BAB1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setiap individu merupakan manusia sosial, sehingga setiap individu dituntut untuk dapat berpartisipasi aktif, kreatif dan berdaya guna dalam lingkungannya. Sebagai manusia sosial, individu selalu memenuhi tuntutannya secara alamiah yang diwujudkan dalam perilaku sosial yang sesuai dalam masyarakat. Hal tersebut juga berlaku untuk anak berkebutuhan khusus terutama anak dengan retardasi mental (RM) secara hakiki mereka merupakan makhluk sosial. Sejak dilahirkan anak retardasi mental membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan biologisnya seperti makan dan minum (Sofinar, 2012). Anak retardasi mental (RM) mempunyai fungsi intelektual dibawah rata– rata (70) yang muncul bersamaan dengan kurangnya perilaku adaptif, ketidakmampuan
beradaptasi
dengan
kehidupan
sosial
sesuai
tingkat
perkembangan dan budaya, biasanya terjadi sebelum usia 18 tahun (Wong, 2004). Hasil penelitian Word Health Organization (WHO) tahun 2009, jumlah anak RM seluruh dunia adalah 3% dari total populasi. Tahun 2006-2007 terdapat 80.000 lebih penderita RM di Indonesia. Jumlah ini mengalami kenaikan yang pesat pada tahun 2009, dimana terdapat 100,000 penderita. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan sekitar 25% (Depkes RI, 2009). Berdasarkan data yang didapatkan di 1
2
Dinas Sosial Provinsi Bali pada tahun 2014 jumlah anak yang berkebutuhan khusus di Bali adalah 2.754 anak. Jumlah anak retardasi mental di Kota Denpasar berjumlah 169 anak, dimana anak laki-laki berjumlah 119 anak dan perempuan 50 anak. Retardasi mental (RM) memiliki tiga kategori, yaitu RM ringan memiliki rentang Intelligence Quotient (IQ) 50–55 sampai sekitar 70. RM sedang memiliki tingkat IQ
35–40
sampai
50–55
mampu
mempelajari
komunikasi
sederhana,
keterampilan tangan yang sederhana, perawatan diri yang mendasar, pada tingkatan ini anak masih dapat dibimbing dan dilatih untuk dapat berfungsi di dalam lingkungan sosial. Pada RM berat memiliki rentang IQ 20–25 sampai 35– 40 ( Lisnawati,Shahib, dan Wijayanegara, 2014). Efendi (2006) mengatakan bahwa anak retardasi mental sedang adalah anak yang memiliki kecerdasan yang rendah sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak yang mampu untuk didik seperti anak normal pada umunya. Soetjaningsih dan Rantuh (2014) menyebutkan bahwa anak retardasi mental tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara berpikirnya terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah, demikian pula pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah. Sedangkan Somantri (2007) mengatakan bahwa anak retardasi mental sedang disebut juga embisil, yang bisa mencapai perkembangan Mental Age-nya sampai lebih dari tujuh tahun. Anak retardasi mental sedang ini memiliki keterbatasan dalam penyesuaian diri
3
dengan lingkungan, tidak mampu memikirkan hal yang abstrak dan yang berbelitbelit. Di sisi lain anak retardasi mental dalam kesehariannya merupakan bagian dari anggota masyarakat dan selalu dituntut dapat berperilaku sesuai dengan norma- norma yang berlaku dilingkungannya. Sebagai anggota masyarakat anak retardasi mental tidak mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku, selain itu anak tidak bisa mandiri, tidak dapat melakukan komunikasi dua arah dengan teman sebaya atau orang lain hal ini disebabkan oleh kemampuan sosialisasi anak retardasi mental tidak berkembang secara optimal (Astuti, 2012). Hal tersebut di pengaruhi oleh faktor – faktor penghambat perkembangan sosial pada anak retardasi mental yaitu : (1) Peran aktif anak rendah, (2) tingkat pendidikan orang tua, (3) Stimulasi kurang yaitu anak retardasi mental memerlukan stimulasi yang lebih dibandingkan anak normal untuk mengembangkan kemampuan sosialisasinya, (4) Intelegensi rendah
(Wardhani, 2012). Fungsi intelektual yang rendah juga
disertai adanya keterbatasan pada dua fungsi atau lebih, yaitu komunikasi, menolong diri sendiri, keterampilan sosial, mengarahkan diri dan keterampilan akademik (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014). Kurangnya kemampuan intelektual dan penyesuaian diri anak retardasi mental menyebabkan anak kurang mampu bergaul dengan teman sebayanya, sehingga anak sering dikucilkan dari pergaulan teman-teman seumurnya, akibatnya anak bergaul atau bermain dengan teman-teman yang lebih muda atau mengurangi
4
kegiatannya sampai menarik diri dari pergaulan (Goshali, 2008). Anak retardasi mental akan mengalami gangguan prilaku adaptasi sosial, yaitu dimana anak mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya, tingkah laku kekanak-kanakan tidak sesuai dengan umurnya (Muttaqin, 2008) Hal ini juga akan berpengaruh pada perkembangan jiwa anak selanjutnya, yakni menyebabkan anak mengalami frustasi, ketegangan, kecemasan, gampang takut serta keregangan hubungan antara anak dengan masyarakat di sekitarnya (Somantri, 2007). Apabila interaksi sosial anak tidak dapat diatasi maka akan menimbulkan gangguan perkembangan khususnya pada perkembangan personal sosial, sehingga anak akan menjadi anak yang terisolasi dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya (Wong, 2004). Adaptasi anak terhadap lingkungan seperti geografis, adat istiadat, keluarga, sekolah dan teman sebaya dipengaruhi oleh pengalaman atau stimulasi (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014) Stimulasi merupakan bagian dari kebutuhan dasar anak yaitu asah. Dengan mengasah kemampuan anak secara terus-menerus, kemampuan anak akan semakin meningkat. Pemberian stimulasi dapat dilakukan dengan latihan dan bermain (Astuti, 2012). Melalui bermain, anak belajar membentuk hubungan sosial, belajar saling memberi dan menerima, menerima kritikan, akan terjadi komunikasi serta belajar perilaku dan sikap yang akan diterima dalam masyarakat (Wong, 2009). Salah satu bentuk permainan yang bisa diberikan adalah Cooperative Play (Ferlina, 2014). Permainan Cooperative Play merupakan
5
permainan yang dilakukan anak secara bersama-sama, dimana permainan yang terorganisir dan terancana serta terdapat aturan mainnya (Supartini, 2004). Hasil penelitian Wardhani (2012) menunjukan adanya peningkatan yang bermakna dengan cooperative play menggunakan puzzle dalam meningkatkan sosialisasi anak retardasi mental. Monopoli merupakan salah satu permainan dari Cooperative Play, pada permainan ini anak bermain secara bersama-sama, dengan bermain bersama anak akan saling berinteraksi dengan teman lainnya yang akan meningkatkan kemampuan interaksi sosial anak. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) C1 Negeri Denpasar pada bulan November 2014 dengan melakukan wawancara kepada Kepala Sekolah SDLB C1 Denpasar terdapat 63 siswa retardasi mental sedang dan ada sebagian siswa yang tuna ganda. Hasil observasi yang dilakukan di kelas tiga dan kelas empat secara acak menggunakan lembar observasi Delphie (2006) yang telah dimodifikasi oleh Wardhani (2012) didapatkan dari sembilan anak retardasi mental yang diobservasi didapatkan empat anak yang interaksi sosial cukup dan lima anak interaksi sosialnya kurang. Upaya yang dilakukan sekolah untuk meningkatkan interaksi sosial anak adalah dengan mengadakan kegiatan pramuka setiap hari sabtu. Namun kegiatan ini tidak berjalan dengan optimal karena kurangnya pastisipasi anak dalam mengikuti kegiatan pramuka.
6
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu “ Adakah Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar tahun 2015 ?”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui Pengaruh
Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli
Terhadap Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang di SDLB C1 Denpasar 2015.
1.3.2 Tujuan Khusus. 1. Mengidentifikasi interaksi sosial sebelum diberikan intervensi terapi bermain anak retardasi mental sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar 2015. 2. Mengidentifikasi interaksi sosial setelah diberikan terapi bermain anak retardasi mental sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar.
7
3. Menganalisis pengaruh interaksi sosial sebelum dilakukan terapi bermain monopoli dengan setelah dilakukan terapi bermain monopoli pada anak retardasi mental sedang Sedang di SDLB C1 Negeri Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis 1.
Hasil penelitian dapat
digunakan untuk
mengembangkan ilmu
keperawatan khususnya keperawatan anak dalam pemberian terapi bermain cooperative play terhadap interaksi sosial anak retardasi mental sedang. 2.
Dapat
dijadikan
referensi
untuk
peneliti
selanjutnya
dalam
mengembangkan interaksi sosial anak retardasi mental sedang dalam ilmu keperawatan anak.
1.4.2. Manfaat Praktis 1.
Sebagai masukan bagi perawat komunitas agar membina kermitraan antara PUSKESMAS dengan sekolah dasar berkebutuhan khusus dalam Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan menggunakan terapi bermain monopoli sebagai salah satu metode terapi untuk menstimulasi kemampuan interaksi sosial anak retardasi mental.
2.
Sebagai masukan bagi orang tua dan tenaga pengajar agar menggunakan terapi bermain monopoli sebagai salah satu pembelajaran dalam usaha mengembangkan kemampuan interaksi sosial anak retardasi mental.
8
1.5 Keaslian Penelitian Sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian yang sama dengan judul yang sama dengan judul penelitian penulis. Adapun penelitian dimana salah satu dari variabelnya sama dengan penulis yaitu : 1.5.1 Ferlina (2014) dengan penelitian yang berjudul “ Pengaruh Terapi Bermain : Cooperativ Play dengan Puzzle Transportasi Terhadap Pekembangan Sosial Anak Retardasi mental di Yayasan Pendidikan Setia Ayah Bunda Kota Payakumbuh Tahun 2014”. Penelitian dilakukan di Yayasan Pendidikan “Setia Ayah Bunda” Kota Payakumbuh. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 16 sampel. Penelitian ini menggunakan uji hoptesis t – berpasangan (paired t – test) dan uji normalitas pada penelitian ini adalah Uji Shapiro Wilk karena sampel pada penelitian ini kurang dari 50 sampel. Setelah diberikan terapi bermain puzzle dapat diketahui bahwa dari 16 orang anak tunagrahita, 10 anak dikatakan memiliki perkembangan sosial sedang, dengan persentase 62,5% dan terdapat 6 orang anak memiliki perkembangan sosial yang baik dengan persentase 37,5%. Hasil uji statistik didapatkan p = 0.00 maka dapat disimpulkan ada pengaruh terapi bermain puzzle transportasi terhadap perkembangan sosial anak tunagrahita sedang di Yayasan Pendidikan “Setia Ayah Bunda” Kota Payakumbuh Tahun 2014.
9
1.5.2 Wardhani (2012) dengan penelitian yang berjudul “Terapi Bermain : Cooperative Play dengan Puzzle Meningkatkan Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental”. Penelitian ini di lakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Al – Hidayah, Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan Kabupaten Madium. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 21 sampel. Analisis data ini dilakukan dengan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Mann Whitney Test dengan tingkat kemaknaan α = 0.05. Peningkatan terjadi pada responden (4 responden) yang mengalami perubahan kriteria yang semula dari kriteria kurang meningkat menjadi kriteria cukup dan 1 responden yang semula dari kriteria cukup meningkat menjadi kriteria baik. Responden pada awalnya tidak ada kontak mata, tidak membalas senyuman, tidak mau menjawab pertanyaan dan cenderung menyendiri. Pada minggu pertama pemberian terapi bermain: cooperative play dengan puzzle masih banyak responden belum bisa mengikuti permainan sesuai dengan peraturan. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,036 maka dapat disimpulkan terjadi peningkatan kemampuan sosialisasi pada anak retardasi mental pada kelompok perlakuan. 1.5.3 Astuti (2011) dengan penelitian berjudul “Peningkatan Interaksi Sosial dengan Pemberian Stimulasi Bermain Sosialisai pada Murid SDLBN/C1 (Imbesil Sedang) Usia Sekolah (6-12 Tahun) di Kabupaten Tuban Jawa Timur”. Penelitian ini dilakukan di SDLBN/C1 Kabupaten Tuban. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 20 sampel. Pengolahan data dan analisi data menggunakan dengan analisa crosstable. Pada responden no 1, 3, 6, 8
10
dan 9 mengalami perubahan kerusakan interaksi sosial berat menjadi sedang. Pada reponden no 2 dan 4 mengalami perubahan kerusakan interaksi sosial sedang menjadi baik. Pada responden no 5 mengalami perubahan dua tingkat yaitu dari kerusakan interaksi sosial sedang menjadi interaksi sosial normal tetapi pada responden no 7 dan 10 tidak mengalami perubahan yaitu tetap pada kerusakan interaksi sosial berat. Hasil dari penelitian ini terjadi peningkatan kemampuan sosialisasi pada anak retardasi mental pada kelompok perlakuan.
��������������������������������������������������������������������������� ��������������������������������������������������������������������������������� �����������������������������������������������������