka dapat disimpulkan bahwa instrumen WMFT yang digunakan adalah reliabel.
89
5.3 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Data Instrumen Hasil Penelitian Untuk menentukan jenis uji statistik komparasi yang digunakan untuk membandingkan hasil pre test dan post test antara kedua kelompok perlakuan pelatihan MNS dan pelatihan CIMT maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas distribusi data dengan menggunakan uji saphiro wilk test, sedangkan uji homogenitas varian data dengan menggunakan uji levene’s test yang disajikan pada tabel 5.6 sebagai berikut: Tabel 5.6 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Data Hasil Instrumen WMFT
Variabel Pre Test Post Test Selisih
Kelompok 1 (n=13) 0,782 0,630 0,277
p. Uji Normalitas (shapiro-wilk test) Kelompok 2 Kelompok 1 dan 2 (n=13) (n=26) 0,832 0,378 0,883 0,436 0,148 0,015
p. Uji Homogenitas (levene’s test) 0,801 0,788 0,178
Keterangan: n = jumlah sampel p = nilai probabilitas uji kemaknaan Tabel 5.6 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas dengan menggunakan uji shapiro wilk test pada semua variabel pre test, post test dan selisih pada kedua kelompok data adalah berdistribusi normal (p>0,05). Sedangkan pada variabel pre test dan post test gabungan kedua kelompok data adalah berdistrubsi normal (p>0,05) namun pada variabel selisih gabungan kedua kelompok data adalah berdistribusi tidak normal (p<0,05). Uji homogenitas dengan menggunakan uji levene’s test of varian pada semua variabel pre test, post test dan selisih pada kedua kelompok data adalah homogen (p>0,05). Sebaran data yang berdistribusi normal merupakan jenis data
90
parametrik sehingga uji komparasi yang digunakan adalah dengan uji parametrik sedangkan sebaran data yang berdistribusi tidak normal merupakan jenis data non parametrik sehingga uji komparasi yang digunakan adalah dengan uji non parametrik. Dengan demikian pada pengolahan data berikutnya untuk uji komparasi statistik menggunakan uji parametrik paired t-test dan independent t-test. 5.4 Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Data Peningkatan Kemampuan Fungsional AGA Antara Sebelum dan Sesudah Pelatihan Untuk mengetahui perbedaan rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok MNS dan kelompok CIMT dan untuk mengetahui signifikansi perbedaan peningkatan kemampuan fungsional AGA sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok MNS dan kelompok CIMT maka dilakukan uji t-berpasangan (paired t-test) yang disajikan pada tabel 5.7 sebagai berikut: Tabel 5.7 Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Paired t-test Terhadap Data Hasil Instrumen WMFT Perlakuan Kelompok 1 (n=13) Kelompok 2 (n=13)
Pre Test Skor Rerata ± SB WMFT
Post Test Skor Rerata ± SB WMFT
Selisih Rerata
p
28,19
2,17 ± 1,01
34,32
2,64 ± 0,99
0,47
0.000
27,40
2,11 ± 1,03
32,12
2,47 ± 0,94
0,36
0,000
Keterangan: n = jumlah sampel p = nilai probabilitas uji kemaknaan SB = simpang baku
91
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa pada kelompok 1 selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA sebelum dan sesudah perlakuan pelatihan MNS adalah 9,4% dan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05). Sedangkan pada kelompok 2 selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA sebelum dan sesudah perlakuan pelatihan CIMT adalah 7,2% dan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05). 5.5 Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Selisih Data Peningkatan Kemampuan Fungsional AGA Antara Kedua Kelompok Perlakuan Untuk mengetahui perbedaan rerata dan selisih peningkatan kemampuan fungsional AGA kelompok MNS dan kelompok CIMT pada saat sebelum dan sesudah perlakuan dan untuk mengetahui signifikansi perbedaan peningkatan kemampuan fungsional AGA kedua kelompok perlakuan pada saat sebelum dan sesudah pelatihan maka dilakukan uji t-tidak berpasangan (independent t-test) yang disajikan pada tabel 5.8 sebagai berikut:
92
Tabel 5.8 Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Independent t-test Terhadap Data Hasil Instrumen WMFT
Variabel Pre Test Post Test Selisih
Kelompok 1 (n=13) Skor Rerata ± SB WMFT 28,19 2,17 ± 1,01 34,32 2,64 ± 0,99 6,13 0,47 ± 0,32
Kelompok 2 (n=13) Skor Rerata ± SB WMFT 27,40 2,11 ± 1,03 32,12 2,47 ± 0,94 4,73 0,36 ± 0,18
Selisih Rerata
p
0,06 0,17 0,11
0,880 0,660 0,305
Keterangan: n = jumlah sampel p = nilai probabilitas uji kemaknaan SB = simpang baku Tabel 5.8 menunjukkan bahwa pada saat sebelum perlakuan selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA kedua kelompok adalah 1,2% dan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p>0,05). Pada saat sesudah perlakuan selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA kedua kelompok adalah 3,4% dan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p>0,05). Sedangkan pada selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA kedua kelompok adalah 2,2% dan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p>0,05).
93
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Subjek Penelitian Subjek yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien sejumlah 26 orang pasca stroke yang telah melewati fase pasca akut mereka dan sedang menjalani periode pemulihan fisik dan fungsional anggota gerak di pelayanan rawat jalan di klinik atau unit fisioterapi tempat penelitian dilakukan. Penelitian dilakukan didalam lingkungan ruangan indoor ber-AC (air conditioning) selama sekitar dua bulan dengan jumlah subjek yang terdaftar awalnya sejumlah 35 orang pasien, subjek yang termasuk dalam kriteria inklusi sejumlah 32 orang pasien, subjek yang termasuk dalam kriteria eksklusi sejumlah 3 orang pasien dan subjek yang termasuk kriteria drop out sejumlah 6 orang pasien. Sehingga akhirnya didapatkan subjek sampel sejumlah 13 orang pasien pada kelompok MNS dan 13 orang pasien pada kelompok CIMT. Kondisi subjek seperti yang diuraikan pada hasil penelitian menerangkan bahwa pada variabel usia terdapat kecenderungan usia pasien rata-rata diatas 50 tahun yang menunjukkan bahwa memang usia merupakan salah satu faktor resiko terjadinya stroke yang tidak bisa dimodifikasi (Pendlebury dkk., 2009). Pada variabel skor MMSE menunjukan bahwa semua subjek yang diteliti memiliki kemampuan kognitif yang normal dan hal ini menjelaskan bahwa untuk melakukan sebuah tes WMFT dan suatu tugas atau aktifitas latihan tertentu dalam proses perlakuan pelatihan MNS maupun pelatihan CIMT diperlukan tingkat pemahaman kognisi pasien yang normal dan memadai agar dapat mengerti dengan arahan program pelatihan yang diinginkan. 93
94
Pada variabel jumlah kunjungan didapatkan informasi bahwa rata-rata subjek melakukan kunjungan pelatihan yang berulang-ulang dan hal ini sejalan dengan prinsip pelatihan pembelajaran motorik agar membentuk suatu plastisitas otak yang berkembang baik selama proses pemulihan fisik dan fungsional AGA sebagaimana dijelaskan oleh Cohen dan Hallet (2003) dan Sullivan (2007) yang membutuhkan suatu proses pengalaman dalam pembelajaran motorik. Uji normalitas dan uji homogenitas juga dilakukan pada variabel usia, MMSE dan jumlah kunjungan untuk mengetahui normalitas distribusi data dan variasi datanya karena merupakan data numerik karakteristik subjek hasil penelitian yang memiliki kecenderungan distribusi sebaran data dan variasinya dengan hasil uji yaitu distribusi normal terjadi pada variabel usia kedua kelompok, variabel MMSE kelompok 2, dan variabel kunjungan kelompok 1, sedangkan distribusi tidak normal terjadi pada variabel MMSE kelompok 1 dan variabel kunjungan kelompok 2. Sebaran data yang berdistribusi normal merupakan jenis data parametrik sehingga uji komparasi yang digunakan adalah dengan uji parametrik sedangkan sebaran data yang berdistribusi tidak normal merupakan jenis data non parametrik sehingga uji komparasi yang digunakan adalah dengan uji non parametrik. Hasil uji homogenitas menunjukkan bahwa semua data dari data numerik karakteristik subjek penelitian adalah homogen. Deskripsi frekuensi data kategorik umum subjek penelitian juga telah diuraikan untuk memberikan gambaran latar belakang hobi, pendidikan dan pekerjaan subjek penelitian secara umum. Deskripsi frekuensi data kategorik riwayat sakit juga telah diuraikan untuk memberikan informasi tentang profil kesehatan pasien secara klinis
95
umumnya yang berguna pada saat evaluasi berkala dalam program pelatihan MNS dan pelatihan CIMT. 6.2 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur kemampuan fungsional AGA pasien stroke yaitu Wolf Motor Function Test (WMFT). Alat ukur ini sudah sering digunakan dalam penelitian lain terutama pada pelatihan CIMT yang telah dilakukan untuk menilai seberapa besar peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien stroke dengan membandingkan hasil sebelum dan sesudah latihan fisioterapi. Sedangkan pada pelatihan MNS penulis belum menemukan penggunaan alat ukur WMFT yang dilakukan untuk menilai peningkatan kemampuan fungsional AGA melainkan penggunaan alat ukur Functional MRI. Sehingga penulis merasa perlu kembali melakukan uji validitas dan uji reliabilitas instrumen agar lebih memperkuat dan mengkonfirmasi kebenaran dan tingkat konsistensi instrumen WMFT yang dipakai tersebut untuk menilai peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien stroke pada saat sebelum dan sesudah intervensi pelatihan MNS dan pelatihan CIMT masing-masing kelompok perlakuan. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan aplikasi Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 21 untuk windows. Maka dari hasil uji validitas instrumen didapatkan hasil bahwa nilai korelasi pearson product moment (r hitung) kelompok 1 sebelum pelatihan MNS adalah 0,713 dan sesudah pelatihan MNS adalah 0,766, sedangkan pada kelompok 2 sebelum pelatihan CIMT adalah 0,768 dan sesudah pelatihan CIMT adalah 0,739. Diketahui jumlah sampel pada masingmasing kelompok adalah sama (n = 13) dan diketahui pula nilai alpha (α) = 5% =
96
0,05 sehingga dengan nilai degree of freedom (df) 11 jika r hitung dibandingkan dengan r tabel 0,558 dapat disimpulkan bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah valid karena r hitung lebih besar r tabel. Berdasarkan hasil uji reliabilitas instrumen didapatkan hasil bahwa nilai cronbach’s alpha (r alpha) adalah 0,883, maka jika r-alpha dibandingkan dengan ketentuan 0,6 dapat disimpulkan bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel karena nilai ralpha lebih besar dari ketentuan 0,6 (Hastono, 2011). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Chen dkk. (2012), yang menyimpulkan bahwa instrumen WMFT adalah valid. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Morris dkk. (2001)
yang
menyimpulkan bahwa instrumen WMFT adalah konsisten internal, stabil adekuat dan reliabel dengan nilai r alpha adalah 0,95 dan 0,90. Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menguji reliabilitas WMFT dalam menilai kemampuan fungsional AGA dengan kondisi hemiplegia. Sampel yang digunakan dalam penelitiannya berjumlah 24 pasien dengan gangguan fungsi motorik sedang (Morris dkk., 2001). Serta penjelasan yang dilakukan oleh Zipp dan Sullivan (2010) dengan validitas WMFT r 0,86 dan reliabilitas r alpha 0,88. Juga validitas dan reliabilitas WMFT pada penelitian yang dilakukan oleh Wade dkk. (2009). 6.3 Distribusi Normalitas dan Varians Hasil Pengukuran Penelitian Asumsi normalitas distribusi data pada kedua kelompok perlakuan juga dilakukan untuk melihat apakah frekuensi skor hasil pengukuran instrumen WMFT normal atau tidak. Sedangkan uji varian data pada kedua kelompok perlakuan juga dilakukan untuk mengetahui apakah variasi skor hasil pengukuran WMFT homogen
97
atau tidak. Dengan melakukan uji normalitas shapiro wilk test karena jumlah sampel lebih kecil dari 30 dan menggunakan SPSS 21 diketahui hasilnya pada kelompok 1 sebelum pelatihan MNS adalah 0,782 dan sesudah pelatihan MNS adalah 0,630, sedangkan pada kelompok 2 sebelum pelatihan CIMT adalah 0,832 dan sesudah pelatihan CIMT adalah 0,883. Sedangkan pada variabel pre test dan post test gabungan kedua kelompok data adalah 0,378 dan 0,436 namun pada variabel selisih gabungan kedua kelompok data adalah 0,015. Sehingga hasil uji normalitas tersebut menunjukkan bahwa distribusi frekuensi data semua hasil pengukuran instrumen WMFT adalah normal karena nilai probabilitas uji kemaknaan lebih besar dari alpha (p>0,05) kecuali pada selisih gabungan kedua kelompok data adalah tidak normal karena nilai probabilitas uji kemaknaan lebih kecil dari alpha (p>0,05). Maka diketahui bahwa data hasil pengukuran instrumen WMFT kedua kelompok merupakan data parametrik sehingga uji beda statistik pada pengolahan data berikutnya menggunakan uji parametrik paired t-test dan independent t-test. Pada uji homogenitas menggunakan levene’s test of varians menggunakan SPSS versi 21 diketahui hasilnya pada saat sebelum pelatihan kedua kelompok adalah 0,801, pada saat sesudah pelatihan kedua kelompok adalah 0,788 dan pada selisih kedua kelompok adalah 0,178. Sehingga dari hasil uji homogenitas tersebut menunjukkan bahwa variasi data semua hasil pengukuran instrumen WMFT adalah homogen karena nilai probabilitas uji kemaknaan lebih besar alpha (p>0,05). 6.4 Pelatihan MNS Meningkatkan Kemampuan Fungsional AGA pasien Stroke Berdasarkan uji statistik parametrik uji t-berpasangan (paired t-test) terhadap hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa rerata peningkatan kemampuan
98
fungsional AGA pasien stroke mengalami peningkatan sebesar 0,47 atau sebesar 21,7% setelah pelatihan MNS dengan nilai probabilitas uji kemaknaan (0.000200) lebih kecil alpha (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan peningkatan kemampuan fungsional AGA antara sebelum dan sesudah pelatihan MNS adalah berbeda secara signifikan. Hal ini membuktikan bahwa pelatihan MNS dapat meningkatkan kemampuan fungsional AGA pasien stroke. Hal senada juga diungkapkan oleh Salama (2011) yang menyatakan bahwa kegiatan observasi sebelum eksekusi gerakan dapat meningkatkan aktivitas otak yang berdampak pada keterampilan tangan walaupun pada laporan ini masih perlu dilakukan penelitian lanjutan agar dapat diaplikasikan pada pasien dalam rangka pemulihan fisik dan kemampuan fungsional anggota gerak. Namun jika menelaah fungsi dari MNS terutama pada pasien stroke akan memberikan bukti lebih lanjut dan mengkonfirmasi asumsi-asumsi sebelumnya bahwa kegiatan observasi bisa dimanfaatkan sebagai suatu pendekatan dalam aplikasi klinis (Salama, 2011). Hal serupa juga pernah sebelumnya diungkapkan oleh Ertelt dkk. (2007), yang menyatakan bahwa adanya kemungkinan kegiatan observasi digunakan sebagai alat rehabilitatif dalam studi empirik yang dilakukan pada kelompok pasien yang mengalami kelemahan motorik akibat stroke dan dapat dikombinasikan dengan pelatihan aktif. Berdasarkan penemuannya maka diusulkan bahwa kegiatan observasi mengarah pada peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien yang dihasilkan dari kondisi pelatihan fisik yang mengaktifasi MNS pada pasien.
99
Seperti yang telah dijelaskan oleh Iacoboni dan Mazziotta (2007), bahwa secara umum observasi terhadap suatu gerakan menjadi suatu bentuk latihan yang digunakan sebagai dasar. Hasilnya menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen terjadi perbaikan fungsi motorik yang signifikan. Pada kelompok kontrol tidak menunjukkan perubahan yang subtansial. Penelitian tersebut merupakan satu-satunya studi empiris yang pernah dilakukan tentang pengaruh observasi gerakan dalam suatu program peningkatan kemampuan fungsional. Pandangan serupa juga pernah sebelumnya disampaikan oleh Buccino dkk. (2004), bahwa MNS dapat merespon persepsi dari spesies lain atau orang lain. Namun MNS tidak menanggapi persepsi secara langsung tetapi lebih mengambil fitur secara umum dari orang lain. Diperkirakan bahwa MNS memberi respon dalam tindakan yang dilakukan selama masa observasi (Buccino dkk., 2004) Sejalan juga seperti yang telah disampaikan oleh Gallese (2009), menjelaskan bahwa kegiatan observasi dapat mengaktifkan secara otomatis mekanisme saraf yang sama
yang dipicu oleh pelaksanaan
gerakan. Mekanisme saraf tersebut
memungkinkan terjadinya pemetaan secara langsung antara deskripsi visual dari suatu kegiatan motorik dengan identifikasi pelaksanaan kegiatan motoriknya. Sehingga sistem pemetaan memberikan solusi untuk masalah interpretasi hasil analisis visual dari prinsip gerakan yang diamati. Sesuai dengan apa yang telah sebelumnya disampaikan oleh Hallett (2006), menjelaskan bahwa bagian korteks motorik berfungsi lebih dari sekedar pelaksana perintah motorik melainkan ia juga dimungkinkan dapat terlibat dengan aspek yang
100
berbeda dari pembelajaran motorik. Korteks motorik dapat menunjukkan plastisitas yang cukup, dan kedua rangsangan yang ditujukan kepada otot di sejumlah wilayah atau kepada tugas tertentu yang dapat meluas pemetaannya atau menyusut tergantung pada jumlah penggunaannya. Namun ada juga peningkatan jangka pendek aktifitas korteks motorik ketika mempelajari tugas-tugas baru. 6.5 Pelatihan CIMT Meningkatkan Kemampuan Fungsional AGA pasien Stroke Berdasarkan uji statistik parametrik uji t-berpasangan (paired t-test) terhadap hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien stroke mengalami peningkatan sebesar 0,36 atau 17,1% setelah pelatihan CIMT dengan nilai probabilitas uji kemaknaan (0,000012) lebih kecil alpha (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan peningkatan kemampuan fungsional AGA antara sebelum dan sesudah pelatihan CIMT adalah berbeda secara signifikan. Hal ini membuktikan bahwa pelatihan CIMT dapat meningkatkan kemampuan fungsional AGA pasien stroke. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Menon (2010), mengatakan bahwa tujuan dari pelatihan CIMT adalah untuk membantu mendapatkan kembali kekuatan dan fungsi lengan dan tangan pada sisi yang lemah akibat stroke. Program latihan ini membutuhkan kedisiplinan diri dan komitmen dari individu pasien stroke itu sendiri agar menghasilkan bukti yang terbaik bagi mereka yang mengaplikasikannya. Hal serupa juga dilaporkan oleh Hayner dkk. (2010), bahwa telah ditemukan perbaikan kemampuan fungsional AGA pada instrumen
101
WMFT pada kelompok yang diteliti menggunakan pelatihan CIMT dengan hasil peningkatan yang signifikan ditunjukkan dengan nilai p yaitu 0,008 (p<0,05). Hasil peningkatan signifikan (p=0,003) kemampuan fungsional AGA pasien stroke dengan pelatihan CIMT juga sebelumnya telah ditemukan oleh Tariah dkk. (2010), pada penelitian mereka terdapat hasil peningkatan sebesar 13,2% skor WMFT setelah pelatihan CIMT selama 2 bulan dan kembali terjadi penambahan peningkatan sebesar 4% skor WMFT setelah evaluasi 2 bulan kemudian. Penelitian tersebut dilakukan dengan jumlah subjek 10 orang pasien stroke. Sehingga penelitian yang mereka lakukan ini mengkonfirmasi kelayakan pendekatan pelatihan CIMT yang dilakukan dirumah bersama keluarga. Hasil serupa juga ditemukan sebelumnya oleh Wolf dkk. (2009), bahwa pada pasien yang mengalami stroke sejak 3 sampai 9 bulan mengalami perbaikan signifikan (p = 0,001) secara statistik dan klinis yang relevan setelah pelatihan CIMT dilakukan kepada pasien yang berlangsung selama minimal 1 tahun. Hasil ini pula sebelumnya telah dibuktikan oleh Lin dkk. (2010), menjelaskan bahwa terjadi peningkatan yang signifikan kemampuan fungsional AGA pada pelatihan CIMT akibat proses reorganisasi otak dan melihat pada tingkat aktifitas otak pada hemisper kontralesional selama gerakan tangan dilakukan disaat tahanan diberikan pada tangan yang lebih dominan dan mereka menemukan bahwa adanya kemungkinan terjadi proses adaptasi otak akibat perlakuan pelatihan CIMT yang dilakukan. Salah satu faktor yang dapat berkontribusi pada divergen pola akitivasi otak yang diamati setelah pelatihan CIMT adalah plastisitas otak (Wittenberg dan
102
Schaechter, 2009). Sejalan dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya oleh Nudo dan Dancause (2007), tentang korelasi saraf dan keterampilan motor kontrol menjelaskan bahwa karena banyak dasar yang sama menjelaskan bahwa proses adaptif neurologis diperkirakan terjadi pada kedua kondisi normal dan kerusakan otak. Sehingga untuk menghasilkan suatu plastisitas otak yang optimal maka diperlukan rangsangan pelatihan yang dilakukan berulang-ulang dan kontinum. 6.6 Pelatihan
MNS
Tidak
Berbeda
dengan
Pelatihan
CIMT
dalam
Meningkatkan Kemampuan Fungsional AGA pasien Stroke Berdasarkan uji statistik komparasi parametrik uji t-tidak berpasangan (independent t-test) terhadap hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa pada saat sebelum pelatihan MNS dan pelatihan CIMT selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien stroke hanya sebesar 0,06 atau 1,2% dengan nilai probabilitas uji kemaknaan (0,880) lebih besar alpha (p>0,05), sehingga disimpulkan bahwa perbedaan selisih sebelum peningkatan kemampuan fungsional AGA antara kelompok pelatihan MNS dan kelompok pelatihan CIMT adalah tidak berbeda secara signifikan. Seperti ditunjukkan pada grafik gambar 6.1 dibawah ini.
103
2,7 2,64
2,6 Skor WMFT
2,5
2,47
2,4 MNS 2,3 2,2 2,1
CIMT
2,17 2,11
2,0 Sebelum
Sesudah
Gambar 6.1 Peningkatan Kemampuan Fungsional AGA pasien Stroke Gambar 6.1 menunjukkan bahwa pada saat sesudah pelatihan MNS dan pelatihan CIMT selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien stroke hanya sebesar 0,17 atau 3,4% dengan nilai probabilitas uji kemaknaan (0,660) lebih besar alpha (p>0,05), sehingga disimpulkan bahwa perbedaan selisih sesudah peningkatan kemampuan fungsional AGA antara kelompok pelatihan MNS dan kelompok pelatihan CIMT adalah tidak berbeda secara signifikan. Sedangkan pada selisih pelatihan MNS dan pelatihan CIMT selisih rerata peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien stroke hanya sebesar 0,11 atau hanya 4,6% dengan nilai probabilitas uji kemaknaan (0,305) lebih besar alpha (p>0,05), sehingga disimpulkan bahwa perbedaan selisih antara sebelum dan sesudah perlakuan antara kelompok pelatihan MNS dan kelompok pelatihan CIMT adalah tidak berbeda secara signifikan. Seperti dijelaskan pada grafik gambar 6.2 dibawah ini.
104
0,5 0,47 Skor WMFT
0,4 0,36
0,3 0,2 0,1 0,0 MNS
CIMT
Gambar 6.2 Selisih Peningkatan Kemampuan Fungsional AGA pasien Stroke Berdasarkan hasil uji kompatibilitas diketahui bahwa pada distribusi data pre test gabungan kedua kelompok adalah normal dan hasil uji beda pre test antara kedua kelompok adalah tidak berbeda secara signifikan maka keputusan hipotesis perbandingan dari kedua kelompok perlakuan tersebut dapat diambil berdasarkan perbandingan hasil uji beda post test antara kedua kelompok yaitu tidak ada perbedaan secara signifikan. Hal ini merupakan suatu hasil temuan baru yang belum pernah ditemukan oleh penulis pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain. Hasil akhir yang dibuktikan dari penelitian ini adalah bahwa pelatihan MNS dan Pelatihan CIMT keduanya sama-sama dapat meningkatkan kemampuan fungsional AGA pasien stroke namun tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan fungsional AGA pasien stroke yang terbukti antara kedua kelompok tersebut jika dibandingkan dengan uji beda statistik. Walaupun secara uji beda rerata selisih peningkatan kemampuan fungsional AGA pada kelompok MNS kecenderungannya
105
terlihat lebih tinggi dari pada selisih peningkatan kemampuan fungsional AGA pada kelompok CIMT. Bisa saja terdapat kemungkinan pengaruh dari faktor-faktor lain yang menyebabkan hasil ini menjadi belum terlihat berbeda signifikan secara uji beda statistik. Kemungkinan diantaranya adalah karena pengaruh faktor periode waktu penelitian yang singkat hanya selama 2 bulan dan sensitifitas alat ukur WMFT dalam mengukur perbandingan peningkatan kemampuan fungsional AGA yang belum menunjukkan perbedaan perubahan dalam jangka periode waktu tersebut. Sehingga mungkin saja diperlukan waktu 2 bulan lagi agar lebih tampak perbedaan perubahannya. Kemungkinan lain yaitu pengaruh faktor data numerik karakteristik subjek penelitian seperti usia, skor MMSE dan jumlah kunjungan yang bervarian homogen dan terlihat juga tidak ada perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok pelatihan MNS dan pelatihan CIMT. Kemungkinan lain yaitu karena pengaruh faktor data kategorik umum karakteristik subjek penelitian terutama variabel jenis kelamin yang memiliki komposisi yang tidak terpaut jauh berbeda. Kemungkinan lainnya yaitu pengaruh faktor data katagorik riwayat sakit karakteristik subjek penelitian yang ditunjukkan pada kesamaan komposisi dominan pada variabel tipe stroke kategori iskemik, variabel topis lesi kategori kortikal, variabel stroke yang pertama, dan variabel jenis lateralisasi kategori hemiparese kiri sebagaimana yang telah dijelaskan frekuensi distribusinya masing-masing pada bab hasil penelitian. Kesamaan komposisi dominan pada variabel tipe stroke kategori iskemik, variabel topis lesi kategori kortikal, variabel stroke yang pertama, dan variabel jenis lateralisasi kategori hemiparese kiri dimungkinkan sebagai salah satu penyebab
106
kesamaan peningkatan kemampuan fungsional AGA karena kondisi tersebut memiliki potensi kesembuhan dan pemulihan lebih baik dan lebih cepat jika dibandingkan dengan kondisi stroke lain yang dianggap sebagai penyulit dalam proses restorasi dan fisioterapi pasien. Penulis berharap akan ada lagi penelitian lanjutan yang dilakukan oleh peneliti lain untuk melengkapi dan mengkonfirmasi kebenaran hasil penelitian ini di masa yang akan datang. 6.7 Kelemahan Penelitian Beberapa kelemahan yang dijumpai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kesulitan dalam mengontrol atau mengendalikan motivasi dan keadaan psikis subjek khususnya diluar jam tindakan intervensi fisioterapi, terutama saat pemberian program latihan yang perlu dilakukan pengulangan oleh pasien secara mandiri di rumah. 2. Masih adanya keterlibatan pasien pada program terapi lainnya yang dilakukan selama mengikuti program pelatihan semasa periode penelitian dilakukan. Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh penulis sebagai peneliti untuk mengatasi kelemahan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Berupaya memberi saran edukatif dengan melibatkan keluarga atau pendamping pasien untuk mengontrol dan memberikan motivasi pasien untuk menjalankan program latihan secara mandiri dirumah. 2. Memberikan saran bagi pasien agar hanya mengikuti program latihan fisioterapi yang telah diprogramkan semasa periode penelitian dilakukan.
107
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarakan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa: 1.
Pelatihan mirror neuron system meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke
2.
Pelatihan
constraint
induced
movement
therapy
meningkatkan
kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke 3.
Pelatihan mirror neuron system tidak berbeda dengan pelatihan constraint induced movement therapy dalam meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke
7.2 Saran Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini adalah: 1. Pelatihan mirror neuron system dan pelatihan constraint induced movement therapy sebaiknya dilakukan dalam periode waktu lebih lama dengan frekuensi kunjungan fisioterapi lebih tinggi dan rutin terprogram secara lebih baik agar dapat menunjukkan peningkatan kemampuan fungsional anggota gerak atas yang berbeda lebih baik dibandingkan pelatihan lainnya yang relevan sesuai kondisi pasien. 107
108
2. Perlu diadakan penelitian lanjutan yang mengkombinasikan antara pelatihan mirror neuron system dan pelatihan constraint induced movement therapy secara bersamaan agar lebih baik dalam meningkatkan kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke. 3. Masih perlu dilakukan penelitian lain sebagai lanjutan dari penelitian ini guna melengkapi dan mengkonfirmasi hasil temuan dari penelitian ini dimasa yang akan datang.