2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Konstitusi WHO (2004) menyatakan bahwa mendapatkan upaya pelayanan kesehatan untuk mencapai standar kesehatan tertinggi merupakan salah satu hak asasi setiap manusia. Upaya pelayanan kesehatan tersebut seharusnya dapat dipenuhi oleh tiap pelayanan kesehatan primer. Untuk menggambarkan pelayanan primer yang dimaksud, konferensi WHO di Alma Alta menjelaskan bahwa pelayanan primer antara lain pelayanan yang esensial, dilakukan dengan praktis, ilmiah, dapat diterima secara sosial padasemua kalangan dengan tidak memandang jenis kelamin, penyakit, dan sistem organ, diselenggarakan dengan biaya terjangkau, menjadi fokus utama dalam pembangunan sosial dan ekonomi, merupakan kontak pertama pada proses upaya pencarian pertolongan kesehatanserta sebagai elemen utama proses kesehatan berkelanjutan dan komprehensif (WHO, 1978). Starfield (1994) menyatakan bahwa layanan primer berkontribusi besar pada kualitas pelayanan kesehatan di suatu negara. Belanda, yang merupakan negara yang sudah maju dalam pengembangan pelayanan primernya, sebanyak 95% kasus yang ada dapat diselesaikan di pelayanan primer. Anggaran kesehatan nasional Belanda sebesar sembilan koma delapan persen (9,8%) dari gross domestic product (Grol, 2006). Dalam penerapannya, sebagaimana subjek
3
yang dihadapi adalah personal, Dokter Keluarga atau di Indonesia disebut sebagai Dokter Layanan Primer (DLP) sesuai Undang-Undang Pendidikan Kedokteran 2013 Nomor 20 Pasal 7 dan 8
dalam menjalankan
metode/prosedur pelayanan berpegang kepada tujuh prinsip penanganan kasus yang berpusat pada pasien, fokus pada keluarga dan berorientasi pada komunitas, yakni prinsip general, continuity of care, comprehensiveness, coordination of care, collaborative, community oriented, danfamily oriented, yang akan dijelaskan di bawah ini : Prinsip general yang dimaksud adalah bahwa Dokter Keluarga ditujukan untuk mengelola semua masalah kesehatan tanpa membedakan usia, jenis kelamin, kelas sosial, ras atau agama, maupun jenis dan tahapan perjalanan alamiah penyakit. Prinsip general juga meliputi pelayanan yang mudah
diakses
dengan
mempertimbangkan
lokasi
geografi,
kultur,
administratif, atau finansial. Prinsip continuity of care adalah bahwa dalam pelayanan primer dokter memiliki prinsip person centered care daripada disease center, sehingga “Dokter menitikberatkan pada pelayanan klien/pasien yang berkelanjutan, baik saat sehat maupun sakit”. Berdasarkan pada seberapa lama dan
kualitas
hubungan
dokter-pasien
yang
telah
terjalin,
sangat
memungkinkan terjadi hubungan dokter-pasien sejak lahir sampai dengan lanjut usia, mulai sebagai cucu dari sebuah keluarga sampai dengan klien tersebut punya cucu sendiri.Dapat dikatakan bahwa pelayanan tersebut meliputi
4
kasus biologis, psikologis, sosial, ekonomi, kultur maupun spiritual bagi personal yang membutuhkan upaya kesehatan (Hyugen, 2006). Prinsip
comprehensiveness
adalah
prinsip
penanganan
pasien
menyeluruh. Prinsip menyeluruh antara lain problem biologis pasien yang dapat muncul di berbagai level perjalanan alamiah penyakit. Untuk itu diperlukan upaya pencegahan pada level individu, keluarga, dan masyarakat. Prinsip penanganan komprehensif ini memberikan kelebihan bahwa Dokter Keluarga dapat merawat pasien baik secara langsung pada penyakit yang perjalanan alamiahnya masih dalam tahap dinidi tempat praktik maupun di rumah pasien (Dokter Keluarga sebagai kontak pertama). Selain itu perawatan pasien dapat dilakukan secara koordinatif, yaitu pada kasus yang perjalanan alamiah penyakitnya berkelanjutan sehingga dirujukpada dokter yang lebih ahli mengelola masalah pasien di rumah sakit. Dokter Keluarga juga berkewajiban menerapkan prinsip coordination of care kepada pasien, yaitu harus mengintegrasikan upaya pelayanan kesehatan dengan promosi, pencegahan, kuratif, dan rehabilitasiterhadap personal yang diprediksi berisiko sesuai dengan data personal dan vital sign yang didapat, sehingga penanganan dapat dilakukan secara menyeluruh, mengidentifikasi keperluan penyedia pelayanan kesehatan lain untuk membantu pelayanan pasien secara menyeluruh dan membimbing pasien melalui sistem pelayanan kesehatan.
5
Prinsip
collaborative
menjelaskan
bahwa
Dokter
Keluarga
dipersiapkan untuk bekerja dengan petugas kesehatan yang lain di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun di rumah sakit. Dokter Keluarga juga mampu secara aktif berpartisipasi dalam perawatan tim multidisiplin dan melatih diri dalam kepemimpinan. Prinsip community oriented dipegang oleh Dokter Keluarga dalam mengelola pasien dengan aspek-aspek komunitas yang mempengaruhi kesehatan personal. Hal ini berarti dokter dalam mengelola kasus juga mengintegrasikan pelayanannya dengan masalah kesehatan yang sedang terjadi dalam angka-angka kejadian penyakit serta model penyebarannya di komunitas. Dokter Keluarga merupakan posisi yang ideal untuk meningkatkan kesehatan masyarakat sekitar praktiknya karena mereka sudah saling mengenal akibat hubungan fungsional yang berlangsung lama. Hal ini memudahkan Dokter Keluarga untuk menganalisis kebutuhan dan risiko kesehatan masyarakat, melakukan pencegahan penyakit, dan melakukan promosi kesehataan (Kidd, 2013). Pada prinsip family oriented, Dokter Keluarga menganggap pasien sebagai anggota dari sistem keluarga, memahami pengaruh penyakit terhadap keluarga atau sebaliknya yang kemudian digunakan dalam mendiagnosis, dan melaksanakan terapi untuk pasien (Shahady, 1993) dan (Kidd, 2013). Hal ini dapat dipahami bahwa pola penanganan dengan melibatkan peran keluarga
6
dalam komunitas di sekitar klinik merupakan suatu karakteristik keilmuan Dokter Keluarga. World Health Report (2008) mengatakan bahwa kebutuhan dokter umum semakin meningkat untuk memenuhi kebutuhan pasien. Pemenuhan kebutuhan jumlah Dokter Keluarga juga membantu dalam pemenuhan universal coverage, kepemimpinan, dan kebijakan publik (Kidd, 2013). Konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Indonesia menuju kepada universal coverage sesuai dengan harapan WHO yang menuntut adanya peningkatan jumlah dan kualitas Dokter Keluarga. Di Indonesia, dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran No.20 Tahun 2013 Pasal 7 dan 8, dokter yang akan berkontribusi besar di layanan primer disebut Dokter Layanan Primer (DLP). DLP melakukan prinsip-prinsip kedokteran keluarga ditunjang Ilmu Kedokteran Komunitas dan Ilmu Kesehatan Masyarakat, secara konsisten dan berkesinambungan memberikan perawatan personal secara longitudinal dengan pendekatan komprehensif tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau masalah kesehatan yang dihadapi pasien serta berorientasi pada kesehatan populasi (Kidd, 2013). DLP dari aspek konsep pendidikan dan keberadaannya di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 sudah tertulis dengan jelas bahwa DLP setara dengan sepesialis dan dibutuhkan pendidikan tersetruktur setelah pendidikan dokter (Taher, 2014).
7
Sistem pelayanan primer merupakan jembatan dari masalah sistem pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia. DLP memiliki tanggung jawab managed care dengan anggaran penyelenggaraan kesehatan disebut kapitasi, yang berasal dari istilah "per kapita" yang berarti per orang. Umumnya, pembayaran kapitasi adalah dinyatakan sebagai beberapa jumlah rupiah per anggota per bulan, dimana kata "anggota" biasanya berarti pendaftar di pengelola penjaminan kesehatan, yang biasanya diselenggarakan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan (Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan/BPJS) dimana dokter menjalankan fungsi sebagai „gate keeper‟ untuk pelayanan spesialis dan pemeriksaan penunjang tertentu. Perubahan fungsi Dokter Keluarga menjadi „gate keeper‟ bertujuan untuk mengendalikan pelayanan tidak terstruktur yang menimbulkan inefisiensi, over utilization, moral hazzards serta peningkatan biaya pelayanan (EURACT, 2005) dan (Gan et al., 2004). Starfield, et.al (2001) menyatakan bahwa ranking kualitas pelayanan primer di Indonesia lebih rendah daripada negara ASEAN lainnya. WHO (2007) memberikan laporan mengenai profil statistik kesehatan berbagai negara di dunia. Indonesia terletak pada posisi yang kurang baik dibandingkan dengan negara lain yang lebih muda di ASEAN. Kondisi tersebut dimungkinkan terkait dengan pendidikan yang lebih singkat yang harus ditempuh oleh dokter di Indonesia untuk mendapatkan izin praktik di fasilitas
8
kesehatan primer dibandingkan dengan pendidikan serupa seperti di Amerika Serikat, Belanda, dan Malaysia (Claramita et al., 2011). Dokter Keluarga di berbagai negara adalah dokter yang dididik dalam pendidikan lanjut setelah basic medical doctor selama kurang lebih tiga sampai dengan empat tahun. Bahkan di Hongkong sampai tahun 2009, pendidikan ini diselenggarakan dalam kurun waktu lima tahun (Claramita et al., 2011). Di Filipina, peningkatan kualitas pelayanan dan pendidikan Dokter Keluarga terbukti dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan primer (Leopando, 2014). Penelitian yang diadakan di negara barat yang menggunakan sistem pelayanan primer sebagai petugas kesehatan yang pertama kontak dengan pasien menunjukkan hasil bahwa sistem ini berhubungan dengan penggunaan biaya kesehatan yang rendah, tingkat kepuasan meningkat, tingkat kesehatan membaik, dan penurunan penggunaan obat (Starfield, 1994). Kepuasan dengan adanya layanan primer tidak hanya dirasakan oleh pasien, tetapi juga oleh petugas kesehatan. Petugas kesehatan merasa lebih dekat dengan pasien karena mereka tidak hanya mengenal pasien lebih dalam, tetapi juga mengenal keluarga pasien sehingga penanganan yang diberikan kepada pasien bisa menyesuaikan kebutuhan individu pasien (WHO, 2012).
9
Masalah Layanan Primer di Indonesia Republik Indonesia atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang terletak di garis khatulistiwa, berada di antara Benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau. Indonesia terdiri dari lima pulau besar meliputi Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua. Jumlah total penduduk Indonesia pada tahun 2013 mencapai 248.422.956 orang dengan jumlah laki-laki 125.058.484 orang dan perempuan 123.364.472 orang (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Status kesehatan Indonesia yang lebih rendah dari negara ASEAN lainnya
dipengaruhi
oleh
beberapa
hal,
yaitu
meliputi
persebaran
Puskesmasyang tidak merata, tidak semua Puskesmas memiliki dokter, kesempatan antara dokter untuk meningkatkan ilmu melalui pelatihan atau seminar berbeda-beda, dan dukungan stakeholder untuk mengembangkan kesehatan juga berbeda-beda di tiap daerah. Perbedaan tersebut menyebabkan kesenjangan kualitas antara dokter dan dokter spesialis, sumber daya dan pelayanan di fasilitas kesehatan primer, sekunder, dan tersier.Terlebih lagi pembuatan pedoman pelayanan Puskemas untuk standarisasi pelayanan dokter lebih ke arah kuratif daripada upaya prevensi dalam konsep-konsep perjalanan alamiah penyakit. Pembuatan pedoman tersebut kontradiktif dengan prinsip layanan primer yang dilaksanakan dalam bentuk program kesehatan
10
masyarakat di Puskesmas (imunisasi, posyandu) sebagai upaya prevensi penyakit (Kementerian Kesehatan RI, 2007). Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) merupakan standar minimal kompetensi lulusan dokter. SKDI pertama disahkan pada tahun 2006 dan kemudian diperbaharui pada tahun 2012. Namun demikian dalam periode tersebut (awal penelitian) belum ada panduan praktek klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan sehingga pelaksanaan pelayanan kedokteran dilayanan primer banyak berbasis pada di mana dokter tersebut dididik dan dukungan prasarana, sarana serta kebijakan di wilayah dokter berpraktek profesi (Konsil Kedokteran Indonesia, 2006) dan (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012). Tahun 2013 telah terbit panduan nasional layanan primer tetapi merupakan panduan layanan minimal bagi dokter yang praktik di layanan primer dan bukan panduan komprehensif yang menggunakan tujuh Prinsip Penanganan Kasus Kedokteran Keluarga (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Dalam penelitian ini, kami mengkaji bahwa penentuan level kompetensi atau jenjang kemampuan dokter yang bekerja di layanan primer dalam mengelola penyakit dibuat dalam bentuk urutan prosedur penanganan penyakit yang mencirikan metode kerja dokter yang dipahami oleh pasien sebagai pekerjaan profesional dokter yang spesifik dan berlaku secara umum pada kelompok dokter utamanya dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama, misal:
(1)Tingkat
Kemampuan
1:
Dokter
mengenali
dan
11
menjelaskangambaran klinik penyakit, selanjutnya merujuk; (2)Tingkat Kemampuan 2: Dokter mampu mendiagnosis klinis penyakit dan selanjutnya merujuk; (3)Tingkat Kemampuan 3: A)Dokter mampu mendiagnosis kasus non gawat darurat, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk; atau B)Dokter
mampu
mendiagnosis
kasus
gawat
darurat,
melakukan
penatalaksanaan awal dan merujuk; (4)Tingkat Kemampuan 4: Dokter mampu mendiagnosiskasus, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Dari tingkat kemampuan ini, peneliti menginterpretasikannya sebagai tingkat kemandirian dokter dalam mengelola masalah kesehatan di layanan primer. Pada SKDI 2006 disebutkan ada 155 daftar penyakit/masalah kesehatan yang diharapkan dapat dikelola secara tuntas dan mandiri. Dengan demikian, kami meneliti berdasarkan 155 daftar penyakit/masalah kesehatan yang seharusnya dapat dikelola oleh dokter yang bekerja di layanan primer secara tuntas dan mandiri. Beberapa studi pendahuluan membuktikan bahwa tidak semua dokter yang bekerja di layanan primer di Indonesia melakukan pengelolaan pasien pada tingkat kemandirian yang maksimal yang diharapkan dalam SKDI 2006. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Gorontalo menyebutkan bahwa tingkat kemampuan dokter yang bekerja di layanan primer pada lima puluh penyakit yang umumnya terjadi di Kabupaten Gorontalo menunjukkan bahwa kemandirian dokter masih berada di tingkat mampu mendiagnosis kemudian langsung merujuk, jarang mampu melakukan penanganan dini, apalagi
12
menyelesaikan masalah kesehatan secara tuntas dan mandiri (Istiono, 2010). Hasil dari penelitian tersebut tampak pada grafik berikut:
45
46
49 4 47 48
1
2
3 4
5
6
44
7 3
43 42 41 40
8 9 10 11
2
39
12
38
13
1
37
14
36
15
35 34 33 32 31
30
29
28 27 26
23 25 24
22
21
20
16 17 18 19 N=18
Gambar 1. Grafik Evaluasi Diri 18 Dokter yang Bekerja di Layanan Primer Terhadap Kemampuan Mengelola Penyakit Secara Mandiri di Seluruh 8 Puskesmas di Kabupaten Gorontalo
Keterangan: Dokter yang dilatih maupun belum dilatih dengan pelatihan dokter keluarga oleh IDI dan ditugaskan oleh Dinas Kesehatan Provinsi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer 1-49: Daftar penyakit yang dapat ditangani secara tuntas oleh dokter yang bekerja layanan primer berdasarkan Daftardiempat puluh sembilan penyakitSKDI yang2006 dimaksud adalah:
13
Tabel 1. Daftar Penyakit yang Dapat Dikelola Secara Mandiri dan Sering Ditemui di Pelayanan Primer di Kabupaten Gorontalo
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Nama Penyakit Ankilostomiasis Arthritis Askariasis Batuk Campak Chikungunya Demam Dengue Dermatitis infeksi Dermatitis kontak Dermatomikosis DHF Diare Difteri DM Filariasis Gastritis GERD Gizi dan kehamilan Gizi dan menyusui Hepatitis A Hepatitis B Hipertensi Hordeolum Infeksi saluran kemih
No. 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Nama Penyakit Infeksi saluran nafas akut Infertilitas ISK Kejang demam Kelainan pola haid Kembung Kista Bartholin Kolera Konjungtivitis Konstipasi Kontrasepsi Kuning ikterus neonatorum Lekore Persalinan normal Pertusis PHS Pilek Ruam popok TBC non-paru TBC paru Tifus abdominalis Uretritis GO Uretritis non GO Varisela
14
Dengan demikian pengelolaan masalah kesehatan pasien tidak sempurna, sehingga masalah kesehatan primer tidak terkontrol dengan baik. Hal ini didukung dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Manunggal (2013) menjelaskan bahwa dokter yang bekerja di layanan primer di Indonesia hanya fokus pada pengelolaan kuratif dan kurang melakukan prinsip pengelolaan kasus yang lain (general ,continuity of care, comprehensiveness, coordination of care, collaborative, community oriented, family oriented) (EURACT, 2005). Meskipun demikian studi pendahuluan tersebut perlu dibuktikan lagi lebih lengkap dengan mengacu pada kompetensi SKDI 2006 pada setting pelayanan primer di berbagai tempat. Studi tersebut diharapkan akan memberikan gambaran level kemampuan dokter yang berkerja di layanan primer di Indonesia. Hal ini sangat penting dalam memberikan fondasi perkembangan pendidikan dan pelayanan kesehatan primer oleh dokter yang bekerja di layanan primer. Perlu diketahui bahwa di setting pelayanan primer hanya terdapat satu pedoman pelayanan kesehatan di tingkat Puskemas yang dikeluarkan oleh Kementerian kesehatan tahun 1997 yang mencakup jumlah kasus penyakit yang terbatas, jauh lebih kecil dari jumlah kasus penyakit yang diharapkan dapat dikelola secara mandiri dalam SKDI 2006. Di Indonesia, terdapat wacana pengembangan penjaminan pembiayaan kesehatan secara menyeluruh oleh pemerintah pusat yang tidak diikuti secara serentak oleh pemerintah daerah dalam mengembangkan pelayanan primer.
15
Sementara di luar negeri, pelayanan primer sudah berkembang dengan pesat, terbukti dengan banyaknya penelitian di pelayanan primer, pendidikan berkelanjutan di pelayanan primer, serta perbedaan pelayanan primer yang jauh lebih berkualitas. Penelitian ini sangat penting dilakukan dalam mendukung pelaksanaan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Nomor 20 Tahun 2013 Pasal 7 dan 8 tentang Dokter Layanan Primer (DLP). Peneliti ingin menggali tingkat kemampuan dokter dalam mengelola penyakit secara mandiri sesuai atau tidak sesuai dengan level yang diharapkan SKDI 2006. Penelitian ini dimulai sebelum ada SKDI 2012. Meskipun demikian daftar Penyakit dalam SKDI 2012 tidak jauh berbeda dengan SKDI 2006. Dalam SKDI 2006 terdapat 155 penyakit, sedangkan dalam SKDI 2012 ada 146 penyakit. Studi yang dilakukan dengan metode observasi terhadap kemampuan dokter secara langsung tentu membutuhkan waktu yang lama, sumber tenaga, dan biaya yang besar. Oleh karenanya, penilitian selanjutnya lebih difokuskan pada evaluasi diri dokter mengenai kemampuan pengelolaan kasus di layanan primer serta dikonfirmasi dengan wawancara, Focus Group Discussion (FGD), dan observasi oleh peneliti.
16
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu diteliti kemampuan dokter yang bekerja di layanan primer dalam mengelola penyakit secara mandiri di berbagai wilayah di Indonesia.
Secara lebih spesifik pertanyaan penelitian dijabarkan sebagai berikut: 1. Apakah dokter yang bekerja di layanan primer merasa mampu mengelola penyakit secara mandiri? 2. Faktor-faktor apa yang menjadi pertimbangan penilaian diri dokter terhadap kemampuan mengelola penyakit di layanan primer?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengevaluasi kemampuan dokter yang bekerja di layanan kesehatan primer dalam mengelola kasus di Indonesia, khususnya di kabupaten/kota yakni di pulau besar dan kepulauan. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui evaluasi diri kemampuan mengelola penyakit/masalah kesehatan oleh dokter yang bekerja di layanan primer menurut persepsi dokter sendiri. b. Mengetahui faktor-faktor yang berkontribusi dalam penentuan evaluasi penentuan kemampuan diri.
17
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi perkembangan keilmuan, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi untuk pengembangan pendidikan kompetensi atau kemampuan dokter pelayanan kesehatan primer sesuai dengan karakteristik kebutuhan wilayah. 2. Bagi pelayanan primer, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi untuk meningkatkan mutu kemampuan dokter yang bekerja di layanan primer dalam mengelola penyakit bedah dan non bedah sesuai kebutuhan. 3. Bagi pelayanan sekunder dan tersier, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memetakan kebutuhan dokter di setiap level pelayanan dan penguatan dokter di layanan kesehatan primer oleh karena keterbatasan sistem rujukan, sehingga kasus yang dirujuk telah mendapatkan pengelolaan di pelayanan primer dengan efektif dan efisiensi. 4. Bagi institusi penyedia pembiayaan kesehatan hasil penelitian ini memberikan peta kebutuhan layanan kesehatan sesuai dengan karakteristik wilayah sehingga memudahkan keputusan dukungan pembiayaan untuk peningkatan mutu pelayanan primer dari aspek anggaran sumber daya, sarana, teknologi, dan obat-obatan. 5. Bagi pemerintah dan pemegang kebijakan kesehatan, hasil penelitian ini akan mendukung terciptanya kebijakan yang unggul dalam melayani hak asasi di bidang pelayanan kesehatan secara adil dan merata di Indonesia.
18
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang pernah dilaksanakan berdekatan topik dengan penelitian ini antara lain : 1. Friedman & Thomas (1999) mengukur kemampuan diagnostik (9 dari 36 kasus yang biasa dihadapi) pada 216 dokter (USA) sebelum dan sesudah terpapar dengan Decision Support System (DSS) dalam mengevaluasi diagnosis. Pengambilan data dilakukan dengan teknik pre dan post. Hasil yang diperoleh adalah adanya kenaikan diagnosis yang benar (45,5%) sesudah menggunakan DDS dibandingkan sebelumnya (39,5%). 2. Barends, Lestari, & Utarini (2005) melakukan penelitian mengenai karakteristik individu dan kualitas pelayanan rujukan sebagai faktor risiko kematian perinatal di RSUD Abepura. Kualifikasi petugas berpengaruh terhadap risiko kematian perinatal. Dokter jaga yang tidak terampil akan meningkatkan risiko kematian 6,58 kali lebih besar dibandingkan dengan petugas jaga yang terampil. 3. Jansen, Scherphier, Mets, & Grol (2009) menggunakan metode Self Assessment Questionnaire (SAQ) pada 49 dokter umum (GP) dan 47 trainees GP untuk mengukur Performance Base Test (PBT) dan menulis Knowledge Test of Skills (KTS). 4. Winda (2009) meneliti mengenai rujukan pasien dengan penyakit jantung koroner, hipertensi, dan diabetes mellitus. Alasan faktor rujukan ke dokter spesialis tinggi disebabkan beberapa hal, yaitu dokter spesialis
19
menahan pasien PPK I dan PPK II, obat tidak lengkap, alasan insentif dokter spesialis berdasarkan insentif fee for service, pemberian obat dalam jumlah besar, dan kendala fasilitas.
Penelitian yang dilakukan ini menggunakan pendekatan studi kasus. Peneliti menggunakan metode multiple case study, yaitu penelitian studi kasus yang menggunakan lebih dari satu kasus di dalam satu penelitian mengenai kemampuan mandiri dokter yang bekerja di layanan primer di Indonesia khususnya di pulau besar dan kepulauan (Yin, 2003). Setting penelitian dipilih berdasarkan kawasan yang melaporkan uji coba pengembangan layanan primer ke Kementerian Kesehatan dan ditindaklanjuti dengan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Sub-direktorat Kedokteran Keluarga, Ditjen Bina Upaya Kesehatan, dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pelaksanaan penelitian dilakukan secara periodik bersamaan dengan monitoring dan evaluasi dimulai dari tahun 2010 sampai dengan saturated data (tahun 2014). Kawasan tersebut adalah : (1) Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta; (2) Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta; (3) Kota Kediri, Jawa Timur; (4) Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Sumatera; (5) Kota Bontang, Kalimantan Timur; (6) Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur; (7) Kabupaten Gianyar, Bali (Kementerian Kesehatan, 2010). Pengembangan instrumen penelitian dilakukan dengan menggunakan acuan level kemandirian dalam kompetensi pengelolaan penyakit SKDI 2006
20
yang dikombinasikan dengan dimensi manajemen pelayanan kesehatan dan prinsip kedokteran keluarga. Rancangan penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia. Rancangan penelitian ini dikembangkan dalam penelitian “payung” dosen senior di Fakultas Kedokteran UGM dengan pengajuan ethical clearance tahun 2010. Selanjutnya, penelitian dilakukan dengan setting yang sama di berbagai lokasi (kabupaten/kota) tersebut di atas. Terlampir ethical clearance (EC) No: KE/FK/588/EC tanggal 4 Februari 2015.