BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Pada tahun 2013 telah disahkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang keistimewaan Yogyakarta dimana salah satu pokok bahasannya adalah mengenai pertanahan, terutama Sultan Ground dan Pakualaman Ground. Dalam UndangUndang tersebut bahwa dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan, Kasultanan dan Kadipaten dinyatakan sebagai badan hukum. Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah kasultanan sedangkan Kadipaten sebagai subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah kadipaten. Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengolah dan memanfaatkannya untuk sebesar-besar nya pengembangan, kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Sultan Ground adalah tanah yang masih milik keraton dan belum diberikan hak nya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa. Keberadaan Sultan Ground di Yogyakarta merupakan aset sosial dan ekonomi yang harus dijaga dan dipertahankan. Status tanah Sultan Ground bagi pihak kraton, masih belum jelas secara hukum karena selama ini Sultan Ground dianggap sebagai tanah ulayat (adat) yang keberadaannya telah diakui baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Pemerintah Provinsi DIY mulai mendata penggunaan tanah yang termasuk dalam kategori Sultan Ground dan Pakualaman Ground, pendataan dilakukan hanya untuk keperluan administrasi, bukan upaya mengambil kembali tanah-tanah tersebut dari warga masyarakat yang sudah menggunakan tanah tersebut turun temurun. Bagi siapapun yang akan menggunakan Sultan Ground harus meminta ijin kepada pihak keraton melalui prosedur yang berlaku. Untuk
menyewa dan memakai Sultan
Ground, terlebih dahulu harus meminta ijin kepada Panitikismo. Panitikismo
1
merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan keraton yang meliputi pengaturan dan perizinan. Tanda bukti izin tersebut adalah dikeluarkannya Surat kekancingan Magersari yang didalamnya memuat klausul bahwa pemegang magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari tidak bisa diperjual belikan dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Tetapi banyak masyarakat yang menggunakan tanah Sultan Ground tanpa memiliki tanda bukti ijin yang berupa Surat kekancingan dan belum tersedianya informasi spasial yang secara khusus menggambarkan tanah Sultan Ground berdasarkan kepemilikan tanda bukti ijin (surat kekancingan), sehingga dapat menimbulkan kerancuan pada kepemilikan dan penggunaan tanah Sultan Ground . Terdapat juga konflik yang melibatkan masyarakat pengguna Sultan Ground dengan Keraton dimana terdapat sertifikasi Sultan Ground menjadi hak milik tanpa sepengetahuan pihak Kraton. Karena itu perlu dilakukan inventarisasi keberadaan Sultan Ground, agar dikemudian hari tidak terjadi konflik. Proyek ini akan membuat peta persebaran Sultan Ground berdasarkan kepemilikan sertifikat dan yang belum memiliki sertifikat baik yang sudah diukur maupun belum diukur. Dengan demikian proyek ini diharapkan dapat membantu pihak keraton atau pihak yang berkepentingan terhadap Sultan Ground. I.2. Cakupan Kegiatan Adapun cakupan kegiatan dari proyek ini adalah sebagai berikut : 1. Objek kegiatan aplikatif ini berfokus pada daerah Kabupaten Bantul dengan studi kasus di Kecamatan Imogiri. 2. Dalam proses pengerjaan proyek ini software yang digunakan adalah AutoCad Map dan ARCGIS. 3. Pengambilan data dilakukan di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bantul dan Kantor Panitikismo, sehingga data yang digunakan dalam proyek ini berupa data sekunder.
2
I.3. Tujuan Proyek Bertitik tolak dari latar belakang maka tujuan yang hendak dicapai dalam proyek ini adalah: 1. Inventarisasi persebaran Sultan Ground di Kabupaten Bantul dan studi kasus di Kecamatan Imogiri. 2. Pembuatan peta persebaran Sultan Ground di Kabupaten Bantul dan studi kasus di Kecamatan Imogiri.
I.4. Manfaat Proyek Diharapkan nantinya proyek ini akan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Untuk memberikan informasi tentang data persebaran Tanah Sultan Ground bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam bentuk peta. 2. Dapat digunakan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan dalam perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten Bantul. 3. Menambah referensi dan bahan kajian mengenai Sultan Ground di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
I.5. Landasan Teori I.5.1. Sejarah Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Membicarakan mengenai pertanahan di Yogyakarta berbeda dengan daerah lain, perbedaan ini tidak terlepas dari sejarah masa awal Kerajaan Mataram yang terpecah menjadi dua daerah kasultanan. Salah satu dari kasultanan ini berpusat di Yogyakarta. Pada awalnya, di tanah Jawa hanya ada satu kekuasaan di bawah kepemimpinan Susuhunan Pakubuwono yang berkuasa atas seluruh bumi Mataram. Kemudian pada
3
tahun 1740 - 1743, terjadi pemberontakan akibat ketidakpuasan sebagian rakyat atas kepemimpinan Pakubuwono, yang hanya menguntungkan bagi kehidupan orangorang sekelilingnya. Peristiwa yang dikenal dengan “Geger Pacinan” tersebut, dalam perjalanannya mampu mengusai daerah Sukawati (sekarang Sragen) yang menjadi basis dari gerakan anti Pakubuwono tersebut. Upaya Pakubuwono dengan tentaranya memerangi gerakan pemberontakan tersebut ternyata mengalami kekalahan terus menerus dan salah satu upaya yang ditempuh oleh Pakubuwono II pada tahun 1745 adalah dengan mengadakan sayembara yang isinya, siapapun yang dapat mengalahkan gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Said, Susuhunan akan memberikan tanah yang berada di Sukawati. Mangkubumi merupakan satusatunya yang mengikuti sayembara tersebut dan berhasil memadamkan gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Said. Namun demikian, janji Pakubuwono yang akan memberikan tanah di daerah Sukawati mendapatkan halangan dari orangorang yang ada di dalam keraton dan menyebabkan berlarut-larutnya pelaksanaan janji tersebut. Hal ini dianggap oleh Mangkubumi telah menghina martabatnya yang telah berjuang memadamkan pemberontakan di daerah Sukawati, oleh karena itu Mangkubumi beserta pengikutnya meninggalkan Surakarta menuju Sukawati dan memulai perlawanan selama 9 tahun terhadap Pakubuwono yang dianggap telah melanggar janjinya (Syamsul, 2007). Pada tahun 1755 atas intervensi VOC, Pakubuwono III berhasil membujuk Mangkubumi beserta pengikutnya untuk hidup berdampingan secara damai. Hal itu ditandai dengan perjanjian Giyanti yang membagi bumi Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta di bawah pimpinan Sunan Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta
di
bawah
pimpinan
Mangkubumi
yang
bergelar
Sultan
Hamengkubuwono I. Masuknya penjajahan Belanda dan Inggris membuat politik di Indonesia pecah belah, hal ini juga berdampak bagi Kasultanan Yogyakarta. Upaya memecah belah Kasultanan Yogyakarta dilakukan oleh penjajah. Dengan menggunakan
Pangeran
Notokusumo
yang
tak
lain
adalah
putra
dari
Hamengkubuwono I, pemerintah penjajah di bawah Gubernur Raffles berhasil menundukkan Hamengkubuwono II. Pada tahun 1813 Gubernur Jendral Inggris,
4
Raffless memberikan hadiah Pangeran Notokusumo sebagian wilayah Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Notokusumo yang kemudian bergelar Pakualam I, menguasai kadipaten Pakualaman yang daerahnya meliputi satu kecamatan dalam Kota Yogyakarta dan empat kecamatan di wilayah Kulonprogo. Pada tahun 1863, adanya sistem pertanahan yang dikenal Zaman Kepatuhan atau Zaman Kebekelan sebagian tanah dikuasakan kepada kerabat (Sentono) sebagai penghasilan dengan ketentuan dua bagian untuk kerabat/sentono (Patuh), dua bagian untuk rakyat (penduduk petani penggarap) dan satu bagian untuk orang yang diberi kuasa untuk mengurus (Bekel). Pelaksanaan Zaman Kepatuhan atau Zaman Kebekelan ini, ternyata tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat karena masih adanya sistem sewa tanah oleh lembaga asing. Oleh karena itu, pada tahun 1941 diadakan reorganisasi di bidang politik, ekonomi dan pertanahan dengan maksud untuk menghapuskan stelsel apanage (kekuasaan tanah oleh pihak asing). Kasultanan kemudian mengadakan perubahan sistem pertanahan dengan membentuk Kalurahan, mengubah dasar sewa tanah dan memberikan hak atas tanah yang lebih kuat kepada penduduk. Untuk mencapai kesejahteraan rakyat dalam kaitannya dengan reorganisasi yang dilakukan, dikeluarkan Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dimana pada pasal 1 menyebutkan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh pihak lain adalah Domain Kerajaan (Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) dan pada pasal 2 disebutkan bahwa di wilayah yang mengalami reorganisasi, dibentuk menjadi Kalurahan. Dalam pasal 4 Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16, tertulis bahwa semua tanah yang secara nyata dipakai oleh rakyat baik ditempati maupun yang diolah secara tetap ataupun tidak tetap sebagaimana tercatat dalam register Kalurahan, diberikan hak anggaduh (hak milik) oleh Kasultanan. Tanah yang diberikan hak anggaduh tersebut, kecuali tanah lungguh dan tanah pangarem-arem, diberikan kepada Kalurahan dengan melangsungkan hak anganggo (hak pakai) kepada pemakai secara turun temurun. Selain itu, seperlima dari luas tanah keseluruhan tetap dikuasai Kalurahan untuk lungguh Lurah dan Pamong, pangarem-
5
arem Bekel yang diberhentikan akibat reorganisasi dan untuk mencukupi keperluan Kalurahan atau sebagai sumber pendapatan Kalurahan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di wilayah Kalurahan terdapat tanahtanah yang digunakan sebagai tanah hak anganggo turun-temurun warga masyarakat, tanah desa untuk lungguh, tanah pangarem-arem, tanah kas desa untuk kepentingan umum, tanah yang dikuasai pihak asing dan tanah yang belum pernah dilepaskan atau masih menjadi kewenangan Kraton. Tanah yang masih menjadi kewenangan Keraton dan termasuk dalam Domain Kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat inilah yang disebut sebgai tanah Sultan Ground (Suyitno, 2007). I.5.2. Sultan Ground Tanah Kasultanan (Sultan Ground ) adalah tanah yang dimiliki dan kewenangannya diatur oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan diwariskan secara turun temurun oleh pewaris. Tanah Keraton merupakan tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, dan masih merupakan milik keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak kraton. Tanah tersebar hampir di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan keberadaannya diakui oleh masyarakat. Sultan Ground dibagi dua yaitu Crown Domain (Tanah Mahkota) dan Sultanaad Ground. Crown Domain merupakan tanah Sultan Ground yang tidak bisa diwariskan dan
merupakan atribut pemerintahan Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, diantaranya Kraton, Alun-alun, Kepatihan, Pasar Ngasem, Pesanggrahan Ambarukmo, Pesanggrahan Ambarbinangun, Hutan Jati di Gunungkidul, Masjid Besar dan sebagainya. Sedangkan Tanah Sultanaad Ground (tanah milik Kasultanan) adalah tanah-tanah Sultan Ground yang bisa diberikan dan dibebani hak. Tanah tersebut merupakan wilayah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat yang tanahnya bisa digunakan oleh rakyat. Yogyakarta awalnya merupakan daerah swapraja. Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kasultanan Yogyakarta. Dalam konsiderans Staatsblad No. 474
6
tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal dan sebagainya. Dalam memperoleh izin untuk menyewa atau memakai tanah keraton (Magersari), terlebih dahulu harus meminta izin kepada Panitikismo. Panitikismo merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan keraton yang meliputi pengaturan dan perizinan. Tanda bukti izin tersebut adalah dikeluarkannya Surat Kekancingan Magersari yang di dalamnya memuat klausul bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah Magersari tidak bisa diperjual belikan dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Untuk tanah keraton yang telah bersertifikat hak milik, tentu saja menurut Hukum Agraria yang berlaku, permohonan hak atas tanah tersebut tunduk pada ketentuan UUPA serta ketentuan lain yang meliputi ketentuan administratif. Hal ini menandakan Hukum yang berlaku mengenai tanah di DIY masih tumpang tindih. Di samping itu, terdapat tanah-tanah yang telah bersertifikat dan dimiliki oleh perseorangan. Tanah tersebut merupakan tanah yang pada kenyataannya tidak dapat diganggu gugat oleh pihak keraton karena telah ada alas hak yang sah. Namun jika ingin mendirikan bangunan, harus memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB). I.5.2.1. Perizinan Penggunaan tanah Sultan Ground Menurut (Rizqiana, 2009) bahwa segala hal yang berhubungan dengan kegiatan pertanahan yang menyangkut perizinan dan penggunaan Tanah Sultan Ground, dilakukan kepengurusannya oleh Panitikismo, sebuah lembaga yang ada di dalam Keraton. Lembaga ini menjadi satu-satunya pihak yang berhak mengeluarkan surat izin yang disebut Surat Kekancingan. Sementara Kawedanan Hageng Wahono Sarto Kriyo atau pejabat urusan pertanahan di Keraton, yang mengatur dan memberikan kewenangan atas pelaksanaan lembaga ini adalah KGPH Hadiwinoto, adik dari Sultan Hamengku Buwono X.
7
Surat kekancingan dikeluarkan oleh Panitikismo, surat kekancingan sendiri adalah izin penggunaan Tanah Sultan Ground yang berbentuk seperti surat perjanjian antara dua pihak peminjam dan pihak pemilik. Seperti diketahui pihak peminjam adalah warga atau penduduk Negara Indonesia yang melakukan permohonan izin tinggal dan atau menempati sebidang tanah milik di atas Tanah Sultan Ground kepada pihak Keraton. Surat Kekancingan ini berisi pasal-pasal yang secara garis besar mengatur pihak peminjam dalam menggunakan sebidang tanah tersebut dengan beberapa persyaratan di dalamnya. Diantaranya adalah pihak peminjam bersedia menerima segala bentuk hal yang menguntungkan dan atau merugikan dalam menggunakan tanah tersebut. Pihak peminjam juga diwajibkan memelihara keutuhan tanah tersebut dengan baik dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan wajib mengembalikan tanah tersebut sesuai tenggat waktunya tanpa meminta ganti rugi atas bangunan atau gedung di atas tanah tersebut. Peminjam diperkenankan mendirikan bangunan untuk tempat tinggal atau usaha dengan syarat tidak untuk keperluan yang melawan hukum dan wajib memberikan uang pisunsung (sumbangan) sebesar ketentuan dan disetorkan ke Panitikismo per tahunnya. Apabila terjadi permohonan alih hak, maka jangka waktu yang dipakai adalah sisa dari waktu peminjam melakukan permohonan pertama kali. Surat Kekancingan ini tidak dapat diperjualbelikan atau dimanfaatkan di luar izin yang sah dari pihak Keraton. (Rizqiana, 2009) I.5.2.2. Stastus hukum tanah Sultan Gound Status hukum kepemilikan Sultan Ground menurut hukum positif adalah Sultan Ground merupakan tanah sah milik raja sesuai dengan pasal 20 ayat (1) UUPA, dan fakta di lapangan maka sebenarnya tanah keraton dikategorikan sebagai hak milik keraton. ( Kadriah, 2014) Hukum-hukum pertanahan yang berkaitan dengan Sultan Ground adalah sebagai berikut: a) Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 tentang pengaturan hak di atas Tanah Sultan Ground dan pembentukan Kalurahan.
8
Pasal 1: “Tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh pihak lain adalah Domein Kerajaan.” Pasal 2: “Wilayah yang mengalami reorganisasi dibentuk menjadi Kalurahan.” Pasal 4: “Semua tanah yang secara nyata dipakai oleh rakyat baik ditempati maupun yang diolah secara tetap maupun tidak tetap sebagaimana tercatat dalam register Kalurahan, diberikan hak anggaduh tersebut, kecuali tanah lungguh dan tanah pangarem-arem, diberikan kepada Kalurahan dengan melangsungkan hak anganggo (hak pakai) kepada para pemakai secara turun-temurun.” b) UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasal 4 ayat 4 : “Urusan-urusan rumah tangga dan kewajiban-kewajiban daripada yang tersebut dalam ayat 1 di atas, yang dikerjakan oleh Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum dibentuk menurut Undang-Undang ini, dilanjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan Undang-Undang.” c) Peratuan Daerah No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasal 1 : “Hak atas tanah dalam Daerah Istimewa Yogyakarta diatur dengan Peraturan Daerah.” Pasal 2 : “Tentang hak atas tanah yang terletak di dalam Kota Besar (Kotapraja) Yogyakarta buat sementara masih berlaku peraturan seperti termuat dalam Rijksblad Kasultanan. Tahun 1925 No. 23 dan Rijksblad Paku Alaman Tahun 1925 No. 25.” Pasal 3 : “Tentang hak atas tanah terletak dalam kalurahan diatur dan diurus oleh Kalurahan setempat, kecuali yang telah diatur di dalam Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta.” Pasal 4 ayat 1 : “Daerah Istimewa Yogyakarta memberi hak milik perseorangan turun-temurun atas sebidang tanah kepada warga Negara Republik Indonesia selanjutnya disebut hak milik.” d) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Diktum Keempat :
9
Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya Undang-Undang ini hapus dan beralih kepada Negara.
Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
e) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1967 tentang Pembagian Tugas dan Wewenang Agraria. Pasal 1 : “Tugas dan wewenang yang dengan peraturan ini dilimpahkan kepada Gubernur Kepala Daerah dan Bupati/Walikota Kepala Daerah dalam kedudukan dan fungsinya
sebagai
wakil
Pemerintah
Pusat,
penyelenggaranya
sehari-hari
dilaksanakan atas nama dan tanpa mengurangi hak kewenangan dan tanggung jawab Kepala Daerah oleh Direktorat Agraria dan Transmigrasi atau Kantor Inspeksi Agraria
pada
tingkat
propinsi
dan
oleh
Kantor
Agraria
pada
tingkat
Kabupaten/Kotamadya.” Pasal 2 : “Di Daerah Istimewa Yogyakarta tugas dan wewenang yang dengan peraturan ini dilimpahkan kepada Gubernur Kepala Daerah dan Bupati/Walikota Kepala Daerah, dilimpahkan kepada Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta penyelenggaranya sehari-hari dilaksanakan atas nama dan tanpa mengurangi hak kewenangan dan tanggung jawab Kepala Daerah oleh Dinas Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta.” f) UU No. 5 Tahun 1960 UUPA Pasal 2 ayat 4 : “Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuanketentuan Peraturan Pemerintah.” g) UU No 5 Tahun 1960 UUPA Pasal 11 ayat 2 : “Perbedaan dalam masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah.”
10
I.5.2.3. Hak pemanfaatan tanah Kasultanan Menurut peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013 pasal 28 bahwa hak pemanfaatan tanah kasultanan terdiri dari : a) Hak guna bangunan; b) Hak pakai; c) Magersari merupakan hak yang diberikan oleh Kasultanan kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan Keprabon terhadap tanahtanah milik Kasultanan yang belum dimanfaatkan; d) Ngindung merupakan hak yang diberikan oleh Kasultanan kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan Keprabon terhadap tanahtanah milik Kasultanan yang sudah dimanfaatkan; e) Anganggo merupakan hak yang diberikan oleh Kasultanan kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan keprabon; dan f) Anggaduh merupakan hak yang diberikan oleh Kasultanan kepada perorangan atau lembaga untuk menggunakan tanah bukan Keprabon terhadap tanahtanah milik Kasultanan untuk subyek dan jangka waktu tertentu. Adapun subjek pemanfaatan tanah Kasultanan yang berupa tanah bukan Keprabon terdiri dari : a) Para pangeran dalam jabatannya sebagai pemegang kekuasaan kepangeranan; b) Desa sebagai lembaga yang mengelola tanah Kasultanan; c) Lembaga pemerintah tertentu yang sudah menguasai dan memanfaatkan tanah bukan Keprabon; dan d) Warga masyarakat yang memanfaatkan bagian dari tanah buka Keprabon untuk tempat tinggal atau tempat usaha. 1.5.3. Pengertian Tanah Tanah menurut bahasa Yunani Pedon, Latin Solun dan Arab Ardun yang mempunyai arti yang sama yaitu salah satu unsur alam yang berada di bumi, yang
11
tersusun baik yang berada di atas permukaan maupun di dalam bumi. Sehingga dengannya menumbuhkan sesuatu dan dapat diambil manfaatnya. (Fachrudin, 2012) Tanah menurut pengertian geologis-agronomis adalah lapisan lapisan permukaan bumi yang paling atas. Tanah yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan,tanah pekarangan, tanah pertanian, atau tanah perkebunan. Sedangkan tanah yang digunakan untuk mendirikan bangunan disebut tanah bangunan. (Sudiyat, 1982) Sebutan tanah dalam bahasa keseharian dapat didefinisikan dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah itu digunakan( Harsono, 2003). Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, yang kemudian disebut tanah .
1.5.4. Pendaftaran Tanah Menurut Harsono (1997), pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang–bidang tanah dan satuan–satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang – bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak–hak tertentu yang membebaninya. Tujuan dari pendaftaran tanah yaitu untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, menyediakan informasi
kepada
pihak-pihak
yang berkepentingan dan
terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik yang merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan.
12
1.5.5. Hak- hak Penguasaan Atas Tanah Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar tertentu. Sedangkan pengertian penguasaan dan menguasai dapat digunakan dalam arti fisik, dan juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Menurut (Harsono, 2003) bahwa pengaturan hak-hak atas tanah dalam hukum tanah ada yang sebagai lembaga hukum dan ada pula sebagai hubungan konkret. Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Sebagai contoh dapat disebut Hak Milik dan Hak Guna Usaha sebagai mana disebutkan dalam pasal 20 sampai dengan 45 UUPA. Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu hubungan hukum konkret (biasanya disebut “hak”), jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang hak nya. Sebagai contoh dapat dikemukakan hak-hak atas tanah yang disebut dalam ketentuan konversi UUPA. Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan jenjang hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional, yaitu : a) Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik. b) Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2, semata-mata beraspek publik. c) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam pasal 3, beraspek perdata dan publik. d) Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri dari : I.
Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang disebut dalam pasal 1 dan 53;
II.
Wakaf, yaitu Hak milik yang sudah diwakafkan pasal 49; 13
III.
Hak jaminan atas tanah yang disebut “Hak tanggungan” dalam pasal 25, 33, 39, dan 51.
1.5.5.1. Hak-hak atas tanah Atas dasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Hak-hak atas tanah yang dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatas nya sekedardiperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batasbatas menurut Undang-Undang dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 UUPA). Berikut adalah hak-hak atas tanah yang dimaksud : 1.5.5.1.1. Hak Milik Merupakan hak turun-temurun, terikat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak milik diberikan langsung oleh Negara dan dapat dipunyai oleh badan hukum, badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah adalah bank-bank Negara, koperasi pertanian yang didirikan menurut UU No. 79 tahun 1958, badan-badan keagamaan dan badan-badan sosial ditunjuk oleh menteri pertanian/agrian. I.5.5.1.2. Hak Guna Usaha Merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hetar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Hak guna usaha dapat dialihkan dan mengalihkan ke pihak lain. I.5.5.1.3. Hak
Guna Bangunan Merupakan hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan nya, jangka waktu dapat diperpanjang
14
dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan ke pihak lain. I.5.5.1.4. Hak Pakai Merupakan hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan dalam pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanah nya. Yang bukan merupakan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan Undang-Undang. I.5.5.1.5. Hak Sewa Sesorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Pembayaran dapat dilakukan satu kali atau dalam tiap-tiap waktu tertentu atau dibayar sebelum atau sesudah tanah nya digunakan. Perjanjian sewa tanah tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur pemerasan. I.5.6. Peta Tematik Menurut Badan Informasi Geospasial (BIG) Peta Tematik merupakan peta yang menyajikan tema tertentu dan untuk kepentingan tertentu (land status, penduduk, transportasi dll.) dengan menggunakan peta rupabumi yang telah disederhanakan sebagai dasar untuk meletakkan informasi tematiknya. Pembuatan peta tematik merupakan salah satu cara yang paling efektif dan efisien untuk menganalisis dan memvisualisasikan data dan informasi milik pengguna. Pengguna dapat memberikan tambahan bentuk-bentuk grafis sehingga data-datanya dapat dilihat diatas peta. Demikian pula dengan analisis terhadap pola (patterns) dan kecendrungan (trends) yang tidak mudah untuk dilakukan bila hanya menggunakan data atribut (numeris) semata, akan mudah dengan menggunakan degradasi atau perbedaan warna untuk menampilkan data-data diatas peta (Prahasta, 2002). 15
1.5.6.1 Pengertian Kartografi Secara umum kartografi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang pemetaan. Pengertian yang lebih khusus diungkapkan oleh International Cartografhic Association (perhimpunan kartografi internasional) mengartikan kartografi sebagai perpaduan seni, ilmu dan teknik pembuatan peta, termasuk pengertian peta sebagai karya seni. Arti dari definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup kartografi meliputi : semua tahap dalam kompilasi. Desain kontruksi, evaluasi, menggambar, memberi warna/simbol, mencetak dan merevisi peta serta studi tentang peta sebagai media komunikasi. Dengan perkembangan teknologi yang sudah sangat canggih seperti sekarang ini (khususnya teknologi komputer), maka kartografi juga mengalami perkembangan secara funda mental. Revolusi teknologi mempunyai dampak pada kartografi. Kartografi tetap mempertahankan elemen dasar ilmu kartografi dan juga kartografi menghasilkan dua produk yang satu sama lain memenuhi fungsi masing-masing, yaitu : 1) Basis data digital merupakan media penyimpanan informasi geografis sebagai pengganti pencetakan peta; 2) Visualisasi kartografis pada sejumlah media yang berbeda merupakan fungsi pelayanan selain pencetakan peta. Menurut Menno-Jan Kraak dan Ferjan Ormeling (2003) kartografi dapat dilihat sebagai “pembuatan data spasial yang dapat diakses, menekan visualisasinya, dan memungkinkan berinteraksi dengannya, yang berhubungan dengan masalah-masalah geospasial”. Dari pengertian diatas, kita dapat melihat bahwa kartografi sudah tidak terbatas pada domain peta konvensional (cetak), namum sudah lebih luas dan mengarah kepada akses dan visualisasi yang umumnnya dilakukan menggunakan pada platform digital. Dalam prakteknya, peta dibuat selalu dengan tujuan tertentu, kemampuan dan kebutuhan pembaca serta batsan grafis pada media penyajian informasi peta sangat
16
mempengaruhi keputusan pendesainan (Robinson, 1996). Itulah yang membuat desain kartografis sangat menyenangkan. I.5.6.2 Simbolisasi Menurut Prihandito A. (1999), simbol merupakan bentuk semua informasi sesuai dengan distribusi geografik dan posisi planimetrik (X,Y) yang dikomunikasikan pada pemakaian peta. Simbol adalah salah satu tanda gambar menurut penyajian yang menyatakan obyek tertentu. Untuk memudahkan pelaksanaan simbolisasi dari banyak data yang bervariasi, maka berdasarkan cirinya dapat diklasifikasikan menjadi : 1.
Simbol titik, digunakan untuk menunjukkan posisi atau lokasi. Dapat digambarkan dalam bentuk titik, segitiga, segiempat, atau lingkaran. Simbol titik ini dapat dilihat pada Gambar I.1. berikut.
Gambar I.1. Simbol titik (Sumber : Prihandito A, 1999)
2.
Simbol garis, digunakan jika unsur yang diwakilinya berbentuk garis misal sungai, jalan, batas wilayah. Simbol garis ini dapat dilihat pada Gambar I.2. berikut.
Gambar I.2. Simbol garis (Sumber : Prihandito A, 1999)
17
3.
Simbol luasan, digunakan untuk mewakili unsur-unsur yang berbentuk luasan (polygon) misalnya hutan, sawah, rawa, dan sebagainya. Simbol luasan ini dapat dilihat pada Gambar I.3. berikut.
Gambar I.3. Simbol luasan (Sumber : Prihandito A, 1999)
Menurut Prihandito A. (1999), secara umum simbol dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu : 1.
Simbol piktorial, yaitu simbol yang mempunyai bentuk yang sama dengan obyek aslinya namun telah disederhanakan. Simbol piktorial ini dapat dilihat pada Gambar I.4. berikut.
Gambar I.4. Simbol piktorial (Sumber : Prihandito A, 1999)
2.
Simbol geometrik atau abstrak, yaitu simbol dengan bentuk teratur dan tidak mempunyai ciri-ciri khusus dan arti tertentu yang berhubungan dengan bentuk tersebut. Simbol geometrik atau abstrak ini dapat dilihat pada Gambar I.5. berikut.
Gambar I.5. Simbol geometrik (Sumber : Prihandito A, 1999) 18
3.
Simbol huruf atau angka, yaitu simbol yang disusun oleh huruf atau angka, digunakan untuk mewakili unsur- unsur yang sangat khas. Simbol huruf atau angka ini dapat dilihat pada Gambar I.6. berikut.
5 Gambar I.6. Simbol huruf atau angka (Sumber : Prihandito A, 1999) Menurut Riyadi (1994), pada peta skala kecil maupun skala besar selalu terdapat obyek-obyek yang tidak mungkin digambarkan dengan skala yang bersangkutan, sedangkan obyek-obyek tersebut harus dicantumkan dalam peta. Oleh sebab itu, pemakaian simbol dan desain pewarnaan sangat dibutuhkan. Di dalam proses simbolisasi dan desain pewarnaan pada suatu peta untuk membedakan bermacam-macam data, harus dibuat bermacam-macam kenampakan agar mudah dimengerti oleh pengguna. Variabel tampak merupakan basis dasar di dalam pembuatan desain simbol dan pewarnaan yang berperan penting pada proses sistematika dan logika. Sebelum memutuskan pemakaian suatu simbol dan warna yang akan mewakili suatu unsur di permukaan bumi, perlu dipelajari terlebih dahulu masalah variabel tampak yang menyangkut berbagai bentuk penyajian dengan menggunakan dampak pandang (visual impact), sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang ikut menentukan bentuk simbol dan warna atau penyajian pada suatu peta. Menurut Riyadi (1994), ada tujuh macam variasi gambar yang mampu/dapat diterima oleh mata sebagai pembentuk dasar utama gambar yang ditampilkan sebagai informasi. Ketujuh variasi tersebut dinamakan variabel tampak yang dibagi menjadi : 1.
Posisi (x,y). Posisi merupakan variabel tampak yang dapat memberikan informasi lokasi atau posisi (x,y) pada peta.
19
2.
Bentuk. Dengan menggunakan bentuk, simbol dapat dibedakan dengan lebih mudah. Dalam penggambarannya tidak terlalu rumit serta mempunyai jumlah yang tidak terbatas.
3.
Orientasi. Orientasi menggambarkan arah simbol pada peta. Pada variabel orientasi hanya dibatasi empat sampai enam perbedaan arah, hal ini tergantung pada macam simbol yang digunakan.
4.
Pewarnaan. Dengan menggunakan warna, simbol satu dengan yang lain dapat dibedakan dengan mudah. Variabel warna terdiri dari berbagai kombinasi dan komposisi warna dasar, sehingga dapat menghasilkan berbagai macam warna.
5.
Tekstur. Tekstur sebaiknya digunakan pada variasi gambar elemen dengan value tetap sehingga saat diperkecil maupun diperbesar, jarak antara bagian hitam dan putih tetap sama.
6.
Value. Value merupakan variabel yang menunjukkan derajat keabuan suatu simbol yang berkisar dari putih sampai hitam.
7.
Ukuran. Variabel ukuran menunjukan besaran suatu simbol. Di dalam kartografi, ketujuh variabel tampak ini digunakan untuk membentuk
simbol. Ketujuh buah variabel tampak serta keteragannya disajikan pada tabel I.1 dan gambar I.9.
Tabel I.1. Variabel tampak dan keterangannya Variabel Tampak Posisi Bentuk Orientasi Pewarnaan Tekstur
Keterangan Memberikan informasi lokasi (X,Y) di peta Memudahkan menggambarkan perbedaan simbol antara satu dengan yang lain Merupakan arah dari suatu simbol Perbedaan simbol satu dengan yang lain terlihat jelas Digunakan pada variasi dari gambar elemen dengan value
20
yang tetap Value Ukuran
Menunjukkan besar derajat keabuan, yang kisarannya dari putih sampai hitam Menunjukkan variasi dari besaran suatu simbol (Sumber: Riyadi, 1994)
Visual Variables Ukuran
Value Bentuk
Y
Posisi
X
Tekstur
Orientasi
Pewarnaan
(Sumber: Riyadi, 1994) Gambar I.7. Variabel tampak Variabel tampak tersebut harus mempunyai sifat pemahaman agar obyek yang ditampilkan dalam peta dapat dimengerti secara cepat. Ada empat macam sifat pemahaman dari suatu simbol. Keempat buah macam sifat tersebut beserta keterangannya dapat dilihat pada tabel I.2.
21
Tabel I.2. Sifat pemahaman variabel tampak dan keterangannya Sifat Pemahaman
Keterangan Jika reaksi awal dari mata dalam melihat simbol tersebut
Asosiatif
sama pentingnya. Tidak ada simbol yang terlihat lebih penting dibandingkan simbol lainnya walaupun wujud simbol tersebut berbeda satu sama lain. Jika reaksi awal mata dalam melihat simbol dapat
Selektif
membedakan antara simbol satu dengan yang lain secara cepat. Jika semua simbol dapat dibedakan secara spontan oleh
Order
variabel yang ditempatkan ke dalam tingkatan yang jelas.
Kuantitatif
Jika perbedaan semua simbol dapat dipisahkan satu dengan lainnya oleh jumlah yang jelas. (Sumber: Riyadi, 1994)
Ringkasan dari sifat pemahaman dari tiap-tiap variabel tampak dapat dilihat pada Tabel I.3.
22
Tabel I.3. Variabel tampak dan sifat pemahamannya Sifat
Posisi
Perspektif
Asosiatif
+
+
Selektif
-
Order Kuantitatif
Pemahaman
Garis
Warna
Tekstur
+
+
0
-
-
0
0
++
+
+
+
-
-
-
-
0
++
+
-
-
-
-
-
-
++
Perspektif
Shading
Ukuran
(Sumber: Riyadi, 1994) Keterangan : ++
: Sangat kuat
+
: Kuat
0
: Cukup
-
: Jelek Tanimura, Kuroiwa, dan Mizota (2006) menyebutkan bahwa visualisasi data
spasial pada peta tidak hanya membantu dalam eksplorasi data tetapi juga memberi gambaran spasial. Aplikasi dari visualisasi tersebut salah satunya digambarkan dengan bentuk penggunaan simbol proporsional. Simbol proposional merupakan jenis simbol yang merepresentasikan peta tematik secara kuantitatif dari data. Nilai-nilai absolute yang tersebar, berlaku untuk lokasi titik atau daerah, dapat digambarkan dengan simbol proporsional. Kraak dan Ormeling (2013) menyebutkan bahwa prinsip yang sama yang menunjukkan perbedaan nilai dengan perbedaan jumlah simbol tidak dapat digunakan pada peta. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar I.8.(a) dan I.8.(c): jumlah
23
simbol terlihat terlalu banyak pada peta dan mengancam menutupi latar belakang geografisnya, dengan alasan utama untuk menunjukkan data pada peta. Oleh karena itu, perbedaan nilai dalam kartografi ditunjukkan dengan ukuran simbol yang berbeda ukurannya. Daerah yang diliputi simbol ini akan menjadi lebih proporsional pada nilai yang harus digambarkan. Pertimbangan utama dari simbol ini adalah kemudahan dibaca dan dibandingkan. Simbol tersebut dapat terbaca atau tidak, berhadapan dengan latar belakang dari peta dasar yang tergantung pada kontras dan kepadatan simbol. Apakah Simbol proporsional dapat dibandingkan dengan mudah tergantung pada bentuknya. Simbol proporsional yang hanya bervariasi pada satu arah, seperti kolom (Gambar I.8.b.) bernilai baik dalam kemampuan orang untuk membandingkan ukuran yang disajikan. Di sisi lain, lingkaran-lingkaran ini akan kurang mendominasi gambaran peta, tidak akan memonopoli arah tertentu dan akan lebih mudah untuk menggunakannya pada daerah yang terkait. Simbol proposional lingkaran juga dapat digambarkan dengan bentuk lingkaran yang niali datanya terklasifikasi (Gambar I.9.) agar dapat digunakan untuk menentukan kategori ukuran tertentu. Simbol lingkaran bertingkat baik digunakan pada kasus data dengan lompatan interval yang besar.
(Sumber: Kraak dan Ormeling, 2013) Gambar I.8. Perbandingan pengaruh gangguan berbagai simbol proporsional pada peta
24
(Sumber: Anonim, 2009) Gambar I.9. Simbol lingkaran proporsional yang terklasifikasi Menurut Badan Informasi Geospasial (BIG, 2013) Peta tematik tersedia dengan skala –skala berikut : 1. Skala 1:2.500.000. 2. Skala 1:1.000.000. 3. Skala 1:250.000. 4. Skala 1:100.000. 5. Skala 1:50.000. 6. Skala 1:25.000. Komponen peta tematik menurut Hendi Indelarko (2009) terdiri dari : 1. Isi peta menunjukkan isi dari makna ide penyusun peta yang akan disampaikan kepada pengguna peta. Isi peta merupakan bagian dari peta yang menampilkan lapisan–lapisan data (layer). Bagian ini adalah bagian terpenting dari peta dan merupakan titik pusat dari sebuah dokumen peta. 2. Skala peta menjelaskan hubungan dari data frame yang ada di peta dengan dunia nyata dalam sebuah rasio perbandingan. Pensekalaan dapat dilakukan perunit atau berdasarkan satu ukuran terhadap ukuran lainnya. Skala sangat
25
penting untuk ditampilkan untuk melihat tingkat ketelitian dan kedetilan dari objek yang dipetakan. Skala dapat dibedakan menjadi : a) Skala numeris (numerical scale,functional scale, natural scale, linear scale). Misalnya : 1:100.000 b) Skala grafis atau skala garis atau skala bar.
Gambar 1.10 skala grafis peta c) Skala verbal. Misalnya : 1 inch = 1 mil, 1 cm =1km. 3. Simbol arah dicantumkan dengan tujuan orientasi peta. Arah utara lazimnya mengarah pada bagian atas peta. Kemudian berbagai tata letak tulisan mengikuti arah utara, sehingga peta nyaman dibaca tanpa membolak-balik peta. Lebih dari itu arah juga penting sehingga pemakai peta dapat dengan mudah mencocokkan objek di peta dengan objek di lapangan.
Gambar 1.11 Simbol ara peta. 4. Legenda atau keterangan bertugas untuk menjelaskan seluruh simbol-simbol yang digunakan dalam peta pada setiap lapisan datanya. Agar pengguna peta dapat mudah memahami isi peta. Seluruh isi peta harus dijelaskan dalam legenda. Legenda peta harus menggambarkan secara detail berbagai gambar skema, simbol dan kategori yang terdapat dipeta tersebut.
Gambar 1.12 Legenda peta.
26
5. Sumber data, agar pembaca peta dapat mengetahui sumber data atau peta yang digunakan, kapan peta dibuat, dan lain-lain. Jika diperlukan, pengguna dapat melacak keakuratan informasi dan interpretasi dari pembuat peta. 6. Judul peta, sebuah judul peta sangat penting adanya, karena sebuah judul akan memberikan gambaran secara singkat mengenai subjek-subjek yang ada didalam peta tersebut. Judul peta harus mencerminkan isi peta.
Gambar 1.13 judul peta. 7. Proyeksi peta, sebuah peta membutuhkan kedetilan informasi sebuah sistem proyeksi yang digunakan untuk kebutuhan pemakaian sistem koordinat yang diapakai. Misalnya : Proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) dan lain-lain. 8. Kartografer, pengolahan data atau peta menjadi sebuah peta yang dibutuhkan, indentitas pembuat peta maupun yang terlibat dalam pembuatan peta tersebut dapat diketahui. 9. Waktu pembuatan, waktu pemerosesan peta untuk mengetahui kapan pertama kali peta tersebut dihasilkan agar dapat diketahui realibilitas peta tersebut dalam jangka waktu tertentu. 10. Sistem grid dan koordinat, dalam selembar peta sering terlihat dibubuhi kerangka refrensi semacam jaringan kotak-kotak atau sistem grid. Tujuan grid adalah untuk memudahkan penunjukkan lembar peta dari sekian banyak lembar peta dan untuk memudahkan penunjukkan letak sebuah titik diatas lembar peta. Dalam sebuah sistem grid, garis horizontal maupun vertikal merupakan garis koordinat sebuah sistem koordinat teretntu yang mempunyai nilai koordinat tertentu pula. Cara membuat grid yaitu dengan wilayah dunia yang luas dibagi-bagi ke dalam beberapa kotak. Tiap kotak diberi kode. Tiap kotak dengan kode tersebut kemudian diperinci dengan kode terperinci lagi dan seterusnya. Jenis sistem grid dan koordinat pada peta di Indonesia yaitu : kilometer fiktif yaitu lembar peta dibubuhi jaringan kotak-kotak dengan atuan
27
kilometer. Implementasi sistem grid pada peta diantaranya adalah Graticules (sebuah garis lintang dan garis bujur yang berada diatas peta, yang sering dikenal dengan garis latitude dan longitude).
Gambar.1.14 contoh Grid. 11. Inset (overview map), indeks dan petunjuk letak, peta yang dibaca harus diketahui dari bagian bumi sebelah mana area yang dipetakan tersebut. Inset peta merupakan peta yang diperbesar dari bagian belahan bumi sebagai contoh, pemetaan pulau Jawa merupakan inset dari kepulauan Indonesia. Secara teknis merupakan tampilan lain peta yang berupa area tertentu yang menjadi fokus pembicaraan. Khususnya pada saat diperbesar dalam sebuah area, akan membantu pengguna untuk lebih mudah memahami isi dari area tersebut secara detail. Sedangkan indeks peta merupakan sistem tata letak peta yang menunjukkan letak peta yang bersangkutan terhadap peta lain disekitarnya. Petunjuk letak peta merupakan kebalikan dari inset peta. Jika peta utama adalah pulau Jawa maka ada satu peta lagi yang lebih kecil dan berisi peta wilayah sekeliling pulau Jawa deperti wilayah Republik Indonesia tetapi dengan pulau jawa ditampilkan lebih menonjol atau warna yang lain serta diberikan keterangan bahwa itu pulau Jawa. 12. Nombor lembar peta penting untuk lembar peta dengan jumlah besar dan seluruh lembar peta terangkai dalam satu bagian muka bumi.
28
13. Garis refrensi geografis, didalam penentuan arah utara peta terdapat tiga macam, yaitu : a) Utara Sebenarnya yang merupakan arah utara dengan berpatokan pada kutub utara bumi. b) Utara Magnetik yang merupakan arah utara berdasarkan kutub magnetik utara bumi yang mempunyai deklinasi 23.5 derajat dari kutub utara bumi. Kutub magnetik utara ini yang menjadi patokan dari penunjukan utara jarum kompas. c) Utara Grid, menunjukkan arah utara dari garis grid tertentu dimana garis grid yang tidak searah atau lurus dengan garis meridian standar tidak menunjuk ke arah utara sebenarnya. Pembaca Utara Grid dengan sistem arah dari utara sebenarnya, 10 derajat Timur berarti utara grid berada 10 derajat dari utara sebenarnya dan berada di sebelah timur utara sebenarnya. 14. Broder merupakan batas tepi dari sebuah peta. Dengan adanya border, penempatan teks yang ada di peta akan terlihat lebih rapi dan lebih jelas.
29