BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Penanggulangan bencana merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam (BNPB, 2012). Bencana lahar di Kota Ternate Provinsi Maluku Utara dipicu oleh adanya sisa material vulkanik Gunungapi Gamalama dan hujan deras selama
tiga jam. Bencana lahar ini
berdampak terhadap banyaknya korban, sarana dan prasarana umum rusak total, serta rusaknya permukiman warga. Bahaya terbesar dari Gunungapi Gamalama bukanlah bersumber dari letusan itu sendiri, namun dari banjir lahar hujan pasca letusan. Lahar hujan mengancam daerah-daerah pemukiman yang tersebar, terutama di sisi timur gunung. Tipikal letusan Gunungapi Gamalama adalah vulcanian dengan kawah yg aktif sekarang adalah Arfat. Pada 3 Desember 2011, Gamalama mengalami erupsi dengan debu setinggi 2 km. Tiga pekan setelahnya, banjir lahar hujan menerjang pemukiman penduduk dan menewaskan empat orang. Tahun 2007, awal bulan Agustus, erupsi Gunungapi Gamalama juga tercatat dengan ketinggian debunya mencapai 2,1 km. Bahkan, pada 31 Juli 2003, erupsi yang mengakibatkan aliran pyroclastic turun ke daerah Tugurara di Timur
1
2
Laut gunung ini. Dalam sejarah, letusan terbesar Gunungapi Gamalama terjadi pada tahun 1775 dimana sebanyak 1300 orang tewas pada letusan ini. Gunungapi Gamalama merupakan salah satu gunung api yang sangat giat di indonesia. Letusan pertama yang di ketahui pada masa sejarah adalah pada 1530. Peningkatan kegiatannya yang tercatat hingga 2011 sebanyak 86 kali, 67 kali kegiatannya diikuti oleh terjadinya letusan. Dari kejadian letusan letusan tersebut, diantaranya sebanyak 15 kali letusan menghasilkan aliran lava. Pada umumnya letusan bersifat eksplosif yang terjadi di kawah utama. Kecuali pada 1763 berupa letusan samping yang terjadi pada lereng bagian utara, yakni daerah Sulamadaha yang menghasilkan aliran lava dan pada letusan 1980 selain terjadi pada kawah utama juga terjadi pembentukan kawah baru yang terletak di bagian timur pematang kawah utama. Bahaya yang terkandung pada Gamalama pada saat modern ini adalah potensi banjir lahar hujan. Banjir lahar hujan (mudflow) ini setiap saat mengancam terutama ketika curah hujan yang tinggi. Pada peristiwa tanggal 27 Desember 2011 dan 9 Mei 2012, banjir lahar hujan menerjang sungai Tugurara yang bermuara di daerah Dufa-Dufa, Tubo, Akehuda dan Salahuddin. Berikut ini datadata dampak banjir lahar yang menerjang Sungai Tugurara. Tabel 1.1 Data-data dampak banjir Lahar di Sungai Tugurara Kelurahan
Dampak Kerusakan
Korban Banjir Lahar Meninggal
Hilang
Luka-luka
Rusak Total
Tubo
0
Akehuda
0
Tanggal 27 Desember 2011 0 0 0 0 0 0
Dufa-Dufa
0
0
1 0
Rusak Berat
Rusak Ringan
Tergenang Lumpur
8
13
52
1
1
44 16
1
0
3
Dampak Kerusakan
Korban Banjir Lahar
Kelurahan
Luka-luka
Rusak Total
Rusak Berat
Rusak Ringan
Tergenang Lumpur
3
0
3
0
9
1
38
8
14
4
0
Meninggal
Hilang
Tubo
0
0
0
1
Akehuda
0
1
7 8
Tanggal 9 Mei 2012
Dufa-Dufa
2
8
Sumber : Data-Data Kelurahan 2013
Berdasarkan volcano hazard zoning (RTRW Kota Ternate Tahun 20122032), dapat dicatat bahwa ada 3 zona bahaya, zona I adalah kawasan yang terletak sepanjang/dekat lembah sungai dan dibagian hilir sungai yang berhulu di daerah puncak. Merupakan kawasan yang cukup berpotensi terlanda lahar/banjir serta tidak menutup kemungkinan dapat terlanda perluasan sebaran awan panas dan aliran lava. Selama letusan membesar, kawasan ini kemungkinan dapat tertimpa hujan abu lebat dan atau lontaran batu (pijar) dengan dari puncak Gunungapi Gamalama sejauh 4,5 km. Zona II adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan panas lontaran atau guguran batu (pijar), aliran lava, hujan abu lebat dan terlanda aliran lahar. Kawasan ini merupakan perluasan dari kawasan rawan bencana III dan berdasarkan pada jenis potensi bahayanya, dengan radius dari puncak Gunungapi Gamalama sejauh 3,5 km. Zona III adalah kawasan yang letaknya terdekat dengan sumber bahaya dan sering terlanda awan panas, lontaran atau guguran batu (pijar) dan aliran lava. Berhubung sangat tinggi tingkat kewaspadaannya maka kawasan ini tidak diperkenankan untuk hunian tetap. Radius zona III dari puncak Gunungapi Gamalama sejauh 2,5 km. Untuk lebih jelasnya tentang volcano hazard zoning dapat dilihat pada Gambar 1.1.
4
Lokasi Penelitian
4 Gambar 1.1 Volcano Hazard Zoning Gunungapi Gamalama
5
Risiko Bencana yaitu potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Melihat pengertian tersebut, maka kita sebenarnya sedang hidup bersama risiko bencana. Oleh sebab itu, perlu memperkaya
wawasan
tekait
bagaimana
konsep
dasar
dan
pengertian
pengurangan risiko bencana. Pengurangan risiko bencana merupakan Kerangka konsep kerja yang bagian-bagiannya
telah
mempertimbangkan
segala
kemungkinan
untuk
memperkecil risiko kematian dan bencana melalui lingkungan masyarakat, untuk menghindari
(mencegah)
atau
untuk
membatasi
(menghadapi
dan
mempersiapkan) kemalangan yang disebabkan oleh marabahaya, dalam konteks yang lebih luas dari pembangunan (terminologi UNISDR). Tujuan pengurangan risiko bencana untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial ekonomi terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun yang lain yang menimbulkan kerentanan. Pengurangan risiko bencana merupakan tanggung jawab lembagalembaga yang bergerak dalam bidang pembangunan maupun lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan. Pengurangan risiko bencana harus menjadi bagian terpadu dan pekerjaan organisasi-lembaga semacam itu dengan prinsip community based, berbasis masyarakat, agar terintegrasi dengan pendekatan pengurangan risiko bencana yang selama ini dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan
Bencana
(BNPB).
Pengkajian
risiko
bencana
yang
5
6
mengabungkan antara pengkajian risiko bencana dari Perka BNPB dengan pengkajian bencana yang dilakukan oleh community based adalah pengkajian risiko bencana kolaboratif. Model kolaboratif pengkajian risiko bencana dibuat oleh
Muhammad
Rezki
Hr
(2013),
akan
tetapi
model
ini
belum
diimplementasikan pada wilayah penelitian. Bencana lahar yang melanda di Kota Ternate mengakibatkan kerugian yang dialami oleh masyarakat. Dengan adanya Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Ternate, memberikan adanya koordinasi yang terpusat dalam upaya penanganan bencana lahar dari erupsi Gunung Gamalama. Penanganan mengenai bencana lahar yang terjadi di Kota Ternate belum mengcover semua aspek, hanya bertindak pada saat terjadi bencana. selain itu belum adanya peraturan pemerintah daerah (PERDA) mengenai larangan untuk permukiman dan aktivitas warga di sekitar Sungai Tugurara Sungai Tugurara. Masyarakat enggan untuk pindah dari lokasi terjadinya bencana karena belum adanya hunian tetap yang diprogramkan oleh pemerintah dalam upaya pengurangan risiko bencana. Penanganan bencana lahar yang bersifat responsif dan belum terstruktur secara baik, maka pengkajian risiko bencana kolaboratif sangat menarik untuk dikaji di Kota Ternate. Masyarakat yang ada di Sungai Tugurara sungai belum siap menghadapi bencana lahar, mengakibatkan kerusakan paling parah terjadi di sekitar Sungai
Tugurara. Peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai
pengkajian risiko bencana kolaboratif dengan melibatkan seluruh komponen dalam masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana lahar di Kelurahan Tubo, Kelurahan Akehuda dan Kelurahan Dufa-dufa yang terletak di Sungai
7
Tugurara. Model pengkajian risiko bencana kolaboratif mampu memberikan pengetahuan kepada masyarakat maupun pemerintah, apa saja yang harus dilakukan dalam mengurangi dampak bencana lahar,sehingga masyarakat maupun pemerintah mampu memberikan andil dalam semua aspek secara keseluruhan yang mampu terjalin harmonisasi dalam pengurangan risiko bencana lahar di Sungai Tugurara. 1.2 Rumusan Masalah Kota ternate memiliki ancaman terhadap bencana yang cukup tinggi diantaranya yaitu ancaman banjir lahar. Akan tetapi selama ini upaya penanganannya masih secara responsif saja, dan hanya terfokus disaat terjadinya bencana. Hal ini bisa dilihat masih kurangnya penangganan bencana dalam tahap prabencana maupun pasca bencana. Kurangnya penanganan bencana ini disebakan karena minimnya SDM dalam penanganan bencana di kota Ternate. Permasalahan lain yang muncul dalam penanganan bencana kota Ternate yaitu masih kurangnya pemahaman/pengetahuan masyarakat terhadap bencana yang ada di Kota Ternate, khusunya bencana banjir lahar. Pemahaman akan bahaya bencana banjir lahar yang akan muncul di Sungai Tugurara oleh masyarakat masih minim, minimnya kesadaran masyarakat akan risiko bencana banjir lahar akan berakibat munculnya risiko yang besar terhadap ancaman banjir lahar yang akan dihadapi oleh masyarakat di Sungai Tugurara. Oleh karena itu, perlu dilakuakan suatu pengkajian risiko bencana yang melibatkan masyarakat di Sungai Tugurara, dalam hal ini pekajian risiko bencana dapat menggunakan model pengkajian risiko bencana kolaboratif. Model pengkajian risiko bencana
8
kolaboratif ini belum pernah dilakukan di Kota Ternate. Model pengkajian risiko bencana kolaboratif ini baru dikembangakan dan baru diuji model ini terhadap risiko multi-ancaman Kota Yogyakarta, dan belum diuji/diimplementasikan di dearah lain. Dalam mengimplementasikan model pengkajian risiko bencana kolaboratif di Kota Ternate hanya melihat risiko bencana banjir lahar bukan risiko multi-ancaman yang pernah dilakukan oleh penelitian terdahulu. Model pengkajian risiko ini lebih menekankan keterlibatan masyarakat dalam upaya menanggulangi risiko bencana banjir lahar di Sungai Tugurara tersebut. Dari penjelasan perumusan masalah diatas dapat ditarik beberapa pertanyaan penelitian. Pertanyaaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana cara mengimplementasikan Model Pengkajian Risiko Bencana Kolaboratif di Kota Ternate? 2. Bagaimana
mengoptimalkan
Model
Pengkajian
Risiko
Bencana
Kolaboratif sesuai dengan karateristik wilayah penelitian? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. mengimplementasikan model pengkajian risiko bencana kolabaoratif di Kota Ternate. 2. mengoptimalkan model pengkajian risiko bencana kolaboratif dengan karateristik wilayah penelitian.
sesuai
9
1.4 Keaslian Penelitian Penelitian tentang model pengkajian risiko bencana kolaboratif ini baru dilakukan oleh penelitian terdahulu yang disusun oleh Muhammad Rezki Hr mahasiswa dari jurusan Magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada Tahun 2013, dalam penelitian terdahulu ini membahas tentang pembuatan model baru yang dikembangkan dari model pengkajian risiko bencana (Perka BNPB No 02 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana). Dalam model pengkajian risiko bencana kolaboratif ini menambahkan 6 tahapan dari model pengkajian risiko bencana eksisting (Perka BNPB no 02 Tahun 2012) pada awalnya terdapat 11 tahapan menjadi 17 tahapan. Model pengkajian risiko bencana kolaboratif ini lebih menekankan terhadap bentuk kolaborasi antara pengetahuan saintifik (knowledge of science) dan pengetahuan yang ada pada masyarakat atau yang dikenal dengan pengetahuan lokal (local knowledge). Penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini yaitu melanjutkan penelitian yang telah dilakukan kolaboratif.
Penelitian
yang
dalam model pengkajian risiko bencana akan
dilakukan
oleh
peneliti
yaitu
mengimplementasikan model pengkajian risiko bencana kolaboratif terhadap risiko banjir lahar di Sungai Tugurara Sungan Tugurara Kota Ternate. Model pengkajian risiko bencana kolaboratif ini baru dikembangkan dalam pengkajian risiko multi-ancanam Kota Yogyakarta, model tersebut belum dikembangkan/ diimplementasikan di daerah yang lain. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengoptimalkan model yang sesuai dengan karateristik wilayah penelitian dan
10
hanya melihat satu single risiko ancaman bencana yaitu risiko ancaman banjir lahar di Sungai Tugurara Kota Ternate. Penelitian tentang bahaya banjir lahar sudah banyak yang melakukan penelitian terhadap bencana banjir lahar. Lavine (1999) melakukan penelitian di DAS Code dengan tujuan untuk memetakan daerah banjir lahar hujan secara detail dan menganalisis risiko yang ditimbulkan oleh banjir lahar terhadap infrastruktur pembangunan di DAS Code Yogyakarta, penelitian ini tidak membahas tentang tata ruang dan tidak melakukan evaluasi terhadap tata ruang di DAS Code, hanya sebatas melakukan analisis risiko terhadap infrastruktur yang ada di Das Code. Selain itu masih banyak penelitian tentang banjir lahar yang dilakukan oleh penelitian-penelitian terdahulu, akan tetapi semua penelitian tentang banjir lahar ini studi kasusnya di daerah Merapi dan hanya sebatas membahas tentang pengkajian mitigasi banjir lahar yang dilakukan oleh peneliti yang terdahulu. Setiap penelitian penelitian memiliki ciri tersendiri, penelitian dilakukan oleh penulis pada dasarnya berbeda dari penelitian terdahulu. Perbedaan penelitian terdahulu yaitu di tujuan penelitian dan cara metode. Berikut diuraikan keaslian penelitian dalam Tabel 1.1.
11
Tabel 1.2 Keaslian Penelitian No. 1
Nama dan Judul Penelitian Hadi (1992) Aplikasi Sistem Informasi Geografi Untuk Mitigasi Banjir Lahar Dan Longsoran Lava Pada Lereng Selatan Gunungapi Merapi
Tujuan Penelitian Mengetahui daerah-daerah rawan karena bahaya banjir lahar dan longsoran lava.
Metode Penelitian Analisis dilakukan dengan cara tumpangsusun peta (overlay), kalkulasi peta, klasifikasi dengan menggunakan tabel 2-dimensi, dan classify tabel serta dengan menerapkan SQL (Simplle Query Language) pada database. Data geologi dan penutup lahan dilakukan skoring, sedangkan lainnya dihitung nilai pixelnya.
Hasil dan Kesimpulan Hasil yang diperoleh yaitu, peta bahaya yang dikategorikan menjadi 5 kelas, yaitu :
las V (berbahaya) Persentase pemukiman yang masuk dalam kategori kelas bahaya yaitu :
2
Lavigne (1999) Lahar Hazard Microzonation and Risk Assessment in Yogyakarta city, Indonesia
Memetakan daerah bahaya banjir lahar hujan secara detail dan menganalisis risiko yang ditimbulkan oleh banjir lahar terhadap infrastruktur bangunan di DAS Code Yogyakarta
Mengggunakan peta topografi dan asumsi debit puncak untuk analisis bahaya dan analisis kerentanan bangunan.
Pemetaan mikrozonasi bahaya banjir lahar dan risiko terhadap bahaya banjir lahar.
3
Deliana AS (2011) Tingkat Bahaya Lahar Gunung Merapi Terhadap Lapangan Golf
Mengetahui arah aliran lahar termasuk luapan lahar yang menuju ke lapangan golf.
Metode klasifikasi dan pemberian skor melalui sistem skoring. Teknik sampling yang digunakan dalam
Hasil yang diperoleh yaitu arah aliran dan luapan lahar yang mengarah ke lapangan golf melalui beberapa lembah yang
12
No.
Nama dan Judul Penelitian Merapi, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tujuan Penelitian Mengetahui tingkat bahaya lahar di daerah lapangan golf Merapi
Metode Penelitian pengambilan sampel yaitu purposive sampling.
Hasil dan Kesimpulan menuju lapangan golf. Tingkat bahaya lapangan golf Merapi dinyatkan terletak pada daerah dengan tingkat bahaya II dan IV. Kemungkinan bahaya lahar secara langsung untuk daerah lapangan golf tidak ada perubahan. Perubahan morfologi puncak gunungapi Merapi dapat menyebabkan aliran piroklastik mengarah ke selatan, yang dapat meingkatkan tingkat bahaya lahar
4
Tim Mitigasi Bencana Alam PSBA UGM (2003) Panduan Mitigasi Bencana Alam Gunungapi
Memahami dan mensosialisasikan berbagai aspek mitigasi bencana gunungapi baik sebelum, sedang maupun setelah bencana terjadi.
Studi pustaka dan survei di daerah yang pernah terkena bencana. Studi pustaka menggunakan data yang dapat memberikan informasi mengenai kegunungapian, bencana di daerah-daerah yang pernah dilanda bencana. Survei dilakukan di Gunungapi Merapi, Gunung Galunggung, Gunung Semeru.
Mitigasi bencana sudah dilakukan di Gunungapi Merapi, Gunungapi Galunggung dan Gunungapi Semeru. Sarana dan prasarana mitigasi bencana Gunungapi Merapi paling lengkap dibandingkan dengan Gunungapi Galunggung dan Gunungapi Semeru. Peta daerah bahaya Gunungapi Merapi, Gunung Galunggung dan Gunungapi Semeru telah di buat. Mitigasi bencana Gunungapi Merapi, Gunungapi Galunggung dan Gunungapi Semeru telah mampu meminimalkan bahkan meniadakan korban jiwa manusia dan mengurangi atau meminimalkan kerugian hartab benda. Panduan mitigasi bencana gunungapi perlu terus terus dikembangkan
13
No.
Nama dan Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Hasil dan Kesimpulan dan disosialisasikan.
5
Rezki Hr (2013) Model Pengkajain Risiko Bencana Kolaboratif . Kasus : Pengkajain Risiko Multi-Ancaman Kota Yogyakarta
Merumuskan tahapan-tahapan yang harus dilakuakan pada model pengkajian risiko bencana yang menggunakan pendekatan kolaboratif. Merumuskan substansi yang harus dibahas pada tahapantahapan tersebut. Menentukan metode yang digunakan untuk membahas masing-masing substansi pada tahapan-tahapan tersebut. Menentukan aktor yang perlu terlibat didalam setiap tahapan.
Pendekatan dengan model analisis kualitatif terhadap suatu pemodelan.
Menguraikan tahapan pengkajain risiko bencana dari 11 tahapan pada model eksisting menjadi 17 tahapam pada model pengkajian risiko bencana kolaboratif. Mengabungkan/perpaduan antara metode saintifik dan metode community based, serta metode kuantitatif dan kualitatif. Bila metode digunakan adalah metode saintifik maka aktor yang terlibat adalah pakar, sedangkan bila metode yang digunakan adalah metode community based, maka aktor yang terlibat adalah masyarakat.
6
Rizki Satria (2013) Model Kolaboratif Pengkajian Risiko Bencana Banjir lahar di Sungai Tugurara Kota Ternate.
Mengimplementasikan Model Pengkajian Risiko Bencana Kolaboratif di Kota Ternate. Mengoptimalkan Model Pengkajian Risiko Bencana Kolaboratif sesuai dengan karakteristik wilayah penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian survei, yang bertujuan untuk mengumpulkan data langsung di lokasi penelitian pada populasi yang besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data yang diambil dari sampel yang diambil dari populasi. Jenis penelitian ini menggunakan metode kombinasi model atau desain concurent embedded (campuran tidak berimbang)adalah metode penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan mencampur kedua metode tersebut secara tidak seimbang.
Implementasi Model Kolaboratif Pengkajian Risiko Bencana Banjir Lahar di Sungai Tugurara. Kelas risiko banjir lahar tertinggi berada pada kelurahan Akehuda (RT 01 dan RT 011) dan Kelurahan Tubo RT 01. Mengoptimalkan model kolaboratif sesuai karakteristik wilayah, terdapat 13 tahapan dari 17 tahapan dalam model kolaboratif eksisting.
14
1.5 Manfaat Penelitian Bagi pengembangan ilmu pengetahuan 1. Memberikan informasi mengenai alternatif dalam menentukan model pengkajian risiko bencana yang ada saat ini. 2. Memberikan informasi bagi peneliti khusunya dalam melakukan implementasi model pengkajian risiko bencana kolaboratif dalam pengkajian risiko bencana banjir lahar. 3. Sebagai sumber informasi bagi pengembangan penelitian sejenis di kemudian hari Bagi pemerintah dan masyarakat 1. Dapat dijadikan masukan kepada pihak-pihak terkait (BNPB dan BPBD) dalam melakukan penanggulangan risiko bencana, khususnya dalam proses pengkajian risiko bencana. 2. Memberikan masukan kepada pemerintah sebagai policy maker, lembaga swadaya dan masyarakat tentang pentingnya pengkajian risiko bencana.