BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tulisan ini mencoba memahami dan menjelaskan tentang manajemen konflik sumber daya alam di tanah Using1 Banyuwangi, khususnya di tambang emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi. Fokus yang dikaji adalah upaya manajemen konflik yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di tahun 2011-2013. Awal tahun 2008, ketegangan muncul di kampung nelayan Pulau Merah, Desa Sumberagung, Kecamatan Pasanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Pro-kontra konflik muncul di tengah masyarakat mengiringi rencana eksploitasi PT Indo Multi Niaga (IMN) di kawasan itu. PT Indo Multi Niaga terindikasi merupakan mitra dari Intrepid Mines Limited Australia yang kepemilikan sebagian sahamnya di Indonesia disinyalir dimiliki oleh Surya Paloh yang juga merupakan bos dari Media Group. Berdasarkan paparan PT IMN pada saat itu, jumlah cadangan bijih emas Tumpang Pitu mencapai sekitar 9,6 juta ton dengan kadar emas rata-rata mencapai 2,39 ton. Sedangkan jumlah logam emas sekitar 700 ribu ton. Penambangan dilakukan dengan metode tambang dalam (underground mining) dengan skala produksi
1
Istilah tanah Using merujuk pada keberadaan Suku Using yang merupakan penduduk asli Kabupaten Banyuwangi atau juga disebut sebagai Wong Blambangan dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Istilah Using kemudian dikenal sebagai identitas Kabupaten Banyuwangi. Suku Using merupakan sub suku Jawa menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010.
1
2
mencapai 1.577 ton per tahun. Total investasi awal yang disiapkan PT IMN mencapai US$ 4,3 juta.2 Pada periode 2005-2010, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dipimpin Bupati Ratna Ani Lestari mendukung rencana PT IMN dengan dalih bahwa cadangan emas Tumpang Pitu akan mampu menyumbang 10-20 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Surat Keputusan Bupati Banyuwangi nomor 188/05/KP/429.012/2007 menjadi dasar bagi PT IMN untuk melakukan eksplorasi. Penelusuran lebih lanjut, Gubernur Jawa Timur periode itu, Imam Utomo merekomendasikan eksplorasi PT IMN di Tumpang Pitu dengan menandatangani surat nomor 522/7150/021/2007. Dukungan pusat memperkuat dengan ijin yang diterbitkan Menteri Kehutanan periode itu, M.S. Kaban dengan ijin eksplorasi kepada PT IMN untuk jangka waktu dua tahun terhitung sejak 27 Juli 2007 melalui surat bernomor S.406/MENHUT-VII/PW/2007.3 Proses transisi sejak bergulirnya era reformasi telah merubah peta kekuasaan yang dulunya bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Kondisi ini telah memunculkan aktor-aktor baru yang dengan kemampuannya mampu memperebutkan kekuasaan. Merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Weber bahwa determinasi kelas yang dikuasai oleh pasar dan kekuasaan ditentukan secara ekonomi serta tatanan hukum yang berpengaruh langsung pada distribusi kekuasaan.4 Sesungguhnya eksplorasi kawasan Tumpang Pitu telah dimulai dari tahun 1995 yang mana rezim Orde Baru masih berkuasa.
2
Berdasarkan data dari Tabloid Intelijen Nomer 9/Tahun V/Juni 2008 "Eksplorasi Emas Banyuwangi, Konspirasi Elit Politik". 3 Ibid. 4 Max Weber. 2006. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
3
Beberapa perusahaan telah silih berganti mendulang hasil alam di kawasan Tumpang Pitu. Pada periode 1995-2005, PT Hakman Platino Metallindo (HPM) memiliki ijin untuk mengeksplorasi kawasan Tumpang Pitu. Pada tahun 2005, ijin PT HPM berakhir, muncul PT Indo Multi Cipta (IMC) yang kemudian pada tahun 2006 memindahkan kuasa pertambangan kepada PT Indo Multi Niaga (IMN). Aroma persaingan korporasi muncul ketika sebenarnya pada tahun 2004, PT HPM telah memperoleh perpanjangan ijin eksplorasi dari Kepala Baplan Dephut. Kondisi awal yang terjadi tersebut menunjukkan anggapan bahwa beda penguasa, beda korporasi. Berakhirnya era kepemimpinan Bupati Ratna Ani Lestari (2005-2010) dan terpilihnya Bupati Abdullah Azwar Anas untuk memimpin Kabupaten Banyuwangi periode 2010-2015 menjadi periode baru bagi penguasaan di kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu. PT Indo Multi Niaga pada tahun 2012 mengalihkan sahamnya kepada PT Bumi Suksesindo. PT Bumi Suksesindo merupakan perusahaan yang dikuasai oleh Edwin Soeryadjaya, merupakan bos dari PT Adaro Energy, Tbk dan Saratoga Investama Sedaya. Pada saat ini, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyepakati Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Bumi Suksesindo selaku perusahaan yang mengeksplorasi kawasan tambang emas Tumpang Pitu. Keberadaan tambang emas Tumpang Pitu yang terletak di Desa Sumberagung
Kecamatan
Pesanggaran
Kabupaten
Banyuwangi
tersebut,
permasalahan konflik yang muncul bukan hanya mengenai dampak lingkungan dari adanya kegiatan pertambangan. Namun lebih jauh juga menyangkut masalah bagi hasil yang diajukan oleh Pemerintah Daerah hingga manfaat yang bisa
4
diterima oleh masyarakat sekitar kawasan pertambangan yang secara langsung juga merasa dirugikan terkait adanya kegiatan pertambangan. Warga masyarakat Desa Sumberagung yang terdampak langsung kegiatan pertambangan telah melakukan perlawanan-perlawanan. Perlawanan tersebut seperti melakukan perusakan atas alat-alat pertambangan ketika proses eksplorasi dipegang oleh PT IMN hingga melakukan aksi-aksi unjuk rasa menuntut adanya kompensasi. Pada Januari 2014, ratusan warga masyarakat berunjuk rasa di depan kantor PT Bumi Suksesindo untuk menuntut adanya kompensasi yang belum mencapai titik temu, padahal dalam klausul kontrak pertambangan saat ini, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memperoleh 10 persen saham pertambangan emas Tumpang Pitu. Kabupaten Banyuwangi yang selama ini identik dengan keberadaan dukun santet bagi masyarakat luas, ternyata memiliki sumber daya alam yang besar. Sumber daya alam tersebut dapat berkontribusi pada struktur keuangan daerah Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan literatur review penelitian sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa perlu dilakukan analisa manajemen konflik pada konflik sumber daya alam, khususnya di kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi. Hal tersebut dinilai penting untuk dilakukan karena paradigma pembangunan ekonomi selama ini masih bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam (SDA) oleh penyelenggara negara. Sehingga penulis melakukan penelitian "Menambang Emas di Tanah Using: Kekuasaan dan Manajemen Konflik Pada Tambang Emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi".
5
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan permasalahan penelitian yang dikaji lebih lanjut, yaitu: Bagaimana manajemen konflik yang dibentuk oleh Bupati Abdullah Azwar Anas dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi di tahun 2011-2013?
1.3 Tujuan Penelitian Dalam upaya menjawab permasalahan penelitian dan dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian, maka penelitian ini bertujuan: 1. Memahami
politik
pertambangan
di
Indonesia
khususnya
pertambangan emas di tingkat lokal. 2. Memahami peta berbagai aktor dan kepentingan dalam pengelolaan pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi. 3. Memahami
proses
manajemen
konflik
dalam
pengelolaan
pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
1.4 Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini, manfaat penelitian antara lain: 1. Menjadi
rujukan
dalam
membaca
dan
mengetahui
pertambangan di Indonesia khususnya pertambangan emas.
politik
6
2. Mengetahui peta berbagai aktor dan kepentingan dalam pengelolaan pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi. 3. Mengetahui
proses
manajemen
konflik
dalam
pengelolaan
pertambangan, khususnya dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi.
1.5 Literatur Review Bahasan mengenai sumber daya alam tentunya sudah banyak dikaji oleh banyak peneliti pada periode ini. Namun, dalam studi ini, fokus yang diteliti hanya pada kajian-kajian mengenai pertambangan di ranah ilmu sosial. Dalam skala mikro, beberapa penelitian mengenai pertambangan yang dilakukan di daerah seperti yang dilakukan Holimin5 (2003) menekankan sejauh mana peranan PT. Timah, Tbk dalam dinamika perubahan sosial dan menunjukkan adanya peran PT. Timah, Tbk terhadap perubahan sosial yang terjadi di Kabupaten Bangka. Penelitian ini tidak mengaitkan pembahasan dari aspek legalitas dan ilegalitas penambangan yang dilakukan para penambang TI (Timah Inkonvensional) selain itu studi ini juga lebih fokus pada peranan PT. Timah, Tbk sebagai bagian dari perusahaan besar, padahal dalam satu dekade terakhir PT. Timah, Tbk tidak lagi menjadi aktor utama dalam dunia pertambangan timah.
5
Holimin. 2003. Peranan Industri Penambangan Timah dalam Dinamika Perubahan Sosial dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah (Studi PT.Timah, Tbk Kabupaten Bangka). Tesis, tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
7
Penelitian yang dilakukan John F. McCarthy6 (2007) menyajikan berjalannya kekuasaan atas sumber daya alam di Kalimantan Tengah. Penelitian ini mencermati bagaimana bekerjanya pengerukan ekonomi pada sektor sumber daya kehutanan. McCarthy melihat bahwa perebutan atas keuntungan-keuntungan dari sumber hutan di Kalimantan Tengah sangat besar dimana proses yang berlangsung tersebut tidak tersentuh oleh masyarakat luas. Proses perebutan keuntungan pada sumber daya hutan semakin menajam ketika Indonesia memasuki era desentralisasi. Proses-proses tersebut melibatkan lembaga-lembaga pemerintah kabupaten dan polisi, kepentingan-kepentingan bisnis, preman, wiraswasta dan pribumi dan penduduk sekitar kawasan hutan. McCarthy mengemukakan dalam penelitiannya bahwa desentralisasi telah membawa pengaruh besar pada konstelasi aktor di Kalimantan Tengah, utamanya bagi aktoraktor yang mampu mengelola transisi di awal reformasi. McCarthy mengungkapkan bahwa selama periode 1998-2004 terjadi alur khusus perubahan politiko-legal pada perebutan sumber daya hutan. Kemudian konstelasi para aktor yang menengguk keuntungan dari sistem akses pada sumber dapat dengan mudah berubah-ubah ketika sistem tunduk pada pergeseran kekuasaan, kedudukan politis, dan otoritas legal. Hal tersebut karena aktor-aktor kabupaten dan masyarakat bawah tergantung pada ikatan-ikatan pribadi dan klientalis dengan pejabat-pejabat di berbagai lembaga negara dengan para pengelola keuangan (financier) luar dan kepentingan-kepentingan terkait perkayuan, dimana mereka sangat rentan terhadap perubahan-perubahan legal-
6
John F. McCarthy. 2007. Dijual ke Hilir: Merundingkan Kembali Kekuasaan Publik Atas Alam di Kalimantan Tengah. dalam Politik Lokal di Indonesia, Editor: Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. Jakarta:Yayasan Obor IndonesiaKITLV, hlm 189-224.
8
administratif serta politis, khususnya perubahan-perubahan yang mempengaruhi patron-patron berbasis negara dalam sebuah pemerintahan yang tengah menghadapi transisi. Bagi masyarakat desa, para wiraswasta dan pejabat kabupaten, legitimasi atau ilegitimasi sistem pengurasan sumber daya hutan tergantung pada kapasitasnya untuk mendistribusikan keuntungan, dan bukan pada sesuatu gagasan abstrak tentang akuntabilitas atau legalitas negara. Pada konteks tersebut, aktivitas-aktivitas politis, legal, atau fisik para aktor difokuskan pada usaha memastikan agar partisipasi mereka sendiri dalam sistem klientalis untuk mendistribusikan keuntungan-keuntungan, dan bukan pada fungsi-fungsi penetapan kebijaksanaan formal pemerintah. Penelitian yang dilakukan oleh Erwiza Erman7 (2007) mengulas liku-liku praktik pertimahan di Bangka Belitung pada kondisi beberapa tahun terakhir. Menurut Erman, praktek penambangan timah ilegal (Timah Inkonvensional) yang sedang marak terjadi di Pulau Bangka telah memberi kontribusi besar dalam praktek ekonomi ilegal seperti penyelundupan. Meskipun bukan hal yang baru, praktek ini sejatinya dipicu oleh “konflik regulasi” yang terjadi antara pemerintah daerah dan pusat, yang kemudian celah ini dimanfaatkan oleh oknum pengusaha timah untuk menjalankan praktek ekonomi ilegal tersebut. Deregulasi tata niaga timah yang mengikuti pelaksanaan otonomi daerah pada Januari 2001, menjadi babak baru dalam sejarah pengelolaan tambang timah Indonesia. Erman mengemukakan bahwa otonomi daerah ternyata menimbulkan konflik baru yang pada dasarnya merupakan pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada
7
Erwiza Erman. 2007. Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal: Studi Kasus Bangka. dalam Politik Lokal di Indonesia, Editor: Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia-KITLV, hlm 225-266.
9
pertentangan budaya dan politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan yang merupakan hasil otonomi daerah nyatanya adalah konflik bisnis. Deregulasi tata niaga timah dan penambangan timah telah membuat pergeseran nyata dari sistem penambangan timah yang lama yang hirarkis, birokratis yang diorganisir dari pusat ke sistem penambangan timah yang baru yang lebih efisien di bawah kontrol Bupati. Erman menyimpulkan bahwa sistem pengelolaan timah baru dibawah rezim Bupati telah memunculkan sebuah negara bayangan sejak reformasi digulirkan. Negara bayangan lokal ditandai dengan keterlibatan aktor-aktor dari institusi negara di tingkat lokal dalam ekonomi informal. Keterlibatan ekonomi informal tersebut terlihat dalam cara-cara memberikan atau mengamati pemberian akses, tindakan-tindakan manipulatif dan pemberian proteksi atau jaminan keamanan. Negara bayangan tersebut telah melibatkan kepala daerah, pebisnis lokal, polisi, tentara, angkatan laut, preman, dan organisasi-organisasi sosial. Aktor-aktor negara di tingkat lokal tersebut melakukan tingkah laku informal untuk mencari keuntungan dan bahkan ikut terlibat dalam mafia dalam bisnis pertimahan. Senada dengan penelitian Erwiza Erman, penelitian Widiarti8 (2012) mengkaji relasi antara penguasa dan pengusaha yang mana menjadi aktor kunci yang berperan dalam sistem eksploitasi sumber daya batubara. Dalam tulisan tersebut, koneksi yang kuat antara penguasa dan pengusaha telah menjadi bagian penting dalam kegiatan ekonomi informal pada proses pengelolaan sumber daya alam di Kalimantan Selatan.
8
Maulidya Widiarti. 2012. Relasi Penguasa-Pengusaha di Bumi Antasari (Studi Kasus: Aktifitas Pertambangan Sumberdaya Emas Hitam di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan. Tesis, tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
10
Dalam skala makro, ahli otonomi daerah Cornelis Lay9 (2003) memberikan catatan penting mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu dari poin penting dalam catatan tersebut adalah mengenai pengaturan bagi hasil. Revenue Sharing dapat memberikan manfaat ekonomi bagi daerah. Namun terdapat peluang besar terjadinya ketimpangan antar daerah sebagai akibat dari penguasaan sumber daya alam (SDA) yang berbeda. Melihat pengalaman banyak negara, strategi pembangunan dan pengembangan sistem alokasi anggaran yang tepat, introduksi teknologi dan penerapan sebuah sistem distribusi nasional yang baik akan mampu menjembatani persoalan tersebut. Selanjutnya bahwa pemahaman mengenai SDA hanya berdimensi tunggalekonomi, dimana hal tersebut sangat tipikal orde baru, yang masih mencengkeram benak para politisi dan pengambil SDA tanpa kendali dengan alasan-alasan yang sepenuhnya menyangkut keuntungan pribadi. Keinginan untuk memacu Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara cepat, berakibat pada proses pemusnahan semua potensi dan SDA yang dimiliki oleh suatu daerah. Padahal, dibalik peningkatan PAD terdapat kepentingan-kepentingan ekonomi birokrasi dan politik lokal, misalnya kepentingan untuk mendapatkan remunerasi atau insentif material yang lebih baik serta alasan-alasan yang lebih bersifat ideologis-politis, misalnya demi kesejahteraan rakyat daerah ataupun demi pelayanan publik yang lebih baik. Dikeruknya sumber-sumber dan potensi SDA ini memiliki implikasi lanjutan. Sustainabilitas yang menjadi substansi dari pengelolaan SDA akan berada pada fase kritis dimana berimplikasi pada nasib generasi mendatang. 9
Cornelis Lay. 2003. Otonomi Daerah dan Ke-Indonesiaan. dalam Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Editor: Abdul Gaffar Karim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 331.
11
Demikian pula, akibat-akibatnya yang bersifat trans-daerah, bahkan transnasional. Alasan politis-ideologis serta vested interest para “penguasa” daerah, seperti disebutkan di atas sudah cukup kuat untuk membawa kebijaksanaan daerah ke arah tersebut. Kondisi tersebut mengungkapkan bahwa pengalihan kekuasaan kepada daerah untuk mengelola SDA-nya sendiri, akan dengan cepat menderivasi keuntungan-keuntungan ekonomi jangka pendek yang akan dibayar mahal dalam jangka panjang. Laju eksploitasi SDA bisa saja akan mencapai sebuah fase tanpa kendali, kecuali terbentuk kesadaran baru secara sungguh-sungguh di kalangan pengambil kebijaksanaan di daerah pemilik SDA. Ekspansi eksploitasi SDA akan menempatkan “komunitas lokal” sebagai “musuh” atau pada tingkat paling moderat sebagai “penghalang”. Benturan diantara keduanya merupakan resiko jangka pendek yang akan terjadi. Apabila hasil akhir pertarungan berwujud sebagai “kekalahan” komunitas lokal terhadap hasrat “ingin kaya cepat dari otoritas politik pengusaha”, maka bisa diduga sejak awal bahwa kolaborasi antara kekuasaan politik lokal dan ekonomi kapitalis akan sulit diimbangi masyarakat, akibatnya konflik vertikal yang sekian lama mewajah sebagai konflik Jakarta-daerah akan tereplikasi secara sempurna dalam skala lokal yang melibatkan pemerintah dan politisi daerah dengan masyarakat “asli”. Arah konflik tersebut dapat dengan mudah bertukar ke berbagai arah, terutama dalam konteks politik lokal yang ditandai oleh tingkat kemajemukan yang tinggi. Konflik dalam kategori komunal atau primordial, misalnya etnisitas ataupun agama, dapat dengan mudah hadir di tengah-tengah komunitas lokal. Apalagi, jika pengelola SDA juga terjerembab pada model KKN yang memang masih mengakar dalam pemerintahan, termasuk di daerah.
12
1.6 Kerangka Teori A. Konflik Sebagai kerangka konseptual dalam studi ini, penulis menggunakan konsep otoritas teori konflik Ralf Dahrendorf dan konsep manajemen konflik sebagai upaya memaparkan kekuasaan dan konflik pengelolaan sumber daya alam khususnya dalam studi pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Sebagai bagian awal dalam membangun kerangka teori ini perlu dikemukakan bahwa konflik adalah hubungan dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaransasaran yang tidak sejalan (Mitchell, 1981).10 Sehingga berdasar pada pengertian tersebut konflik berbeda dengan kekerasan yang dalam hal ini meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensi secara keseluruhan.11 Konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik dapat terjadi bilamana tujuan masyarakat tidak sejalan. Adanya berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat.12 Sehingga dalam konteks ini konflik merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan kehidupan manusia. Dari tingkat mikro, antarpribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, dan
10
Simon Fisher. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The British Council and Zed Books, Hlm 4. 11 Ibid. 12 Ibid.
13
negara, semua bentuk hubungan manusia – sosial, ekonomi dan kekerasan – mengalami pertumbuhan, perubahan, dan konflik.13 Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan tersebut, sebagai contoh – adanya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang – yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan, dan kejahatan. Masing-masing tingkat tersebut saling berkaitan, membentuk sebuah rantai yang memiliki potensi kekuatan untuk menghadirkan perubahan, baik yang konstruktif maupun destruktif.14 Adanya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang atas sumber daya serta kondisi kekuasaan yang tidak seimbang disinyalir telah membentuk perubahan pada pengelolaan sumber daya alam khususnya di pertambangan emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi. Sebagai bagian konseptual dalam studi ini, teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan kaidah sosiologi dan merupakan teori dalam paradigma fakta sosial. Landasannya dapat dikaji dari teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi solusi terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel mengemukakan bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang menyebabkan konflik. Apabila kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-Undang sebagai sarana 13 14
Ibid. Ibid.
14
untuk meningkatkan integrasi sosial, maka kalangan penganut teori konflik justru meilhat masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok dengan yang lain saling bertarung untuk memperebutkan kekuasaan dan mengontrol bahkan melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang menguntungkan kelompok-kelompok lainnya. Dahrendorf membawa asumsi yang membedakan pemikirannya dengan teori Marxian. Ralf Dahrendorf memiliki pandangan lain dalam melihat konflik sosial. Dalam pandangannya konflik disebabkan oleh berbagai aspek sosial, tidak hanya oleh permasalahan ekonomi yang dikemukakan Karl Marx. Berbagai aspek sosial yang ada di masyarakat tersebut kemudian terwujud dalam bentuk yang teratur melalui organisasi sosial. Dahrendorf memandang konflik sosial merupakan suatu hal yang endemik. Dalam pandangannya ia menganggap masyarakat bersisi ganda memiliki sisi konflik dan sisi konsensus (kemudian posisi ini disempurnakan menjadi segala susatu yang dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktural dan dapat dianalisa dengan teori konflik).15 Dahrendorf mengemukakan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai peran dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat dalam berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi yang menguasai orang atau kelompok yang tidak mendominasi. Lebih lanjut dalam pemahaman konteks hubungan kekuasaan (authority) tersebut, Dahrendorf menyatakan bahwa terdapat dasar baru bagi pembentukan kelas, yaitu adanya 15
Argyo Demartoto. 2010. Strukturalisme Konflik: Pemahaman akan Konflik pada Masyarakat Industri Menurut Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf. Dalam Jurnal Sosiologi “Dilema” Vol 24 No. 1 Tahun 2010.
15
hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut bawahan dan atasan, adanya pendikotomian antara mereka yang berkuasa dan dikuasai.16 Pemahaman hubungan kekuasaan lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan yang ada dalam kelompok. Namun, pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui pendudukan.17 Dalam kondisi tersebut teori konflik memandang masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Sehingga posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta tersebut mengarahkan tesis utama Dahrendorf bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Lebih jauh ia menyebut otoritas tidak terletak dalam individu melainkan dalam posisi. Sumber struktur konflik harus dicari dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Sehingga menurutnya, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Konsep otoritas (authority) yang melekat pada posisi merupakan unsur kunci dalam analisis Dahrendorf.18 Otoritas secara tersirat menyatakan supraordinasi dan subordinasi.19 Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Hal
16
Ibid. Ibid. 18 Ralf Dahrendorf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society California: Stanford University Press; Edisi Indonesia: Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. 1986. Penerjemah Drs. Ali Mandan. Jakarta: CV Rajawali. 19 Ibid. 17
16
tersebut berarti mereka memegang kekuasaan karena harapan dari orang yang berada di sekitar mereka, bukan karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri. Otoritas bukan merupakan fenomena sosial yang umum, melainkan mereka tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol ditentukan di dalam masyarakat. Sehingga kesimpulannya karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang. Bilamana kekuasaan merupakan tekanan (coercive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi tersebut memeliharanya menjadi legitimate dan oleh karena itu sebagai hubungan authority, dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lain. Dahrendorf telah melahirkan kritik penting terhadap pendekatan yang pernah mendominasi dalam ranah sosiologi, yaitu kegagalan dalam menganalisa konflik sosial. Dia menegaskan bahwa proses konflik sosial tersebut merupakan kunci bagi struktur sosial. Sehingga Dahrendorf menganjurkan agar perspektif konflik dipergunakan dalam rangka memahami fenomena sosial dengan lebih baik. Lebih lanjut Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik ke dalam dua kelompok kelas (group). Kelompok semu (quasi group) merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan (the rise of interest group). Kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan (interest group) yang terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota
17
yang jelas. Dalam konteks tersebut kelompok kepentingan (interest group) yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.20 Menurut acuan konseptual tersebut dalam membaca pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi maka posisi kelas kelompok terdiri dari Pemerintah Daerah dan korporasi yang menduduki posisi kelompok semu (quasi group) dan kelompok kedua sebagai kelompok kepentingan (interest group) adalah aliansi masyarakat yang menentang dan menuntut kesetaraan hak untuk masuk dalam pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Sehingga posisi kelompok kepentingan yang dalam hal ini adalah aliansi masyarakat menjadi sumber timbulnya konflik dalam masyarakat. Dengan adanya konflik kelas (konflik mengenai hubungan kekuasaan atau yang muncul di luar hubungan kekuasaan) menyebabkan adanya perubahan secara struktural (perubahan nilau atau aturan sosial pada masyarakat). Gesekan yang terjadi dalam masyarakat timbul akibat dari adanya hubungan kekuasaan. Hasil dari kekuatan industri membuat corak pada lingkungan masyarakat identik dengan kekerasan. Hal tersebut akibat dari adanya kekuatan kekuasaan yang menimbulkan konflik baik vertikal maupun horisontal. Sehingga Dahrendorf mengemukakan pendapat utamanya antara lain (1) setiap masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses perubahan, dan perubahan tersebut dapat terjadi dimana saja; (2) setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik, serta konflik sosial ada dimana saja; (3) setiap unsur dalam satu masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya; (4)
20
Ibid.
18
setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian anggotanya terhadap anggota lain (Lauer, 1993: 281-282; Poloma, 1994: 115117).21 Penelusuran mengenai perubahan sosial pada konflik pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu dengan melihat perubahan-perubahan pada aspek otoritas yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas, pihak korporasi dan aliansi masyarakat serta perubahan-perubahan secara keseluruhan pada mekanisme pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu pada periode 2011-2013.
B. Manajemen Konflik Fisher menjelaskan pandangannya terkait konflik sumber daya adalah kekuasaan yang muncul karena adanya kontrol terhadap pasokan sumber daya seperti bahan baku, teknologi, keuangan, dan kepemilikan alat-alat produksi.22 Konflik yang berhubungan dengan sumber daya alam disebabkan adanya inequality yang disertai dengan terjadinya perebutan sumber daya alam yang terbatas. Pendapat tersebut secara tersirat mengadopsi dari apa yang telah dirumuskan oleh Ralf Dahrendorf. Perebutan sumber daya alam merupakan salah satu sumber pertentangan antar masyarakat, antar pemerintah daerah, bahkan bisa melibatkan perusahaan yang mengelolanya. Hugo Van Der Merwe dalam Fisher (2000) menunjukkan adopsi pemikiran Dahrendorf tentang penyebab konflik. Dia mencoba memberikan ringkasan mengenai teori-teori utama mengenai penyebab konflik.23 Dua diantaranya adalah berkaitan dengan teori identitas dan teori kebutuhan manusia. Teori identitas; berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas 21
Demartoto, Op.Cit. Fisher, Op.Cit., hlm 40. 23 Ibid, hlm 8. 22
19
yang terancam. Teori kebutuhan manusia; berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam, disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi, keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering menjadi inti pembicaraan. Analisa konflik yang berlangsung tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan dalam manajemen konflik. Manajemen konflik terdiri dari 3 pendekatan yang saling berkesinambungan. Ketiga pendekatan itu antara lain: 1) Pencegahan Konflik Bloomfield and Reilly (1998)24 mengemukakan: “Conflict management is the positive and constructive handling of difference and divergence. Rather than advocating methods for removing conflict, [it] addresses the more realistic question of managing conflict: how to deal with it in a constructive way, how to bring opposing sides together in a cooperative process, how to design a practical, achievable, cooperative system for constructive management of difference.”
Pencegahan konflik adalah penerapan pengelolaan yang positif dan konstruktif terkait perselisihan dan perbedaan. Hal tersebut penting daripada menganjurkan untuk menghilangkan konflik, dimana hal itu akan lebih baik menjawab pertanyaan yang realistis untuk mengelola konflik: bagaimana menghadapinya dengan cara yang konstruktif, bagaimana membawa sisi yang berlawanan bersama-sama dalam proses yang kooperatif, bagaimana merancang praktisnya, yang dapat dicapai, dengan sistem yang kooperatif untuk manajemen yang konstruktif atas perbedaan.
24
D. Bloomfield and Ben Reilly. 1998. The Changing Nature of Conflict and Conflict Management. in Peter Harris and Ben Reilly (1998) Democracy in Deep-rooted Conflict. Stockholm: Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), hlm 18.
20
Hal tersebut mengandung maksud bahwa pencegahan konflik merupakan suatu cara bagaimana mengatur atau mengelola suatu konflik yang berkaitan dengan penanganan konflik dan penyelesaiannya, bukan sekedar menghilangkan konflik semata. Lebih lanjut Bloomfield dalam Anstey (2000) mengemukakan manajemen konflik adalah suatu bentuk pengelolaan konflik berkaitan dengan bagaimana menangani konflik dengan cara yang konstruktif, bagaimana membawa pihak-pihak yang bertikai bersama dalam suatu proses kooperatif, bagaimana merancang sistem kooperatif yang praktis dan dapat dicapai untuk mengelola perbedaan secara konstruktif.25 Konflik kekerasan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari adanya perbedaan norma dan kepentingan di dalam
dan antar kelompok
masyarakat. Kecenderungan konflik kekerasan muncul dari bentuk dan sejarah pola relasi antar kelompok serta pola distribusi kekuasaan yang ada. Konflik kekerasan tersebut tidak mungkin dapat diselesaikan. Hal terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengelola dan mengantisipasi atau terkadang merumuskan kompromi untuk mengesampingkan kekerasan melalui penyelesaian politik. Manajemen konflik adalah seni menyusun skema intervensi yang tepat untuk meraih penyelesaian politik, terutama oleh aktor-aktor kuat yang memiliki kapabilitas untuk menekan pihak yang berkonflik untuk menerima skema penyelesaian yang ditawarkan. Manajemen konflik juga merupakan seni merancang institusi yang tepat untuk mengelola konflik.
25
Mark Anstey, dkk. 2000. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiasi. IDEA Internasional, hlm 20.
21
2) Resolusi Konflik Fisher mempunyai pendangan bahwa resolusi konflik menangani sebabsebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di
antara
kelompok-kelompok
yang
bermusuhan.26
Sumardjono
(2009)
menjelaskan, apabila dalam konflik tercapai kesepakatan (consensus), maka hasilnya tidak akan menimbulkan konflik yang berkelanjutan.27 Artinya kedua belah pihak merasa tidak direndahkan dan dipermalukan dengan adanya kesepakatan bersama itu. Perbedaan dan pertarungan kepentingan yang merupakan wujud dari konflik akan mendorong munculnya usaha-usaha untuk menyelesaikannya, menghasilkan alternatif-alternatif baru dalam resolusi, sehingga diharapkan dapat mengkahiri konflik. Dalam konflik komunal terutama yang terkait dengan identitas atau ideologi, kompromi sangat sulit dicapai. Akan tetapi konflik mungkin dapat diselesaikan apabila para pihak dapat melakukan perubahan terhadap posisi, kepentingan, dan pola pikir masing-masing pihak. Resolusi konflik adalah upaya menemukan cara agar para pihak dapat bergerak dari posisi yang zero sum dan destruktif menuju kondisi positif sum dan konstruktif. Tujuan utama dari resolusi konflik adalah membangun proses penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak dan efektif dalam menyelesaikan konflik (Azar dan Burton, 1986).28
26
Fisher, Op.Cit., hlm 7. Maria Sumardjono. 2009. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Budaya. Jakarta: Kompas, hlm 116. 28 Edward Azar and John Burton. 1986. International Conflict Resolution: Theory and Practice. Colorado: Lynne Rienner Publishers, hlm 1. 27
22
Menurut John Galtung pendekatan dalam resolusi konflik antara lain merujuk kepada upaya deskripsi konflik.29 Hal ini memuat tiga unsur utama yaitu: (1) ketidaksesuaian di antara kepentingan, atau kontradiksi di antara kepentingan, atau dalam bahasa yang dikemukakan C.R. Mitchell sebagai suatu ketidakcocokan di antara nilai-nilai sosial dan struktur sosial; (2) perilaku negatif dalam bentuk persepsi atau stereotip yang berkembang di antara pihak-pihak yang berkonflik; dan (3) perilaku kekerasan dan ancaman yang diperlihatkan. Konflik berlaku dalam konteks kelangkaan: sumber daya, kekuasaan, status dan lain-lain. Oleh karena itu, kompetisi di antara individu, kelompok, atau antarkelompok dalam suatu negara menjadi tak terhindarkan. Konflik dapat dicegah atau diatur jika pihak-pihak yang berkonflik dapat menemukan cara atau metode menegosiasikan perbedaan kepentingan dan menyepakati aturan main untuk mengatur konflik. Penanganan konflik atau khususnya resolusi konflik sangat ditentukan oleh struktur konflik.30 John Burton menjelaskan studi konflik memiliki dua fokus perhatian.31 Pertama, menjelaskan gejala konflik dan kekerasan di dalam masyarakat dan masyarakat dunia, guna menemukan pendekatan konstruktif untuk memecahkannya. Kedua, memberikan penjelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan prinsip-prinsip dari 29
John Galtung. 1996. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban, Terjemahan Asnawi Syafruddin. Surabaya: Pustaka Eureka. hlm 21. 30 Ibid. 31 John Burton. 1990. Conflict: Resolution and Provention. New York: The Macmillan Press Ltd. hlm 3. Istilah Provention berkaitan dengan upaya memajukan adanya suatu lingkungan yang mendukung adanya hubungan yang serasi (promotion harmonious). Conflict provention adalah cara penjelasan yang cukup tentang gejala konflik dan dimensi kemanusiaannya, tidak hanya kondisi lingkungan yang menciptakan konflik dan perubahan struktural yang terjadi, tetapi yang lebih penting adalah memajukan kondisi yang menciptakan hubungan kerja sama (create cooperative/collaborative relationships). Istilah proventio ditemukan (invented) karena istilah prevention memiliki konotasi negatif. Ketiadaan kata yang cocok untuk merefleksikan fakta bahwa kata prevention kurang disukai, yaitu dengan menghilangkan sebab-sebab, dengan menciptakan keadaan yang tidak memungkinkan sebab-sebab itu muncul. Suatu fokus yang kurang mendapat perhatian masyarakat dan para ilmuwan.
23
proses dan kebijakan yang diturunkan dari suatu penjelasan mengenai konflik. Studi yang mencari penjelasan tentang konflik akan memungkinkan adanya peramalan (prediction). Bahkan, bukan hanya pencegahan (prevention), tetapi juga provention. Resolusi konflik dimaksudkan Burton sebagai upaya transformasi hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku konfliktual sebagai suatu hal yang utama. Ada perbedaan antara resolusi sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi sebagai penanganan (settlement) konflik dengan cara-cara paksa (coercive) atau dengan cara tawar-menawar (bargaining) atau perundingan (negotiation).32 Resolusi konflik juga dimaksudkan oleh Burton sebagai filsafat politik (political philoshopy). Hal yang memungkinkan bisa diperoleh gambaran sebab-sebab masalah, yang bisa menuntun kemampuan prediksi dan membuat kebijakan provention (menciptakan hubungan kerja sama dan kondisi harmoni) sebagai antisipasi konflik masa depan. Problem-solving conflict resolution bisa juga menghasilkan pilihan pendekatan koersi atau authoritatif bagi kebijakan secara umum. Walaupun memiliki dilema pembuatan keputusan antara memenuhi tujuan pemenuhan kebutuhan (aim for needs satisfaction) atau kepentingan kekuasaan (to employ the simpler expediency of needs suppression by power). Dilema tersebut berkemungkinan menjadi dasar-dasar penerapan suatu pelengkap sistem politik, kalau tidak sebagai pilihan dari hubungan politik tradisional.33
32 33
Ibid, hlm 3. Ibid, hlm 5-6.
24
Berkaitan dengan perkembangan dan berakhirnya proses konflik, Louis Kriesberg34 berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat interaksi dan salingketergantungan antar pihak-pihak yang tadinya berkonflik, akan semakin membatasi munculnya konflik baru. Munculnya saling pengertian dan berkembangnya norma-norma bersama juga akan dapat mencegah konflik.35 Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik.36 Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap yaitu: 1. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. 2. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai. 3. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach; dan 4. Tahap keempat, memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosialbudaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng.
Berdasarkan kerangka Burton dan Kriesberg serta empat tahap dalam resolusi konflik tersebut, timbul pertanyaan bahwa siapakah yang akan melakukan 34
Louis Kriesberg. 2003. Constructive Conflicts From Escalation to Resolution. Maryland: Rowman and Littlefield Publisher Inc. hlm 384. 35 Ibid, hlm 384. 36 Lihat Andi Widjajanto. 2004. Empat Tahap Resolusi Konflik. Dalam tempointeraktif.com, 17 Juni 2004.
25
resolusi konflik. Dari pertanyaan tersebut timbul jawaban bahwa konflik dalam skala yang kecil sifatnya, mungkin dapat diselesaikan oleh internal aktor; tetapi dalam situasi konflik yang masif, melibatkan banyak aktor maka diperlukan pihak lain yang turut masuk untuk menyelesaikan konflik. Penggagas teori resolusi konflik seperti Burton dan Kriesberg, di satu sisi mereka membuat tahap-tahap resolusi konflik, tetapi kurang jelas terkait siapa yang akan menyelesaikan. Dalam konteks de-eskalasi konflik misalnya, Kriesberg menganggap bahwa aktor luar (internasional) dapat digunakan sebagai jalan untuk melakukan de-eskalasi. Sehingga tahap pertama dalam resolusi konflik, apabila suatu konflik yang terjadi masih didominasi pertikaian dan korban yang terus terjadi, maka dibutuhkan de-eskalasi konflik. De-eskalasi konflik adalah tujuan awal untuk memulai ke tahap resolusi yang lebih jauh yang sering disebut sebagai waktu yang tepat untuk memulai (entry point). Upaya ini dilakukan apabila pihak-pihak yang bertikai mengalami kebuntuan untuk menyelesaikan konflik. Menurut Kriesberg proses de-eskalasi, seperti halnya eskalasi, terjadi dalam tiap pertikaian, di dalam hubungan antara pihak yang bertikai dan juga di antara kelompok lain dalam lingkungan sosial. Di dalam kasus yang berskala besar, perjuangan berjangka panjang, umumnya dampak dari berbagai proses ini perlu dipersempit dan mendukung proses perdamaian satu sama lain. Ada proses internal dalam setiap pertikaian, pengembangan organisasi dan psikologi sosial, keduanya dapat membantu perkembangan de-eskalasi konflik. Mereka menyumbang masing-masing pihak untuk mempertimbangkan bagian tanggung jawabnya terhadap konflik, dibanding menyalahkan pihak lain. Hal itu juga membantu dalam menyusun ulang kerangka
26
(reframing) konflik, sehingga menghasilkan kemungkinan manfaat yang paling menguntungkan bagi setiap pihak.37 Menurut Kriesberg, kebijakan de-eskalasi dapat dianalisis dalam empat tujuan: 1) pencegahan eskalasi yang menghancurkan (preventing destructive escalation); 2) menghentikan berlanjutnya kekerasan (stopping the on going violence); 3) menurunkan tingkat kebencian timbal balik (de-escalating the mutual antagonism); 4) Menggunakan cara-cara pemecahan masalah (using problem solving means). Dua tujuan yang pertama cenderung untuk jangka pendek, sedangkan dua tujuan berikutnya cenderung untuk jangka panjang. Tabel 1.1 Kebijakan De-eskalasi Konstruktif Kriesberg38 Awal Situasi Eskalasi tingkat rendah (Low level escalation)
Penajaman eskalasi (Sharp escalation)
37 38
Tujuan Jangka Pendek Oleh Pelaku Oleh Penengah Pemutusan Menyediakan issue (de-link penengah issues). (provide Aksi tanpa mediation). kekerasan Mengisolasi (nonviolent konflik (Isolate action). conflict). Saling balas yang terukur (measured reciprocity). Memberikan Penengahan waktu (Allow sengketa time). (mediation); Menyelamatkan Menyelamatkan muka (Facemuka (Facesaving). saving); Menyarankan aturan main (suggest formula); Sanksi (sanction).
Kriesberg, Op cit., hlm 191. Ibid. hlm 211.
Tujuan Jangka Panjang Oleh Pelaku Oleh Penengah Mengurangi Mengembangkan ketidakadilan nilai-nilai (reduce pendukung (Develop inequalities). Mengangkat supportive identitas norms). Melibatkan lebih bersama (Foster shared banyak pihak identities). (Introduce more stakeholders). Menyusun kembali kerangka konflik (Reframe Conflict); Menghindari hasutan (avoiding provocation).
Penengahan sengketa (mediation); Mengembangkan titik temu (Develop crosscutting).
27
Perjuangan Berlarut-larut (Protracted Struggles)
Tanda ke arah perdamaian (Conciliatory signals); Jalan tengah (Trackll); Penerimaan tanggung jawab (accept responsibility); Menenteramkan musuh (Reassure adversary).
Pelatihan resolusi konflik (Training in conflict resolution); Melibatkan lebih banyak pihak (Introduce more stakeholders).
Penengahan sengketa (mediation); Memisahkan pengamat konflik (Isolate conflict observers).
Mengembangkan tujuan bersama (Develop superordinate goals); Membuka komunikasi (foster communication).
Adapun tahap-tahap de-eskalasi konflik menurut Kriesberg antara lain 1) proses internal (proses psikologi sosial dan organisasional; 2) proses interaksi (interaksi timbal balik/reciprocity interaction); pembendungan issue (issue containment);
membangun
ikatan
antarmusuh
(developing
ties
between
adversaries). 3) Proses pelibatan kelompok lain (processes of involvement with other parties), membuat model cara peredaan ketegangan dan membuat batas eskalasi (set the limit escalation).39 Tahap kedua dalam resolusi konflik adalah intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik. Tujuan dari intervensi kemanusiaan adalah untuk menghindari korban yang lebih besar dan menolong korban-korban yang telah ada, serta memaksa
kedua
belah
pihak
yang
bertikai
untuk
melakukan
negosiasi/perundingan. Intervensi kemanusiaan disini cenderung digunakan dalam mengatasi persoalan konflik di dalam peperangan. Intervensi kemanusiaan dilakukan dengan menerapkan prinsip mid-war operations.40
39
Ibid. hlm 191-199. Andi Widjajanto. 2000. Etika Perang dan Resolusi Konflik. dalam Global: Jurnal Politik Internasional, Vol. 1, No. 6 September 2000. 40
28
Tahap ketiga dalam resolusi konflik lebih menitikberatkan pada upaya untuk mengatasi masalah (problem-solving approach). Pada tahap resolusi konflik ini memiliki orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah resolusi,41 dalam cakupan-cakupan negosiasi dan rekonsiliasi (penyelesaian konflik secara permanen). Terkait hal ini, ada upaya transformasi konflik, dalam arti bahwa konflik tidak hanya diselesaikan dengan cara kekerasan, tetapi cara-cara kekerasan ditransformasikan menjadi cara-cara damai sebagai alternatif baru untuk menyelesaikan pertentangan. Alternatifalternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab fundamental dari suatu konflik. Dalam pandangan Burton42, sebab-sebab fundamental tersebut hanya dapat ditemukan jika konflik yang terjadi dianalisis dalam konteks yang menyeluruh (total environment). Dalam hal problem-solving approach, Rothman menawarkan empat komponen utama proses problem-solving.43 Komponen pertama adalah masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal. Komponen kedua adalah masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul selama konflik, dan kendala-kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi konflik. Komponen ketiga adalah kedua belah pihak 41
Viviene Jabri. 1996. Discourse on Violence: Conflict Analysis Reconsidered. Manchester: Manchester University Press. hlm 149. 42 Burton, Op cit. hlm 202. 43 J Rothman. 1992. From Confrontation to Cooperation: Resolving Ethnic and Regional Conflict. Newbury Park, CA: Sage. hlm 30.
29
secara
bertahap
menemukan
pola
interaksi
yang
diinginkan
untuk
mengkomunikasikan signal-signal perdamaian. Komponen keempat adalah problem-solving workshop yang berupaya menyediakan suatu suasana yang kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik. Tahap keempat dan sekaligus proses terakhir dalam resolusi konflik adalah peace building. Tahap ini sesungguhnya adalah tahap transisi dari rekonsiliasi untuk menuju tahap konsolidasi. Dalam hal resolusi konflik, tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural, dalam pengertian pendekatan struktural dan kultural merupakan suatu pendekatan alternatif yang mungkin dapat dilakukan. Secara ideal, tahap-tahap ini memang dirancang untuk menuju pada proses rekonsiliasi yang permanen untuk mengakhiri konflik. Rekonsiliasi perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam dinamika komunitas tersebut. Sehingga tahapan terakhir dalam peace building adalah tahap konsolidasi, dimana setiap kelompok mengintervensi adanya perdamaian untuk menyelesaikan konflik. Catatan Hugh Miall, Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem. Semboyan tersebut mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu mencegah
terulangnya
konflik
yang
melibatkan
kekerasan
serta
mengkonstruksikan proses perdamaian abadi yang dapat dijalankan sendiri oleh
30
pihak-pihak yang bertikai,44 maupun dengan cara adanya kelompok-kelompok baru
yang
menginisiasikan
perdamaian
sebagai
sebuah
tujuan
untuk
menyelesaikan konflik.45 Berdasarkan tahapan-tahapan resolusi konflik tersebut, tentu tidak seluruhnya dijadikan pedoman dalam menganalisa konflik dalam studi ini. Hal tersebut disesuaikan dengan setting pada penelitian ini berkenaan dengan kasus konflik dalam pengelolaan sumber daya alam tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi yang lebih mengarah kepada penyelesaian masalah (problem-solving) dan berorientasi sosial bagi masyarakat.
3) Transformasi Konflik Penyelesaian konflik memerlukan lebih dari sekedar perubahan posisi, pola relasi, maupun identifikasi solusi kreatif karena sumber konflik dapat melekat pada posisi dan pola relasi. Transformasi konflik menekankan pada proses dimana para pihak yang berkonflik berupaya memperbaiki relasi, kepentingan, wacana,
bahkan
merubah
aspek-aspek
fundamental
dalam
masyarakat yang menopang tindakan kekerasan. Konflik dimaknai sebagai instrumen perubahan. Seluruh pihak yang terlibat dalam arena konflik maupun pihak lain yang berpotensi mempengaruhi konflik merupakan stakeholder yang dapat berperan dalam proses peace building jangka panjang. Pendekatan yang ditekankan merupakan pendekatan holistik dengan melibatkan seluruh stakeholder, tidak mengandalkan pada intervensi pihak 44
Hugh Miall, (et.al.). 2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Terjemahan Tri Budhi Satrio. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm 302-344. 45 Lihat Syafuan Rozi, (et.al). 2006. Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm 30.
31
ketiga. Transformasi konflik merupakan proses gradual melalui berbagai perubahan kecil dan besar dimana berbagai aktor dapat berperan. Lederach (1995)46 menyampaikan bahwa: “Conflict transformation must actively envision, include, respect, and promote the human and cultural resources from within a given setting. This involves a new set of lenses through which we do not primarily, see the setting and the people in it as the, problem and the outsider as the, answer. Rather, we understand the long-term goal of transformation as validating and building on people and resources within the setting.”
Hal tersebut memiliki maksud bahwa transformasi konflik harus secara aktif membayangkan, mencakup, menghormati, dan mempromosikan sumber daya manusia dan budaya dari aturan yang telah diberikan. Hal tersebut melibatkan pengamatan yang jelas terutama mengenai aturan yang berlaku di masyarakat yang dalam satu sisi sebagai sebuah masalah dan sebagai jawaban di sisi lain. Sebaliknya, kita memahami tujuan jangka panjang dari transformasi sebagai suatu kejelasan kebenaran dan membangun masyarakat dan sumber daya melalui suatu aturan. Lebih menyampaikan
lanjut
dalam
bahwa
proses
suatu
penyelesaian
hubungan
suatu
asimetris
konflik,
Curle
sebenarnya
dapat
ditransformasikan melalui pergeseran dari kondisi yang tidak seimbang ke posisi yang seimbang melalui proses penyadaran, konfrontasi, negosiasi dan pembangunan. Sehingga dalam hal ini jelas bahwa maksud dan tujuan dalam menangani suatu konflik tidak harus selalu dengan cara-cara kekerasan, tetapi dapat melalui proses dialog bersama antar aktor yang berkonflik yang kemudian memunculkan mekanisme baru yang dapat diterima oleh masing-masing aktor 46
J.P. Lederach. 1995. Preparing for Peace: Conflict Transformation Across Cultures. New York: Syracuse University Press.
32
dengan analisa yang berkelanjutan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian kita meyakini bahwa sesungguhnya konflik itu secara dinamis mengalami perubahan. Setiap perubahan itu dilihat Vayrynen (1991:4) sebagai konsekuensi dari adanya dinamika sosial ekonomi dan politik di masyarakat. Dalam hal ini kemudian penting dalam merumuskan bukan hanya proses penyelesaian konflik namun juga merancang cara-cara atau mekanisme yang dapat mengatasi atau memprediksi konflik yang mungkin muncul di masa mendatang. Dalam melihat dan merumuskan penyelesaian konflik, terdapat hal-hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu (1) adanya transformasi aktor –perubahan internal atau munculnya pihak-pihak baru; (2) transformasi masalah – dalam hal ini berkaitan adanya perubahan agenda isu konflik; (3) transformasi aturan –terjadinya perubahan dalam norma-norma atau aturan yang berlaku dalam mengatur konflik; dan (4) transformasi struktural –dimana seluruh struktur hubungan dan distribusi kekuasaan dapat sewaktu-waktu berubah (Vayrynen, 1991). Pentingnya untuk memperhatikan poin-poin tersebut dalam penyelesaikan konflik akan menjadi pokok dalam mewujudkan perdamaian. Dalam konteks keseluruhan maka transformasi konflik merupakan pendekatan yang komprehensif dalam menangani masalah konflik –dari akar rumput aktor konflik, isu makro-mikro jangka pendek, hingga pada tingkat lokal sampai global untuk waktu yang jangka panjang. Hal tersebur bertujuan untuk mengembangkan kapasitas dan untuk mendukung perubahan struktural
yang
mengarahkan pada terjalinnya perdamaian yang berkelanjutan, bukan hanya pada proses jangka pendek dimana konflik dapat terjadi kembali, namun lebih tertuju
33
pada tercapainya kesepahaman bersama antar aktor yang berkonflik untuk menjaga dan memelihara perdamaian. Berdasarkan ketiga pendekatan dalam mengelola konflik di atas, maka dapat dibandingkan antara manajemen konflik, resolusi konflik, dan transformasi konflik dalam tabel berikut: Tabel 1.2 Perbandingan Pencegahan Konflik, Resolusi Konflik, dan Transformasi Konflik47 Isu Pokok Pencegahan Konflik Resolusi Konflik Bagaimana Pertanyaan Bagaimana menata menghentikan kondisi agar persoalan tidak Utama muncul ke permukaan? yang tidak diinginkan? Aturan Main atau Institusi Merumuskan solusi alternatif untuk meredam konflik
Pokok Persoalan
Proses
Berpijak pada sumbersumber persoalan
Berpijak pada lingkup persoalan yang muncul
Jangka Waktu Pandangan terhadap Konflik
Menengah
Pendek
Konflik tidak dapat dihilangkan melainkan dapat diredam atau dihindarkan dengan instrumen yang tepat
Konflik harus segera di-deeskalasikan atau diselesaikan
Fokus Tujuan
47
Merumuskan solusi yang disepakati bersama
Transformasi Konflik Bagaimana menghentikan kondisi yang tidak diinginkan dan menciptakan yang diinginkan? Relasi Mengembangkan proses yang inklusif untuk menghasilkan solusi jangka pendek dan perubahan jangka panjang Mengatasi persoalan yang muncul sekaligus mengurai akar persoalan Menengah dan Panjang Konflik merupakan proses dinamik, intinya adalah bagaimana memperkuat aspek konstruktif dari proses eskalasi dan deeskalasi
Dikaji dan dibahas dalam kegiatan perkuliahan mengacu pada slide materi Mata Kuliah Manajemen Konflik di Program S2 Politik dan Pemerintahan Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah yang dibimbing oleh Arie Ruhyanto, M.Sc dan Dr. Hayanto, MA.
34
C. Strategi Intervensi Ada beberapa strategi dan langkah yang dapat digunakan dalam pengaturan konflik: 1. Konsiliasi Semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak (Dahrendorf, 1959).48 Berkenaan kaidah tersebut, maka upaya konsiliasi juga dapat didefinisikan sebagai upaya penyelesaian konflik untuk membantu para pihak yang berbeda dalam merundingkan penyelesaian konflik dengan mengidentifikasi permasalahan dan memahami fakta dan keadaan, mendiskusikan permasalahan, memahami kebutuhan para pihak, hingga mencapai kesepakatan yang dapat diterima satu sama lain. Tujuan dari konsiliasi adalah membawa pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mencari jalan keluar dalam menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi mencari jalan tengah yang dapat diterima kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan, sehingga pihak-pihak yang berselisih dapat melewati perselisihan tersebut. Berkenaan dengan proses konsliliasi memperbolehkan pihak-pihak yang berselisih untuk membicarakan masalah mereka, sehingga memungkinkan bagi salah satu pihak untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik atas pihak yang lain. Hal tersebut dapat membantu menghilangkan salah pengertian yang disebabkan oleh prasangka atau adanya informasi yang tidak benar dan pada prosesnya dapat mencapai perubahan sikap yang nyata. 48
Ramlan Surbakti. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo Kompas Gramedia, hlm 206.
35
Apabila
dalam
prosesnya
pihak-pihak
yang
berselisih
mencapai
perdamaian, maka perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan merupakan kontrak yang mengikat secara hukum. Perdamaian dalam pertemuan konsiliasi dapat berupa adanya permintaan maaf, perubahan kebijakan dan kebijaksanaan, memeriksa kembali prosedur yang dibuat sebelumnya, menandai dan menjalankan kembali proses produksi, adanya ganti kerugian, dan sebagainya. 2. Mediasi Kedua pihak sepakat mencari nasehat dari pihak ketiga sebagai mediator, tetapi nasehat yang diberikan oleh mediator tidak bersifat mengikat (Dahrendorf, 1959).49 Peran pihak ketiga menjadi penting ketika sebuah konflik berlangsung lama dan mengalami kebuntuan dalam mencapai penyelesaian konflik. Zartman dan Rasmussen (1997) mengemukakan bahwa keadaan buntu tersebut menempatkan pihak yang bertikai berpandangan bahwa mereka tidak dapat menang dengan berperang, tetapi tidak juga memiliki kecenderungan untuk mencari upaya damai. Dalam kondisi tersebut, pihak ketiga dibutuhkan untuk memiliki inisiatif guna mencari perdamaian yaitu menjadi pemimpin sidang atau mediator dalam proses negosiasi sebagai upaya menghilangkan kebuntuan yang terjadi. Mediasi merupakan suatu bentuk intervensi pihak ketiga dalam konflik. Mediasi bertujuan untuk membawa konflik pada suatu kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dan konsisten dengan kesepakatan yang telah
49
Ibid.
36
diambil. Mediasi merupakan upaya menyelesaikan konflik secara damai yang sifatnya tidak memaksa dan tidak memakai jalan kekerasan. Mediasi merupakan suatu cara intervensi dalam konflik dimana mediator (fasilitator) dalam konflik juga harus mendapat kepercayaan dari pihak yang berkonflik. Mediasi harus membuat penerimaan menjadi mungkin bagi para penasihat dalam konflik. Namun posisi mediator seringkali menemui penolakan awal dari pihak-pihak yang berkonflik, sehingga pada posisi ini usaha diplomasi awal haruslah mempersuasi pihak-pihak dengan nilai dari pelayanan mereka sebelum proses mediasi dimulai. Mediator menggunakan tiga model untuk mengatur kepentingan semua pihak yang berada dalam konflik yaitu komunikasi, formulasi dan manipulasi.50 Ketika mediasi terjadi tanpa adanya keinginan satu atau bahkan kedua belah pihak untuk menang dari lainnya, mediator dapat menempatkan dirinya sebagai komunikator untuk menjembatani kepentingan masing-masing pihak. Namun, apabila terjadi perselisihan antar pihak yang mengikuti mediasi, mediator diharapkan mengambil pilihan kedua sebagai formulator untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi. Sementara pilihan ketiga hanya akan diambil ketika pihak-pihak tersebut saling berselisih dalam tahap yang fatal. Proses yang dilakukan agar mediasi terjadi yaitu dua proses harus saling bertautan. Pertama, interaksi atau pihak yang bersengketa harus meminta atau mengizinkan keberadaan pihak ketiga untuk menengahi; kedua, pihak ketiga harus setuju untuk menengahi. Pihak yang bersengketa meminta bantuan pihak ketiga karena mereka berharap hal tersebut akan menghasilkan berbagai manfaat. 50
James A. Wall. Mediation, A Current Review and Theory Development. Columbia: University of Missouri.
37
Misalnya dalam hal ini pihak yang bersengketa mungkin menyadari bahwa mediator memiliki pengalaman pada masalah yang dihadapi, atau mungkin memiliki metode untuk mengatasi kebuntuan, bisa membantu dalam membangun hubungan yang positif antara pihak-pihak yang bertikai, atau yang memungkinkan para pihak untuk mengendalikan konflik mereka sendiri. Penerapan mediasi diharapkan memberikan hasil bagi pihak yang bersengketa, misalnya adanya kepuasan, sebuah persepsi perlakuan yang adil, mediator, dan pihak ketiga selain mediator. 3. Arbitrasi Pihak yang berkonflik menunjuk pihak ketiga untuk memecahkan konflik, yang disebut arbitrator. Pihak yang berkonflik sepakat untuk mendapatkan dan menjalankan keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar konflik yang diberikan oleh arbitrator tersebut (Dahrendorf, 1959).51 Arbitrasi berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter. Arbiter adalah suatu proses yang mudah atau sederhana yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Istilah arbitrasi juga dikenal sebagai penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase. Dalam posisi ini, penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang ditunjuk sebelumnya.
51
Ibid.
38
Apabila mengacu pada Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Hal positif dari alternatif penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase antara lain (1) adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak; (2) dihindarkan keterlambatan yang diakibatkan karena hal yang prosedural dan administratif; (3) para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk penyelesaian masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbritase. Namun perlu disadari bahwa alternatif penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ini bahwa lembaga arbitrase tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan kepastian hukum terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan. 4. Paksaan (Power Coercion) Pemerintah dapat melakukan kebijakan intervensi sebagai upaya untuk mengendalikan konflik, yaitu dengan kemampuan pemaksaan secara fisik (coercive capacity). Hal ini dapat berupa ancaman dan penjatuhan sanksi kepada pihak yang berkonflik (Ziegenhagen, 1986).52 Paksaan
merupakan
upaya
dalam
penyelesaian
konflik
dengan
menggunakan kekuatan atau kekuasaan dan pengaruh, terutama terhadap mereka yang lebih lemah kedudukannya. Penggunaan kekuatan dalam penyelesaian konflik baik dalam bentuk kekuatan politik maupun kekuatan lain sehingga akan terlihat jelas pihak-pihak yang mempunyai kekuatan dan yang tidak. Hal inilah yang akan menjadikan perubahan dalam pihak-pihak yang ada dalam konflik.
52
Ibid.
39
Berdasarkan bangunan kerangka teori yang telah dijabarkan akan digunakan dalam penelitian mengenai pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Konsep otoritas (authority) merupakan kemampuan memberikan pengaruh pada pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu yang bergantung pada kemampuan quasi group untuk menguatkan atau menunjukkan dominasi atau mempengaruhi aktor lain (interest group), sehingga dalam hal ini akan digunakan dalam memahami kekuasaan dan kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu. Kemudian otoritas yang diperoleh ke sumber daya alam tersebut adalah bentuk kekuasaan yang muncul karena adanya kontrol terhadap sumber daya dimana kemudian terjadi ketidaksamarataan (inequality) yang mengalir menjadi konflik antara kelompok yang terlibat dalam pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu. Konsep otoritas dalam pengelolaan konflik pertambangan emas Tumpang Pitu dianalisa dengan pendekatan manajemen konflik, dengan melihat mekanisme yang dilakukan dan mengkaji fase-fase pendekatan yang meliputi pencegahan konflik, resolusi konflik, hingga transformasi konflik dengan memperhatikan strategi-strategi intervensi yang telah dilakukan untuk mencapai konsensus dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Adapun gambar alur teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
40
Kelompok Semu (Quasi Group)
Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam: Pertambangan Emas Tumpang Pitu Kabupaten Banyuwangi
Authority Concept Ralf Dahrendorf (Konsep Otoritas): Supraordinasi dan Subordinasi
Horisontal/ Vertikal
Pencegahan Konflik
Manajemen Konflik
Resolusi Konflik
Kelompok Kepentingan (Interest Group) Transformasi Konflik
Gambar 1.1 Kerangka Alur Teori Penelitian
41
1.7 Metode Penelitian A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus. Yin (2003) menjelaskan studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan jelas dan dimana multi sumber bukti dimanfaatkan.53 Berdasar definisi tersebut, studi kasus dalam perspektif metodologi, dilihat sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer, bersifat kekinian. Yin menunjukkan bahwa studi kasus lebih banyak berkutat atau berupaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “how´(bagaimana) dan “why” (mengapa), serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan “what” (apa/apakah), dalam suatu kegiatan penelitian. Lebih lanjut menurut Yin, menentukan jenis pertanyaan penelitian merupakan tahap yang sangat penting dalam setiap penelitian, sehingga dalam penelitian dituntut adanya kesabaran dan persediaan waktu yang cukup. Poin penting yang harus diperhatikan adalah memahami bahwa pertanyaanpertanyaan penelitian selalu memiliki substansi (misalnya, mengenai apakah sebenarnya penelitian saya ini?) dan bentuk (misalnya, apakah saya sedang mempertanyakannya “siapakah”, “apakah”, “dimanakah”, atau “bagaimanakah”).54 Studi kasus sebagai suatu metode juga memiliki keunggulan dalam penelitian sosial. Umumnya studi kasus memberikan akses atau peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif dan menyeluruh 53 54
Robert K. Yin. 2003. Metode Penelitian Studi Kasus. Jakarta: Raja Grafindo. Ibid.
42
terhadap unit sosial yang diteliti. Hal tersebut menjadi keunggulan utama sebagai karakteristik dasar dari studi kasus. Secara lebih rinci studi kasus mengisyaratkan keunggulan-keunggulan antara lain (1) Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar-konsep serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas; (2) Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia. Melalui penyelidikan intensif peneliti dapat menemukan karakteristik dan hubungan-hubungan yang (mungkin) tidak diharapkan atau diduga sebelumnya; dan (3) Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial. Selain beberapa keunggulan tersebut, Black and Champion (1992) menjelaskan mengenai keunggulan spesifik lainnya mengenai metode studi kasus, yaitu (1) bersifat luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang digunakan; (2) keluwesan studi kasus menjangkau dimensi yang sesungguhnya dari topik yang diselidiki; (3) dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial; (4) studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori; dan (5) studi kasus bisa sangat murah, bergantung pada jangkauan penyelidikan dan tipe teknik pengumpulan data yang digunakan.55 Terlepas dari keunggulan-keunggulan tersebut, studi kasus sebagai metode penelitian juga memiliki beberapa kelemahan, misalnya (1) Studi kasus, pada konteks yang dilakukan selama ini, tampaknya masih kurang memberikan dasar
55
James Black. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Eresco.
43
yang kuat untuk melakukan suatu generalisasi ilmiah; (2) Kedalaman studi yang dilakukan, tanpa banyak disadari, ternyata justru mengorbankan tingkat keluasan yang seharusnya dilakukan; sehingga sulit digeneralisasikan dengan keadaan yang berlaku umum; (3) Studi kasus memiliki kecenderungan kurang mampu mengendalikan bias subjektifitas peneliti. Kasus yang dipilih untuk diteliti, misalnya, cenderung lebih karena sifat dramatiknya, bukan karena sifat khas yang dimilikinya. Sehingga pandangan subjektifitas peneliti dikhawatirkan terlalu jauh mencampuri hasil penelitian. Yin (2003) kemudian mencoba mengambil alternatif untuk mengatasi beberapa kelemahan studi kasus tersebut dengan terobosan-terobosan cerdas meliputi: Pertama, studi kasus harus signifikan. Hal itu berarti kasus yang diangkat mengisyaratkan sebuah keunikan dan betul-betul khas serta menyangkut kepentingan publik atau masyarakat umum. Karena itu bukan karena sifat dramatiknya belaka. Kedua, studi kasus harus “lengkap”. Kelengkapan ini dirincikan oleh tiga hal: (1) kasus yang diteliti memiliki batas-batas yang jelas (ada perbedaan yang tegas antara fenomena dengan konteksnya); (2) tersedianya bukti-bukti relevan yang meyakinkan; dan (3) mempermasalahkan ketiadaan kondisi buatan tertentu. Dengan kata lain, meski menghadapi berbagai keterbatasan, kasus yang diangkat haruslah deselesaikan dengan tuntas.
B. Penentuan Informan Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dalam menganalisis manajemen konflik yang dibentuk Bupati Abdullah Azwar Anas dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.
44
Metode studi kasus dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi mendalam dari para informan melalui kegiatan wawancara. Informan utama dalam penelitian ini antara lain dari Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi meliputi Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan, Badan Lingkungan Hidup, Kantor Kecamatan Pesanggaran dan Kepala Desa Sumberagung. Dari unsur masyarakat, informan yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pertambangan. Dari pihak korporasi adalah Bagian Operasional PT Bumi Suksesindo. Dari pihak media meliputi wartawan Radar Banyuwangi, wartawan Tempo kontributor Banyuwangi dan wartawan Kompas kontributor Banyuwangi. Jumlah informan dalam penelitian ini menyesuaikan dengan informaninforman utama yang disebutkan di atas. Informan-informan tersebut dipilih dengan alasan bahwa informan tersebut memiliki kriteria atau karakteristik dan sumber daya yang sesuai dengan fokus permasalahan yang diteliti.
C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Banyuwangi, tepatnya di kawasan pertambangan emas Tumpang Pitu Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran dan di instansi pemerintahan yang terkait dengan pengelolaan pertambangan emas Tumpang Pitu.
D. Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara. Observasi merupakan metode yang dilakukan untuk mengetahui fenomena sosial
45
dan gejala alam dengan jalan pengamatan dan pencatatan (Kartono, 1996).56 Teknik observasi yang dilakukan adalah observasi non partisan. Observasi ini merupakan suatu prosedur yang dilakukan peneliti dengan cara mengamati tingkah laku orang lain dalam keadaan alamiah, tetapi peneliti tidak melakukan partisipasi terhadap kegiatan yang dilakukan informan.57 Teknik observasi digunakan untuk mengumpulkan data mengenai kegiatan operasional pengelolaan pertambangan emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Teknik pengumpulan data berikutnya adalah dengan teknik wawancara. Wawancara merupakan proses interaksi dan komunikasi. Wawancara ini bertujuan untuk mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. Wawancara adalah suatu percakapan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk berhadapan secara fisik diarahkan pada suatu masalah tertentu.58
E. Instrumen Penelitian Berkenaan dengan proses mengumpulkan data-data, peneliti membutuhkan alat bantu (instrumen penelitian). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3 alat bantu, yaitu: 1) Pedoman Wawancara Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 56
Kartini Kartono. 1996. Pengantar Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju, hlm 157. Black, Op.Cit., hlm 289. 58 Kartono, Op.Cit., hlm 187. 57
46
2) Pedoman Observasi Pedoman observasi digunakan agar peneliti dapat melakukan pengamatan sesuai dengan tujuan penelitian. Pedoman observasi disusun berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap
perilaku
subjek
dan
informasi
yang
muncul
pada
saat
berlangsungnya wawancara. 3) Alat Perekam Dengan menggunakan kamera untuk mengambil data dokumentasi sekaligus untuk merekam selama kegiatan wawancara berlangsung. Alat perekam berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara, agar peneliti dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa harus berhenti untuk mencatat jawaban-jawaban dari subjek. Dalam pengumpulan data, alat perekam baru dapat dipergunakan setelah mendapat ijin dari subjek untuk mempergunakan alat tersebut pada saat wawancara berlangsung.
F. Pengecekan Keabsahan Temuan Studi kasus dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Yin (2003) mengajukan empat kriteria keabsahan dan keajegan yang diperlukan dalam suatu penelitian pendekatan kualitatif. Empat hal tersebut sebagai berikut: 1) Keabsahan Konstruk (Construct Validity) Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastian bahwa yang berukur benar-benar merupakan variabel yang ingin di ukur. Keabsahan
47
ini juga dapat dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat. Salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Menurut Patton (dalam Sulistiany, 1999)59 ada 4 macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu: a. Triangulasi data Menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu informan yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda. Peneliti mewawancarai para informan yang tersebut pada sub-bab sebelumnya dengan memperhatikan situasi dan kondisi dengan melakukan beberapa kunjungan lapangan untuk kepentingan penelitian. b. Triangulasi Pengamat Adanya pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen pembimbing studi kasus bertindak sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data. c. Triangulasi teori Penggunaan teori untuk memastikan bahwa data yang telah peneliti kumpulkan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
59
Ambar Sulistiany. 1999. Rambu-Rambu Jurnalistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
48
d. Triangulasi metode Penggunaan metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara yang ditunjang dengan pengetahuan tentang kondisi lokasi penambangan karena sebelumnya peneliti telah melaksanakan observasi pada saat wawancara dilakukan.
2) Keabsahan Internal (Internal Validity) Keabsahan internal merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh
kesimpulan
hasil
penelitian
menggambarkan
keadaan
yang
sesungguhnya. Keabsahan ini dapat dicapai melalui proses analisis dan interpretasi yang tepat. Aktifitas dalam melakukan penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif akan selalu berubah dan tentunya akan mempengaruhi hasil dari penelitian tersebut. Walaupun telah dilakukan uji keabsahan internal, tetap ada kemungkinan munculnya kesimpulan lain yang berbeda. Seperti yang peneliti dapatkan setiap kali melakukan kunjungan untuk kepentingan penelitian selalu menemukan hal baru dan diperlukan objektivitas serta batasan jelas, data mana yang paling relevan untuk dimasukkan dalam hasil penelitian tentang pengelolaan konflik penambangan emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.
3) Keabsahan Eksternal (External Validity) Keabsahan eksternal mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada kasus lain. Walaupun dalam penelitian studi
49
kasus memiliki sifat tidak ada kesimpulan yang pasti, tetapi dapat dikatakan memiliki keabsahan eksternal terhadap kasus-kasus lain selama kasus tersebut memiliki konteks yang sama.
4) Keajegan (Reabilitas) Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian yang sama, sekali lagi. Dalam penelitian ini, keajegan mengacu pada kemungkinan peneliti selanjutnya memperoleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan sekali lagi dengan subjek yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa konsep keajegan penelitian studi kasus selain menekankan pada desain penelitian, juga pada cara pengumpulan data dan pengolahan data.
G. Analisis Data Dalam menganalisa penelitian studi kasus, terdapat beberapa tahapantahapan yang perlu dilakukan menurut Yin (2003), antara lain: 1) Mengorganisasikan Data Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara mendalam (indepth interview), dimana data tersebut direkam dengan alat perekam dibantu alat tulis lainnya. Kemudian dibuatkan transkripnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang agar peneliti mengerti benar data atau hasil yang telah didapatkan.
50
2) Pengelompokan Berdasarkan Kategori, Tema dan Pola Jawaban Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data, perhatian yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan koding atau pengkodean. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali membaca transkrip wawancara dan melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat, kemudian dikelompokkan atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat. Hasil wawancara dianalisis berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal diungkapkan oleh informan. Data yang telah dikelompokkan tersebut dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata kuncinya. Peneliti dapat menangkap pengalaman, permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada subjek. 3) Menguji Asumsi atau Permasalahan yang Ada Terhadap Data Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kembali berdasarkan landasan teori, sehingga dapat dicocokkan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai. Walaupun penelitian ini tidak memiliki hipotesis tertentu, namun dari landasan teori dapat dibuat asumsi-asumsi mengenai hubungan antara konsep-konsep dan faktor-faktor yang ada.
51
4) Mencari Alternatif Penjelasan bagi Data Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud, peneliti masuk ke dalam tahap penjelasan. Berdasarkan kesimpulan yang telah didapat dari kaitannya tersebut, peneliti merasa perlu mencari sesuatu penjelasan lain tentang kesimpulan yang telah didapat. Sebab dalam penelitian studi kasus memang selalu ada alternatif penjelasan yang lain. Dari hasil analisis, ada kemungkinan terdapat hal-hal yang menyimpang dari asumsi atau tidak terfikir sebelumnya. Pada tahap ini diperlukan penjelasan dengan alternatif lain melalui referensi atau teori-teori lain. Alternatif ini sangat berguna pada bagian pembahasan, kesimpulan dan saran. 5) Menulis Hasil Penelitian Penulisan data informan yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu hal yang membantu peneliti untuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah presentase data yang didapat yaitu, penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan informan. Proses dimulai dari data-data yang diperoleh dari informan, dibaca berulang kali sehingga peneliti mengerti benar permasalahannya, kemudian dianalisis, sehingga didapat gambaran mengenai penghayatan pengalaman dari informan selama penelitian berlangsung. Selanjutnya dilakukan interpretasi secara keseluruhan, dimana di dalamnya mencakup keseluruhan kesimpulan dari hasil penelitian.
52
1.8 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan digunakan untuk mempermudah pembahasan yang terdiri atas lima bab yaitu: Bab I Pendahuluan, dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, literatur review yang terkait dengan politik pertambangan, kerangka teori yang digunakan dalam penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan bab pada penelitian kekuasaan dan manajemen konflik pada tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Bab II Konteks, Kasus dan Aktor, dalam bab ini akan dibahas secara lengkap mengenai deskripsi daerah penelitian, kasus dan isu yang mengemuka terkait konflik pengelolaan dan pemaparan aktor yang terlibat dalam pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Bab III Dinamika Relasi Kuasa, dalam bab ini akan dibahas mengenai detail hasil penelitian berdasarkan kerangka teori yang telah dirancang untuk mengidentifikasi dan menjelaskan relasi kuasa yang terjalin dengan otoritas yang dimiliki aktor dan kepentingan pada konflik yang terjadi dalam pengelolaan tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi. Bab IV Resolusi dan Transformasi Konflik, dalam bab ini akan dibahas mengenai detail hasil penelitian berdasarkan kerangka teori yang telah dirancang terkait proses manajemen konflik yang dibentuk oleh Bupati Abdullah Azwar Anas dalam pengelolaan konflik tambang emas Tumpang Pitu di Kabupaten Banyuwangi.
53
Bab V Penutup, dalam bab ini akan menyajikan rangkaian kesimpulan yang disusun berdasarkan pengolahan hasil penelitian dan temuan pertanyaan yang memerlukan penelitian selanjutnya dalam konteks konflik sumber daya alam khususnya di Kabupaten Banyuwangi.