BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tantangan yang dihadapi manusia Bali di era globalisasi ini sangat kompleks. Hal tersebut terlihat dari tingginya pergulatan antara nilai-nilai lokal dan global yang memasuki segenap sendi-sendi kehidupan manusia. Pengaruh globalisasi tidak dapat ditolak karena ini adalah sebuah pertanda tibanya zaman baru yang membawa perubahan dalam aspek sosial dan budaya masyarakat. Piliang (2004:274-275) mengatakan bahwa kapitalisme merupakan wujud dari globalisasi. Masyarakat kapitalisme
global
dibangun di atas iklim
persaingan yang tinggi. Persaingan yang ketat antarperusahaan, mendorong strategi untuk
menciptakan persaingan dalam gaya hidup antarkelas,
antargolongan, antartetangga, antarumur. Muncul sikap mental berorientasi ke atas
dalam gaya hidup. Kehidupan sosial dikonstruksi atas dasar budaya
perbedaan dengan penampilan, gaya, gaya hidup yang selalu dibuat berubah dengan tempo yang semakin tinggi. Diciptakan kegandrungan terhadap citra (image) ketimbang fungsi atau substansi. Begitu pula terhadap konsumsi yang tidak lagi berkaitan dengan kebutuhan fungsional dalam pengertian yang sempit, ia kini adalah pemenuhan material sekaligus simbolik. Globalisasi mengakibatkan Indonesia termasuk Bali menjadi bagian integral dari kampung global (global village). Akibatnya penginternalisasian berbagai gagasan yang tercakup dalam neoliberalisme tidak terhindarkan bagi masyarakat Bali. Secara disadari atau tidak, masyarakat Bali menerima ekspor 1
2
kapitalisme pasar bebas (neoliberalisme) yang dilakukan oleh negara-negara kapitalisme global. Bersamaan dengan itu ide-ide yang tercakup di dalam neoliberalisme tersebar dalam masyarakat Bali (Atmaja, 2008). Menurut Atmaja (2008b:243)
masyarakat Bali telah mengalami
perubahan yakni dari masyarakat tradisional (pramodern) ke masyarakat modern, dan posmodern yang ditandai oleh pemberlakuan neoliberalisme. Bourdieu (Fashri, 2007:147) menunjukkan bahwa neoliberaisme memiliki beberapa ciri yakni status sosiologi manusia adalah homo economicus, epistemologi (cara pandang) adalah economicus, seluruh bidang kehidupan adalah komoditas, relasi manusia adalah transaksi untung rugi, efektivitas dan efisien diukur berdasarkan kinerja ekonomi pasar, manusia dikuasai oleh etika konsumsi dan darwinisme sosial. Neoliberalisme tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme (kapitalisme lanjut, kapitalisme modern, kapitalisme pasar bebas, kapitalisme global. Atmaja (2008a: 11) menambahkan bahwa ciri-ciri neoliberalisme antara lain: ideologi pasar (agama
pasar),
moneytheisme,
konsumerisme,
hedonisme
(kamaisme),
materialisme, citraisme, penampilanisme, dan rasio instrumental. Umat Hindu di Bali mendasarkan tujuan agamanya pada Catur Purusa Artha yakni empat tujuan hidup manusia dalam upaya mencapai jagadhita dan moksa. Catur Purusa Artha itu terdiri atas Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Dharma adalah ajaran suci yang mengatur umat manusia untuk memperoleh kesejahteraan rohani. Selain sebagai ajaran suci, maka dharma berarti pula hukum yang mengatur, memelihara, dan mempralina alam semesta beserta isinya serta hukum tata tertib kehidupan dan kesusilaan yang abadi. Dengan demikian, maka
3
setiap manusia dapat menegakkan eksistensi dharma dalam pribadinya. Artha berarti harta benda atau kekayaan duniawi. Untuk memperoleh artha hendaknya dilandasi dharma kalau dengan jalan adharma akan merupakan noda atau dosa karena itu janganlah bertindak menyalahi dharma untuk mendapat artha. Kama berarti nafsu atau keinginan yang dapat memberikan kepuasan atau kesejahteraan hidup. Kepuasan atau kenikmatan tersebut memang merupakan salah satu tujuan atau kebutuhan manusia karena manusia mempunyai dasendriya (sepuluh indria). Kesepuluh indria itu perlu dikendalikan karena sering pula menjerumuskan manusia. Indria sering diibaratkan seperti kuda liar yang kalau dapat dikendalikan akan merupakan kekuatan yang luar biasa. Kama atau kesenangan/kenikmatan menurut ajaran agama tidak akan ada artinya jika diperoleh menyimpang dari dharma. Oleh karena itu dharma menduduki tempat di atas dari kama dan menjadi pedoman dalam pencapaian kama. Moksa merupakan tujuan terakhir yang tertinggi dari manusia. Moksa berarti kebebasan atau kalepasan. Maksudnya adalah suatu kebahagiaan tempat atma dapat lepas dari pengaruh maya dan ikatan subha-asubha karma serta bersatu kembali dengan asalnya yaitu Brahman. Umat Hindu di Bali mendasarkan pelaksanaaan ajaran agamanya melalui jalan karma dan bhakti sehingga penekanannya dalam bentuk ritual dan simbolik dibandingkan dengan pemahaman dan pengetahuan serta filsafat agama. Dengan demikian agama Hindu oleh banyak pihak dipandang sebagai agama yang lebih menekankan pada bentuk ekspresif dibandingkan dengan agama dalam makna pengetahuan atau tattwa. Bentuk-bentuk ekspresif akan tampak dari rangkaian
4
ritual dalam stages along life cycle dan ritual-ritual agama yang ditujukan bagi kepentingan pemujaan dunia bawah dan dunia atas (Triguna, 1994:74). Dalam pelaksanaan ritual tersebut umumnya umat Hindu di Bali memakai simbol persembahan berupa upakara atau sarana upacara. Upakara sebagai persembahan suci adalah persembahan yang dibuat dengan sarana tertentu antara lain berupa: bunga, buah-buahan, daun tertentu seperti sirih, dan makanan seperti nasi dan lauk pauk, jajan dan sebagainya, di samping sarana yang sangat penting lainnya adalah air dan api. Banten tersebut disesuaikan dengan ritual atau upacara yajña yang dilaksanakan, baik Dewa yajña, Pitra yajña, Resi yajña, Manusa yajña, dan Bhuta yajña (Titib, 2001:134). Kelima yadnya tersebut memerlukan upakara atau banten yang berbeda-beda sesuai pula dengan tingkatan nista, madya, dan utama. Dalam kitab suci Bhagawadgita IX.26 dinyatakan: Patraý puûpaý phalaý toyaý yo me bhaktyà prayacchati, Tad ahaý bhakty-upaåtham aúnàmi prayatàtmanaá
Terjemahannya: Siapa pun yang dengan sujud bhakti kepadaku, dengan mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, akan Aku terima sebagai wujud bhakti suci dari orang yang berhati suci.
Terjemahan Bhagawadgita tersebut diejawantahkan oleh masyarakat Bali ke dalam banten dengan segala bentuk, diatur, ditata dengan bunga yang warna warni dan hiasan-hiasan ornamen mengambil bentuk gunung, benda-benda langit, bunga, tumbuhan termasuk hewan, dan tumbuhan laut. Jadi, banten itu
5
mengekspresikan estetika yang dapat menimbulkan perasaan keindahan bagi yang membuat dan yang melihatnya. Berdasarkan Keputusan Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Umat Hindu Indonesia, Agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar, yaitu (1) sraddha, (2) susila, dan (3) acara. Sraddha adalah esensi ajaran atau ajaran yang hakiki. Pendalaman ajaran keTuhanan dalam agama Hindu disebut dengan Brahma Widya. Pendalaman ajaran agama melalui sraddha adalah untuk menambah keyakinan yang akan dijadikan tuntunan hidup memberikan pandangan yang lebih luas dan memiliki makna yang esensi bagi yang mendalaminya. Susila disebut pula tata susila atau etika yakni seperangkat nilai, norma, prilaku yang bersumber secara langsung atau tidak langsung dari sraddha. Acara adalah rangkaian kegiatan umat Hindu yang dipakai sebagai media atau
alat menyampaikan pikiran dalam upaya
menghubungkan diri dengan Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk persembahan atau yadnya. Persembahan tersebut dihayati sebagai manifestasi konkret agama. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling memberi fungsi atau sistem agama secara keseluruhan. Pelaksanaan yadnya tidak dapat dilepaskan atau selalu didasarkan pada susila dan sraddha. Apabila salah satu dari ketiga kerangka dasar tersebut diabaikan, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam sistem agama tersebut. Untuk itulah dibutuhkan perhatian dan komitmen terhadap ketiganya agar proporsional dalam ruang dan waktu.
Sebelumnya tattwa, susila, dan
upacara dikenal pula sebagai tiga kerangka Agama Hindu, tetapi tattwa dan
6
upacara memiliki pengertian yang lebih sempit dibandingkan dengan sraddha dan acara. Dalam menjalankan ajaran agamanya umat Hindu berpegang pada catur marga yaitu empat jalan yang terdiri atas, bhakti marga yoga, karma marga yoga, jnana marga yoga, dan raja marga yoga. Umat Hindu berhak memilih jalan mana
yang akan ditempuh sesuai dengan kemampuan dan pemahaman
ajaran agamanya. Masyarakat Hindu di Bali masih mempertahankan tradisi-tradisi keagamaan yang juga menjiwai kebudayaannya, padahal tradisi tersebut mengalami pula perubahan sejalan dengan perkembangan zaman Masyarakat dari perspektif perubahan telah berkembang. Perkembangan ini dapat dilihat menurut tingkat-tingkat yang dikemukakan oleh Swelengrebel (1960:29-31), yaitu (1) tradisi kecil, (2) tradisi besar, dan (3) tradisi modern. Tradisi kecil adalah tradisi yang berorientasi pada kebudayaan lokal, mempunyai ciri-ciri antara lain sistem ekonomi sawah dengan irigasi, kerajinan meliputi besi, perunggu, celup, dan tenun. Di pura terdapat sistem ritual dan upacara keagamaan yang sangat kompleks, tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara di pura. Tradisi besar, yaitu tradisi yang berorientasi pada agama dan kebudayaan Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali menampakkan ciri-ciri antara lain: kekuasaan yang pusat kedudukannya adalah raja sebagai keturunan Dewa, adanya upacara pembakaran mayat (ngaben) bagi orang yang meninggal, adanya sistem kalender Hindu Jawa, pertunjukan wayang kulit, dll (Geria, 2008:48).
7
Sementara itu tradisi modern, yaitu tradisi yang mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman penjajahan, zaman kemerdekaan sampai dengan era globalisasi sekarang ini. Ciri-cirinya antara lain, pendidikan massal, sistem agama dirasionalisasi, terkoordinasi, dan terkomunikasikan ke dalam dan ke luar, kerajinan bersifat produksi massal, adanya orientasi ke depan yang diintrodusir oleh berbagai departmen, dll (Mc. Kean dalam Geria, 2008: 3). Dari proses tersebut dapat dipahami bahwa interaksi antara tradisi kecil dengan tradisi besar membuahkan kebudayaan tradisional yang bercirikan budaya ekspresif dengan dominannya nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas. Sebaliknya pertemuan kebudayaan
Bali
tradisional
dengan
tradisi
modern
ditandai
dengan
berintegrasinya nilai modern dalam kebudayaan Bali seperti rasionalisasi dan komersialisasi budaya. Dewasa ini tampak adanya perubahan struktural dalam kebudayaan karena banyak aktivitas kebudayaan dalam arti ritus agama secara ekspresif mengalami perubahan kedudukan dan fungsi yang tidak saja dalam makna religius, tetapi sering pula terjadi karena adanya muatan sosial, ekonomi, dan politik (Triguna, 1994:14). Konteks ini tampak dalam aktualisasinya dari perubahan struktural terutama dapat diamati dalam kepemilikan harta yang bersifat konsumtif dan peningkatan pendidikan. Pada zaman dulu ketika masyarakat Bali masih bersifat homogen dan hidup sebagai petani secara komunal, mereka akan merancang dan mengaktifkan berbagai upacara keagamaannya secara bersama-sama dalam komunitaskomunitas tertentu, seperti dadia, banjar, dan atau desa adat (Agung, 1987: 2728). Menurut Bagus (1985:29) aktivitas bersama tersebut terwujud ke dalam
8
sistem ngayahang dan ngoopin/matulung yang berarti memberikan sumbangan tenaga dalam suatu kegiatan. Dalam ngoopin tersebut sering pula
disertai
sumbangan material berupa berbagai keperluan perlengkapan banten. Dari uraian di atas, diketahui bahwa orang Bali pada masa itu hidup secara guyub bersamasama mengerjakan perlengkapan upacara dan pada waktu itu mereka belum membeli banten. Perubahan aspek kehidupan masyarakat Hindu ke arah modernisasi, yaitu perubahan suatu transformasi total dari kehidupan bersama cenderung bersifat kolektif ke arah pola-pola ekonomis dan politis (Soekanto, 1990:356). Transformasi sebagai bentuk modernisasi dapat dipahami dari mobilitas sosial, yaitu terjadinya penduduk semakin menyebar, pendapatan per kapita semakin meningkat, akses terhadap media massa lebih intensif. Beberapa kehidupan keagamaan dan seni mengalami proses sekularisasi serta tingkat melek huruf semakin tinggi menyebabkan terjadinya proses rasionalisasi yang akhirnya terjadi proses sekularisasi. Sekularisasi terjadi karena orang semakin menghargai pentingnya akal sehat sebagai salah satu ciri kehidupan modern dibandingkan pertimbangan rasa dan naluri. Seiring adanya pengaruh global menyebabkan Bali mengalami perubahan ke arah budaya progresif yang lebih mengedepankan budaya material. Budaya progresif memunculkan nilai ekonomi, nilai politik, dan nilai ilmu pengetahuan dan teknologi (Alisyahbana, 1985:145). Dengan demikian masyarakat lebih bersifat rasional dan pragmatis karena mereka sudah terdiferensiasi ke dalam berbagai ranah kehidupan. Gidden (Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2005: 509)
9
mengatakan bahwa rasionaalisasi berarti mengembangkan kebiasaan hidup seharihari guna mendapatkan perasaan aman sehingga memungkinkan mereka untuk menghadapi kehidupan sosialnya secara efisien. Menurut Triguna, (1994:74) agama Hindu di Bali mendasarkan ajaran agamanya bersumber pula pada lontar dalam dua dasawarsa terakhir bahkan pada abad 21 ini beragama hanya menonjolkan ritual bahkan dengan besar-besaran dianggap memberatkan oleh sementara pihak. Hal tersebut disebabkan oleh pertama, bentuk pelaksanaan agama seperti itu dianggap terlalu membebani umat yang telah mengalami multi peran bersamaan
dengan semakin terjadinya
diferensiasi sosial dalam kehidupan mereka. Kedua, agama seperti itu secara sosiologis dianggap kurang sesuai dengan kondisi dan ciri kehidupan manusia abad
ke-21 yang telah dicirikan dengan spesialisasi dan multiplikasi. Ketiga
bentuk ekspresif hanya menonjolkan bagian luar dari tatanan agama sehingga agama yang mempolakan aktivitas seperti itu cenderung dianggap kering dari ajaran-ajaran yang bersifat konstruktif . Memasuki era globalisasi ini pemenuhan materi (artha) dan hasrat (kama) menduduki posisi teratas mengalahkan dharma dan moksa. Sejalan dengan itu Piliang (2004: 185) mengatakan bahwa di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citraan, logika yang melandasinya bukan lagi logika kebutuhan (need) melainkan logika
hasrat (desire). Gilles
Deleuze dan Felix Guattari
(Piliang, 2004:186) mengatakan bahwa hasrat atau hawa nafsu tidak akan pernah terpenuhi karena ia selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh apa yang disebutnya mesin hasrat (desire machine).
10
Pergeseran kebudayaan Bali dari masyarakat agrarais (tradisional) ke masyarakat industri ditandai dengan ketatnya pengaturan waktu, ruang, tenaga, modal, serta heterogennya okupasi masyarakat. Jadi terjadi transformasi budaya dari budaya pertanian ke budaya jasa. Masyarakat Bali pada masa kini dituntut untuk dapat bertindak efektif dan efisien
dalam menghadapi kehidupannya,
termasuk dalam hal menyiapkan dan menjalankan upacara agamanya. Sejalan dengan itu, Wijaya (1991: 24) mengatakan bahwa kini banyak orang Bali-Hindu membeli
berbagai macam
kebutuhan upacara keagamaannya. Dengan cara
membeli, berarti lebih efisien, baik dari segi waktu, tenaga, maupun biaya. Perubahan pola hidup masyarakat dari agraris ke industri telah pula mengubah tatanan kehidupan masyarakat Bali. Zaman dulu melaksanakan ritual semakin lama semakin baik karena hubungan kekerabatan dan sosiologis dengan keluarga dan masyarakat menjadi sangat berarti. Pada masa itu untuk membuat upakara atau banten dikerjakan dengan anggota masyarakat dengan cara metulung atau ngoopin, tetapi kini telah terjadi perubahan dengan membeli atau memesannya di griya atau sarati karena masyarakat menginginkan yang serba praktis dan simpel. Masyarakat cukup menyerahkan uang dan banten apa yang dipesan lengkap dengan yang muput. Hubungan antara griya (Siwa) dengan masyarakat (sisya) tidak lagi dalam hubungan kelas seperti yang disaratkan oleh Marx, tetapi lebih pada pertukaran sosial ekonomi Menurut Sujana (1999:55) kini masyarakat Bali semakin ketat dalam memakai dan mengatur waktu karena kegiatan-kegiatannya semakin kompleks dan bentuk ngayah di Desa Adat tidak lagi beberapa hari, tetapi kini cukup satu
11
atau dua jam saja. Perempuan-perempuan tidak lagi seluruhnya gotong royong membuat sajen, tetapi cukup membeli dari sekelompok warga yang ahli tentang sajen. Pendekatan-pendekatan secara ekonomis semakin mengedepan dalam masyarakat. Ini berarti industri pariwisata telah menciptakan sesuatu ”power of market” dengan perwujudan posisi materi dan uang yang sangat penting. Kondisi kehidupan beragama Hindu dalam perkembangan terakhir ini, mulai adanya pergeseran di sana sini, misalnya keperluan canang/banten sudah bisa dipesan lewat telepon kepada pihak tertentu yang melakukan bisnis sarana upacara/upakara
dan jenis banten yang diperlukan. Hal ini berdampak pada
generasi muda yang tidak mendapat kesempatan untuk belajar dan menerima pengalaman tentang cara-cara membuat banten dari orang tuanya. Setidaknya bahwa generasi muda Hindu menjadi terbiasa dalam kehidupan kesehariannya untuk lebih baik membeli banten daripada membuat banten yang dipersembahkan kepada Tuhan untuk memohon kerahayuan dan ketentraman hidupnya. Anak muda Hindu lebih baik ia melakukan hal-hal glamour pada saat hari suci agama Hindu dibandingkan diberikan tugas untuk ngayah membuat sarana upacara di suatu pura yang ditugaskan orangtuanya (Subagiasta, 2005:9). Oleh karena telah terjadi pergeseran dalam kehdiupan keagamaan dengan membeli
banten (komodifikasi) Sukarsa (2008: 3) mengatakan bahwa untuk
memenuhi Hindu
berbagai perlengkapan upacara keagamaannya, masyarakat Bali-
mendapatkannya dengan cara
didatangkan dari
Jawa, pisang
membeli. Misalnya, janur banyak
selain didatangkan dari Jawa juga dari
12
Kalimantan. Tidak salah Kerepun (2004:20) mengatakan bahwa bisnis banten menjadi bisnis besar di Bali. Cara-cara yang bersifat ekonomi (komodifikasi) dalam melaksanakan upacara ngaben semakin meluas. Contoh bahwa masyarakat di Desa Pakraman Sanur atau sisya sebuah griya akan memohon banten ngaben lengkap dengan Yajamana (Pemimpin Upacara) dengan menyerahkan sejumlah uang yang telah diberitahu oleh Pedanda di griya tersebut. Semua pengalaman itu memberi arti yang sangat berbeda beda dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Segalanya mau dijadikan serba praktis tanpa menghiraukan nilai-nilai kearifan yang terdapat di dalamnya. Upacara yang merupakan aktivitas sekaligus cetusan perasaan sebagai perwujudan
budi dari yang membuatnya sehingga bernilai seni, kini telah
berubah menjadi alat komoditas sehingga mengalami komodifikasi. Hal ini dapat dilihat karena adanya pergeseran-pergeseran dalam melaksanakan upacara termasuk dalam membuat upakara yaitu banten. a. Sikap orang menghargai banten zaman dulu adalah dengan penuh perhatian dan kasih, tetapi sekarang praktis. b. Sikap menghormati, menghargai banten itu tidak lagi dinikmati keindahannya oleh orang yang memiliki upacara yadnya, tetapi oleh orang yang membuat upakara berdasarkan pesanan dari yang memiliki upacara yadnya tersebut. Jadi yadnya hanya sekedar upacara saja sehingga makna yadnya sudah berubah bahkan telah terjadi kesenjangan keindahan. c. Terjadi perubahan nilai sosial menuju ke nilai praktis dan materialistis.
13
Dinamika Agama Hindu dan Budaya Bali bukan saja hanya menyangkut banten, untuk upacara ngaben ini, bade atau wadah pun menjadi alat komoditas karena dapat dipesan di pihak tertentu yang menyediakan sarana itu bahkan menuju ke kuburan bade atau wadah ditempatkan di suatu tempat yang beroda sehingga tinggal menariknya tidak usah diusung. Pengerjaan bade atau wadah dengan sistem teknologi untuk mendapatkan hasil yang indah melalui pola-pola mekanik dengan mesin. Konstruksi bade sudah dikerjakan dengan sistem knock down. Dengan sistem ini, bade yang dibuat bersusun akan dapat diatur pada saat melewati jalan yang ada rintangannya, misalnya adanya kabel listrik atau telepon dalam perjalanan menuju kuburan. Termasuk melaksanakan upacara ngaben ada umat yang memilih krematorium. Komodifikasi masyarakat komoditas
melahirkan
budaya
konsumen
massa.
Munculnya
atau masyarakat konsumen akibat konsumsi massa
tersebut menyebabkan timbulnya kebudayaan atau budaya populer. Mac Cannel (1987:22) mengatakan bahwa komoditas telah menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari masyarakat modern karena bentuk aslinya merupakan representasi simbolik
(advertisement)
dirinya
sendiri
yang
menjanjikan
atau
yang
membimbing pengalaman sebelum terjadinya konsumsi aktual. Yang dimaksud masyarakat modern oleh Mac Cannel adalah masyarakat paling akhir atau masa kini yang dapat disejajarkan dengan masyarakat posmodern atau masyarakat konsumen. Menurut Piliang (1998:246) dalam masyarakat konsumen, setidaknya terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan
14
konsumsi objek-objek estetik yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produser, dan kekuasaan media massa. Pada zaman dulu konsep relasi/hubungan antara Pedanda (Siwa) dengan masyarakat (sisya) sangat kuat karena sampai Tirtha Pengentas pun harus memohon pada Pedanda. Hal inilah yang diwariskan sampai sekarang dalam ritual apa pun di Bali akan memakai upakara berupa banten yang selalu dihubungkan dengan alam atas (Dewa) dan alam bawah (Bhuta). Demikian pula dewasa ini karena Bali menjadi Daerah Tujuan Wisata bagi wisatawan domestik dan asing, menyebabkan ritual dengan upakara berupa banten tetap dilaksanakan demi live culture yang dapat dijadikan daya tarik wisata. Salah satu identitas atau ciri khas kebudayaan Bali adalah penggunaan banten sebagai sarana upacara. Dengan adanya perubahan pola kehidupan ada masyarakat karena faktor budaya instan menginginkan banten yang praktis, hemat, dan cepat yang dapat dibeli dari Pedanda di griya dan dari sarati (tukang banten). Sebuah evolusi telah terjadi, yaitu manusia Bali sudah berorientasi ke material yaitu mengabdi pada benda demi mengejar wibawa dan wabah pencitraan dengan hanya melihat kulit luar saja dan kurang memiliki pendalaman rohani. Griya di Desa Pakraman Sanur yang berjumlah 12 buah terdiri atas 5 griya memproduksi bebantenan, yaitu Griya Kaleran, Griya Kanginan, Griya Buruwan, Griya Telaga, dan Griya Wanasari, sedangkan 7 Griya yang tidak memproduksi bebantenan adalah Griya Oka, Griya Gede Mas, Griya Kwanji, Griya Batursari, Griya Jero Gede, Griya Dauh Buruwan,
dan Griya Abian.
Khusus Griya Kaleran tidak memproduksi bebantenan ngaben, tetapi untuk
15
yadnya yang lain diproduksi. Griya-Griya yang memproduksi upacara ngaben, seperti Griya Buruwan yang menggelar upacara ngaben ngiring pada tanggal 30 April 2009 yang diikuti 4 peserta /sawa yang merupakan sisya griya tersebut. Ngaben ngiring tersebut dilaksanakan karena ada sulinggih yang meninggal yaitu Ida Pedanda Istri Nabe Oka. Ngaben ngiring, yaitu ngaben yang diikuti oleh masyarakat dan sisya dalam keluarga Brahmana Wangsa atau dalam keluarga Ksatrya Wangsa yang salah satu keluarganya meninggal. Dalam upacara ngaben seperti ini biasanya ditetapkan apa saja yang harus dipersiapkan oleh orang yang ikut ngaben tersebut, berapa jumlah dana yang dikenakan untuk setiap sawa/jasad yang diupacarai, kemudian kapan dan berapa kali harus ikut menyumbangkan tenaga (ngayah) untuk menyukseskan upacara ngaben tersebut. Di samping itu, ada pula masyarakat menyelenggarakan upacara ngaben secara mandiri. Upacara ngaben sebagai bagian upacara pitra yajña merupakan upacara keagamaan yang paling berat. Dikatakan berat karena selain harus dilaksanakan untuk setiap kematian, juga di dalam pelaksanaannya dibutuhkan dana yang banyak, durasi waktu yang panjang, tenaga yang banyak pula untuk mengerjakan berbagai perlengkapan upacara dan menggotong wadah/bade ke patunon. Agus (2006: 196) menegaskan beragama dengan menekankan pelaksanaan ritual secara rasional tanpa pemahaman dan pendekatan spiritual akan dirasa sebagai kehampaan. Sebaliknya, beragama hanya dengan pendekatan spiritual memahami
tanpa
alasan dan tujuan rasional, akan mengakibatkan keterbelakangan
masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi.
16
Pembuatan banten sebenarnya masih dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki upacara yadnya tentu yang mana saja dapat dikerjakan, sedangkan yang sulit-sulit dapat dipesan di Griya dan sarati. Dengan demikian, orang yang memiliki upacara yadnya masih dapat mempersembahkan upakara, yaitu banten dengan ketulusan hati sebagai cetusan perasaan estetis dan religius
karena
beragama adalah seni di samping tidak menghilangkan konsep yadnya karena membeli beberapa keperluan upacara, atau membuatnya dengan sederhana, tetapi tidak kehilangan esensi sebuah upacara. Dewasa ini umat Hindu di Bali terutama di Kota Denpasar khususnya di Desa Pakraman Sanur dalam melaksanakan upacara ngaben telah menempuh dengan jalan ngaben perseorangan atau ngiring di sebuah griya.
Dalam
pelaksanaan upacara ngaben tersebut masyarakat Hindu di Denpasar cenderung hiperitualitas atau melaksanakan upacara secara besar-besaran. Piliang (2004:337) mengatakan bahwa berbagai aspek kegiatan ritual keagamaan tersebut secara hakiki tidak lagi berkaitan dengan model yang dicontohkan dalil-dalil yang telah digariskan, maka yang berkembang adalah hiperealitas ritual (hyper-reality of ritual) atau hiperitual (hyper-ritual), yaitu realitas ritual keagamaan yang telah melampaui hakikat ritual itu sendiri. Yang berkembang adalah berbagai bentuk realitas-realitas ritual artifisial, yang berbagai budaya materi dan gaya hidup yang menyertainya justru bertentangan dengan hakikat ritual itu sendiri sebagai ruang penyucian jiwa. Kegiatan ritual keagamaan, sebaliknya berkembang menjadi ruang pemanjaan jiwa, lewat berbagai bentuk tanda (sign), citra (image), gaya (style), ilusi, prestise, gaya hidup (lifestyle), dan pesona objek (fetishism) yang
17
ditawarkan di dalamnya. Perkembangbiakan budaya komoditi, budaya pencitraan, dan gaya hidup (lifestyle) di dalam masyarakat konsumer skizofrenik, telah menggiring kegiatan ritual
atau masyarakat
keagamaan ke dalam jagat
komoditas atau komodifikasi ritual. Ciri-ciri
globalisasi
diungkapkan
oleh
Capra
(2004:280)
seperti
pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada pemujaan terhadap teknologi yang berlebihan, sebagai sifat masyarakat modern, telah menciptakan suatu lingkungan tempat kehidupan menjadi tidak sehat, baik secara fisik maupun moral. Selain itu gaya hidup masyarakat yang dipengaruhi oleh ideologi materialisme dan konsumerisme yang berasal dari budaya global telah menimbulkan kepanikan global
karena
kemanusiaan.
semakin Piliang
lenyapnya
(2004:105)
lapisan-lapisan
mengatakan
moral-spiritual
bahwa
globalisasi
dan telah
menimbulkan sikap ketidakpedulian masyarakat terhadap segala dimensi dan nilai yang diyakini beribu-ribu tahun akibat tenggelamnya mereka ke dalam kondisi ekstasi masyarakat konsumer yang dipicu oleh ideologi kapitalisme. Pada hakikatnya melaksanakan upacara ngaben bukan diukur dari besarnya, mewahnya atau kecilnya, tetapi yang terpenting adalah meningkatkan sradha dan bhakti akan makna upacara itu sendiri yang dipersembahkan dengan tulus ikhlas dengan berlandasakan Catur Purusa Artha.. Sudartha dan Punia Atmaja (2001:6) mengatakan bahwa landasan keyakinan agama Hindu adalah Panca Sraddha yaitu lima kepercayaan agama Hindu dengan percaya akan adanya Brahman (Tuhan yang Mahaesa), percaya dengan adanya Atman, percaya adanya Hukum Karma Phala, percaya adanya
18
Samsara/Punarbhawa, dan percaya adanya Moksa. Perlu diperjelas bahwa setiap perbuatan manusia pasti terikat dengan
Hukum Karma Phala, tetapi dengan
menyadari perbuatan tersebut sebagai Karma Marga yang nis karma, yaitu perbuatan yang tidak terikat kepada kenikmatan semata dan dilandasi dengan kesadaran bahwa perbuatan mulia akan menghasilkan kemuliaan. Dengan demikian manusia dapat memahami bahwa setiap melakukan suatu tindakan atau perbuatan harus dilandasi dengan berpikir yang baik untuk menjadikan kemuliaan hidup, tentulah keterikatan akan hasil perbuatan bisa semakin dilepaskan bahkan tidak mengikat dirinya sehingga kebahagiaan akan dapat dicapai dalam kehidupan ini. Dalam tahapan pendalaman dan penerapan ajaran agama dalam kehidupan tentulah disesuaikan dengan nalar, pengetahuan, dan wawasan masing-masing. Upacara ngaben menarik untuk dikaji karena dalam upacara ini terdapat rangkaian ritual yang panjang, tentu dalam hal ini dibutuhkan upakara yang banyak sesuai dengan rangkaian ritual tersebut dan melibatkan banyak tenaga pendukung. Di samping itu, ada keterikatan sisya terhadap griya sebagai Siwa karena dalam upacara ngaben ini sampai tirta pangentas pun akan diberikan oleh Siwa sedangkan untuk upacara lain seperti Dewa yadnya dalam pelaksanaan pemlaspas, piodalan, dan ngenteg linggih di pura dapat mencari Pedanda tidak berdasarkan Siwa. Adanya unsur kepentingan dalam proses komodifikasi upacara ngaben ini antara Pedanda, sarati (tukang banten), pemerintah melalui pariwisata, dan masyarakat penganut agama Hindu serta pemilik budaya Bali, menjadikan penelitian ini menarik untuk dilakukan dan kajian budaya sangat berkepentingan
19
di dalamnya. Menurut Lubis (2006: 136) sebagai kajian budaya bertujuan untuk menyingkap ideologi, dominasi, hegemoni, kuasa, hak, kebebasan, keadilan, dan kepentingan yang ada di dalamnya. Dari paparan di atas, maka akan diteliti
komodifikasi upacara ngaben
di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi. Dari penelitian tersebut akan dilihat
lebih dekat tentang bentuk komodifikasi, faktor-faaktor yang
menyebabkan komodifikasi, dan
dampak serta makna komodifikasi upacara
ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi.
1.2 Rumusan Masalah Ada tiga masalah yang diteliti. Agar lebih jelas, maka ketiga masalah tersebut dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya di bawah ini. 1. Bagaimana bentuk komodifikasi upacara ngaben
di Desa Pakraman Sanur
Denpasar dalam era globalisasi ? 2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan komodifikasi upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi ? 3. Apa dampak dan makna upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi ?
1.3 1.3.1
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami komodifikasi
upacara ngaben
di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi.
20
Diilhami oleh
pemikiran posmodernisme dalam perspektif kajian budaya
penelitian ini mencoba memahami komodifikasi upacara ngaben untuk mengungkap adanya dimensi-dimensi ideologi kekuasaan yang ada di balik upacara ngaben tersebut.
1.3.2
Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan mengkaji dan merumuskan jawaban
atas permasalahan penelitian yang dirumuskan ke dalam bentuk-bentuk pertanyaan yang dikemukakan di atas. Oleh karena itu, tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan
bentuk komodifikasi
upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi. 2. Untuk
mengetahui, memahami, dan menjelaskan
menyebabkan komodifikasi upacara ngaben
faktor-faktor yang
di Desa Pakraman Sanur
Denpasar dalam era globalisasi. 3.
Untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan
dampak serta makna
upacara ngaben di Desa Pakraman Sanur Denpasar dalam era globalisasi.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoretis penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut
21
1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan yaitu terjadinya komodifikasi upacara ngaben. Di samping itu menambah referensi pengorganisasian upacara ngaben. 2. Menambah referensi tentang komodifikasi upacara ngaben bagi calon peneliti lain yang tertarik dengan penelitian ini dan mereka dapat meneliti dengan topik dan masalah yang berbeda. 3. Memperkaya pengalaman dan peningkatan kualitas dan kemampuan peneliti dalam penelitian.
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak. 1. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi sulinggih griya di Desa Pakraman Sanur dalam mengelola bisnis dalam koridor yadnya. 2. Dapat digunakan oleh
pimpinan masyarakat (bendesa pakraman, kelihan
banjar) sebagai sumber rujukan dalam mengorganisasikan upacara ngaben di desa pakraman/banjar yang dipimpinnya. 3. Dapat digunakan oleh
pimpinan dan tokoh agama Hindu (Pedanda,
Pemangku, dan cendekiawan),
sebagai bahan pertimbangan untuk
memberikan pencerahan kepada sisya atau umat Hindu yang ingin melaksanakan upacara ngaben. 4. Dapat dipakai oleh
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai
inventaris mengenai beragamnya pelaksanaan upacara ngaben.
22
5. Dapat digunakan oleh
lembaga umat yaitu majelis umat Hindu seperti
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
sebagai referensi dalam
melakukan pembinaan terhadap umat Hindu mengenai semakin beragamnya pelaksanaan upacara ngaben. 6. Hasil penelitian ini dapat dipakai oleh umat se-dharma sebagai bahan acuan dalam memperkuat
posisi di tengah-tengah perkembangan dunia global
sehingga masyarakat dapat memilih upacara ngaben sesuai kemampuan.