1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini penggunaan fashion semakin berkembang, khususnya di kalangan konsumen remaja. Hal ini terlihat dari semakin banyak tersedianya tempat perbelanjaan barang fashion yang disediakan produsen untuk para remaja. Fashion itu sendiri dalam kamus mode didefinisikan sebagai “cara berpakaian sehari-hari untuk kurun waktu tertentu, yang diterima dan di ikuti oleh sejumlah masyarakat” (Gunawan, 2010). Selain itu dalam Encyclopedia of Knowledge (1997: 218) the term fashion is used to refer to the prevailing mode or style in clothing. Istilah fashion merujuk pada mode atau gaya yang berlaku dalam pakaian. Fashion itu sendiri memiliki karakteristik indah, menarik, eksklusif serta dinamis mengikuti perkembangan zaman (Triana, 2010). Di Indonesia, salah satu kota yang terkenal mengenai fashion-nya adalah Bandung. Bahkan pada zaman kolonial Belanda dulu, karena keterkenalannya sebagai kota pusat fashion, Bandung diibaratkan dengan kota Paris-nya Pulau Jawa, sehingga memunculkan istilah dalam bahasa Belanda yang sekarang ini terkenal sebagai julukan kota Bandung yaitu Paris Van Java (Alinur, 2008). Pada sebuah artikel dalam kotakendari.wordpress.com, Bandung juga disebut sebagai “The Fashion City of Indonesia” yang termasuk ke dalam salah satu dari sepuluh kota Metropolitan di Indonesia (Online, 2011). Dalam ensiklopedi Wikipedia (Online, 2011) dikemukan bahwa di Bandung diperkirakan terdapat 300 unit Distro (Distribution Store/Distribution
2
Outlet) dari 700 unit Distro yang ada di Indonesia sampai tahun 2007 dan terdapat sebanyak 74 FO (Factory Outlet) sampai tahun 2010 (Soelaeman, 2010). Selain Distro dan FO, masih terdapat tempat perbelanjaan lainnya di Bandung
yang
menyediakan
kebutuhan
akan
fashion,
perbelanjaan di Ciwalk, Gasibu, Mall-mall dan
seperti
tempat
sebagainya. Dengan
bertebarannya tempat perbelanjaan tersebut dapat menjadi salah satu fasilitas dan kemudahan akses bagi para konsumen remaja dalam memperoleh barang fashion untuk pemenuhan kebutuhannya. Terutama bagi konsumen remaja yang tinggal di wilayah Bandung. Berdasarkan sumber yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bandung tahun 2008 (Putri, 2010), dalam bidang perindustrian khususnya industri pengolahan dan industri kreatif, yang mana pakaian dan aksesoris sebagai barang fashion termasuk di dalamnya, merupakan sumber pendapatan terbesar bagi pendapatan asli daerah kota Bandung. Serta berdasarkan data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 (Online, 2011), sektor ekonomi yang memiliki peranan terbesar adalah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 25,4 % dari 76,5 % PDB (Produk Domestik Bruto). Hal ini membuktikan bahwa pengkonsumsian barang fashion termasuk dalam salah satu posisi atas pengkonsumsian masyarakat Indonesia selain pangan yang merupakan kebutuhan pokok manusia. Dalam teori Maslow kebutuhan-kebutuhan manusia dikembangkan secara hierarkis dari kebutuhan yang sifatnya sangat mendasar yaitu kebutuhan fisiologis, sampai pada kebutuhan yang sifatnya lebih kompleks yaitu kebutuhan
3
transendensi diri (Sumiarjo, 2010). Saat ini untuk sebagian konsumen, pakaian yang merupakan kebutuhan dasar manusia terhadap sandang, tidak hanya menjadi suatu kebutuhan fisiologis yang harus dipenuhi, namun dapat sekaligus menjadi suatu kebutuhan terhadap penghargaan, aktualisasi diri dan bahkan kebutuhan untuk transendensi diri bagi konsumen, terutama untuk konsumen masa remaja akhir yang ditampilkan melalui fashion. Sehingga saat ini pakaian menjadi objek pemenuh kebutuhan yang multi fungsi, bahkan menjadi suatu gaya hidup/life style di masyarakat. Konsumen barang fashion tidak hanya berasal dari kalangan remaja, tetapi juga dari berbagai kalangan lainnya seperti anak-anak dan orang dewasa. Namun pelaku fashion itu sendiri lebih banyak di dominasi oleh kalangan remaja. Ini terlihat dari segmentasi pasar yang banyak difokuskan produsen barang fashion pada kalangan remaja, sehingga memunculkan banyaknya tempat perbelanjaan yang menyediakan kebutuhan terhadap barang fashion remaja dengan berbagai variasi motif dan bentuk. Jika ditinjau secara psikologis, hal ini sejalan dengan tugas perkembangan masa remaja yang merupakan masa pencarian identitas diri dan merupakan masa untuk mulai menunjukkan eksistensi dirinya di masyarakat (Monk, dkk, 1996: 254). Penelitian yang dilakukan oleh Humprey (Mahdalela, 1998) menyimpulkan bahwa pakaian atau penampilan diusahakan remaja sedemikian rupa dalam menarik perhatian orang lain. Menurut Monks, dkk (1996: 255), masa perkembangan remaja dibagi ke dalam tiga periode perkembangan, yaitu masa remaja awal (12-15 tahun), masa
4
remaja pertengahan (15-18 tahun) dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Pada usia remaja akhir yaitu 18-21 tahun, rata-rata remaja berstatus sebagai mahasiswa. Usia 18-21 tahun ini merupakan masa peralihan dari masa remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana menurut Leman individu pada masa ini sudah mulai memperhatikan identitas sosialnya, seperti melalui fashion (Online, 2011). Secara psikologis, perkembangan kemandirian remaja akhir belum sepenuhnya sempurna karena mayoritas remaja masih bergantung pada perekonomian orang tuanya. Akan tetapi, pada prinsipnya individu pada masa ini sudah mulai mandiri terhadap apa yang menjadi pilihannya. Hal ini menjadikan keputusannya terhadap sesuatu, tidak terkecuali terhadap pembelian barang fashion pun sudah mulai mengikuti pola kebiasaan yang dipercayai untuk dipertahankan dan diterapkan dalam hidupnya. Prinsip tersebut tidak terlepas dari pengaruh dan didikan lingkungan sosial keluarga seperti pengaruh dari latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua. Sutojo (2009: 72) mengemukakan, faktor lingkungan, kebudayaan, orang per orang, serta psikologis mempengaruhi pembelian konsumen, sebagaimana dikemukakannya bahwa : Perilaku setiap orang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat dimana mereka hidup dan berkembang. Adapun masyarakat disekeliling orang perorangan mempunyai pengaruh besar terhadap perilakunya adalah keluarga, lembaga pendidikan, organisasi agama, suku dan kelas sosial. Perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial tersebut seperti keanggotaan dalam kelompok sosial, keluarga dan kedudukan mereka dalam masyarakat. Adapun faktor orang per orang yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah usia, gender, pekerjaan yang mereka miliki dan penghasilan. Keempat
5
jenis faktor perorangan tersebut mempengaruhi jenis kebutuhan dan keinginan produk yang ingin mereka miliki, strata tingkat kebutuhan produk maupun jumlah produk yang ingin dikonsumsi. Conger dkk. (Hadjam & Nasiruddin, 2003: 73) melihat bahwa faktor ekonomi berkaitan dengan fungsi keluarga dalam pemeliharaan atas anak-anak. Ditinjau dari status kelas sosial, banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk melakukan klasifikasi, salah satunya adalah stratifikasi yang dilihat dari status kelas sosial yang dapat ditentukan melalui budaya pekerjaan dan tingkat pendidikan seseorang. Dalam pembelian pakaian sebagai barang fashion, proses kognitif konsumen menjadi sangat penting peranannya, karena pada proses kognitif manusia mengolah dan membuat keputusan terhadap suatu tindakan yang akan dilakukannya, berdasarkan informasi, keyakinan, serta kondisi/kebutuhan konsumen itu sendiri. Dalam model perilaku konsumen dari Howard dan Sheth, proses pembelian konsumen tersebut di bagi ke dalam tahap stimuli, perception, learning dan outputs (Mangkunegara, 2005: 23). Jika tahap tersebut diuraikan, setelah suatu produk masuk melalui proses stimuli, maka kemudian akan dilanjutkan pada tahap pertimbangan secara kognitif melalui proses perception dan learning, yang pada akhirnya akan menghasilkan outputs berupa keputusan apakah barang tersebut akan dikonsumsi atau tidak. Dengan demikian, motif yang dimiliki konsumen akan sangat mempengaruhi keputusan konsumen ketika melakukan proses kognitif melalui perception dan learning. Swastha dan Handoko (2000: 80), Schiffman dan Kanuk (2004: 93), serta McGuire (Loudon & Bitta, 1979: 327) mengelompokkan motif konsumen
6
menjadi dua kelompok besar yaitu motif kognitif dan motif afektif. Namun secara spesifik McGuire mengelompokkan kedua motif tersebut dengan menggunakan metode pembanding empat kutub ganda kecenderungan motif. Pengertian motif kognitif sendiri adalah motif yang didasarkan atas pikiran rasional konsumen, sedangkan motif afektif adalah motif yang didasarkan atas perasaan/emosional konsumen (Hurriyati, 2005). Penelitian mengenai motif konsumen pernah dilakukan oleh Cendani dan Dharmastuti pada tahun 2007, bahwa motif kognitif dan afektif bersama-sama berpengaruh secara positif signifikan terhadap keputusan pembelian, serta masing-masing motif juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian. Survei mengenai kelompok konsumen kelas atas pernah dilakukan oleh New Unity Marketing pada tahun 2010 yang dikemukakan dalam Vibisnews (Akbarwati, 2010). Survei tersebut dilakukan terhadap 1.245 orang konsumen pakaian mewah dengan kondisi keuangan berlebih. Berdasarkan hasil survei dikatakan bahwa kualitas yang prima dan nilai yang sesuai dengan harga tidak terlalu berpengaruh terhadap pengkonsumsian mereka, namun seberapa besar kemampuan “return on investment” dari tiap potong pakaian mewah yang mereka beli yang menjadi pertimbangan mereka dalam pengkonsumsian tersebut, seperti model yang tidak lekang oleh waktu, kecanggihan, serta sesuatu yang beda dari kebanyakan, sehingga meskipun barang tersebut diproduksi secara masal namun tetap bernilai premium. Pembahasan mengenai perbedaan konsumen juga dikemukakan oleh Mangkunegara (2005),
yang menjelaskan mengenai perbedaan kriteria
7
pembelian yang digunakan konsumen dalam mengkonsumsi barang berdasarkan karakteristik status sosial ekonominya. Dalam hal ini, faktor latar belakang kelas sosial ekonomi konsumen merupakan salah satu faktor pemberi sumbangan terhadap pembelian tersebut. Demikian juga halnya dengan mahasiswa UPI yang terdiri atas berbagai latar belakang, menjadikan motif terhadap barang fashion berbeda secara khas pada pembeliannya. Mahasiswa program S1 semester IV sendiri merupakan mahasiswa tingkat dua yang usianya termasuk ke dalam kelompok masa remaja akhir, dengan salah satu tugas perkembangan yang harus dilaluinya yaitu menemukan identitas diri dan menunjukan eksistensinya di lingkungan sosial masyarakat. Selain itu mahasiswa program S1 semester IV juga dianggap sudah mengalami adaptasi terhadap lingkungan masa remaja akhir dan sudah mulai merancang persiapan dalam menghadapi masa dewasa awal, sehingga pada masa ini individu mulai memikirkan untuk menetapkan karakteristik identitas diri dan eksistensi yang sesuai dengan kepribadiannya. Oleh karena itu peneliti mengangkat judul penelitian “Perbedaan Motif Konsumen dalam Pembelian Barang Fashion ditinjau dari Latar Belakang Kelas Sosial Ekonomi Orang Tua (Studi pada Mahasiswa Program S1 Semester IV di UPI)” yang mana penelitian ini termasuk ke dalam penelitian Psikologi Industri dan Organisasi, perpaduan bidang Psikologi Konsumen dan Psikologi Perkembangan.
8
B. Rumusan Masalah Motif merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi pembelian pada konsumen. Konsumen dari latar belakang kelas sosial ekonomi yang berbeda akan memiliki motif yang berbeda dalam mengkonsumsi suatu produk yang sama, sehingga hal ini menjadikan perilaku dalam pembelian barang pada konsumen dipengaruhi oleh faktor latar belakang kelas sosial ekonominya masing-masing. Mangkunegara (2005: 43) mengemukakan kelas sosial ekonomi atas, menengah dan bawah akan memiliki karakteristik motif pembelian yang berbeda-beda. Survei mengenai kelompok konsumen kelas atas yang dilakukan oleh New Unity Marketing pada tahun 2010 dalam Vibisnews (Akbarwati, 2010), mengemukakan bahwa kemampuan “return on investment” dari tiap potong pakaian mewah yang mereka beli yang menjadi pertimbangan mereka dalam pengkonsumsian pakaian tersebut. Dengan merujuk pada Chaplin (Kartono, 2006: 310), motif merupakan suatu keadaan ketegangan di dalam individu yang membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku menuju pada satu tujuan atau sasaran. Motif tidak dapat diamati secara langsung namun motif dapat diketahui atau termanifestasi melalui perilaku individu, serta motif juga dapat memberikan prediksi mengenai perilaku atau apa yang akan dilakukan oleh individu di masa yang akan datang (Walgito, 2004). Menurut Schiftnan dan Kanuk (2004: 6), motivation can be described as the driving force within individuals that impels them to action, this drifing force is produced by state of tension which exists as the result of an unfulfilled need. Motivasi merupakan kekuatan penggerak atau pendorong dalam
9
diri seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan tindakan kekuatan penggerak, yang disebabkan adanya ketegangan yang timbul karena adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi. McGuire (Loudon & Bitta, 1979: 326) mengelompokkan motif dengan menggunakan metode pembanding empat kutub ganda kecenderungan motif yaitu motif kognitif atau motif afektif (pertimbangan mental atau reaksi emosional), motif pemeliharaan atau motif pertumbuhan (mempertahankan keseimbangan atau pengembangan diri), motif aktif atau motif pasif (melakukan tindakan berdasarkanin inisiatif atau kecenderungan untuk reaktif) dan motif internal atau motif eksternal (peningkatan status/keadaan internal baru atau merintis hubungan baru dengan lingkungan). Dimana motif kognitif terdiri atas consistency, attribution, categorization, objectification, autonomy, exploration, matching, utilitarian dan motif afektif terdiri atas tension reduction, self expression, ego defensive, reinforcement, assertion, affiliation, identification, modeling. Swastha dan Handoko (2000: 78-79) mendefinisikan motif kognitif dan motif afektif dengan cirinya masing-masing. Motif kognitif merupakan motif yang didasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ditunjukan oleh suatu produk kepada konsumen, seperti penawaran, permintaan, harga, kualitas dan pelayanan, ketersediaan barang, ukuran, kebersihan, efisiensi, keawetan, dapat dipercaya, dan keterbatasan waktu yang ada pada konsumen. Motif afektif merupakan motif pembelian yang berkaitan dengan perasaan atau emosi individu, seperti pengungkapan rasa cinta, kebanggaan, kenyamanan, kesehatan, keamanan dan
10
kepraktisan. Penelitian mengenai motif yang
dilakukan oleh Cendani dan
Dharmastuti pada tahun 2007, mengemukakan bahwa motif kognitif dan afektif bersama-sama berpengaruh secara positif signifikan terhadap keputusan pembelian, serta masing-masing motif juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian. Dengan asumsi bahwa latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi motif konsumen dalam pembelian barang fashion, maka pada penelitian ini dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Seperti apa gambaran umum motif konsumen mahasiswa UPI program S1 semester IV ? 2. Seperti apa gambaran umum motif konsumen mahasiswa UPI program S1 semester IV berdasarkan aspek motif kognitif ? 3. Seperti apa gambaran umum motif konsumen mahasiswa UPI program S1 semester IV berdasarkan aspek motif afektif ? 4. Seperti apa gambaran umum motif kognitif dan afektif mahasiswa UPI program S1 semester IV berdasarkan latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua pada kelas atas ? 5. Seperti apa gambaran umum motif kognitif dan afektif mahasiswa UPI program S1 semester IV berdasarkan latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua pada kelas menengah ?
11
6. Seperti apa gambaran umum motif kognitif dan afektif mahasiswa UPI program S1 semester IV berdasarkan latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua pada kelas bawah ? 7. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam motif konsumen mahasiswa UPI program S1 semester IV berdasarkan aspek motif kognitif dan afektif ditinjau dari latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Gambaran umum motif konsumen mahasiswa UPI program S1 semester IV. 2. Gambaran umum motif konsumen mahasiswa UPI program S1 semester IV berdasarkan aspek motif kognitif. 3. Gambaran umum motif konsumen mahasiswa UPI program S1 semester IV berdasarkan aspek motif afektif. 4. Gambaran umum motif konsumen mahasiswa UPI program S1 semester IV berdasarkan aspek motif kognitif dan afektif dengan latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua pada kelas atas. 5. Gambaran umum motif konsumen mahasiswa UPI program S1 semester IV berdasarkan aspek motif kognitif dan afektif dengan latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua pada kelas menengah. 6. Gambaran umum motif konsumen mahasiswa UPI program S1 semester IV berdasarkan aspek motif kognitif dan afektif dengan latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua pada kelas bawah.
12
7. Perbedaan signifikansi motif konsumen mahasiswa program S1 semester IV berdasarkan aspek motif kognitif dan afektif ditinjau dari latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait, baik secara teoretis maupun secara praktis sebagai berikut : 1. Kegunaan Teoretis Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan teori ilmu Psikologi Industri dan Organisasi, khususnya dalam bidang Psikologi Konsumen mengenai motif konsumen mahasiswa dalam pembelian barang fashion ditinjau dari latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua. 2. Kegunaan Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi mahasiswa UPI yang akan memulai karirnya sebagai produsen barang fashion dalam mempelajari karakteristik konsumen remaja berdasarkan perkembangan psikologis dan latar belakang kelas sosial ekonomi orang tuanya. Diharapkan dengan melakukan produksi yang sesuai dengan karakteristik konsumennya, selain produsen dapat memperoleh keuntungan industri, konsumen
remaja
juga
dapat
terfasilitasi
dalam
menjalankan
tugas
perkembangannya untuk menemukan identitas diri dan mengaktualisasikan diri
13
di lingkungan sosialnya melalui busana, sehingga konsumen remaja dapat menjalankan tugas perkembangnnya dengan baik.
E. Asumsi Asumsi dalam penelitian ini adalah : 1. Setiap konsumen memiliki satu kecenderungan perilaku yang menetap (Azwar, 2007) 2. Latar belakang motif mempengaruhi individu dalam membeli suatu barang (Patricia & Sanyoto, 2003) 3. Faktor latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua memiliki peranan dalam mempengaruhi motif konsumen (Sutojo, 2009)
F. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif yang bersifat noneksperimental, yaitu berupa metode komparatif atau ex post facto. Metode penelitian komparasi merupakan suatu metode penelitian yang berusaha membandingkan suatu kelompok individu dengan kelompok individu lainnya (Sugiyono, 2009). Metode ini dilakukan dengan cara mengukur masingmasing variabel kelompok penelitian, yang kemudian dibandingkan pada hasil skor rata-ratanya apakah terdapat perbedaan atau tidak. Model perbandingan yang digunakan adalah model komparasi tiga sampel independen yaitu kelas sosial ekonomi orang tua pada kelas atas, menengah dan bawah. Penelitian ini menggunakan model komparasi tiga sampel
14
independen karena penelitian ini menguji perbedaan motif konsumen dari tiga sampel yang tidak berkorelasi. Selain itu, penelitian ini juga akan di uji secara hipotesis untuk mengetahui perbedaan motif konsumen dalam pembelian barang fashion ditinjau dari latar belakang kelas sosial ekonomi orang tua.
G. Lokasi dan Sampel Penelitian Penelitian ini dilakukan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dengan populasi mahasiswa UPI program S1 semester IV tahun ajaran 2010/2011. Sampel dalam penelitian ini kemudian akan dikelompokkan secara stratified ke dalam kelas sosial ekonomi atas, menengah dan bawah berdasarkan informasi mengenai penghasilan orang tua mahasiswa, dengan jumlah sampel pada masing-masing kelas sosial ekonomi akan disesuaikan peneliti berdasarkan keadaan responden yang ada di lapangan. Pada penentuan kelompoknya nanti, peneliti juga akan menggunakan informasi mengenai pekerjaan dan pendidikan terakhir orang tua mahasiswa sebagai informasi tambahan. Mahasiswa UPI program S1 semester IV merupakan mahasiswa tingkat dua dengan rentang usia antara 18-20 tahun. Pada masa ini mahasiswa dianggap sudah melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial masa remaja akhir dan mulai memilih karakteristik identitas yang sesuai untuk dirinya di masa dewasa awal. Terdapat beberapa cara yang dilakukan remaja untuk mengungkapkan identitas dirinya tersebut, salah satu nya melalui cara berbusana (Harboenangin, 1996: 45).
15
Pada periode remaja individu ingin memiliki sistem nilai, selera, serta segala sesuatu yang berbeda dari orang tua, kakak dan orang lain (Soekanto, 1982: 88), sehingga menjadikan individu senang mencoba hal-hal baru untuk menciptakan ciri khasnya sendiri. Hal tersebut berkaitan dengan salah satu tugas perkembangan yang harus dilalui pada tahap ini yaitu individu diharapkan sudah memiliki pandangan hidup sendiri dan dapat menemukan identitsas dirinya (Monks, 1996: 254). Jika salah satu tugas perkembangan individu pada masa ini tidak berjalan dengan baik, maka akan mempengaruhi dan menghambat tugastugas perkembangan pada periode selanjutnya. Oleh karena itu, pada periode ini merupakan
masa
yang
penting
untuk
memfasilitasi
individu
dalam
mengungkapkan identitasnya tersebut, agar individu dapat menjalankan tugas perkembangan periode remaja akhir dengan baik.