BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air Menurut Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 82 Tahun 2001, Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Air di bumi ini tidak pernah terdapat dalam keadaan murni bersih, tetapi selalu ada senyawa atau mineral (unsur) lain yang terlarut di dalamnya. Sebagai contoh, air hujan yang digunakan atau dimanfaatkan sebagai aki/air baterai dan air yang diambil dari mata air di pegunungan yang dapat langsung diminum (Wardhana, 1995). 2.2. Pencemaran Air Menurut Achmad (2004), Definisi pencemaran air menurut Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : KEP02/MENKLH/I/1988 Tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan adalah : “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam air dan/atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau sudah tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya “ (Pasal 1).
Dalam pasal 2, air pada sumber air menurut kegunaan/peruntukannya digolongkan menjadi : 1. Golongan A, yaitu air yang dapat dipergunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu. 2. Golongan B, yaitu air yang dapat dipergunakan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga. 3. Golongan C, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan. 4. Golongan D, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri dan listrik negara. Menurut definisi pencemaran air tersebut di atas bila suatu sumber air yang termasuk dalam kategori golongan A, misalnya sebuah sumur penduduk kemudian mengalami pencemaran dalam bentuk rembesan limbah cair dari suatu industri maka kategori sumur tadi bukan golongan A lagi, tapi sudah turun menjadi golongan B karena air tadi sudah tidak dapat digunakan langsung menjadi air minum tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Dengan demikian air sumur tersebut menjadi kurang/tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya (Acmad, 2004). Masing-masing golongan air mempunyai kriteria sendiri, yaitu parameter kualitas air untuk golongan A, B, C dan D. Suatu badan air dapat diketahui kualitas airnya (tercemar atau tidak) melalui analisis contoh air di laboratorium dan membandingkannya dengan baku mutu air (Manik, 2004).
Menurut Suriawiria (2005), sumber pencemar yang terdapat pada suatu badan air/air sungai berasal dari: a. Sumber domestik (rumah-tangga, perhotelan, WC umum, pasar) dan sebagainya; b. Sumber nondomestik (industri, pertanian, peternakan, perikanan serta sumber-sumber lainnya). Secara langsung ataupun tidak langsung pencemar tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air, baik untuk keperluan air minum, air industri ataupun keperluan lainnya (Suriawiria, 2005). Pencemaran air dapat semakin luas, tergantung dari kemampuan badan air penerima polutan untuk mengurangi kadar polutan secara alami. Apabila kemampuan badan air tersebut rendah dalam mereduksi kadar polutan, maka akan terjadi akumulasi polutan dalam air sehingga badan air akan menjadi tercemar. (Fardiaz, 1992). Menurut Gabriel (2001), akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran air yaitu : a. Terganggunya kehidupan organisme air. b. Pendangkalan dasar perairan. c. Punahnya biota air seperti ikan. d. Menjalarnya wabah penyakit seperti diare. e. Banjir akibat tersumbatnya saluran air.
2.3. Limbah Cair Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP51/MENLH/10/1995, Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh suatu kegiatan/industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Limbah cair terdiri dari limbah industri (industri skala besar dan skala kecil) dan limbah domestik. Air limbah atau limbah cair industri adalah limbah yang dihasilkan pada setiap tahap produksi yang berupa air sisa, air bekas proses produksi atau air bekas pencucian peralatan industri (Hadi, 2005). Menurut Ricki (2005), Air limbah industri umumnya terjadi sebagai akibat adanya pemakaian air dalam proses produksi. Dalam proses industri, air digunakan sebagai : a. Untuk mentransportasikan produk atau bahan baku. b. Sebagai air pendingin. Berfungsi untuk memindahkan panas yang terjadi dari proses industri. c. Sebagai air proses, misalnya sebagai umpan boiler pada pabrik minuman. d. Untuk mencuci dan membilas produk, gedung atau instalasi. Limbah domestik adalah semua buangan yang berasal dari kamar mandi, kakus, dapur, tempat cuci pakaian, cuci peralatan rumah tangga, apotek, rumah
sakit, rumah makan, dan sebagainya yang secara kuantitatif limbah tersebut terdiri atas zat organik dan zat anorganik (Sastrawijaya, 1991). Limbah cair domestik biasanya menghasilkan senyawa organik berupa protein, lemak, karbohidrat dan asam nukleat (Ainul, 2004). Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau pencemar untuk dibuang dari sumber pencemar ke dalam air pada sumber air sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu air (Kristianto, 2002). Tabel 1. Sifat-sifat Fisik, Kimia, Biologis dan Air Limbah serta sumber asalnya (Sugiharto, 1987). Sifat-sifat air limbah
Sumber asal air limbah
Sifat fisik : Warna
Air buangan rumah tangga dan industri serta bangkai benda organis.
Bau
Pembusukan air limbah dan limbah industri.
Endapan
Penyediaanair minum, air limbah rumah tangga dan industri, erosi tanah, aliran air rembesan.
Sumber
: Metcalf dan Eddy, 1979
Tabel 2 (Sambungan). Sifat-sifat Fisik, Kimia, Biologis dan Air Limbah serta sumber asalnya (Sugiharto, 1987). Sifat-sifat air limbah
Sumber asal air limbah
Temperatur
Air
limbah
rumah
tangga
dan
industri. Kandungan bahan kimia : Organik ; Karbohidrat
Air
limbah
rumah
tangga,
perdagangan serta limbah industri. Minyak, lemak, gemuk
Air
limbah
rumah
tangga,
perdagangan serta limbah industri. Pestisida
Air limbah pertanian.
Fenol
Air limbah industri.
Protein
Air
limbah
rumah
tangga,
perdagangan. Deterjen
Air limbah rumah tangga, industri.
Lain-lain
Bangkai bahan organik alamiah.
Sumber
: Metcalf dan Eddy, 1979
Tabel 3 (Sambungan). Sifat-sifat Fisik, Kimia, Biologis dan Air Limbah serta sumber asalnya (Sugiharto, 1987). Sifat-sifat air limbah
Sumber asal air limbah
Anorganik : Kesadahan
Air limbah dan air minum rumah tangga serta rembesan air tanah.
Klorida
Air limbah dan air minum rumah tangga, rembesan air dan pelunak air.
Logam berat
Air limbah industri.
Nitrogen
Air
limbah
rumah
tangga
dan
pertanian. Fosfor
Air limbah rumah tangga dan industri serta pelimpahan air hujan.
Belerang
Air limbah dan air minum rumah tangga serta air limbah industri.
Bahan-bahan beracun Sumber
: Metcalf dan Eddy, 1979
Air limbah industri.
2.4. Surfaktan Anionik (Deterjen) Surfaktan-zat
aktif
permukaan
atau
tensides-
adalah
zat
yang
menyebabkan turunnya tegangan permukaan cairan, khususnya air. Ini menyebabkan pembentukan gelembung dan pengaruh permukaan lainnya yang memungkinkan zat-zat ini bertindak sebagai zat pembersih atau penghambur dalam industri dan untuk tujuan rumah tangga (Connell, 1995). Surfaktan atau surface active agent atau wetting agent merupakan bahan organik yang berperan sebagai bahan aktif pada deterjen, sabun dan shampoo. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga memungkinkan partikel-partikel yang menempel pada bahan-bahan yang dicuci terlepas dan mengapung atau terlarut dalam air (Effendi, 2003). Surfaktan dikelompokkan menjadi empat, yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amphoteric (zwitterionic) (Dean dan Bradley, 1984) dalam (Effendi, 2003). Untuk keperluan rumah tangga digunakan kelompok surfaktan anionik (deterjen). Telah dikenal dua macam deterjen anionik, yakni alkil sulfonat linear dan alkil benzene sulfonat (Sastrawijaya, 1991). Bentuk deterjen merupakan salah satu jenis bahan pembersih yang digunakan untuk mengurangi kotoran dari pakaian, piring, dan barang lainnya (Sawyer, 1967).
2.4.1. Deterjen Sintetis Deterjen sintetis mempunyai sifat pembersih yang baik dan tidak membentuk endapan dengan ion-ion seperti kalsium dan magnesium di dalam air sadah. Deterjen termasuk garam yang berasal dari asam kuat sehingga tidak akan membentuk endapan di dalam larutan asam (Situmorang, 2007). Unsur kunci dari deterjen adalah bahan surfaktan atau bahan aktif permukaan, yang beraksi dalam menjadikan air menjadi lebih basah (wetter) dan sebagai bahan pencuci yang lebih baik (Achmad, 2004). Deterjen sintetis mempunyai bahan aktif yang disebut sebagai surfaktan yang berfungsi untuk menurunkan kekerasan air. Bahan surfaktan yang paling banyak digunakan adalah alkil benzene sulfonat (ABS) yang merupakan turunan benzene (Situmorang, 2007).
Gambar 1. Rumus bangun dari Alkil Benzene Sulfonat (ABS) Sifat surfaktan bergantung pada suatu molekul yang memiliki sifat lipofilik dan hidrofilik. Pada batas antarfase (misalnya, lemak dan air), molekul surfaktan bergabung menyebabkan turunnya tegangan permukaan. Pada batas antarfase ini, keberadaan busa menyebabkan terbentuknya perluasan daerah antarfase dan dengan demikian terjadi akumulasi surfaktan dalam air busa dan
mengakibatkan penurunan kepekatan surfaktan dalam massa air. Dengan surfaktan ABS, batas ambang untuk pembentukan busa permanen adalah sekitar 0,3-0,4 mg/L. Suhu, pH, adanya zat-zat lainnya semuanya dapat mempengaruhi kepekatan pada busa permanen terjadi (Connell, 1995). ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai oleh bakteri penngurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada strukturnya. Dengan tidak terurainya secara biologi deterjen ABS, lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh busa (Achmad, 2004). ABS sangat sukar didegradasi oleh mikrorganisme karena ikatan dalam strukturnya, sehingga mencemari air, surfaktan lain yang tergolong biogradable adalah alkil linear sulfonat atau α-dodecanebenzene sulfonat (LAS) : H3C-CH-CH2-CH2- CH2- CH2- CH2- CH2-CH-C-CH-CH3
O=S=O O-Na+ Gambar 2. Rumus bangun dari LAS (α-dodecanebenzene sulfonat) LAS lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme dibanding dengan ABS karena gugus alkil dalam LAS tidak bercabang dan tidak memiliki atom karbon tersier. Penggunaan LAS dapat mengurangi pencemaran air (Situmorang, 2007).
Sejak LAS menggantikan penggunaan ABS dalam deterjen, masalahmasalah yang timbul seperti penutupan permukaan air oleh gumpalan busa dapat dihilangkan dan toksisitasnya terhadap ikan di perairan telah banyak dikurangi (Achmad, 2004). Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut : a. Surfaktan (Surface active agent) Zat aktif permukaan mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Berupa anionik (Alkyl Benzene Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS), kationik (Garam Ammonium), Nonionik (Nonyl Phenol Polyethoxyle), Amfoterik (Acyl Ethylenediamines). b. Builder (Pembentuk) Zat yang berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air. Berupa phosphates (Sodium Tri Poly Phosphate/STTP). Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tertra Acetate/EDTA) dan Sitrat (asam sitrat). c. Filler (Pengisi) Bahan
tambahan
deterjen
yang
tidak
mempunyai
kemampuan
meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat memadatkan dan memantapkan sehingga dapat menurunkan harga. Contoh: Sodium sulfate.
d. Additivies (Zat Tambahan) Bahan suplemen/tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Additivies ditambahkan untuk maksud komersialisasi produk. Contoh : Enzyme, Borax, Sodium chloride, Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh deterjen ke dalam larutan tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci. Wangi-wangian atau parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan pelarut (Admin, 2010). 2..4.2. Toksisitas Deterjen Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi. Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap manusia dan lingkungannya (Admin, 2010). Deterjen ada yang bersifat kationik, anionik maupun nonionik. Kesemuanya membuat zat yang lipofilik mudah larut dan menyebar di perairan. Selain itu, ukuran zat lipofilik menjadi lebih halus sehingga mempertinggi
toksisitas racun. Deterjen juga mempermudah absorpsi racun melalui insang. Ada pula yang persisten sehingga terjadi akumulasi (Slamet, 1994). Umumnyanya pada deterjen anionik ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti golongan ammonium kuartener. Golongan ammonium kuartener ini dapat membentuk senyawa nitrosamine. Senyawa nitrosamine diketahui bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan kanker (Admin, 2010). Kadar surfaktan 1 mg/liter
dapat mengakibatkan terbentuknya busa
diperairan. Meskipun tidak bersifat toksik, keberadaan surfaktan dapat menimbulkan rasa pada air dan dapat menurunkan absorpsi oksigen di perairan (Effendi, 2003). Pengaruh lingkungan yang paling jelas adalah adanya busa pada aliran sungai. Hynes dan Roberts (1962), dalam studi aliran sungai di Inggris yang menerima limbah air mengandung surfaktan (2-4 ppm) tidak dapat mendeteksi perubahan apa pun dalam struktur komunitas biota air karena surfaktan (Connell, 1995). Dalam laporan lain disebutkan deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah menjadi menurun. Keberadaan busa-busa dipermukaan air menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Admin, 2010).
Deterjen keras berbahaya bagi ikan biarpun konsentrasinya kecil, misalnya natrium dodesil benzene sulfonat dapat merusak insang ikan, biarpun hanya 5 ppm. Tanaman air juga dapat menderita jika kadar deterjen tinggi. Kemampuan fotosintetis dapat terhenti (Sastrawijaya, 1991). Menurut Wardhana (1995), Bahan buangan berupa deterjen di dalam air lingkungan akan mengganggu karena alasan berikut ini : a. Deterjen yang menggunakan bahan non-fosfat akan menaikkan pH air sampai sekitar 10,5-11. b. Bahan antiseptik yang ditambahkan ke dalam deterjen juga mengganggu kehidupan mikroorganisme di dalam air bahkan dapat mematikan. c. Ada sebagian bahan deterjen yang tidak dapat dipecah (didegradasi) oleh mikroorganisme yang ada di dalam air. Keadaan ini sudah tentu akan merugikan lingkungan. Permasalahan juga ditimbulkan oleh deterjen yang mengandung banyak polifosfat yang merupakan penyusun deterjen yang masuk ke badan air. Poliposfat dari deterjen ini diperkirakan memberikan kontribusi sekitar 50 % dari seluruh fosfat yang terdapat diperairan. Keberadaan fosfat yang berlebihan menstimulir terjadinya eutrofikasi (pengkayaan) perairan (Effendi, 2003). Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan makhluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air sehingga badan air kekurangan oksigen akibat dari
pertumbuhan algae (phytoplankton) yang berlebihan yang merupakan makanan bakteri (Admin, 2010). Populasi bakteri yang berlebihan akan menggunakan oksigen yang terlarut dalam air sampai suatu saat terjadi kekurangan oksigen di badan air dan pada akhirnya justru membahayakan kehidupan makhluk air dan sekitarnya. Di beberapa Negara penggunaan fosfat dalam deterjen telah dilarang. Sebagai alternatif telah dikembangkan zeolite dan citrate sebagi builder dalam deterjen (Admin, 2010). 2.5. Spektrofotometer menggunakan metode MBAS (Methylene Blue Anionic Surfaktan) Analisis spektrofotometri UV/Vis merupakan salah satu teknik analisis spetroskopi yang telah lama dikenal dan banyak digunakan di berbagai laboratorium (Anonim, 1979). Spektrofotometer UV-Visible adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar Ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm, sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm. Elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif (Dachriyanus, 2004). Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya.
Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton yang melalui satu satuan luas penampang perdetik (Rohman, 2007). Prinsip yang digunakan adalah suatu molekul zat yang dapat menyerap ultraviolet dan cahaya tampak dengan kemungkinan bahwa elektron molekul zat akan terkesitasi ke tingkat energi yang tinggi. Bertujuan untuk menentukan kadar zat secara spektrofotometri serapan pada daerah ultraviolet dan cahaya tampak (Anonim, 1979). Methylene Blue digunakan untuk uji coba bahan pewarna organik. Bahan pewarna organik yang berwarna biru tua ini, akan menjadi tidak berwarna apabila oksigen pada sampel (air yang tercemar yang sedang dianalisis) telah habis dipergunakan (Mahida, 1981). Surfaktan anionik bereaksi dengan warna biru metilen membentuk pasangan ion baru yang terlarut dalam pelarut organik, intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 652 nm. Serapan yang diukur setara dengan kadar surfaktan anionik (Anonim, 2009).