1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam sebuah Negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Sebagai konsekuensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat di akses (di informasikan, di ketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik. Dalam kondisi seperti itulah di butuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah”. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pintar, yang selalu memerlukan informasi yang baru tentang segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat, Negara bahkan yang terjadi di dunia. Landasan Yuridis Formal, mengacu pada Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Menurut Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, “Setiap orang berhak mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengelola dan menyampaikan segala informasi melalui segala jenis sarana atau media yang tersedia”. Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. ”Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
1
2
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia”. Pasal 28 UUD NRI 1945 (amandemen ke IV) menegaskan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan mengakui hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pers, baik cetak maupun elektronik, merupakan instrumen dalam tatanan bermasyarakat yang sangat vital bagi peningkatan kualitas kehidupan warganya. Pers juga merupakan refleksi jati diri dari masyarakat di samping fungsinya sebagai media informasi dan komunikasi, karena apa yang dituangkan di dalam sajian pers hakikatnya adalah denyut kehidupan masyarakat di mana pers berada.1 Pers merupakan institusi sosial kemasyarakatan yang berfungsi sebagai media kontrol sosial, pembentukan opini, dan media edukasi yang eksistensinya dijamin berdasarkan konstitusi.2 Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut Pasal-Pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Kitab Undang1
Samsul Wahidin, 2006, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 1.
2
Ibid, h. 3.
3
Undang Hukum Pidana sejatinya tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan. Akibatnya, perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subjektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan. Gambaran pers yang sesungguhnya adalah pers yang mandiri dan memiliki karakteristik sebagai media massa baik media tradisional maupun media massa modern, seperti koran, tabloid, majalah, radio, televisi, internet, dan telepon. Dan menurut Catatan Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pers yang sesungguhnya harus menjalankan tugasnya dengan baik berdasarkan unsur-unsur yang ada dalam sebuah media massa atau pers. Unsur-unsur tersebut antara lain menyangkut : Status Badan Hukum Pers; Isi Pemberitaan Pers; Proses Kerja Pers (Jurnalistik); Bahasa Pers (Jurnalistik); Eksistensi Pemberitaan Pers; dan Struktur Kepemimpinan Pers yang jelas.3 Masalah kemerdekaan pers di tanah air, baik di Era Orde Baru maupun di Era Reformasi sebenarnya bukan lagi suatu persoalan, karena di dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan sudah sepenuhnya memberikan legalitas atas eksistensi pers bebas berkenaan dengan tugas-tugas jurnalistiknya.
Jika
ditilik lebih jauh, sebagian besar sengketa pemberitaan pers yang berujung ke pengadilan senantiasa berhubungan dengan kepentingan publik. Bagi pers, itu 3
Ignatius Haryanto, 2001, Digitalisasi dan Media Sosial : Berkah atau Kutukan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jakarta, h. 34.
4
pilihan yang sulit dihindarkan. Dengan demikian, pemberitaan yang mengundang kontrol sosial semacam itu merupakan amanat yang harus diemban pers, seperti ditegaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 (Undang-Undang Pers), yakni pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi kontrol sosial itulah yang membuat pers harus bersinggungan dengan kepentingan dan nama baik tokoh publik, baik tokoh itu duduk di pemerintahan maupun dalam dunia bisnis.
Pemberitaan pers tersebut kemudian berubah
menjadi perkara hukum, jika para tokoh publik itu merasa terusik diri dan kepentingannya. Dewan Pers sebagai Lembaga Sosial, menyatakan bahwa jenis sengketa kesalahan pemberitaan oleh pers yang sering kita jumpai adalah : sengketa pencemaran nama baik, kesalahan informasi dari narasumber yang di wawancarai dan kesalahan sumber berita. Sengketa pencemaran nama baik ini bisa saja terjadi dalam kesalahan pemberitaan di media massa.
Misalnya : media memberitakan bahwa “PT.
Cempaka Indah mengeluarkan produk yang mencemarkan lingkungan....” padahal dalam kenyataannya, produk PT. Cempaka Indah selalu yang terbaik di pasar dan memberikan kontribusi
besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa, media telah melakukan kekeliruan atau kesalahan dalam hal isi pemberitaan mengenai PT. Cempaka Indah dengan mencemarkan nama PT ini di mata publik. Hal ini bisa menimbulkan sengketa antara pihak pers dengan pemilik usaha dimaksud. Kesalahan pemberitaan adalah
5
salah satu faktor utama dalam sengketa pemberitaan pers. Kemungkinan besar terjadinya salah pemberitaan itu ada meskipun persentasenya tidak besar. Wartawan atau reporter itu dalam meliput berita selalu berusaha mewawancarai narasumber utama.
Di sini, kesalahan pemberitaan bisa saja
pemberian informasi yang benar oleh nara sumber, tapi di beritakan yang salah oleh wartawan. Contoh kesalahan pemberitaan yang dilakukan oleh pers (wartawan) antara lain : Kita memiliki usaha salon khusus wanita. Kemudian kita diwawancarai seorang wartawan untuk liputan di media massa. Misalnya kita mengatakan “....kami tidak melayani pelanggan pria...” dikarenakan lafal kita yang tidak jelas, media massa kemudian mengutipnya sebagai berikut “...kami melayani pelanggan pria”. Hanya karena salah kutip tidak mencantumkan kata “tidak” akibatnya bisa mempengaruhi kesan publik.
Misalnya perempuan
akhirnya tidak datang ke salon kita tetapi yang datang adalah pria. Sedangkan contoh kesalahan pemberitaan yang dilakukan sumber berita, antara lain : karena kesibukan kerja, maka seorang anggota dewan perwakilan rakyat menyampaikan sebuah informasi ke wartawan media tertentu, sesuatu informasi penting yang tidak benar namun menurut pikirannya ia telah mengatakan hal yang benar. Hal ini bisa saja menimbulkan kesalahan dalam pemberitaan yang disebabkan oleh pihak narasumber berita. Konflik atau sengketa adalah istilah-istilah yang sering ditemukan atau di dengar dalam kehidupan sehari-hari dalam pekerjaan pers. Akan tetapi setiap orang sudah pasti tidak menginginkan suatu konflik atau sengketa terjadi di dalam kehidupannya. Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana dua pihak atau lebih
6
dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. Dengan kelebihan dan kekurangan yang diberikan Tuhan kepada manusia, membawa manusia itu kedalam bermacam-macam konflik atau sengketa, sengketa itu bisa terjadi dengan manusia lain, alam lingkungannya bahkan dengan dirinya sendiri. Pada kodratnya Tuhan juga memberikan kelebihan sehingga manusia tersebut dapat melakukan penyelesaian konflik atau sengketa. Manusia selalu berusaha mencari bagaimana cara penyelesaian konflik untuk selalu mencapai posisi yang baik dan seimbang agar dapat tetap bertahan hidup. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses. Proses yang tertua melalui proses litigasi yaitu melalui pengadilan. Dan kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa ini melalui kerjasama atau koorpratif diluar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini disebut dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Penyelesaian sengketa dengan cara tersebut merupakan dambaan setiap orang karena memiliki sifat sederhana, cepat dan biaya ringan. Fenomena mengenai pergeseran antara pers dengan masyarakat mengemuka dalam bentuk tuntutan hukum masyarakat terhadap pers, tindakan main hakim sendiri terhadap wartawan dan sebagainya. Kesemuanya itu menunjukkan betapa
7
penting untuk menciptakan penyelesaian yang adil ketika terjadi persengketaan antara pers dengan masyarakat, tidak menutup kemungkinan dalam mengeluarkan pendapat atau dalam proses pencarian informasi pers melakukan kesalahan atau menyinggung pihak-pihak tertentu dan merasa tidak terima dengan pendapat pers atau cara pers dalam mencari informasi. Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya di sebut UU Arbitrase dan APS) pasal 1 angka 10, “lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang di sepakati para pihak yaknin penyelesaian di luar pengadilan dengan cara arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Ada beberapa bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang umum digunakan, misalnya4 : 1. Negosiasi (penyelesaian melalui perundingan secara bipartite / dua pihak) 2. Mediasi (negosiasi dengan dibantu oleh pihak ketiga yang disebut Mediator) 3. Arbitrase (Penyelesaian melalui pemeriksaan dan putusan oleh Arbiter) 4. Konsiliasi (negosiasi dengan dibantu pihak ketiga)
Salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang biasa digunakan adalah melalui mediasi. Mediasi ini secara langsung merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan dalam proses persidangan di pengadilan.
Penyelesaian
sengketa perdata melalui mediasi ini dengan “win-win solution” yang menggunakan pengadilan sebagai sarana mediator dan sekaligus dapat berperan
4
Artadi dan Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Bali, h. 9.
8
sebagai katup penekan. Yang diharapkan tidak hanya lebih efektif dan efesien bagi para pihak yang bersengketa, tapi juga bagi pengadilan yang bertugas menyelesaikan sengketa mereka, dalam hal mengurangi penumpukan perkara yang dapat berimplikasi pada konflik tersebut. Mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.5 Mengenai mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa ini diatur dalam Pasal 6 (UU Arbitrase dan APS). Lembaga-Lembaga APS bisa dijumpai secara luas dalam berbagai bidang seperti Undang-Undang
bidang
Lingkungan
Hidup,
Pertumbuhan,
Perlindungan
Konsumen dan lain sebagainya. Mahkamah Agung (MA) RI juga mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (selanjutnya di sebut PERMA Mediasi) yang mewajibkan pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu menempuh proses mediasi, yaitu melalui perundingan antara pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus (mediator). Berkaitan dengan hal itu, Mahkamah Agung mewajibkan penggunaan jasa mediasi sebagai upaya memaksimalkan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg.
5
Gunawan Wijaya, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 30.
9
Lembaga mediasi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan sudah diatur dalam UU Arbitrase dan APS. Segala sesuatu yang dihasilkan dalam proses mediasi harus merupakan hasil kesepakatan atau persetujuan para pihak. Mediasi dapat ditempuh oleh para pihak yang terdiri atas dua pihak bersengketa atau lebih. Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Namun, ada kalanya karena berbagai faktor para pihak tidak mampu mencapai penyelesaian sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu. Situasi ini yang membedakan mediasi dengan litigasi. Litigasi pasti berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa putusan hakim, meskipun penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa karena ketegangan di antara pihak sengketa masih berlangsung dan pihak yang kalah selalu tidak puas. Terdapat unsur-unsur esensial mediasi yang telah diidentifikasi, yaitu 6 : 1. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak. 2. Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yang disebut mediator. 3. Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat diterima para pihak. Mediator merupakan pihak netral yang memberikan bantuan prosedural dan substansial. Bantuan prosedural antara lain mencakup tugas-tugas memimpin, memandu, dan merancang sesi-sesi pertemuan atau perundingan.
Sedangkan
bantuan substansi berupa pemberian saran-saran kepada pihak yang bersengketa.7
6
Takdir Rahmadi, 2010, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 7
Ibid, h. 14.
10
Mediator sebagai pihak netral ini mengandung pengertian bahwa mediator tidak berpihak, tidak memiliki kepentingan dengan perselisihan yang sedang terjadi, serta tidak diuntungkan atau dirugikan jika sengketa dapat diselesaikan atau jika mediasi menemui jalan buntu, dari uraian diatas mediasi merupakan penyelesaian sengketa perdata yang mempermudah para pihak dalam mencapai katasepakat sehingga penumpukan perkara di pengadilan pun dapat di minimalisir, dikarenakan proses penyelesaian sengketa yang cepat. Mediasi ini menguntungkan para pihak karena mengunakan proses yang singkat cepat, sederhana dan efesien dan juga dengan biaya ringan.
Bagi masyarakat yang
memiliki kepentingan maka mediasi ini sebagai jawaban atas penyelesaian sengketa perdata mereka. Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan sudah lama dipakai dalam berbagai kasuskasus bisnis, lingkungan hidup, perburuhan, pertanahan, perumahan, dan sebagainya yang merupakan perwujudan tuntutan masyarakat atas penyelesaian sengketa yang cepat, efektif, dan efisien.8 Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang di tuangkan ke dalam bentuk skripsi dengan judul “Penyelesaian Sengketa Kesalahan Pemberitaan Oleh Pers Dengan Prosedur Mediasi.”
8
Bambang Sutiyoso, 2008, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Gama Media, Yogyakarta, h. 56.
11
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa kesalahan pemberitaan oleh Pers melalui mediasi ? 2. Apakah penyelesaian sengketa kesalahan pemberitaan oleh Pers melalui tipologi mediasi bisa berjalan efektif ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Didalam penulisan suatu karya tulis yang bersifat ilmiah maka diperlukan batas dalam bahasan masalahnya agar dalam proses penulisannya materi yang diuraikan tersebut dapat terurai dengan alur yang runtut dan sistematis, sehingga jawaban dari pemecahan masalahnya dapat bersifat efektif dan efisien. Hal ini bertujuan agar nantinya memudahkan para pembaca untuk mengetahui maksud dari dibuatnya karya tulis ini, serta maksud yang dimiliki oleh penulis agar tetap dapat tersampaikan secara jelas. Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka obyek kajian tulisan ilmiah ini ialah penyelesaian sengketa akibat kesalahan pemberitaan yang dilakukan oleh pers, yang mana maksudnya ialah penulis akan mengkaji bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dalam hal kesalahan pemberitaan yang dilakukan oleh pers melaui mediasi dan apakah penyelesaian sengketa kesalahan pemberitaan oleh pers melalui tipologi mediasi bisa berjalan efektif.
12
1.4 Orisinalitas Penelitian Sejuah ini penelitian tentang “Penyelesaian Sengketa Kesalahan Pemberitaan Oleh Pers Dengan Prosedur Mediasi” ini belum pernah dilakukan fakta ini diperoleh dengan observasi di ruang koleksi skripsi perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Internet, secara spesifik tidak ada penelitian yang mengangkat mengenai kesalahan pemberitaan oleh pers.
1.5 Tujuan Penelitian Dalam setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan adanya tujuan yang jelas maka akan memberikan arah yang jelas pula untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1.5.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses atau cara penyelesaian sengketa kesalahan pemberitaan oleh pers melalui mediasi sebagai salah satu bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa. 1.5.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini meliputi : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme penyelesaian sengketa kesalahan pemberitaan oleh pers melalui mediasi; 2. Untuk mengetahui sejauhmana efektivitas penyelesaian sengketa pemberitaan oleh pers melalui tipologi mediasi.
13
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang berarti bagi ilmu pengetahuan hukum dan dapat dijadikan bahan referensi pada perpustakaan, khususnya mengenai penyelesaian sengketa kesalahan pemberitaan yang dilakukan oleh pers dengan prosedur mediasi. 1.6.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi para jurnalis dalam memahami penyelesaian sengketa akibat kesalahan pemberitaan yang dilakukan oleh pers melalui mediasi dan juga mengenai efektifitas mediasi dalam menyelesaikan sengketa kesalahan pemberitaan oleh pers. 2. Bagi
masyarakat
luas
dalam
memberikan
informasi
bahwa
penyelesaian sengketa dalam hal kesalahan pemberitaan tidak hanya dapat diselesaikan secara Litigasi namun juga dapat diselesaikan secara Non Litigasi.
1.7 Landasan Teoritis Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Hukum merupakan bagian dari perangkat kerja sosial.9 Fungsi sistem sosial ini adalah untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan
9
Sajipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet. VI, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 159.
14
anggota masyarakat sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib. Hukum yang memasuki hubungan antar manusia tidak hanya menggarap hubungan dari segi ketertiban saja, melainkan dari segi keadilan.10 Sengketa dapat terjadi pada siapa saja. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara perusahan dengan perusahaan. Sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Banyak kata yang mungkin di gunakan untuk menggambarkan sengketa (disputes), seperti : konflik, debat, gugatan, keberatan, kontroversi, persilisihan.11 Sengketa adalah suatu situasi di mana ada pihak yang merasa di rugikan oleh pihak lain. Konflik terjadi ketika dua orang atau lebih berlomba-lomba untuk mencapai tujuan yang sama atau memperoleh sumber yang jumlahnya terbatas. Unsur-unsur yang terdapat dalam konflik tidak berbeda jauh dari unsur-unsur yang terdapat dalam sengketa. Unsur-unsur yang terkandung dalam konflik : 1. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat (adanya interaksi antara mereka yang terlibat). 2. Ada tujuan yang di jadikan sasaran konflik (sumber konflik) 3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan di antara pihak yang terlibat untuk mendapatkan atau mencapai tujuan. 4. Adanya situasi konflik antara dua pihak yang bertentangan.
10
Ibid, h. 160. Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 16. 11
15
Apabila unsur-unsur ini masuk kedalam masyarakat umum dan melibatkan pihak ketiga maka kemudian di sebut dengan sengketa. 1.7.1 Teori Penyelesaian Sengketa Tata cara penyelesaian sengketa dapat di bagi 2 kategori, yaitu : 1. Penyelesaian sengketa yudisial, yang lazim di sebut dengan litigasi. 2. Penyelesaian sengketa non-yudisial atau alternatife penyelesaian sengketa.12 Sistem peradilan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Mahkamah Agung terdapat 4 lingkungan peradilan, yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer. Tugas pengadilan adalah menyelesaikan sengketa dengan menjatuhkan putusan, sedangkan pada jalur non litigasi adalah kebalikan dari litigasi sebagian besar tugasnya adalah untuk penyelesaiaan sengketa di luar pengadilan dengan melalui perdamaian. Teori di gunakan adalah teori Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution). ADR adalah serangkaian proses yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak. Pada mulanya penyelesaian sengketa di lihat sebagai suatu alternatif dari keputusan hakim atas suatu keputusan mengenai sengketa menurut hukum. Asas-asas yang berlaku pada alternatif penyelesaian sengketa adalah : 1. Asas kerahasiaan. 12
Widnyana, 2007, Alternative Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law Center (IBLC), Jakarta, h. 60
16
2. 3. 4. 5.
Asas itikad baik. Asas mengikat. Asas kontraktual. Asas kebebasan. 13
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS di sebutkan bahwa, “lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang di sepakati para pihak yaknin penyelesaian di luar pengadilan dengan cara arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Berikut adalah pengertian dari beberapa ahli mengenai penyelesaian sengketa alternatif : 1. Gary Goodpaster menyatakan mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian masalah di mana suatu pihak luar yang tidak berpihak, netral tidak bekerja bersama para pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.14 2. Stanfard M. Altschul dalam bukunya The Most Important Leal Terms You’ll Ever Need To Know mendefinisikan ADR sebagai suatu pemeriksaan sengketa oleh majelis swasta yang di sepakati oleh para pihak dengan tujuan menghemat biaya perkara. Hal ini merupakan mediasi bagian dari proses penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan para pihak.15 3. I Made Widnyana menyatakan terdapat dua unsur penting keberhasilan mediasi yakni, para pihak yang sama-sama mempunyai keinginan dan memiliki sikap saling mempercayai untuk melakukan mediasi dan mediator yang handal. 16 4. Pasal 1 angka 7 PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di pengadilan. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
13
Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketab di Luar Pengadilan, Visimedia, Jakarta, h. 11. 14
Gerry Goodpaster, 1993, Negosiasi dan Mediasi; Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa melalui Negosiasi, Elips Project, Jakarta, h. 201. 15
Abbdurasyid Priyatna, 2002, Arbitrase dan Altenatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneka, Jakarta, h. 15. 16
Widnyana, op.cit, h. 108.
17
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan di bantu oleh mediator. 1.7.2 Teori Efektivitas Hukum Efektifitas merupakan suatu fakta bahwa kaidah hukum secara aktual diterapkan dan dipatuhi, sehingga warga masyarakat bertingkah laku sesuai dengan kaidah hukum tersebut. Dengan demikian, maka efektifitas merupakan kondisi dari sahnya suatu kaidah hukum, dalam arti bahwa efektifitas harus menyertai suatu kaidah agar sahnya tidak hilang. 17 Namun, suatu kaidah tidak identik dengan kenyataan yang berwujud suatu prilaku dan hal tersebut sama dengan ketidaksamaan antara sahnya suatu kaidah dengan efektifitasnya. Efektifitas suatu tertib hukum dan efektifitas suatu kaidah hukum tertentu, merupakan suatu kondisi bagi sahnya kaidah tersebut. Efektifitas merupakan suatu kondisi dalam arti bahwa tertib hukum tertentu tidak dapat dianggap sah lagi apabila efektifitasnya hilang atau pudar. Kaidah dasar adalah dasar sahnya suatu kaidah hukum tersebut. Suatu tertib hukum tidak akan kehilangan efektifitasnya apabila salah satu diantara kaidah-kaidah tersebut kehilangan efektifitasnya. Kaidah hukum berjalan secara umum efektif dengan cara diterapkan dan dipatuhi, maka suatu tertib hukum tersebut dapat dikatakan sah. Suatu kaidah juga tidak kehilangan efektifitasnya apabila pelaksanaannya tidak efektif dalam beberapa kasus tertentu.
17
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 20.
18
Namun, suatu kaidah tidak dapat dianggap sah jika kaidah tersebut tidak pernah diterapkan atau tidak pernah dipatuhi oleh siapapun juga.18 Soekanto mengemukakan,19 bahwa secara konseptual, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam didalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum (rule of law) baik dalam arti formal maupun material atau ideologis mendapat pengakuan. Selanjutnya Friedman berpendapat,20 bahwa penegakkan hukum (rule of law) dalam arti material berarti : a Penegakkan hukum yang sesuai dengan ukuran-ukuran tentang hukum yang baik atau hukum yang buruk b Kepatuhan dari warga-warga masyarakat terhadap kaidah-kaidah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif c Kaidah-kaidah hukum harus selaras dengan hak-hak asasi manusia d Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-aspirasi manusia dan penghargaan yang wajar terhadap martabat manusia e Adanya badan yudikatif yang bebas dan merdeka yang akan dapat memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-wenang dari badan-badan eksekutif dan legislatif.
18
Ibid, h. 26.
19
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), h. 5. 20
Soerjono Soekanto, 1983, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), h. 149.
19
Dengan demikian, sistem penegakan hukum yang baik menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan prilaku manusia yang nyata. 21 Mengenai pengertian penegakan hukum, Andi Hamzah mengemukakan, bahwa penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement, bahasa Belanda rechtshandhaving. Istilah penegakan hukum dalam bahasa Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan force sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini diperkuat dengan kebiasaan kita menyebut penegak hukum itu polisi, jaksa dan hakim. Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut dan membuat keputusan yang tidak secara tidak ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. LaFavre menyatakan,22 bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit). Sehingga dapat dikatakan bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola prilaku sebagaimana dimaksud yaitu terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma didalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur dan pola prilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.
21
Soerjono Soekanto I, op.cit, h. 13.
22
Soerjono Soekanto II, op.cit, h. 7.
20
Selain itu, ada kecendrungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.23 Suatu kaidah hukum atau peraturan yang berfungsi dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu : a Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri; b Petugas yang menegakkan atau yang menerapkan kaidah hukum tersebut; c Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum; d Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.24 Keempat faktor tersebut merupakan esensi dari penegakan hukum dan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum. Artinya, hukum tadi benarbenar berlaku secara yuridis, sosiologis dan fisiologis. Berfungsinya hukum tersebut sangat tergantung pada usaha menanamkan ketentuan hukum itu sendiri.25 Hukum menentukan peranan apa yang sebaiknya dilakukan oleh para subyek hukum maka, hukum yang berlaku tersebut berjalan secara efektif dan semakin mendekati apa yang telah ditentukan dalam kaidah hukum.26 Adanya suatu jarak peranan yang mungkin di sebabkan karena hukum hanya berlaku secara yuridis, merupakan suatu pertanda bahwa hukum mengalami hambatan dalam efektivitasnya.
23
Ibid.
24
Soerjono Soekanto I, op.cit, h. 30.
25
Ibid, h. 77.
26
Ibid, h. 79.
21
1.7.3 Teori Kepastian Hukum Fungsi hukum adalah mengatur hubungan antara Negara atau masyarakat dengan warganya dan hubungan antara sesama warga masyarakat tersebut, agar kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan tertib dan lancer. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan dalam masyarakat. Kepastian hukum mengaharuskan diciptakannya peraturan umum atau kaidah hukum yang berlaku umum, agar tecipta suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat, maka kaidah termaksud harus di tegakkan serta di laksanakan dengan tegas. Untuk kepentingan itu, maka kaidah hukum tersebut di ketahui sebelumnya dengan pasti. Kepastian hukum adalah kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam hukum itu sendiri. Hal ini tidak berarti bahwa kepastian hukum harus terwujud dalam peraturan atau regel belaka, akan tetapi mungkin juga terwujud dalam keputusan pejabat yang berwenang. Sebab dalam keadaan nyata, hukum sematamata berupa keputusan, sedangkan dalam keadaan berlakunya, hukum sematamata merupakan peraturan.27
1.8 Metode Penelitian Metodelogi mempunyai beberapa pengertian, yaitu (a) logika dari penelitian ilmiah, (b) studi terhadap prosedur dan teknik penelitian, dan (c) suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian.
Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa
metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu 27
Soerjono Soekanto I, Op.Cit , h. 74.
22
pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis, konsisten.28 Adapun metode penelitian yang digunakan adalah : 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum empiris, yakni hukum dikonsepsikan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata. Yang mana dalam hal ini hukum dikonsepsikan sebagai “Law as what it is in society” yakni hukum sebagai gejala sosial empiric yang dapat menimbulkan efek-efek pada berbagai kehidupan sosial.29 1.8.2 Jenis Pendekatan Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan PerUndang-Undangan (The Statute Approach), Pendekatan Konsep, dan Pendekatan Kasus. Pendekatan PerUndang-Undangan (The Statute Approach), adalah pendekatan dengan berdasarkan kepada perundang-undangan, norma hukum dalam hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Kesalahan Pemberitaan Oleh Pers. Dikatakan bahwa pendekatan PerUndang-Undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.30
28
Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, h. 17.
29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto IV), h. 14. 30
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Perss, Jakarta, h. 72.
23
Pendekatan konsep (Conceptualical Approach), adalah beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Konsep itu bersifat universal.31 Pendekatan kasus (Case Aproach), adalah melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang di hadapi yang telah menjadi putusan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasanalasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusan-putusan. Ratio decidendi menunjukan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif.32 1.8.3 Sumber Data Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data primer dan data skunder. Data Primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dilapangan yaitu baik dari wawancara dengan para informan. Data ini di peroleh dengan mengadakan penelitian secara langsung di lapangan yang akan di lakukan dengan pimpinan redaksi media cetak dan organisasi jurnalis yang ada di bali. Sedangkan Data skunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan
31
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 177. 32
Ibid, h. 158.
24
dalam bentuk bahan-bahan hukum. Bahan Hukum terdiri dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Skunder, dan Bahan Hukum Tersier. 1. Bahan Hukum Primer dapat berupa : Kaedah Dasar yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2. Bahan Hukum Skunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku hukum, hasil penelitian, pendapat dari para pakar (doktrin) serta jurnal-jurnal hukum.33 3. Hukum Tersier, yaitu berupa bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.34 1.8.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam
penelitian
hukum
empiris
dikenal
teknik-teknik
untuk
mengumpulkan data yaitu : studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran quisioner/angket. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam skripsi ini antara lain adalah :
33
Ibid, h. 32.
34
Ibid.
25
a. Teknik Studi Dokumen Studi Dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun penelitian hukum empiris, karena meskipun aspeknya berbeda namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normatif.
Studi Dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang
relevan dengan permasalahan penelitian. b. Teknik Wawancara (Interview) dan Daftar Pertanyaan (Questionnair) Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris.
Dalam kegiatan ilmiah,
wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. Agar hasil wawancara nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas, dalam berwawancara peneliti menggunakkan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide. Teknik wawancara umumnya digunakan dalam penelitian yang sifatnya deskriptif, namun dapat juga digunakan dalam penelitian ekploratif dan eksplanatoris yang digabung dengan teknik pengambilan data lainnya, jika wawancara adalah salah satu instrument mengumpulkan datadengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang di sampaikan secara lisan, maka kuisioner merupakan
26
cara pengumpulan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang di sampaikan secara tertulis. 35 c. Teknik Observasi Merupakan alat pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan atau observasi dari peneliti. Pengamatan dalam penilitian ilmiah di tuntut harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti validitas dan realibilitasnya, sehingga hasil pengamatan sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran pengamatan.36 1.8.5 Teknik Analisa Setelah data-data baik primer maupun skunder yang dibutuhkan terkumpul, maka bahan hukum tersebut akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan teknik pengolahan data secara kualitatif. Dalam pengolahan dan analisa data secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang di peroleh di lapangan dengan permasalahan terkait. Setelah di lakukan analisis secara kualitatif maka data yang di peroleh akan di sajikan dengan secara deskriptif kualitatif dan sistematis. yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan pemahaman dan interprestasi data.37 Hal tersebut di maksudkan dengan menganalisis data yang dapat di kaitkan dengan teori-teori
35
Ibid, h. 70.
36
Ibid.
37
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 170.
27
dalam landasan teoritis kemudian di sajikan secara mendetail dan tersusun untuk merampungkan tulisan ini. Ada pun data-data itu adalah data tentang kasus sengketa pers mengenai kesalahan pemberitaan yang di lakukan oleh pers dan cara penyelesaian nya di lakukan dengan prosedur mediasi.