11
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Hampir separuh dari seluruh kehidupan seseorang dilalui dengan bekerja.
Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan berbagai perasaan dan sikap. Anoraga (2001), mengatakan ada individu yang mencintai pekerjaannya, melakukannya setiap hari dan terdorong untuk melakukan lebih banyak lagi pekerjaan. Individu merasa tertantang untuk melakukan hal-hal yang sulit dalam hidupnya, sehinga ia dapat dikatakan hidup untuk bekerja. Selain itu ada pula individu yang sekedar menerima pekerjaan sebagai tuntutan hidup dan merasakannya sebagai sesuatu yang berat, membosankan dan tidak memuaskan. Individu seperti ini bekerja dengan enggan, melakukan tugas-tugas yang tidak menarik atau kondisi kerja yang tidak manusiawi seperti beban kerja yang terlalu berat. Saat ini di masyarakat sudah banyak ditemui bentuk keluarga baik suami maupun isteri, keduanya bekerja di luar rumah. Wanita yang bekerja di luar rumah dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu wanita pekerja dan wanita karir. Wanita pekerja adalah wanita pekerja dengan jenis pekerjaan yang tidak memiliki jenjang kenaikan pangkat, sedangkan wanita karir adalah wanita bekerja yang pekerjaannya memiliki jenjang kenaikan dan memiliki tuntutan-tuntutan tertentu (Strong & De Vault, 1989).
Universitas Sumatera Utara
12
Motivasi kerja kebanyakan tenaga kerja wanita adalah membantu menghidupi keluarga, akan tetapi mereka juga mempunyai makna khusus karena memungkinkannya memiliki otonomi keuangan, agar tidak selalu tergantung pada pendapatan suami. Hasil kajian Papanek (dalam Sihite Romany, 1995) menyatakan bahwa peran isteri sebagai tenaga kerja di sektor pertanian dalam arti luas memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Disisi lain, keterlibatan wanita dalam bidang pekerjaan tidak diperhitungkan. Besarnya upah yang diterima wanita lebih rendah dari pada laki-laki. Dengan tingkat pendidikan yang sama, pekerja wanita hanya menerima sekitar 50% sampai 80% upah yang diterima laki-laki. Selain itu banyak wanita yang bekerja pada pekerjaan-pekerjaan marginal sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan (Hastuti, 2005). Di perkebunan kelapa sawit di Indonesia, kaum wanita sering dipaksa bekerja tanpa dibayar untuk membantu suami mereka memenuhi kuota produksi. Padahal mereka juga masih harus mengurusi anak, memasak, mengumpulkan kayu bakar, dan mengambil air, yang karena luasnya wilayah perkebunan, mereka terpaksa harus berjalan kaki lebih jauh untuk melakukan tugas-tugas mereka tersebut (Sinungan, 2000). Berikut petikan wawancara personal dengan seorang isteri karyawan perkebunan kelapa sawit bernama Supiah (bukan nama sebenarnya) yang berusia 48 tahun: “Wawak ya gini kerjanya tiap hari dilapangan...., ngangkat buah sawit ini pake gancu trus digulingkan ke angkong, kalo diangkat
Universitas Sumatera Utara
13
pake tangan yaa.. mana tahan toh, ini beratnya bisa sampe 30 kilo ato lebih. Ngutipin brondolan trus dimasukin dalam goni. Yang gak tahan lagi bawa angkongnya ke pinggir jalan. Wong mandor kebunnya bilang isteri harus bantu suaminya. Kalo gak, ya.. gak dapat borong, orang wawak gak dapat gaji.. ya itulah preminya bapak. Yaa.. cemanalah.. kasian bapak kalo gak dibantu.” (Komunikasi Personal, Aek-Nabara, 4 Februari 2009) Fenomena di lapangan menggambarkan para isteri karyawan yang membantu suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan yang sangat berat. Setiap hari mereka harus membantu suaminya mengangkat Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang beratnya bisa mencapai 30Kg bahkan lebih. Satu pohon kelapa sawit bisa menghasilkan 3 sampai dengan 4 buah sawit yang berhasil di panen dan kemudian harus di pindahkan ke pinggir jalan dengan menggunakan alat pendorong yang beratnya mencapai 120Kg atau lebih. Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab munculnya stres (stressor). Kondisi dilapangan yang kurang mendukung keselamatan kerja seperti tidak menggunakan sarung tangan pada saat bekerja atau bahkan tidak menggunakan sepatu kerja yang layak, jika para pekerja tidak hati-hati maka hal ini dapat mencelakakan dirinya di lingkungan kerja. Belum lagi tuntutan dari perusahaan yang menekan pekerja agar mampu memenuhi target harian panen kelapa sawit. Tentu saja hal ini dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga stres secara emosional, kognitif dan perilaku. Keluarga dengan suami dan isteri yang keduanya bekerja di luar rumah, dipandang sebagai bentuk hubungan yang penuh dengan stres alasannya adalah karena kebenaran nilai keluarga tradisional kembali dipertanyakan sehubungan
Universitas Sumatera Utara
14
dengan peran majemuk yang disandang oleh isteri yang bekerja yaitu sebagai isteri, pekerja, dan ibu (Kessler & Harris dalam Strong & DeVault, 1989). Isteri yang bekerja diluar rumah tentu saja berpengaruh terhadap pembagian kerja rumah tangga. Isteri yang bekerja menghadapi tanggung jawab pengasuhan anak dan urusan rumah tangga yang sama besarnya dengan isteri yang tidak bekerja diluar rumah. Kondisi ini menimbulkan beban yang berlebih pada kelompok isteri yang bekerja, yang kemudian akan berpengaruh negatif terhadap penyesuaian emosional dan Well-being (Pleck dalam Strong & DeVault, 1989). Disisi lain, wanita bekerja yang menjadi isteri hidup dalam pertentangan yang tajam antara perannya di dalam dan di luar rumah. Seperti yang dituturkan oleh Supiah (bukan nama sebenarnya): “ Wuih..., capek kali kerja terus.. gak pernah berhenti gitu lho, dari pagi jam 6 harus brangkat sampe siang jam 2, masih capek nanti harus ngurusin rumah lagi. Brangkat kerja ya.. jalan kaki, lumayan jauh dari rumah kelapangan. ” (Komunikasi Personal, Aek-Nabara, 4 Februari 2009) Banyak wanita yang bekerja melaporkan bahwa mereka merasa bersalah karena sepanjang hari meninggalkan rumah. Setibanya dirumah meraka merasa tertekan karena tuntutan anak-anak dan suami yang dapat menjadi pemicu stress pada wanita (Selye, 1982). Peran ganda yang dijalankan wanita, baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai perempuan yang bekerja dapat menimbulkan konflik, baik konflik intrapersonal seperti kebutuhan isteri untuk dibantu oleh suami dalam melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa diminta maupun konflik interpersonal yaitu komunikasi antara suami dan isteri dalam rumah tangga. Konflik yang
Universitas Sumatera Utara
15
berkepanjangan dapat menyebabkan timbulnya respon fisiologis, psikologis dan tingkah laku sebagai bentuk adaptasi dan penyesuaian diri terhadap kondisi yang mengancam yang disebut dengan stres (Witkil & Lanoil, 1986). Witkil & Lanoil (1986), juga mengatakan para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita yang bekerja sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stres. Selanjutnya Anoraga (2001), mengatakan wanita yang bekerja hanya sekedar untuk mencari nafkah maka hal sekecil apapun dapat menjadi timbulnya pemicu konflik dan ketegangan yang berakibat munculnya stres. Stres pada dasarnya dapat dialami oleh siapa saja. Stres dalam istilah fisiologis adalah merupakan respon tubuh secara umum, artinya stres merupakan physiological state yang dihasilkan dalam tubuh seseorang karena pengaruh suatu stimulus dan stres dapat menimbulkan penyakit (Berry, 1998). Sarafino (2006), mengatakan bahwa stres adalah perasaan tidak mampu untuk memenuhi tuntutan dari lingkungan, merasakan adanya ketegangan dan rasa tidak nyaman yang berpengaruh pada kognisi, emosi dan perilaku sosial seseorang. Selanjutnya Cornelli (dalam Brecht, 1999), juga menyatakan bahwa stres dapat didefniisikan sebagai gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan
Universitas Sumatera Utara
16
tuntutan kehidupan. Stres dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut Sebagian besar individu merasakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang negatif, yang mengarah ke timbulnya penyakit fisik ataupun mental ataupun perilaku yang tidak wajar. Adapun penyebab terjadinya stres di dalam diri seseorang
disebabkan
karena
adanya
stimulus
yang
membawa
dan
membangkitkannya yang disebut sebagai stressor. Bentuk dari stressor tersebut berupa situasi, kejadian atau objek yang dapat membawa pengaruh pada tubuh dan menyebabkan reaksi bagi diri seseorang (Selye, 1982). Akibat –akibat stres dapat berupa psikologik dan somatik. Stres yang akut dapat menimbulkan penyakit depresi dan kecemasan. Sedangkan stres yang kronik dapat menimbulkan gangguan jiwa yang berat (Schizofrenia ). Pendidikan dan status sosial ekonomi yang rendah akan lebih banyak mengalami stres. Jika dibandingkan dengan pria, wanita lebih emosional Karenanya, lebih rentan terkena stres (Sarafino, 2006). Sebagaimana petikan wawancara dengan salah seorang isteri karyawan perkebunan kelapa sawit Supiah (bukan nama sebanarnya) yang berusia 48 tahun: “ Wuih..., capek kali kerja terus.. gak pernah berhenti gitu lho, dari pagi jam 6 harus brangkat sampe siang jam 2, masih capek nanti harus ngurusin rumah lagi. Brangkat kerja ya.. jalan kaki, lumayan jauh dari rumah kelapangan. Ya.. cemanalah...badannya sakit-sakit semua. Orang kerja berat kayak gini badannya entah kayak apa. Capeklah.., jantungnya gak tahan, deg.. degan gitu. Pinggang ini rasanya udah kayak mau copot, ngangkat berat terus-terusan ya mana tahan. Apalagi pundak ma lutut udah entah kayak mana rasanya. Tapi... ya mau gimana lagi, memang harus dibantu, kalo gak ya.. gak dapat borong. ” (Komunikasi Personal, Aek-Nabara, 4 Februari 2009)
Universitas Sumatera Utara
17
Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stres secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan mengakibatkan dampak stres terhadap fisik dan kesehatan. Sistem kekebalan tergangggu sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Akibat lain adalah meningkatnya ketegangan otot, kelelahan dan sakit kepala. Dapat terjadi penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler), asma dan bronkhitis (radang saluran napas). Stres juga berperan dalam menghambat pertumbuhan jaringan dan tulang yang akan menyebabkan dekalsifikasi (berkurangnya kalsium) dan osteoporosis (tulang keropos). Kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada dampak stres terhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan tugasnya sebagai isteri maupun ibu rumah tangga. Stres mempengaruhi kesehatan dalam dua cara. Cara pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres secara langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Cara kedua, secara tidak langsung stres
Universitas Sumatera Utara
18
mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Baum dalam Safarino, 2006). Selanjutnya Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Warr, dikutip oleh Ryff, 1995). Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB). Ryff (dikutip oleh Wang, 2002) mendefinisikan Psychological Well-Being (yang selanjutnya disebut dengan PWB) sebagai fungsi positif dari individu. Fungsi positif dari individu merupakan arah atau tujuan yang diusahakan untuk dicapai oleh individu yang sehat (Schultz, 2002). Fungsi positif dari individu didasarkan pada pandangan humanistik mengenai self actualization, maturity, fully functioning dan individuasi (Ryff & singer, 1996). Selanjutnya Ryff (dalam Keyes, 1995) sebagai penggagas teori Psychological Well-Being menyebutkan bahwa PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989) menyebutkan kebahagian (hapiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Menurut Diener, Wolsic, dan Fujita (dalam Tenggara, 2008) PWB merupakan konsep yang berbicara tentang kenyamanan individu. Berdasarkan hal ini PWB
Universitas Sumatera Utara
19
dapat diartikan sebagai reaksi evaluatif seseorang mengenai kenyamanan hidupnya. Evaluasi ini menyangkut kenyamanan hidup ataupun reaksi emosional yang terus menerus. Keyes et al. (2000) menyatakan bahwa PWB mengacu pada persepsi dan evaluasi individual mengenai kualitas hidupnya. Wanita dalam pandangan Ryff (dalam Keyes, 1995), tidak mencari penderitaan dan selanjutnya pasif menikmati penderitaan itu. Dengan konsepnya mengenai reinterpretasi, Ryff justru melihat wanita sebagai pribadi sejahtera yang mampu mengendalikan lingkungannya. Wanita seperti ini mampu melakukan sesuatu yang bermakna dalam tekanan sekalipun. Sebagaimana petikan wawancara dengan salah seorang isteri karyawan perkebunan kelapa sawit Darni (bukan nama sebenarnya) yang berusia 50 tahun: “Yaa... kemana ya, wong suami sendiri yah.. senenglah bantu suami. Walaupun kerjanya berat kayak gini, namanya juga laki sendiri yah.. mo gimana lagi senenglah. Kalo gak dibantu, yah kasian toh, dia sendiri nanti yang capek. Biar dapat borong juga dari premi. Wawak juga ada melihara kambing jadi bisa untuk nambah-nambah penghasilan. Kalo ngarapin dari gaji pokok aja ya gak cukup toh.” (Komunikasi Personal, Aek Nabara, 5 Februari 2009)
Seorang isteri merasa senang ketika dapat bekerja membantu meringankan pekerjaan suaminya, apalagi bekerja di perkebunan kelapa sawit bisa menambah penghasilan dari sekedar gaji pokok dibandingkan dengan bekerja sendiri atau membayar orang lain untuk membantu kerja. Isteri yang rela membantu suaminya berarti ia bisa menerima dirinya dan kondisi pekerjaan suaminya dari sekedar perasaan terpaksa ataupun tertekan dengan beban pekerjaan yang berat. Tidak hanya itu, jika isteri mampu menguasai lingkungan mereka mampu melihat
Universitas Sumatera Utara
20
peluang yang dapat dijadikan sebagai tambahan penghasilan seperti memelihara ternak ayam, kambing atau sapi dan mereka bisa lebih sejahtera secara ekonomi maupun psikologis. Menurut Ryff (1989) secara psikologis, manusia memiliki sikap positif terhadap diri dan orang lain. Mereka mampu membuat keputusan sendiri, dan mengatur tingkah laku mereka, serta mereka mampu memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Setiap orang memiliki tujuan yang berarti dalam hidupnya, dan mereka berusaha untuk menggali dan mengembangkan diri mereka semaksimal mungkin. Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu kepemilikan akan rasa penghargaan terhadap diri sendiri, kemandirian, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, pengguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995). Yoon & Han (2004), yang meneliti tentang hubungan antara aktivitas yang produktif dengan PWB menemukan bahwa isteri yang bekerja dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga secara signifikan memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan berpengaruh pada PWB. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chiara Ruini,et al (2003), menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara PWB terhadap distress (stres yang memberi dampak buruk). Jadi semakin tinggi PWB maka semakin rendah distress orang tersebut. Sebaliknya semakin rendah PWB maka semakin tinggi distress orang tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik
Universitas Sumatera Utara
21
untuk melihat sejauh mana hubungan stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.
B. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada hubungan negatif antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit?”.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan negatif antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi dan perluasan teori dibidang psikologi klinis, yaitu mengenai hubungan stres dengan PWB pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan di bidang psikologi klinis sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
22
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada wanita pekerja khususnya isteri karyawan perkebunan kelapa sawit yang membantu suaminya bekerja agar mengetahui pentingnya PWB untuk mengurangi faktorfaktor apa saja yang dapat menyebabkan stres, dampak stres baik fisik, emosional maupun perilaku sehingga mereka dapat lebih sejahtera secara psikologis. Membuka wawasan masyarakat umum, tentang manfaat mengetahui pentingnya PWB untuk mencapai kesejahteraan psikologis sehingga dapat mengurangi tingkat stres. Sebagai referensi bagi Praktisi Psikologi khususnya bidang Psikologi Klinis yang ingin meneliti lebih jauh tentang stres dan PWB.
E. Sistematika Penulisan Penelitian ini dibagi atas lima bab, dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Sistematika penulisan penelitian ini adalah : BAB I:
Pendahuluan Berisi
penjelasan
perumusan
masalah
mengenai
latar
penelitian,
belakang
tujuan
permasalahan,
penelitian,
manfaat
penelitian dan sistematika penulisan. BAB II:
Landasan Teori Berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. Teoriteori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang stres dan PWB.
Universitas Sumatera Utara
23
BAB III:
Metodelogi Penelitian Berisi uraian yang menjelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data untuk melakukan pengujian hipotesis yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian.
BAB IV:
Analisa dan Interpretasi Data Berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan deskripsi data penelitian.
BAB V:
Kesimpulan dan Diskusi Berisi hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.
Universitas Sumatera Utara