BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam pembangunan perekonomian, aspek permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan, hal tersebut nyata terlihat dari tingginya daya serap kebutuhan modal dan penyediaan dana yang dibutuhkan masyarakat, dewasa ini alternatif lembaga yang dituju oleh masyarakat guna memenuhi sumber permodalan dan pendanaan yang diperlukan adalah sektor perbankan (bank), yaitu melalui pemberian pembiayaan fasilitas kredit, baik kredit modal kerja maupun kredit konsumtif yang produktif. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan)”. Fungsi menghimpun dan menyalurkan dana itu berkaitan erat dengan kepentingan umum, sehingga lembaga perbankan wajib menjaga dengan baik dana yang dititipkan masyarakat tersebut. Perbankan harus dapat menyalurkan kembali dana tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan. Dan untuk dapat melaksanakan kegiatan perkreditan secara sehat, aman dan terjamin penyalurannya, maka bank di dalam menyalurkan kredit harus
1
memenuhi prinsip keseluruhan prosedur penilaian kredit di atas berpedoman pada faktor 6 C, yaitu Character, Capacity To Create Sources Of Funding, Capital, Collateral, Condition Of Economy And Sector Of Business, and Competence To Borrow1. Kriteria penilaian 6 C ini penting bagi bank untuk memberikan kepastian baginya agar kredit tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat, disamping juga untuk meminimalkan resiko kredit. Prinsip-prinsip tersebut merupakan indikator analisis yang diberlakukan pihak bank dalam menilai kelayakan calon debiturnya, penilaian tersebut dilakukan setelah adanya pengajuan permohonan pinjaman (kredit) dari pihak debitur, dan harus dilakukan sebelum disetujuinya pemberian kredit kepada debitur tersebut, kemudian pihak bank menerbitkan Surat Persetujuan Pemberian Kredit sebagai tanda / pemberitahuan disetujuinya permohonan kredit yang diajukan debitur. Penerapan prinsip ini berlaku umum dalam dunia perbankan, dan diterapkan untuk menjamin penyaluran kredit sesuai fungsi dan tujuannya, serta menghindari kerugian bagi pihak bank ataupun munculnya kasus kredit bermasalah atau tidak produktif (non performing loan). Dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penyaluran kredit baik kredit modal kerja dan kredit konsumtif,
maka
pertumbuhan
tersebut
juga
biasanya
disertai
dengan
meningkatnya non performing loan (NPL), walaupun prosentase jumlah dan peningkatannya lebih kecil, tetapi kredit bermasalah ini akan dapat mempengaruhi kesehatan sektor perbankan, bahkan yang lebih jauh lagi dapat berdampak sistemik bagi pembangunan dan perekonomian negara. Dengan menurunnya kesehatan suatu bank maka hal tersebut dapat mempengaruhi kelangsungan usaha 1
Sutojo Siswanto, 2005, Analisa Kredit Bank Umum : Konsep dan Teknik, Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo, hlm 44.
2
suatu bank. Likuiditas (kemampuan untuk memenuhi kewajiban finansial yang harus segera dipenuhi), Solvabilitas (kemampuan untuk memenuhi kewajiban finansial pada saat dilikuidasi), Rentabilitas (perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal), Profitabilitas (kemampuan untuk memperoleh laba) dari suatu bank, sangat dipengaruhi oleh keberhasilan mereka dalam mengelola kredit yang disalurkan. Kebanyakan bank yang bangkrut atau menghadapi kesulitan keuangan yang akut dan masif yang disebabkan karena sedang menghadapi kasus-kasus kredit macet dalam jumlah besar, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas-nya. Setelah adanya persetujuan pihak bank terhadap fasilitas kredit yang dimohonkan debitur, maka pada umumnya pelaksanaan pemberian kredit, wajib dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian tersebut terdiri dari perjanjian kredit atau perjanjian utang piutang (perjanjian pokok) dan di ikuti dengan perjanjian jaminan (perjanjian tambahan / accesoir), baik oleh pihak debitur maupun pihak ketiga yang bertindak sebagai pemberi jaminan (khususnya jaminan hak tanggungan). Secara garis besar dikenal ada dua bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan baik barang bergerak dan barang tidak bergerak. Dalam prakteknya jaminan yang paling sering digunakan adalah jaminan kebendaan, yang salah satunya berbentuk tanah dan atau bangunan yang dijadikan sebagai jaminan. Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) telah diatur suatu lembaga jaminan terhadap hak atas tanah yang disebut dengan Hak Tanggungan, yang pengaturannya diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Serta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (disingkat UUHT).
3
Perjanjian Kredit dalam praktek di dunia perbankan dibuat dalam 2 (dua) bentuk, hanya saja dalam penggunaannya tergantung pada pilihan dari masingmasing bank, yaitu perjanjian kredit yang dibuat secara notaril yang disebut akta otentik, dan yang dibuat secara unnotaril yang disebut akta dibawah tangan. Perjanjian Kredit dimaksud merupakan ikatan tertulis atau bukti tertulis hubungan hukum antara pihak bank selaku kreditur dengan pihak nasabah selaku debitur, sehingga dengan demikian haruslah disusun sedemikian rupa, agar setiap orang dapat dengan mudah mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan suatu Perjanjian Kredit. Perjanjian Kredit termasuk akta yang dibuat sebagai suatu alat bukti, biasanya untuk memudahkan dan mengamankan pihak bank selaku kreditur, maka akta (perjanjian kredit) tersebut sudah dibuat dalam format dan klausula yang standart (standart contract), baik yang berbentuk akta otentik maupun akta yang dibuat dibawah tangan (unnotaril). Namun diantara keduanya terdapat perbedaan dalam hal kekuatan pembuktiannya. Menurut pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (disingkat KUHPerdata), akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Dengan demikian kekuatan pembuktiannya telah sempurna. Pegawai yang berkuasa atau pegawai umum yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut adalah Notaris, seorang Hakim, seorang juru sita pada Pengadilan, seorang Pegawai Catatan Sipil dan dalam perkembangannya seorang Camat karena jabatannya, ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang sifatnya sementara. Kemudian akta dibawah tangan (unnotaril) adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak
4
tidak melalui perantaraan Pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti, jadi semata-mata hanya dibuat oleh pihak yang berkepentingan, dan terhadap akta dibawah tangan ini hanya terletak pada tanda tangan pihak yang terdapat di dalamnya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1874 Jo. Pasal 1876 KUHPerdata2. Pemberian jaminan dengan Hak Tanggungan dilakukan melalui Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dapat didahului dengan atau tanpa didahului dengan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), yang keduanya dibuat secara terpisah dari Perjanjian Kredit, namun antara satu dengan lainnnya merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan. Yang tidak kalah penting dalam proses pemberian jaminan, harus dilaksanakan dengan penuh kehatian-hatian, dan wajib memperhatikan
asas-asas
hukum
jaminan
pada
umumnya, yaitu asas
Publicitet, asas Specialitet, asas Tak Dapat Dibagi-Bagi, dan asas Horizontal3 serta asas-asas yang berlaku dalam hak tanggungan. Perjanjian Kredit dalam realitas hukumnya berkedudukan sebagai perjanjian pokok (perjanjian induk), yang berfungsi sebagai perjanjian pangkal, dan dapat menentukan batal atau tidak batalnya, serta berakhir atau tidak berakhirnya perjanjian lain yang mengikutinya. Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang lahir karena Undang-Undang, melainkan lahir karena telah diperjanjikan terlebih dahulu antara bank selaku kreditur dengan nasabah selaku debitur, yang kemudian diikuti oleh lahirnya 2
Sutarno, 2004, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, hlm. 101-102. H. Salim HS, 2007, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 9 - 10. 3
5
perjanjian jaminan sebagai perjanjian accesoirnya, yang dilakukan oleh bank selaku kreditur dengan nasabah selaku debitur, dan atau antara bank selaku kreditur dengan pihak ketiga lain yang bukan debitur, kedudukan pihak ketiga tersebut dalam sebuah perjanjian kredit adalah sebagai pihak pemberi jaminan, oleh karena jaminan yang diberikan adalah harta kekayaan pribadi pihak ketiga tersebut. Oleh karena itu, secara yuridis pengikatan jaminan Hak Tanggungan lebih bersifat khusus (lex specialis), jika dibandingkan dengan perjanjian jaminan yang diatur dalam ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa segala barang-barang bergerak atau tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada dan yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Selain proses pemberian dan pencairan fasilitas kredit oleh kreditur kepada debitur dalam sebuah perjanjian kredit dengan perikatan hak tanggungan, maka yang menjadi fokus utama lainnya adalah apabila dalam pelaksanaan perjanjian kredit tersebut debitur gagal melakukan prestasi, debitur melakukan cidera janji (wanprestasi / breach of contract) atau gagal melaksanakan perjanjian kredit sebagaimana yang telah diperjanjikan dan dituangkan dalam akta perjanjian kredit, maka terhitung sejak saat itulah fungsi dari suatu perikatan hak tanggungan sebagai perjanjian jaminan dalam perjanjian kredit mulai dikedepankan oleh pihak kreditur, sebab fungsi dari jaminan hak tanggungan itu sendiri adalah untuk mengamankan dan memastikan pelunasan hutang debitur kepada kreditur secara tertib dan sebagaimana mestinya, hutang mana biasanya terdiri dari hutang pokok, biaya-biaya, dan bunga. Kreditur akan merealisasikan fungsi dari perikatan hak tanggungan yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur, atau antara kreditur
6
dengan pihak ketiga (pemberi jaminan / penjamin / penanggung), dengan tujuan tidak lain selain untuk mencegah kerugian bagi kreditur. Dalam hukum perjanjian dan hukum jaminan, apabila debitur tidak memenuhi perjanjian atau tidak melakukan hal-hal yang telah diperjanjikan, maka berdasarkan hukum debitur tersebut telah sah melakukan wanprestasi, yang akan menimbulkan akibat hukum bagi debitur atau pihak pemberi jaminan, yaitu dilakukannya eksekusi jaminan hak tanggungan yang diberikan debitur atau penjamin. Namun dalam praktek di dunia perbankan biasanya pihak bank (kreditur) tidak langsung melakukan eksekusi jaminan tersebut, akan tetapi pihak kreditur terlebih dahulu berupaya untuk menyelamatkan kredit tersebut secara persuasif, dengan memberikan solusisolusi kepada debitur dengan tujuan melancarkan kembali kredit debitur yang telah tergolong sebagai “kredit tidak lancar", "kredit diragukan" atau bahkan telah tergolong dalam "kredit macet", sehingga kembali menjadi "kredit lancar" atau debitur kembali mempunyai kemampuan membayar kepada pihak bank (kreditur) baik terhadap utang pokok, biaya-biaya dan bunganya, karena secara hakikatnya eksekusi jaminan Hak Tanggungan merupakan alternatif terakhir yang akan djalankan oleh kreditur selaku penerima Hak Tanggungan (pemegang) jikalau debitur melakukan wanprestasi (breach of contract). Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang diatur dalam UUHT dapat dilakukan dengan berbagai macam cara (mekanisme), dengan demikian para pihak dapat memilih cara eksekusi yang sesuai dengan keinginan mereka, utamanya pilihan tersebut diberikan kepada kreditur. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1), (2), dan (3) UUHT, yaitu :
7
1.
Parate Eksekusi, yaitu pemegang hak tanggungan pertama berhak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
2.
Titel Eksekutorial, yaitu obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor lainnya, hal mana dilakukan sehubungan dengan sertipikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang bermakna bahwa Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
3.
Penjualan Sukarela Di Bawah Tangan, dilakukan berdasarkan kesepakatan (konsensus) antara pemberi dan penerima (pemegang) hak tanggungan, sehingga dimungkinkan untuk mendapatkan harga penjualan yang tertinggi, hal mana dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan atau media massa setempat serta tidak terdapat pihak yang berkeberatan Metode dan upaya pencegahan yang dapat ditempuh oleh pihak
perbankan dalam rangka pengembalian kemampuan debitur untuk melakukan pembayaran utang pokok, biaya berikut bunganya kepada pihak kreditur telah di desain sedemikian rupa, sebagaimana telah digariskan dalam Surat Edaran Bank
8
Indonesia Nomor 23/12/BPPP tanggal 28 Pebruari 1991 Tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan Atas Aktiva Yang Diklasifikasikan dan Upaya Penyelamatan Kredit Yang Dapat Dilakukan Oleh Bank dengan melakukan upaya-upaya sebagai berikut : 1.
Rescheduling, yaitu dengan melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit yang berhubungan dengan jadwal pembayaran kembali kredit atau jangka waktu kredit, termasuk grace period atau masa tenggang, baik termasuk perubahan besarnya jumlah nilai angsuran atau tidak.
2.
Reconditioning, dengan melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh syarat-syarat perjanjian kredit, yang tidak hanya terbatas pada perubahan jadwal angsuran dan atau jangka waktu kredit saja.
3.
Restructuring, yaitu suatu upaya dari bank yang berupa melakukan perubahan-perubahan syarat-syarat perjanjian kredit yang berupa pemberian tambahan kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa Rescheduling dan atas Reconditioning. Setelah upaya-upaya tersebut diatas ditempuh oleh kreditur, namun
debitur tetap saja tidak mampu untuk membayar hutang pokok, biaya dan bunganya, maka terhadap hal ini pihak kreditur akan menempuh alternatif terakhir dengan melaksanakan Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan yang bersesuaian dengan prosedur hukum yang digariskan oleh UUHT, oleh karena jikalau terdapat hal yang menyimpang atau melanggar prosedur hukum, maka eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh penerima hak tanggungan (pemegang) dapat menjadi batal demi hukum, sebagaimana digariskan dalam
9
ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUHT. Pihak kreditur harus tegas untuk segera melaksanakan Eksekusi, oleh karena terkadang ketidakmampuan debitur tersebut sering terjadi karena adanya suatu kesengajaan debitur, yang mengandung arti bahwa sejatinya debitur memiliki kemampuan, akan tetapi debitur secara nyata memiliki itikad yang tidak baik, yaitu tidak mau untuk membayar hutang pokok, biaya dan bunganya kepada kreditur. Di dalam KUHPerdata memang tidak terdapat definisi yang mengatur tegas tentang apa yang dimaksudkan dengan hutang, namun dalam dunia perbankan sangat nyata dan jelas tentang apa yang dimaksud dengan hutang tersebut, yaitu hutang adalah berbentuk sejumlah uang yang belum dapat dibayarkan / tertunggak pelaksanaan pembayarannya oleh si penerima kredit (debitur) kepada si pemberi kredit (kreditur), hutang dimaksud bukan hanya berupa hutang / kredit pokok saja, tetapi terdapat juga unsur bunga dan biayabiaya yang keseluruhannya merupakan keuntungan bagi pihak bank (kreditur) seperti biaya administrasi, biaya provisi, biaya yang timbul akibat dilakukannya penagihan dan eksekusi jaminan, dan masih banyak lainnya. Sehingga memang sering ditemukan setelah dilakukannya eksekusi jaminan akibat wanprestasi, maka hasilnya adalah nilai jaminan tidak dapat menutupi (mencover) jumlah total hutang debitur kepada kreditur. Sehingga debitur harus kembali membayar hutang yang masih tersisa tersebut, dimana hal ini pun oleh peraturan perundangundangan diperkenankan untuk dilaksanakan oleh pihak kreditur terhadap debitur, sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
10
baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Dalam hal pihak tereksekusi adalah merupakan orang atau pihak yang langsung bertindak selaku debitur dalam perjanjian kredit, proses eksekusinya relatif akan lebih mudah, sehingga sangat kecil kemungkinan terdapatnya sangkalan-sangkalan yang dilakukan oleh debitur, namun tetap saja terdapat kemungkinan akan timbul masalah pada saat pihak kreditur hendak melakukan eksekusi hak tanggungan, masalah tersebut dapat saja berupa kepastian berapa jumlah hutang debitur kepada kreditur, terdapatnya pihak ketiga lainnya yang keberatan atas eksekusi hak tanggungan, debitur pemberi hak tanggungan melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan perlawanan ke Pengadilan Negeri setempat, dan jika di terima oleh Pengadilan Negeri tersebut, maka perkara perlawanan tersebut menjadi sebuah perkara biasa, yang akan diperiksa, diadili serta diputus oleh Pengadilan Negeri, hal ini terkait erat dengan Surat Mahkamah Agung R.I Nomor 147 tertanggal 1 April 1986 yang menyatakan sebelum mengeksekusi, haruslah dipastikan terlebih dahulu jumlah hutang debiturnya, sehingga hal ini dapat menjadi salah satu permasalahan dalam sebuah eksekusi hak tanggungan, yang kapan saja dapat dialami oleh para kreditur. Keadaan ini tentunya dapat semakin merugikan kreditur, maka sejatinya tidak sedikit kreditur yang menghindari untuk melakukan eksekusi jaminan hak tanggungan, oleh karena keberlakunya parate eksekusi dan titel eksekutorial hak tanggungan yang melekat pada suatu hak tanggungan sifatnya ternyata tidak mutlak (absolute) dalam keberlakuannya, hal mana terjadi oleh karena pengadilan telah bersikap, tidak menerima hal tersebut menjadi sesuatu hal yang mutlak, pengadilan bersikap bahwa pelaksanaan eksekusi tetap harus mendapatkan fiat
11
eksekusi dari pengadilan negeri setempat, hal mana tercermin dalam putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 3021 K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986. Disamping masalah tersebut diatas, yang tidak kalah menarik untuk diteliti adalah masalah yang timbul pada saat persiapan pelaksaanaan eksekusi hak tanggungan (pra eksekusi) dan pada saat pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dengan pihak tereksekusi adalah orang atau pihak yang tidak langsung bertindak sebagai debitur dalam sebuah perjanjian kredit, dimana orang atau pihak tersebut adalah orang atau pihak ketiga yang hanya memberikan harta benda miliknya berupa tanah dan atau bangunan untuk dijadikan jaminan hutang debitur kepada kreditur yang biasa disebut pemberi jaminan. Dalam hal ini orang atau pihak ketiga tersebut akan melakukan berbagai macam cara yang bertujuan untuk menghambat, menghalau, menghalangi dan bahkan berupaya sekuat mungkin untuk membatalkan eksekusi hak tanggungan yang akan dilakukan pihak kreditur terhadap obyek jaminan hak tanggungan, seperti mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri dan atau membuat laporan polisi di Kantor Kepolisian setempat dan atau langkah-langkah lainnya. Hal mana sejatinya tindakan tersebut dari sisi manusiawi adalah wajar saja jika dilakukan oleh pihak ketiga pemberi jaminan tersebut sebagai pihak tereksekusi, oleh karena tidak jarang pihak pemberi jaminan tersebut tidak pernah ikut menikmati dan atau menggunakan fasilitas kredit (hutang) yang diberikan oleh bank selaku kreditur kepada nasabah / debitur, bahkan sejak awal pemberi jaminan tidak memahami kemungkinan akan timbulnya resiko eksekusi obyek jaminan hak tanggungan miliknya, bahkan sejak awal debitur menjanjikan keamanan kepada pemberi jaminan, bahwa harta yang dijaminkannya sebagai jaminan hutang debitur tidak akan mungkin di eksekusi
12
kreditur, oleh karena adanya kepastian pembayaran kepada pihak bank (kreditur) yang dijanjikan oleh debitur, namun hal tersebut bertolak belakang dengan fakta yang akan dihadapinya, pihak pemberi jaminan tersebut akan menelan pil pahit dan akan menderita kerugian kehilangan harta pribadinya akibat perbuatan wanprestasi pihak debitur yang dijamin olehnya. Melihat fakta demikian, maka tidak jarang pemberi jaminan hak tanggungan mencari celah untuk menghambat, menghalau, menghalangi dan bahkan berupaya sekuat mungkin untuk membatalkan eksekusi hak tanggungan, seperti mengajukan gugatan kepada pihak yang dijamin (debitur) dan atau pihak-pihak lainnya termasuk kreditur, Notaris dan atau PPAT, Kantor Pertanahan, Kantor Lelang dan lain sebagainya, sehingga proses eksekusi hak tanggungan menjadi tertunda pelaksanaannya, namun jika seluruh proses pemberian dan perikatan jaminan (perjanjian jaminan) yang dilakukan diawal telah bersesuaian dengan prosedur hukum yang berlaku, dan terpenuhinya prinsip-prinsip sahnya suatu perjanjian, maka upaya-upaya tersebut dapat dipastikan akan mengalami kegagalan, dan pada akhirnya tetap saja pihak bank selaku kreditur pemegang hak tanggungan akan melaksanakan eksekusi terhadap obyek jaminan hak tanggungan milik pemberi jaminan tersebut sebagaimana dapat kita lihat pada kasus yang diteliti yaitu Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 93/Pdt.G/2014/PN.Cbi tanggal 26 Pebruari 2015, yang oleh Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara dinyatakan bahwa segala tuntutan (petitum) Penggugat ditolak, baik dalam provisi maupun dalam pokok perkaranya. Bertitik tolak dari uraian tersebut, maka penulis bermaksud meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan ini dan menyusunnya dalam sebuah karya ilmiah Tesis, yang berjudul : ”Keabsahan Perikatan Jaminan Hak Tanggungan
13
Dalam Perjanjian Kredit Perbankan (studi kasus putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor : 93/Pdt.G/2014/PN.Cbi Tanggal 26 Pebruari 2015)”.
B.
Perumusan Masalah
Dalam penulisan Tesis ini, yang menjadi rumusan masalah yang diteliti adalah sebagai berikut : 1.
Mengapa pemberi jaminan memungkiri perikatan hak tanggungan peringkat ketiga yang telah dibuat dan ditanda tanganinya, sehingga pemberi jaminan hak tanggungan mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Cibinong ?
2.
Apakah putusan Majelis Hakim telah bersesuaian dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan ?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui mengapa pemberi jaminan hak tanggungan memungkiri perikatan hak tanggungan peringkat ketiga yang telah dibuat dan ditanda tanganinya, sehingga mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Cibinong ;
2.
Untuk mengetahui apakah putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong telah bersesuaian dengan ketentuan peraturan perundanganundangan.
14
D.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran dan bahan kajian bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum perdata, khususnya hukum perjanjian dan hukum jaminan dalam lingkup perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan ;
2.
Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan, informasi dan pengetahuan hukum bagi pihak Perbankan, Pemerintah, Masyarakat, Akademisi, Praktisi Hukum dan Penegak Hukum, Mahasiswa, Pengusaha dan Kalangan Profesional, dan pihakpihak atau stake holder lainnya yang berkepentingan.
E.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran penulis tidak ditemukan tesis yang sama dengan tesis ini dan tidak terdapat karya ilmiah yang sama yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dengan demikian keaslian tesis ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan pula kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka sebagai suatu kritik yang sifatnya membangun (konstruktif).
15
F.
Kerangka Konsep
1.
Teori Penelitian Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah teori kualitatif,
dengan tujuan untuk dapat menghasilkan data deskriptif, yang bersumber dari perilaku pihak / orang yang diamati, yang merupakan fenomena yang natural, seperti perilaku pihak pemberi jaminan hak tanggungan yang menjadi pihak tereksekusi yang senantiasa mengajukan gugatan untuk menghambat, menghalau atau bahkan membatalkan eksekusi yang akan dan telah dilakukan oleh kreditur, kemudian mengamati pertimbangan hukum dan putusan majelis hakim, sehingga dengan menggunakan teori kualitatif tersebut, maka penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan uraian yang mendalam yang tersaji secara deskripsi. Oleh karena teori yang dipergunakan adalah teori kualitatif, maka secara subtantif hasil penelitian ini diharapkan juga dapat dikembangkan untuk keperluan yang empiris bagi perkembangan ilmu pengetahuan, hal mana berkenaan dengan teori dasar yang telah menempatkan Hukum adalah sejumlah rumusan pengetahuan yang ditetapkan untuk mengatur lalu lintas perilaku manusia dapat berjalan lancar, tidak saling tubruk dan berkeadilan4. Sebagaimana lazimnya pengetahuan, hukum tidak lahir di ruang hampa. Hukum lahir berpijak pada arus komunikasi manusia untuk mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya kemanfaatan yang disebabkan oleh potensi-potensi negatif yang ada pada manusia. Sebenarnya hukum itu untuk ditaati. Bagaimanapun juga, 4
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, hlm. 246.
16
tujuan penetapan hukum adalah untuk menciptakan keadilan. Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun jelek dan tidak adil. Hukum bisa saja salah, tetapi sepanjang masih berlaku, hukum itu seharusnya diperhatikan dan dipatuhi. Kita tidak bisa membuat hukum “yang dianggap tidak adil” itu menjadi lebih baik dengan merusak hukum itu. Semua pelanggaran terhadap hukum itu menjatuhkan penghormatan pada hukum dan aturan itu sendiri. Kemanfaatan hukum perlu diperhatikan karena semua orang mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum. Jangan
sampai
penegakan
hukum
justru
menimbulkan
keresahan
masyarakat. Karena kalau berbicara tentang hukum, kita cenderung hanya melihat pada peraturan perundang-undangan, yang terkadang aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan masyarakat. Satjipto Raharjo (dalam Sri Soedewi) menyatakan bahwa “keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi tetap disamping yang lain-lain, seperti kemanfaatan (utility, doelmatigheid).5 Oleh karenanya di dalam penegakan hukum,
perbandingan
antara
manfaat
dengan
pengorbanan
harus
proporsional. Lawrence M. Friedman (dalam Acmad Ali) mengemukakan bahwa efektifitas dan keberhasilan penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni Struktur Hukum (struktur of law), Substansi Hukum (substance of the law) dan Kultur Hukum (legal culture). Struktur Hukum, yaitu keseluruhan institusi hukum yang menyangkut aparat penegak hukumnya yang antara lain polisi, kejaksaan dengan para jaksa dan 5
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2002, Himpunan Karya Tentang Jaminan, cetakan pertama, Liberty, Yogyakarta, hlm. 175.
17
pengadilan dengan para hakimnya. Substansi Hukum yaitu keseluruhan aturan hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk
putusan
pengadilan.
Kultur
Hukum
yaitu
opini-opini,
kepercayaan-kepercayaan, baik dari para penegak hukum maupun warga masyarakat hukum dan berkaitan dengan hukum6. Dengan demikian maka Struktur Hukum adalah suatu rangkaian tindakan prosedural yang memperlihatkan bagaimana hukum dijalankan menurut kaidah-kaidah formilnya, hal mana memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Sedangkan Substansi Hukum merupakan aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu, oleh karena itu substansi hukum tersebut menyangkut tentang peraturan perundang-undangan atau produk hukum yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan memaksa serta menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum untuk bertindak dalam konteks penegakkan hukum, sehingga diluar daripada itu, tidak semestinya dilakukan, terkecuali memiliki kewenangan dalam menemukan hukum guna mengisi kekosongan norma atau kaidah. Selanjutnya Kultur Hukum sangat berkaitan erat tentang budaya hukum, yang merupakan sikap manusia termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya, terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa adanya dukungan 6
Ali Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 204.
18
budaya hukum oleh pihak-pihak yang terlibat dalam sistem hukum dan masyarakat, maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif dan efisiensi. Hukum sebagai social control dan social engineering tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu sendiri. Untuk menjamin tercapainya tujuan hukum yaitu Keadilan Hukum, Kepastian Hukum dan Kemanfaatan Hukum, maka sebagai alat rekayasa masyarakat ke arah yang lebih baik, hukum wajib memberikan pemahaman bahwa rekayasa masyarakat tersebut tidak hanya memerlukan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang baik. Oleh karena itu bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangannya saja, melainkan terdapat keharusan, kematangan, konsistensi pelaksanaan aktifitas birokrasinya, sehingga tiga pilar tujuan hukum dapat tercapai dengan semestinya. Berkaitan dengan tujuan hukum sebagaimana diuraikan diatas, maka pemberian hutang dalam bentuk fasilitas kredit kepada debitur dalam dunia perbankan, telah menggariskan kewajiban mutlak (absolute responsibility) bagi debitur selaku pihak yang mempunyai hutang untuk memberikan jaminan (collateral) yang likuid dan sah kepada kreditur selaku pihak yang mempunyai piutang, yang bertujuan untuk menjamin pelunasan hutang debitur kepada kreditur jikalau terjadi sesuatu hal dalam pelaksanaan perjanjian kredit yang telah dibuat seperti cidera janji (wanpretasi), yang
19
pada prinsipnya peristiwa tersebut dipastikan akan mengakibatkan hutang debitur kepada kreditur menjadi tertunggak atau tidak dapat dibayar dan atau dilunasi oleh debitur sebagaimana yang diperjanjikan, baik yang disebabkan oleh karena kemerosotan dan penurunan omset penjualan, kalah bersaing dengan kompetitor atau adanya krisis ekonomi dan moneter atau juga oleh karena adanya kesengajaan debitur untuk tidak membayar, dan banyak faktor penyebab lainnya. Jaminan-jaminan tersebut dalam praktek dunia perbankan biasanya dapat berbentuk perorangan dan kebendaan baik barang bergerak ataupun barang tidak bergerak, seperti tanah dan atau bangunan (jaminan hak tanggungan), deposito, blokir rekening (blokir margin), kapal-kapal, mesin-mesin, stock barang dagangan, tagihan debitur kepada pihak ketiga yang hak tagihnya dialihkan kepada kreditor (cessie), jaminan perorangan (personal guarantie) atau jaminan perusahaan (corporate guarantie) dan masih banyak bentuk-bentuk jaminan lainnya.
2.
Konsep Penelitian Penelitian ini menggunakan konsep yang berpedoman kepada
tujuan dari hukum sebagai suatu tatanan aturan yang mengatur tata perilaku manusia dan atau badan hukum sebagai subyek hukum dalam berinteraksi, sehingga data hasil penelitian akan dikaitkan dengan peraturan perundangundangan yang telah ada dan telah diterapkan, guna memperoleh suatu iktihar apakah realitas yang terjadi selaras dengan tujuan dari penegakkan hukum yang berupa menciptakan keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum sebagai suatu kesatuan yang integaral. Idealnya, hukum
20
memang harus mengakomodasi ketiganya.7 Putusan hakim (pengadilan) merupakan perpaduan, cerminan dan hasil (resultant) dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, bahwa diantara ketiga tujuan hukum tersebut, keadilan merupakan tujuan hukum yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat, bahwa keadilan adalah tujuan hukum satu-satunya. Pengertian lainnya dari keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian.8 Dalam bahasa praktisnya, keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan tidaklah ada artinya sama sekali. Dari sekian banyak para ahli hukum telah berpendapat tentang apa keadilan yang sesungguhnya serta dari literatur-literatur yang ada dapat memberikan gambaran mengenai arti adil. Adil atau keadilan adalah menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain yang menyangkut hak dan kewajiban, yaitu bagaimana pihak-pihak yang saling berhubungan mempertimbangkan haknya yang kemudian dihadapkan dengan kewajiban, disitulah berfungsi keadilan.9 Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang selalu arogan dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak 7
Lili Rasjidi, 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 158. Muchsin, 2002, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan ke 2, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, hlm. 62. 9 Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah, Elsam dan Huma, Jakarta, hlm. 212. 8
21
hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatannya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum.10 Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penormaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan jelas pula penerapannya. Dalam kata lain, kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subyeknya dan obyeknya serta ancaman hukumannya. Akan tetapi kepastian hukum mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak harus ada setiap saat, tapi sarana yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi. Salah satu wujud dari pemberian kepastian hukum terhadap hakhak kreditur dalam sebuah perjanjian kredit dengan perikatan hak tanggungan adalah dengan mengadakan lembaga pendaftaran Hak Tanggungan dan tujuan pendaftaran itu tidak lain adalah untuk menjamin kepentingan dari pihak yang menerima Hak Tanggungan, dengan dilakukannya pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat, maka bagi pemegang hak tanggungan akan diterbitkan alat bukti haknya yaitu berupa Sertipikat Hak Tanggungan (SHT), yang mana di dalam sertifikat hak tanggungan tersebut terdapat irah-irah kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Berdasarkan titel eksekutorial tersebut kreditur sejatinya dapat langsung mengeksekusi melalui pelelangan umum terhadap 10
Lili Rasjidi, Thania Rasjidi, 2010, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, hlm.172.
22
atas objek jaminan hak tanggungan tanpa melalui pengadilan. Disamping itu UUHT juga memberikan kemudahan eksekusi kepada kreditur selaku pemegang hak tanggungan melalui lembaga parate eksekusi. Hutang merupakan kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam bentuk uang baik dalam bentuk mata uang Indonesia ataupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undangundang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur, dan bila tidak dipenuhi akan memberikan hak kepada kreditur untuk mendapatkan pemenuhan dari harta kekayaan debitur atau pihak lain yang menjamin hutang debitur tersebut yang disebut penjamin atau penanggung. Harta kekayaan debitur atau penjamin yang diberikan dan diserahkan kepada kreditur tersebut disebut dengan Jaminan. Sedangkan jaminan (collateral) itu sendiri memiliki pengertian yaitu tanggungan yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur, karena pihak kreditur mempunyai kepentingan berupa piutang, bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan. Dari pengertian tersebut diatas, maka lebih lanjut dapat diketahui unsur-unsur dari Jaminan (collateral) tersebut adalah11 : 1.
Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaan maupun hak perseorangan. Hak kebendaan mana adalah berupa benda berwujud dan benda tak berwujud, benda brgerak maupun tidak bergerak. Sedangkan hak perseorangan tidak lain adalah
11
H. R. Daeng Naja, 2006, Legal Audit Operasional Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 138.
23
penanggungan hutang, yang diatur dalam Pasal 1820 - 1850 KUHPerdata ; 2.
Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau penanggung. Jaminan perorangan atau penanggugan hutang selalu diberikan oleh pihak ketiga kepada kreditur. Penanggungan mana diberikan baik dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitur yang bersangkutan ;
3.
Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, untuk keamanan dan kepentingan kreditur haruslah diadakan dengan suatu perikatan khusus, perikatan mana bersifat accesoir dari perjanjian kredit atau pengakuan hutang yang diadakan antara debitur dan kreditur. Dari uraian diatas maka jelas diketahui bahwa jaminan (collateral)
yang diberikan oleh debitur kepada kreditur tersebut, dapat berupa harta milik debitur secara langsung dan atau dapat pula harta pihak ketiga lainnya (pemberi jaminan atau penjamin atau penanggung), yang proses penyerahannya dan perbuatannya dilakukan dengan segala hak dan kewenangan yang ada pada pemberi jaminan atau penjamin atau penanggung, baik dalam wujud barang bergerak ataupun tidak bergerak. Jaminan (collateral) yang diberikan debitur kepada kreditur akan dapat diterima oleh kreditur sebagai barang / benda Jaminan, selama memiliki tingkat likuiditas yang baik dan tinggi (marketable), baik dari sisi harga / nilai, kondisi dan letak serta keabsahan dokumen kepemilikannya setelah dilakukan penilaian (appraisal) oleh pihak bank selaku kreditur secara
24
internal dan atau menggunakan penilai independen yang berada diluar pihak kreditur dan debitur. Dan terhadap konteks kewenangan bertindak dalam hal ini adalah mencakup kepada unsur kecakapan hak (rechtbevoeged) dan kecakapan bertindak atau keabsahan melakukan perbuatan hukum (handelingsbekwaam) dari si pemilik jaminan atau pemberi jaminan. Jaminan yang diberikan oleh pihak debitur baik yang merupakan harta debitur secara langsung, maupun harta pihak ketiga lainnya yang bertindak sebagai pemberi jaminan, oleh pihak kreditur akan dibebankan nilai-nilai penjaminan yang melebihi dari nilai pinjaman atau fasilitas kredit (hutang) yang diterima debitur dari kreditur, dimana untuk pembebanan penjaminannya, harus di dahului dengan pembuatan dan penandatangan akta perjanjian jaminan atau akta perikatan jaminan, baik yang dibuat di hadapan notaris dan atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT) maupun yang dibuat dibawah tangan antara debitur, penjamin dan kreditur, sebagai contoh terhadap jaminan dalam bentuk tanah dan atau bangunan yang dokumen kepemilikannya berdasarkan peraturan perundang-undang adalah sertipikat hak atas tanah, berdasarkan UUHT, maka terhadap jaminan tersebut harus dilakukan perikatannya dengan suatu Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dilakukan dengan didahului atau tanpa adanya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan atau antara
pemilik /
pemberi jaminan hak tanggungan dengan kreditor selaku penerima jaminan hak tanggugan, yang akta-aktanya harus dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang kemudian wajib dilanjutkan dengan proses penerbitan Sertipikat Hak Tanggungan (SHT) di Kantor Pertanahan
25
setempat. Contoh lainnya adalah terhadap jaminan stock barang dagangan, maka perikatan jaminan yang dilakukan adalah dengan menggunakan akta fidusia (FEO) yang selanjutnya didaftarkan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk keperluan penerbitan sertipikat fidusianya, sehingga dengan demikian proses perikatan jaminan, dan hak dari penerima jaminan telah terpenuhi secara utuh dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam suatu proses hukum pembuatan perjanjian jaminan atau perikatan jaminan, haruslah di dahului adanya suatu perjanjian kredit antara debitur dan kreditur, oleh karena sifat dari perjanjian jaminan itu sendiri merupakan perjanjian ikutan, yang mengikuti perjanjian pokoknya (accesoir), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada perjanjian kredit sebagai perjanjian induk (perjanjian pokok / perjanjian pangkal). Perjanjian kredit sebagai perjanjian induk akan mengatur hak dan kewajiban antara kreditur dan debitur, dimana kreditur berkewajiban untuk mencairkan dana pinjaman (kredit) yang disetujui dan debitur berkewajiban untuk mengembalikan, membayar dan melunasi dana kredit sesuai jadwal dan waktu yang di tetapkan dalam perjanjian kredit. Mengacu kepada kaidah hukum yang berlaku, maka perjanjian haruslah memenuhi 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, hal mana berlaku pula terhadap perjanjian kredit, sebagaimana telah digariskan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan terpenuhinya ke empat syarat tersebut, maka keberadaan suatu perjanjian khususnya perjanjian kredit
26
telah secara sah memiliki pengakuan hukum (legitimasi). Perjanjian jaminanpun demikian, wajib memenuhi ke empat syarat sahnya suatu, karena perjanjian (perikatan) jaminan tersebut meskipun bersifat accesoir, namun
secara
hakikatnya
pembuatannya
wajib
memenuhi
unsur
subyektifitas dan obyektifitas dari suatu syarat sahnya perjanjian, akan tetapi perjanjian jaminan (perikatan jaminan) tersebut tidak akan dapat berdiri sendiri atau diadakan tanpa adanya perjanjian kredit. Terkait dengan hal tersebut maka sifat kebatalan dari suatu perjanjian juga berlaku dalam perjanjian jaminan, baik yang berakibat batal demi hukum ataupun yang dapat dibatalkan. Syarat-syarat syahnya suatu perjanjian yang digariskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut dalam tataran pelaksanaannya bersifat kumulatif, yang berarti harus terpenuhi seluruhnya tanpa pengecualian baik sebagian ataupun seluruhnya, dengan demikian apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka dapat dipastikan akan berimplikasi hukum yaitu perjanjian tersebut akan batal demi hukum dan atau perjanjian tersebut dapat dibatalkan (dimohonkan pembatalannya). Dalam hal mana klasifikasi perjanjian yang batal demi hukum berlaku terhadap perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektifitas yaitu syarat kecapakan dan kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian, sementara terhadap klasifikasi perjanjian yang dapat dibatalkan, berlaku bagi perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektifitas, syarat mana terkait dengan suatu hal tertentu dan causa yang halal. Ke empat syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
27
1.
Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya (detoestemming van degenen die zich verbinden) Dalam suatu perjanjian pasti terdapat setidak-tidaknya 2 (dua) subyek yang melakukannya. Kedua subyek tersebut harus terlebih dahulu bersepakat mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan, dalam hal mana kesepakatan tersebut berarti bahwa apa yang dikhendaki oleh pihak yang satu, juga dikhendaki oleh pihak yang lainnya.
2.
Kecakapan Untuk Membuat Perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan) Kecakapan dalam hal ini digantungkan pada ketentuan hukum yang ada, pihak-pihak yang membuat perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum (handelingsbekwaam), seperti memenuhi syarat kedewasaan atau akil balik, sehat jasmani dan rohani, dan tidak terhalang untuk mengadakan suatu perjanjian, dalam ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata terhadap hal ini telah ditetapkan yaitu hanya terdapat 3 (tiga) golongan saja, yaitu12 : a.
Orang yang belum dewasa, yaitu anak-anak yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 330 KUHPerdata). Sekarang usia dewasa ini ditentukan 18 tahun (Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), demikian pula Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 menentukan usia 18 tahun atau
12
Djaja S. Meliala, 2006, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang Dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung, hlm. 23 - 24.
28
telah menikah sebagai syarat untuk menghadap, membuat akte Notaris (Pasal 39 ayat 1 butir a) ; b.
Orang
yang
ditaruh
dibawah
pengampuan
(Pasal
433
KUHPerdata) ; c.
Perempuan bersuami (sekarang ini perempuan bersuami tidak termasuk lagi, maksudnya seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan sudah cakap melakukan perbuatan hukum sendiri, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 Jo. Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
Bahwa selain ketiga golongan tersebut diatas, dalam perkembangan hukum dewasa ini terdapat pula 1 (satu) golongan lagi yang terkualifikasi sebagai subyek hukum yang tidak cakap melakukan tindakan hukum yaitu orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk melakukan perbuatan hukum, seperti orang yang dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004
Tentang
Kepailitan
dan
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang (disingkat UUPKPU). 3.
Suatu Hal Tertentu (een bepaald onderwerp) Dalam hal ini yang dimaksud dengan Suatu Hal Tertentu adalah Obyek yang diperjanjikan. Dalam suatu perjanjian, obyek yang diperjanjikan harus jelas, oleh karena hal tersebut akan berdampak pada hak dan kewajiban para pihak.
4.
Suatu Sebab Yang Halal (eene geoorloofde oorzaak)
29
Suatu sebab yang halal berarti suatu perjanjian tidak diperkenankan bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dipenuhinya ke empat syarat sah perjanjian dalam suatu perjanjian kredit, maka secara otomatis, perjanjian kredit yang telah diadakan diantara debitur dan kreditur menjadi Undang-Undang bagi para pihak, artinya perjanjian kredit tersebut menjadi dasar pelaksanaan hubungan hukum atau perikatan atau perjanjian yang telah ada dan dibuat diantara mereka, begitu juga dengan perjanjian jaminannya, hal mana mengacu kepada ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih juncto ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengatakan bahwa persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta sunt servanda). Menurut pakar hukum, Perjanjian (verbintenis) merupakan suatu hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi13. Perjanjian adalah salah satu asal usul atau dasar lahirnya suatu perikatan, oleh karena berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata Jo. Pasal 1234 KUPerdata menggariskan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian mapun karena Undang-Undang, yang bertujuan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak 13
R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Internusa, Jakarta, hlm. 1.
30
berbuat sesuatu. Dalam hal kewajiban pemberian jaminan oleh debitur kepada kreditur dalam suatu perjanjian kredit tergolong sebagai suatu perikatan yang bertujuan untuk memberikan sesuatu dalam bentuk barang jaminan, dan berbuat sesuatu yaitu melakukan pembayaran hutang pokok, biaya dan bunga sesuai dengan yang diperjanjikan, hal mana juga menjadi kewajiban pihak kreditur untuk memenuhi perikatannya yaitu memberikan sejumlah uang sebagai hutang debitur, namun debitur juga terikat untuk tidak berbuat sesuatu, yaitu tidak melakukan cidera janji (wanprestasi) pembayaran hutang pokok, biaya dan bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit kepada pihak kreditur, ketiga perikatan ini disebut dengan prestasi, dimana jika prestasi tidak dilaksanakan maka berdasarkan hukum terjadilah cidera janji (wanprestasi) atau breach of contract. Jika pihak debitur melakukan wanprestasi, maka pihak kreditur akan memberikan peringatan kepada debitur tersebut, yang bertujuan agar debitur memenuhi perikatannya, sebagaimana yang telah digariskan Pasal 1238 KUHPerdata, yang berbunyi “si berutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditetukan”. Berdasarkan uraian diatas, maka ditemukan unsur-unsur dalam suatu perjanjian, yang mana unsur-unsur tersebut terdapat pula dan berlaku dalam suatu perjanjian kredit. Unsur-unsur perjanjian tersebut adalah14 : a.
Adanya pihak-pihak
14
Abdul Kadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 79.
31
Pihak-pihak yang terdapat dalam perjanjian, paling sedikit harus ada dua orang, para pihak bertindak sebagai subyek perjanjian tersebut. subyek bisa terdiri dari manusia atau badan hukum. Dalam hal para pihak terdiri dari manusia maka orang tersebut harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. b.
Adanya persetujuan para pihak Para pihak sebelum membuat perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian haruslah diberikan persetujuan keduanya, hal ini disebut dengan asas konsensualitas dalam suatu perjanjian. Konsensus harus ada tanpa disertai paksaan tipuan dan keraguan.
c.
Adanya tujuan yang akan dicapai Suatu perjanjian harus mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu yang ingin dicapai, dan dengan perjanjian itulah tujuan tersebut ingin dicapai atau dengan sarana perjanjian tersebut tujuan ingin mereka capai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, yang dalam hal ini mereka selaku subyek dalam perjanjian tersebut.
d.
Adanya prestasi yang harus dipenuhi Para pihak dalam perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu dengan yang lain hal tersebut adalah merupakan hak dan begitu pula sebaliknya.
e.
Ada bentuk tertentu
32
Suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis dan dibuat dalam suatu akta otentik maupun di bawah tangan. f.
Ada syarat-syarat tertentu Isi dalam suatu perjanjian harus ada syarat tertentu, karena dalam suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengatakan bahwa persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Setelah menguraikan hal tersebut diatas, maka selanjutnya perlu
diurai tentang apa yang dimaksud dengan Perjanjian Kredit. Perjanjian adalah sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak melaksanakan janji itu. Sedangkan definisi Kredit dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan, menyatakan sebagai berikut, Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan bunga15. Selain itu secara umum pengertian kredit diartikan sebagai “the ability to borrow on the opinion conceived by the lender that will be repaid”. Dan di dalam perpustakaan Hukum Perdata terdapat beberapa pendirian mengenai Kredit itu, yang mengumpulkan 2 (dua) pengertian yaitu “sebab dan akibat”. Yang merupakan sebab ialah bahwa 15
C. S . T. Kansil, 1999, Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Perusahaan, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 255.
33
penerima “dianggap mampu” untuk mengembalikan pinjamannya di belakang hari, dan akibatnya ialah si penerima kredit itu “dipercaya”16, sebagaimana diuraikan para pakar sebagai berikut : 1.
Saverberg, menyatakan kredit mempunyai arti lain : a.
Sebagai dasar dari setiap perikatan (verbiteness) di mana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain.
b.
Sebagai jaminan, di mana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan memperoleh kembali apa yang diserahkan itu (commodatus, depositus, regulare, pignus).
2.
Levy, merumuskan arti hukum dari arti kredit sebagai berikut : “menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh Penerima Kredit. Penerima Kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan pinjaman itu di belakang hari”. Kredit disebut juga credere yang artinya percaya. Maksudnya si
pemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkan pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya. Oleh karena itu, untuk meyakinkan bank / kreditur bahwa nasabah benar-benar dapat dipercaya, maka sebelum kredit diberikan terlebih dulu Bank mengadakan analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usahanya, jaminan yang 16
H. R. Daeng Naja, Op.Cit, hlm. 113.
34
diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis adalah agar Bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman17. Dengan demikian, maka Perjanjian Kredit adalah suatu perjanjian atau perikatan yang mengatur hubungan hukum dalam lapangan harta yakni pinjam meminjam (hutang piutang) dengan jaminan tertentu antara kreditur dan debitur berdasarkan konsensualitas, dimana pihak kreditur sebagai pihak pelepas uang atau benda lain yang dipersamakan (pemberi pinjaman) dan pihak debitur sebagai pihak penerima uang (pinjaman) atau benda lain yang dipersamakan, atas dasar saling percaya, yang berlangsung dalam jangka waktu
tertentu,
sehingga
mewajibkan
debitur
untuk
melakukan
pengembalian kepada pihak kreditur, baik dalam bentuk utang pokok, bunga dan atau biaya-biaya lainnya yang disepakati dalam perjanjian, sesuai dengan cara dan jangka waktu yang ditentukan. Perjanjian Kredit merupakan perjanjian konsensuil antara debitur dan kreditur yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan kepatutan, yang melahirkan hubungan hukum hutang piutang, dimana debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak. Hal tersebut diatas sejalan dengan pendapat pakar yang menyatakan Perjanjian Kredit adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya18. Di dalam 17
Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 101. Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Bab-Bab Tentang Credit Verband, Gadai, dan Fiducia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 28.
18
35
melaksanakan kemitraannya, antara bank (kreditur) dan nasabah (debitur) perlu dilandasi beberapa asas hukum supaya tercipta suatu kemitraan yang baik. Beberapa asas hukum tersebut antara lain : a.
Asas Demokrasi Ekonomi Asas ini secara tegas ada dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan : ”Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati-hatian”.
b.
Asas Kepercayaan Dalam penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaaan. Bunyi pasal itu mengandung makna bahwa nasabah menyimpan dana dalam hubungan dengan bank dilandasi oleh kepercayaan bahwa bank akan berkemauan membayar kembali simpanan nasabah penyimpan dana itu pada waktu ditagih sehingga hubungan antara kreditur dan debitur bukan hanya secara kontekstual semata melainkan hubungan berdasarkan kepercayaan19.
c.
Asas Kerahasiaan (Confidential Principle)
19
Sutan Remy Syahdeni, 1996, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan Dalam Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 10.
36
Asas Kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman bank wajib dirahasiakan. d.
Asas Kehati-hatian (Prudental Principle) Asas Kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercaya. Fungsi dari Bank sendiri sesuai Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Perbankan, yaitu Perbankan mempunyai fungsi pokok sebagai finansial intermediasi atau lembaga perantara keuangan serta mempunyai fungsi tambahan memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran. Menurut Iswardono, Bank mempunyai fungsi sebagai berikut20 : 1)
Mengumpulkan dana yang sementara menganggur untuk dipinjamkan kepada pihak lain atau membeli surat-surat berharga (Financial Investment) ;
2)
Mempermudah di dalam lalu lintas pembayaran uang ;
3)
Menjamin
keuangan
masyarakat
yang
sementara
tidak
digunakan ; 4)
Menciptakan Kredit (Credit Money Deposit) yaitu dengan cara menciptakan Demand Deposit (deposit yang dapat diuangkan sewaktu-waktu dari kelebihan cadangan) excess reserves.
20
Iswardono, 1990, Uang dan Bank, edisi ke-4 cetakan pertama, BPFE, Yogyakarta, hlm. 62.
37
Berdasarkan Pasal 1 UUHT pengertian Hak Tanggungan adalah : ”hak atas tanah beserta benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut dengan Hak Tangunggan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam UUPA berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya. Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Hak Tanggungan mempunyai ciri-ciri yang sangat khusus dan istimewa yang memberikan hak yang diutamakan (preferensi) kepada pemegang haknya, namun tetap dalam koridor-koridor yang mengacu pada prinsip penjaminan bukan kepemilikan, yaitu21 : 1.
Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya ;
2.
Selalu mengikuti objek jaminan utang dalam tangan siapa pun objek tersebut berada ;
21
M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 22 - 25.
38
3.
Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas ;
4.
Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Pemberian jaminan dengan perikatan hak tanggungan diberikan
melalui Akta Pemberian Hak tanggungan (APHT), yang dapat di dahului dengan atau tanpa didahului Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), baik PPAT Notaris maupun PPAT Sementara Camat karena Jabatannya, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pada dasarnya setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan hutang, berdasarkan ketentuan Pasal 4 sampai Pasal 7 UUHT telah ditetapkan secara tegas terdiri dari 5 (lima) jenis hak, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai (baik hak milik maupun hak atas tanah negara), dan terakhir adalah hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian
39
hak atas tanah yang bersangkutan. Akan tetapi hak atas tanah tersebut dalam penjaminannya harus tetap memenuhi syarat-syarat sebagai berikut22: 1.
dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang ;
2.
termasuk hak yang di daftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas ;
3.
mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual dimuka umum ; dan
4.
memerlukan penunjukan dengan Undang-Undang. Pelaksanaan eksekusi jaminan Hak Tanggungan adalah langkah
terakhir yang dilakukan kreditur selaku penerima Hak Tanggungan (pemegang) apabila debitur cidera janji (wanprestasi), hal mana telah digariskan dalam ketentuan Pasal 20 ayat 1 sampai 3 Jo Pasal 6 Jo Pasal 14 ayat (2) UUHT. Dengan demikian jelas terlihat bahwa prinsip hak tanggungan adalah prinsip penjaminan untuk kepastian pembayaran hutang debitur kepada kreditur, dimana pihak bank selaku kreditur sebelum melaksanakan eksekusi, terlebih dahulu melakukan langkah-langkah persuasif
kepada
pihak
debitur,
baik
memberikan
rescheduling,
reconditioning dan restructuring. Dasar dari keseluruhan hukum keperdataan adalah Kehendak (will). Pengingkaran bahwa orang yang melakukan tindakan hukum memiliki otonomi, tidak akan memecahkan masalah apa pun. Justru hal tersebut
22
H. Salim HS, Op.Cit, hlm 104.
40
hanya menafikkan hukum keperdataan23. Penyimpangan atas kehendak yang dilakukan oleh debitur atas perjanjian kredit yang telah dibuat (wanprestasi), akan berimplikasi terhadap pengingkaran kehendak pada perjanjian / perikatan jaminannya, jika debitur sekaligus merupakan pemilik jaminan, hal tersebut tidak menjadi sesuatu hal sulit, karena efeknya hanya berlaku internal debitur, namun jika pemilik / pemberi jaminannya bukan debitur, maka pemberi jaminan tersebut, mau tidak mau akan mengalami ekses negatif dari pengingkaran yang dilakukan debitur. Dimana implikasinya adalah proses eksekusi harta milik pemilik jaminan atau pemberi jaminan akan segera dilaksanakan oleh pihak kreditur, tinggal menunggu waktu yang tepat, atau menunggu terpenuhi proseduralnya.
23
Elly Erawati, Herlien Budiono, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, National Legal Reform Program (NLRP), Jakarta, hlm 67.
41